Islam Dan Ekonomi Kerakyatan Bagikan 03 Juni 2009 jam 12:15 Jujur saja saya bukan ahli di bidang ekonomi. Saya juga tidak pernah membaca buku-buku tebal tentang itu. Tetapi karena setiap hari mendengar suara ekonomi kerakyatan, yang disuarakan oleh para tim kampanye, atau bahkan oleh Capres dan cawapres langsung, maka rasanya tertarik ikut bicara. Dari perbincangan itu, saya juga belum nangkap, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan itu. Bahkan menurut hemar saya ada pengertian yang perlu diluruskan. Pada setiap berbicara tentang rakyat, seolah-olah tertuju pada orang-orang miskin, baik di kota maupun di desa. Rakyat diartikan hanya mereka yang miskin. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah mereka yang disebut sebagai rakyat itu hanyalah orang yang tergolong miskin saja. Padahal semetinya bukan begitu. Mereka yang kaya pun, asal mereka bukan pemerintah masih tergolong rakyat. Sehingga kata rakyat tidak selalu identik dengan orang miskin. Jika sebutan rakyat selalu identik dengan istilah miskin, maka jika negara nanti sudah mampu mengkayakan semua orang miskin, maka negara tidak lagi memiliki rakyat. Maka, kiranya pengertian itu tidak tepat. Selain itu, dari memperhatikan berbagai perbincangan tentang ekonomi kerakyatan, rasanya konsep tersebut belum benar-benar terumuskan secara jelas. Konsep ekonomi kerakyatan itu sesungguhnya gambarannya akan seperti apa, terutama dalam tataran implementasinya. Katakanlah bahwa jumlah rakyat yang miskin di negeri ini masih sedemikian banyak. Jika tidak salah, angka kemiskinan di tanah air masih di sekitar angka 40 juta, atau bahkan lebih. Jika pemenang pilpres benar akan membangun ekonomi kerakyatan, lalu apa yang dilakukan. Apakah akan memberi modal usaha sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan rakyat miskin itu, pemberdayaan masyarakat desa, membuka lapangan kerja baru khusus bagi orangorang yang menganggur, memberi perlindungan kepada usaha
ekonomi rakyat, memanfaatkan produk dalam negeri, atau apa lagi alternative lainnya. Rasanya pilihan-pilihan itu belum ada yang disebut secara jelas. Sehingga, penyebutan kata rakyat, hanya bersifat politis untuk menarik simpatik belaka. Tetapi apapun mereka memaknai semua itu, pada setiap mendengar pembicaraan tentang ekonomi kerakyatan, perhatian saya tertuju pada sejarah bagaimana ketika Rasulullah dahulu membangun masyarakat Madinah. Nabi Muhammad saw., membangun masyarakat itu secara utuh, atau menyeluruh, tidak terkecuali membangun ekonominya. Ekonomi dianggap merupakan salah satu pilar penting kehidupan masyarakat. Tetapi membangun ekonomi tidak akan mungkin tanpa memperhatikan aspek lain sebagai fondasinya. Tanpa dibangun ekonominya maka masyarakat tidak akan mungkin hidup tenang dan sejahtera. Akan tetapi, ekonomi juga tidak akan tumbuh sempurna jika masyarakatnya tidak menyandang sifat-sifat jujur, terpercaya, amanah, saling mengkasihi dan sifat-sifat mulia lainnya. Rasulullah dalam membangun masyarakat, ------ tidak terkecuali ekonomi, diawali dengan membangun akhlak. Masyarakat diajak untuk berperilaku jujur, adil, berkata benar, memenuhi janji, peduli sesama, saling mencintai, tolong menolong, menghargai ilmu pengetahuan dan seterusnya. Perilaku seperti itu dianggap sebagai penentu, kunci, atau aspek yang sangat strategis terhadap bangunan social lainnya. Tidak akan mungkin dibangun masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur jika watak, perilaku atau akhlak masyarakatnya rusak. Sedangkan tatkala membangun akhlak, Rasulullah menggunakan pendekatan ketauladanan, yakni yang disebut dengan uswah hasanah. Dalam tataran yang lebih kongkrit, Rasulullah menyatukan masyarakat yang terpecah belah melalui masjid. Hati masyarakat disatukan lewat tempat ibadah ini. Masjid dijadikan tempat berkumpulnya seluruh warga yang beraneka ragam latar belakang dan tingkat social ekonominya, pada setiap saat. Melalui sholat berjama’ah masyarakat kemudian menjadi satu dan utuh. Masyarakat ketika itu dipupuk agar saling mengenal, menyapa, mengetahui dan saling memahami agar kemudian muncullah saling tolong menolong. Bahkan, persatuan itu dibangun tidak hanya di antara sesama muslim, melainkan juga dengan mereka yang belum beragama Islam. Nabi pernah membuat perjanjian dengan kaum Yahudi dan Kristen.
