Isi Lapsus.docx

  • Uploaded by: Titi Samal
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Isi Lapsus.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,357
  • Pages: 29
BAB I PENDAHULUAN

Limfoma merupakan keganasan yang berasal dari sistem limfatik. limfoma merupakan penyakit keganasan tersering kedua pada sel limfoid setelah leukemia. Berdasarkan ada tidaknya sel reed sternberg, limfoma diklasifikasikan menjadi dua yaitu: Limfoma Hodgkin dan Limfoma Non Hodgkin.Sekitar 90% dari penderita limfoma merupakan penderita limfoma non-hodgkin, dan sisanya Limfoma Hodgkin.1 Menurut data GLOBOCAN tahun 2012, limfoma merupakan salah satu dari sepuluh penyakit kanker terbanyak di dunia. Berdasarkan data di Amerika Serikat, Limfoma Hodgkin memiliki prevalensi 8,2% dari keseluruhan keganasan sel limfoid, sementara Limfoma Non Hodgkin memiliki prevalensi 62,4%. Limfoma Non Hodgkin merupakan peringkat keempat tipe kanker penyebab kematian pada laki-laki usia 20-39 tahun di Amerika Serikat dan merupakan peringkat kelima tipe kanker penyebab kematian pada perempuan usia lebih dari sama dengan 80 tahun di Amerika Serikat. Angka kematian Limfoma Non Hodgkin di Amerika Serikat pada tahun 2005-2009 pada laki-laki 8,4 per 100.000 penduduk, sementara pada perempuan 5,2 per 100.000 penduduk.2 Pada riset kesehatan dasar tahun 2013 didapatkan prevalensi penderita limfoma di Indonesia adalah sebsar 0,006%, atau diperkirakan sebanyak 14.905 orang. Provinsi di Yogyakarta memiliki presentase prevalensi limfoma tertinggi, yaitu sebesar 0,25% atau diperkirakan sebanyak dua 2728 orang sedangkan di Maluku tercatat penderita limfoma secara keseluruhan berjumlah 83 orang. Dari data riskedas penduduk laki – laki lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk perempuan. Baik penduduk laki-laki dan perempuan lebih banyak yang terkena limfoma non-hodgkin yaitu sebesar 6% pada penduduk laki-laki dan 4,1% pada penduduk perempuan. Kematian akibat limfoma cukup tinggi, yaitu mencapai setengah dari presentase kasus baru. Oleh karena itu diperlukan deteksi dan penanganan lebih awal sehingga kemungkinan sembuh lebih besar dan dapat menekan jumlah kematian akibat limfoma.2

1

BAB II LAPORAN KASUS 1. Identitas Pasien

2.

-

Nama

: WP

-

Umur

: 21 tahun

-

Jenis Kelamin

: Perempuan

-

Alamat

: Kudamati

-

Agama

: Kristen

Anamnesis -

Keluhan Utama : Benjolan dileher

-

Anamnesis terpimpin

: Benjolan timbul sudah sejak setahun yang lalu

benjolan sebesar telur puyu, banyak konsistensi keras, permukaan licin, nyeri tekan negatif, pasien juga mengeluh sesak, sesak muncul kurang lebih 2 hari yang lalu, sesak timbul terus menerus, sesak timbul saat berbaring maupun saat duduk dan pasien juga mengeluh batuk berlendir, darah tidak ada serta seluruh badan terasa dingin.

3.

-

Riwayat penyakit dahulu

: Tidak ada

-

Riwayat penyakit keluarga

: Tidak ada

-

Riwayat pengobatan

: Tidak ada

-

Riwayat sosial/ekonomi

: Tidak ada

Pemeriksaan Fisik Status present Keadaan umum

: Tampak sakit berat

Status gizi

: Cukup

Kesadaran

: Kompos mentis

Tanda vital Tekanan darah: 90/60 mmHg

Nadi:118x/menit

Pernapasan:28x/menit

Suhu:36,50C

2

Kepala •

Simetris muka

: Simetris (normocephal)



Deformitas

: Tidak ada deformitas



Rambut

: Alopesia androgenik

Mata •

Eksoftalmus / enoftalmus : Eksoftalmus



Tekanan bola mata : TIOD : 21,9 mmHg TIOS : 21.9 mmHg



Konjungtiva : Anemis (+/+)



Sklera : Sklera tidak ikterik



Kornea : Jernih, Refleks Kornea (+/+)



Gerakan : Gerakan bola mata normal ke segala arah



Pupil : Pupil isokor 4mm/4mm, refleks cahaya (+/+),RCTL (+/+)

Telinga •

Auricula Tophi : Tidak ada, secret (-/-), nyeri tarik aurikula (-/-), krusta (-)



Nyeri tekan Processus Mastoideus : Nyeri tekan (-/-)



Pendengaran : Kesan normal

Hidung •

Perdarahan : Tidak ada perdarahan hidung



Sekret : Tidak ada sekret dari hidung, deviasi septum nasi (-/-), pernafasan cuping hidug (-/-)

Mulut •

Bibir : Sianosis (-), stomatitis (-), perdarahan (-), ulkus labialis (-).



Gigi geligi : Intak, tidak ada karies



Gusi : Tidak ada perdarahan gusi, oedema (-)



Tonsil : T1/T1, hiperemis (-), kripate (-), edema (-)



Faring : Hiperemis (-)



Lidah : Mikroglosi, hiperemis (+) kandidiasis oral (-), lidah kotor (-)

Leher •

Kelenjar getah bening : Teraba pembesaran pada collum dextra sinistra, sebesar telur puyu, banyak, konsistensi keras, permukaan licin, nyeri tekan (-).



