Ispa.docx

  • Uploaded by: abi
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ispa.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,997
  • Pages: 67
1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak tahun 1984, WHO telah menerapkan program pemberantasan ISPA. Pada tahun 1990, konferensi Tingkat Tinggi (KTT) anak di New York telah membuat kesepakatan untuk menurunkan kematian akibat ISPA sebesar 30% pada tahun 2000. Implementasi strategi pemberantasan ISPA telah dilakukan oleh banyak negara termasuk Indonesia, tetapi hasil yang dicapai bervariasi (Rahajoe, 2008). Diakses 30 Desember 2012. Infeksi saluran pernafasan akut merupakan (ISPA) merupakan istilah yang didaptasi dalam bahasa Inggris Acute Respiratory infection (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsure yakni infeksi,saluran pernafasan dan akut dengan pengertian sebagai berikut : infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam tubuh dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit (Indah, 2008). Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan Adneksa seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Anonim, 2008). Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti dengan napas cepat dan sesak napas. Pada tingkat yang lebih berat

2

terjadi kesukaran bernapas,

tidak dapat

minum,

kejang, kesadaran

menurun,dan meninggal bila tidak segera diobati (Syair, 2009). World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO ± 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara berkembang, dimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh ± 4 juta anak balita setiap tahun (Depkes, 2000 dalam Asrun, 2008). Dilaporkan pula, tiga per empat kasus ISPA pada balita di dunia berada di 15 negara, dan Indonesia salah satu diantara ke 15 negara tersebut menduduki peringkat ke 6 (Kartasasmita, 2008). ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Episode penyakit batuk – pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3 – 6 kali per tahun. ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan. Sebanyak 40% - 60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15% 30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap Rumah Sakit disebabkan oleh ISPA (DepKes RI, 2008). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2010 tercatat 74.278 kasus (36,26%) sedangkan pada tahun 2012 tercatat 62.126 kasus (31,45%). kasus pneumonia dan 47.901 (92,16%) kasus batuk bukan pneumonia. Pada tahun 2010 tercatat 53.399 balita berumur 1-5 tahun

3

yang menderita ISPA, terbagi atas 5216 (9,76%) kasus pneumonia dan 48.183 (90,24%) kasus bukan pneumonia. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bulukumba,Penemuan penderita ISPA di kab.Bulukumba dari tahun 2010 hingga 2011 tercatat 8.291 kasus (23,63%), 7.671 kasus (28,09%). Data kesakitan yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bulukumba dua tahun terakhir (tahun 2010 sampai dengan tahun 2011), puskesmas Ujungloe menduduki urutan kelima tertinggi penderita ISPA dari 18 Puskesmas di wilayah Kabupaten Bulukumba . atas dasar tersebut maka penulis memilih desa Padangloang sebagai lokasi penelitian. Kasus penyakit ISPA yang didokumentasikan di Puskesmas Ujungloe, penemuan penderitan ISPA pada tahun 2011 sebanyak 359 kasus dengan 50 kasus pneumonia dan sebanyak 10 kasus ISPA yang dialami oleh pekerja pemecah batu di desa Padangloang . Tahun 2012 sebanyak 471 kasus dengan 100 kasus pneumonia dan sebanyak 15 kasus ISPA yang dialami oleh pekerja pemecah batu di desa Padangloang, pada bulan Januari – Juni 2013 sebanyak 69 kasus dan sebanyak 45 kasus dialami oleh pekerja pemecah batu di desa Padangloang. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik mengetahui faktor-faktor yang hubungan dengan kejadian ISPA pada pemecah batu di Desa Padangloang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian singkat dalam latar belakang masalah di atas memberi dasar bagi peneliti untuk merumuskan pernyataan dalam penelitian ini yaitu :

4

a. Apakah ada faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada pemecah batu di Desa Padangloang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba? b. Apakah ada hubungan faktor pengetahuan dengan kejadian Ispa terhadap pemecah batu di Desa Padangloang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba ? c. Apakah ada hubungan hubungan faktor lingkungan dengan kejadian Ispa terhadap pemecah batu di Desa Padangloang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba ? d. Apakah ada hubungan faktor penggunaan masker dengan kejadian Ispa terhadap

pemecah batu di Desa Padangloang Kecamatan Ujungloe

Kabupaten Bulukumba ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Diketahuinya

faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA

pada pemecah batu di Desa Padangloang Kecamatan Ujung Loe Kabupaten Bulukumba. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini antara lain : a. Diidentifikasinya hubungan faktor pengetahuan dengan kejadian Ispa terhadap pemecah batu di Desa Padangloang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba.

5

b. Diidentifikasinya hubungan faktor lingkungan dengan kejadian Ispa terhadap pemecah batu di Desa Padangloang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba. c. Diidentifikasinya hubungan faktor penggunaan masker dengan kejadian Ispa terhadap pemecah batu di Desa Padangloang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Ilmiah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah ilmu pengetahuan dan merupakan salah satu bahan acuan bagi peneliti berikutnya. Selain itu hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam melakukan penelitian. 2. Manfaat praktisi Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan tentang hubungan kejadian ISPA terhadap pemecah batu dengan penggunaan masker dan sebagai salah satu wadah untuk mengembangkan ilmu keperawatan khususnya keperawatan komunitas serta menjadi acuan bagi para praktisi dalam memenetapkan kebijakan kesehatan terutama pada program ISPA.

6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang ISPA 1. Konsep ISPA a. Defenisi ISPA Infeksi saluran pernafasan adalah suatu keadaan dimana saluran pernafasan (hidung, pharing dan laring) mengalami inflamasi yang menyebabkan terjadinya obstruksi jalan nafas dan akan menyebabkan retraksi dinding dada pada saat melakukan pernafasan (Siswanto, 2010). ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan sakut, dengan pengertian sebagai berikut : Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract) Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun

7

untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. ISPA dapat klasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya yaitu : 1) Infeksi saluran pernafasan bagian atas. Merupakan infeksi akut yang menyerang hidung hingga faring. 2) Infeksi saluran pernafasan bagian bawah. Merupakan infeksi akut yang menyerang daerah di bawah faring sampai dengan alveolus paru-paru. b. Etiologi 1)

Virus Utama : a) ISPA atas : Rino virus , Corona Virus, Adeno virus, Entero Virus b) ISPA bawah : RSV, Parainfluensa,1,2,3 corona virus, adeno virus

2)

Bakteri Utama: Streptococus, pneumonia, haemophilus influenza, Staphylococcus aureus

3)

Pada neonatus dan bayi muda : Chlamidia trachomatis, pada anak usia sekolah : Mycoplasma pneumonia.

c. Manifestasi Klinik Penyakit ini biasanya dimanifestasikan dalam bentuk adanya demam, adanya obstruksi hidung dengan sekret yang encer sampai dengan membuntu saluran pernafasan, bayi menjadi gelisah dan susah atau bahkan sama sekali tidak mau minum (Sunarto, 2008).

8

Tanda dan gejala yang muncul ialah: 1) Demam, Seringkali demam muncul sebagai tanda pertama terjadinya infeksi. Suhu tubuh bisa mencapai 39,50C - 40,50C. 2) Meningismus, adalah tanda meningeal tanpa adanya infeksi pada meningens, biasanya terjadi selama periodik bayi mengalami panas, gejalanya adalah nyeri kepala, kaku dan nyeri pada punggung serta kuduk, terdapatnya tanda kernig dan brudzinski. 3) Anorexia, biasa terjadi pada semua bayi yang mengalami sakit. Bayi akan menjadi susah minum dan bhkan tidak mau minum. 4) Vomiting, biasanya muncul dalam periode sesaat tetapi juga bisa selama bayi tersebut mengalami sakit. 5) Diare (mild transient diare), seringkali terjadi mengiringi infeksi saluran pernafasan akibat infeksi virus. 6) Abdominal pain, nyeri pada abdomen mungkin disebabkan karena adanya lymphadenitis mesenteric. 7) Sumbatan pada jalan nafas/ Nasal, pada saluran nafas yang sempit akan lebih mudah tersumbat oleh karena banyaknya sekret. 8) Batuk, merupakan tanda umum dari tejadinya infeksi saluran pernafasan, mungkin tanda ini merupakan tanda akut dari terjadinya infeksi saluran pernafasan. 9) Suara nafas, biasa terdapat wheezing, stridor, crackless, dan tidak terdapatnya suara pernafasan.

