ISLAM DAN PERADABAN MANUSIA
TINJAUAN KEMAJUAN ILMU PENGETAHUAN DAN KEBUDAYAAN Oleh: Suprayetno W
I. APAKAH MASYARAKAT ISLAM ITU ADA ? Pertanyaan di atas merupakan pertanyaan krusial untuk mengukur wujud masyarakat Islam dalam realitas kehidupan. Bila ukurannya adalah produk, maka pertanyaannya adalah mana produk kebudayaan dan peradaban umat Islam yang islami ? Jika ternyata kemudian produk itu tidak ada maka ini berarti bahwa masyarakat Islam itu belum ada, yang ada adalah sekumpulan masyarakat yang beragama Islam. Walaupun sedikit banyaknya masyarakat Islam di berbagai penjuru dunia memiliki kesamaan latar belakang budaya dan agama, tetapi selain dari simbol-simbol/atribut luar yang menunjukkan suatu masyarakat Islam atau tidak maka ciri-ciri khusus yang dimiliki masyarakat Islam yang mampu membedakan umat Islam dari yang non Islam dari segi budaya dan peradaban tidak ada. Khususnya dalam dunia modern ini. Ini disebabkan karena: pertama, dalam masyarakat Islam agama bukan menjadi faktor pembeda. Kedua, respon umat Islam terhadap dunia modern tidak seragam. 1 Namun demikian merupakan hal yang sangat prematur bila dikatakan bahwa warisan kebudayaan dan peradaban Islam saat ini sedang vakum, sebab dinamikanya masih ada. Ini ditunjukkan oleh fakta-fakta berikut: 1. Latar belakang keislaman merupakan faktor penentu dalam kehidupan spiritual dan bentuk budaya dari sebagaian masyarakat Islam di era modern. 2. Masyarakat Islam masih saling bertukar problem dan harapan berkaitan dengan kebudayaan Islam di era modern walaupun (terkadang) dalam keadaan sulit. 3. Kesadaran akan posisinya dalam dunia modern membuat masyarakat Islam kemudian membangun kesadarannya akan eksistensi dan peranannya dalam dunia modern. 2 Fakta-fakta ini membangkitkan sikap optimis pada diri umat Islam untuk mewujudkan suatu kebudayaan dan peradaban Islami dalam seluruh tatanan kehidupan manusia di dunia. Pertanyaannya kemudian bagaimana mewujudkannya ? II. BAGAIMANA MERAIHNYA ? Untuk mewujudkan cita-cita suci di atas ada beberapa hal yang harus dilakukan umat Islam: Pertama, melakukan reskonstruksi sistematis terhadap aspek-aspek teologi, hukum dan etika, filsafat, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu humaniora, ilmu-ilmu fisika: 3 1
Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, jilid 3, 166. Marshall G.S. Hodgson, The Venture, 167. 3 Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1985), 182-96. Dalam hal ini Isma’il Raji al-Faruqi mengembangkan konsep integrasi ketauhidan dengan aspek-aspek: Sejarah, Pengetahuan, Metafisika, Etika, Tata sosial, Ummah, 2
1
Kedua,
mengembangkan,
memperkaya,
melipatgandakan,
meningkatkan,
memperluas dan menyebarluaskan pendidikan sampai kepada dimensi masyarakat secara keseluruhan. Ini merupakan hal yang sangat urgen sebab pendidikan saat ini semakin menjadi kebutuhan pokok setiap individu. Dalam bidang pendidikan setidak-tidaknya ada beberapa hal yang urgen untuk dilakukan: a. Modernisasi sistem pendidikan Islam yang bertujuan untuk membuat produktifitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterikatan yang serius kepada Islam. b. Penghapusan dikhotomi pendidikan. Dengan demikian alumnus pendidikan Islam akan mampu mengintegrasikan kebutuhan dunia dan akhirat dalam semua aktifitasnya. Khusus dalam bidang keilmuan ini bertujuan untuk: (1) membentuk watak ilmuan Islam dengan nilai-nilai Islam dalam kehidupan pribadi dan masyarakat, (2) memungkinkan para ahli yang berpendidikan modern untuk mengembangkan bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam.4 c. Penggalakan pendidikan non formal. Revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi, derasnya arus informasi, dan faktor-faktor sosial ekonomi lainnya, telah banyak mengubah sistem pendidikan di dunia, dan memaksa manusia untuk menggunakan sejumlah besar sektor pendidikan non formal, sebab pendidikan formal ternyata tidak mampu menampung seluruh aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Kesulitan terbesar untuk ini adalah biaya yang dibutuhkan untuk membangun gedung-gedung pendidikan, namun bila umat Islam mampu mengembalikan fungsi mesjid sebagai pusat kebudayaan, atau dalam hal ini, sebagai lembaga pendidikan non formal maka kesulitan ini sudah teratasi. Mengapa harus mesjid ? Jawaban tentang ini akan diuraikan tersendiri dalam makalah ini. Ketiga, mengoptimalkan fungsi lembaga-lembaga keagamaan yang telah terbentuk dan membentuk lembaga-lembaga agama lain yang dibutuhkan dalam pencapaian pengembangan kebudayaan dan peradaban Islam di dunia ini. Yang perlu dicermati, diantisipasi dan diatasi adalah dilema-dilema yang muncul dalam pelembagaan agama. Dalam hal ini ada lima dilema, 5 yaitu : a. Dilema motivasi campuran, yakni percapuran antara motivasi dunia dan motivasi akhirat yang terkadang secara ekstrim mengambil salah satunya. Padahal jika dikaji secara cermat dalam ajaran Islam keduanya tidak pernah dipisahkan, apalagi secara ekstrim. b. Dilema simbolis yang terjadi akibat perseteruan antara objektifitas dengan alienasi. Maksudnya yaitu sarana simbolis yang tadinya bertujuan untuk menimbulkan kebiasaan akhirnya kehilangan kekuatannya untuk membentuk sikap dan prilaku. Ironisnya, sebagian lembaga keislaman malah terjebak dalam kehidupan materialis sekular atau spiritual formal sehingga kehilangan ruh jihadnya. Keluarga, Tata Politik, Tata Ekonomi, Tata Dunia dan Estetika. Lebih lanjut baca Isma’il Raji al-Faaruqi, Tawhid: Its Implication for Thought and Life, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988). 4 Fazlur Rahman, Islam, 155-57. 5 Thomas F. O’Dea, The Sociology of Religion, (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, 1966), 90-97.