Kelenjar Gondok : Tidak ada pembesaran



JVP : 5-2cm H2O

3



Pembuluh darah : tidak ada pelebaran pembuluh darah (-)



Kaku kuduk : rangsang meningeal (-)

Thoraks a. Inspeksi dada: •

Simetris kiri- kanan, pembengkakan abnormal (-), krusta (-), tidak ada pergeseran trakea.



Bentuk : Normochest



Pembuluh darah : Tidak ada pelebaran pembuluh darah



Buah dada : Tampak mengecil, simetris kiri-kanan



Sela iga : Tidak ada pelebaran sela iga, retraksi (-)



Atrofi M. pectoralis Mayor (-)

Paru b. Palpasi •

Fremitus raba : menurun pada lapang paru kanan-kiri



Nyeri tekan : nyeri tekan (+) pada kedua lapang paru c. Perkusi



Paru kiri : redup pada lapang paru kiri



Paru kanan : redup pada lapang paru kanan



Batas paru-hepar : ICS IX Dekstra



Batas paru belakang kanan : Vertebra thoracalis IX dextra



Batas paru belakang kiri : Vertebra thoracalis X sinistra d. Auskultasi



Bunyi pernapasan : vesikuler kiri = kanan



Bunyi tambahan : Wheziing (+/+) pada kedua lapang paru

4

Jantung a. Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak b. Palpasi : Iktus kordis ICS V linea midclavicula sinistra c. Perkusi : Redup, batas kanan jantung di ICS III-IV linea parasternalis dextra, pinggang jantung di ICS III sinistra (2-3 cm dari mid sternum), batas kiri jantung di ICS V linea midclavicularis sinistra. d. Auskultasi : •

BJ I/II : murni reguler



Bunyi tambahan : murmur (-), gallop (-)

Abdomen a. Inspeksi : Tampak cembung, dilatasi vena (-), jaringan parut (-), striae (-),caput medusa (-). b. Auskultasi : BU (↓) c. Palpasi •

Nyeri tekan (+) pada semua region abdomen



Hati : Tidak teraba



Limpa : Tidak teraba



Ginjal : Tidak teraba, ballotement (-)



Lain-lain : (-)

d. Perkusi : Pekak, Shifting dullness (-) Alat kelamin

: Tidak diperiksa

Anus dan rektum : Tidak diperiksa Punggung •

Inspeksi : normal, lordosis (-), skoliosis (-), kifosis (-), massa (-).



Palpasi : Nyeri tekan (-), Krepitasi (-)



Nyeri ketok : Nyeri ketok (-)



Bentuk: simetris kiri- kanan

Ekstremitas : Akral dingin, pitting edema (+) tungkai bawah kanan dan kiri, sianosis(-)

5

4.

Pemeriksaan penunjang Hematologi : Jumlah eritrosit

: 3.08 106/mm3

Hemoglobin

: 8.5 g/dL

Hematokrit

: 24.9%

MCV

: 81 µm3

MCH

: 27.4 pg

MCHC

: 33.9 g/Dl

RDW

: 18.0%

PLT

: 323 103/mm3

MPV

: 10.2 µm3

PCT

: 0.331%

PDW

: 22.3%

Jumlah leukosit

: 36.4 103/mm3

Limfosit

3.2%

Eosinofil

: 0.7%

Basofil

: 1.5 %

6

Kimia klinik : Ureum

: 42 mg/dL

Kreatinin

: 0.8 mg/dL

Asam urat

: 4.4 mg/dL

Kolesterol Total

: 58 mg/dL

SGOT

: 6 µ/L

SGPT

: 8 µ/L

Bilirubin Total

: 0.3 mg/dL

Bilirubin Direk

: 0.2 mg/dL

Bilirubin Indirek

: 0.1 mg/dL

Albumin

: 2.1 mg/dL

Elektrolit Natrium

: 134 mmol/L

Kalium

: 3.4 mmol/L

Chlorida

: 105 mmol/L

7

EKG :

5.

6. 7.

Resume : Ny W usia 21 tahun datang dengan keluhan timbulnya benjolan pada leher, benjolan sebesar telur puyu pada leher bagian depan dan belakang, konsistensi keras, permukaan licin, nyeri tekan (-). Dari hasil pemeriksaan fisik, mata tampak menonjol, teraba pembesaran kelenjar getah bening pada area leher bagian depan dan belakang sebesar telur puyu. Paru kiri-kanan terdengar redup pada perkusi, whezzing (+/+), akral dingin, edema tungkai bawah (+/+), abdomen tampak membesar dan keras, nyeri tekan (+), BU menurun, perkusi terdengar pekak. Dari hasil pemeriksaan penunjang; darah rutin:Hb 8.5 g/dL Ht: 24.9%, Leukosit 36.400 103/mm3. Darah kimia didapatkan albumin 2.1 mg/dl. Diagnosis Limfoma maligna Diagnosis Banding : Limfadenitis tuberkulosa

8

8.

Terapi - Nacl 0.9% 20 tpm - Ceftriaxone 2x1 gr IV - Ketorolac 2x30 mg IV - Ranitidin 2x25 mg - Valamin 1 btl/h - Codein 3x10 mg - Clobazam 1x10 mg

