Sedasi, Hipnosis dan Anestesi Handaya Sapta Nugroho* Purwito Nugroho**
ABSTRACT The use of anesthesia and sedation are common processes and a complex procedure in the hospital. Sedation is a reduction in irritability or agitation with sedation, in general, to facilitate medical procedures or diagnostic procedures. Hypnosis has the meaning of the word form into a sleep state. Anaesthesia was unconscious without pain (with a minimum of autonomic reflexes) are reversible due to the administration of drugs. Sedation scale used to assess the level of sedation in patients in order to avoid "undersedation" (the risk of the patient experiencing pain or distress) and over-sedation (patient risk of side effects such as respiratory depression, which may lead to death). Examples of frequently used sedation scale is MSAT (Minnesota Sedation Assessment Tool), UMSS (University of Michigan Sedation Scale), Scale Ramsay (Ramsay, et al. 1974), ASA (American Society of Anesthesiologists), JCHO and Rass (Richmond Agitation-Sedation Scale ). Drugs that can be used for sedation hypnosis including propofol, etomidate, ketamine, fentanyl, and midazolam. Complications that can be caused by sedation hypnosis is delirium, propofol infusion syndrome, anaphylactic shock, hypotension and respiratory depression. Keywords: sedation, hypnosis, anesthetic *PPDS I Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro **Dokter Spesialis Anestesi RSUD Kota Semarang
1
ABSTRAK
PENDAHULUAN Penggunaan anestesi dan sedasi adalah proses yang umum dan merupakan prosedur yang kompleks di rumah sakit. Tindakan-tindakan ini membutuhkan asesmen pasien yang lengkap dan komprehensif, perencanaan asuhan yang terintegrasi, monitoring pasien yang berkesinambungan dan kriteria transfer untuk pelayanan berkelanjutan, rehabilitasi, akhirnya transfer maupun pemulangan pasien (discharge). Anestesi dan sedasi umumnya dipandang sebagai suatu rangkaian kegiatan (continum) dari sedasi minimal sampai anestesi penuh. Karena respons pasien dapat bergerak pada sepanjang kontinuum, maka penggunaan anestesi dan sedasi harus dikelola secara terintegrasi. Dalam hal ini meliputi anestesi, dari sedasi moderat maupun dalam (deep sedation), dimana refleks protektif pasien dibutuhkan untuk fungsi pernafasan yang berisiko. Jadi penggunaan terminologi “anestesi” mencakup sedasi yang moderat maupun yang dalam. PERAN ANESTESI DALAM PENGELOLAAN DI IGD, IBS, ICU, HCU, DAN PADA KEGIATAN CODE BLUE, PAIN MANAGEMENT IBS 1.
Perawat menyiapkan formulir pemeriksaan pra anestesi oleh ruang rawat inap, rawat jalan, unit gawat darurat
2.
Dokter anestesiologi dan perawat melakukan cuci tangan sesuai SPO .
3.
Dokter anestesi datang mengunjungi pasien (ruang rawat inap,rawat jalan, IGD,) sesuai dengan permintaan konsul, satu hari sebelumnya atau sebelum tindakan anestesi didampingi oleh perawat.
4.
Dokter anestesiologi melakukan anamnese dan pemeriksaan fisik terhadap pasien yang akan dilakukan anestesi.
5.
Dokter anestesi menuliskan hasil anamnese dan pemeriksaan fisik ke dalam dokumen pemeriksaan anestesi. membuat kesimpulan dan
2
kelayakan berdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA) di dalam formulir pemeriksaan pra anestesi. 6.
Dokter anestesi menuliskan rencana premedikasi dan rencana tindakan pembiusan serta
instruksi lain yang dibutuhkan dokter anestesiologi
dalam dokumen formulir pemeriksaan pra anestesi. 7.
Dokter anestesi menuliskan nama dan tanda tangan setelah melakukan kunjungan pemeriksaan pra anestesi di dalam formulir.
8.
Dokter anestesi dan perawat cuci tangan sesuai SPO.
CODE BLUE
Pelayanan resusitasi jantung paru bisa dilakukan di ruang perawatan di dalam lingkungan RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Pada kasus henti napas dan / atau henti jantung yang terjadi di luar ruang perawatan, setiap staf RSUP Dr. Kariadi Semarang yang berada di tempat kejadian atau berada paling dekat dengan tempat kejadian wajib memberikan pertolongan dan memberikan Bantuan Hidup Dasar sesuai SPO Resusitasi Jantung Paru pada Dewasa atau Anak.