9

Tanda dan gejala menurut tingkat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu (Siswanto, 2010) : 1) ISPA Ringan Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala sebagai berikut: a)

Batuk.

b)

Serak, yaitu bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu berbicara atau menangis).

c)

Pilek yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung.

d)

Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370C atau jika dahi anak diraba dengan punggung tangan terasa panas.

2) Gejala ISPA Sedang Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika di jumpai gejala ISPA ringan dengan disertai gejala sebagai berikut : a)

Pernapasan lebih dari 50 kali /menit pada anak umur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40 kali/menit pada anak satu tahun atau lebih.

b)

Suhu lebih dari 39 0C.

c)

Tenggorokan berwarna merah

d)

Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak

e)

Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga

f)

Pernafasan berbunyi seperti mendengkur.

g)

Pernafasan berbunyi seperti mencuit-cuit.

10

3) Gejala ISPA Berat Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut: a)

Bibir atau kulit membiru

b)

Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernapas

c)

Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun

d)

Pernafasan berbunyi mengorok dan anak tampak gelisah

e)

Pernafasan menciut dan anak tampak gelisah

f)

Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernapas

g)

Nadi cepat lebih dari 60 x/menit atau tidak teraba

h)

Tenggorokan berwarna merah

Faktor-faktor resiko yang berperan dalam kejadian ISPA adalah sebagai berikut: 1)

Faktor host (diri) a)

Usia Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak usia dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak pada usia muda akan lebih sering menderita ISPA dari pada usia yang lebih lanjut (Koch et al, 2003).

11

b) Jenis kelamin Meskipun secara keseluruhan di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia masalah ini tidak terlalu diperhatikan, namun banyak penelitian yang menunjukkan adanya perbedaan prevelensi penyakit ISPA terhadap jenis kelamin tertentu. Angka kesakitan ISPA sering terjadi pada usia kurang dari 2 tahun, dimana angka kesakitan ISPA anak perempuan lebih tinggi daripada laki-laki di negara Denmark (Koch et al, 2003) c) Status gizi Interaksi antara infeksi dan Kekurangan Kalori Protein (KKP) telah lama dikenal, kedua keadaan ini sinergistik, saling mempengaruhi, yang satu merupakan predisposisi yang lainnya (Tupasi, 1985). Pada KKP, ketahanan tubuh menurun dan virulensi pathogen lebih kuat sehingga menyebabkan keseimbangan yang terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan

salah

satu

determinan

utama

dalam

mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status gizi anak. d) Status imunisasi Tupasi

(1985)

mendapatkan

bahwa

ketidakpatuhan

imunisasi berhubungan dengan peningkatan penderita ISPA walaupun tidak bermakna. Hal ini sesuai dengan penelitian lain

12

yang mendapatkan bahwa imunisasi yang lengkap dapat memberikan peranan yang cukup berarti dalam mencegah kejadian ISPA (Koch et al, 2003). Diakses tanggal 08 Maret 2013. e) Pemberian suplemen vitamin A Pemberian vitamin A pada balita sangat berperan untuk masa pertumbuhannya, daya tahan tubuh dan kesehatan terutama pada penglihatan, reproduksi, sekresi mukus dan untuk mempertahankan sel epitel yang mengalami diferensiasi. f) Pemberian air susu ibu (ASI) ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama kehidupannya. ASI bukan hanya merupakan sumber nutrisi bagi bayi tetapi juga sebagai sumber zat antimikroorganisme yang kuat, karena adanya beberapa faktor yang bekerja secara sinergis membentuk sistem biologis. ASI

dapat

penyampaian

memberikan antibodi

dan

imunisasi sel-sel

pasif

melalui

imunokompeten

ke

permukaan saluran pernafasan atas (William and Phelan, 1994). 2)

Faktor lingkungan a)

Rumah Rumah

merupakan

stuktur

fisik,

dimana

orang

menggunakannya untuk tempat berlindung yang dilengkapi

13

dengan fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani, rohani dan keadaan sosialnya yang baik untuk keluarga dan individu (WHO, 1989). Anak-anak yang tinggal di apartemen memiliki faktor resiko lebih tinggi menderita ISPA daripada anak-anak yang tinggal di rumah culster di Denmark (Koch et al, 2003). b) Kepadatan hunian (crowded) Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah anggota keluarga, dan masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk ISPA. Penelitian oleh Koch et al (2003) membuktikan

bahwa

kepadatan

hunian

(crowded)

mempengaruhi secara bermakna prevalensi ISPA berat. c) Status sosioekonomi Telah diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat sosioekonomi yang rendah mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan masyarakat. Tetapi status keseluruhan tidak ada hubungan antara status ekonomi dengan insiden ISPA, akan tetapi didapatkan korelasi yang bermakna antara kejadian ISPA berat dengan rendahnya status sosioekonomi. d) Kebiasaan merokok Pada keluarga yang merokok, secara statistik anaknya mempunyai

kemungkinan

terkena

ISPA

2

kali

lipat

14

dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak merokok. Selain itu dari penelitian lain didapat bahwa episode ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua merokok (Koch et al, 2003). Diakses 18 Maret 2013. e) Polusi udara Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit gangguan pernafasan lain adalah rendahnya kualitas udara di dalam rumah ataupun diluar rumah baik secara biologis, fisik maupun kimia. d. Patofisiologi Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan. Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi noramal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut

15

menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk. Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke saluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: 1) Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum menunjukkan reaksi apa-apa. 2) Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang sudah rendah. 3) Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala demam dan batuk. 4) Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat pneumonia. e. Pemeriksaan Diagnostik Pengkajian terutama pada jalan nafas :

16

1) Fokus utama pada pengkajian pernafasan ini adalah pola, kedalaman, usaha serta irama dari pernafasan. a) Pola, cepat (tachynea) atau normal. b) Kedalaman, nafas normal, dangkal atau terlalu dalam yang biasanya dapat kita amati melalui pergerakan rongga dada dan pergerakan abdomen. c) Usaha, kontinyu, terputus-putus, atau tiba-tiba berhenti disertai dengan adanya bersin. d) Irama pernafasan, bervariasi tergantung pada pola dan kedalaman pernafasan. e) Observasi lainya adalah terjadinya infeksi yang biasanya ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, adanya batuk, suara nafas wheezing. Bisa juga didapati adanya cyanosis, nyeri pada rongga dada dan peningkatan produksi dari sputum 2) Pemeriksaan penunjang yang lazim dilakukan adalah : a) pemeriksaan kultur/ biakan kuman (swab); hasil yang didapatkan adalah biakan kuman (+) sesuai dengan jenis kuman, b) Pemeriksaan hitung darah (deferential count); laju endap darah meningkat disertai dengan adanya leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya thrombositopenia, dan c) Pemeriksaan foto thoraks jika diperlukan

17

f. Diagnosis Banding Penyakit infeksi saluran pernafasan ini mempunyai beberapa diagnosis banding yaitu difteri, mononukleosis infeksiosa dan agranulositosis yang semua penyakit diatas memiliki manifestasi klinis nyeri tenggorokan dan terbentuknya membrana. Mereka masing-masing dibedakan melalui biakan kultur melalui swab, hitungan darah dan test Paul-bunnell. Pada infeksi yang disebabkan oleh streptokokus manifestasi lain yang muncul adalah nyeri abdomen akut yang sering disertai dengan muntah. g. Pencegahan ISPA Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah ISPA adalah: 1)

Mengusahakan Agar Anak Mempunyai Gizi Yang Baik a) Bayi harus disusui sampai usia dua tahun karena ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi. b) Beri bayi makanan padat sesuai dengan umurnya. c) Pada bayi dan anak, makanan harus mengandung gizi cukup yaitu mengandung cukup protein (zat putih telur), karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. d) Makanan yang bergizi tidak berarti makanan yang mahal. Protein misalnya dapat di peroleh dari tempe dan tahu, karbohidrat dari nasi atau jagung, lemak dari kelapa atau minyak sedangkan vitamin dan mineral dari sayuran,dan buah-buahan.

18

e) Bayi dan balita hendaknya secara teratur ditimbang untuk mengetahui apakah beratnya sesuai dengan umurnya dan perlu diperiksa apakah ada penyakit yang menghambat pertumbuhan. 2)

Mengusahakan Kekebalan Anak Dengan Imunisasi Agar anak memperoleh kekebalan dalam tubuhnya anak perlu mendapatkan imunisasi yaitu DPT. Imunisasi DPT salah satunya dimaksudkan untuk mencegah penyakit Pertusis yang salah satu gejalanya adalah infeksi saluran nafas (Siswanto, 2010).