9

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Definisi Limfoma maligna adalah tumor ganas primer dari kelenjar l i m f e d a n j a r i n g a n limfatik di organ lainnya. Penyakit ini dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu penyakit Hodgkin dan limfoma non Hodgkin (LNH). Sel ganas pada penyakit Hodgkin berasal dari sel retikulum limfosit, pada penyakit ini diduga merupakan manifestasi reaksi kekebalan seluler terhadap sel ganas tersebut.3 3.2 Anatomi sistem limfatik Secara garis besar sistem limfatik tubuh dapat dibagi atas sistem konduksi, jaringan limfoid dan organ limfoid. Sistem konduksi mentransportasi limfe dan terdiri atas pembuluh-pembuluh tubuler yaitu kapiler limfe, pembuluh limfe dan duktus torasikus. Hampir semua jaringan tubuh memiliki pembuluh atau saluran limfe yang mengalirkan cairan dari ruang interstisial. Definisi jaringan limfatik (atau yang sering disebut jaringan limfoid) adalah jaringan penyambung retikuler yang diinfiltrasi oleh limfosit. Jaringan limfoid ini terdistribusi luas di seluruh tubuh baik sebagai organ limfoid ataupun sebagai kumpulan limfosit difus dan padat. Organ limfoid sendiri merupakan massa atau sekumpulan jaringan limfoid yang dikelilingi oleh kapsul jaringan penyambung atau dilapisi oleh epitelium.4

Gambar 3.1 Sistem limfe dan kelompok kelenjar limfe utama

10

Pembuluh limfe Semakin ke dalam ukuran pembuluh limfe makin besar dan berlokasi dekat dengan vena. Seperti vena, pembuluh limfe memiliki katup yang mencegah terjadinya aliran balik. Protein yang dipindahkan dari ruang interstisial tidak dapat direabsorbsi dengan cara lain. Protein dapat memasuki kapiler limfe tanpa hambatan karena struktur khusus pada kapiler limfe tersebut, di mana pada ujung kapiler hanya tersusun atas selapis sel-sel endotel dengan susunan pola saling bertumpang sedemikian rupa seperti atap sehingga tepi yang menutup tersebut bebas membuka ke dalam membentuk katup kecil yang membuka ke dalam kapiler. Otot polos di dinding pembuluh limfe menyebabkan kontraksi beraturan guna membantu pengaliran limfe menuju ke duktus torasikus.4

Gambar 3.2 Struktur khusus kapiler limfe

Jaringan limfoid Jaringan limfoid terdiri atas nodus dan nodulus limfoid yang mempunyai ukuran dan lokasi bervariasi. Ukuran nodus biasanya lebih besar, panjangnya berkisar 10 - 20 mm dan mempunyai kapsul, sedangkan nodulus panjangnya antara sepersekian milimeter sampai beberapa milimeter dan tidak mempunyai kapsul. Dalam tubuh manusia terdapat ratusan nodus limfoid ini (kelenjar limfe atau kelenjar getah bening) yang tersebar dengan ukuran antara sebesar kepala peniti hingga biji kacang. Meskipun ukuran kelenjar – kelenjar ini dapat membesar atau mengecil sepanjang umur manusia, tiap kelenjar yang rusak atau hancur tidak akan beregenerasi. Jaringan limfoid berfungsi sebagai sistem kekebalan tubuh yang bertugas untuk menyerang infeksi dan menyaring cairan limfe (atau cairan getah bening). Berdasarkan lokasi sebagian besar nodus limfoid ini berkelompok di daerah-daerah tertentu misalnya mulut, leher, lengan bawah, ketiak dan sela paha. Jaringan limfoid mukosa yang terorganisasi terdiri atas plak Peyer (Peyer’s patch) di usus kecil, tonsil faring dan folikel limfoid yang terisolasi.4. Organ limfoid Menurut tahapan perkembangan dan maturasi limfosit yang terlibat di dalamnya, organ limfoid terbagi atas: 1) Organ limfoid primer atau sentral, yaitu kelenjar timus dan bursa fabricius atau sejenisnya seperti sumsum tulang. Membantu menghasilkan limfosit virgin dari immature progenitor cells yang diperlukan untuk pematangan, diferensiasi dan proliferasi sel T dan sel B sehingga menjadi limfosit yang dapat mengenal antigen 2) Organ limfoid sekunder atau perifer, yang mempunyai fungsi untuk menciptakan lingkungan yang memfokuskan limfosit untuk mengenali antigen, menangkap dan mengumpulkan antigen dengan efektif, proliferasi dan diferensiasi limfosit yang disensitisasi oleh antigen spesifik serta merupakan tempat utama produksi antibodi. Organ limfoid sekunder yang utama adalah sistem imun kulit atau skin associated lymphoid tissue (SALT), mucosal associated lymphoid tissue

11

(MALT), gut associated lymphoid tissue (GALT), kelenjar limfe, dan lien. Seluruh organ limfoid memiliki pembuluh limfe eferen tetapi hanya nodus limfatikus yang memiliki pembuluh limfe aferen. Nodul limfoid dikelilingi oleh kapsul fibrosa di mana terdapat proyeksi jaringan penyambung dari kapsul ke dalam nodus limfoid menembus korteks dan bercabang hingga ke medula yang disebut trabekula yang memisahkan korteks nodus limfoid menjadi kompartemen-kompartemen yang inkomplit yang disebut folikel limfoid. Nodulus limfoid tersusun atas massa padat dari limfosit dan makrofag yang dipisah oleh ruang-ruang yang disebut sinus limfoid. Di bagian tengah terdapat massa ireguler medula. Pembuluh eferen meninggalkan nodus dari regio yang disebut hilum.4