2
c. Dilema tertib administrasi yang terjebak dalam elaborasi dan alienasi, struktur jabatan birokratis yang akhirnya tidak mampu berfungsi dalam menanggapi masalah dan kondisi baru umat. d. Dilema pembatasan antara batasan konkrit versus substitusi sertifikat iman e. Dilema kekuasaan yang berwujud antara lain dengan perubahan prilaku hasil konversi versus paksaan. Hal menyedihkan yang terkadang terjadi adalah keimanan merupakan hasil pendapat umum dari pembenaran sukarela yang disetujui dan didukung oleh penguasa. Keempat, pembentukan dan penyebarluasan kebudayaan dan peradaban Islam. Ini merupakan titik akhir dari perjuangan umat Islam terhadap kebudayaan dan peradaban manusia. Point ini sangat urgen sebab kebudayaan dan peradaban yang sekarang ini ini terbangun dari gagasan-gagasan hayali, menyuramkan keyakinan, merasuknya ideologiideologi baru ke dalam lahan-lahan intelektual yang dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan yang berseberangan dengan Islam yang kemudian membentuk keyakinan-keyakinan baru yang menyesatkan yang pada akhirnya mengaburkan wawasan dan pandangan manusia tentang dirinya dan alam semesta. Dengan demikian bangunan peradaban Ilahiah perlu dikembangkan agar dapat mengembalikan manusia ke dalam bangunan intelektual keimanan yang hidup atas, dengan dan untuk Allah.6 Kegagalan dalam point ini akan mengakibatkan kegagalan penyebaran ilmu pengetahuan dan berarti pula kegagalan menyahuti wahyu pertama yang diturunkan Allah pada Rasulullah Muhammad saw. yang menjadi inti kehidupan manusia. Sebab ilmu pengetahuan hanya dapat tumbuh dan berkembang dalam peradaban dan kebudayaan yang berkembang pesat. Hal ini disebabkan karena penyebaran ilmu membutuhkan keahlian dan pesatnya pertumbuhan keahlian tergantung pada besar atau kecilnya peradaban, kebudayaan dan kemewahan yang dinikmati di daerah-daerah yang perekonomiannya telah maju. Sebab penghasilan mereka telah melebihi dari kebutuhan mereka sehingga mereka dapat menyalurkan kepada aktifitas-aktifitas pengembangan ilmu pengetahuan.7 III. MESJID SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN NON FORMAL Fakta historis menyatakan bahwa para Nabi dan Rasul mendidik umatnya melalui institusi pendidikan non formal dengan hasil yang gemilang. W. Owen Cole dalam bukunya World faiths in Education menyatakan bahwa, “since the advent of Islam, the mosque has been the centre of all activities. It was the place from which the prophet, and caliphs after him, managed affairs of state, it also served as the centre for the education of the Muslim Community”. Mesjid sekarang merupakan salah satu alternatif dalam mengembangkan pendidikan non formal dalam upaya mencapai pemerataan ilmu pengetahuan, atau dalam arti lain 6 7
Syed Habibul Haq Nadvi, The Dynamics of Islam, terj. Asep Hikmat, (Bandung: Risalah, 1982), 194-200. Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 541-43.
