1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Fraktur merupakan istilah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan,
baikyang bersifat total atau sebagian (Novita, 2012). Fraktur juga dikenal denganistilah patah tulang, yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yangmenyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidaklangsung ( Fadlani, 2012). World Health Organization menetapkan dekade (2000 tulang dan persendian. Penyebab fraktur terbanyak adalah karena kecelakaan lalulintas seperti kecelakaan motor dan mobil serta kecelakaan pejalan kaki sewaktu menyebrang Provinsi Sumatera Barat (DINKES SUMBAR) 2009 didapatkan sekitar insiden fraktur, 56% penderita fisik, 24% mengalami kematian, kesembuhan dan 5% mengalami gangguan psikologis atau depresi terhadap adanya kejadian fraktur ui rekuensi. tertutup. Penanganan fraktur The data was processed (WHO) telah 2000-2009) menjadi dekade menyebrang. Data dinas Kesehatan tahun 2700 orang mengalami mengalami kecacatan 15% mengalami fraktur. Fraktur dapat disebabkan oleh keadaan patologis selain dari faktor traumatik. Fraktur pada tulang lemah yang disebabkan oleh trauma minimal disebut dengan fraktur patologis. Penyebab tersering fraktur patologis pada femur proksimal adalah osteoporosis. Jenis fraktur femur mempunyai insiden yang tinggi diantara fraktur tulang lain dan fraktur femur paling sering terjadi pada batang femur 1/3 tengah. Fraktur femur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau kecelakaan.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Bgaaimana definisi fraktur ?
1.2.2
Bagaimana anatomi fisiologi fraktur ?
1.2.3
Bagaimana etiologi fraktur ?
1
2
1.2.4
Bagaimana klasifikasi fraktur ?
1.2.5
Bagaimana patofisiologi (pathwway) fraktur ?
1.2.6
Bagaimana manifestasi klinis fraktur ?
1.2.7
Bagaimana komplkasi fraktur ?
1.2.8
Bagaimana pemeriksaan penunjang fraktur ?
1.2.9
Bagaiamana penatalaksanaan medis fraktur ?
1.2.10 Bagaimana konsep dasar manusia pada pasien fraktur ? 1.2.11 Bgaaimana manajemen asuhan keperawatn pada pasien fraktur ? 1.2.12 Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien fraktur ?
1.3
Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana teori dari fraktur dan bagaimana cara penanganan dalam tindakan asuhan keperawatan.
3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1.1
Konsep Penyakit
1.1.1
Definisi Fraktur merupakan istilah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan,
baikyang bersifat total atau sebagian (Novita, 2012). Fraktur juga dikenal denganistilah patah tulang, yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yangmenyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidaklangsung ( Fadlani, 2012). Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan dan lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma. Tidak hanya keretakan atau terpisahnya korteks, kejadian fraktur lebih sering mengakibatkan kerusakan yang komplit dan fragmen tulang terpisah. Tulang relatif rapuh, namun memiliki kekuatan dan kelenturan untuk menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan oleh cedera, stres yang berulang, kelemahan tulang yang abnormal atau disebut juga fraktur pada patologis (Solomon et al., 2010).
1.1.2
Anatomi Fisiologi
Os femur (tulang paha) merupakan tulang pipa terpanjang dan terbesar yang berhubungan dengan acetabulum membentuk kepala sendi yang disebut
3
4
caput femoris. Di sebelah atas dan bawah dari collum femoris (leher paha) terdapat taju yang disebut trokhanter mayor dan trokhanter minor.
1.1.3
Etiologi
a.
Fraktur akibat peristiwa trauma Sebagian fraktur disebabkanoleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan tempat. Bila tekanan kekuatan langsungan, tulang dapat pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak serta kerusakan pada kulit.
b.
Akibat kelelahan atau tekanan. Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat tekanan berulang. Hal ini sering terjadi pada atlet, penari atau calon tentara yang berbaris atau berjalan dalam jarak jauh.
c.
Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal bila tulang tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang sangat rapuh.
1.1.4
Klasifikasi
a.
Fraktur collum femur: Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan oleh trauma tidak langsung yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah, dibagi dalam : 1. Fraktur intrakapsuler (Fraktur collum femur) 2. Fraktur extrakapsuler (Fraktur intertrochanter femur)
2.
Fraktur subtrochanter femur Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot – otot gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi. fraktur dimana garis
5
patahnya berada 5 cm distal dari trochanter minor, dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih sederhana dan mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu : a. tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor b. tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas trochanter minor c.tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas trochanterminor 3.
Fraktur batang femur (dewasa) Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh dari ketinggian, patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan penderita jatuh dalam shock, salah satu klasifikasi fraktur batang femur dibagi berdasarkan adanya luka yang berhubungan dengan daerah yang patah. Dibagi menjadi : a. Tertutup b. Terbuka, ketentuan fraktur femur terbuka bila terdapat hubungan antara tulang patah dengan dunia luar dibagi dalam tiga derajat, yaitu ; 1.
Derajat I : Bila terdapat hubungan dengan dunia luar timbul luka kecil, biasanya diakibatkan tusukan fragmen tulang dari dalam menembus keluar.
2.
Derajat II : Lukanya lebih besar (>1cm) luka ini disebabkan karena benturan dari luar.
3.
Derajat III : Lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor, jaringan lunak banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh darah)
4.
Fraktur batang femur (anak – anak) a.
Fraktur supracondyler femur Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot – otot gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan stress valgus atau
6
varus dan disertai gaya rotasi. b.
Fraktur intercondylair Biasanya fraktur intercondular diikuti oleh fraktur supracondular, sehingga umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.
c.
Fraktur condyler femur Mekanisme traumanya biasa kombinasi dari gaya hiperabduksi dan adduksi disertai dengan tekanan pada sumbu femur keatas.
1.1.5
Patofisiologi (Pathway) KECELAKAAN
FRAKTUR
KECELAKAAN
KECELAKAAN
1.1.6
Manifestasi Klinis
a. Nyeri Terjadi karena adanya spasme otot tekanan dari patahan tulang atu
7
kerusakan jaringan sekitarnya. b. Bengkak Bengkak muncul dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur dan ekstravasi daerah jaringan sekitarnya. c. Memar Terjadi karena adanya ekstravasi jaringan sekitar fraktur. d. Spasme otot Merupakan kontraksi involunter yang terjadi disekitar fraktur. e. Gangguan fungsi Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur,nyeri atau spasme otot, paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf. f. Mobilisasi abnormal Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. g. Krepitasi Merupakan rasa gemeretak yang terjadi saat tulang digerakkan. h. Deformitas Abnormal posisi tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, dan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
1.1.7
Komplikasi
1.
Faktor Ekstrinsik Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2.
Faktor Intrinsi
8
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang. Komplikasi menurut Sylvia and Price (2001), komplikasi yang biasanya ditemukan antara lain : 1.
