Iskemia Tungkai Akut.docx

  • Uploaded by: Anonymous zVo1B4
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Iskemia Tungkai Akut.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,255
  • Pages: 54
Laporan Kasus

Acute Limb Ischemia Diajukan sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Kardiologi di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin Banda Aceh

Oleh : Rabita Dwi Ananda Sitepu, S.Ked 1306110..

Preseptor : dr.

BAGIAN/SMF KARDIOLOGI RUMAH SAKIT UMUM ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH 2019 1

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur yang tak terhingga penulis haturkan kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Refarat yang berjudul “Acute Limb Ischemia”. Penyusunan refarat ini sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Kardiologi, Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin, Banda Aceh. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Nurkhalis, Sp.JP selaku pembimbing selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Kardiologi atas waktu dan tenaga yang telah diluangkan untuk memberikan bimbingan, saran, arahan, masukan, semangat, dan motivasi bagi penulis sehingga Refarat ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa Refarat ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga Refarat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Banda Aceh, Januari 2019

Penulis i

2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................

i

DAFTAR ISI ..............................................................................................

ii

BAB 1 PENDAHULUAN .........................................................................

1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................

3

2.1 Definisi ............................................................................................

3

2.2 Etiologi ............................................................................................

3

2.3 Patofisiologi ....................................................................................

4

2.4 Diagnosis .........................................................................................

8

2.5 Manajeman ......................................................................................

13

2.6 Pencegahan ......................................................................................

24

2.7 Prognosis .........................................................................................

26

BAB 3 LAPORAN KASUS ......................................................................

29

BAB 4 PEMBAHASAN ............................................................................

44

BAB 5 KESIMPULAN .............................................................................

46

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

47

ii

BAB 1 PENDAHULUAN

Iskemia tungkai akut (Acute Limb Ischemia) adalah kondisi di mana terjadi penurunan mendadak perfusi tungkai yang melibatkan trombus dan emboli. Trombus dapat berasal dari perkembangan penyakit arteri, diseksi aorta, thrombus graft, aneurisma, hiperkoagulabilitas, iatrogenik, dan lainnya. Gambaran klinis iskemia tungkai dikatakan akut bila terjadi dalam 2 minggu atau kurang. Gejala berkembang dalam hitungan jam sampai hari dan bervariasi dari episode klaudikasio intermiten hingga rasa nyeri di telapak kaki atau tungkai ketika pasien sedang beristirahat, parestesia, kelemahan otot, dan kelumpuhan pada ekstremitas yang terkena. Temuan fisik yang dapat ditemukan meliputi tidak adanya pulsasi di daerah distal dari oklusi,kulit teraba dingin dan pucat atau berbintik-bintik, penurunan sensasi saraf, dan penurunan kekuatan otot. Tanda-tanda ini biasa disingkat sebagai 6 P: Paresthesia, Pain, Pallor, Pulselessness, Poikilothermia (gangguan pengaturan suhu tubuh), dan Paralysis.1,3 Kejadian iskemia tungkai akut yaitu 10 per 100.000 per tahun, dengan ratarata usia 76,3±11,9 tahun dan 52,7% terjadi pada laki-laki. Riwayat penyakit pembuluh darah sebelumnya: coronary artery disease (29%); gagal jantung (19,4%); stroke/TIA (26,9%); peripheral arterial disease (41,9%). Faktor risiko terjadinya PAD antara lain merokok (68,8%); hipertensi (69,2%); diabetes melitus (12,9%); dan hiperlipidemia (35,5%).2 Acute Limb Ischemia (ALI) merupakan salah satu klasifikasi

1

dari Peripheral Artery Disease (PAD), penyakit arteri perifer yang setiap tahun jumlahnya semakin meningkat. Semakin banyaknya masyarakat yang mengetahui tanda dan gejala ALI, semakin berkurang masyarakat yang kehilangan ekstremitas akibat amputasi yang merupakan tindakan akhir dari kategori terparah dari gangguan arteri ini.

2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi Acute limb ischemia (ALI) merupakan salah satu presentasi PAD yang paling

berbahaya dan dapat ditangani. Iskemia tungkai akut (Acute Limb Ischemia) adalah kondisi di mana terjadi penurunan mendadak perfusi tungkai yang melibatkan trombus dan emboli serta terjadi dalam waktu 14 hari atau kurang setelah onset.2,5,6

2.2

Etiologi Acute Limb Ischemia terjadi oleh adanya trombus ataupun emboli, baik secara

parsial maupun total pada arteri sehingga menyebabkan perfusi yang tidak adekuat yang pada akhirnya akan menurunkan metabolisme jaringan dan menyebabkan nekrosis. Jika oklusi terjadi secara total, maka perburukan akan terjadi secara cepat dalam kurun waktu 4 sampai 6 jam.1,2,6 Hampir 85% ALI disebabkan oleh trombosis. Faktor risiko trombosis terjadi pada pasien yang sudah memiliki riwayat penyakit arteri perifer (PAD) sebelumnya. Kelemahan pada endotel arteri akan menyebabkan pembentukan dan penumpukan platelet yang kemudian mekanismenya sama dengan trombus pada infark miokard.6

3

2.3

Patofisiologi Kebanyakan emboli menyebabkan sumbatan di area percabangan arteri,

bifurkasio aorta, iliaca, femoral, atau popliteal di area kaki, dan bifurkasio brachial pada lengan. Thrombosis in situ seringkali menyebabkan gangguan pada arteri femoral dan popliteal, terutama pada kondisi pasien yang pernah mengalami bypass arteri, ruptur plak aterosklerosis, atau pada keadaan low output. Penghentian aliran arteri ke ekstremitas secara mendadak memicu kompleks proses patofisiologis. Jaringan yang mengalami malperfusi akan mengalami perubahan metabolisme, dari metabolism aerob menjadi metabolisme anaerob. Perubahan rasio laktat – piruvat akan meningkatkan produksi laktat, meningkatkan konsentrasi ion hydrogen, dan akhirnya menyebabkan terjadi asidosis. Iskemia yang progresif menyebabkan disfungsi dan kematian sel. Hipoksia otot akan menurunkan simpanan adenosine triphosphate (ATP) intraseluler, dan menyebabkan disfungsi sodium/potassiumATPase dan kanal calcium/sodium sehigga menyebabkan kebocoran kalsium intrasel ke dalam miosit. Level kalsium bebas intraseluler akan meningkat dan berinteraksi dengan actin, myosin, dan protease, menyebabkan nekrosis pada serabut otot. Bersamaan dengan kerusakan pada integritas mikrovaskular dan membrane sel, potassium, fosfat, kreatinin kinase dan myoglobin intrasel akan keluar dari sel ke sirkulasi sistemik. Lebih lanjut, reperfusi meningkatkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sel ini. Jaringan otot dan saraf cukup rentan mengalami injuri iskemia, sehingga ada atau tidaknya deficit neuromotor merupakan suatu poin yang sangat penting untuk menilai keparahan iskemia anggota gerak akut. Kerusakan otot yang 4

ireversibel akan dimulai sejak 3 jam setelah terjadi iskemia dan kerusakan ini akan total setelah mencapai 6 jam. Selain injuri miosit, injuri pada otot skeletal akan diikuti dengan kerusakan mikrovaskular yang progresif. Semakin parah kerusakan seluler yang terjadi, makin besar perubahan yang dialami mikrovaskular. Pada kondisi nekrosis otot, aliran mikrovaskular berhenti dalm waktu beberapa jam. Secara teori, butuh waktu sekitar 6 jam untuk menyebabkan injuri fungsional yang ireversibel. Rentang waktu ini dapat lebih lama pada kondisi ekstremitas yang memiliki aliran darah kontralateral. Kondisi iskemik akan memicu suatu kondisi injuri reperfusim suatu proses yang dipicu oleh pengembalian perfusi dan dimediasi oleh kompleks kaskade sitokin, reactive oxygen species (ROS), dan neutrofil. reactive oxygen species (contoh : superoxide anion, hydrogen peroksida, hidroksil radikal, peroksinitrit) diproduksi oleh neutrofil teraktivasi dan xanthine oxidase, suatu enzim yang berlokasi di sel endotel mikrovaskular pada otot skeletal dan teraktivasi pada kondisi iskemik. Di bawah kondisi normal, xanthine dehydrogenase menggunakan nicotinamide adenine dinucleotide untuk mengoksidase hypoxanthine menjadi xanthine. Xanthine dehydrogenase diubah menjadi xanthine oksidase setelah 2 jam iskemia. Selama iskemia berlangsung, ATP didegradasi menjadi hypoxanthine, akan tetapi xanthin oxidase membutuhkan oksigen untuk mengubah hypoxanthine menjadi xanthine. Sehingga, hypoxanthine akan terakumulasi selama iskemia. Ketika oksigen diperoleh selama fase reperfusi, isoform xanthine dehydrogenase akan teraktivasi. Perubahan hypoxanthine dalam jumlah besar-besaran akan menciptakan reactive oxygen species. Substrat yang esensial dalam produksi radikal-radikal ini, oksigen 5