3)

Menjaga Kebersihan Perorangan Dan Lingkungan Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi pencegahan penyakit ISPA, sebaliknya perilaku yang tidak mencerminkan hidup sehat akan menimbulkan berbagai penyakit. Penggunaan masker yang teratur pada pekerja yang bersentuhan langsung dengan faktor pencetus. Perilaku ini dapat dilakukan melalui upaya memperhatikan rumah sehat, desa sehat dan lingkungan sehat (Mark, 2010).

4)

Pengobatan Segera Apabila sudah positif terserang ISPA, sebaiknya tidak makan makanan yang dapat merangsang rasa sakit pada tenggorokan, misalnya minuman dingin, makanan yang mengandung vetsin atau rasa gurih, bahan pewarna, pengawet dan makanan yang terlalu manis. Orang yang terserang ISPA, harus segera dibawa ke dokter.

19

h. Pengobatan Pada ISPA 1) ISPA Berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik melalui jalur infus , di beri oksigen dan sebagainya 2) ISPA ringan : diberi obat antibiotik melaui mulut. Pilihan obatnya Kotrimoksasol, jika terjadi alergi / tidak cocok dapat diberikan Amoksilin, Penisilin, Ampisilin 3) ISPA ringan : tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik selama 10 hari. (M. Anif, 2008) 1) Perawatan Di Rumah Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA yaitu : a) Mengatasi panas (demam) Untuk anak usia 2 bulan samapai 5 tahun demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk waktu 2 hari. Cara

20

pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es). b) Mengatasi batuk Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh , diberikan tiga kali sehari. c) Pemberian makanan Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan. d) Pemberian minuman Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita. f) Lain-lainnya Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika pilek, bersihkan hidung , yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang

21

berventilasi cukup dan tidak berasap. Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan. i. Pemberantasan Ispa Yang Dilakukan Adalah : 1) Penyuluhan kesehatan yang terutama di tujukan pada para penderita ISPA. 2) Pengelolaan kasus yang disempurnakan. 3) Immunisasi 4) Menghindari kontak langsung dengan penderita ISPA j. Komplikasi Adapun komplikasinya adalah : 1)

Meningitis

2)

Otitis Media Akut

3)

Mastoiditis

4)

Kematian

B. Tinjauan Umum Tentang Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA pada Pemecah Batu 1. Pengetahuan a. Pengertian Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terhadap obyek terjadi melalui panca indera manusia, yakni: penglihatan,

22

pendengaran, penciuman, rasa ,dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoadmodjo, 2008). Pengetahuan menurut (Aziz, 2008) adalah mencakup ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam bentuk ingatan. Halhal itu dapat berupa fakta, kaidah dan prinsip serta metoda yang diketahui. Pengetahuan yang disimpan dalam ingatan, digali pada saat dibutuhkan melalui bentuk mengingat (recall) atau mengenal kembali (recognition). Pengetahuan juga diartikan sebagai pengenalan obyek dengan melalui panca indera, semakin banyak indera yang dirangsang, maka akan meningkat pula pengetahuannya. Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu termasuk ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan lainnya . Pengetahuan dikumpulkan dengan tujuan untuk menjawab semua permasalahan kehidupan sehari-hari yang dialami oleh manusia dan untuk digunakan dalam menawarkan berbagai kemudahan padanya. Pengetahuan itu sendiri banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: adalah pendidikan formal. Jadi pengetahuan sangat erat hubungan dengan pendidikan, di mana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah, mutlak berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa, peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari

23

pendidikan formal saja, akan tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu obyek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek inilah yang pada akhirnya akan menentukan sikap seseorang tentang suatu obyek tertentu. Semakin banyak aspek positif dan obyek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap obyek tertentu. b. Tingkatan Pengetahuan di dalam Domain Kognitif Menurut Notoadmodjo (2008), bahwa pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yakni: 1.

Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu ”tahu” merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasi, menyatakan, dan sebagainya.

2.

Memahami (Comprehension) Memahami

diartikan

sebagai

suatu

kemampuan

untuk

menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek

atau materi harus dapat menjelaskan,

24

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari. 3.

Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada suatu situasi atau kondisi sebenarnya (real). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya penggunaan rumus statistik dalam perhitungan hasil penelitian.

4.

Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu metode ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata

kerja,

seperti

dapat

menggambarkan,

memisahkan,

mengelompokkan, dan sebagainya. 5.

Sintesis (Synthesis) Sintesis

menunjukkan

kepada

suatu

kemampuan

untuk

meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasiformulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, merencanakan,

25

menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada. 6.

Evaluasi (Evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justification atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian-penilaian tersebut didasarkan pada suatu kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya: dapat menafsirkan sebab-sebab mengapa ibu-ibu tidak mau ikut ber-KB, dan sebagainya.

c. Cara memperoleh pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2008) pengetahuan sepannjang sejarah dapat dikelompokan menjadi dua berdasarkan cara yang telah digunakan untuk memperoleh kebenaran,yaitu : 1.

Cara kuno untuk memperoleh pengetahuan a) Cara coba-coba salah (Trial dan Error) Cara ini telah dipakai orang sebelum adanyan kebudayaan dan bahkan sebbelum adanya peradapan

yang dilakukan dengan

menggunakan kemungkinan yang lain sampai masalah dapat dipecahkan. b) Cara kekuasaan atau otoriter Sumber pengetahuan cara ini dapat berupa pemimpin-pemimpin masyarakat baik formal maupun informal, ahli agama, pemegang pemerintahan. Prinsip ini dalah orang lain menerima pendapat yang dikemukakan oleh orang yang punya otoriter, tanpa terlebih

26

dahulu membuktikan kebenarannya, baik berdasarkan fakta empiris maupun berdasarkan masa lalu. c) Berdasarkan pengalaman pribadi Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapkan pada masa lalu. d) Melalui jalan pikiran Dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikiran, baik melalui induksi maupun deduksi. Apabila proses pembutan kesimpulan itu melalui pernyataan khusus kepada yang umum dinamakan induksi, sedangkan deduksi adalah pembuatan kesimpulan dari peryataanpernyataan umum kepada yang khusus. 2.

Cara modern dalam memperoleh pengetahuan Cara ini disebut “metode penelitian ilmiah” atau lebih populer disebut metodologi penelitian. Cara ini mula-mula dikembangkan oleh (1561-1626) kemudian dikembangkan oleh Deobold van Dallien akhirnya lahir suatu cara penelitian yang dewasa ini kita kenal sebgai metodologi penelitian ilmiah.

27

d. Faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan Menurut berbagai sumber dari berbagi literatur yang berhubungan, beriikut adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang tentang sesuatu hal : 1. Umur Usia adalah umur yang terhitung dari saat dilahirkan saat ia akan berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat yang lebih dewasa akan lebih dipercaya daripada orang yang belum cukup tinggi tinggkat kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya (Notoatmodjo, 2008) 2. Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita tertentu. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin mudah dalam

menerima

informasi,

sehingga

semakin

banyak

pula

pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap sesorang terhadap nilai-niali yang baru dikenal (Notoatmodjo, 2008) 3. Lingkungan Lingkungan adalah seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan

28

perilaku orang atau kelompok. Lingkungan adalah input kedalam seseorang sehingga sistem adatif yang melibatkan banyak faktor intetrnal maupun eksternal. Seseorang yang hidup dalam lingkungan yang berpikiran luas maka pengetahuannya akan lebih baik daripada orang yang hidup di lingkungan yang bepikir sempit (Notoatmodjo, 2008) 4. Pekerjaan Pekerjaan adalah serangkain tugas atau kegitan yang harus dilaksanakan atau diselesaikan oleh sesorang sesuai deangan jabatan atau profesi masing-masing. Status pekerjaan yang rendah sering memopengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Pekerjaan bisanya sebagai simbol status sosial di masyarakat. Masyarakat akan memandang

seseorang

dengan

penuh

penghormatan

apabila

pekerjaannya sudah pegawai negeri atau pejabat di pemerintah (Notoatmodjo, 2008). 5. Sosial Ekonomi Variabel ini sering dilihat angka kesakitan dan kematian, variabel ini menggambarkan tingkat kehidupan seseoerang yang ditentukan unsur seperti pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan banyak contoh serta ditentukan

pula

oleh

tempat

tinggal

karena

hal

ini

dapat

mempengaruhi berbagai aspe kehidupan termasuk pemeliharaan kesehatan.