Perhatikan label pasien yang mengalami gangguan henti nafas dan / atau henti jantung, bila di beri label ungu tidak perlu mengaktifkan Code Blue.
Mengaktifkan Code Blue , dengan menghubungi nomor telepon 6000 dan menyampaikan lokasi dengan memanggil tim Code Blue melalui pengeras suara dan / atau melalui notifikasi di telephone seluler ke seluruh wilayah RSUP Dr. kariadi “ Code Blue ruang ……kamar …..”
Dalam memberikan pertolongan tersebut, harus dilakukan oleh staf yang paling kompeten di antara staf yang berada di sekitar tempat kejadian.
Setelah Tim Code Blue datang, pertolongan diserahkan pada Tim Code Blue untuk
selanjutnya diberikan pelayanan Bantuan Hidup lanjut sesuai SPO
Resusitasi Jantung Paru Dewasa atau Anak.
Setelah penanganan oleh tim Code blue pelayanan Bantuan Hidup Lanjut (BHL) dapat dihentikan setelah ada staf yang kompeten untuk menentukan keberhasilan / kegagalan resusitasi.
3
ALUR CODE BLUE KEGAWATDARURATAN GANGGUAN NAFAS DAN SIRKULASI DARAH
LABEL UNGU (+)
BANTUAN HIDUP DASAR
LABEL UNGU (-)
CALL CODE BLUE 6000
ISLOLASI LINGKUNGAN PASIEN
RUANG….. KAMAR…..
BANTUAN HIDUP LANJUT OLEH TIM CODE BLUE
GAGAL
BERHASIL
TRANSPORTASI KE IRIN
KRITERIA GANGGUAN NAFAS: 1. 2. 3.
Henti nafas Laju nafas < 5 x/mnt Laju nafas >35 x/mnt
STANDAR POS TIM CODE BLUE: Tenaga: residen / dokter umum dan perawat
GANGGUAN SIRKULASI: 1. 2. 3.
Henti jantung Laju nadi <40 atau > 150 x/mnt Tekanan sistolik <80mmHg
Alat: ambo bag, dan laringskop, DC shock/AED
STANDAR POS CENTRAL TIM CODE BLUE Tim:Anestiologis, kariologist, perawat, farmasi 4 Alat: sesuai daftar satandar Obat: troli yang di segel
PAINT MANAGEMENT 1. Setiap pasien harus dilakukan pemeriksaan nyeri sesuai dengan pemeriksaan tanda-tanda vital. 2. Pemeriksaan nyeri dengan menggunakan NRS (Numerial Rating Scale) untuk pasien yang dapat berkomunikasi, untuk pasien anak yang belum dapat berkomunikasi dengan menggunakan skala FLACC (Face,Leg,Activity,Cry, Consolability) sedangkan untuk pasien di ruang CCU dengan MCPOT ( Modified Critical Care Pain Observation Tools ). 3. Apabila pasien merasakan nyeri dengan skala 4 -6 perawat ruangan dapat melaporkan kepada dokter jaga untuk tindakan kolaboratif pemberian therapy tambahan. 4. Setelah pasien dilakukan edukasi dan pemberian therapy,perawat ruangan melakukan evaluasi ulang skala nyeri, apakah nyeri berkurang atau bertambah berat. 5. Bila skala nyeri pasien diatas 7 perawat ruangan harus melakukan konsultasi ke tim nyeri untuk di evaluasi ulang dan ditindak lanjuti. 6. Tim manajemen nyeri ( perawat ) melakukan kunjungan setiap pagi pada pasienpasien nyeri akut dan pasca operasi yang memiliki masalah nyeri, guna melihat kondisi dan monitoring pelaksanaan ,intervensi dan evaluasi yang telah dilakukan apakah sudah terdokumentasi. 7. Tim manajemen nyeri akan melaporkan hal-hal penting yang berhubungan dengan kondisi pasien kepada perawat dan dokter ruangan. 8. Untuk malam hari dan hari libur dimana Tim nyeri tidak ada akan di ambil alih oleh dokter jaga ruangan. 9. Untuk pasien pro operasi elektif musculoscletal khusus (Total Knee Replacement, Total Hip Replacement dan Koreksi Scoliosis) ,sebelum dilakukan operasi pasien dipertemukan dahulu oleh Tim manajemen nyeri dan dokter bedah yang bersangkutan. 10. Untuk pasien kasus post operasi penatalaksanaan nyeri dibawah pengawasan dokter anastesi dan Tim nyeri.