Komplikasi Awal a.
Kerusakan Arteri Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b.
Kompartement Syndrom Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c.
Fat Embolism Syndrom Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam..
d.
Infeksi System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
2.
Komplikasi Dalam Waktu Lama
9
a.
Delayed Union Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b.
Nonunion Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 69 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c.
Malunion Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat
kekuatan
dan
perubahan
bentuk
(deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
1.1.8
Pemeriksaan penunjang Menurut Doenges dalam Jitowiyono (2010:21). Beberapa pemeriksaan
yang dapat dilakukan pada klien dengan fraktur, diantranya: a.
Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b.
Scan tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c.
Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d.
Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel.
e.
Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f.
Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multipel, atau cidera hati. Golongan darah, dilakukan sebagai persiapan transfusi darah jika ada kehilangan darah yang bermakna akibat cedera atau tindakan pembedahan.
10
1.1.9
Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah : 1.
Fraktur Terbuka Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan: a.
Pembersihan luka
b.
Exici
c.
Hecting situasi
d.
Antibiotik
Ada bebearapa prinsipnya yaitu : a.
Harus
ditegakkan
dan
ditangani
dahulu
akibat
trauma
yang
membahayakan jiwa airway, breathing, circulation. b.
Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang memerlukan penanganan segera yang meliputi pembidaian, menghentikan perdarahan dengan perban tekan, menghentikan perdarahan besar dengan klem.
c.
Pemberian antibiotika.
d.
Debridement dan irigasi sempurna.
e.
Stabilisasi.
f.
Penutup luka.
g.
Rehabilitasi.
h.
Life Saving
i.
Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai penderita dengan kemungkinan besar mengalami cidera ditempat lain yang serius.
Hal ini perlu ditekankan mengingat bahwa untuk terjadinya patah tulang diperlukan suatu gaya yang cukup kuat yang sering kali tidak hanya berakibat total, tetapi berakibat multi organ. Untuk life saving prinsip dasar yaitu : airway, breath and circulation. Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat. 1.
Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang tersebut
11
terancam untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui bahwa periode 6 jam sejak patah tulang tebuka luka yang terjadi masih dalam stadium kontaminsi (golden periode) dan setelah waktu tersebut luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh karena itu penanganan patuah tulang terbuka harus dilakukan sebelum golden periode terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah tulang terbuka, tercapai walaupun ditinjau dari segi prioritas penanganannya. Tulang secara primer menempati urutan prioritas ke 6. Sasaran akhir di maksud adalah mencegah sepsis, penyembuhan tulang, pulihnya fungsi. 2.
Pemberian antibiotika Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat bervariasi tergantung dimana patah tulang ini terjadi. Pemberian antibiotika yang tepat sukar untuk ditentukan hany saja sebagai pemikiran dasar. Sebaliklnya antibiotika dengan spektrum luas untuk kuman gram positif maupun negatif. a.
Debridemen dan irigasi Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah patah terbuka baik berupa benda asing maupun jaringan lokal yang mati. Irigasi untuk mengurangi kepadatan kuman dengan cara mencuci luka dengan larutan fisiologis dalam jumlah banyak baik dengan tekanan maupun tanpa tekanan.
b.
Stabilisasi. Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan stabilisasi fragmen tulang, cara stabilisasi tulang tergantung pada derajat patah tulang terbukanya dan fasilitas yang ada. Pada derajat 1 dan 2 dapat dipertimbangkan pemasangan fiksasi dalam secara primer. Untuk derajat 3 dianjurkan pemasangan fiksasi luar. Stabilisasi ini harus sempurna agar dapat segera dilakukan langkah awal dari rahabilitasi penderita.
1. Seluruh Fraktur a. Rekognisis/Pengenalan Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
12
selanjutnya. b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis . Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan. Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin
perlu
dilakukan
anastesia.
Ekstremitas
yang
akan
dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujungujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas dipertahankan dalam posisi
yang diinginkan,
sementara gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk
penyembuhan
tulang.
Sinar-x
harus
dilakukan
untuk
mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar. Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat
13
pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi. Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang. c. OREF Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan fraktur. Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka dan
pemberian
antibiotik
untuk
mengurangi
risiko
infeksi,
pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union (penyambungan tulang secara sempurna), sembuh secara anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak; baik, proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan gerakan). d.
ORIF ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.
14
Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open reduction and internal fixation) diindikasikan pada kegagalan reduksi tertutup, bila dibutuhkan reduksi dan fiksasi yang lebih baik dibanding yang bisa dicapai dengan reduksi tertutup misalnya pada fraktur intra-artikuler, pada fraktur terbuka, keadaan yang membutuhkan mobilisasi cepat, bila diperlukan fiksasi rigid, dan sebagainya. Sedangkan reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna (OREF=open reduction and external fixation) dilakukan pada fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang membutuhkan perbaikan vaskuler, fasiotomi, flap jaringan lunak, atau debridemen ulang. Fiksasi eksternal juga dilakukan pada politrauma, fraktur pada anak untuk menghindari fiksasi pin pada daerah
lempeng
pertumbuhan,
fraktur
dengan
infeksi
atau
pseudoarthrosis, fraktur kominutif yang hebat, fraktur yang disertai defisit tulang, prosedur pemanjangan ekstremitas, dan pada keadaan malunion dan nonunion setelah fiksasi internal. Alat-alat yang digunakan berupa pin dan wire (Schanz screw, Steinman pin, Kirschner wire) yang kemudian dihubungkan dengan batang untuk fiksasi. Ada 3 macam fiksasi eksternal yaitu monolateral/standar uniplanar, sirkuler/ring (Ilizarov dan Taylor Spatial Frame), dan fiksator hybrid. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memberi fiksasi yang rigid sehingga tindakan seperti skin graft/flap, bone graft, dan irigasi dapat dilakukan tanpa mengganggu posisi fraktur. Selain itu, memungkinkan pengamatan langsung mengenai kondisi luka, status neurovaskular, dan viabilitas flap dalam masa penyembuhan fraktur. Kerugian tindakan ini adalah mudah terjadi infeksi, dapat terjadi fraktur
saat
melepas
fiksator,
dan
kurang
baik
dari
segi
estetikPenanganan pascaoperatif meliputi perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi. Penderita diberi antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi dan dilakukan kultur pus dan tes sensitivitas. Diet yang dianjurkan tinggi kalori tinggi protein untuk menunjang proses penyembuhan.Rawat luka dilakukan
15
setiap hari disertai nekrotomi untuk membuang jaringan nekrotik yang dapat menjadi sumber infeksi. Pada kasus ini selama follow-up ditemukan tanda-tanda infeksi jaringan lunak dan tampak nekrosis pada tibia sehingga direncanakan untuk debridemen ulang dan osteotomi. Untuk pemantauan selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiologis foto femur dan cruris setelah reduksi dan imobilisasi untuk menilai reposisi yang dilakukan berhasil atau tidak. Pemeriksaan radiologis serial sebaiknya dilakukan 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan sesudah operasi untuk melihat perkembangan fraktur. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah lengkap rutin. e. Retensi/Immobilisasi Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur
direduksi,
fragmen
tulang
harus
diimobilisasi,
atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. f. Rehabilitasi Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi
harus
dipertahankan
sesuai
kebutuhan.