molecular, dihasilkan selama proses reperfusi. Oksidan yang berasal dari xanthine oxidase memediasi peningkatan permeabilitas vaskular dalam otot postischemic. Peran penting oksigen elemental dan peran oksigen radikal dalam injuri reperfusi sering diabaikan pada penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa reperfusi yang dimulai dengan darah autolog yang terdeoksigenasi mencegah peningkatan permeabilitas setelah iskemik. Merubah darah yang memperfusi menjadi darah yang teroksigenasi selama reperfusi mirip dengan respon injuri mikrovaskular yang tampak setelah reperfusi normoxic. Demikian juga, pengenalan oksigen kembali secara bertahap di awal reperfusi akan menurunkan injuri postischemic. Suplementasi tambahan dengan pembasmi radikal bebas dan menurunkan konsumsi oksigen akan menurunkan injuri pada nekrosis postischemic. Neutrofil yang teraktivasi merupakan agen utama yang berperan menyebabkan kerusakan local maupun sistemik yang disebabkan proses reperfusi. Leukosit juga memegang peran yang sama pentingnya dalam menyebabkan injuri reperfusi. Neutrofil teraktivasi akan terakumulasi di dalam otot yang mengalami reperfusi dan memproduksi metabolit oksigen reaktif, melepaskan enzim sitotoksik, dan mengoklusi jalur mikrosirkulasi. Menurunkan jumlah leukosit telah diketahui mampu mereduksi injuri iskemia-reperfusi. Reperfusi dengan darah yang teroksigenasi dengan jumlah kandunga leukosit yang telah terdeplesi menggunakan filter dapat mencegah peningkatan permeabilitas vaskular pada otot skelet canine. Menariknya, menginduksi terjadinya neutropenia sebelum iskemia pada tikus akan mengembalikan membran potensial transmembran dan fungsi kontraksi pada otot postischemic tikus. Iskemia dan reperfusi otot skelet akan 6

menstimulus sejumlah kaskade inflamasi tambahan yang melibatkan aktivasi komplemen, meningkatkan ekspresi molekul adhesi, pelepasan sitokin, sintesa eicosanoid, pembentukan radikal bebas, perubahan sitoskeletal, deplesi adenine nucleotide, perubahan metabolism kalsium dan fosfolipid, aktivasi leukosit, dan disfungsi endotel. Interleukin (IL)-1β dan tumor necrosis factor (TNF) – α dapat segera dideteksi setelah reperfusi dan memicu molekul adhesi pada permukaan sel endotel, emningkatkan kebocoran kapiler, dan menstimulasi produksi IL-6 dan IL-8, yang mana lebih lanjut meningkatkan permeabilitas endotel, menghancurkan integritas endotel, dan mengaktifkan leukosit. Efek klinis dari respon seluler terhadap reperfusi berupa pembengkakan jaringan, suatu kondisi kerusakan yang hebat pada ruang tertutup di lengan bawah, paha, betis, dan pantat. Peningkatan tekanan kompartemen di dalam batas fascia menyebabkan compartment syndrome: tekanan kompartemen yang meningkat menyebabkan penurunan gradient perfusi dan aliran darah kapiler sehingga tidak mencukupi kebutuhan metabolik, menyebabkan kondisi iskemia dan nekrosis yang semakin parah. Pelepasan mioglobin dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Peningkatan permeabilitas endotel dapat menyebabkan acute lung injuri, suatu proses yang telah diujikan pada hewan coba dengan menginduksi terjadinya neutropenia secara kimiawi, menunjukkan bahwa aktivasi dan transmigrasi neutrofil serta hilangnya integritas endotel merupakan hal-hal penting dalam acute lung injury pada injuri reperfusi. Sehingga, edema paru noncardiac dapat terjadi setelah proses reperfusi pada ekstremitas bawah, suatu proses yang dapat dicegah dengan deplesi granulosit. Sindroma reperfusi terdiri atas dua komponen. Respon 7

lokal terhadap reperfusi memicu terjadinya pembengkakan jaringan, sedangkan respon sistemik terhadap reperfusi dapat berupa kegagalan multiorgan dan kematian. Respon sistemik inilah yang menyebabkan kegagalan intervensi pada iskemia anggota gerak tingkat lanjut dan ireversibel. Derajat respon inflamasi yang terjadi setelah proses reperfusi bervariasi. Ketika nekrosis otot seragam maka dikatakan respon inflamasinya kecil. Derajat kerusakan iskemik, meskipun begitu, akan bervariasi tergntung proksimitas jaringan terhadap lokasi oklusi dan efisiensi suplai darah melalui pembuluh kolateral.Besar kecilnya respon inflamasi akan ditentukan oleh seberapa luas zona iskemik (tapi tidak sepenuhnya nekrotik). Sehingga reperfusi pada sekelompok besar otot yang terjadi dengan injuri iskemik tingkat lanjut dan nekrosis jaringan akan menyebabkan pelepasan sejumlah besar mediator inflamasi toksik ke dalam sirkulasi sistemik. Efek perusak dari proses reperfusi dapat menyebabkan pasien dengan injuri iskemik ireversibel harus diamputasi.6,7,8,10

2.4

Diagnosis

2.4.1

Anamnesis Penegakan diagnosis terhadap pasien iskemia tungkai akut dilakukan melalui

beberapa tahapan, antara lain: Anamnesis. Keluhan terjadi pada <50% pasien yaitu klaudikasio intermiten (rasa nyeri, ache, kram, baal, atau kelelahan pada otot selama aktivitas dan menghilang dengan istirahat) yang dirasakan di distal dari oklusi, midalnya dibokong, pinggul dan otot paha juka oklusi di aortoiliaka. Sedangkan sakit dibetis dirasakan jika oklusi di arteri femoral poplitea. Keluhan lainnya yaitu pasien

8

merasakan dingin atau baal pada kaki dan ibu jari kaki yang sering kali dirasakan pada malam hari ketika posisi tungkai horizontal dan meningkat ketika tungkai pada posisi menggantung. Pada kasus iskemia betat, nyeri dapat tetap ada pada saat istirahat.1 2.4.2

Pemeriksaan Fisik Menurunnya atau tidak terabanya nadi di distal dari oklusi, terdengarnya bruit,

dan otot tampak atrofi. Pada kasus berat terdapat penebalan kuku, kulit tampak halus dan mengkilap, menurunnya suhu kulit, bulu kaki rontok, pucat atau sianosis. Ulkus atau gangren dapat juga ditemui. Pemeriksaan refleks tungkai juga dapat menurun karena neuropati iskemia.1,5,6,9,10 Presentasi klinis klasik ALI ini biasa disebut dengan 6P, yaitu: pain, pallor, pulselessness, paresthesia, paralysis, dan poikilotermia. Nyeri merupakan gejala yang paling umum ditemukan dan makin meningkat seiring keparahan iskemia. Pallor (pucat) merupakan temuan awal pada ekstremitas yang mengalami iskemik dan hal ini disebabkan oleh pengosongan dan vasospasme arteri komplit. Stagnasi sirkulasi mikrovaskular yang terjadi berikutnya akan menyebabkan kerusakan kulit, yang mana kulit akan berwarna pucat ketika ditekan. Ketika kondisi iskemik terus berlanjut,

akan

muncul

paresthesia,

dan

kemudian

rasa

kebas/numbness

menggantikan rasa nyeri, yang mana hal ini menyebabkan pasien dan dokter mendapatkan kepastian yang salah. Pada stadium akhir injuri iskemik, akan terjadi paralisis, pengelupasan kulit akan terjadi, tanpa kulit menjadi pucat. Kehilangan fungsi motorik dan kulit mengkilat seperti marmer memperkuat dugaan telah terjadi 9

injuri iskemik ireversibel. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan seksama dapat menentukan level oklusi dengan mendeteksi gradient temperature di sepanjang ekstremitas dan deficit nadi baik secara palpasi maupun dengan pemeriksaan arteri dengan Doppler. Perubahan kulit menjadi pucat dan perubahan suhu kulit terdeteksi pada satu level di bawah level terjadinya oklusi. Pemeriksaan fisik harus melibatkan pencarian sumber iskemik yang potensial. Temuan berupa atrial fibrillation, murmur jantung pada penyakit katub jantung, atau adanya gejala CHF dapat berimplikasi pada sebab cardioemboli. Gejala sistemik seperti demam, keringat malam, dan menggigil dapat mengacu pada endocarditis sebagai etiologi emboli jantung. Stigmata adanya PAD di ekstremitas kontralateral atau tanda-tanda pernah mendapatkan terapi revaskularisasi berupa pembedahan mengacu pada kondisi thrombosis arterial in situ, sedangkan nyeri dada, hipertensi, dan denyut arteri yang asimetris pada ekstremitas atas mungkin memerlukan pemeriksaan radiologi tambahan untuk mengeksklusi kemungkinan diseksi aorta. Lebih penting lagi, pemeriksaan fisik merupakan cara untuk menentukan klasifikasi keparahan iskemia, urgensi untuk dilakukan revaskularisasi, dan prognosis setelah dilakukan revaskularisasi. Klasifikasi klinis ini juga berguna untuk menentukan strategi intervensi yang terbaik. Secara umum, ALI diklasifikasikan

menggunakan

kriteria

Rutherford.