Gambar 3.3 Potongan melintang nodus limfoid

Gambar 3.4 Kelompok kelenjar limfe leher

12

3.3 Etiologi Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi sering dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein barr. Terdapat kaitan jelas antara limfoma Hodgkin dan infeksi virus Epstein barr. Pada kelompok terinfeksi HIV, insiden limfoma hdgkin agak meningkat disbanding masyarakat umum. Infeksi virus dan regulasi abnormal imunitas berkaitan dengan timbulnya limfoma non Hodgkin, bahkan kedua mekanisme tersebut saling berinteraksi. Virus RNA, HTLV-1 berkaitan dengan leukemia sel T matur, virus imunodefisiensi humanus (HIV), defek imunitas yang diakibatkan berkaitan dengan timbulnya keganasan limfoma sel B indolen. Gen dari virus DNA, virus Epstein barr telah ditemukan terdapat didalam genom sel limfoma burkitt Afrika. Sedangkan infeksi kronis helicobacter pylori berkaitan jelas dengan timbulnya limfoma lambung. 3.4 Klasifikasi Berdasarkan gambaran histopatologisnya, limfoma dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: a. Limfoma Hodgkin (LH) Limfoma jenis ini memiliki dua tipe. yaitu tipe klasik dan tipe nodular predominan limfosit, di mana limfoma hodgkin tipe klasik memiliki empat subtipe menurut Rye, antara lain: 

Nodular Sclerosis



Lymphocyte Predominance



Lymphocyte Depletion



Mixed Cellularity

b. Limfoma Non-Hodgkin (LNH) Formulasi Kerja (Working Formulation) membagi limfoma non-hodgkin menjadi tiga kelompok utama, antara lain: 

Limfoma Derajat Rendah Kelompok ini meliputi tiga tumor, yaitu limfoma limfositik kecil, limfoma folikuler dengan sel belah kecil, dan limfoma folikuler campuran sel belah besar dan kecil.



Limfoma Derajat Menengah Ada empat tumor dalam kategori ini, yaitu limfoma folikuler sel besar, limfoma difus sel belah kecil, limfoma difus campuran sel besar dan kecil, dan limfoma difus sel besar.



Limfoma Derajat Tinggi

13

Terdapat tiga tumor dalam kelompok ini, yaitu limfoma imunoblastik sel besar, limfoma limfoblastik, dan limfoma sel tidak belah kecil.6 Perbedaan antara LH dengan LNH ditandai dengan adanya sel reed-sternberg yang bercampur dengan infiltrat sel radang yang bervariasi. Sel reed-sternberg adalah suatu sel besar berdiameter 15-45 mm, sering berinti ganda (binucleated), berlobus dua (bilobed), atau berinti banyak (multinucleated) dengan sitoplasma amfofilik yang sangat banyak. Tampak jelas di dalam inti sel adanya anak inti yang besar seperti inklusi dan seperti “mata burung hantu” (owleyes), yang biasanya dikelilingi suatu halo yang bening.6

(a)

(b)

Gambar 3.5 Gambaran histopatologis (a) Limfoma Hodgkin dengan Sel Reed Sternberg dan (b) LimfomaNon Hodgkin

3.5 Epidemiologi Menurut data GLOBOCAN tahun 2012, limfoma merupakan salah satu dari sepuluh penyakit kanker terbanyak di dunia. Berdasarkan data di Amerika Serikat, Limfoma Hodgkin memiliki prevalensi 8,2% dari keseluruhan keganasan sel limfoid, sementara Limfoma Non Hodgkin memiliki prevalensi 62,4%. Limfoma Non Hodgkin merupakan peringkat keempat tipe kanker penyebab kematian pada laki-laki usia 20-39 tahun di Amerika Serikat dan merupakan peringkat kelima tipe kanker penyebab kematian pada perempuan usia lebih dari sama dengan 80 tahun di Amerika Serikat. Angka kematian Limfoma Non Hodgkin di Amerika Serikat pada tahun 2005-2009 pada laki-laki 8,4 per 100.000 penduduk, sementara pada perempuan 5,2 per 100.000 penduduk.2 Pada riset kesehatan dasar tahun 2013 didapatkan prevalensi penderita limfoma di Indonesia adalah sebsar 0,006%, atau diperkirakan sebanyak 14.905 orang. Provinsi di Yogyakarta memiliki presentase prevalensi limfoma tertinggi, yaitu sebesar 0,25% atau

14

diperkirakan sebanyak dua 2728 orang sedangkan di Maluku tercatat penderita limfoma secara keseluruhan berjumlah 83 orang. Dari data riskedas penduduk laki – laki lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk perempuan. Baik penduduk laki-laki dan perempuan lebih banyak yang terkena limfoma non-hodgkin yaitu sebesar 6% pada penduduk laki-laki dan 4,1% pada penduduk perempuan. Kematian akibat limfoma cukup tinggi, yaitu mencapai setengah dari presentase kasus baru. Oleh karena itu diperlukan deteksi dan penanganan lebih awal sehingga kemungkinan sembuh lebih besar dan dapat menekan jumlah kematian akibat limfoma.2 3.6 Patofisiologi Ada empat kelompok gen yang menjadi sasaran kerusakan genetik pada sel-sel tubuh manusia, termasuk sel-sel limfoid, yang dapat menginduksi terjadinya keganasan. Gen-gen tersebut adalah proto-onkogen, gen supresor tumor, gen yang mengatur apoptosis, gen yang berperan dalam perbaikan DNA.7 Proto-onkogen merupakan gen seluler normal yang mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi, gen ini dapat bermutai menjadi onkogen yang produknya dapat menyebabkan transformasi neoplastik, sedangkan gen supresor tumor adalah gen yang dapat menekan proliferasi sel (antionkogen). Normalnya, kedua gen ini bekerja secara sinergis sehingga proses terjadinya keganasan dapat dicegah. Namun, jika terjadi aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen serta terjadi inaktivasi gen supresor tumor, maka suatu sel akan terus melakukan proliferasi tanpa henti.7 Gen lain yang berperan dalam terjadinya kanker yaitu gen yang mengatur apoptosis dan gen yang mengatur perbaikan DNA jika terjadi kerusakan. Gen yang mengatur apoptosis membuat suatu sel mengalami kematian yang terprogram, sehingga sel tidak dapat melakukan fungsinya lagi termasuk fungsi regenerasi. Jika gen ini mengalami inaktivasi, maka sel-sel yang sudah tua dan seharusnya sudah mati menjadi tetap hidup dan tetap bisa melaksanakan fungsi regenerasinya, sehingga proliferasi sel menjadi berlebihan. Selain itu, gagalnya gen yang mengatur perbaikan DNA dalam memperbaiki kerusakan DNA akan menginduksi terjadinya mutasi sel normal menjadi sel kanker.7