Status
neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
16
diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan
terapeutika.
Biasanya,
fiksasi
interna
memungkinkan
mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan.
1.2
Konsep Dasar Kebutuhan Dasar Manusia Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi di istregritas tulang,
penyebab terbanyak adalah insiden kecelakaan tetapi factor lain seperti proses degenerative juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur (Brunner & Suddarth, 2008 ). Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress atau beban yang lebih besar dan kemampuan tulang untuk mentolelir beban tersebut. Fraktur dapat menyebabkan disfungsi organ tubuh atau bahkan dapat menyebabkan kecacatan atau kehilangan fungsi ekstremitas permanen,selain itu komplikasi awal yang berupa infeksi dan tromboemboli (emboli fraktur) juga dapat menyebabkan kematian beberapa minggu setelah cedera, oleh karena itu radiografi sudah memastikan adanya fraktur maka harus segera dilakukan stabilisasi atau perbaikan frakt . Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat terdapat lebih dari 7 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Usman (2012) menyebutkan bahwa hasil data Riset Kesehatan Dasar (RIKERDAS) tahun 2011, di Indonesia terjadinya fraktur yang disebabkan oleh cedera yaitu karena jatuh, kecel akaan lalu lintas dan trauma tajam / tumpul. Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8 %), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang (8,5 %), dari 14.127 trauma benda tajam / tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7 %). (Depkes 2009) Dan menurut data depkes 2005 kalimantan timur korban fraktur akibat dari kecelakaan berkisar 10,5%, sedangkan bedasarkan data yang diperoleh dari catatan medical record di rumah sakit islam
17
samarinda, data pada tahun 2012 (periode januari – juni ) didapatkan 14 kasus fraktur, sedangkan untuk bulan juli ada 7 kasus fraktur. Dampak masalah dari fraktur yaitu dapat mengalami perubahan pada bagian tubuh yang terkena cidera, merasakan cemas akibat rasa sakit dan rasa nyeri yang di rasakannya, resiko terjadinya infeksi, resiko perdarahan, ganguan integritas kulit serta berbagai masalah yang mengganggu kebutuhan dasar lainnya, selain itu fraktur juga dapat menyebabkan kematian. Kegawatan fraktur diharuskan segera dilakukan tindakan untuk menyelamatkan klien dari kecacatan fisik. Kecacatan fisik dapat dipulihkan secara bertahap melalui mobilisasi persendian yaitu dengan latihan range of motion (ROM). Range of motion adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakkan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot . Pasien harus diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin. Hal tersebut perlu dilakukan sedini mungkin pada klien post operasi untuk mengembalikan kelainan fungsi klien seoptimal mungkin atau melatih klien dan menggunakan fungsi yang masih tertinggal seoptimal mungkin.
1.3
Manajemen Asuhan Keperawatan
1.3.1
Pengkajian Menurut hidayat (2004:98), pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari klien sehingga akan diketahui berbagai permasalahan yang ada. Adapun pengkajian pada pasien post operasi menurut Suratun (2008:66) adalah : 1.
Lanjutkan perawatan pra operatif
2.
Kaji ulang kebutuhan pasien berkaitan dengan kebutuhan rasa nyeri, perfusi jaringan, promosi kesehatan, mobilitas dan konsep diri
3.
Kaji dan pantau potensial masalah yang berkaitan dengan pembedahan: tanda vital, derajat kesadaran, cairan yang keluar dari luka, suara nafas, bising usus, keseimbangan cairan, dan nyeri.
4.
Observasi resiko syok hipovolemia akibat kehilangan darah akibat
18
pembedahan mayor (frekuensi nadi meningkat, tekanan darah turun, konfusi dan gelisah). 5.
Kaji peningkatan komplikasi paru dan jantung: observasi perubahan frekuensi nadi, pernafasan, warna kulit, suhu tubuh, riwayat penyakit paru, dan jantung sebelumnya. Sistem perkemihan: pantau pengeluaran urin, apakah terjadi retensi urin.
Retensi dapat disebabkan oleh posisi berkemih tidak alamiah, pembesaran prostat, dan adanya infeksi saluran kemih. a. Observasi tanda infeksi ( infeksi luka terjadi 5-9 hari, flebitis biasanya timbul selama minggu kedua), dan tanda vital. b. Kaji komplikasi tromboembolik: kaji tungkai untuk tandai nyeri tekan, panas, kemerahan, dan edema pada betis. c. Kaji komplikasi embolik lemak: perubahan pola panas, tingkah laku dan perubahan kesadaran.
Sedangkan menurut Doenges (2000:761), data dasar pengkajian pada pasien dengan post op fraktur femur berhubungan dengan intervensi bedah umum yang mengacu pada pengkajian fraktur, yaitu: 1.1
Aktivitas/istirahat:keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena. a. Sirkulasi: hipertensi, hipotensi, takikardia, pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian yang tekena, pembengkakan jaringan. b. Neurosensori: hilang gerakan/sensasi, spasme otot, kebas, deformitas local. c. Nyeri/kenyamanan:
nyeri
berat
tiba-tiba
pada
saat
cedera,
spasme/keram otot. d. Keamanan: laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna, pembengkakan local.
1.3.2
Diagnosa Keperawatan Menurut Sumijantun (2010:189), diagnosa keperawatan merupakan
langkah kedua dari proses keperawatan yang menggambarkan penilaian klinis
19
tentang respon individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat terhadap permasalahan kesehatan baik aktual maupun potensial. Adapun diagnosa keperawatan pada kasus post op fraktur menurut Suratun (2008:67) adalah Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan dan imobilisasi. a.
Potensi perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan pembengkakan, alat yang mengikat, dan ganguan peredaran darah. b. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kehilangan kemandirian. c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, pembengkakan, prosedur pembedahan, serta adanya imobilisasi, bidai, traksi, gips. d. Perubahan citra diri dan harga diri berhubungan dengan dampak muskuloskeletal. e. Resiko tinggi syok hipovolemik. f. Resiko tinggi infeksi
Sedangkan menurut Wilkinson dalam jitowiyono (2010:24), Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op fraktur meliputi:Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas. a.
Intoleran aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak adekuatan oksigenisasi.
b.
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik, kerusakan sirkulasi, dan penurunan sirkulasi, dibuktikan oleh terdapat luka/ ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, tyerdapat jaringan nekrotik
c.
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidaknyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan
d.
Resiko infeksi berhubungan dengan statis cairan tubuh, respon inflamasi
tertekan,
prosedur
invasif
dan
jalur
penusukan,
luka/kerusakan kulit, insisi pembedah e.