Rutherford

class

I

merepresentasikan ekstremitas yang viable dan tidak terancam, seperti pada pasien dengan iskemia kronik dan nonkritis. Rutherford class II menampilakn gejala-gejala sebagaimana ekstremitas yang terganggu. Ekstremitas klas IIA ditunjukkan dengan kondisi sensoris dan motoris yang intak meskipun tidak didapatkan sinyal arterial 10

pada Doppler. Klass IIB meliputi pasien dengan ekstremitas yang terancam, kehilangan fungsi sensori, gangguan fungsi motoris ringan, dan tidak ada sinyal arteri Doppler. Ekstremitas pada tingkat klasifikasi ini masih dapat diselamatkan jika mendapatkan penatalaksanaan segera. Iskemia ekstremitas yang ireversibel ditunjukkan pada kalsifikasi Rutherford class III, dengan kerusakan saraf. permanen, hilangnya fungsi sensoris dan paralisis motoris, dan hilangnya sinyal arteri dan vena pada Doppler. Revaskularisasi pada ekstremitas yang mengalami hal tersebut sangat berbahaya, sehingga dibutuhkan amputasi. Adanya penyakit sumbatan arteri yang mendasari

dapat

menimbulkan

precondition

pada

ekstremitas

dengan

mengembangkan aliran darah kolateral untuk mengurangi keparahan malperfusi jaringan ketika terjadi oklusi akut. Sehingga, pasien dengan thrombosis in situ pada pembuluh darah atherosclerosis dan pasien dengan kegagalan graft/cangkok dapat mentoleransi iskemia akut lebih baik dibanding pasien-pasien tanpa penyakit arterial yang mengalami iskemia anggota gerak akut akibat cardioemboli atau sebab iatrogenic. Beberapa karakteristik klinis dapat digunakan untuk membedakan kejadian emboli dan thrombosis in situ. Pasien dengan onset nyeri yang mendadak dan batas demarkasi perubahan suhu kulit dan pengelupasan kulit yang jelas. Pasienpasien ini biasanya memiliki tanda dan gejala sesuai Rutherford class IIb dan III. Pasien dengan thrombosis arterial in situ biasanya memiliki tanda PAD dan onset gejalanya lebih samar. Temuan dari pemeriksaan fisik tidak terlalu mencolok, dengan batas demarkasi perubahan iskemik yang kurang tampak dan lebih cenderung

11

mengalami sianosis dibanding pucat. Pasien ini jatuh pada kategori Rutherford class I dan IIa. 1,3,6

Tabel 2.1 Perbedaan Acute Limb Ischemia yang disebabkan oleh emboli dan trombus6

Tabel 2.2 Klasifikasi Rutherford6,7,8

2.4.3

Pemeriksaan Penunjang Angiografi Merupakan kriteria standar dalam mendiagnosis penyakit oklusi

arteri perifer. Magnetic resonance angiografi - Untuk melihat pembuluh darah besar dan kecil. - Digunakan untuk menegakkan diagnosis dan merencanakan jenis intervensi Computerized tomographic angiography Masih jarang dipakai karena memerlukan media kontras yang banyak untuk menghasilkan hasil yang baik Duplex ultrasonography - Suatu prosedur pemeriksaan diagnostik atau terapi yang bersifat

12

noninvasif untuk menilai struktur dan fungsi pembuluh darah. - Terdapat tiga modalitas dalam pemeriksaan dupleks sonografi yang menjadi parameter dalam menegakkan diagnosa yaitu B-mode, color doppler dan spektrum doppler . Tiga modalitas dupleks sonografi pada pasien ALI B-mode - Untuk melihat dan menilai seluruh arteri dan vena pada ekstremitas bawah digunakan B-mode untuk mengetahui apakah terdapat oklusi yang disebabkan oleh adanya plaque atau trombus pada arteri. Pada kasus ALI, jika diambil gambaran short axis, maka pembuluh darah ateri tidak terlihat, karena adanya oklusi. Color Doppler ( Warna ) - Doppler warna digunakan untuk mengidentifikasi aliran darah pada pembuluh darah, apakah lumen pembuluh darah terisi penuh oleh warna pada arteri. Jika pada kasus ALI, color pada pembuluh darah arteri tidak terisi, yang diisebabkan oleh adanya oklusi. Spektrum Doppler ( Kurva aliran ) Kecepatan aliran merupakan parameter utama untuk menilai morfologi kurva spektrum doppler pada pembuluh darah arteri , pada pasien ALI gambaran kurva dopplernya no flow, sedangkan jika sample volume diletakkan didistal dari oklusi gambarannya adalah rounded. 2.5

Manajemen Semua kasus ALI suatu emegensi dan harus segera dirujuk untuk mendapat

tatalaksana definitif dan pada pasien dengan tanda klasik ALI, revaskularisasi harus dilakukan dalam waktu 6 jam untuk mencegah kerusakan otot yang permanen. Angka mortalitas 30-hari dan amputasi tetap tinggi pada ALI (15-20 dan 10-30%).4,5

13

Diagram 2.1 Algoritma Manajemen ALI7

2.5.1

Terapi Medis Awal Tanpa mempedulikan teknik revaskularisasi yang dipilih, prinsip dasar terapi

awal adalah sama: resusitasi cairan, analgesic, dan pemberian obat-obatan antitrombin dan antiplatelet. Setelah berpuluh-puluh tahun penelitian klinis dilakukan, terapi heparin telah diketahui mampu menurunkan injuri iskemik, mengurangi perkembangan pembentukan thrombus, dan meningkatkan survival. Beberapa

penelitian

membantah

adanya

manfaat

pemberian

antikoagulasi

perioperatif, bahkan pada pasien dengan emboli yang berasal dari jantung, akan tetapi 14

sejumlah besar data mendukung pemberian antikoagulan perioperatif dengan heparin. Unfractioned heparin (UFH) harus diberikan pada dosis tinggi (100-150 unit/kgBB), dengan tujuan untuk mendapatkan level terapeutik antikoagulasi dan peningkatan partial thromboplastin time (PTT) dengan factor 2- 2.5 di atas baseline secara cepat. Pasien dengan heparin induced thrombocytopenia (HIT) harus diterapi dengan direct thrombin inhibitors (DTI) yang diberikan secara intravena seperti lepirudin atau argatroban. Bivalirudin, jenis lain DTI, yang sering digunakan untuk intervensi koroner dan endovascular, memiliki waktu paruh yang relative pendek dan lebih familiar digunakan oleh kebanyakan spesialis. Keputusan dalam menggunakan antikoagulan kerja panjang harus dibuat berdasarkan penyebab iskemik, hasil akhir revaskularisasi, dan keseimbangan antara resiko perdarahan dan trombotik. Koreksi abnormalitas laboratorium dan stabilisasi kondisi medis akut yang mendasari sangat penting untuk mendapatkan hasil akhir kondisi klinis yang terbaik. Karakteristik laboratorium tertentu dapat memprediksi kesuksesan terapi. Pasien yang megalami peningkatan creatinin kinase dan jumlah neutrofil memiliki 50% resiko diamputasi sebagaimana dibandingkan pada 5% resiko yang dimiliki pasien dengan level enzim dan neutrofil yang normal. Temuan ini menegaskan bahwa pasien dengan injuri iskemik tingkat lanjut pada otot skelet memiliki prognosa yang buruk. Pada pasien yang mengalami irreversible tissue loss, mungkin diperlukan alkalinisasi urin untuk mencegah injuri renal akibat myoglobinuria. Pada beberapa kasus, penyebab iskemia anggota gerak akut sendiri sudah merupakan suatu hal yang mengancam jiwa, seperti infark miokard (MI) yang memiliki komplikasi thrombus ventrikel kiri dan shock 15

kardiogenik, atau diseksi aorta atau endocarditis infektif dengan gangguan hemodinamik akibat inkompetensi katup. Pada beberapa kasus, prinsip life over limb dapat digunakan sebagai landasan dalam memilih strategi terapi 2.5.2