3
mencapai demokrasi pendidikan. Sebab proses dan sistem pendidikannya tidak terikat dengan lembaga apapun – kecuali dalam kasus-kasus yang khusus pada mesjid-mesjid pemerintah atau milik suatu instansi atau organisasi. Faktor lain, keterbatasan dan keketatan sistem lembaga pendidikan formal mau tidak mau harus ditembus dengan pendidikan non formal dalam usaha mencapai masyarakat Islam yang tidak saja bertaqwa, melainkan juga dinamis dan berperan aktif dalam pembangunan bangsa. Tentu saja usaha pendidikan ini harus dianekaragamkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Sebab bagaimanapun setiap sistem pendidikan merupakan komponen dari lingkungan tempat kelompok individu hidup, dan ia turut membentuk metode, isi dan program pendidikan. Usaha seperti ini tidak mudah dilakukan – setidak- tidaknya untuk saat ini – sebab saat ini mesjid tidak lagi menjadi tempat dimana dibentuk, dituntun, dikendalikan, dikembalikan jiwa atau cita dari kehidupan sosial, ekonomi, politik, ilmu, kesenian, dan filsafat. Mesjid hanya tinggal sebagai tempat ibadah. Untuk itu ada beberapa langkah yang harus dilakukan: 1. Memperbaiki sistem pengelolaan mesjid secara professional, baik untuk lingkup interen maupun eksteren. 2. Menciptakan iklim yang dapat memotivasi masyarakat untuk datang ke mesjid secara teratur dan berkesinambungan. 3. Sosialisasi pendidikan non formal di mesjid dengan menggerakkan umat, terutama para remaja dan pemuda untuk giat belajar. Belajar sangat diperlukan dalam Islam, sebab ia menyangkut segala sesuatu dalam hidup seseorang dan masyarakat, termasuk sumber-sumber sosial, ekonomi, maupun pendidikan. Maka dengan demikian harus diupayakan perombakan sistem pendidikan kita untuk sampai pada tingkat masyarakat yang gemar belajar. Sebab inilah proporsi yang sebenarnya untuk mencapai masyarakat Islam yang dinamis dan fungsional. Ia dapat diartikan sebagai proses jalinan yang erat antara pendidikan dan struktur sosial, politik, ekonomi yang meliputi kesatuan keluarga dan kehidupan warga masyarakat Muslim. Ini berarti bahwa setiap warga masyarakat Muslim harus memiliki sarana yang dapat diperolehnya secara bebas untuk belajar, melatih dan mengembangkan diri sendiri, atau untuk belajar dan mengajar dalam keadaan apapun. Untuk itu perlu diwujudkan dan dikembangkan perpustakaan mesjid. Sebab dengan memperkaya khazanah literatur maka akan terlahir masyarakat yang dinamis dan kritis. Yang mungkin menjadi masalah adalah bagaimana memotivasi masyarakat untuk mampu menyempatkan diri melaksanakan self education ini disamping kesibukannya seharihari. Keberhasilan pendidikan diri sendiri (self education) telah dibuktikan hasilnya oleh sejarah, bahwa pada masa awal-awal Islam ilmu pengetahuan Islam berpusat pada individuindividu dan bukan pada sekolah-sekolah. Para ilmuwan Islam pada masa itu telah
4
membangun disiplin ilmunya sendiri-sendiri. Reputasi keilmuwan mereka kemudian menarik orang-orang dari jauh atau dekat untuk belajar kepada mereka. Sungguh, banyak benarnya bila dikatakan bahwa, bahkan pada akhir abad pertengahan, mayoritas ilmuwan-ilmuwan yang masyhur bukanlah produk madrasah-madrasah, tetapi adalah produk pendidikan informal dari guru-guru individual. Islam menuntut agar umatnya belajar, mengamalkan dan menyebarluaskan ilmu. Sebab bagaimanapun banyaknya ilmu yang dikuasai seseorang tanpa diamalkan maka semuanya itu tidak akan ada manfaatnya. Penyebaran ilmu merupakan hal yang urgen. Sejarah bangsa dan agama kita telah membuktikan bahwa tidak ada bahaya lain yang dapat meruntuhkan umat kecuali kebodohan. Sebab kebodohan merupakan pangkal kemiskinan dan kemiskinan pangkal kekafiran. Jika pemerataan pengetahuan yang sangat ditekankan dalam Islam dan masyarakat yang gemar belajar serta mengamalkan ilmunya telah tercapai, maka akan tercipta masyarakat Islam yang takwa, dinamis, dan fungsional. Hal yang telah diuraikan di atas telah terbukti pada masa keemasan Islam. Saat itu kaum Muslimin merupakan pendukung utama dari seluruh kebudayaan dan peradaban di seluruh dunia, mereka menemukan, memperkaya, serta mengantar ilmu pengetahuan filsafat hingga melahirkan renaisance di Eropa Barat pada pertengahan abad ke VIII dan permulaan abad ke XIII. Di antara para ilmuwan Islam itu adalah: Ibnu Khaldun yang Muqaddimahnya merupakan suatu karya yang bukan saja mengantarkan kepada ilmu sejarah tetapi juga merupakan peletak dasar sosiologi, ia dianggap sebagai pencipta ilmu baru dalam tujuan dan hakekat sejarah. Atau setidak-tidaknya sebagai peletak dasar Ilmu Pengetahuan Sosial, karena sebelumnya tidak ada penulis Arab dan Eropa yang mempunyai pandangan sejarah seperti dia. Dalam dunia sastra dikenal Ibnu Zaidun yang karya-karyanya menyebar ke Spanyol dan sangat mengagumkan masyarakat Kristen Spanyol dan memberikan pengaruh yang kuat bagi mereka. Dalam bidang Ilmu Bumi, Astronomi, dan Ilmu Pasti, dunia Barat menerima sejumlah sumbangan pendapat-pendapat baru, antara lain mengenai penentuan dan letak bintang dalam derajat bujur dan lintang. Jejak dalam bidang ini dapat dilihat dalam istilah-istilah astronomi yang masih digunakan sampai sekarang, seperti acrab (aqrab), azimuth (al sumut) dan lainlain yang diadopsi dari bahasa Arab. Salah satu yang penting dalam ilmu pasti adalah penggunaan angka nol dan angka Arab untuk sistem bilangan, yang segera merombak sistem angka desimal yang rumit. Dalam bidang Biologi dikenal risalah Ibnu Al Awwan dari Selvia yang membuat uraian tentang 585 jenis tanaman dan menerangkan pembiakan lebih dari 50 buah pohon buah-buahan, juga menerangkan tentang cara bercocok tanam.