IGD Prosedur: 1. Bila ada kebakaran di UGD, perlakuan seperti SOP Penanggulangan dan Evaluasi Kebakaran (SOP/KKK/01). 2. Bila ada kebakaran di lokasi lain di RS, UGD akan mempersiapkan: ● Untuk menangani korban kebakaran yang dibawa ke UGD seperti pada Kerangka Acuan Program Penanganan Bencana Massal (TOR/KEP/UGD/03). ● Mempersiapkan kemungkinan untuk evakuasi pasien ke RS lain jika dibutuhkan. ● UGD menghubungi CCU/NICU/Kamar Bedah serta ruangan lain untuk menanyakan kondisi pasien dan perlatan yang dibutuhkan jika diperlukan evakuasi pasien ke RS lain ● UGD akan menghubungi dan mempersiapkan ambulance dan RS lain untuk tujuan evakuasi. ● Dalam mempersiapkan evakuasi pasien ke RS lain:
5
‾ ‾ ‾ ‾ ‾ ‾ ‾ ‾
Nama dan medical record Waktu meninggalkan RS Menggunakan transportasi/ambulance dari _____________ Status medical record yang disertakan asli (ya/tidak) Obat-obat yang disertakan (daftar) Peralatan yang disertakan (daftar) Keluarga mengetahui tentang evakuasi tersebut (ya/tidak) Dokter yang memegang pasien mengetahui tentang evakuasi tersebut (ya/tidak)
3. Bila ada korban kebakaran di UGD dan membutuhkan evakuasi, dokter/paramedis mengevakuasi pasien terdekat dengan lokasi, sesuai dengan Kerangka Acuan Program Penanganan Bencana Massal (TOR/KEP/UGD/03): Yang bisa jalan (kode hijau) seorang perawat memimpin kelompok ke lokasi aman/asembly area. Prosedur: A. Bencana terjadi di Rumah Sakit atau Korban Bencana dibawa ke RS. Premier Bintaro 4. Kejadian bencana massal, dokter UGD melaporkan kejadian istimewa ini kepada Manajer Perawatan, Penunjang Medik, Umum selanjutnya manajer tersebut mengkoordinasikan tenaga medis, paramedis, peralatan medis, non medis serta satpam 5. Penanggung jawab UGD mengatur penerimaan dan pengelompokkan pasien dan penatalaksanaan pasien sesuai dengan kelompok derajat kegawatannya 6. Supervisor perawatan yang bertanggung jawab saat itu mengatur pasien apabila kapasitas UGD tidak mencukupi. Tambahan dokter UGD dimobilisasi dari dokter ruangan dan dokter siaga, tambahan perawat UGD dimobilisasi dari perawat rawat inap, sesuai dengan situasi dan kebutuhan. Penambahan bed pasien dapat diperluas di ruang tunggu UGD bed diambil dari ruang perawatan yang tidak terisi,pintu masuk pasien yang melalui counter UGD sementara ditutup. Petugas ambulance bertugas untuk koordinasi transportasi medik termasuk pengambilan pasien dilokasi bencana 7. Pengelompokkan pasien menurut derajat kegawatan dan pemberian pertolongannya: Merah : Korban-korban yang membutuhkan stabilisasi segera, seperti: Syok oleh berbagai kausa Gangguan pernapasan Trauma kepala dengan pupil anisokor Pendarahan eksternal masif Gangguan jantung yang mengancam Luka bakar > 50% atau luka bakar di daerah thoraks
Kuning : Korban yang memerlukan pengawasan ketat, tetapi perawatan dapat ditunda sementara , termasuk dalam kategori ini misalnya: - Korban dengan resiko syok ( korban dengan gangguan jantung, trauma abdomen berat ) - Fraktur multiple - Fraktur femur / pelvis
6
- Luka bakar luas - Gangguan kesadaran / taruma kepala Hijau : Kelompok korban yang tidak memerlukan pengobatan atau pemberian pengobatan dapat ditunda, seperti korban: - Fraktur minor - Luka minor, luka bakar minor, atau tanpa luka Hitam : Korban telah meninggal dunia
Penatalaksanaan pasien dilakukan oleh beberapa dokter yang diatur oleh Direktur Medik sesuai dengan SOP yang berlaku di RS. Premier Bintaro, diprioritaskan sesuai dengan pengelompokkan kegawatan pasien 8. Untuk pasien yang membutuhkan rawat inap atau tindakan medik operatif, dokter yang menangani merujuk ke dokter spesialis yang bersangkutan 9. Bila perlu tindakan dikamar operasi, dokter UGD mengadakan koordinasi dengan koordinator kamar operasi dan dokter bedahnya 10. Penanggungjawab CCU menyiapkan ruangan untuk siaga bagi pasien yang membutuhkan perawatan CCU serta koordinasi dengan dokter CCU 11. Direktur melaporkan bencana massal ini kepada Suku Dinas di wilayahnya dan instansi terkait baik secara lisan/tertulis, dan mengkoordinasikan tindak lanjutnya B.