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang
20
terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
1.3.3
Intervensi Keperawatan Menurut Sumijantun (2010:203), perencanaan adalah fase proses
keperawatan yang sistematik mencakup pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Adapun perencanaan keperawatan pada klien dengan post op fraktur femur menurut Suratun dkadalah : 1.
Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan dan imobilisasi. Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang Kriteria Hasil : Nyeri berkurang/hilang Klien tampak tenang Intervensi : Kaji tingkat nyeri pasien. Tinggikan ekstremitas yang dioperasi.
a. Kompres dingin bila perlu. b. Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi. c. Kolaborasi dalam pemberian obat analgesic.
Rasional : a.
Mengetahui skala nyeri pada pasien.
b.
Membantu mengontrol edema agar nyeri berkurang.
c.
Untuk mengontrol nyeri dan edema.
d.
Hal ini dapat mengurangi dan mengontrol nyeri.
e.
Untuk mengontrol nyeri.
2. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan pembengkakan, alat yang mengikat, gangguan peredaran darah. Tujuan : Memelihara perfusi jaringan adekuat Kriteria Hasil :Tidak ada sianosis Intervensi : a.
Rencana pra operatif dilanjutkan.
21
b. Pantau status neurovaskular, warna kulit, suhu, pengisian kapiler, denyut nadi, nyeri, edema. c.
Anjurkan latihan otot.
d. Anjurkan latihan pergelangan kaki dan otot betis setiap jam.
Rasional : a.
Meneruskan tindakan keperawatan.
b. parastesi pada bagian yang dioperasi, dan laporkan segera pada dokter bila ada temuan yang mengarah pada gangguan. c.
untuk mencegah atrofi otot.
d. untuk memperbaiki peredaran darah.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kehilangan kemandirian. Tujuan : Memelihara kesehatan Kriteria Hasil: Klien mampu merawat diri sendiri Intervensi : a.
Rencana pra operatif dilanjutkan.
b.
Anjurkan pasien berpartisipasi dalam program penanganan pasca operatif.
c.
Diet seimbang dengan protein dan vitamin adekuat sangat diperlukan.
d. Anjurkan banyak minum minimal 2 sampai 3 liter perhari. e.
Observasi adanya gangguan integritas kulit pada daerah yang tertekan.
f.
Ubah posisi tidur dalam setiap 2-3 jam sekali.
g.
Bantu klien dalam pelaksanaan hyegien personal.
h.
Libatkan keluarga dalam pemeliharaan kesehatan.
Rasional : a. Melanjutkan tindakan keperawatan. b. Membantu dalam proses keperawatan. c. Untuk keshatan jaringan dan penyembuhan luka. d. Memenuhi kebutuhan cairan. e. Untuk mengetahui sedini mungkin adanya gangguan. f.
Untuk mencegah adanya penekanan pada kulit.
22
g. Untuk menghindari adanya kerusakan pada kulit. h. Membantu dalam pemeliharaan kesehatan pasien. 4. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri, pembengkakan, prosedur pembedahan, adanya imobilisasi, (bidai, gips, traksi). Tujuan : Memperbaiki mobilitas fisik normal Kriteria Hasil: Melakukan pergerakan dan pemindahan
Intervensi : a.
Kaji tingkat kemampuan mobilitas fisik.
b. Bantu
pasien
melakukan
aktivitas
selama
pasien
mengalami
ketidaknyamanan. c.
Tinggikan ektremitas yang bengkakanjurka latihan ROM sesuai kemampuan.
d. Anjurkan pasien berpartisipasi dalam aktivitas sesuai kemampuan. e.
Pantau daerah yang terpasang pen, skrup batang dan logam yang digunakan sebagai fiksasi interna.
f.
Anjurkan menggunakan alat bantu saat sedang pasca operasi, sebagai tongkat.
g. Pantau cara berjalan pasien. Perhatikan apakah benar-benar aman.
Rasional : a.
Mengetahui tingkat kemampuan mobilitas klien.
b. Menambah kemampuan klien dalam melakukan aktivitas. c.
Untuk memperlancar peredaran darah sehingga mengurangi pembengkakan.
d. Untuk mencegah kekakuan sendi. e.
Untuk memperbaiki tingkat mobilitas fisik.
f.
Ini dilakukan untuk mempertahankan posisi tulang sampai terjadi penulangan, tetapi tidak dirancang untuk mempertahankan berat badan.
g. Untuk mengurangi stres yang berlebihan pada tulang. Perubahan citra diri dan harga diri berhubungan dengan dampak masalah musculoskeletal. Tujuan : Terjadi peningkatan konsep diri Kriteria Hasil: Klien dapat bersosialisasi
23
Intervensi : a.
Rencana perawatan pra operatif dilanjutkan.
b. Libatkan pasien dalam menyusun rencana kegiatan yang dilakukan. c.
Bantu pasien menerima citra dirinya serta beri dukungan, baik dari perawat, keluarga maupun teman dekat.
Rasional : a.
Melanjutkan rencana tindakan keperawatan.
b.
Mempercepat rencana tindakan keperawatan.
c.
Stres,dan
menarik
diri
akan
mengurangi
motivasi
untuk
proses
penyembuhan.
6. Resiko tinggi komplikasi (syok hipovolemik) Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemik Kriteria Hasil : Klien tampak tenang
Intervensi : a. Pantau dan catat kehilangan darah pada pasien ( jumlah,warna). b. Pantau adanya peningkatan denyut nadi dan penurunan tekanan darah. c. Pantau jumlah urin. d. Pantau terjadinya gelisah, penurunan kesadaran dan haus. e. Pantau pemeriksaan laboratorium, terutama penutunan HB dan HT. Segera lapor ke ahli bedah ortopedi untuk penanganan selanjutnya.
Rasional : a.
Memantau jumlah kehilangan cairan.
b. Ini merupakan tanda awal syok. c.
Jika urin kurang dari 30 cc/ jam, itu merupakan tanda syok.
d. Rasa haus merupakan tanda awal syok. e.
Mengetahui terjadinya hemokosentrasi dan terjadinya syok hipovolemik.
7. Resiko tinggi infeksi Tujuan : Tidak terjadi infeksi
24
Kriteria Hasil: Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus
Intervensi : a.
Pemberian antibiotik intra vena jangka panjang.
b. Kaji respon pasien terhadap pemberian antibiotic. c.
Ganti balutan luka dengan teknik aseptik, sesuai dengan program.
d. Pantau tanda vital. e.
Pantau luka operasi dan catat cairan yang keluar.
f.
Pantau adanya infeksi saluran kemih. Rasional :
a.
Untuk mencegah osteomielitis.
b. Menilai adanya alegi dengan pemberian antibiotic. c.
Mencegah kontaminasi dan infeksi nasokomial.
d. Peningkatan suhu tubuh diatas normal menunjukan adanya tanda infeksi. e.