5
Dari fakta-fakta sejarah di atas, terlihat bahwa bahasa Islam memegang peranan penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan karena para ilmuan Islam pada masa itu bekerja dan berkarya semata-mata memenuhi tuntutan Iqra’ dengan semangat keagamaan yang besar. Untuk meraih apa yang pernah diraih oleh pendahulu-pendahulu Islam pada masa keemasan, sistem pendidikan formal yang dianut sekarang perlu dirubah. Sebab, pertama, sistem pendidikan umum (non agama) yang dianut sekarang merupakan adopsi dari sistem pendidikan negara-negara non Islam yang jelas di dalamnya tidak terdapat seruan-seruan Islam. Hal ini dapat diantisipasi dengan pendidikan non formal di mesjid, sebab mesjid merupakan tempat pertemuan umat dari segala lapisan masyarakat untuk menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah dan mengungkap hukum-hukum agama Islam. Kedua, kurikulum pendidikan formal dipenuhi oleh target-target yang sulit dijangkau. Sebaliknya pendidikan non formal di Mesjid dapat disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat. Atau dengan kata lain demokrasi pendidikan di mesjid lebih tinggi, sebab setiap orang mempunyai kesempatan untuk belajar, bebas memilih subjek, dan bebas memilih guru. Mengubah sistem pendidikan umum untuk menjadi pendidikan umum yang Islami tidaklah mudah. Sebab ia menyangkut berbagai aspek yang saling berkait satu sama lain. Usaha yang bisa dilakukan adalah menutupi kelemahan sistem pendidikan umum tersebut dengan pendidikan formal yang mengkhususkan diri dalam bidang agama Islam. Namun sekolah-sekolah yang mengkhususkan diri pada bidang agama pada umumnya memiliki kelemahan-kelemahan pula, antara lain: Pertama, pada umumnya sarana dan fasilitas yang dimiliki jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan sekolah umum. Kedua, materi yang diberikan sering sekali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern sehingga alumnusnya tidak mampu memecahkan problema aktual yang melanda masyarakat. Memperbaiki sistem pendidikan pada sekolah-sekolah umum dan agama adalah jalan keluarnya, namun ini juga hal yang sulit dilakukan, karena peranan pemerintah dalam hal ini sangat besar. Tidak bisa tidak, bahwa pendidikan non formal bagi masyarakat Islam dengan menjadikan mesjid sebagai wahananya harus digalakkan, sebab — seperti yang telah disinggung di atas— demokrasi pendidikannya sangat tinggi. Sungguh, apabila fungsi mesjid dapat direstorasi sebagaimana pada masa Rasulullah dan sahabat, maka tidak bisa tidak, masyarakat Islam yang dinamis dan fungsional akan tercapai. Selain bidang-bidang keagamaan, bidang-bidang lain yang penting untuk diberikan pada pendidikan non formal di mesjid ini adalah bahasa Arab dan keterampilan. Bahasa Arab penting bukan saja karena bahasa Arab merupakan bahasa yang digunakan dalam Alqur’an dan Hadits serta merupakan alat untuk menggali warisan-warisan intelektual Islam, namun juga untuk hubungan internasional antara umat Islam, sehingga mereka saling mengetahui keadaan masing-masing saudaranya. Dengan demikian diharapkan dapat mengukuhkan persatuan dan kesatuan umat Islam. Bidang keterampilan juga penting diberikan kepada
6
jamaah mengingat bahwa pasaran kerja menghendaki seseorang untuk memiliki keterampilan khusus, seperti komputer dan management. Diharapkan pula dengan keterampilan yang dimiliki, para jamaah mesjid bukan saja mampu memasuki dunia pasaran kerja tetapi juga mampu menciptakan lapangan kerja. Untuk ini, salah satu hal yang dapat ditempuh oleh badan kenaziran mesjid adalah dengan bekerjasama dengan Balai Latihan Kerja maupun organisasi-organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat. Untuk mencapai ini semua diperlukan pemimpin dan pengurus mesjid yang beraktifitas tinggi, berwawasan luas, berdedikasi tinggi, dan memiliki pengendalian emosi yang tinggi. Kendala dalam hal ini adalah, keuangan mesjid — yang pada umumnya diperoleh dari infaq jamaah — belum mampu untuk menggaji nadzir mesjid yang berkualitas sebagaimana tuntutan di atas. Sayangnya banyak pula mesjid-mesjid yang kemampuan finansialnya sangat tinggi terjebak pada pembangunan fisik mesjid. Dalam hal ini perlu kembali direnungkan Sabda Rasulullah saw.: “Tidak akan datang kiamat (bagi umat Islam) hingga orang-orang bermegah-megah dengan mesjid” (HR. Ahmad, Abud Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah, dari Anas ra). Hadits ini merupakan peringatan bagi umat Islam untuk tidak hanya terfokus pada pembangunan fisik, tetapi juga harus memperhatikan pembangunan dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan. IV. KEMUNGKINAN MEWUJUDKAN POLITIK ISLAM Kata “kemungkinan” dalam sub judul di atas merupakan landasan pijakan diskusi dalam pembahasan ini yang akan mengulas optimisme dan pesimisme di balik islamisasi politik, khususnya etika politik, di Indonesia dengan pendekatan normatif, fenomenologis dan psikologis. Sedangkan kata “mewujudkan” dalam sub judul di atas sengaja dipilih mengingat: Pertama, usaha-usaha islamisasi