15

Gambar 3.6 Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan

16

3.7 Gejala Klinis Baik tanda maupun gejala limfoma hodgkin dan limfoma non-hodgkin dapat dilihat pada tabel berikut ini.8 Tabel 1. Manifestasi Klinis dari Limfoma

Limfoma Hodgkin  Limfadenopati konsistensi

Limfoma Non-Hodgkin dengan  Asimtomatik limfadenopati

ruberry

dan  Gejala sistemik (demam tinggi 38⁰C satu minggu

tidak nyeri  Gejala sistemik (demam tipe Pel-Ebstein, keringat Anamnesis

tanpa

sebab,

keringat

malam, BB turun)  Mudah lelah

malam, BB turun)  Nyeri dada, batuk, sesak

 Gejala obstruksi GI tract

 Pruritus

dan Urinary tract.

 Nyeri tulang atau nyeri punggung  Tanda neuropati  Teraba

pembesaran  Melibatkan banyak kelenjar

limonodi

pada

satu

perifer

kelompok kelenjar (cervix,  Cincin axilla, inguinal) Pemeriksaan  Cincin Fisik

Waldeyer

Waldeyer

kelenjar mesenterik sering &

terkena

kelenjar mesenterik jarang  Hepatomegali terkena  Hepatomegali Splenomegali

dan

&

Splenomegali &  Massa di abdomen dan testis

 Edema ekstremitas

Adapun berdasarkan anamnesis, temuan yang didapatkan dari pasien antara lain sesak, sesak muncul kurang lebih dua hari yang lalu, sesak timbul terus menerus, sesak timbul saat berbaring maupun saat duduk, serta adanya batu, batuk berlendir, darah (-), serta seluruh badan terasa dingin yang lebih mengarah kepada gejala klinis dari limfoma tipe hodgkin yakni sesak, batuk dan demam tipe Pelebstein dimana suatu pola demam dimana pasien awalnya mengalami peningkatan suhu, kemudian suhu kembali normal dan suhu tubuh akan menurun atau 17

hipotermia. Adapun hasil temuan dari pemeriksaan fisik didapatkan rambut terdapat alopesia androgenic, mata eksoftalmus kanan kiri dengan tekanan intraocular dextra dan sinistra 21,9 mmHg, konjungtiva anemis, pada mulut didapatkan lidah bentuk kecil atau mikroglosi dan tampak hiperemis, pada leher didapatkan benjolan atau pembesaran kelenjar getah bening di leher kanan dan kiri, ukuran benjolan sebesar telur puyu, konsistensi keras, permukaan licin, nyeri tekan (-). Pada thorax buah dada tampak mengecil. Pada paru, fremitus taktil menurun pada kedua lapang paru kanan-kiri, nyeri tekan (+) pada semua lapang paru kanan dan kiri, pada perkusi terdengar redup pada kedua lapang paru kanan kiri, dan terdapat whezzing pada kedua lapang paru baik pada bagian apex dan basal paru kanan-kiri. Pada abdomen tampak cembung, bising usus menurun, pada palpasi terdapat nyeri tekan pada seluruh region abdomen dan pada perkusi terdengar pekak dan tes shifting dullness negatif. Serta pada ekstremitas, ditemui akral dingin, piting edema pada kedua tungkai bawah kanan dan kiri. Adapun tanda dan gejala yang didapatkan pada pemeriksaan fisik sesuai dengan limfoma tipe hodgkin yakni pembesaran kelenjar getah bening pada satu kelompok kelenjar, fremitus taktil menurun dan ditemukan bunyi redup pada kedua lapang paru akibat adanya efusi pleura yang merupakan keadaan yang ditemukan pada limfoma hodgkin, nyeri tekan (+) pada kedua lapang paru kanan kiri, serta pada ekstremitas didapatkan akral dingin dan edema ekstremitas yang khas pada limfoma tipe ini. Selain tanda dan gejala di atas, stadium limfoma maligna secara klinis juga dapat ditentukan berdasarkan klasifikasi Ann Arbor yang telah dimodifikasi Costwell. Tabel 2. Klasifikasi Limfoma Menurut Ann Arbor yang telah dimodifikasi oleh Costwell 8

Keterlibatan/Penampakan Stadium I

Kanker mengenai 1 regio kelenjar getah bening atau 1 organ ekstralimfatik (IE)

II

Kanker mengenai lebih dari 2 regio yang berdekatan atau 2 regio yang letaknya berjauhan tapi masih dalam sisi diafragma yang sama (IIE)

III

Kanker telah mengenai kelenjar getah bening pada 2 sisi diafragma ditambah dengan organ ekstralimfatik (IIIE) atau limpa (IIIES)

IV

Kanker bersifat difus dan telah mengenai 1 atau lebih organ ekstralimfatik

18

Suffix A

Tanpa gejala B

B

Terdapat salah satu gejala di bawah ini: 

Penurunan BB lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan sebelum diagnosis ditegakkan yang tidak diketahui penyebabnya



Demam intermitten > 38° C



Berkeringat di malam hari

Bulky tumor yang merupakan massa tunggal dengan diameter > 10 cm, atau ,

X

massa mediastinum dengan ukuran > 1/3 dari diameter transthoracal maximum pada foto polos dada PA

Gambar 3.7 Penentuan Stadium Limfoma berdasarkan Klasifikasi Ann Arbor

3.8 Diagnosis Diagnosis limfoma hodgkin maupun non-hodgkin dapat ditegakkan melalui prosedurprosedur di bawah ini. 1. Anamnesis lengkap yang mencakup pajanan, infeksi, demam, keringat malam, berat badan turun lebih dari 10 % dalam waktu kurang dari 6 bulan. 2. Pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus pada sistem limfatik (kelenjar getah bening, hati, dan lien dengan dokumentasi ukuran), infiltrasi kulit atau infeksi. 3. Hitung sel darah rutin, pemeriksaan differensiasi sel darah putih, dan hitung trombosit.