Terapi Endovaskular Prinsip dasar di balik terapi endovascular adalah untuk mengembalikan aliran

arteri, baik dengan melisiskan thrombus atau dengan mencari dan menterapi lesi yang mendasari, sehingga dapat mengeliminasi keharusan untuk dilakukan operasi atau mengurangi lama waktu operasi. Berridge dkk mengkonfirmasi bahwa pengiriman agen fibrinolitik melalui kateter secara langsung ke arteri yang terganggu memberikan hasil yang lebih baik dibanding pemberian trombolitik secara intravena, dan meningkatkan angka keselamatan ekstremitas (dari 45% menjadi 80%) dan menurunkan komplikasi perdarahan. Pelarutan thrombus secara enzimatik dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pembedahan embolektomi, terutama pada kumpulan pembuluh darah arterial distal dan pada kasus embolisasi distal. Terapi endovascular makin berkembang dan menjadi makin efektif untuk dilakukan seiring berkembangnya pengalaman kumulatif antara tahun 1980 sampai 1990. Pengembangan

penggunaan

multihole

infusion

cathether

dan

peningkatan

pengetahuan tentang pentingnya menembus oklusi thrombus dengan kateter dan memasukkan obat langsung ke dalam clot dibandingkan diberikan di atas lokasi clot telah dengan jelas meningkatkan efikasi prosedur ini. Tiga percobaan acak yang dilakukan pada tahun 1990 membandingkan terapi endovascular dengan intervensi pembedahan pada pasien dengan iskemia anggota gerak akut. Percobaan Rochester 16

mengambil 114 pasien acak dengan iskemia yang mengancam ekstremitas yang disebabkan oleh emboli dan sumbatan thrombosis pada pembuluh darah normal maupun cangkokan yang akan menerima terapi IA pengiriman urokinase atau pembedahan. Pemberian trombolisis melalui kateter memberikan hasil berupa resolusi thrombus pada 70% pasien. Setelah 1 tahun, angka kejadian amputasi identik pada kedua jenis terapi yang diperbandingkan ini yaitu sebesar 18%, akan tetapi angka mortalitas secara signifikan lebih tinggi pada tindakan pembedahan : 16% vs 42%,

dengan

mayoritas

kematian

pada

pembedahan

terkait

komplikasi

kardiopulmonal. Terapi trombolitik juga memiliki keuntungan berupa biaya terapi yang lebih rendah. Trial STILE yang lebih besar yang melibatkan 393 pasien dengan pembuluh darah asli atau pembuluh darah hasil cangkokan kurang dari 6 bulan secara acak dipilih untuk mendapatkan terapi pembedahan atau terapi trombolisis. Trial ini memiliki kecacatan dengan melibatkan pasien yang mengidap gejala iskemia kronik yang cenderung tidak respon terhadap terapi trombolisis. Meskipun demikian, 70% pasien yang mendapat terapi trombolitik pada dasarnya sudah memiliki gejala kronik. Kegagalan teknik menyebabkan terjadinya kegagalan proses klinis dalam fraksi besar pada sisi terapi dengan fibrinolitik. Kegagalan dalam menembus lesi oklusi dilaporkan pada 28% pasien. Pada pasien yang mendapatkan terapi kateterisasi yang sukses, angka patensi pada pembuluh darah hasil cangkokan sebesar 81% sedangkan pada arteri asli sebesar 69% (P=NS). Kemampuan dalam melintasi lesi dengan menggunakan kawat menjadi titik prediksi kesuksesan terapi, suatu kunci penting yang telah digunakan sebagai panduan dalam terapi endovascular untuk iskemia 17

anggota gerak akut sejak saat itu. Pada sisi percobaan dengan fibrinolitik, pasien menerima recombinant tPA (rtPA) dengan dosis 0.05 mg/kg/jam sampai 12 jam atau urokinase sampai 36 jam. Dosis tPA yang digunakan dalam trial ini lebih besar dibandingkan dosis yang umum dipakai di praktek klinik yaitu sebesar 1 mg/jam. 2.5.3

Trombektomi Mekanis AngioJet

Xpeedior

rheolytic

thrombectomy

catheter

(Medrad

Interventional/Possis, Warrendale, Pa.) merupakan kateter trombektomi mekanik yang paling sering digunakan. Kateter dengan diameter kecil ini menggunakan system menyemprotkan jet larutan salin dari ujung kateter ke fragmen thrombus, sementara fungsi vacuum yang dihasilkan pada bagian proksimal jet penyemprot akibat efek Venturi akan membantu mengaspirasi fragmen debris. Modifikasi sederhana dapat dilakukan dengan mengganti larutan saline dengan obat trombolitik, yang dapat disemprotkan ke dalam thrombus tanpa dilanjutkan aspirasi. Sekitar 20-30 menit setelah terapi penyemprotan, thrombus yang terinjeksi fibrinolitik akan terpecah-pecah dan diaspirasi dengan mode trombektomi standard, mengurangi volume trombotik dan mengembalikan aliran arteri. Trombektomi mekanik dapat dilakukan tanpa teknik pulse spray untuk mengembalikan aliran darah pada pasien dengan intoleransi terhadap obat trombolitik Beberapa alat lain digunakan untuk metode trombektomi mekanik perkutan. Trellis merupakan suatu alat yang terdiri dari kateter dengan lubang infuse multiple yang dibatasi oleh balon di bagian proksimal dan distal yang ketika balon tersebut dikembangkan, akan melokalisir obat trombolitik pada segmen thrombus dan 18

berpotensi membatasi efek sistemik agen tersebut. Suatu sinusoidal wire (kawat sinusoid) yang bersumberdaya baterai berotasi di sekeliling kateter, secara efektif mencampur thrombus dengan agen trombolitik. Sebelum balon dikempiskan, debris yang berada di antara balon diaspirasi. Peralatan ini, lebih sering digunakan pada thrombosis vena, peralatan ini juga telah diaplikasikan pada sejumlah pasien dengan oklusi arteri, akan tetapi penggunaannya terkait dengan angka kejadian embolisasi di distal sebesar 11,5%. Alat Rotarex (Straub Medical AG, Wangs, Switzerland) tersedia di Eropa dan telah diujicobakan aman dan efektif digunakan pada kasus tromboemboli di arteri perifer. Kateter jenis over-the-wire ini didesain untuk membuang thrombus dari pembuluh darah perifer. Bagian ujung kateter yang berbentuk spiral berotasi dengan kecepatan 40.000 rpm dan akan memecahkan partikel-partikel trombul kemudian mengaspirasinya dengan kecepatan 180 ml/min. Kateter ini kemudian akan bergerak maju ke dalam thrombus dan secara perlahan akan ditarik selama proses aspirasi. Kekuatan penghisapan dapat diatur untuk menghindari terjadinya kolaps dan injuri pembuluh darah di sekitar kateter. Kateter Hydrolyser (Cordis, Warren, N.J) awalnya didesain untuk terapi trombolisis dengan akses dialisa. Kateter 6F 0.018-inch guidewire-compatible ini menggunakan efek Venturi untuk menciptakan kondisi vakum ketika diberi tenaga oleh injector kontras standar yang berisi larutan salin. Alat ini telah terbukti efektif dalam menterapi thrombosis pada pembuluh darah hasil cangkokan/graft, dan dari penelitian in vitro didapatkan angka kejadian embolisasi distal yang lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan AngioJet. 19

2.5.4

Suction Embolektomi Percutaneous aspiration thrombectomy dapat menjadi metode yang efektif

untuk pembuluh darah popliteal dan tibial. Kateter dengan lumen yang besar (6F8F) dihubungkan dengan syringe 60 cc digerakkan menuju bagian proksimal oklusi, vakum diperoleh dengan melakukan aspirasi syringe dan thrombus diaspirasi ke dalam kateter dan disingkirkan dari arteri. Kombinasi antara catheter suction embolectomy dengan trombolisis dapat meningkatkan angka kesuksesan hingga 90%, dengan angka keselamatan ekstremitas sebesar 86% setelah follow up selama 4 tahun. 2.5.5

Ultrasound Assisted Thrombolysis Ultrasound-emitting

catheters

(kateter

yang dapat

dideteksi

dengan

ultrasound) telah digunakan untuk membantu dan mempercepat proses trombolisis. Pemakaian ultrasound energy tinggi dapat secara mekanik memecahmecah thrombus, dimana ultrasound dengan energy rendah dapat mempercepat proses lisis thrombus secara enzimatik dengan meleburkan benang-benang fibrin, mengekspose lebih banyak titik ikatan dengan fibrin, dan meningkatkan permeabilitas thrombus sehingga mudah dipenetrasi oleh trombolitik. Efek-efek ini dapat berpotensi mempercepat reperfusi dan menurunkan angka komplikasi perdarahan pada terapi trombolitik. 2.5.6