29

6. Informasi yang diperoleh Informasi dapat diperoleh dirumah. Di sekolah, lembaga organisasi, media cetak dan tempat pelayanan kesehatan. Ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan informasi sekaligus menghasilkan informasi. Jika

pengetahuan

berkembang sangat

cepat

maka

informasi

berkembang sangat cepat pula. Adanya ledakan pengetahuan sebagai akibat perkembangan dalam bidang ilmu dan pengetahuan, maka semakin banyak pengetahuan baru bermunculan. Pemberian informasi seperti cara-cara pencapaian hidup sehat akan meningkatkan pengetahuan masyarakat yang dapat menambah kesadaran untuk berperilaku sesuai deangan pengetahuan yang dimilki (Kartono, 2008) 7. Pengalaman Merupakan sumber pengetahuan atau suatu cara untuk memperoleh kebenaran dan pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi di msa lalu. Orang yang memiliki pengalaman akan mempunyai pengetahuan yang baik bila dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki pengalaman dalam segi apapun (Notoatmodjo, 2008). d. Pengukuran Tingkat Pengetahuan Menurut arikunto (2006) tingkat pengetahuan dikategorikan menjadi: 1) Pengetahuan baik

: nilai 76-100%

2) Pengetahuan cukup

: nilai 56-75%

30

3) Pengetahuan kurang

: nilai <56 %

2. Tinjauan Tentang Lingkungan Sejak pertengahan abad ke-15 para ahli kedokteran telah menyebutkan bahwa tingkat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut model segitiga epidemiologi, suatu penyakit timbul akibat beroperasinya faktor agen, host dan lingkungan. Menurut model roda timbulnya penyakit sangat tergantung dari lingkungan. Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat penting terhadap timbulnya berbagai penyakit tertentu, sehingga untuk memberantas penyakit menular diperlukan upaya perbaikan lingkungan (Edberg, 2010). Melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan fisik atau daya tahannya terhadap penyakit kurang, akan mudah terserang penyakit (Mark, 2010). Penyakit-penyakit tersebut seperti diare, kholera, campak, demam berdarah dengue, difteri, pertusis, malaria, influenza, hepatitis, tifus dan lain-lain yang dapat ditelusuri determinan-determinan lingkungannya (Nurcahyo, 2009). Masalah kesehatan lingkungan utama di negara-negara yang sedang berkembang adalah penyediaan air minum, tempat pembuangan kotoran, pembuangan

sampah,

perumahan

dan

pembuangan

air

limbah

(Notoatmodjo, 2010). Adapun masalah kesehatan lingkungan utama di negara-negara berkembang adalah :

31

a. Sumber Air Syarat air minum ditentukan oleh syarat fisik, kimia dan bakteriologis. Syarat fisik yakni, air tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, jernih dengan suhu sebaiknya di bawah suhu udara sehingga terasa nyaman. Syarat kimia yakni, air tidak mengandung zat kimia atau mineral yang berbahaya bagi kesehatan misalnya CO2, H2S, NH4. Syarat bakteriologis yakni, air tidak mengandung bakteri E. coli yang melampaui batas yang ditentukan, kurang dari 4 setiap 100 cc air. Pada prinsipnya semua air dapat diproses menjadi air minum. Sumbersumber air ini antara lain : air hujan, mata air, air sumur dangkal, air sumur dalam, air sungai & danau. b. Pembuangan Kotoran Manusia Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh seperti tinja, air seni dan CO2. Masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah pokok karena kotoran manusia adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain : tipus, diare, disentri, kolera, bermacam-macam cacing seperti cacing gelang, kremi, tambang, pita, schistosomiasis. Syarat pembuangan kotoran antara lain, tidak mengotori tanah permukaan, tidak mengotori air permukaan, tidak mengotori air tanah, kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh lalat untuk

32

bertelur atau berkembang biak, kakus harus terlindung atau tertutup, pembuatannya mudah dan murah (Notoatmodjo, 2010). Bangunan kakus yang memenuhi syarat kesehatan terdiri dari : rumah kakus, lantai kakus, sebaiknya semen, slab, closet tempat feses masuk, pit sumur penampungan feses atau cubluk, bidang resapan, bangunan jamban ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau, disediakan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih. (Notoatmodjo, 2010) Jenis kakus antara lain (Notoatmodjo, 2010) : 1) Pit privy (cubluk) Lubang dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5-8 m. Dinding diperkuat dengan batu-bata, hanya dapat dibuat di tanah atau dengan air tanah dalam. 2) Angsatrine Closetnya berbentuk leher angsa sehingga selalu terisi air. Fungsinya sebagai sumbat sehingga bau busuk tidak keluar. 3) Bored hole latrine Seperti cubluk, hanya ukurannya kecil, karena untuk sementara. Jika penuh dapat meluap sehingga mengotori air permukaan. 4) Overhung latrine Rumah kakusnya dibuat di atas kolam, selokan, kali, rawa dan lainlain. Feses dapat mengotori air permukaan

33

5) Jamban cempung, kakus ( Pit Latrine ) Jamban cemplung kurang sempurna karena tanpa rumah jamban dan tanpa tutup. Sehingga serangga mudah masuk dan berbau, dan jika musim hujan tiba maka jamban akan penuh oleh air. Dalamnya kakus 1,5-3 meter, jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter. 6) Jamban empang (fishpond latrine) Jamban ini dibangun di atas empang ikan. Di dalam sistem ini terjadi daur ulang, yakni tinja dapat dimakan ikan, ikan dimakan orang dan selanjutnya orang mengeluarkan tinja yang dimakan, demikian seterusnya. c. Pembuangan sampah Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang berasal dari rumah tangga atau hasil proses industri. Jenis- jenis sampah antara lain, yakni sampah an-organik, adalah sampah yang umumnya tidak dapat membusuk, misalnya: logam/besi, pecahan gelas, plastik. Sampah organik, adalah sampah yang pada umumnya dapat membusuk, misalnya : sisa makanan, daun-daunan, buah-buahan. Cara pengolahan sampah antara lain sebagai berikut: (Notoatmodjo, 2010). 1) Pengumpulan dan pengangkutan sampah Pengumpulan sampah diperlukan tempat sampah yang terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, tidak mudah rusak, harus tertutup

34

rapat, ditempatkan di luar rumah. Pengangkutan dilakukan oleh dinas pengelola sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA) 2) Pemusnahan dan pengelolaan sampah Dilakukan dengan berbagai cara yakni, ditanam (Landfill), dibakar (Inceneration), dijadikan pupuk (Composting) d. Perumahan Keadaan perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan keadaan higiene dan sanitasi lingkungan. Adapun syarat-syarat rumah yang sehat ditinjau dari ventilasi, cahaya, luas bangunan rumah, Fasilitasfasilitas di dalam rumah sehat sebagai berikut : (Notoatmodjo, 2010). 1) Ventilasi Fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar dan untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen.. Luas ventilasi kurang lebih 15-20 % dari luas lantai rumah 2) Cahaya Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Penerangan yang cukup baik siang maupun malam 100-200 lux.

35

3) Luas bangunan rumah Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,53 m2 untuk tiap orang. Jika luas bangunan tidak sebanding dengan jumlah penghuni maka menyebabkan kurangnya konsumsi O2, sehingga jika salah satu penghuni menderita penyakit infeksi maka akan mempermudah penularan kepada anggota keluarga lain. 4) Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat Rumah yang sehat harus memiliki fasilitas seperti penyediaan air bersih yang cukup, pembuangan tinja, pembuangan sampah, pembuangan air limbah, fasilitas dapur, ruang berkumpul keluarga, gudang, kandang ternak e. Air limbah Air limbah adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari rumah tangga, industri dan pada umumnya mengandung bahan atau zat yang membahayakan. Sesuai dengan zat yang terkandung di dalam air limbah, maka limbah yang tidak diolah terlebih dahulu akan menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup antara lain limbah sebagai media penyebaran berbagai penyakit terutama kolera, diare, typus, media berkembangbiaknya mikroorganisme patogen, tempat berkembangbiaknya nyamuk, menimbulkan bau yang tidak enak serta pemandangan yang tidak sedap, sebagai sumber pencemaran air permukaan

tanah

dan

lingkungan

hidup

lainnya,

mengurangi

36

produktivitas manusia, karena bekerja tidak nyaman (Notoatmodjo, 2010). Usaha untuk mencegah atau mengurangi akibat buruk tersebut diperlukan kondisi, persyaratan dan upaya sehingga air limbah tersebut tidak mengkontaminasi sumber air minum, tidak mencemari permukaan tanah, tidak mencemari air mandi, air sungai, tidak dihinggapi serangga, tikus dan tidak menjadi tempat berkembangbiaknya bibit penyakit dan vektor, tidak terbuka kena udara luar sehingga baunya tidak mengganggu (Notoatmodjo, 2010). 3. Tinjauan Tentang Penggunaan Masker a. Pengertian Masker Masker merupakan salah satu alat perlindungan pernafasan dari partikel atau debu yang dapat mengganggu kesehatan terutama pada saluran pernafasan (Wijayakusuma, 2009). Masker adalah alat untuk menutupi hidung, mulut, bagian bawah dagu dan rambut pada wajah (jenggot) untuk mencegah terjadinya penularan penyakit infeksi melalui saluran pernafasan (Depkes RI, 2009). Dari pengertian diatas dapat disimpulkan masker merupakan alat perlindungan penafasan yang menutupi hidung, mulut, bagian bawah dagu, dan rambut pada wajah (jenggot) unutk mencegah terjadinya penularan penyakit infeksi melalui saluran pernafasan.