19

4. Pemeriksaan kimia darah, mencakup tes faal hati dan ginjal, asam urat, laktat dehidrogenase (LDH), serta alkali fosfatase. 5. Pembuatan radiogram dada untuk melihat adanya adenopati di hilus (pembesaran kelenjar getah bening bronkus, efusi pleura, dan penebalan dinding dada. 6. CT scan atau MRI dada, abdomen, dan pelvis. 7. Scan tulang jika ada nyeri tekan pada tulang. 8. Scan galium, dilakukan sebelum dan sesudah terapi, dapat menunjukkan area penyakit atau penyakit residual pada mediastinum. 9. Biopsi dan aspirasi sumsum tulang pada limfoma stadium III dan IV. 10. Evaluasi sitogenetik dan sitometri aliran.9

Pada diagnosis pasien ini,didasarkan pada anamnesis serta pemeriksaan fisik yang mengarah pada limfoma tipe hodgkin, untuk pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk kepastian diagnosis yakni pemeriksaan jaringan histopatologi tidak bisa dilakukan dikarenakan fasilitas yang tidak begitu tersedia difasilitas kesehatan. Sehingga diagnosis cukup ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis dari penderita saja.

20

3.9 Penatalaksanaan Penatalaksanaan limfoma maligna dapat dilakukan melalui berbagai cara, yaitu:9,10 a. Pembedahan Tata laksana dengan pembedahan atau operasi memiliki peranan yang terbatas dalam pengobatan limfoma. Untuk beberapa jenis limfoma, seperti limfoma gaster yang terbatas pada bagian perut saja atau jika ada resiko perforasi, obstruksi, dan perdarahan masif, pembedahan masih menjadi pilihan utama. Namun, sejauh ini pembedahan hanya dilakukan untuk mendukung proses penegakan diagnosis melalui surgical biopsy. b. Radioterapi Radioterapi memiliki peranan yang sangat penting dalam pengobatan limfoma, terutama limfoma hodgkin di mana penyebaran penyakit ini lebih sulit untuk diprediksi. Beberapa jenis radioterapi yang tersedia telah banyak digunakan untuk mengobati limfoma hodgkin seperti radioimunoterapi dan radioisotope. Radioimunoterapi menggunakan antibodi monoclonal seperti CD20 dan CD22 untuk melawan antigen spesifik dari limfoma secara langsung, sedangkan radioisotope menggunakan Iodine atau Yttrium untuk irradiasi selsel tumor secara selektif. Teknik radiasi yang digunakan didasarkan pada stadium limfoma itu sendiri, yaitu:  Untuk stadium I dan II secara mantel radikal  Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi  Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation  Untuk stadium IV secara total body irradiation

Gambar 3.8. Berbagai macam teknik radiasi

21

c. Kemoterapi Merupakan teknik pengobatan keganasan yang telah lama digunakan dan banyak obatobatan kemoterapi telah menunjukkan efeknya terhadap limfoma. Pengobatan Awal: 1.

MOPP regimen: setiap 28 hari untuk 6 siklus atau lebih. o

Mechlorethamine: 6 mg/m2, hari ke 1 dan 8

o

Vincristine (Oncovine): 1,4 mg/m2 hari ke 1 dan 8

o

Procarbazine: 100 mg/m2, hari 1-14

o

Prednisone: 40 mg/m2, hari 1-14, hanya pada siklus 1 dan 4

2. ABVD regimen: setiap 28 hari untuk 6 siklus o

Adriamycin: 25 mg/m2, hari ke 1 dan 15

o

Bleomycin: 10 mg/m2, hari ke 1 dan 15

o

Vinblastine: 6 mg/m2, hari ke 1 dan 15

o

Dacarbazine: 375 mg/m2, hari ke 1 dan 15

3. Stanford V regimen: selama 2-4 minggu pada akhir siklus o

Vinblastine: 6 mg/m2, minggu ke 1, 3, 5, 7, 9, 11

o

Doxorubicin: 25 mg/m2, minggu ke 1, 3, 5, 9, 11

o

Vincristine: 1,4 mg/m2, minggu ke 2, 4, 6, 8, 10, 12

o

Bleomycin: 5 units/m2, minggu ke 2, 4, 8, 10, 12

o

Mechlorethamine: 6 mg/m2, minggu ke 1, 5, 9

o

Etoposide: 60 mg/m2 dua kali sehari, minggu ke 3, 7, 11

o

Prednisone: 40 mg/m2, setiap hari, pada minggu ke 1-10, tapering of pada minggu ke 11,12