Terapi Pembedahan pada Iskemia Anggota Gerak Akut Terapi pembedahan modern untuk kasus iskemia anggota gerak akut

diperkenalkan pada tahun 1963 dalam studi landmark yang dilakukan oleh Fogarty dkk. Sebelum adanya pengembangan kateter Fogarty, tatalaksana emboli adalah dengan secara langsung memaparkan arteri yang tersumbat dan dilakukan eksplorasi 20

dengan menggunakan berbagai instrument dan alat suction yang rigid. Metodemetode ini tidak hanya sangat tidak efektif tapi juga dapat merusak arteri. Teknik milik Fogarty dilakukan dengan memaparkan arteri jauh dari segmen yang mengalami sumbatan, dengan resiko injuri arteri yang jauh lebih rendah. Pemeriksaan fisik dapat membantu dalam menentukan tempat paparan pembedahan; pada kasus nadi popliteal tidak teraba, dilakukan pembedahan untuk mengekspose arteri femoral tanpa menghiraukan ada atau tidaknya nadi femoral. Pendekatan ini memungkinkan dilakukan embolektomi pada arteri iliac, femoralis superfisialis, femoralis profunda, dan popliteal. Pemeriksaan fisik yang mendukung diagnose adanya oklusi infrapopliteal akan menjadi panduan untuk mengekspose arteri popliteal dan memungkinkan untuk dilakukan kanulasi pada pembuluh darah tibial. Pada kasuskasus dengan iskemia anggota gerak atas akut, lokasi paparan lebih dipilih di arteri brachial. Kateter embeloektomi yang memiliki balon dengan ukuran yang telah disesuaikan di ujungnya didorong masuk ke dalam arteri yang mengalami oklusi, bagian distalnya dikembangkan dan kemudian ditarik balik sehingga thrombus ikut tertarik keluar. Pilihan teknik yang tepat sangat penting untuk mencegah diseksi arteri dan injuri endotel berlebih. Pada kasus iskemia anggota gerak akut yang disebabkan oleh emboli, embolektomi biasanya cukup sebagai terapi. Pembuangan debris intravascular dari pembuluh darah yang sehat dapat mengembalikan perfusi tanpa harus diberikan intervensi tambahan. Pasien dengan iskemia akut akibat thrombosis, harus dicari terlebih dulu ada atau tidak penyakit atherosklerotik yang mendasari, baik dengan 21

operasi bypass atau pendekatan campuran endovascular dengan angioplasty atau pemasangan stent. Memang, karena populasi yang menderita iskemia anggota gerak akut sudah bergeser ke pasien-pasien yang lebih tua dengan riwayat PAD dan thrombosis in situ, Embolektomi Fogarty telah terbatasi menjadi teknik yang berjalan sendiri. Meskipun demikian, terapi pembedahan modern untuk mengatasi iskemia anggota gerak akut tersusun atas rekonstruksi vaskular komplit, angiografi, embolektomi, dan teknik endovascular gabungan. 2.5.7

Terapi Medis Tambahan Selain penyakit yang mendasari, reperfusion injury merupakan penyebab

utama mortalitas dan morbiditas setelah dilakukannya revaskularisasi. Untuk menurunkan kejadian ischemic reperfusion injury, telah dilakukan penelitian pada model hewan berupa reperfusi bertahap menggunakan reperfusat yang dimodifikasi. Hipotermia dan tingkat aliran awal yang lambat terbukti dapat menurunkan keparahan reperfusion injury pada otot bergaris pada hewan. Reperfusi terkontrol terdiri atas pemberian infus selama 30 menit berupa solusi reperfusi kristaloid yang dicampur dengan darah teroksigenasi langsung ke arteri revaskularisasi dan otot. Reperfusi terkontrol ini tidak menghilangkan reperfusion injury sama sekali namun tetap dapat menurunkan kejadian reperfusion injury secara signifikan dengan menurunkan edema jaringan serta menjaga otot tetap hidup dan dapat berkontraksi. Strategi lain juga telah diusulkan bertahun-tahun sebelumnya, namun belum pernah dipraktekkan secara klinis. Pemberian scavenger radikal bebas dan agen antiinflamasi juga terbukti dapat menurunkan efek buruk reperfusi. Reperfusi terkontrol dengan 22

menggunakan darah yang dicampur dengan kristaloid untuk mendapatkan sebuah cairan reperfusat yang alkalotik, hipokalsemik, dan kaya substrate, terbukti dapat menurunkan derajat reperfusion injury. Pasien yang diberikan reperfusi terkontrol akan mengalami perbaikan fungsional yang lebih baik dan tingkat amputasi yang lebih rendah. Iloprost, sebuah analog prostacyclin sintetis, telah diteliti sebagai terapi tambahan

untuk

menurunkan

komplikasi

tungkai

dengan

memperbaiki

mikrosirkulasi. Pada sebuah studi acak terhadap 300 pasien dengan iskemia tungkai akut, pasien yang diterapi dengan infus iloprost intraarteri maupun intravena memiliki tingkat kematian 90 hari yang jauh lebih rendah dibandingkan pasien yang diberikan placebo. Namun, tidak ada perbedaan pada tingkat amputasi. Belum ada satupun dari terapi tahap penelitian ini yang sudah dipakai luas dalam praktek klinis modern. Tabel 2.2 Rekomendasi Antitrombotik pada pasien PAD9

23

2.6

Pencegahan

2.6.1

Modifikasi Gaya Hidup Beberapa penelitian merekomendasikan olahraga 3 kali seminggu dengan

berjalan kaki selama 30 menit dalam jangka waktu selama 6 bulan. Secara keseluruhan dijumpai peningkatan dalam kemampuan berjalan sekitar 50-200%. Pada pasien dengan claudication, olahraga direkomendasikan karena dapat memperbaiki status fungsional, kualitas hidup, dan mengurangi gejala pada tungkai. 2.6.2

Berhenti Merokok Rokok merupakan faktor risiko yang dominan dalam perkembangan dan

perburukan PAD, selain itu rokok juga meningkatkan risiko amputasi, oklusi graft dan mortalitas. Trans-Atlantic inter-society consensus (TASC II) merekomendasikan untuk berhenti merokok sebagai bagian dalam tatalaksana PAD. AHA/ACC 2016 merekomendasikan pasien dengan PAD yang merokok harus disarankan untuk berhenti.2,5 2.6.3

Hiperlipidemia Terapi menggunakan statin dapat memperbaiki outcome cardiovaskular dan

tungkai pada pasien dengan PAD, sehingga penggunaan statin diindikasikan pada semua pasien dengan PAD. 5,6 2.6.4

Hipertensi Target tekanan darah pada pasien PAD adalah <140/90 mmHg (<130/80

mmHg pada pasien DM atau gagal ginjal). Terapi antihipertensi harus diberikan kepada pasien dengan hipertensi dan PAD untuk menurunkan risiko infark miokard, 24

stroke, gagal jantung, dan kematian akibat kardiovaskular. Penggunaan ACE-I atau ARB dapat digunakan untuk menurunkan risiko kejadian iskemik kardiovaskular pada pasien PAD.5,6 2.6.5

Diabetes Mellitus Diabetes mellitus meningkatkan risiko PAD sebanyak 3 sampai 4 kali, dan

meningkatkan risiko claudication menjadi 2 kali. Diabetes mellitus juga meningkatkan risiko outcome yang lebih buruk pada pasien PAD, termasuk perburukan menjadi CLI, amputasi dan kematian. Tatalaksana DM pada pasien dengan PAD harus dikoordinasikan antar sesama tim kesehatan.5,6,7 2.6.6

Antiplatelet Terapi antiplatelet dengan aspirin (75-325 mg per hari) atau clopidogrel (75

mg per hari) direkomendasikan pada pasien PAD yang simptomatik. Pada pasien PAD (ABI ≤0,90) yang tidak memiliki gejala, antiplatelet masih dapat diberikan untuk menurunkan risiko MI, stroke / kematian akibat vaskular.5,6 2.6.7

Antikoagulan Manfaat penggunaan antikoagulan untuk mempertahankan patensi setelah

bypass, dan tidak direkomendasikan untuk menurunkan risiko kejadian MI pada pasien dengan PAD.5,6 2.6.8

Cilostazol Cilostazol merupakan terapi yang efektif untuk memperbaiki gejala dan

meningkatkan jarak dalam berjalan pada pasien dengan claudication.5,6

25

2.6.9

Revaskularisasi Revaskularisasi pada claudication direkomendasikan bagi setiap pasien untuk

mengoptimalkan outcome. Pasien yang akan direncanakan untuk menjalani revaskularisasi harus berdasarkan tingkat keparahan dari gejala yang mereka miliki karena gejala tungkai iskemik yang bervariasi dan dampak gejala-gejala ini terhadap status fungsional dan kualitas hidup. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan termasuk disabilitas yang signifikan, respon yang adekuat terhadap terapi medis dan program latihan, dan kondisi komorbid.Revaskularisasi dapat dilakukan sebagi pilihan tatalaksana bagi pasien dengan claudication yang tidak memiliki respon adekuat terhadap

GDMT

(guideline-directed

management

and

therapy).

Prosedur

endovaskular merupakan pilihan revaskularisasi yang efektif terhadap pasien dengan claudication dan secara hemodinamik mengalami penyakit oklusi aortoiliaca yang signifikan. Prosedur endovaskular juga dapat menjadi pilihan revaskularisasi terhadap pasien dengan claudication dan secara hemodinamik mengalami penyakit femoropopliteal

yang

signifikan.