37

Penggunaan masker secara umum membantu mencegah terhirupnya zat polutan, debu, bakteri hingga virus yang dapat menyebabkan penyakit infeksi saluran pernafasan (Wijayakusuma, 2009). b. Jenis –jenis Masker Menurut Wijayakusuma (2009), masker dapat dibedakan menjadi: 1) Masker kertas tisu Pelindung jenis ini tidak melindungi dari virus dan bakteri yang terbang ke udara dan partikel dapat terhirup. 2) Masker Asap Masker ini pori-pori pelindungnya masih memungkinkan partikel bisa masuk, namun tetap saja memakai masker ini jauh lebih baik dari pada tidak memakai sama sekali. 3) Masker Kapas Bentuknya penuh gaya dan cocok untuk anak kecil, tetapi masker ini tidak terlalu memberikan perlindungan yang memadai. 4) Masker N95 Masker buatan 3M ini bisa dipakai untuk tugas-tugas medis yang cukup berat. Masker ini bisa mencegah partikel masuk kesaluran pernafasan. 5) Masker Bedah Masker ini pada umumnya digunakan operasi bedah di berbagai belahan dunia tetapi masker ini juga dapat digunakan pada berbagai kerperluan lainnya seperti pelindung dari debu, dan perlindungan

38

sehari-hari. Masker ini nyaman dipakai dan harga relative murah serta mudah didapat. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memakai masker bedah : a) Cuci tangan sebelum dan sesudah memakai masker. b) Bagian masker harus pas menutup wajah. c) Bagian berwarna masker menghadap keluar dengan strip logam diatasnya. d) Tali atau pita elastis ditempatkan dengan benar untuk menjaga masker tetap ditempatnya. e) Masker harus benar-benar menutupi hidung, mulut dan dagu. f) Strip logam menempel pada batang hidung dan masker harus pas menutup wajah. g) Hindari menyentuh masker terlalu sering setelah dipasang pada wajah karena akan mengurangi perlindungan. Jika melakukannya cuci tangan setelah menyentuh masker. h) Saat melepaskan masker hindari menyentuh bagian luar masker karena bagian ini kemungkinan banyak kuman. i) Masker bedah harus diganti sekurangnya 1 hari sekali atau setiap hari. Segera ganti masker jika masker rusak atau kotor. c. Tata cara pemanfaatan masker Dalam hal ini WHO (2007), memberlakukan sejumlah tips atau tata cara pemanfaatan masker yang ditujukan mencegah penyakit pernafasan yaitu:

39

1) Penggunaan masker biasa tidak boleh digunakan terlalu lama. Batas pemakaiannya hanya 10 jam. Jika masker sudah dipakai harus segera diganti dengan yang baru. 2) Masker yang dipakai harus menutupi seluruh bagian mulut dan hidung. 3) Masker tidak boleh dibongkar-pasang atau pemakaiannya hanya menutupi sebagian dari mulut atau hidung saja. 4) Penggunaan masker tidak boleh terbalik. Jika terdiri dari 2 warna putih dan hijau maka warna hijau adalah bagian luar. 5) Usai memakai lipatlah masker dengan warna hijau ke dalam sedangkan warna putih diluar. Karena warna hijau dibagian luar saat dipakai bersentuhan langsung dengan udara yang terpapar debu. 6) Idealnya masker diganti setiap 8 jam. 7) Setelah membuka masker, kedua tangan harus dicuci dengan bersih. d. Standar Operasional Prosedur penggunaan masker 1) Pengertian Suatu tindakan keperawatan, yaitu menutup bagian mulut dan hidung sebagai kewaspadaan untuk mengurangi transmisi droplet udara yang mengandung mikroorganisme saat merawat klien yang isolasi, saat membantu prosedur steril, atau saat menyiapkan alat-alat steril untuk areal steril, serta saat berada pada daerah yang banyak mengandung polusi seperti pada industri (Aziz Alimul, 2009). Cara memakai atau penggunaan masker adalah cara untuk mencegah

40

penyebaran infeksi saluran pernafasan maupun pencegahan agen penyebab infeksi saluran pernafasan. Masker bedah jika digunakan dengan benar, efektif dalam mencegah penyebaran infeksi dan transmisi agen penyebab infeksi saluran pernafasan (WHO, 2007). Persyaratan masker yang baik sebagai berikut : 1) Ukuran masker harus cukup melindungi hidung dan mulut. 2) Satu masker hanya dipakai oleh satu orang. 3) Jika menjadi lembap, masker seharusnya diganti karena pada bagian yang lembap kuman dapat cepat berkembangbiak. 4) Masker yang sudah dipakai harus direndam dengan larutan desinfektan ( atau satu kali pakai saja). 2) Tujuan a) Melindungi perawat dari infeksi pernapasan. b) Menghindari penyebaran dan penularan penyakit. c) Mengurangi angka kejadian infeksi. 3) Persiapan alat Masker bersih sekali pakai. 4) Prosedur pelaksanaan a) Temukan tepi atas masker (masker biasanya mempunyai strip logam tipis di tepinya). Masker terbaru dianjurkan mempunyai pita kepala elastis. b) Pegang masker pada kedua tali atau pita bagian atasnya. Ikatkan kedua tali tersebut di atas puncak belakang kepala anda, dengan tali

41

di atas telinga (alternatif : selipkan tali masker ke atas masingmasing telinga). c) Ikat kedua tali bawah dengan kuat sekitar leher, dengan masker tepat bawah dagu. d) Dengan berlahan, cubit pita logam atas sekitar batang hidung. e. Melepaskan masker 1) Jika menggunakan sarung tangan, lepaskan dan cuci tangan. 2) Lepaskan kedua ikatan dan lipat masker menjadi setengahnya dengan permukaan dalam saling berhadapan. 3) Buang masker ke dalam wadah yang telah disediakan (Eni, 2008) C. Penelitian yang terkait Beberapa penelitian yang dilakukan mengenai penyakit ISPA dan hasil penelitian yang bervariasi. Dibawah ini beberapa penelitian yang dilakukan di beberapa tempat mengenai penyakit ISPA. Adapun penelitian dalam jurnal yang terkait dengan judul : 1. Ulfa Rustanti (2010), meneliti tentang Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Penanganan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Puskesmas Cepiring Kecamatan Cepiring Kabupaten Kendal. 2. Triska S.N. dan Lilis. S (2007), meneliti tentang hubungan sanitasi rumah dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada anak balita.

42

3. Ike Suhandayani (2007), meneliti tentang faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian ispa pada balita di puskesmas pati I Kabupaten pati

43

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS A. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual adalah konsep yang dipakai sebagai landasan berfikir dalam kegiatan ilmu (Candra, 2009). Kerangka konseptual dalam penelitian tentang hubungan kejadian Ispa dengan kesadaran pemecah batu dalam dalam penggunaan masker di Desa Padang Loang Kec. Ujungloe Kab.Bulukumba. Pengetahuan Lingkungan

Kejadian ISPA

Penggunaan masker Keterangan Independen : Dependen Gambar 3.1.

: Kerangka Konseptual Penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada pemecah batu di Desa Padang Loang Kec. Ujungloe Kab.Bulukumba.

B. Hipotesis Penelitian Hasil suatu penelitian pada hakekatnya adalah suatu jawaban atas pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan dalam perencanaan penelitian. Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari suatu penelitian ( Notoatmodjo, 2010).

