BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kemampuan belajar yang dimiliki manusia, merupakan bekal yang sangat pokok. Berdasarkan kemampuan itu, umat manusia telah berkembang selama abad-abad yang lalu dan tetap terbuka kesempatan luas baginya untuk memperkaya diri dan mencapai taraf kebudayaan yang lebih tinggi. Misalnya, para ahli teknologiberusaha terus untuk menemukan sumber-sumber enersi yang baru, dengan mempergunakan hasil penemuan ilmiah yang telah digali oleh generasi-generasi terdahulu. Namun, tanpa dibekali kemampuan belajar, kemajuan di bidang teknologinini tidak mungkin. Masing-masing manusia pun mengalami banyak pengalaman di berbagai bidang kehidupan. Perkembangan ini memungkinkan karena adanya kemampuan untuk belajar, yaitu mengalami perubahan-perubahan, mulai dari saat lahir sampai mencapai umur tua. Rangkaian perubahan paling Nampak jelas padapada anak sampai umur dewasa. Misalnya, anak kecil belajar mengenakan pakaiannya sendiri, belajar berbicara, belajar menulis dan membaca, belajar mengambil sikap hormat bila mengikuti upacara pengibaran bendera dan lain sebagainya. Anak remaja membaca suatu naskah dalam bahasa inggris sehingga menangkap isinya, belajar mengendarai kendaraan bermotur, belajar bergaul dengan lawan jenisnya secara lebih dewasa dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak semua perubahan yang di alami anak kecil dan anak remaja merupakan hasil suatu proses belajar. Misalnya, perubahan dalam perbandingan ukuran besarnya kepala dan rongga dada pada anak kecil, berlangsung dengansendirinya, asal disertai perawatan yang memadai. Demikian pula kemasakan alat kelamin pada anak puber, tidak merupakan hasil dari suatu proses belajar yang mendahului kemasakan itu. Biarpun demikian, tetap berlaku kenyataan, bahwa sebagian besar dari
1
perubahan-perubahan yang Nampak pada anak yang belum mencapai umur dewasa, merupakan hasil dari proses belajar di berbagai bidang.1 Proses belajar pada bidang Pendidikan agama Islam pada dasarnya hendak menghantarkan peserta didik agar memiliki: (1) kemantapan aqidah dan kedalaman spiritual; (2) Keunggulan akhlak. Dalam konsep islam, kemantapan aqidah merupakan potensi rohani yang diaktualisasikan dalam bentuk amal saleh, sehingga menghasilkan prestasi rohani yang disebut takwa. Amal saleh itu menyangkut keserashaian
dan keselarasannya hubungsn
manusia dengan Allah da hubungan manusia dengan dirinya. Kualitas amal saleh akan menentukan derajat ketaqwaan (prestasi/rohani/iman) seseorang di hadapan Allah SWT.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Faktor Internal dan Faktor Eksternal dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa dalam Pelajaran PAI? 2. Bagaimana keterlibatan Tuhan dalam proses dan hasil belajar siswa dalam Pelajaran PAI?
C. Tujuan 1. Mengetahui Faktor Internal dan Faktor Eksternal yang mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa dalam Pelajaran PAI. 2. Menyadari keterlibatan Tuhan dalam proses dan hasil belajar siswa dalam Pelajaran PAI.
