BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada 7 hukum Islam yang tidak disepakati dan salah satu dia antaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu Istishab. Dalam peristilaan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.1 B. Rumusan Masalah Bertitik tolak pada uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa pengertian istishab? 2. Jelaskan macam-macam istishab dan contohnya! 3. Apa kehujjahan istishab?
BAB II 1 Alauddin Koto, Ilmu Fiqhi dan Ushul Fiqih (Cet. 1; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 111
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istishab
Istishab secara etimologi berarti “meminta ikut serta secara terus menerus”, menurut Abdul Karim Zaidan ahli Usuhul Fiqh berkembangsaan Mesir. Sedangkan menurut istilah para usuliyah adalah menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil merubahnya dengan penganggapan lain.2 Istishab adalah menjadikan hukum satu peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan hukum itu. Istishab berarti menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya. Definisi lain yang senada dengan itu dikemukakan oleh Ibnu al-Qayyum al-Jawziyah (wafat. 751 M), tokoh usul fiqhi Hambali yaitu menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada memang sampai ada bukti yang mengubah kedudukannya.3
B. Macam-macam Istishab 1. Istishab al-Ibahah al-Ashliyah yaitu istilah yang didasarkan atas hukum asal
dari sesuatu yaitu mubah (boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang muamalah. Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat
2 Satri Efendi, Ushul Fiqh (Cet. 1 ; Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 159 3 Muhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqhi Islam (Bandun : PT Al-Marif, 1986), h. 159
boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang melarangnya. Misalnya makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan selama tidak ada dalil yang melarangnya adalah halal dimakan atau boleh dikerjakan. 2. Istishab al-Baraah al-Ashliyah yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip
bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dua dalil yang mengubah statusnya itu dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah status itu misalnya seseorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada diri seseorang, ia harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segela tuntutan, dan status bebasnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali dengan bukti yang jelas. 3. Istishab al-hukm, yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum
yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya misalnya seseorang yang memiliki sebidang tanah atau harta bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mengubah status hukum itu, seperti dijual atau dihibakannya kepada pihak lain. 4. Istishab al-Wast, yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih
tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti bahwa yang mengubahnya, misalnya sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat. Demikian
pula air yang diketahui bersih, tatap dianggap bersih selama tidak ada bukti yang mengubah statusnya itu.4
A. Kehujjahan Istishab
Dari contoh-contoh tersebut di atas ditetapkan bahwa istishab itu bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru. Tetapi melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan bukan untuk menetapkan yang belum ada. Ulama Hanafi menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda atau kebalikannya dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum baru dengan kata lain istishab itu adalah menjadi hujjah untuk menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya, misalnya seseorang yang mafqud (orang yang bepergian yang tidak diketahui kabar beritanya, hidup atau matinya dan dimana domisilinya). Secara hukum dia masih hidup berdasarkan keadaan semula yang sudah diketahui, yaitu hidup sewaktu bepergian sampai ada suatu bukti yang menunjukkan kematiannya. Istishab yang menetapkan hukum bahwa si mafqud masih hidup adalah sebagai hujjah untuk menghukum ia sudah mati dan akibat hukum yang timbul
sesudah di hukumi mati. Seperti dipusaka harta peninggalannya diputuskan perjanjian sewa menyewa yang telah di adakannya dan diceraikan istrinya buka
4 Lihat Satri Efendi, op.cit., h. 160-161
sebagai hujjah untuk menetapkan hak si mafqud mempusakai harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal dunia.5
BAB III PENUTUP
5 Lihat, Mukhtar Yahya, op.cit., h. 113-114
A. Kesimpulan 1. Istishab merupakan landasan hukum yang masih diperselisihkan akan tetapi
kita sebagai umat Islam sepatutnya kita mempelajari dan mengatahui setiap hukum-hukum yang ada. 2. Istishab merupakan suatu hukum yang menganggap tetapnya status sesuatu
seperti keadaanya semula selama belum terbukti sesuatu yang mengubahnya. 3. Dalam melihat hukum istishab, kita jangan melihat jangan melihat dari satu
sudut pandang saja, akan tetapi mempejari secara cermat mengenai seluk beluk istishab itu sendiri.