44

1. Hipotesis Ho a. Tidak terdapat hubungan antara faktor pengetahuan dengan kejadian ISPA

pada pemecah batu di Desa Padangloang Kec. Ujung Loe

Kab.Bulukumba b. Tidak terdapat hubungan antara faktor lingkungan dengan kejadian ISPA pada pemecah batu di Desa Padang Loang Kec. Ujung Loe Kab.Bulukumba c. Tidak terdapat hubungan antara faktor penggunaan masker dengan kejadian Ispa pada pemecah batu di Desa Padang Loang Kec. Ujung Loe Kab.Bulukumba 2. Hipotesis Alternatif (Ha) 1. Ada hubungan antara faktor pengetahuan dengan kejadian ISPA pada pemecah batu di Desa Padangloang Kec. Ujung Loe Kab.Bulukumba 2. Ada hubungan antara faktor lingkungan dengan kejadian ISPA pada pemecah batu di Desa Padang Loang Kec. Ujung Loe Kab.Bulukumba 3. Ada hubungan antara faktor penggunaan masker dengan kejadian Ispa pada pemecah batu di Desa Padang Loang Kec. Ujung Loe Kab.Bulukumba

45

BAB IV METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik, dengan pendekatan cross sectional study yaitu penelitian yang dilakukan dengan sekali pengamatan pada suatu saat tertentu terhadap objek yang berubah. B. Populasi dan Sampel 1.

Populasi Populasi pada penelitian ini adalah penderita ISPA pada pekerja pemecah batu di Desa Padang loang Kec. Ujungloe Kab. Bulukumba dengan jumlah 32 orang.

2.

Sampel Jumlah sampel diambil secara proporsional dengan teknik pengambilan sampel ( accidental sampling). (Notoatmodjo, 2010). Cara menentukan ukuran sampel yang praktis adalah dengan formula sebagai berikut : (Notoadmodjo, 2010) a. Kriteria inklusi 1) Pekerja pemecah batu yang sudah bekerja selama 1 tahun di desa Padang Loang Kecamatan Ujung Loe Kabupaten Bulukumba. 2) Bisa membaca dan menulis 3) Bersedia menjadi responden b. Kriteria eksklusi 1) Bukan pemecah batu di desa Padang Loang Kecamatan Ujung Loe Kabupaten Bulukumba.

46

2) Tidak bersedia menjadi responden 3) Tiak hadir saat penelitian C. Variabel penelitian Variabel terikat atau dependen dalam penelitian ini adalah kejadian Ispa pada pemecah batu. Variabel bebas atau independen yakni faktor pengetahuan, lingkungan dan penggunaan masker. D. Defenisi operasional dan criteria objektif 1.

Dependen a. Kejadiaan Ispa Infeksi saluran pernafasan akut adalah suatu keadaan dimana saluran pernafasan (hidung, pharing dan laring) mengalami inflamasi yang menyebabkan terjadinya obstruksi jalan nafas dan akan menyebabkan retraksi dinding dada pada saat melakukan pernafasan Kriteria objektif : Ya

: jika responden tidak mengidap penyakit Ispa

Tidak

: jika responden mengidap penyakit Ispa

Skala ukur

: ordinal

Alat ukur

: observasi

2. Independen a. Pengetahuan Pengetahuan adalah segala sesuatu yang telah diketahui oleh responden tentang penyakit Ispa pada pemecah batu.

47

Kriteria objektif : Baik

: jika skor 56 – 100 %

Kurang

: jika skor < 56 %

Skala ukur

: ordinal

Alat ukur

: kuesioner

Keterangan : 56 – 100 % : menjawab benar 5-10 nomor < 56 %

: menjawab benar ≤ 5 nomor

b. Lingkungan Lingkungan adalah semua yang ada disekitar tempat tinggal dan aktivitas responden yang dapat memicu terjadinya penyakit Ispa. Kriteria objektif : Mendukung

: jika dilingkungan responden tidak banyak debu

Tidak mendukung : jika dilingkungan responden banyak debu Skala ukur

: Ordinal

Alat ukur

: Kuesioner

c. Penggunaan masker Kriteria objektif : Menggunakan

: jika responden menggunakan masker

Tidak menggunakan

: jika responden tidak menggunakan masker

Skala ukur

: Ordinal

Alat ukur

: Kuesioner

48

E. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di desa Padang Loang Kec. Ujungloe Kab. Bulukumba. Hal ini didasari oleh data yang dikumpulkan dari kantor desa Padang Loang setempat bahwa daerah tersebut memiliki prevalensi kejadian Ispa yang cukup tinggi, dan berdasarkan data dari Desa Padangloang dan pengamatan dari peneliti sendiri diketahui bahwa daerah tersebut memiliki keadaan geografis dan pekerjaan yang lebih dominan pemecah batu. F. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2013 G. Instrumen penelitian Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuisioner/angket terstruktur dan lembar observasi. Dengan memberikan pertanyaan tentang pengetahuan dan pernyataan sikap. H. Prosedur pengumpulan data Dalam penelitian ini dikumpulkan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. 1. Data Primer Data ini diperoleh dari hasil wawancara langsung terhadap pekerja batu di desa Padang Loang Kecamatan ujung loe Kabupaten Bulukumba. Data primer ini dikumpulkan dengan menggunakan lembar kuesioner.

49

2. Data Sekunder Data sekunder ini diperoleh dari instansi terkait yaitu di Kantor Desa Padang Loang Kec. Ujung Loe Kabupaten Bulukumba serta literaturliteratur yang terkait dengan penelitian ini. I. Analisa Data 1. Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan cara elektronik, yaitu dengan menggunakan program SPSS, dengan prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Editing Proses editing dilakukan setelah data terkumpul dan dilakukan dengan memeriksa kelengkapan data, kesinambungan data dan keseragaman data. b. Koding Merupakan pemberian kode pada data/ koding kuisioner c. Tabulasi Pembuatan program entry data, cleaning data dan analisis data dalam bentuk table disertai keterangan 2. Analisis Data Setelah

dilakukan

tabulasi

menggunakan metode uji statistik.

data,

kemudian

diolah

dengan

50

a. Analisis Univariat Dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum dan cara mendeskripsikan tiap variabel yang digunakan dalam penelitian yaitu melihat distribusi frekuensinya. b. Analisis Bivariat Analisis data ditunjukkan untuk menjawab tujuan penelitian dan menguji hipotesis penelitian. Untuk maksud tersebut, uji statistic yang akan digunakan adalah uji Chi-Square jika memenuhi syarat uji Chi-Square. Jika syarat tidak terpenuhi maka dipakai uji alternatifnya yaitu uji Fisher. I.

Etika Penelitian Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin kepada Instansi tempat Penelitian yakni. Setelah mendapat persetujuan, kemudian melakukan penelitian dengan menekankan masalah etika yang meliputi (Notoatmodjo, 2010): 1. Lembar persetujuan menjadi responden Lembar persetujuan, diberikan kepada subyek yang akan diteliti. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan, serta dampak yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengumpulan data. Jika responden bersedia diteliti, maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan tersebut. Jika responden tersebut menolak untuk diteliti, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati responden tersebut.

51

2. Anonimity (tanpa nama) Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan namanya pada lembar kuisioner, cukup dengan memberi nomor kode pada masing-masing lembar tersebut. 3. Confidentiality (kerahasiaan) Kerahasiaan responden dijamin oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil penelitian.s

52

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Padangloang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba. Desa Padangloang berada di wilayah Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba yang luasnya ± 10 km2. Di Desa Padang terdapat 1 buah Pustu. Adapun batas Desa Padangloang adalah: - Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Dannuang - Sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Rilau Ale. - Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Mannyalling. - Sebelah barat berbatasan dengan Desa Salemba 2. Hasil Analisis a. Univariat 1) Umur Variabel umur merupakan variabel numerik yang dianalisis manggunakan nilai median, minimal dan maksimal serta 95 % confidence interval. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Desa PadangLoang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba Tahun 2014 Umur

n

%

15-35 36-45 > 46 Total

15 13 4 32

46,8 40,6 12,5 100,0

53

Berdasarkan tabel 5.1 Menunjukkan hampir separuh responden (46,8%) berumur 15-35 tahun dan responden dengan jumlah terkecil adalah responden yang berumur antara > 46 tahun yaitu sebanyak 6 orang (12,5%). 2) Jenis Kelamin Tabel 5.2 Disrtibusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Di Desa PadangLoang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba Tahun 2014 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah

n 22 10 32

Persentase (%) 68,8 31,2 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel tersebut diatas, dari 32 responden terdapat 22 responden dengan jenis kelamin laki-laki (68,8%) dan 10 responden dengan jenis kelamin perempuan (31,2%). 3) Tingkat Pendidikan Tabel 5.3 Disrtibusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Di Desa PadangLoang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba Tahun 2014 Tingkat Pendidikan SD SMP SMA Jumlah

n 11 18 3 32

Persentase (%) 34,4 56,2 9,4 100

Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa terdapat 3 responden dengan tingkat pendidikan SMA (9,4%) dan 18 responden dengan tingkat pendidikan SMP (56,2%) serta 11 responden dengan tingkat pendidkan SD (34,4%).