Untuk Bencana massal yang terjadi di luar RS/Bencana Nasional 1. Bila UGD RS. Premier Bintaro mendapat tugas dari Pusbankes sebagai rumah sakit penyangga, diminta untuk mengirim bantuan tenaga medik, fasilitas medis ke suatu lokasi bencana, maka kesanggupan jumlah dokter, perawat dan fasilitas medik yang dikirimkan, sepenuhnya tergantung dari kebijaksanaan direktur 2. Dokter tenaga yang dikirim harus memenuhi kualifikasi medik, yang diikutsertakan antara lain: Dokter yang sudah pernah mendapatkan pelatihan berpengalaman > 1 tahun Perawat yang sudah pernah mendapat pelatihan dan berpengalaman > 1 tahun 3. Prosedur lain, prosedur Pusbankes dari yang berlaku
C. Tingkat kesiapan tenaga medis, para medis dan sarana medis yang perlu disiagakan, dikategorikan sebagai berikut: 1. Siaga I bila korban bencana antara 5-10 orang dengan kasus berat perlu disiagakan minimal 3 dokter dinas jaga, 4 perawat dinas, instalasi farmasi dan penunjang medis ada, petugas aktif terlibat di UGD 2. Siaga II bila korban bencana antara 10-15 orang dengan kasus disiagakan minimal 5 dokter dinas jaga, 6 perawat dinas jaga, instalasi farmasi dan penunjang medis ada 2 petugas aktif terlibat aktif di UGD. Informasi bencana diinformasikan ke Direktur 3. Siaga III bila korban bencana antara 15-20 orang dengan kasus berat disiagakan minimal 8 perawat dinas jaga, instalasi farmasi dan penunjang medis ada 3 petugas aktif terlibat di UGD direktur medis datang ke UGD
7
ICU MEMINDAHKAN PASIEN KE ICU 1. Dokter DPJP dan atau dokter penanggungjawab ruang intensive menuliskan instruksi tersebut dalam catatan perkembangan pasien. 2. Dokter DPJP dan atau dokter penanggungjawab ruang intensive memberika instruksi pasien dapat dirawat di ruang rawat inap. 3. Dokter DPJP dan atau dokter penanggungjawab ruang intensive memberikan penjelasan kepada pasien dan atau keluarga pasien bahwa pasien sudah dapat dirawat di ruang rawat inap. 4. Perawat ruang intensif meminta surat pernyataan penolakan di rawat di ruang intensif, apabila pasien dan keluarga menghendaki untuk di rawat di ruang rawat inap dengan alasan tertentu, yang di tandatangani oleh pasien dan keluarga inti, dan perawat ruang intensif memberikan informasi kepada dokter DPJP / dokter penanggung jawab intensif, bahwa pasien / keluarga meminta pindah ruang rawat inap. 5. Perawat ruang intensif memberikan informasi tersebut kepada DPJP atau dokter penanggungjawab ruang intensive, bahwa pasien pindah ke ruang rawat inap. 6. Perawat ruang intensif memberikan informasi kepada keluarga pasien tentang: a. Ruang rawat inap yang sesuai dengan penyakit pasien. b. Hak kelas pasien yang di kehendaki pasien / keluarga. c. Apabila keluarga menghendaki naik kelas maka diinformasikan biaya penyesuaian dan keluarga memberikan pernyataan naik kelas. 7. Perawat ruang intensif memesan kamar ruang rawat inap melalui bagian admisi (by phone) sesuai dianosa dan kelas pasien. 8. Perawat ruang intensif menginformasikan kepada keluarga tentang ruang rawat inap yang akan ditempati. 9. Perawat ruang intensif menghubungi ke ruang rawat inap tentang nama pasien, diagnose, kondisi pasien, dan alat-alat medis yang akan dipakai. 10. Perawat ruang intensif membuat pembebanan biaya selama dirawat di ruang intensive. 