Tetapi,

prosedur

endovaskular

tidak

direkomendasikan untuk dilakukan pada pasien dengan PAD dengan tujuan hanya untuk mencegah perburukan menjadi CLI.5,6

2.7

Prognosis Pasien dengan iskemik lengan dan tungkai akut biasanya memiliki faktor

pencetus berupa gangguan kardiovaskuler, yang dapat memungkinkan timbulnya suatu iskemik. Populasi ini memiliki prognosis jangka panjang yang buruk. Angka

26

kelangsungan hidup rata-rata dalam lima tahun pada iskemik lengan dan tungkai akut yang disebabkan oleh thrombosis adalah sekitar 45%, dan jika disertai dengan emboli, akan berkurang menjadi sekitar 20%. Angka kelangsungan hidup rata-rata pada 1 bulan penderita yang berusia diatas 75 tahun dengan iskemik tungkai dan lengan akut adalah sekitar 40%. Resiko untuk kehilangan anggota gerak tergantung kepada beratnya iskemik dan lamanya waktu yang telah lewat sebelum tindakan revaskularisasi dilakukan. Skema mengenai klasifikasi yang membagi derajat berat ringannya iskemik dan kemampuan dari anggota gerak untuk tetap bertahan, sejalan dan berhubungan dengan temuan neurologis dan kriteria Doppler, telah dikembangkan oleh Perkumpulan Bedah Vaskuler dan Perkumpulan Internasional Bedah kardiovaskuler. Anggota gerak yang masih berfungsi dan dapat bertahan, pada kategori 1, yaitu yang tidak bersifat mengancam dengan seketika, begitu pula dengan kelainan fungsi sensori maupun motorik, dan adanya aliran darah yang dapat dideteksi dengan menggunakan pemeriksaan Doppler. Ancaman kelangsungan hidup, pada kategori II, mengindikasikan bahwa derajat beratnya suatu iskemik yang akan menyebabkan kehilangan anggota gerak kecuali suplai darah terpenuhi dengan segera. Kategori tersebut terbagi lagi secara garis besar yaitu yang bersifat perlahan mengancam anggota gerak dan yang bersifat seketika, yang ditandai dengan adanya rasa nyeri, berkurangnya rasa sensoris, dan kelemahan otot. Pemeriksan Doppler tidak dapat mendeteksi aliran darah arteri. Iskemik lengan dan tungkai yang tidak dapat diperbaiki akan memicu terjadinya kehilangan jaringan dan tindakan amputasi, kategori III, ditandai dengan hilangnya sensasi, kelumpuhan, dan tidak terdeteksinya 27

aliran darah pada pemeriksaan Doppler pada arteri dan vena distal sampai ke tempat sumbatan.

28

BAB 3 LAPORAN KASUS

3.1

Identitas Pasien Nama

: Tn. BI

CM

: 1-19-89-XX

Umur

: 75 tahun

Alamat

: Gayo Lues

Pekerjaaan

: Ibu Rumah Tangga

Tanggal Masuk RS

: 30 Januari 2019

Tanggal pemeriksaan : 31 Januari 2019 3.2

Anamnesis Keluhan Utama

: Nyeri pada kaki kanan

Keluhan Tambahan

: Demam

Riwayat Penyakit Sekarang

:

Pasien datang dengan keluhan nyeri pada kaki kanan sejak 10 hari yang lalu dan semakin memberat beberapa jam sebelum datang ke rumah sakit.. Sebelumnya, pasien mengeluhkan bahwa 3 jari kaki kanan menghitam secara tiba – tiba yang disertai nyeri dan demam. Nyeri kaki yang dirasakan pasien terasa seperti tertusuk – tusuk dan akan menjadi lebih ringan jika pasien tidak beraktifitas. Kemudian dalam kurun waktu 10 hari terakhir kaki yang menghitam tersebut menyebar ke seluruh jari kaki yang lainnya hingga 29

setengah betis kanan dan kini nyerinya pun tidak daat diatasi hanya dengan beristirahat seperti sebelumnya. Pasien sudah mencoba mengatasi keluhannya dengan berobat ke rumah sakit yang ada di daerah tempat tinggalnya namun tidak ada perbaikan. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Diabetes Mellitus disangkal Riwayat Hipertensi disangkal Riwayat Hiperkolesterolemia disangkal Riwayat Penyakit Keluarga Keluarga yang memiliki penyakit DM tidak diketahui Keluarga yang memiliki riwayat pentakit jantung tidak diketahui Keluarga yang mengalami obesitas ada Keluarga serumah yang merokok ada Riwayat Kebiasaan Sosial Pasien seorang ibu rumah tangga yang sekarang tidak lagi melakukan pekerjaan rumah sehari – hari, gemar mengkonsumsi makanan bersantan dan olahan goreng serta jarang berolahraga.

30

3.3

Pemeriksaan Fisik Vital Sign Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan darah : 100/70 mmHg Nadi

: 95 kali/ menit

Pernapasan

: 21 kali/ menit

Suhu

: 37,8 0C

Pemeriksaan Fisik Umum Mata

: konjungtiva palpebra inferior pucat (+/+), edema (-/-), sklera ikterik (-/-) pupil isokor ø 3 mm/3 mm

Telinga

: Normotia (+), sekret (-)

Hidung

: Sekret (-), Darah (-)

Mulut

: Pucat (-), Sianosis sentral (-)

Leher

: TVJ R±2cmH2O, perbesaran KGB (-)

Toraks

:

- Inspeksi

: simetris pada saat statis dan dinamis, bentuk normal, retraksi interkostal (-)

- Palpasi

: SF kanan = SF kiri, nyeri tekan (-)

- Perkusi

: Sonor

Auskultasi : vesikular (+/+), ronkhi (+/+), Wheezing (-/-)

31

Jantung

:

- Inspeksi

: iktus kordis tidak terlihat

- Palpasi

: iktus kordis teraba pada ICS V midclavicula 2 cm kearah lateral

- Perkusi

:

 Batas atas : ICS III midclavicula sinistra  Batas kiri : ICS V tiga jari ke lateral linea midclavicula sinistra  Batas kanan: dua jari ke lateral ICS V linea parasternal dextra - Auskultasi : BJ I > BJ II, regular (-), bising (-) Abdomen

:

- Inspeksi

: darm contour (-), darm steifung (-), spider naevi (-)

- Palpasi

: nyeri tekan (-), pembesaran organ (-), soepel

- Perkusi

: timpani (+)

- Auskultasi: peristaltik (+) Ekstremitas

: Edema (-).

Denyut Nadi Ekstremitas inferior Arteri

Kanan

Kiri

Arteri femoralis

+

+

Arteri Poplitea

+ (lemah)

+

Arteri tibialis posterior

-

+

32

ABI Index :  ABI Kanan 0,6  ABI Kiri 1,07 3.4

Pemeriksaan Penunjang -

EKG (31 Januari 2019)

Interpretasi EKG: • • • • • • • •

Irama : atrial fibrilasi Frekuensi : 106x/menit Axis : LAD Gel. P : Tidak bisa dinilai PR interval : Tidak bisa dinilai QRS kompleks: 0,04 detik Hipertrofi : LVH (-), RVH (-) Segmen ST : V2. V3, V4 33



Gel T : T inverted di V1 V2 V3 V4 V5 V6

Kesimpulan : Atrial Fibrilasi Rapid Ventrikuler Respon, HR 106 x/menit, Left Axis Deviation(LAD), iskemik anterior

-

Laboratorium

Jenis Pemeriksaan HEMATOLOGI Hemoglobin Hemotokrit Eritrosit Trombosit Leukosit MCV MCH MCHC RDW MPV Eosinofil Basofil Neutrofil Batang Neutrofil Segmen Limfosit Monosit DIABETES KGDS Ureum Creatinin Natrium Kalium Klorida PT Pasien (PT) Kontrol INR APTT Pasien (APTT) Kontrol

30/1/19

Nilai Rujukan

Satuan

10,6 40 4,2 132 17,6 76 27 35 13,8 10,4 1 0 0 87 4 8

14,0-17,0 45-55 4,7-6,1 150-450 4,5-10,5 80-100 27-31 32-36 11,5-14,5 7,2-11,1 0-6 0-2 2-6 50-70 20-40 2-8

g/dL % 3 10 /mm3 103 /mm3 103 /mm3 fL Pg % % fL % % % % % %

110 59 1,02 124 4,2 88

<200 13-43 0,51-95 131-146 3,7-5,4 98-106

mg/dL mg/dL mg/dL Mmol/L Mmol/L Mmol/L

17,7 10,2 1,71

9,3-12,4

Detik Detik

59,5 32,2

29,0-40,2

<1,5 Detik Detik

34

Foto Thorax

Kesimpulan : Cor : kesan membesar, kalsifikasi di aortic knob Pulmo : Tak Tampak Infiltrat Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam Tampak kalsifikasi di os costa 2 kanan posterior, os costa 1 kiri posterium, corpus VTH2 Kesimpulan : Cardiomegali dengan aortosklerosis

35

Echocardiography

36

Kesimpulan: Katup-katup TR Moderate, demensi ruang-ruang jantung normal, tidak tampak thrombus/vegetasi intrakardiak, fungsi sistolik LV dan RV Normal, fungsi diastolic RV dan LV normal, tidak terdapat LVH, pericardium normal, pembuluh darah besar normal Kesimpulan = Coronary Artery Disease dan TR moderate