Adanya cairan yang keluar dari luka menunjukan adanya infeksi pada luka.
f.
Laporkan ke dokter bila ada infeksi yang ditemukan, hal ini sering terjadi setelah pembedahan ortopedik. Perencanaan keperawatan menurut wilkinson dalam jitowiyono (2010:25)
pada klien dengan post op fraktur femur meliputi : 1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas. Tujuan : Nyeri dapat berkurang atau hilang Kriteria Hasil: 1. Nyeri berkurang atau hilang 2. Klien tampak tenang
Intervensi : a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga. b. Kaji tingkat intensitas dan frekuensi nyeri. c. Jelaskan pada klien penyebab nyeri. d. Observasi tanda-tanda vital.
25
e. Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalm pemberian analgesic.
Rasional : a.
Hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif.
b. Tingkat intensitas nyeri dan frekuensi menunjukan nyeri. c.
Memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri.
d. Untuk mengetahui perkembangan klien. e.
Merupakan tindakan dependent perawat. Dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.
2. Intoleran aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak adekuatan oksigenisasi. Tujuan : Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas Kriteria Hasil : a.
Prilaku merupakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri
b. Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu c.
Koordinasi otot,tulang dan anggota gerak lainya baik
Intervensi: a.
Rencanakan periode istirahat yang cukup.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap. c.
Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respon pasien.
Rasional : a. Mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secara optimal. b. Tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secar perlahan dapat menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mbilisasi dini. c. Mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali. d. Menjaga kemungkinan adanya respon abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.
26
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik, kerusakan sirkulasi, dan penurunan sirkulasi, dibuktikan oleh terdapat luka/ ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai Kriteria Hasil : 1.
Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus
2.
Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor
3.
Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi
Intervensi : a.
Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka. c.
Pantau peningkatan suhu tubuh.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kassa kering dan steril, gunakan plester kertas. e.
Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
f.
Setelah debridement, ganti baluta sesuai kebutuhan.
g. Kolaborasi pemberian antibiotic.
Rasional : a. Mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam meltindakan yang tepat. b. Mengidentifikasi tingkat keparahan akan mempermudah intervensi c. Suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasi sebagai adanya proses peradangan. d. Tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi. e. Agar benda asing atau jaringan yang teriinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainya.
27
f.
Balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung pada kondisi parah/tidaknya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Antibiotik berguna untuk memetikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang terjadi infeksi. 4.
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidaknyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
Tujuan : Pasien akan menunjukan tingkat mobilitas optimal Kriteria Hasil : 1.
Penampilan yang seimbang
2.
Melakukan pergerakan dan pemindahan
3.
Mempertahankan mobilitas optimal yang dapat ditoleransi dengan karakteristik : 0 = mandiri penuh 1 = memerlukan alat bantu 2 = memerlukan bantuan darinorang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran 3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu 4 = ketergantungan tidak berpartisipasi dalam aktivitas
Intervensi : a.
Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas. c.
Ajarkan dan pantau dalam hal pengguanaan alat bantu.
d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif. e.
Kolaborasi dalam hal ahli terapi fisik.
Rasional : a.
Mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
b. Mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
28
c.
Menilai batasan kemempuan aktivitas optimal.
d. Mempertahankan/keningkatkan kekuatan dan ketahanan otot. e.
Sebagai
suatu
sumber
untuk
mengembangkan
perencanaan
dan
mempertahankan/ meningkatkan mobilitas pasien. 5. Resiko infeksi berhubungan dengan statis cairan tubuh, respon inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
Tujuan : Infeksi tidak terjaadi/ terkontrol Kriteria Hasil : 1.
Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
2.
Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
3.
Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi : a.
Pantau tanda-tanda vital.
b. Lakukan perawatan luka dengan tehnik aseptic. c.
Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
d. Jika ditemukan tanda-tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit. e.
Kolaborasi untuk pemberian antibiotic.
Rasional : a.
Mengidentifikasi
tanda-tanda
peradangan
terutama
bila
suhu
tubuh
meningkat. b.
Mengendalikan penyebaran mikroorganisme pathogen.
c.
Untuk mengurangi resiko infeksi nasokomial.
d. Panurunan Hb dan peningkatan leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi. e.
Antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme pathogen.
29
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
Tujuan : Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan. Kriteria Hasil : 1.
Melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.
2.
Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan kut serta dalam regimen perawatan.
Intervensi : a.
Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
b. Berika penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang. c.
Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makananya
d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang dilakukan.
Rasional : a. Mengetahui seberapa jauh penglaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya. b. Dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi cemas. c. Diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan. d. Mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.
1.3.4
Implementasi Keperawatan Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan
spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.
30
Pelaksanaan tindakan kepewaratan pada klien fraktur femur dilakukan sesuai dengan perencanaan keperawatan yang letah ditentukan, dengan tujuan unutk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal.
1.3.5
Evaluasi Keperawatan Evaluasi adalah intelektual untuk melengkapi proses asuhan keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaanya yang berhasil dicapai. Meskipun evaluasi diletakkan pada akhir asuhan keperawatan, evaluasi merupakan bagian integral pada setiap tahap asuhan keperawatan . Setelah data dikumpulkan tentang status keadaan klien maka perawat memebandingkan data dengan outcomes. Tahap selanjutnya adalah membuat keputusan tentang pencapaian klien outcomes, ada 3 kemungkinan keputusan tahap ini : 1)
Klien telah mencapai hasil yang ditentukan dalam tujuan.
2)
Klien masih dalam catatan hasil yang ditentukan.