1
Winkel, W.S, Psikologi Pengajaran, (Yogyakarta: Media Abadi, 2009), hal. 1.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Dan Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam Proses penddikan agama islam yang dialami siswa disekolah adalah dimulai dari tahapan tahapan kognisi., yakni pengetahuan pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam, untuk selanjutnya menuju ketahapan afeksi, yakni terjadinya proses internalisasi ajaran dan nilai agama kedalam diri siswa. Melalui tahapan afeksi tersebut diharapkan dapat tumbuh motivasi dalam diri siswa dan tergerak untuk mengamalkan dan menaati ajaran islam (tahapan psikomotorik) yang telah terinternalisasi dalam diri siswa. Dengan demikian akan terbentuk manusia muslim yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia.2 Selama proses pembelajaran disekolah siswa dipengaruhi oleh faktorfaktor belajarnya. Secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa di sekolah dapat kita bedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) Faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), yakni keadaan jasmani dan rohani siswa. Yaitu: aspek fisiologis (jasmani, mata dan telinga) dan aspek psikologis (intelegensi siswa, sikap siswa, bakat siswa, minat siswa dan motivasi siswa).3 (2) Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa. Yaitu: lingkungan sosial (keluarga, guru, masyarakat, teman) dan lingkungan non-sosial (rumah, sekolah, peralatan, alam).4
2
Salamah, Pengembangan Model Kurikulum Holistik, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2016), hal. 38. 3 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 132. 4 Ibid.,
3
Adapun uraian mengenai factor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar tersebut adalah sebagai berikut : 1. Faktor Internal Siswa Faktor yang berasal dari dalam diri siswa meliputi dua aspek, yaitu aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah) dan aspek psikologis (yang bersifat rohaniyah). a. Aspek fisiologis Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai pusing-pusing kepala misalnya, dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas. Untuk mempertahankan tonus jasmani agar tetap bugar, siswa sangat dianjurkan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi. Dalam presfekif Islam makanan yang baik dikonsumsi adalah makanan yang halal dan baik. Apabila siswa terbiasa mengonsumsi makanan yang haram atau tidak baik, akan mengalir darah yang haram, kondisi tersebut menyebabkan cara berpikir yang tidak baik, sulit berkonsentrasi (selalu merasa gelisah).5 Selain itu, siswa sangat dianjurkan memilih pola istirahat dan olahraga ringan yang sedapat mungkin terjadwal secara tetap dan berkesinambungan. Hal ini penting sebab perubahan pola makanan dan minuman dan istirahat akan menimbulkan reaksi tonus yang negatif dan merugikan semangat mental siswa itu sendiri.6 Kondisi organ-organ khusus siswa, seperti tingkat kesehatan indera pendengar dan penglihat, juga sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan pengetahuan, 5
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Rajagrafindo, 2005), hal. 134. 6 Muhibbin syah., Op.Cit., hal. 132.
4
khususnya yang disajikan di kelas. Daya pendengaran dan penglihatan siswa yang rendah, misalnya, akan menyulitkan sensory register dalam menyerap item-item informasi yang bersifat echoic (gema dan citra). Akibat negatif selanjutnya terhambatnya proses informasi yang dilakukan oleh sistem memori siswa tersebut.
b. Aspek Psikologis Banyak faktor yang termasuk kondisi psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran siswa. Namun, diantara faktor-faktor rohaniah siswa yang pada umumnya dipandang lebih esensial itu adalah sebagai berikut : ) tingkat kecerdasan/intelegensi siswa; 2) siakp siswa; 3) bakat siswa; 4) minat siswa; 5) Motivasi Siswa.7 1) Intelegensi Siswa Intelegensi siswa pada umumnya, dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat. Jadi, intelegensi sebenarnya bukan persoalan kualitas otak saja, melainkan juga kualitas organ-organ tubuh lainnya. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa peran otak dalam hubungannya dengan intelegensi manusia lebih menonjol daripada organorgan tubuh lainnya, karena otak merupakan menara pengontrol hampir seluruh aktivitas manusia. Tingkat kecerdasan/intelegensi (IQ) siswa tak dapat diragukan lagi, sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa.8 Selanjutnya, diantara siswa-siswa yang mayoritas berintelegensi normal itu mungkin terdapat satu atau dua orang yang tergolong gifted child, yakni anak sangat cerdas dan anak yang sangat berbakat (IQ 140 ke atas). Disamping itu, mungkin 7 8
Ibid., Ibid, hal. 134.
5
ada pula siswa yang berkecerdasan di bawah rata-rata (IQ 70 ke bawah). Setiap calon guru dan guru profesional sepantasnya menyadari bahwa keluarbiasaan intelegensi siswa, baik yang positif seperti superior maupun ynag negatif seperti borderline, lazimya menimbulkan kesulitan beajar bagi siswa yang bersangkutan.9 Di satu sisi, siswa yang cerdas sekali akan merasa tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari sekolah, karena pelajaran yang disajikan terlampau mudah baginya. Akibatnya, ia menjadi bosan dan frustasi karena tuntutan kebutuhan keingintahuannya merasa dibendung dengan cara tidak adil. Di sisi lain, siswa yang bodoh sekali akan merasa sangat payah mengikti sajian pelajaran karena terlalu sukar baginya. Karena siswa itu sangat tertekan, dan akhiryunya merasa bosan dan frustasi seperti yang dialami rekannya yang luar biasa positif tadi.