37

Arteriografi

Kesan : total oklusi pada arteri femoralis

38

Foto Klinis

3.5

Diagnosis

1. Acute Limb Ischemik ar cruris dextra 2. Atrial Fibrilasi Rapid Ventrikuler Respon

3.6

Terapi Farmakologi - Bedrest - Diet Jantung 1500kkal - Drip pethidine 1 amp/24 jam

39

- IV Heparin 60 unit/ KgBB ± 2500 unit dilanjutkan drip heparin 16 unit/KgBB/jam setara dengan 6,4 cc/jam dengan pengenceran 5000 ui dalam 50 cc NaCL 0,9% - IV Ceftriaxone 2 gr / 24 jam (H1) - Loading aspilet 160 mg dilanjutkan 1x80 mg - Loading clopidogrel 300 mg dilanjutkan 1x 75 mg - Cilostazol 1x100 mg - Atorvastatin 1x40 mg - Fentoxipilin 3x400 mg

Planning : 1. Konsul BTKV 2. Foto Thorax dan arteriografi

2.7

2.8

Prognosis Quo ad Vitam

: Dubia ad bonam

Quo ad Functionam

: Dubia ad malam

Quo ad Sanationam

: Dubia ad malam

Follow up harian Tanggal/ Hari Rawatan 31/1/2018 H+2

Catatan S/ nyeri pada kaki O/ TD : 80/53 mmHg HR : 103 kali/i RR : 18 kali/i SpO2 : 99% Ass/ 1. Acute Limb Ischemik ar cruris dextra

Instruksi Th/ - Bed rest - IUFD NaCl 0,9% 10gtt - IV Ceftriaxone 2gr/ 24j (H2) - Drip petidin 1 amp/ 24j - Drip heparin 640 ui/j - Drip vascon 0,40cc (tapering)

40

2. Total Oklusi A. Femoralis 3. Atrial Fibrilasi Rapid Ventrikuler Respon

-

Atorvastastin 1x40 mg Fentoxipilin 3x400 mg Allopurinol 3x100mg Bicnat 3x 500mg Vit E 1x1 tab Digoxin 3x0,25mg

P/ -cek PT-APTT/6 jam., cek lab lipid profile, gd2pp, FT4, TSH BTKV : rencana revaskularisasi femoropopliteal dengan RSVG graft kanan + BKA kanan -konsul anestesi untuk toleransi operasi - kardiologi : acc toleransi operasi 1/2/2018

H+3

S/ nyeri kaki kanan O/ TD: 108/65 mmHg HR : 80 kali/i RR : 17 kali/i SpO2 : 99% Cholesterol total 73 HDL 23 LDL 33 Trigliserida 90 Ass/ 1. Acute Limb Ischemik ar cruris dextra 2. Total Oklusi A. Femoralis 3. Death limb cruris dextra 4. Atrial Fibrilasi Rapid Ventrikuler Respon 5. PPOK Stabil

Th/ - Bed rest - IUFD NaCl 0,9% 10gtt - IV Ceftriaxone 2gr/ 24j (H3) - Drip petidin 1 amp/ 24j - Drip heparin 640 ui/j - Drip vascon 0,40cc (tapering) - Atorvastastin 1x40 mg - Fentoxipilin 3x400 mg - Allopurinol 3x100mg - Bicnat 3x 500mg - Vit E 1x1 tab - Digoxin 3x0,25mg

P/ - Susul lab PT/APTT, elektrolit, foto thorax, lipid

41

2//2018

H+4

profile - Echocardiografi - Persiapan operasi S/ pasien sadar penuh, sesak napas (-), Th/ perdarahan dari bekas amputasi (+) - Bed rest tidak masif - Head up 30o - IUFD NaCl 0,9% 10gtt O/ TD: 100/70mmHg - IV Ceftriaxone 2gr/ 24j HR : 58 kali/i (H4) RR : 22 kali/i - Drip fentanil 25 mg/ j SpO2 : 99% - Drip heparin 200 iu/j - Drip parasetamol Ass/ 1. Acute Limb Ischemik ar cruris 1gr/8j dextra ec femoralis (D) post explorasi - Nebule ventolin 1 vascular femoralis (D) + post resp/8j revaskularisasi + trombectomy - Nebule pulmicort 1 2. Death limb cruris dextra post BKA resp/12j dextra + osteotomy - Atorvastastin 1x40 mg 3. PPOK Stabil - Fentoxipilin 3x400 mg - Digoxin 3x0,25mg Hasil lab : - Nystatin drop 3x1 cc 1. Hematologi - Cilostazole 2x100 mg PT - Drip midazolam 2mg/j PT = 12,9 - Miniaspi 1x80 mg Kontrol = 10,4 - Clopidogrel 1x75 mg INR = 1,21 APTT APTT = 40,9 P/ Kontrol = 31,6 Darah rutin ulang Tiroid T3 total = 0,91 Free T4 = 17,35 TSHs =0,122 Lemak Darah Kolesterol total = 73 Kolesterol HDL = 23 Kolesterol LDL = 33 Trigliserida = 90 Elektrolit Calsium = 8,6 Natrium = 136 Kalium = 4,3

42

3/1/2019

H+5

4/1/2019

H+6

Clorida = 108 S/ nyeri post operasi (+), nyeri dada (-) Th/ - Bed rest O/ TD: 100/70mmHg - IUFD NaCl 0,9% 10gtt HR : 58 kali/i - IV Ceftriaxone 2gr/ 24j RR : 22 kali/i (H5) SpO2 : 99% - Nebule ventolin 1 resp/8j Ass/ 1. Acute Limb Ischemik ar cruris - Nebule pulmicort 1 dextra ec femoralis (D) post explorasi resp/12j vascular femoralis (D) + post - Atorvastastin 1x40 mg revaskularisasi + trombectomy - Fentoxipilin 3x400 mg 2. Death limb cruris dextra post BKA - Digoxin 1x0,25mg dextra + osteotomy - Nystatin drop 3x1cc 3. PPOK Stabil - Cilostazol 2x100mg - Clopidogrel 1 x 75 mg - Mini aspi 1x80mg Hasil Lab: 1. Haemoglobin = 9,9 - Concor 1x2,5 mg 2. Hematokrit = 30 - Drip Octalbin 90%/H 3. Eritrosit = 3,7 (H2) 4. Leukosit = 17,0 - Drip heparin 900 iu/j 5. Tromobosit = 153 - Drip PCT 1gr/8j P/ Cek albumin, elektrolit ulang, troponin I dan CKMB S/ nyeri post operasi (+), nyeri dada (- Th/ ), mengicau, gelisah - Bed rest - IUFD NaCl 0,9% 10gtt O/ TD: 120/60mmHg - IV Ceftriaxone 2 gr/ HR : 60 kali/i 24j (H6) RR : 20 kali/i - Nebule ventolin 1 SpO2 : 99% resp/8j - Nebule pulmicort 1 Ass/ 1. Acute Limb Ischemik ar cruris resp/12j dextra ec femoralis (D) post explorasi - Atorvastastin 1x40 mg vascular femoralis (D) + post - Fentoxipilin 3x400 mg revaskularisasi + trombectomy - Digoxin 1x0,25mg 2. Death limb cruris dextra post BKA - Nystatin drop 3x1cc dextra + osteotomy - Cilostazol 2x100mg 3. PPOK Stabil - Clopidogrel 1 x 75 mg

43

Hasil Lab: 1. Troponin I = <0,10 2. CK-MB = 46 3. Albumin = 2,70 4. Kalsium = 7,9 w 5. Natrium = 142 6. Kalium = 4,9 7. Klorida = 103

- Mini aspi 1x80mg - Concor 1x2,5 mg - Drip Octalbin 90% /24j (H3) - Drip heparin 900 iu/j - Drip PCT 1gr/8j - Ondansentron /12j - Pantoprazole 1 vial / 24j P/

44

BAB 4 PEMBAHASAN

Seorang perempuan berumur 75 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri pada kaki kanan sejak 10 hari yang lalu. Pasien mengatakan bahwa pada mulanya, 3 jari kaki kanan pasien menghitam sebelum kemudian menjalar ke bagian betisnya. Berdasarkan gejala klinis yang dialami pasien, terdapat tanda – tanda acute limb iskemia yang meliputi pain, pallor, pulselessness, paresthesia, paralysis, dan poikilotermia. Acute Limb Ischemia (ALI) merupakan salah satu klasifikasi dari Peripheral Artery Disease (PAD), penyakit arteri perifer yang setiap tahun jumlahnya semakin meningkat. Menurut data epidemiologi, ALI banyak terjadi pada pasien dengan rerata usia 70 tahun dan lebih banyak terjadi pada laki – laki. Meskipun terdapat perbedaan gender pada studi epidemiologi pada pasien ini, bukan berarti perempuan tidak bisa mengalami ALI. Adapun faktor risiko yang dapat memicu kejadian ALI adalah adanya riwayat coronary artery disease (29%); gagal jantung (19,4%); stroke/TIA (26,9%); peripheral arterial disease (41,9%) dengan komorbid faktor risiko merokok (68,8%); hipertensi (69,2%); diabetes melitus (12,9%); dan hiperlipidemia (35,5%). Dari hasil anamnesis mengenai riwayat penyakit terdahulu, tidak didapatkan data mengenai penyakit terdahulu yang pernah dialami pasien namun beberapa faktor yang diduga dapat menjadi pemicu adalah adanya penyakit pada arteri koroner yang ditunjukkan oleh pemeriksaan penunjang (aortosklerosis pada hasil rontgen thorax, iskemia dan arterial fibrilasi (komplikasi tersering pada AF