11. Perawat ruang intensiv menyiapkan obat-obat dan hasil pemeriksaan penunjang yang akan diserahkan ke ruang rawat inap. 12. Perawat ruang intensive meminta konfirmasi waktu penjemputan. 13. Perawat ruang rawat inap memberikan informasi waktu penjemputan. 14. Perawat mengisi formulir serah terima pasien 15. Perawat ruang intensive kepada perawat ruang rawat inap tentang: a. Identitas pasien b. Keadaan umum pasien c. Alasan dipindah ke ruang rawat inap d. Program pengobatan dan perawatan selanjutnya 16. Perawat ruang rawat intensif menyerahkan obat-obat dan hasil pemriksaan penunjang. 17. Perawat ruang rawat inap menerima obat-obat dan hasil pemeriksaan penunjang sesuai dengan yang tertulis di formulir serah terima pasien. 18. Perawat ruang rawat inap menandatangani formulir serah terima pasien. Pasien dipindahkan ke tempat tidur ruang rawat inap.
PASIEN TIDAK SADAR ATAU KESADARAN MENURUN
8
Prosedur : 1. Lakukan pemantauan/observasi sesuai dengan pengisian formulir khusus CCU, diantaranya : tingkat kesadaran/Glassgow Coma Scale, respirasi, cardiovascular, produksi urin, balance cairan setiap jam 2. Bantu dalam pemenuhan kebutuhan dasar : personal hygiene setiap pagi dan sore 3. Mobilisasi setiap 2 jam atau sesuai indikasi pada yaitu semi fowler 300-450 terlentang, miring kanan dan miring kiri untuk mengurangi tekanan pada daerah terjadinya decubitus. 4. Lakukan tindakan massage untuk relaksasi dan melancarkan sirkulasi darah pada daerah yang tertekan setiap 2 jam, bila tidak ada kontraindikasi 5. Lakukan chest fisiotherapy/clapping bila tidak ada kontra indikasi untuk mencegah terjadinya infeksi paru setiap jam 6. Lakukan tindakan suction sesuai dengan indikasi. 7. Monitor ketat balance cairan ( intake dan output ) setiap jam 8. Pertahankan kehangatan pasien. 9. Berikan nutrisi enteral atau parenteral yang adekuat sesuai dengan program dari dokter 10. Berikan terapi sesuai dengan program yang tertulis di daftar obat 11. Monitor efek/reaksi pemberian obat-obatan CCU. 12. Dokumentasikan semua tindakan yang telah dilakukan. PAIEN YG TERPASANG VENTILATOR Prosedur : 1. Pantau oksigenisasi/ventilasi pasien : Kaji suara nafas dengan auskultasi paru kiri dan kanan apakah kwalitasnya sama setiap jam Lakukan suction sesuai dengan indikasi. Berikan oksigen 100% (tekan menu suction pada ventilator) saat akan melakukan suction. Pantau air way dan tidal volume pasien setiap jam. Berikan nebulizer sesuai order dokter yang tertulis di daftar obat Pantau saturasi dan CO2 di dalam monitor setiap jam Cek analisa gas darah setiap pagi dan atau sesuai indikasi. Kaji keefektifan ventilator dan pola nafas pasien setiap jam Catat kedalaman endotracheal pada posisi batas bibir setiap shift Kembangkan cuff dengan cuff inflator dan berikan tekanan < 25 mmHg setelah intubasi Lakukan thorax foto untuk mengevaluasi posisi endotracheal tube setelah intubasi dan 3 hari setelah pasang ventilator/sesuai indikasi. Lakukan chest fisioterapi dan clapping punggung bila tidak ada kontra indikasi 3 kali sehari 2. Pantau sirkulasi/perfusi. Pantau perubahan hemodinamik(BP,HR,CVP,Saturasi)dan monitor gambaran EKG setiap jam Observasi akral pada tangan dan kaki setiap jam 3. Pantau cairan dan elektrolit. Monitor dan berikan cairan parenteral sesuai indikasi.