2) Sikap Siswa Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons (response tendency) dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya,10 baik secara positif maupun negatif. Sikap (attitude) siswa yang positif, terutama kepada anda dan mata pelajaran yang anda sajikan merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, sikap negatif siswa terhadap anda dan mata pelajaran anda, apalagi jika diiringi kebencian kepada anda atau kepada mata pelajaran anda dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa tersebut. Selain
9
Ibid., hal. 134. Ibid., hal. 135.
10
6
itu, sikap terhadap ilmu pengetahuan yang bersifat conserving11 walaupun mungkin tidak menimbulkan kesulitan belajar, namun prestasi yang dicapai siswa akan kurang memuaskan.
3) Bakat Siswa Secara umum bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang utnuk mencapai keberhasilanpada masa yang akan datang (Chaplin, 1972; Reber, 1988). Dengan demikian, sebetulnya setiap orang pasti memiliki bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas masing-masing. Jadi, secara globa bakat itu mirip dengan inteligensi. Itulah sebabnya seorang anak yang berinteligensi sangat cerdas (superior) atau cerdas luar biasa (very superior) disebut juga sebagai talented child, yakni anak berbakat. Dalam perkembangan selanjutnya, bakat kemudian diartikan sebagai kemampuan individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan latihan. Seorang siswa yang berbakat dalam bidang elektro, misalnya, akan jauh lebih mudah menyerap informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang berhubungan dengan bidang tersebut dibanding dengan siswa lainnya. Inilah yang kemudian disebut bakat khusus (specific aptitude) yang konon tak dapat dipelajari karena merupakan karunia Allah SWT (pembawaan sejak lahir). Sehubungan dengan hal di atas, bakat akan dapat mempengaruhih tinggi rendahnya prestasi belajar bidang-bidang studi tertentu.12 Oleh karenanya adalah hal yang tidak bijaksana apabila
12
orangtua
memaksakan
Ibid.,
7
kehendaknya
untuk
menyekolahkan anaknya pada jurusan keahlian tertentu tanpa mengetahui terlebih dahulu bakat yang dimiliki anaknya. Pemaksaan
kehendak
pada
seorang
siswa,
dan
juga
ketidaksadaran siswa terhadap bakatnya sendiri sehingga ia memilih jurusan tertentu yang sebenarnya bukan bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik atau prestasi belajarnya.
4) Minat Siswa Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (1988), minat tidak termasuk istilah populer dalam psikologi karena ketergantungannya yang banyak pada faktor-faktor internal lainnya seperti: pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan. Namun terlepas dari masalah populer atau tidak, minat seperti yang dipahami dan dipakai oleh orang selama ini dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar siswa dalam bidang-bidang studi tertentu.13 Umpamanya, seorang siswa yang menaruh minat besar terhadap matematika akan memusatkan perhatiannya lebih banyak daripada siswa lainnya. Kemudian, karena pemusatan perhatian yang intensif terhadap materi itulah yang memungkinkan siswa tadi untuk belajar lebih giat, dan akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan.
5) Motivasi Siswa Pengertian dasar motivasi ialah keadaan internal organisme baik manusia maupun hewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya
13
Ibid., hal. 136.
8
(energizer) untuk bertingkah laku secara terarah (Gleitman, 1986; Reber, 1988). Dalam perkembangan selanjutnya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1) motivasi intrinsik; 2) motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar. Termasuk dalam motivasi intrinsik siswa adalah perasaan menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi tersebut. Misalnya, untuk kebutuhan masa depan siswa tersebut. Adapun motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Pujian dan hadiah, peraturan/tata tertib sekolah, suri teladan orangtua, guru dan seterusnya, merupakan contoh konkret motivasi ekstrinsik yang dapat menolong siswa untuk belajar. Kekurangan atau ketiadaan motivasi, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal, akan menyebabkan kurang semangatnya siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran materi-materi pelajaran baik di sekolah maupun di rumah. Dalam perspektif psikologi kognitif, motivasi yang lebih signifikan bagi siswa adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain. Selanjutnya, dorongan untuk mencapai prestasi dan dorongan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan juga memberi pengaruh kuat dan relatif lebih langgeng dibandingkan dengan dorongan hadiah atau dorongan keharusan dari orang tua dan guru.