A. Saran Penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari pembaca agar sekiranya dapat menjadi bahan perbaikan dalam pembuatan makalah dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Efendi, Satri. Ushul Fiqh. Cet. 1 ; Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008
Koto, Alauddin. Ilmu Fiqhi dan Ushul Fiqih. Cet. 1; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004 Yahya, Muhtar. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqhi Islam. Bandun : PT Al-Marif, 1986
KATA PENGANTAR
Alhamdullah, berkat taufik dan hidayah serta rahmat Allah swt., penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul istishab. Tidak lupa juga penulis ucapkan shalawat serta salam ke Nabi Muhammad saw. Nabi yang telah membawa umatnya dari alam kegelapan menuju kea lam yang terang benderang. Dalam penulisan ini penulis tidak menutupi mata atas segala kekurangankekurangannya, baik bobok bahasanya maupun susunan bahasanya. Hal ini tidak lain karena keterbataan ilmu pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki penulis, sekalipun demikian mudah-mudahan karya kecil ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya yang membacanya. Watampone, Oktober 2009
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman Judul
i
Kata Pengantar
ii
Daftar Isi
iii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
1
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Istishab
2
B. Macam-macam Istishab Berserta Contohnya
2
C. Kehujjahan Istishab
5
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
6
B. Saran
6
DAFTAR PUSTAKA
7
ISTISHAB
Makalah diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ushul Fiqh Jurusan Tarbiyah Prodi PAI Semester III
Oleh:
1. NURSIDA 2. HASBIAH 3. ASKAR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) WATAMPONE 2009 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Istishab
Istishab secara etimologi berarti “meminta ikut serta secara terus menerus”, menurut Abdul Karim Zaidan ahli Usuhul Fiqh berkembangsaan
Mesir. Sedangkan menurut istilah para usuliyah adalah menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil merubahnya dengan penganggapan lain.6 Istishab adalah menjadikan hukum satu peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan hukum itu. Istishab berarti menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya. Definisi lain yang senada dengan itu dikemukakan oleh Ibnu al-Qayyum al-Jawziyah (wafat. 751 M), tokoh usul fiqhi Hambali yaitu menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada memang sampai ada bukti yang mengubah kedudukannya.7 B. Macam-macam Istishab 1. Istishab al-Ibahah al-Ashliyah yaitu istilah yang didasarkan atas hukum asal
dari sesuatu yaitu mubah (boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang muamalah. Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang melarangnya. Misalnya makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan selama tidak ada dalil yang melarangnya adalah halal dimakan atau boleh dikerjakan. 2. Istishab al-Baraah al-Ashliyah yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dua dalil yang mengubah statusnya itu dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah status itu misalnya seseorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada diri seseorang, ia harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segela tuntutan, dan status bebasnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali dengan bukti yang jelas. 3. Istishab al-hukm, yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya misalnya seseorang yang memiliki sebidang tanah atau harta bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mengubah status hukum itu, seperti dijual atau dihibakannya kepada pihak lain. 4. Istishab al-Wast, yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti bahwa yang mengubahnya, misalnya sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat. Demikian pula air yang diketahui bersih, tatap dianggap bersih selama tidak ada bukti yang mengubah statusnya itu.8 6 Satri Efendi, Ushul Fiqh (Cet. 1 ; Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 159 7 Muhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqhi Islam (Bandun : PT Al-Marif, 1986), h. 159 8 Lihat Satri Efendi, op.cit., h. 160-161
A. Kehujjahan Istishab
Dari contoh-contoh tersebut di atas ditetapkan bahwa istishab itu bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru. Tetapi melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan bukan untuk menetapkan yang belum ada. Ulama Hanafi menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda atau kebalikannya dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum baru dengan kata lain istishab itu adalah menjadi hujjah untuk menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya, misalnya seseorang yang mafqud (orang yang bepergian yang tidak diketahui kabar beritanya, hidup atau matinya dan dimana domisilinya). Secara hukum dia masih hidup berdasarkan keadaan semula yang sudah diketahui, yaitu hidup sewaktu bepergian sampai ada suatu bukti yang menunjukkan kematiannya. Istishab yang menetapkan hukum bahwa si mafqud masih hidup adalah sebagai hujjah untuk menghukum ia sudah mati dan akibat hukum yang timbul sesudah di hukumi mati. Seperti dipusaka harta peninggalannya diputuskan perjanjian sewa menyewa yang telah di adakannya dan diceraikan istrinya buka sebagai hujjah untuk menetapkan hak si mafqud mempusakai harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal dunia.9
9 Lihat, Mukhtar Yahya, op.cit., h. 113-114