3)
Klien tidak dapat mencapai hasil yang ditentukan
31
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN
Hari/tanggal/jam pengkajian : Selasa, 05 Maret 2019, pukul 14.30 WIB Nama Mahasiswa
: Fitri
NIM
: 2017.C.09a.0840
Program Studi
: S1 Keperawatan
3.1. PENGKAJIAN 3.1.1. IDENTITAS KLIEN Nama
: Ny. U
Umur
: 85 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Suku/Bangsa
: Dayak/Indonesia
Agama
: Kristen Protestan
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
:-
Status Perkawinan
: Menikah
Alamat
: Jl. Jati Raya II No.63
TGL MRS
: 24 Maret 2019
Diagnosa Medis
: Open Fraktur Femur (D)
3.1.2. RIWAYAT KESEHATAN/PERAWATAN 1. Keluhan Utama Pasien mengatakan terasa nyeri, seperti di tusuk-tusuk, nyeri dirasakan luka didaerah lutut,
skala
nyerinya
5 (sedang), nyeri dirasakan saat
menggerakkan otot, diberikan traksi 5 kg. 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengatakan “pasien mengalami kecelakaan saat melewati parit (Februari 2019) kaki kanan teperosok ke dalam parit sehingga mengalami patah tulang. Maka keluarga memutuskan untuk membawa ke Rumah Sakit pada tanggal 24 Februari 2019. Dan dirawat inap di ruangan Dahlia RSUD
31
32
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. 3. Riwayat Penyakit Sebelumnya (riwayat penyakit dan riwayat operasi) Pasien mengatakan tidak pernah atau tidak ada memiliki penyakit tersebut. 4. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat mengatakan tidak mempunyai riwayat
GENOGRAM KELUARGA:
KETERANGAN: = Laki-laki = Perempuan = Meninggal = Hubungan keluarga = Menikah = Tinggal serumah = Pasien
3.1.3. PEMERIKSAAN FISIK 1. Keadaan Umum Kesadaran compos mentis, pasien tampak lemah, terbaring di tempat tidur, terpasang infus di sebelah kanan (RL 20 TPM), terpasang balutan elastis pada kaki kanan, terpasang kateter, ADL pasien dibantu oleh keluarga. 2. Status Mental a. Tingkat Kesadaran
: Compos Menthis
b. Ekspresi Wajah
: Meringis
c. Bentuk Badan
: Normal
d. Cara Berbaring/Bergerak
: Terlentang
33
e. Berbicara
: Cukup jelas
f. Suasana Hati
: Sedih
g. Penampilan
: Kurang rapi
h. Fungsi Kognitif: Orientasi Waktu
: Pasien dapat membedakan pagi, siang dan malam
Orientasi Orang
: Pasien dapat mengenali keluarganya dan petugas kesehatan
Orientasi Tempat
: Pasien dapat mengetahui Ia berada di RS
i. Halusinasi
: Tidak Ada
j. Proses Berpikir
: Tidak Ada
k. Insight
: Baik
l. Mekanisme Pertahanan Diri : Adaptif Keluhan Lainnya
: Tidak Ada
3. Tanda-tanda Vital a. Suhu/T
: 38,7oC Axilla
b. Nadi/HR
: 100x/menit
c. Pernapasan/RR
: 39x/menit
d. Tekanan Darah/BP
: 133/79 mmHg
e. SPO2
:-
4. Pernapasan (Breathing) Bentuk Dada
: Simetris
Kebiasaan Merokok
: Tidak Ada
Batuk
: Tidak Ada
Batuk darah
: Tidak Ada
Sputum
: Tidak Ada
Sianosis
: Tidak Ada
Nyeri Dada
: Tidak Ada
Dyspnea nyeri dada Orthopnea Lainnya: Tidak Ada Sesak Nafas Saat inspirasi Saat aktivitas Saat istirahat Type Pernapasan
: Dada
Perut
Dada dan Perut
Kusmaul Cheyne-stokes Biot
34
Lainnya: Tidak Ada Irama Pernapasan
: Teratur
Tidak Teratur
Suara Napas
: Vesikuler
Bronchovesikuler
Bronchial
Trakeal
Suara Napas Tambahan : Wheezing
Rochi kering
Ronchi basah Keluhan Lainnya
: Tidak Ada
Masalah Keperawatan
: Tidak Ada
Lainnya: Tidak Ada
5. Cardiovasculer (Bleeding) Nyeri dada
Kram kaki
Pucat
Pusing/sinkop
Clubing finger
Sianosis
Sakit kepala
Palpitasi
Pingsan
Capillary refill time > 2 detik
< 2 detik
Oedema:
Wajah
Ekstrimitas atas
Anasarka
Ekstrimitas bawah
Ictus Cordis
Terlihat
Tidak Terlihat
Vena Jugularis
Tidak Meningkat Meningkat
Suara Jantung
Normal, S2 > S1: Lub-Dub
Asites
Ada Kelainan Keluhan Lainnya: Tidak Ada Masalah Keperawatan: 6. Persyarafan (Brain) Nilai GCS : E
:4
V
:5
M
:6
Total Nilai GCS : 15 Kesadaran: Compos Menthis Apatis Pupil
: Isokor
Somnolent
Delirium
Soporus
Coma
Anisokor
Midriasis Meiosis Reflek Cahaya: Kanan
Positif
Negatif
35
Kiri
Positif
Negatif
Aphasia
Kesemutan
Nyeri, lokasi ..................... Vertigo
Gelisah
Bingung
Disarthria Kejang
Tremor
Pelo Uji Syaraf Kranial: Nervus Kranial I
: Pasien mampu membedakan aroma kopi dengan menutup mata
Nervus Kranial II
: Pasien mampu mebaca saat ditanya atau menyuru membaca gelang sendiri
Nervus Kranial III
: Reaksi pupil terhadap cahaya baik
Nervus Kranial IV
: Pasien menggerakkan bola matanya ke atas dan kebawah
Nervus Kranial V
: Ada reflek, klien mampu mengatupkan gigi ketika sedang makan
Nervus Kranial VI
: Klien mampu menggerakkan mata ke samping
Nervus Kranial VII
: Klien mampu mengencangkan wajahnya
Nervus Kranial VIII
: Klien mampu Klien mampu mendengarkan orang berbicara ini obatnya
Nervus Kranial IX
: Klien mampu mengidentifikasi rasa manis
Nervus Kranial X
: Klien mamp mengatakan ah
Nervus Kranial XI
: Klien mampu mengangkat bahu dengan pelan
Nervus Kranial XII
: Klien mampu menjulurkan lidahnya
Uji Koordinasi: Ekstrimitas Atas
: Jari ke jari Jari ke hidung
Ekstrimitas Bawah
Positif
Negatif
Positif
Negatif
: Tumit ke jempol kaki Positif
Uji Kestabilan Tubuh : Positif
Negatif
Negatif
Refleks: Bisep
: Kanan
Skala: +2
Kiri
Skala: +2
Trisep
: Kanan
Skala: +2
Kiri
Skala: +2
Brakioradialis :
36
Patella
: Kanan
Skala: +2
Kiri
Skala: +1
Akhiles
: Kanan
Skala: +2
Kiri
Skala: +1
Babinski
: Kanan
Skala: +2
Kiri
Skala: +1
Refleks Lainnya : Tidak Ada Keluhan Lainya
: Tidak Ada
Masalah Keperawatan : Tidak Ada 7. Eliminasi Uri (Bladder) Produksi Urine : 300 ml 3 x/hari Warna
: Kuning
Bau
: Khas amoniak
Tidak ada masalah/lancar
Menetes
Inkotinen
Oliguri
Nyeri
Retensi
Poliuri
Panas
Hematuri
Dysuri
Nocturi
Kateter
Cystostomi
Keluhan Lainnya
: Tidak Ada
Masalah Keperawatan: Tidak Ada 8. Eliminasi Alvi (Bowel) Mulut dan Faring Bibir
: Normal
Gigi
: Gigi klien normal terawat tidak ada karies
Gusi
: Gusi normal tidak ada perdarahan atau peradangan
Lidah
: Normal
Mukosa : Mukosa klien lembab Tonsil
: Tidak Ada Peradangan
Rectum : Tidak Ada lesi/gangguan Hemoroid : Tidak Ada BAB
: 2x/hari
Warna: Coklat