9
2. Faktor Eksternal Siswa Seperti faktor internal siswa, faktor eksternal siswa juga terdiri atas dua macam, yakni faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan nonsosial. a. Lingkungan Sosial Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi, dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar seorang siswa. Para guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri teladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan berdiskusi dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa. Selanjutnya yang termasuk lingkungan sosial adalah masyarakat dan
tetangga
juga
teman-teman
sepermainan
di
sekitar
perkampungan siswa tersebut. Kondisi masyarakat di lingkungan kumuh (slum area) yang serba kekurangan dan anak-anak penganggur, misalnya, akan sangat mempengaruhi aktivitas belajar siswa. Paling tidak, siswa tersebut akan menemukan kesulitan ketika memerlukan teman belajar atau berdiskusi atau meminjam alat-alat belajar tertentu yang kebetulan belum dimilikinya. Seseorang yang sedang belajar memecahkan soal yang rumit dan membutuhkan konsentrasi tinggi, akan terganggu, bila ada orang lain yang mondar mandir di dekatnya,, keluar masuk kamarnya, atau bercakap-cakap yang cukup keras di dekatnya. 14 Lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar ialah orang tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktik pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga, dan 14
Abu Ahmadi, (SBM) Strategi Belajar Mengajar, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hal. 104.
10
demografi keluarga (letak rumah), semuanya dapat memberdampak baik ataupun buruk terhadap kegiatan beLajar dan hasil yang dicapai oleh siswa. Contoh: kebiasaan yang diterapkan orang tua siswa dalam mengelola keluarga (family management practice) yang keliru, seperti kelalaian orang tua ,dalam memonitor kegiatan anak, dapat menimbulkan dampak lebih buruk lagi. Dalam hal ini, bukan saja anak tidak mau belajar melainkan juga ia cenderung berperilaku menyimpang, terutama perilaku menyimpang yang berat seperti antisosial (Patterson & Loeber, 1984). Sebaliknya suasana keluarga siswa yang harmonis dan religius akan memotivasi siswa dalam belajar, terutama pelajaran agama islam
dan
merealisasikannya
dalam
kehidupan
di
keluarg,
lingkungan sekolah, maupun lingkungan masyarakat.
b. Lingkungan Nonsosial Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial ialah faktor instrumental, letak rumah siswa, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa. Faktor-faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Faktor-faktor instrumental ini dapat berwujud factor-faktor keras (hardware), seperti : gedung perlengkapan belajar, alat-alat praktikum, perpustakaan dan sebagainya. Maupunn factor-faktor lunak (software), seperti : kurikulum, bahan/program yang harus dipelajari, pedoman-pedoman belajar dan sebagainya.15 Rumah yang sempit dan berantakan serta perkampungan yang terlalu padat, dan tak memiliki sarana umum untuk kegiatan remaja (seperti lapangan voli) misalnya, akan mendukung siswa untuk berkeliaran ke tempat-tempat yang sebenarnya tak pantas dikunjungi. Kondisi rumah dan perkampungan seperti itu jelas berpengaruh buruk terhadap kegiatan belajar siswa. 15
Ibid., hal. 105.