dalam berbagai bidang, termasuk etika, telah beberapa dekade dibangun oleh umat Islam. Kedua, bangunan-bangunan islamisasi tersebut belum berwujud secara menyeluruh atau dengan kata lain belum menyentuh semua lapisan sosial umat Islam. Ketiga, di era reformasi ini banyak partai politik yang menyatakan sebagai partai Islam yang tentunya menambah optimisme usaha mewujudkan islamisasi politik di Indonesia. Dalam Islam, hukum dan etika politik ditempatkan dalam Fiqh Siyasah atau Siyasah Syar‘iyah yang merupakan bagian integral hukum dan etika Islam yang isinya berkenaan dengan semua hukum, kebijaksanaan dan peraturan yang berfungsi untuk mengorganisir perangkat kepentingan negara dan urusan umat. Pembentukan partai politik yang kemudian melahirkan kegiatan pemilihan pimpinan jelas sangat penting dalam Islam, sebab ia berhubungan dengan penciptaan kemaslahatan umat yang sangat tergantung pada amar ma‘ruf nahi munkar. Usaha-usaha amar ma‘ruf nahi munkar ini perlu standard yang baku, tegas dan jelas guna menghindarkan kesimpangsiuran
7
dan ketidakpastian hukum dan etika serta untuk menciptakan keseragaman wujud amaliah umat. Selanjutnya hukum dan etika yang baku juga befungsi untuk mencegah kezaliman, mengatasi perselisihan serta menghindarkan kekacauan dalam masyarakat. Hal ini semakin urgen untuk dilakukan bila kekerasan, kejahatan dan keburukan semakin merebak dalam masyarakat sebab kekerasan, kejahatan dan keburukan yang berlebihan akan menghancurkan negara dan bangsa. Untuk itu bukan saja diperlukan standard hukum dan etika yang baku, tegas dan jelas; lebih dari itu ia memerlukan konsensus sosial. Dalam hal konsensus sosial Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyatakan bahwa gerakan kebajikan tidak dapat dilaksanakan secara individual, sebab tanpa didukung oleh konsensus sosial gerakan ini akan mengalami kegagalan. Dengan kata lain, perwujudan etika islami dalam perpolitikan Indonesia harus mendapat dukungan dari segenap umat Islam Indonesia tanpa kecuali. Etika islami tersebut harus mengikat semua umat bila ia memenuhi persyaratan berikut: 1) Ditetapkan melalui musyawarah. 2) Tidak memberatkan/mempersulit umat. 3) Mencegah hal-hal yang negatif dan destruktif. 4) Mewujudkan kemaslahatan umum. 5) Menciptakan keadilan. 6) Tidak bertentangan dengan nas-nas/dalil yang qat‘iy. Masalahnya kemudian adalah, sejak penerimaan gagasan nation-states dan nasionalisme di semua negara Islam terjadilah liberalisasi politik dari pengaruh Islam (syariah). Lebih jauh lagi, sistem nasionalisme yang dibangun di negara-negara Muslim lebih menekankan kesetiaan kepada bangsa dari pada keislaman. Hasilnya, walaupun sebagai agama Islam tidak akan pernah kehilangan signifikansinya, namun Islam tidak lagi menjadi faktor penting dalam sistem kenegaraan, tidak juga menjadi rujukan pokok dalam tatanan politik dan pengambilan kebijaksanaan. Sejalan dengan itu, tuntutan untuk kembali kepada Islam (revitalisasi Islam) dalam berbagai bidang, termasuk politik, muncul beberapa dekade ini. Tuntutan ini setidak-tidaknya dimotivasi oleh empat hal: posisi negara-negara Islam yang semakin memburuk, dampak destruktif dari perubahan yang cepat dalam masyarakat Islam, krisis yang dialami dari penerapan ideologi sekuler dalam sistem politik di negara Islam, serta kepercayaan yang kuat di kalangan umat Islam bahwa kembali ke Islam merupakan alternatif terbaik. Kendala mewujudkan tatanan politik islami (Nizâm al-Islamî) – yang di sosialisasikan para pembaharu Islam – adalah bahwa sistem ini tidak terdapat dalam al-Qur'an maupun Hadits. Ali Abdul Raziq dalam karyanya al-Islam wa Usul al-Hukm (Islam dan Bentuk Pemerintahan) menyatakan bahwa Islam bukanlah satu idiologi politik atau satu bentuk negara, dan al-Qur'an dan Sunnah tidak menyediakan dukungan hukum untuk bentuk negara Islam. Lebih lanjut, Bassam Tibi dalam artikelnya Islam and Arab Nationalism menyatakan bahwa walaupun dalam sejarah pemikiran kelasik Islam terdapat pembahasan dalam bidang
8
politik, namun pembahasan itu hanya terbatas pada kualifikasi pemimpin/pemerintah dan batasan kekuasannya dalam syariah. Senada dengan ini, Wilfred C. Smith dalam bukunya The Meaning and End of Religion menyatakan “This term [nizâm], how ever, does not occur in the Qur'an, nor indeed does any word from this root: and here is some reason for wondering whether any Muslim ever used this concept religiously before modern times. The explicit notion that life should be or can be ordered according to a system, even an ideal one, and that it is the business of Islam to provide such a system, seems to be a modern idea.” (Istilah ini [nizâm] ternyata tidak terdapat dalam al-Qur'an, tidak juga satu katapun dari akar katanya: dan disinilah alasan untuk bertanya-tanya apakah ada kaum Muslim yang pernah menggunakan konsep ini secara keagamaan sebelum masa modern. Gagasan agar hidup harus atau dapat di atur dalam satu sistem, walaupun sesuatu yang ideal, dan tugas Islam untuk menyediakan satu sistem [nizâm] merupakan gagasan modern.) Kesulitan lain dalam mewujudkan tatanan politik islami adalah, walaupun secara umum ide sekularisme tidak diterima dalam Islam, namun kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Islam lebih banyak mempraktekkan sekularisme. Hal ini merupakan pengaruh dari kolonialisme yang kemudian diperdalam oleh ideologi pembangunan di seluruh masyarakat Muslim, yang pada akhirnya mereka mengadopsi semua atribut dan materi modernitas. Bahkan menurut Mohammed Arkoun dalam artikelnya The Concept of Authority in Islamic Thought: Lâ hukma illâ lillâh gerakan-gerakan fundamentalisme Islam – yang mengklaim anti skularisme dan mendengungkan gagasan kembali ke ajaran Islam – bersikap dan berprilaku sekuler dalam kehidupan, profesi dan dalam memenuhi kebutuhan mereka. Dalam hal politik ia menyatakan bahwa semua rejim politik di masyarakat Islam setelah kemerdekaannya dari penjajah secara de facto adalah sekuler, didominasi oleh model Barat, terputus dari teori Islam kelasik tentang pemerintah dan kekuasaan, juga terputus dari pemikiran modern. Richard P. Mitchell dalam artikelnya The Islamic Movement: Its Current Condition and Future Prospects dengan pesimis menyatakan bahwa sekularisme akan tetap menjadi isu penting dalam dunia Islam dan mungkin tidak akan pernah dapat diselesaikan secara keseluruhan sebagaimana yang terjadi pada Agama Katolik. Merupakan hal ironis memang, walaupun sistem politik sekuler telah terbukti gagal mengangkat harkat umat Islam dan berpuluh-puluh tahun umat Islam berjuang untuk meninggalkan sekularisme dan berjuang untuk pengislamisasian segala aspek kehidupan umat, namun yang nampak sebagian besar umat Islam tetap semakin sekuler. Sebagian umat Islam ternyata alergi dengan penerapan sistemnya sendiri sehinga terdapat kontradiksi antara ajaran Islam dengan realitas pengamalannya dalam kehidupan. Pertentangan idealisme doktrin agama dengan realitas sikap dan prilaku umat beragama inilah yang mendorong A.N. Wilson, seorang wartawan dan novelis Inggris,
9
menulis buku Against Religion: Why We Should Try to Live Without It. Pada halaman pertama bukunya ia menyatakan : “… It Might be truer to say that the love of God is the root of all evil. Religion is the tragedy of mankind. It appeals that is noblest, purest, loftiest in the human spirit, and yet there scarcely exists a religion which has not been responsible for wars, tyrannies, and suppression of the truth… [religion] is much deadlier than opium … It excites them to persecute one another, to exalt their own feelings and opinions above those of others, to claim for themselves a possession of the truth” (… Mungkin lebih benar lagi kalau dinyatakan bahwa cinta kepada Tuhan merupakan akar segala kejahatan. Agama merupakan tragedi umat manusia. Ia mengajak kepada hal-hal yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada satu agamapun yang tidak turut bertanggungjawab atas berbagai peperangan, tirani dan penindasan kebenaran… [agama] lebih mematikan dari candu… agama mendorong orang untuk menganiaya satu sama lain, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bahwa diri mereka sendirilah pemilik kebenaran). Pernyataan Wilson di atas tentu akan disangkal oleh para penganut agama dengan menyatakan bahwa ajaran agama adalah suci dan tidak mungkin salah, kalaupun terjadi tragedi di atas tentu kesalahan terletak kepada penganut agamanya yang tidak mampu memanifestasikan ajaran agama dalam kehidupan. Namun jawaban seperti ini akan melahirkan pertanyaan baru: Jika agama memang mengandung kebenaran, mengapa hanya sedikit diantara pemeluk agama yang wataknya dipengaruhi oleh agama yang dianutnya ? Dan jika kebenaran agama tersebut sulit diamalkan penganutnya lalu bagaimana membuktikan kebenaran ajaran agama tersebut ? Nurcholish Madjid pernah melontarkan ungkapan “Islam, Yes; Partai Islam, No”8 dan sejalan dengan itu John Naisbitt dan Patricia Aburdence dalam Megatrends 2000, Ten New Directions for the 1990’s mengusung ungkapan “Spirituality, Yes; Organized Religion, No”.9 Jika di lihat sekilas dengan munculnya berbagai partai politik Islam dan gerakan-gerakan islamisasi di Indonesia ungkapan tersebut tidak mengandung kebenaran. Namun bila dikaji lebih dalam ungkapan di atas tetap menunjukkan kebenarannya dengan alasan: Pertama, dasar pembentukan sebagian partai Islam bukan untuk penegakan Islam melainkan pencarian identitas diri, kedudukan dan kememewahan. Kedua, para pengurus partai Islam belum seluruhnya bersikap dan berprilaku islami. Ketiga, bentuk gerakan partai politik Islam lebih cenderung berbentuk kultus kepada ketokohan seseorang daripada visi, misi, dan aktivitas partai. Dalam hal ini Azyumadi Azra menyatakan bahwa pemikiran di atas tidak muncul secara tiba-tiba ia bukan gejala yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan kesinambungan 8
Martin van Bruinessen, "Global and local in Indonesian Islam", dalam Jurnal Southeast Asian Studies (Kyoto), vol. 37, no.2 (1999), hlm. 46-63.