54

4) Pekerjaan Tabel 5.4 Disrtibusi Responden Berdasarkan pekerjaan Di Desa PadangLoang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba Tahun 2014 Pekerjaan Buruh Jumlah

n 32 32

Persentase (%) 100 100

Berdasarkan tabel tersebut diatas menunjukkan bahwa semua responden bekerja sebagai buruh (100%). 5) Faktor Pengetahuan Tabel 5.5 Disrtibusi Berdasarkan Faktor Pengetahuan Di Desa PadangLoang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba Tahun 2014 Faktor Pengetahuan Baik Kurang Baik Jumlah

n 5 27 32

Persentase (%) 15,6 84,4 100

Berdasarkan tabel tersebut diatas, dari 32 responden terdapat 5 responden dengan pengetahuan baik (15,6%) dan 27 responden dengan pengetahuan kurang baik (84,4%). 6) Faktor Lingkungan Tabel 5.6 Disrtibusi Berdasarkan Faktor Lingkungan Di Desa PadangLoang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba Tahun 2014 Faktor Lingkungan Mendukung Kurang Mendukung Jumlah

n 22 10 32

Persentase (%) 68,8 31,2 100

Berdasarkan tabel tersebut diatas, dari 32 responden terdapat 22 responden yang mendapat dukungan dari lingkungan (68,8%) dan 10 responden yang kurang mendapat dukungan dari lingkungan.

55

7) Faktor Pengggunaan Masker Tabel 5.7 Disrtibusi Berdasarkan Faktor Penggunaan Masker Di Desa PadangLoang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba Tahun 2014 Faktor Penggunaan Masker Mendukung Kurang Mendukung Jumlah

n 23 9 32

Persentase (%) 71,9 28,1 100

Berdasarkan tabel tersebut diatas, terdapat 23 responden yang mendapat dukungan penggunaan masker (71,9%) dan 9 responden yang kurang mendapat dukungan penggunaan masker (28,1). 8) Kejadian Ispa Tabel 5.8 Disrtibusi Berdasarkan kejadian ISPA Di Desa PadangLoang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba Tahun 2014 Faktor Lingkungan Mendukung Tidak Mendukung Jumlah

n 20 12 32

Persentase (%) 62,5 37,5 100

Berdasarkan tabel tersebut diatas, 20 responden menyatakan ada yang mendukung terjadinya ISPA (62,5%) dan 12 responden yang menyatakan tidak ada yang mendukung terjadinya ISPA (37,5%). b. Bivariat 1) Hubungan Faktor Pengetahuan dengan Kejadian Ispa Tabel 5.9 Hubungan Pengetahuan dengan kejadian ISPA Di Desa PadangLoang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba Tahun 2014 Pengetahuan

Baik Kurang Baik

Kejadian ISPA Mendukung Tidak Mendukung n % n % 2 6,2 3 9,4 18 56,3 9 28,1

n 5 27

% 15,6 84,4

Jumlah

20

32

100

62,5

12

37,5

Total

OR (95% CI)

P value

0,333 (0,047-2,386)

0,338

56

Berdasarkan tabel tersebut diatas menunjukkan bahwa 27 responden dengan pengetahuan kurang (84,4%) menyebabkan mendukung terjadinya ISPA dengan persentase (62,5%). Hasil uji statistik dengan menggunakann uji Fisher didapatkan bahwa faktor pengetahuan tidak mendukung terjadinya ISPA (nilai p = 0,338 > α = 0,05). Beradasarkan hasil analisis diperoleh nilai OR 0,333 (CI 0,047-2,386) artinya pengetahuan yang baik mempunyai peluang 0,333 kali mendukung terjadinya ISPA. 2) Hubungan Faktor Lingkungan dengan Kejadian Ispa Tabel 5.10 Hubungan Lingkungan dengan kejadian ISPA Di Desa PadangLoang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba Tahun 2014 Lingkungan

Mendukung Tidak Mendukung

Kejadian ISPA Mendukung Tidak Mendukung N % n % 14 43,8 8 25 6 18,7 4 12,5

n 12 10

% 68,8 31,2

Jumlah

20

32

100

62,5

12

37,5

Total

OR (95% CI)

P value

1,167 (0,251-5,431)

1,000

Berdasarkan tabel tersebut diatas menunjukkan bahwa 12 (68,8%) responden menyatakan lingkungan mendukung terjadinya ISPA dengan

persentase

(62,5%).

Hasil

uji

statistik

dengan

menggunakann uji Fisher didapatkan bahwa faktor lingkungan tidak mendukung terjadinya ISPA (nilai p = 1,000 > α = 0,05). Beradasarkan hasil analisis diperoleh nilai OR 1,167 (CI 0,2515,431) artinya faktor lingkungan mempunyai peluang 1,167 kali mendukung terjadinya ISPA.

57

3) Hubungan Faktor Penggunaan Masker dengan Kejadian ISPA Tabel 5.11 Hubungan Penggunaan Masker dengan kejadian ISPA Di Desa PadangLoang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba Tahun 2014 Lingkungan

Mendukung Tidak Mendukung

Kejadian ISPA Mendukung Tidak Mendukung N % n % 20 62,5 3 9,4 0 0 9 28,1

n 23 9

% 71,9 28,1

Jumlah

20

32

100

62,5

12

37,5

Total

OR (95% CI)

P value

0,130 (0,045-0,375)

0,000

Berdasarkan tabel tersebut diatas menunjukkan bahwa 23 (71,9%) responden menyatakan mendapat dukungan penggunaan masker menyebabkan tidak mendukung terjadinya ISPA dengan persentase (37,5%). Hasil uji statistik dengan menggunakann uji Fisher didapatkan bahwa ada hubungan antara faktro penggunaan masker dengan terjadinya ISPA (nilai p = 0,000 < α = 0,05). Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai OR 0,130 (CI 0,045-0,375) artinya faktor penggunaan masker mempunyai peluang 0,130 kali mendukung terjadinya ISPA. B. Pembahasan 1. Faktor Pengetahuan dengan Terjadinya ISPA a. Hasil penelitian Secara deskriptif menunjukkan bahwa 27 (84,4%) responden dengan pengetahuan kurang mendukung terjadinya ISPA dengan Persentase (62,5%) namun hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa

58

tidak terdapat hubungan antara faktor pengetahuan dengan kejadian ISPA. b. Hasil penelitian yang terkait Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Sugiarto (2010), tentang hubungan antara faktor pengetahuan sikap dan praktik ibu dengan kejadian ISPA pada balita di Kabupaten Pekalongan, mengatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian ISPA dengan nilai (p=0,000). c. Teori yang mendukung Menurut Aziz, ( 2008 ), pengetahuan adalah mencakup ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam bentuk ingatan. Hal-hal itu dapat berupa fakta, kaidah dan prinsip serta metoda yang diketahui. Pengetahuan yang disimpan dalam ingatan, digali pada saat dibutuhkan melalui bentuk mengingat (recall) atau mengenal kembali (recognition). Pengetahuan juga diartikan sebagai pengenalan obyek dengan melalui panca indera, semakin banyak indera yang dirangsang, maka akan meningkat pula pengetahuannya. Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu termasuk ilmu. Pengetahuan dikumpulkan dengan tujuan untuk menjawab semua permasalahan kehidupan sehari-hari yang dialami oleh manusia dan untuk digunakan dalam menawarkan berbagai kemudahan padanya.