11
Khusus mengenai faktor yang disenangi untuk belajar (study time preference) seperti pagi atau sore hari, seorang ahli bernama J. Biggers (1980) berpendapat bahwa belajar pada pagi hari lebih efektif daripada belajar pada waktu-waktu lainnya.16 Namun, menurut penelitian beberapa ahli learning style (gaya belajar), hasil belajar itu tidak bergantung pada waktu secara mutlak, tetapi bergantung pada pilihan waktu,yang cocok dengan kesiapsiagaan siswa (Dunn et al, 1986). Di antara siswa ada yang siap belajar pagi hari, ada pula yang siap pada sore hari, bahkan tengah maiam. Perbedaan antara waktu dan kesiapan belajar inilah ,yang menimbulkan perbedaan study time preference antara seorang siswa dengan siswa lainnya. Namun demikian, menurut hasil penelitian mengenai kinerja baca (reading performance) sekelompok mahasiswa di sebuah universitas di Australia Selatan, tidak ada perbedaan yang berarti antara hasil membaca pada pagi hari dan hasil membaca pada sore hari. Selain itu, keeratan korelasi antara study time preference dengan hasil memhaca pun sulit dibuktikan. Bahkan mereka yang lebih senang belajar pada pagi hari dan dites pada sore hari ternyata hasilnya tetap baik. Sebaliknya, ada pula di antara mereka yang lebih suka belajar pada sore hari dan dites pada saat yang sama, namun hasilnya tidak memuaskan (Syah, 1990). Dengan demikian, waktu yang digunakan siswa untuk belajar yang selama ini sering dipercaya berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa, tak perlu dihiraukan. Sebab, bukan waktu yang penting dalam belajar melainkan kesiapan sistem memori siswa dalam menyerap, mengelola, dan menyimpan item-item informasi dan pengetahuan yang dipelajari siswa tersebut.17
16 17
Muhibbin Syah, Op., Cit. hal. 138. Ibid.,
12
B. Menyadari Keterlibatan Tuhan dalam Proses dan Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam Rupanya sampai saat ini, pendidikan kita masih berjalan secara berkotak-kotak atau dapat dikatakan belum berjalan secara utuh (holistis). Dengan kondisi yang demikian, penddikan kita belum mampu mewujudkan cita-cita ideal pendidikan yang tertuang dalam UUD 45, yakni membangun manusia seutuhnya. Presepsi yang kurang tepat berkembang dalam keluarga maupun lembaga pedidikan bahwa proses pendidikan hanya mengedepankan kecerdasan intelektual tanpa mementingkan kecerdasan spiritual. Padahal menurut penelitian berbagai para pakar, kecerdasan IQ hanya menyumbang 5% (maksimal 10%) dalam kesuksesan seseorang.18 Dengan sendirinya pendidikan dapat dikatakan cerdas dan holistis (utuh) atau berkarakter bila di dalam diri seseorang itu mampu memadukan IQ, EQ, SQ, dan AQ. 1. Memahami Kecerdasan Pada dasarnya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan, seperti pembawaan, kematangan, pengaruh dari luar, minat, dan kebebasan. Sedangkan jenis kecerdasan pada diri manusia ada empat macam, yaitu; a. IQ (Intelegent Quotient) adalah kemampuan menangkap dan memecahkan masalah-masalah yang bersifat materi/duniawi; b. EQ (Emotional Quotient) adalah kemampuan mengenali perasaan kita dan perasaan orang lain serta menggunakan perasaan itu untuk memadu pikiran tindakan; c. AQ (Adversity Quotient) adalah kemampuan bertahan dalam menghadapi tantangan dan mengatasi kesulitan; d. SQ (Spiritual Quotient) adalah hubungan transedental (Tuhan) sehingga manusia dapat hidup secara utuh dan lebih bermakna (tidak sekedar kehidupan duniawi). 18
S. Salimin, Membentuk Karakter yang cerdas, (Tulungagung: Cahaya Abadi, 2011), hal. 23.
13
IQ mendorong kinerja produktif, tetapi kompetensi berbasis IQ, dianggap
“keampuan
ambang”,
artinya
kemampuan
yang
diperlukan untuk pekerjaan rata-rata. Sebalikny, kompetensi dan keterampilan berbasis EQ jauh lebih efektif terutama pada tingkat organisasi yang lebih tinggi ketika perbedaan IQ dapat diabaikan. Berkaitan dengan hal tersebut perlu dikembangkan IQ yang menyangkut pengetahuan dan keterampilan, namun juga harus dapat menampilkan EQ yang sebaik-baiknya karena EQ harus dilatih. Untuk meningkatkan IQ dan EQ agar dapat memanfaatkan hati nurani yang terdalam juga harus dibina SQ yang merupakan cerminan hubungan kita dengan Sang Pencipta/Allah SWT.19 Dengan demikian perpaduan IQ, EQ, dan SQ akan membawa jiwa secara utuh. Dalam konteks ini, akan lebih baik jika ditambahkan AQ yang mengajarkan bagaimana menjadikan tantangan, bahkan ancaman menjadi peluang. Dengan sendirinya, pendidikan dikatakan berkarakter yang holistis bila di dalamnya mampu memberikan pengalaman belajar baik dari sisi IQ, EQ, SQ, maupun AQ secara seimbang kepada anak didik.