9
John Naisbit dan Patricia Aburdence, Megatrends 2000, Ten New Directions for the 1990’s, (New York: Avon Books, 1991), hlm. 295.
10
dari gejala-gejala historis sebelumnya. Perubahan yang datang sudah barang tentu sesuai dengan kimpleksitas situasi sosial historis dan sosial politik yang melingkupinya.10 Dengan jargon ini Nurcholish Madjid ingin menegaskan pendiriannya bahwa komitment utama umat terhadap Islam adalah pada sumber nilai dan etiknya, bukan pada lembaga keislaman, termasuk partai Islam. Apalagi kenyataan menunjukkan bahwa sampai saat ini belum ada partai Islam telah berhasil membangun citra yang baik, dan mampu menjadi media penyalur aspirasi umat islam, yang ada adalah partai Islam yang bersikukuh berjuang untuk kepentingan golongan dan pribadi pemimpinnya. Pengkultusan tokoh sentral partai merupakan akibat gejala-gejala negatif yang ditimbulkan oleh pemerintahan masa Orde Baru dan Orde Reformasi terhadap umat Islam yang mengalami keterasingan dari agamanya sendiri dan mengakibatkan ketidaktenangan dalam diri umat Islam. Sehingga partai politik Islam dianggap masyarakat sebagai solusi alternatif. Di sinilah kemudian letak penggunaan dan penyalahgunaan problem psiko-religius umat oleh partai politik dengan semboyan-semboyan dan tawaran-tawaran solusi serta janjijanji perbaikan yang memberikan hasil sementara dan jawaban sementara terhadap persoalan hidup umat Islam. Atau dengan kata lain, efek yang diberikan bersifat palliative, yakni memberi hiburan cepat dan berjangka pendek guna pengumpulan suara dalam pemilu – yang biasanya setelah pemilu terbukti ada unsur kepalsuan di dalamnya. Namun karena pada dasarnya – sebagaimana partai-partai yang bukan partai Islam – partai-partai Islam juga menawarkan solusi permasalahan sosial, psikologis, ekonomi, keamanan dan keadilan umat maka ia tetap menarik banyak orang untuk terlibat di dalamnya. Sehingga, walaupun dalam sedikit kasus, kultus tokoh sentral partai menggiring pada penyesatan umat, dan juga kultus tersebut mudah ditransformasikan menjadi dasar pembenaran tindakan sang tokoh dan partai bahkan terkadang sampai menjadi dasar pembenaran prilaku kekerasan terhadap orang-orang yang tidak separtai dan tidak sefaham. Faktor-faktor psiko-sosial penyebab tumbuh suburnya kultus terhadap partai politik dan tokoh sentralnya antara lain, krisis identitas diri; kehilangan harga diri; kehilangan kepercayaan diri; dislokasi kejiwaan; disorientasi; deprivasi relatif; ketidakmerataan distribusi informasi, pendapatan, dan kesempatan; perubahan sosial yang cepat dan luas; globalisasi; kederasan arus informasi dan transformasi; serta kecepatan perkembangan teknologi. Erich Fromm, seorang ahli Psikologi, dalam karyanya Escape from Freedom menyatakan bahwa tekanan perubahan sosial mengakibatkan orang bingung dan tidak tahu apa yang harus diperbuat sehingga mereka tidak mampu melahirkan keputusan sendiri dalam berbagai urusan, kemudian menyerahkan segalanya kepada keputusan tokoh yang dianggapnya sebagai pemimpin. 10
Azyumardi Azra, Peta Sosio-Historis Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia dari Awal Masuknya Islam sampai awal Abad ke-20, (Jakarta: Panitia Kolokium I Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia PB HMI, 1996), hlm. 19.