Konsistensi: Lembek
Tidak ada masalah
Diare
Konstipasi
Kembung
Feses berdarah
Melena
Obat pencahar
Lavement
Bising Usus: Bising usus klien normal Nyeri Tekan: Tidak Ada
37
Benjolan: Tidak Ada Keluhan Lainnya
: Tidak Ada
Masalah Keperawatan: Tidak Ada 9. Tulang – Otot – Integumen (Bone) Kemampuan pergerakan sendi Parese, lokasi
: Tidak Ada
Paralise, lokasi
: Tidak Ada
Bebas
Terbatas
Hemiparese, lokasi : Tidak Ada Krepitasi, lokasi
: Tidak Ada
Nyeri , lokasi
: Kaki (Ekstremitas) bagian kanan
Kekakuan, lokasi
: Tidak Ada
Flasiditas, lokasi
: Tidak Ada
Spastisitas, lokasi
: Tidak Ada
Ukuran otot:
Simetris Atropi
Hipertropi
Kontraktur
Malposisi
Uji Kekuatan Otot: Ekstrimitas atas 55555555 Ekstrimitas bawah 1111 5555 Deformitas tulang, lokasi
: Tidak Ada
Peradangan, lokasi
: Tidak Ada
Perlukaan, lokasi
: Tidak Ada
Patah tulang, lokasi
: Femuralis Distal Dextra
Tulang belakang:
Normal
Skoliosis
Kifosis
Lordosis
10. Kulit-kulit Rambut Riwayat alergi Obat
: Klien tidak memiliki riwayat alergi obat
Makanan : Klien tidak memiliki riwayat alergi makanan Kosmetik : Klien tidak memiliki riwayat alergi kosmetik
38
Lainnya
: Tidak Ada
Suhu kulit
Hangat
Panas
Dingin
Warna kulit
Normal
Sianosis/biru
Ikterik/kuning
Putih/pucat Coklat tua/hyperpigmentasi Turgor
Baik
Cukup
Kurang
Tekstur
Halus
Kasar
Lesi
Macula, lokasi
: Tidak Ada
Pustula, lokasi
: Tidak Ada
Nodula, lokasi
: Tidak Ada
Vesikula, lokasi
: Tidak Ada
Papula, lokasi
: Tidak Ada
Ulcus, lokasi
: Tidak Ada
Jaringan parut : Tidak Ada Tekstur Rambut : Halus Distribusi Rambut: Tidak terlihat tertutup balutan luka di kepala Bentuk kuku
: Simetris
Irreguler
Clubbing
Lainnya: Tidak Ada
Masalah Keperawatan: Tidak Ada 11. Sistem Penginderaan a. Mata/Penglihatan Fungsi penglihatan : Berkurang
Kabur
Ganda
Buta/gelap
Gerakan bola mata : Bergerak normal Diam Bergerak spontan/nistagmus Visus
: Mata Kanan (VOD): Mata Kiri
Sclera
(VOS): -
: Normal/putih Kuning/ikterus Merah/hifema
Konjunctiva : Merah muda Pucat/anemic Kornea
: Bening
Alat bantu : Kacamata Nyeri
: Tidak Ada
Keluhan Lainnya : Tidak Ada
Keruh Lensa kontak
Lainnya
39
b. Telinga/Pendengaran: Normal Fungsi Pendengaran: Berkurang
Berdengung
Tuli
c. Hidung/Penciuman : Normal Bentuk
: Simetris Asimetris
Lesi
: Tidak Ada
Patensi
: Tidak Ada
Obstruksi
: Tidak Ada
Nyeri tekan sinus: Tidak Ada Transluminasi
: Tidak Ada
Cavum Nasal:
Warna: Tidak ada sekresi
Integritas
Septum Nasal:
Deviasi
Perdarahan
Sekresi, warna
: Tidak ada sekresi
Polip
Kanan
Perforasi
Kiri
Kanan dan Kiri
Masalah Keperawatan: Tidak Ada 12. Leher dan Kelenjar Limfe Ya
Tidak
Jaringan Parut Ya
Tidak
Massa
Kelenjar Limfe
Teraba
Tidak teraba
Kelenjar Tiroid
Teraba
Tidak teraba
Mobilitas Leher
Bebas
Terbatas
13. Sistem Reproduksi a. Reproduksi Pria Kemerahan, lokasi Gatal-gatal, lokasi Gland penis, lokasi Maetus Uretra Discharge, warna Scrotum Hernia Kelainan b. Reproduksi Wanita Kemerahan, lokasi
:-
40
Gatal-gatal, lokasi Perdarahan Flour Albus Clitoris Labis Uretra Kebersihan
: Baik
Cukup
Kurang
Kehamilan
:
Tafsiran Partus
:
Datar
Lecet
Mastitis
Sedikit
Tidak keluar
Keluhan Lain: Tidak Ada Payudara
:
Simetris
Asimetris
Sear
Lesi
Pembengkakan Nyeri tekan Puting
:
Menonjol Warna Aerola ASI Lancar Keluhan Lain
: Tidak Ada
Masalah Keperawatan
: Tidak Ada Masalah Keperawatan
3.1.4. POLA FUNGSI KESEHATAN 1. Persepsi Terhadap Kesehatan dan Penyakit: Klien mengatakansakit yang diderita bisa sembuh asal klien mendengarkan apa yang dikatakan dokter 2. Nutrisida Metabolisme TB
: 150 cm
BB sekarang
: 48 Kg
BB sebelum sakit: 48 Kg Diet: Biasa Diet Khusus:
Cair
Saring
Lunak
41
Rendah garam
Rendah kalori
TKTP
Rendah lemak
Rendah purin
Lainnya: Tidak Ada
Mual Muntah............kali/hari Kesukaran menelan
Ya
Tidak
Rasa haus Keluhan Lainnya: Tidak Ada Pola Makan Sehari-hari
Sesudah Sakit
Sebelum Sakit
3x1 sehari
3x1 sehari
1 porsi
1 porsi
Nafsu makan
Baik
Baik
Jenis makanan
Nasi, lauk
Nasi, sayur, lauk
Jenis minuman
Air mineral
Air mineral
Jumlah minuman/cc/24 jam
± 600cc/jam
± 600cc/jam
Kebiasaan makan
½ porsi
1 porsi habis
Keluhan/masalah
Tidak Ada
Tidak Ada
Frekuensi/hari Porsi
Masalah Keperawatan: Tidak Ada
3. Pola istirahat dan tidur: Sebelum sakit
: malam 6-8 jam, siang 1-2 jam
Sesudah sakit
: malam 4-6 jam , siang 2 jam
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan 4. Kognitif: Pasien dapat berkomunikasi dengan baik. Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan 5. Konsep diri (Gambaran diri, ideal diri, identitas diri, harga diri, peran): Pasien selalu bersyukur, mengharapkan agar dia cepat sembuh, harga diri pasien mengatakan puas dengan pelayanan rumah sakit, peran pasien sebagai seorang ibu dari anak-anaknya. Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan 6. Aktivitas Sehari-hari Sebelum sakit pasien bekea sebagai petani, sesudah sakit pasien hanya
42
terbaring ditempat tidur. Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan 7. Koping-Toleransi terhadap stress Pasien suka bercerita dengan keluarga jika ada masalah. Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan 8. Nilai Pola Keyakinan Pasien beragama kristen dan selalu pergi ke gereja setiap hari minggu. Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan 3.1.5. SOSIAL – SPIRITUAL 1. Kemampuan berkomunikasi Klien mampu berkomunikasi dengan kata-kata yang jelas. 2. Bahasa sehari-hari Klien mengatakan menggunakan bahasa dayak dan indonesia 3. Hubungan dengan keluarga Hubungan klien dengan keluarga baik dan harmonis. 4. Hubungan dengan teman/petugas kesehatan/orang lain Hubungan klien dengan teman, petugas kesehatan dan orang lain baik. 5. Orang berarti/terdekat Orang terdekat bagi klien adalah keluarga. 6. Kebiasaan menggunakan waktu luang Sebelum sakit kebiasaan klien dalam meluangkan waktu berkumpul bersama keluarga, setelah sakit klien hanya terbaring beristirahat. 7. Kegiatan beribadah Ke gereja setiap hari minggu bersama keluarga.