4. BEACOPP regimen: setiap 3 minggu untuk 8 siklus o

Bleomycin: 10 mg/m2, hari ke- 8

o

Etoposide: 200 mg/m2, hari ke 1-3

o

Doxorubicin (Adriamycine): 35 mg/m2, hari ke-1

o

Cyclophosphamide: 1250 mg/m2, hari ke-1

o

Vincristine (Oncovine): 1,4 mg/m2, hari ke-8

o

Procarbazine: 100 mg/m2, hari ke 1-7 22

o

Prednisone: 40 mg/m2, hari ke 1-14

Jika pengobatan awal gagal atau penyakit relaps: 1. ICE regimen a. Ifosfamide: 5 g/m2, hari ke-2 b. Mesna: 5 g/m2, hari ke-2 c. Carboplatin: AUC 5, hari ke-2 d. Etoposide: 100 mg/m2, hari ke 1-3 2. DHAP regimen a. Cisplatin: 100 mg/m2, hari pertama b. Cytarabine: 2 g/m2, 2 kali sehari pada hari ke-2 c. Dexamethasone: 40 mg, hari ke 1-4 3. EPOCH regimen – Pada kombinasi ini, etoposide, vincristine, dan doxorubicin diberikan secara bersamaan selama 96 jam IV secara berkesinambungan. a. Etoposide: 50 mg/m2, hari ke 1-4 b. Vincristine: 0.4 mg/m2, hari ke 1-4 c. Doxorubicin: 10 mg/m2, hari ke 1-4 d. Cyclophosphamide: 750 mg/m2, hari ke- 5 e. Prednisone: 60 mg/m2, hari ke 1-6 d. Imunoterapi Bahan yang digunakan dalam terapi ini adalah Interferon-α, di mana interferon-α berperan untuk menstimulasi sistem imun yang menurun akibat pemberian kemoterapi. e. Transplantasi sumsum tulang Transplasntasi sumsum tulang merupakan terapi pilihan apabila limfoma tidak membaik dengan pengobatan konvensional atau jika pasien mengalami pajanan ulang (relaps). Ada dua cara dalam melakukan transplantasi sumsum tulang, yaitu secara alogenik dan secara autologus. Transplantasi secara alogenik membutuhkan donor sumsum yang sesuai dengan sumsum penderita. Donor tersebut bisa berasal dari saudara kembar, saudara kandung, atau siapapun asalkan sumsum tulangnya sesuai dengan sumsum tulang penderita. Sedangkan transplantasi secara autologus, donor sumsum tulang berasal dari 23

sumsum tulang penderita yang masih bagus diambil kemudian dibersihkan dan dibekukan untuk selanjutnya ditanamkan kembali dalam tubuh penderita agar dapat menggantikan sumsum tulang yang telah rusak. Pada penatalaksanaan pasien berdasarkan simptom, dikarenakan penatalaksanaan pilihan seperti kemoterapi dan radioterapi dilakukan hanya bila sudah dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi, sedangkan pada pasien ini tidak dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi dikarenakan belum tersedianya pemeriksaan atau terbatas pada fasilitas-fasilitas kesehatan. 3.10 Komplikasi Ada dua jenis komplikasi yang dapat terjadi pada penderita limfoma maligna, yaitu komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dan komplikasi karena penggunaan kemoterapi. Komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dapat berupa pansitopenia, perdarahan, infeksi, kelainan pada jantung, kelainan pada paru-paru, sindrom vena cava superior, kompresi pada spinal cord, kelainan neurologis, obstruksi hingga perdarahan pada traktus gastrointestinal, nyeri, dan leukositosis jika penyakit sudah memasuki tahap leukemia. Sedangkan komplikasi akibat penggunaan kemoterapi dapat berupa pansitopenia, mual dan muntah, infeksi, kelelahan, neuropati, dehidrasi setelah diare atau muntah, toksisitas jantung akibat penggunaan doksorubisin, kanker sekunder, dan sindrom lisis tumor.11 3.11Prognosis Menurut The International Prognostic Score, prognosis limfoma hodgkin ditentukan oleh beberapa faktor di bawah ini, antara lain: 

Serum albumin < 4 g/dL



Hemoglobin < 10.5 g/dL



Jenis kelamin laki-laki



Stadium IV



Usia 45 tahun ke atas



Jumlah sel darah putih > 15,000/mm3



Jumlah limfosit < 600/mm3 atau < 8% dari total jumlah sel darah putih 24

Jika pasien memiliki 0-1 faktor di atas maka harapan hidupnya mencapai 90%, sedangkan pasien dengan 4 atau lebih faktor-faktor di atas angka harapan hidupnya hanya 59%.12 Sedangkan untuk limfoma non-hodgkin, faktor yang mempengaruhi prognosisnya antara lain: 

Usia (>60 tahun)



Ann Arbor stage (III-IV)



Hemoglobin (<12 g/dL)



Jumlah area limfonodi yang terkena (>4)



Serum LDH (meningkat)

yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok resiko, yaitu resiko rendah (memiliki 0-1 faktor di atas), resiko menengah (memiliki 2 faktor di atas), dan resiko buruk (memiliki 3 atau lebih faktor di atas).13