9
Monitor intake dan out put /balance cairan tiap jam. Cek elektrolit dalam darah setiap pagi dan atau sesuai indikasi. Buang urine setiap 2-3 jam 4. Mobilisasi. Berikan posisi kepala elevasi 30˚- 40˚ dan rubah posisi pasien miring kanan, kiri dan telentang tiap 2 jam bila tidak ada kontra indikasi. 5. Mencegah decubitus. Pasang kasur anti dekubitus dan pastikan harus mengembang dengan baik
PENANGANAN DINI GAGAL NAFAS Prosedur : 6. Kaji riwayat pasien : perokok, riwayat asthma, riwayat alergi, ada kontak dengan burung, debu, AC, serangga, pekerjaan, TB. 7. Kaji penyebab terjadinya gagal nafas yaitu akut, kronik atau akut ke kronik. Pada akut : penyakit paru (pneumonia, karsinoma, ARDS), penyakit jantung (LVF), emboli paru, trauma (asap/inhalasi pada kasus luka bakar, menelan/menghirup bahan kimia yang berbahaya), kelainan sistem persyarafan (Guillain Barre Syndrom, cedera kepala/spinal), retensi sputum, penyumbatan jalan nafas (secara anatomi- lidah atau epiglotis, muntah/darah, edema laryng, infeksi, hematoma, anafilaksis, benda asing, ETT atau tracheostomi tersumbat, spasme laryng), obat-obatan anastesi dan narkotika. Pada kronis : COPD, myasthenia gravis, perawatan yang lama akibat imobilisasi. Pada akut ke kronik : asthma, cystic fibrosis, empisema, TB, asbestosis. 8. Lakukan pemeriksaan : pernafasan, SaO2, nadi, suhu, cyanosis, tingkat kesadaran, otot aksesori pernafasan, jumlah dan warna sputum, pergerakan dada, suara nafas, adanya wheezing atau crakles. 9. Lakukan investigasi : hasil foto thorak, hasil AGD, hasil kultur sputum, hasil bronchoscopy. 10. Identifikasi terjadi gagal nafas karena hipoksia, yaitu heart rate meningkat lalu terjadi penurunan, pernafasan meningkat, tekanan darah meningkat lalu terjadi penurunan, agitasi, bingung, cemas, agresif, SaO2 menurun, dispnoe, menggunakan otot aksesoris pernafasan, berkeringat, cyanosis, penurunan PaO2 pada hasil AGD. 11. Identifikasi tejadi gagal nafas karena hiperkapnoea, yaitu nadi meningkat, pernafasan meningkat, berkeringat dan kulit kemerahan, perifer cenderung hangat, mengantuk sampai dengan kesadaran somnolent, cyanosis yang berkepanjangan. 12. Lakukan tindakan mandiri dan kolaborasi : pemasangan alat bantu nafas, pemberian oksigen, pemberian terapi antibiotik dan bronkhodilator, pengaturan posisi pasien, fisiotherapi. 13. Pemberian terapi oksigen terdiri dari : 8.1 Pasien yang tidak sadar : head tilt chin lift, jaw thrust ( jika dicurigai cidera pada servikal), pasang guedel, pasang nasopharyngeal 8.2 Nasal prong ( 1- 5 LPM ) 8.3 Simple mask ( 5-15 LPM ) 8.4 Non Rebreather Mask atau Rebreather Mask ( 6 – 15 LPM ) 8.5 Pemasangan ventilasi non invasif (NIV) 8.6 Pemasangan LMA atau ETT dengan ventilasi mekanik.