45

adalah tromboemboli) pada hasil EKG serta diperkuat oleh hasil pemeriksaan echocardiografi) disertai faktor risiko perokok (pasif) dan dugaan hiperlipidemia berdasarkan kegemaran mengkonsumsi makanan berlemak, kemudian juga diperkuat dengan didapatkan adanya trombus yang menyebabkan oklusi total pada a. Poplitea dextra pasien pada pemeriksaan arteriografi dan memang penelitian menunjukkan bahwa 85% ALI disebabkan oleh adanya trombus dan paling sering terjadi pada arteri femoralis dan arteri poplitea (karena merupakan percabangan langsung dari aorta; pada proksimal arteri memiliki diameter yang lebih besar dibandingkan dengan bagian distal). Dari pemeriksaan fisik didapatkan Kesadaran Compos mentis Tekanan darah 100/70 mmHg, Nadi 95 kali/ menit Pernapasan 2 kali/ menit, Suhu 37,8 0C. Pemeriksaan ekstremitas didapatkan denyut arteri poplitea melemah pada kaki kanan dan tidak ada denyut nadi pada arteri tibialis posterior. ABI Index pada kanan adalah 0,6 (menunjukkan adanya gangguan; didukung oleh hasil pemeriksaan fisik tersebut diatas; bagian proksimal oklusi memiliki denyut nadi yangv rendah sedangkan pada bagian distal tidak ada) dan kiri 1,07. Pada pasien ini didapatkan diagnosis Acute Limb Ischemic dengan klasifikasi Rutherford III pada area cruris. Menurut pedoman ESC 2017, Rutherford III maka akan dilakukan amputasi dan diberikan medikamentosa. Skor CHA2DS2 VASc didapatkan skor 2 dan dipertimbangkan untuk mendapatkan antikoagulan oral. Pasien ini mendapatkan terapi awal berupa pemberian Heparin, Clopidogrel, Aspilet, Statin, Phetidin, Ceftriaxone, Cilostazol, Fentoxipilin, kemudian terapi lanjutan berupa 46

revaskularisasi dan amputasi. Penggunaan heparin pada pasien ini bertujuan untuk. Mencegah terjadinya thrombus yang baru. Penelitian oleh Banerjee, dkk (2015) membuktikan bahwa penggunaan aspilet yang digunakan bersamaan dengan clopidogrel memberikan hasil yang lebih baik dibandingakan dengan penggunaan monoterapi serta penggunaan ticagleror tidak lebih baik daripada clopidogrel namun pada penelitiannya juga menyebutkan bahwa penggunaan rivaroxaban dan aspilet merupakan antitrombotik pilihan pertama. Clopidogrel dan aspilet bekerja secara sinergi

sebagai

antitrombotik

(mencegah

pelepasan

trombokinase

dengan

menghalangi pembentukan ATP) dan anti agregasi thrombosit (Aspirin menghambat sintesis tromboksan A2 melalui asetilasi irreversibel enzim COX; Ikatan antara gugus asetil dan gugus hidroksil dari residu serin pada posisi 529 dalam rantai polipeptida COX-1 ini mampu menurunkan produksi TXA2 yang berperan penting sebagai vasokonstriktor dan agregator platelet yang poten.). Meskipun tidak diketahui kadar kolesterol awal pasien ini, pada terapi awal, pasien diberikan atorvastatin karena tujuan utama dari pemberian statin ini adalah bukan untuk menurunkan kadar kolesterol namun digunakan sebagai plaque stabilizer yakni ketika agregasi trombosit sudah dihambat, diharapkan setelah itu plak yang menempel pada endotel pembuluh darah dapat tetap pada tempatnya serta pada akhirnya akan mengalami reduksi volume seperti pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Marcio and Rodrio (2018) membuktikan bahwa penggunaan statin dengan dosis tinggi dapat mengurangi volume plak pada pasien dengan risiko PAD.

47

Setelah dilakukannya pengobatan awal, pada pasien ini diputuskan untuk dilakukan revaskularisasi serta amputasi. Hal ini dilakukan karena untuk menyelamatkan tungkai yang masih bisa diharapkan kembali pulih dan untuk mencegah nekrosis yang lebih luas mengingat onsetnya sudah terjadi selama lebih kurang 10 hari, sedangkan untuk golden time menyelamatkan kaki dari amputasi sendiri adalah 4 – 6 jam. Jika terjadi lebih dari waktu tersebut maka dipastikan kaki yang mengalami iskemia telah mengalami kematian saraf.

48

BAB 5 KESIMPULAN

Acute limb ischemia (ALI) merupakan salah satu presentasi PAD yang paling berbahaya dan dapat ditangani. Iskemia tungkai akut (Acute Limb Ischemia) adalah kondisi di mana terjadi penurunan mendadak perfusi tungkai yang melibatkan trombus dan emboli serta terjadi dalam waktu 14 hari atau kurang setelah onset. Gejala berkembang dalam hitungan jam sampai hari dan bervariasi dari episode klaudikasio intermiten hingga rasa nyeri di telapak kaki atau tungkai ketika pasien sedang beristirahat, parestesia, kelemahan otot, dan kelumpuhan pada ekstremitas yang terkena. Hampir 85% ALI disebabkan oleh trombosis. Faktor risiko trombosis terjadi pada pasien yang sudah memiliki riwayat penyakit arteri perifer (PAD) sebelumnya. Kelemahan pada endotel arteri akan menyebabkan pembentukan dan penumpukan platelet yang kemudian mekanismenya sama dengan trombus pada infark miokard. Pengobatan pada ALI sendiri meliputi penggunan agen trombolitik maupun mekanis dan prognosisnya mengikuti tingkat kepaharahan berdasarkan klasifikasi rutherford.

49

Daftar Pustaka

1. Gunawan H, Isnanta R, Syafri Z, Hasan R.. 2017. Iskemia Tungkai Akut; A Case Report. Indonesian Journal Chest & Critical Care Medicine. Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H Adam Malik. Vol.4 No.2 April-Juni. 2. Howar DP, Benerjee A, Fairhead JF, Hands L, Silver LE, Rothwell PM. 2015. Population base study of incidence, risk factors, outcome, and prognosis of ischemic periveral arterial events: Implication for prevention. Circulation American Heart Association. Di unduh dari http://circ.ahajournals.org/content/1 32/19/1805 pada 16 Januari 2019. doi: 10.1161/circulationaha.115.016424 3. Abdulhannan P, Russell D A dan Homer-Vanniasinkam S. 2012. Peripheral arterial disease: a literature review. British Medical Bulletin; 104:21-39. 4. Kullo I J dan Rooke T W. 2016. Peripheral artery disease. N ENG J MED; 374:861-71. 5. Gerhard-Herman M D, Gornik H L, Barrett C, Barshes N R, Corriere M A, Drachman D E, et al. 2016. AHA/ACC guideline on the management of patients with lower extremity peripheral artery disease: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on clinical practice guidelines. Circulation 2017;135:e726-e779. 6. Baker S, Deborah B. 2018. Acute Limb Arterial Ischemia; Although acute limb ischemia is a relatively rare condition, it is a true medical emergency requiring prompt diagnosis and management to prevent limb loss. Emergency Medicine. H65 – 71. 7. Mark A, Creager MD, John A, Kaufman MD, Michael SC MD. 2012. Acute Limb Inschemia. New England Journal.of Medicine. h 2198 - 2206 8. Habibie, YA. 2017. Peripheral Arterial Disease; What should we know?. Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”. Banda Aceh.

9. Guidelines on the Diagnosis and Treatment of Peripheral Arterial Diseases, in collaboration with the European Society for Vascular Surgery (ESVS). 2017. Eur J Vasc Endovasc Surg (2018) 55, h 305 – 368. doi.org/10.1016/j.ejvs.2017.07.018

50

10. Njoto EN. 2013. Acute Limb Ischemia: Case Report. CDK – 211. Vol.40. No.12. h 913 – 916

11. Benerjee S, Sarode K, Banerjee A, Mohammad A, Brilakis ES. 2015. The role of antiplatelet therapy in patients with peripheral artery disease and lower extremity peripheral artery revascularization. Curr Opin Cardiol. doi: 10.1097/HCO.0000000000000208. Review. PubMed PMID: 26241710.

51

Related Documents


More Documents from "Taufik Abidin"