2. Pengaruh Kecerdasan Spiritual pada kualitas peserta didik Kita sudah memami bagaimana cara kerja IQ
dan EQ serta
bagaiman bila keduanya bila bekerja bersinergi. Namun apabila kedua kecerdasan terebutb tidak disinergikan dengan SQ, maka akan berakibat fatal. SQ sendiri bukanlah untuk menjadi “ahli petapa” dengan duduk temenung dan diam menikmati indahnya spiritualitas. Dalam konteks ini apakah SQ sebagai kunci keberhasilan? Menurut survey The Leadership Challenge yang dilakukan oleh James
19
Ibid., hal. 13.
14
Mc Kouzes dan Barry Z, Postner, dalam peringkat karakter CEO, dikatakan bahwa nomor satu adalah karakter jujur (akhlak/moral). 20 Dari
uraian
sebelum-sebelumnya,
dapat
dikatakan
IQ
digambarkan sebagai What I Think? EQ digambarkan sebagai What I Feel, dan SQ adalah kemmpuan menjawab Who I am. Siapa saya dan untuk siapa saya diciptakan. Tuhan Maha Adil, sebenarnya kita memiliki semua kecerdasan ini, tetapi tidak pernah kita asah bahkan kita munculkan. Untuk menjadi seorang pribadi yang unggul kita harus mampu menggabungkan dan menyinergikan IQ, EQ, dan SQ. Ilmu tanpa hati adalah buta, sedangkan ilmu tanpa hati dan jiwa adalah hampa. Ilmu, hati, dan jiwa yang bersinergi itulah yang memberikan makna. Dengan kecerdasan spiritual siswa, siswa akan lebih bisa menyelesaikan permasalahan hidup ini yang berdasarkan nilai-nilai spiritual atau nilai-nilai agama yang diyakini. Kecerdasan spiritual ini juga berkaitan dengan hati nurani. Hati dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh pikiran. Maka dari itu, hati nurani akan menjad pembimbing manusia terhadap apa yang harus ditempuh dan diperbuat.21 Dengan kehalusan perasaan, kejernihan akal budi dan didorong keihlasan I’tikad, pada saat tertentu, seseorang setidak-tidaknya pasti mengalami, mempercayai, bahkan meyakini dan menerimanya tanpa keraguan bahwa diluar dirinya ada sesuatu kekuatan yang Mahaagung yang melebihi apapun termasuk diriya. Penghayatan seperti itulah yang oleh William James disebut pengalaman religi atau keagamaan.22
2020
Ibid., hal. 27. https://www.kompasiana.com/daehera96/Kecerdasan-Spiritual-berpengaruh-pada-kualitaspeserta-didik, (9/10/18) 22 Makmun, Abin Syamsuddin, Psikologi Kependidikan, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 40 21
15
Agama
memberikan
suasana
psikologis
tertentu
dalam
mengurangi konflik, frustasi dan ketegangan lainnya.23 Agama juga memberikan suasana damai dan tenang bagi anak. Agama merupakan sumber nilai kepercayaan dan pola-pola tingkah laku yang akan memberikan tuntunan dalam kehidupan. Maka dari itu bagaimanapun juga sekolah harus mempunyai program-program yang bisa meningkatkan kecerdasan spiritual siswanya melalui BK maupun guru-guru yang lainnya yang di anggap mampu. Karena bagaimanapun juga kecerdasan intelektual harus dikontrol oleh kecerdasan spiritual agar tindakan yang dilakukan tidak menyeleweng dan sesuai dengan tujuan awal yang diinginkan.
3. Riset-Riset Kecerdasan Spiritual a. The Triune Brain menurut Paul Mclean McLean membagi otak menurut perkembangan evolusinya menjadi tiga lapis: 1) Lapisan Neomamalia, (otak berfikir) merupakan lapisan otak yang paling akhir muncul. Lapisan ini bertangggung jawab untuk kegiatan berpikir tingkat tinggi (high order thinking), Lapis ini yang secara molekuler juga bersifat unik, yaitu menata fungsi kognisi manusia. 2) Lapisan Paleomamalia, sel ain ditemukan pada manusia juga ditemukan hampir semua binatang. Pada otak manusia, lapisan ini merupakan sistem limbik yang bertanggung jawab untuk pengaturan emosi; 3) otak reptile (Otak Vegetatif) ; bagian ini terutama berfungsi mendukung kegiatan vegetative tubuh manusia, seperti bernafas dan pengaliran darah, termasuk respons fight and flight. Salah satu bagian penting lapis ketiga ini adalah RAS (Recticular Activating System) yang bertanggung jawab dalam menjaga keterjagaan manusia untuk setiap respons dari luar. JIka bagian ini rusak, maka kita menjadi 23
Sunarto dan Agung Hartono, Pekembangan Peserta Didik, (Jakarta: Adi Mahasatya, 2006), hal. 235
16
tidak terjaga terhadap hal-hal penting dalam kehidupan biologis kita. Kemampuan menata RAS memungkinkan kita mengontrol fungsi-fungsi vegetasi dalam diri kita.24 Suatu informasi yang diterima ketika mengalami perasaan senang, atau nyaman secara fisik maupun psikis pintu gerbang pikiran atau RAS akan terbuka lebar25, sehingga informasi dapat dikelola secara optimal. Terbukanya gerbang pikiran juga dapat terjadi pada saat berserah diri, berdo’a, maupun sholat malam.