10
PENCEGAHAN PNEUMONIA AKIBAT PEMASANGAN VENTILATOR MEKANIK Prosedur : 14. Lakukan tindakan cuci tangan sesuai prosedur. 15. Berikan posisi kepala lebih tinggi atau lebih dari 300 bila tidak ada kontra indikasi. 16. Pastikan bersihan jalan nafas efektif dengan melakukan tindakan close suction sesuai indikasi dan kondisi pasien. 17. Lakukan perubahan posisi pasien setiap 2 jam sekali sesuai dengan indikasi dan kondisi pasien. 18. Lakukan fisioterapi dada dan latihan pernafasan sesuai dengan indikasi dan kondisi pasien. 19. Pastikan alat humidikasi bekerja dengan baik. 20. Lakukan pemeriksaan kultur sputum, pewarnaan gram sputum dan foto thorak segera mungkin pada semua pasien yang baru terintubasi. 21. Evaluasi hasil pemeriksaan kultur sputum, pewarnaan gram sputum dan foto thorak untuk pemberian atau perubahan antibiotik sesuai program kolaborasi. 22. Lakukan tindakan proses penyapihan dan ekstubasi selang segera mungkin untuk menurunkan waktu pemakaian ventilasi mekanik sesuai program kolaborasi. 23. Pasang NGT berukuran kecil untuk dewasa ukuran 12Fr atau 14Fr dan anak-anak ukuran 8Fr. 24. Pemberian nutrisi enteral sebaiknya melalui drip atau kontinyu. 25. Hindari pemberian cairan melalui NGT dalam jumlah banyak karena berpotensi terjadinya aspirasi. 26. Ganti sirkuit ventilasi mekanik setiap 7 hari sekali atau bila kotor. 27. Jaga kebersihan mulut pasien dengan chlorhexidin oral 0,2%.
KESIMPULAN Sedasi adalah pengurangan iritabilitas atau agitasi dengan pemberian obat penenang, pada umumnya untuk memfasilitasi prosedur medis atau prosedur diagnostik. Hipnosis mempunyai makna kata berupa keadaan menjadi tidur. Anaestesi adalah keadaan tak sadar tanpa nyeri (dengan reflek otonomik minimal) yang reversible akibat pemberian obat obatan. Skala sedasi digunakan untuk menilai tingkat sedasi pada pasien untuk menghindari “undersedation” (risiko pasien mengalami nyeri atau distress) dan over-sedasi (pasien risiko efek samping seperti penekanan pernapasan, yang mungkin menyebabkan kematian). Contoh skala sedasi yang sering digunakan adalah MSAT (Minnesota Sedation Assessment Tool), UMSS (University of Michigan Sedation Scale), Skala Ramsay (Ramsay, et al. 1974), ASA (American
11
Society of Anesthesiologists), JCHO dan RASS (Richmond Agitation-Sedation Scale). Obat yang dapat digunakan untuk sedasi hipnosis termasuk propofol, etomidate, ketamine dan midazolam. Komplikasi yang bisa diakibatkan oleh obat sedasi hipnosis adalah delirium, sindroma infus propofol, syok anafilaksis, hipotensi dan depresi nafas.
DAFTAR PUSTAKA 1. Uripno Budiono. Anestesi Umum. Dalam: Soenarjo, Marwoto, penyunting. Buku ajar anestesiologi. Edisi ke-2. Semarang: Balai Penerbit FK Undip; 2010:62-80. 2. Kumar P. Sedation and pain relief. Indian J. Anaesth. 2003; 47 (5) : 396401. 3. Paul Garcia, Matthew Keith Whalin, Peter S. Sebel. Intravenous Anesthetics. Hugh C. Hemmings, Penyunting. Dalam: Pharmacology and Physiology for Anesthesia Foundations and Clinical Application. New York: Elsevier Saunders; 2013:142-60. 4. Sue Hill, Tom E. General anesthetics agents. Sue Hill, Tom E, penyunting. Dalam: Pharmacology for anesthesia. Southampton: Cambridge Medicine; 2008:60-80. 5. Peter M. Hession,Girish P. Joshi. Sedation not quite that simple. Lee A. Fleisher, penyuntin. Dalam: Ambulatory anesthesia. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2010: 281-312. 6. Christopher G. Hughes, Stuart McGrane, E. Wesley Ely, and Pratik P. Pandaharipande. Management of sedation, analgesia, and delirium. Alex S. Ever, Mervin M, Evan D.K, penyunting. Dalam: Anesthetic pharmacology. Southampton: Cambridge Medicine; 2010: 1040-60.
12