59

d. Asumsi peneliti Menurut asumsi peneliti bahwa dengan melihat pengetahuan responden yang kebanyakan kurang baik namun tidak menyebabkan terjadinya penyakit ISPA. Responden sangat mampu menjaga kesehatan diri dengan baik walaupun pekerjaan mereka sangat rentang memungkinkan terjadinya penyakit yang berhubungan dengan saluran pernapasan. Pengetahuan yang lebih bisa saja diberikan kepada responden agar mereka lebih berhati-hati untuk menghindari terjadinya penyakit disaluran pernapasan seperti ISPA. 2. Faktor Lingkungan dengan Terjadinya ISPA a. Hasil penelitian Secara deskriptif menunjukkan bahwa 22 (68,8%) responden menyatakan

mendapat

dukungan

dari

lingkungan

sehingga

menyebabkan adanya dukungan terjadinya ISPA dengan Persentase (62,5%)

namun hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan antara faktor lingkungan dengan kejadian ISPA. Hasil berbeda didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Warouw PS, (2012 ) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan faktor lingkungan dan sosial ekonomi dengan morbiditas ISPA. b. Hasil penelitian yang terkait Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri Festiani (2010) tentang hubungan kondisi faktor lingkungan dan angka kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas

60

Cangkringan Kabupaten Sleman Yogyakarta, yang menyatakan bahwa faktor lingkungan sangat menunjang terjadinya penyakit ISPA dengan nilai p < (0,05). c. Teori yang mendukung Para ahli kedokteran telah menyebutkan bahwa tingkat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut model segitiga epidemiologi, suatu penyakit timbul akibat beroperasinya faktor agen, host dan lingkungan. Menurut model roda timbulnya penyakit sangat tergantung dari lingkungan. Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat penting terhadap timbulnya berbagai penyakit tertentu, sehingga untuk memberantas penyakit menular diperlukan upaya perbaikan lingkungan (Edberg, 2010). Melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan fisik atau daya tahannya terhadap penyakit kurang, akan mudah terserang penyakit. Masalah kesehatan lingkungan utama di negara-negara yang sedang berkembang adalah penyediaan air minum, tempat pembuangan kotoran, pembuangan sampah, perumahan dan pembuangan air limbah. d. Asumsi peneliti Menurut asumsi peneliti bahwa lingkungan dengan gangguan polusi udara didapat setiap hari dengan melihat pekerjaan semua responden sebagai buruh. Tapi dalam hal ini kembali lagi kepada individu, apabila individu tersebut mampu menjaga lingkungan tempat tinggal dan lingkungan kerja dengan baik tidak menutup kemungkinan

61

responden yang berprofsi sebagai buruh terhindar dari penyakit terutama penyakit yang berhubungan dengan saluran pernapsan seperti terjadinya ISPA. 3. Faktor Pengunaan Masker dengan Terjadinya ISPA a. Hasil penelitian Secara deskriptif menunjukkan bahwa 23 (71,9%) responden mendapat dukungan penggunaan masker sehingga menyebabkan tidak terjadinya ISPA dengan Persentase (57,5%) dan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara faktor penggunaan masker dengan kejadian ISPA. b. Hasil penelitian yang terkait Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Farida (2002) tentang hubungan pemakaian alat pelindung diri (Masker) dengan kejadian ISPA ringan pada tenaga kerja di bagian factory PT Dieng Djaya Wonosobo. Berdasarkan pembuktian hipotesis yang dilakukannya, Farida menyimpulkan bahwa ada hubungan bermakna antara pemakaian alat pelindung diri (masker) dengan kejadian ISPA dengn angka probabilitas sebesar 0,025. c. Teori yang mendukung Penggunaan masker merupakan Suatu tindakan keperawatan, yaitu menutup bagian mulut dan hidung sebagai kewaspadaan untuk mengurangi transmisi droplet udara yang mengandung mikroorganisme saat merawat klien yang isolasi, saat membantu prosedur steril, atau

62

saat menyiapkan alat-alat steril untuk areal steril, serta saat berada pada daerah yang banyak mengandung polusi seperti pada industri (Aziz Alimul, 2009). Cara memakai atau penggunaan masker adalah cara untuk mencegah penyebaran infeksi saluran pernafasan maupun pencegahan agen penyebab infeksi saluran pernafasan. d. Asumsi peneliti Menurut asumsi peneliti bahwa penggunaan masker sangat diperlukan karena mengingat semua responden bekerja sebagai buruh. Pekerjaan tersebut sangat rentang terjadinya suatu penyakit yang berhubungan langsung dengan saluran pernapasan seperti ISPA. Dengan adanya penggunaan masker memungkinkan menghindarkan seseorang dari penyakit yang berhubungan dengan saluran pernapasan. Polusi dan debu yang didapat setiap hari dari pekerjaan sebagai buruh dapat dicegah masuk kesaluran pernapasan dengan adanya penggunaan masker. C. Keterbatasan Penelitian Peneliti masih banyak menemukan keterbatasan penelitian. Beberapa keterbatasan penelitian sebagai berikut: 1. Keterbatasan Peneliti Peneliti merupakan peneliti pemula, sehingga banyak hal yang harus dipelajari bersamaan dengan jalannya penelitian. Luasnya daerah penelitian dengan berbagai kendala yang ditemui dan keterbatasan tenaga

63

dari peneliti secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi hasil penelitian 2. Keterbatasan Desain dan Analisa Data Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan Cross Sectional yaitu pengumpulan data atau variabel dependen dan variabel independen dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Jenis analisa data penelitian ini adalah analisa univafiat dan analisa bivariat, yang hanya mencari hubungan variabel independen dan variabel dependen dan tidak menggunakan analisa multivariate, sehingga tidak cukup untuk menentukan kekuatan atau besarnya hubungan antara hubungan variabel independen dan variabel dependen. 3. Keterbatasan Kuisioner Pada pembuatan kuisioner penelitian ini yang berjudul faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya ISPA, peneliti belum menemukan standar baku untuk instrumen variabel tersebut sehingga instrumen penelitian ini dibuat berdasarkan pengetahuan dan pemahaman dari peneliti sendiri dan mengambil dari beberapa referensi. Namun sebelum kuisioner disebarkan, peneliti sudah melakukan uji validitas terlebih dahulu.

64

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Tidak ada hubungan faktor pengetahuan dengan kejadian ISPA terhadap pemecah batu di Desa Padangloang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba (p Value > 0,05). 2. Tidak ada hubungan faktor lingkungan dengan kejadian ISPA pada pemecah batu terhadap pemecah batu di Desa Padangloang Kecamatan Ujungloe Kabupaten Bulukumba (p Value > 0,05). 3. Terdapat hubungan antara penggunaan masker dengan kejadian ISPA pada pemecah batu (p Value > 0,05). B. Saran 1. Bagi praktisi kesehatan harus lebih meningkatkan pelayanan yang lebih berkualitas untu meningkatkan kesehatan buruh pemecah batu. Adakan kegiatan penyuluhan yang dapat meningkatkan pengetahuan para buruh untuk mengetahui penyakit apa saja yang isa terjadi dari pekerjaan yang sedang dikerjakan saat ini. 2. Bagi para buruh agar dapat melakukan pemeriksaan secara rutin dan teratur. 3. Bagi peneliti lain agar dapat menjadi informasi yang bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA. Diharapkan peneliti lain dapat melakukan

65

penelitian mengenai variabel-variabel yang tidak dilakukan oleh peneliti disini.

66

DAFTAR PUSTAKA Anif, Muh. (2008) Apa yang harus diketahui tentang obat. Yogyakarta : Gadjah Mada Universitas Press. Anonim.

2008. Konsep penyakit http://www.google/.com

ISPA.

Diakses

02

Juni

2013.

Chandra, 2009. Metode penelitian keperawatan. EGC: Jakarta Departemen Kesehatan RI, 2009. Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian ISPA. Depertemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta Dinas Kesehatan Kabupaten Bulukumba, 2012. Laporan Penemuan Penyakit ISPA. Dinas Kesehatan Kab. Bulukumba Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan, 2012. Laporan Penemuan Penyakit ISPA. Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan Edberg, Mark. 2010. Buku Ajar Kesehatan Masyarakat Teori Sosial dan Perilaku. EGC : Jakarta Hidayat, A. Aziz Alimul. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Salemba Medika : Jakarta Indah.

2008. Konsep penyakit http://www.google/.com

ISPA.

Diakses

02

Juni

2013.

Kesehatan RI. 2009. Konsep masker. Diakses 02 Juni 2013. http://www.google/.com Kusuma, Wijaya. 2009. Konsep penggunaan masker. Diakses 02 Juni 2013. http://www.google/.com Kusyati, Eni (2008) Keterampilan dan Prosedur Laboratorium Keperawatan Dasar. Jakarta: EGC Notoatmodjo S. 2010. Metodologi penelitian kesehatan. PT Rineka Cipta : Jakarta Siswanto, 2010. Mengenal lebih dini penyakit ISPA. Pustaka Rihana : Yogyakarta STIKES Panrita Husada Bulukumba, 2013. Buku Panduan Penyusunan Karya Ilmiah (SKRIPSI) Program Studi S1 Keperawatan Bulukumba : STIKES Panrita Husada Bulukumba.

67

Warouw PS, 2012. Hubungan Faktor Lingkungan Dan Sosial Ekonomi Dengan Morbiditas Ispa. Direktorat penyehatan lingkungan. diakses 30 Des 2012

More Documents from "abi"