Bermodalkan saling mengenal, bersatu antar sesama inilah kemudian, dibangun suasana saling mencintai dan kemudian saling tolong menolong. Buah dari persatuan di antara masyarakat yang memiliki sifat jujur, adil, amanah, selalu berkata benar, maka kemudian maka lahir bentuk masyarakat yang tidak ada jarak lagi antara kelompokkelompok masyarakat, termasuk antara si kaya dengan si miskin. Kemudian melalui zakat, infaq, shodaqoh, wakaf, hibah dan lain-lain, maka melahirkan persatuan masyarakat yang semakin kokoh. Melalui pendekatan itu, kesenjangan menjadi tidak terjadi lagi di tengahtengah masyarakat. Gambaran itu memberikan pengertian bahwa dalam membangun ekonomi di zaman Rasulullah, di antaranya ditempuh dengan cara mendekatkan kelompok-kelompok yang berjarak atau berbeda itu. Sebagai bagian untuk mendekatkan kelompok yang berbeda beda itu, al Qur’an juga menyebutkan bahwa ekonomi tidak boleh hanya berputar di kalangan kaum kaya. Sebagai ilustrasi yang lebih nyata, bagaimana Rasulullah menghilangkan jarak social, ditempuh hingga kasus yang sekecil-kecilnya. Misalnya, jika seorang keluarga lagi memasak masakan yang istimewa, maka dianjurkan agar kuahnya diperbanyak, sehingga sekalipun sebatas kuahnya bisa dibagikan kepada tetangga dekat. Tetangga tidak boleh dibiarkan hanya ikut merasakan lezatnya masakan hanya dari baunya saja. Selain itu, untuk menolong bagi yang miskin Rasulullah mengaitkan atara kegiatan spiritual dengan kegiatan social. Bagi orang lalai dalam menjalankan kegiatan spiritual -----misalnya jika seseorang batal dalam berpuasa di bulan ramadhan, maka didenda dengan memberi makan sejumlah orang miskin. Bahkan dalam al Qur’an juga disebutkan, sebagai pendusta agama bagi orang yang tidak mempertikan anak yatim dan juga memberi makan bagi orang miskin. Masih dalam meningkatkan ekonomi, rasulullah mengajari bagaimana mendapatkan rizki. Dalam suatu riwayat, Rasulullah mengajari seseorang, bekerja dengan cara memberikan kapak dan kemudian menyuruhnya mencari kayu bakar dan menjualnya untuk mendapatkan uang. Bangsa Indonesia ini sesungguhnya tergolong bukan terlalu miskin. Keadaan yang sebenarnya adalah adanya kesenjangan yang luar biasa. Di negeri ini terdapat sekelompok orang yang terlalu kaya,
hingga hartanya triliyunan rupiah. Tetapi sebaliknya, ada yang sebatas hanya untuk makan sehari-hari, biaya pendidikan bagi anaknya dan bahkan tempat untuk istirahat saja tidak memilikinya. Kesenjangan social inilah sesungguhnya yang terjadi di negeri ini. Islam dalam membangun ekonomi, dilakukan secara utuh, yakni membangun kehidupan secara keseluruhan. Masyarakat dibangun akhlaknya, silaturrahminya, semangat saling membantu, kejujuran dan keadilan, kesrtaraan derajat dan kepeduliannya antar sesama. Atas dasar sifat-sifat itu mulia itu kemudian masyarakat menjadi selalu ta’awun, membangun kasih sayang di antara semuanya. Mereka disatukan baik di masjid tatkala sholat berjama’ah pada setiap waktu, maupun dalam memenuhi ekonomi kebutuhan hidupnya. Pertanyaannya kemudian adalah, mau dan mampukan pemerintah yang akan datang mengurangi kesenjangan antara sebagian kecil warganya yang sudah berlebih itu dengan rakyat yang jumlahnya sedemikian banyak yang masih berkekurangan. Jika mengikuti pendekatan yang ditempuh oleh Rasulullah, maka memang semestinya yang dilakukan adalah menyatukan masyarakat melalui berbagai media, di antaranya adalah masjid. Selain itu adalah membangun akhlak kehidupan bangsa, melalui berbagai cara, mulai dari pendidikan maupun katauladanan dari para pemimpinnya. Jika itu bisa dilakukan, maka apa yang disebut sebagai ekonomi kerakyatan itu akan terangkat dengan semndirinya. Menyatukan, membangun akhlak dan memberikan bimbingan dan ketauladanan adalah merupakan kunci keberhasilan dalam membangun ekonomi kerakyatan itu. Sebab, jika pendekatan dalam membangun ekonomi dilakukan kurang tepat, misalnya rakyat hanya diberi bantuan sekedarnya, maka alih-alih berhasil mengentaskan kemiskinan, bahkan bisa jadi justru kotra produktif. Masyarakat miskin menjadi malas dan bermental penunggu belas kasihan orang lain. Jika hal itu terjadi, maka bantuan itu justru akan merusak atau mematikan mental, jiwa atau harga diri mereka. Padahal bangsa ini secara keseluruhan harus diantarkan menjadi bangsa yang bermartabat, mandiri, dan benar-benar merdeka. Wallahu a’lam.