11
Secara psikologis, proses penjatidirian partai berlangsung secara stereotype, yakni seseorang mensifatkan suatu partai bukan berdasarkan keadaan partai yang sebenarnya, melainkan ia melakukannya dengan mensifatkan partai sesuai dengan tanggapan dan persepsinya sendiri. Bahayanya adalah, sekali hal ini terjadi, maka dalam persepsinya partai pilihannya memiliki karakteristik yang diidealkannya, walaupun mungkin secara real partai tersebut justru bertentangan dengan idealismenya. Dan kalaupun partainya kemudian melakukan hal yang sangat bertentangan dengan prinsipnya maka ia akan menyalahkan keadaan dan lingkungan. Stereotyping dilakukan seseorang karena ketidakmampuannya meramalkan dengan objektif dan akurat apa yang akan terjadi dengan kondisi negara dan bangsa ini, khususnya dengan partai pilihannya. Walaupun beberapa opini, perasaan dan pilihan yang dibuat seseorang merupakan produk pikiran, namun dalam banyak hal sikap dan prilaku politik seseorang secara tidak sadar adalah hasil dari pengaruh partai yang berusaha meyakinkankannya untuk berfikir dan berbuat sebagaimana yang diinginkan partai. Sebagaimana perkembangan budaya, perkembangan Islam akan tidak jelas dalam arah dan tujuan, tidak pernah jelas dalam makna dan hasil, tak terlukiskan dan tidak dapat diprediksi. Oleh sebab itu, momentum gairah – dan sebagian kultus – umat terhadap partai politik Islam harus dimanage dengan baik. Atau dengan kata lain, partai politik – dan tentu saja tokoh-tokoh sentral partai – saat ini memegang peranan penting dalam usaha-usaha islamisasi dalam berbagai bidang, khususnya etika politik. Tentu saja usaha-usaha islamisasi hukum dan etika politik tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan, bertahap, terencana, serta memiliki target dan tujuan yang jelas dan terukur di setiap tahapannya. Usaha islamisasi ini tidak boleh hanya terbatas membuat orang bangga akan dirinya sebagai Muslim, lebih jauh dari itu, usaha-usaha tersebut harus mampu membuat umat menemukan identitas dirinya dalam Islam, mengamalkan dan menghayati
ajaran-ajaran
Islam,
mengembangkan
nilai-nilai
kemanusiaannya,
dan
mengembangkan bakat serta potensinya. Semuanya itu dalam rangka mencapai tujuan penciptaan manusia, sebagai hamba dan khalifah Allah. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah: Pertama, mengembangkan dimensia keruhanian dan kecintaan kepada Allah guna melenyapkan paham formalistik-ritualistik serta literalisme hampa. Kedua, mengembangkan dimensi sosial Islam untuk menyelesaikan masalah kepentingan pribadi yang saling bertentangan dan untuk mewujudkan pemerataan sosial dan ekonomi. Ketiga, menghidupkan kembali jiwa kritis umat Islam, dengan menghidupkan kembali ijtihad, dan membebaskan umat dari belenggu ulama dan penguasa. Keempat, membuka diri untuk bekerjasama dengan pihak lain dalam semangat fastabiqul khairat. Dalam berbagai ayat al-Qur'an menegaskan bahwa perubahan suatu umat hanya akan terjadi bila ada usaha-usaha menuju perubahan tersebut. Walaupun dalam banyak ayat al-
12
Qur'an menegaskan bahwa orang-orang yang selalu berjalan di jalan Islam secara konsekwen hanya sedikit jumklahnya. Namun bagaimanapun universal dan sementaranya pandangan dan program sekularisasi yang berlaku di masyarakat Islam, pencarian akan makna islami dan islamisasi dalam berbagai bidang kehidupan umat dalam dunia modern merupakan hal yang sangat esensial. Mewujudkan islamisasi tersebut merupakan ujian atas keberlangsungan masyarakat Islam bahkan lebih jauh dari itu, ia merupakan ujian bagi validitas wahyu.
13
BIODATA PENULIS Suprayetno W, lahir di Medan pada tahun 1963. Menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1976 di Sekolah Dasar Islam Persatuan Amal Bakti (PAB) Medan Estate kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di tempat yang sama dan selesai pada tahun 1980. Cita-cita untuk menjadi guru direalisasikan dengan melanjut ke Sekolah Pendidikan Guru Negeri I Medan dan tamat pada tahun 1983. Program Sarjana Strata 1 ditempuh di Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara dan diselesaikan pada tahun 1990. Tahun 1997 menyelesaikan program Master di Institute of Islamic Studies McGill Univesity, Montreal, Canada. Saat ini sedang menekuni program Doktoral di Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara. Karya-karya tulis yang pernah dihasilkan antara lain. (1). “Robert J. Sternberg And Ibn Hazm On The Nature Of Love” dalam The Dynamic of Islamic Civilization diterbitkan oleh Titian Ilahi, Yogyakarta tahun 1998. (2) “Perlukah Anak Hukuman Badan ?” dalam Kumpulan Artikel Psikologi Anak diterbitkan oleh Intisari Mediatama, Jakarta tahun 1999. (3) “Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren” dalam Pranata Islam di Indonesia yang diterbitkan Logos Wacana Ilmu, Jakarta tahun 2002. (4) “Kepribadian Individu Dan Masyarakat Muslim Dalam Tantangan” dalam Kepribadian dan Pendidikan diterbitkan Cita Pustaka Media, Bandung tahun 2006. (5) “Tantangan Psikologis Era Reformasi Dalam Penegakan Jati Diri Muslim Indonesia” dalam Pendidikan dan Psikologi Islami diterbitkan Cita Pustaka Media, Bandung tahun 2007. (6) “Hubungan Interpersonal Konselor-Klien” dalam Pendidikan dan Konseling Islami diterbitkan Cita Pustaka Media, Bandung tahun 2008. Sejak tahun 1992 sampai saat ini mengabdikan diri di IAIN Sumatera Utara sebagai dosen Psikologi Agama.
14