b. Konsolidasi Memori dengan Tawakkal Otak tidak pernah Istirahat, Namun konsolidasi memori antar sel saraf terjadi optimal pada saat otot-otot tubuh Istirahat dan keadaan santai meditasi/Tawakkal. Konsolidasi memori merupakan salah satu cara mengoptimalkan fungsi otak.26 Siswa yang belajar dengan kondisi batin yang tenang dan pikiran yang jernih akan menjadikan jiwanya optimis serta menambah motivasi belajarnya.
24
Taufik Pasiak, Brain Management For Self Improvement, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), hal. 74. 25 Grahasdekah.ilmifoundation.or.id, “5 cara membuka gerbang RAS”, 10/8/18. 26 Taufik Pasiak, Manajemen Kecerdasan, (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), hal. 85.
17
BAB III PENUTUP
A. Simpulan faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa di sekolah dapat kita bedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) Faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), yakni keadaan jasmani dan rohani siswa. Yaitu: aspek fisiologis (jasmani, mata dan telinga) dan aspek psikologis (intelegensi siswa, sikap siswa, bakat siswa, minat siswa dan motivasi siswa). (2) Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa. Yaitu: lingkungan sosial (keluarga, guru, masyarakat, teman) dan lingkungan non-sosial (rumah, sekolah, peralatan, alam). faktor-faktor tersebut di ataslah, muncul siswa-siswa yang lebih highachievers (berprestasi tinggi) dan under-achievers (berprestasi rendah) atau gagal sama sekali. Dalam hal ini, seorang guru yang kompeten dan berprofesional
diharapkan
mampu
mengantisipasi
kemungkinan-
kemungkinan munculnya kelompok siswa yang menunjukkan gejala kegagalan dengan berusaha mengetahui dan mengatasi faktor yang menghambat prose belajar mereka. Selain itu faktor spiritual juga mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa disekolah. Faktor tersebut erat kaitanya dengan emosi dan motivasi. Kecerdasan spiritual dapat membangkitkan motivasi dan membangun emosi positif dalam diri siswa. Menyadari keterlibatan Tuhan dalam proses dan hasil belajar merupakan langkah dalam membangun moral pendidikan. Seseorang yang hkecerdasan Intelegent dan Emosinya bagus bisa saja melakukan perbuatan Immoral disaat tidak ada orang. Berbeda dengan
18
seseotang yang senantiasa menyadari keberadaan Tuhan dalam dirinya. Ia senantiasa takut dan berserah kepada Pencipta-Nya.
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu. 2005. (SBM) Strategi Belajar Mengajar). Bandung: Pustaka Setia Makmun, Abin Syamsuddin. 2004. Psikologi Kependidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Pasiak, Taufik. 2007. Brain Management For Self Improvement. Bandung: Mizan Pustaka. Pasiak, Taufik. 2006. Manajemen Kecerdasan. Bandung: Mizan Pustaka. Sunarto dan Agung Hartono. 2006. Pekembangan Peserta Didik. Jakarta: Adi Mahasatya. Syah, Muhibbin. 2008. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tohirin. 2005. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajagrafindo. Winkel, W.S. 2009. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi. https://www.kompasiana.com/daehera96/Kecerdasan-Spiritual-berpengaruh-padakualitas-peserta-didik, (9/10/18) https://www.Grahasdekah.ilmifoundation.or.id.“5 cara membuka gerbang RAS”, 10/8/18.
19