3.1.6. DATA PENUNJANG (RADIOLOGIS, LABORATORIUM, PENUNJANG LAINNYA) 1. Tabel pemeriksaan laboratorium dan radiologi 1.1 Laboraturium 24 Februari 2019 Glukosa 89 mg/dL Kreatinin 1,16 mg/dL
43
1.2 Hasil Rontgen menyatakan Open Fraktur Femur Distal Dextra
3.1.7. PENATALAKSANAAN MEDIS 1.1 Ketorolac 30 mg ( 3 x 1 ) 1.2 Ceptriaxone 1 gr ( 2 x 1 )
Palangka Raya, 05 Maret 2019 Mahasiswa
( FITRI) NIM: 2017.C.09a.0840
44
3.2
TABEL ANALISA DATA
DATA SUBYEKTIF DAN
KEMUNGKINAN
DATA OBYEKTIF
PENYEBAB
DS: Pasien mengatakan
Trauma jaringan infeksi
terasa nyeri seperti ditusuk-
Kerusakan sel
(lutut) dengan skala 5 (sedang) nyeri dirasakan saat menggerakkan kaki.
Pelepasan mediator nyeri
DO: - Pasien tampak meringis
Merangsang nosiseptor
- Balutan luka pada kaki sebelah kanan - Pasien tampak gelisah
Medulla spinalis
- TTV: TD: 133/79 mmHg N : 100x/menit
Sistem aktivitas
RR: 39x/menit S : 38,6oC – Hasil Rontgen
Hipotalamus
menyatakan Ny.U Open Fraktur Femur Distal Dextra
Gangguan rasa aman dan nyaman
tusuk, nyeri dirasakan di daerah luka dibagian tubuh
MASALAH
Persepsi nyeri
Gangguan rasa aman dan nyaman
45
PRIORITAS MASALAH
Gangguan rasa aman dan nyaman berhubungan dengan luka Open Fraktur Femur Distal Dextra
46
3.3 RENCANA KEPERAWATAN Nama Pasien : Ny. U Ruang Rawat : Ruang Dahlia / D-17 Diagnosa
Tujuan dan
Keperawatan
Kriteria Hasil
1. Gangguan rasa
Setelah dilakukan
1. Kaji TTV
aman dan
tindakan
2. Pantau skala
nyaman
keperawatan
berhubungan
selama 3x24 jam
3. Mengajarkan
pasien
dengan luka
diharapkan nyeri
pasien tehnik
2. Untuk
Open Fraktur
berkurang dengan
napas dalam
Femur Distal
kriteria hasil :
Dextra
- TTV dalam batas normal - Pasien tidak menunjukkan adanya nyeri
Intervensi
nyeri
4. Melanjutkan pemberian obat analgesik
Rasional
1. Untuk mengetahui keadaan
mengetahui tingkat skala nyeri pasien 3. Untuk
(Ketorolak 30
membantu
mg/IV)
pasien secara mandiri 4. Untuk membantu mengurangi rasa nyeri pasien
47
3.4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN Nama Pasien : Ny. U Ruang Rawat : Ruang Dahlia / D-17 Hari/Tanggal/Jam
Implementasi
Evaluasi (SOAP)
TTD Perawat
Selasa,
05
Maret 1. Mengkaji TTV
2019 Jam 14.30 WIB
2. Memantau
S:Pasien
skala
mengatakanmasih
nyeri
terasa nyeri dengan
3. Mengajarkanpasien
skala 5 (sedang)
tehnik napas dalam
O:
4. Melanjutkan pemberian
obat
-
TD:
analgesik (Ketorolak
TTV:
( FITRI ) 130/80
mmHg
30
N: 88x/menit
mg/dL)
RR: 20x/menit S: 36,5oC –
Pasien masih tampak gelisah
–
Dan terkadang pasien masih meringis A: Masalah belum teratasi P: Lanjutkan intervensi 1,2,3,4
48
BAB 4 PENUTUP
4.1
Kesimpulan Fraktur merupakan istilah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan,
baikyang bersifat total atau sebagian. Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan dan lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma. Tidak hanya keretakan atau terpisahnya korteks, kejadian fraktur lebih sering mengakibatkan kerusakan yang komplit dan fragmen tulang terpisah
4.2
Saran Diharapkan dari teori ini pembaca maupun penulis dapat mengerti dan
memahami isi dari teori ini,penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Karena didalam teori ini jauh dari kata sempurna, sekian penulis ucapkan terima kasih.
48
49
DAFTAR PUSTAKA Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 volume 2, EGC, Jakarta. Budiyanto, Aris. 2009. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pasca Operasi Pemasangan Orif Pada Fraktur. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Retrived from :http://www.pdfcoke.com/doc/20058202/fraktur. Diakses pada 06 Februari 2012. Johnson, M. Maas, M and Moorhead, S. 2007. Nursing Outcomes Classifications (NOC). Second Edition. IOWA Outcomes Project. Mosby-Year Book, Inc. St.Louis, Missouri. North American Nursing Diagnosis Association. 2012. Nursing Diagnosis : Definition
and
Classification
2012-2014.
NANDA
International.
Philadelphia. McCloskey, J.C and Bulechek, G.M. 2007. Nursing Intervention Classifications (NIC). Second Edition. IOWA Interventions Project. Mosby-Year Book, Inc. St.Louis, Missouri.
50