25

BAB IV DISKUSI

Pasien pada kasus ini adalah seorang perempuan usia 21 tahunyang datang dengan keluhan timbulnya benjolan dileher sejak setahun yang lalu, benjolan sebesar telur puyu, banyak, konsistensi keras, permukaan licin, nyeri tekan (-), pasien juga mengeluh sesak, sesak muncul kurang lebih dua hari yang lalu, sesak timbul terus menerus, timbul saat berbaring maupun saat duduk dan adanya batuk berlendir serta seluruh adan terasa dingin. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 90/60 mmHg, mata : eksoftalmus (+), konjungtiva anemis (+), THT : Lidah mikroglosi, hiperemis (+), leher : kelenjar getah bening (teraba pembesaran), paru : fremitus raba menuru, nyeri tekan (+), perkusi redup-redup, auskultasi wheezing pada lapang paru kanan dan kiri, abdomen : bising usus menurun, dan ekstremitas akral dingin, pitting edema (+). Dari pemeriksaan penunjang didapatkan eritrosit 3.08 106/mm3, hemoglobin 8.5 g/Dl, hematocrit 24.9 L, leukosit : 36.400 103/mm3, albumin 2.1 mg/dL. Berdasarkan teori limfoma dibagi menjadi dua yakni limfoma Hodgkin dan nonhodgkin, pada anamnesis limfoma hodgkin yang dapat ditemukan adalah nyeri dada, batuk, sesak, nyeri tulang atau nyeri punggung, pruritus, gejala sistemik yakni demam intermitten, keringat malam dan berat badan turun, dan biasanya asimptomatik limfadenopati, sedangkan pada limfoma non Hodgkin yakni mudah lelah, gejala sistemik yakni demam intermitten, keringat malam, berat badan turun, gejala obstruksi GI traktus dan tes urinalisis biasanya asimptomatik limfadenopati. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pada limfoma Hodgkin yakni pembesaran limfonodi pada satu kelompok kelenjar, hepatomegaly dan splenomegaly, sedangkan pada limfoma non Hodgkin melibatkan banyak kelenjar perifer, metastasis sering ke cincin waldeyer dan kelenjar mesenteric, hepatomegaly dan splenomegaly dan massa di abdomen dan testis pada laki-laki serta pemeriksaan penunjang yang dapat membedakan limfoma hodgkin dan non hodgkin yakni dengan pemeriksaan patologi anatomi yang ditemukannya sel reed sternberg

pada limfoma

hodgkin. Pemeriksaan histopatologi menjadi keterbatasan, dikarenakan tidak cukup selalu tersedia pada permintaan pemeriksaan, sehingga tidak diperiksa pada pasien ini. Penegakan diagnosis hanya didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. 26

BAB V KESIMPULAN

Limfoma merupakan keganasan yang berasal dari sistem limfatik. Limfoma merupakan penyakit keganasan tersering kedua pada sel limfoid setelah leukemia. Berdasarkan ada tidaknya sel Reed Sternberg, limfoma diklasifikasikan menjadi dua yaitu: Limfoma Hodgkin dan Limfoma Non Hodgkin.Sekitar 90% dari penderita limfoma merupakan penderita limfoma non-hodgkin, dan sisanya limfoma Hodgkin. Penyebabnya tidakdiketahui,tetapisering dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr Menurut data GLOBOCAN tahun 2012, limfoma merupakan salah satu dari sepuluh penyakit kanker terbanyak di dunia. Berdasarkan data di Amerika Serikat, Limfoma Hodgkin memiliki prevalensi 8,2% dari keseluruhan keganasan sel limfoid, sementara Limfoma Non Hodgkin memiliki prevalensi 62,4%. Limfoma Non Hodgkin merupakan peringkat keempat tipe kanker penyebab kematian pada laki-laki usia 20-39 tahun di Amerika Serikat dan merupakan peringkat kelima tipe kanker penyebab kematian pada perempuan usia lebih dari sama dengan 80 tahun. Pada riset kesehatan dasar tahun 2013 didapatkan prevalensi penderita limfoma di Indonesia adalah sebsar 0,006%, atau diperkirakan sebanyak 14.905 orang. Provinsi di Yogyakarta memiliki presentase prevalensi limfoma tertinggi, yaitu sebesar 0,25% atau diperkirakan sebanyak dua 2728 orang. Di Maluku tercatat penderita limfoma secara keseluruhan berjumlah 83 orang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan limfoma yakni meliputi pembedahan, radioterapi, kemoterapi, immunoterapi dan transplantasi sum-sum tulang. Terdapat dua jenis komplikasi yang dapat terjadi pada penderita limfoma maligna, yaitu komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dan komplikasi karena penggunaan kemoterapi.

27

DAFTAR PUSTAKA

1.Shanbhag S. Hodgkin lymphoma:a review and update on recent progress. A cancer journal for clinicians. 01 Dec 2017;68 (2) 2. Kementerian kesehatan RI. Data dan kondisi penyakit limfoma di Indonesia. Jakarta:2015 3. Miura Y et all. Clinicopathological features of malignant lymphoma in Japan: Miyagi study. Tohoku Journal. 9 Mei 2011: p 151-160 4. Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2006 5. Walter C, Zierbart T, Sagheb K, Rahimi RK, Manz A, Hess G. Malignant lymphomas in the head and and neck region-retrospective, single-center study over 41 years. International Journal of Medical Science. 2015:12(2) p 141-5 6. Uppenkamp M, Feller AC. Classification of malignant lymphoma. Onkologie. 25 Dec 2002:25(6):563-70 7. Krieken JH. New developments in the pathology of malignant lymphoma: a review of the literature published from January to April 2017. Journal of hematopathology. Maret 2017:10(1):25-33 8. S Siti, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 6. Jakarta:EGC; 2014 9. Word ZH, Matasar MJ. Advances in the diagnosis and management of lymphoma. Journal of the blood and lymphatic cancer. 03 February 2012:2 p 29-55 10. Berthold D, Ghielmini M. Treatment of malignant lymphoma. Swiss Medical Weekly. 2004;134: 472-480 11. Andrea K, Lacasce A, Travis LB. Long-term complications of lymphoma and its treatment. Journal of Clinical Oncology.2011;22(2): 272-79 12. The American Cancer Society. Survival rates for hodgkin lymphoma by stage. 1 Mei 2018 28

13. The American Cancer Society. Survival rates and factors that affect prognosis (outlook) for non-hodgkin lymphoma. 1 Mei 2018

29

Related Documents

Isi
October 2019 65
Isi
November 2019 55
Isi
July 2020 29
Isi
May 2020 40
Isi
April 2020 41
Isi
November 2019 59

More Documents from "Shahzad Asghar Arain"

Ppt.pptx
November 2019 15
Isi Lapsus.docx
November 2019 9
Ppt.pptx
November 2019 12
Referat.docx
November 2019 11
001_cbl 8.docx
October 2019 39