REFERAT KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK DEMAM BERDARAH DENGUE
Disusun Oleh : Nimas Feliani Robot 01073170051
Pembimbing: dr. Adi Suryanto, spA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK PERIODE 28 JANUARI – 5 APRIL 2019 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE TANGERANG
1
DATAR ISI
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 2 2.1 Definisi.............................................................................................................2 2.2 Epidemiologi....................................................................................................3 2.3 Transmisi......................................................................................................... 3 2.4 Patogenesis dan Patofisiologi...........................................................................5 2.5 Manifestasi Klinis dan Perjalanan Penyakit.................................................... 6 2.6 Klasifikasi Demam Berdarah Dengue............................................................ 10 2.7 Pemeriksaan Penunjang.................................................................................. 11 2.8 Kriteria Diagnosis........................................................................................... 13 2.9 Komplikasi...................................................................................................... 15 2.10 Tatalaksana................................................................................................... 16 2.11 Pencegahan................................................................................................... 20 BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 23 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................25
2
BAB I PENDAHULUAN
Dengue adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus RNA dari keluarga Flaviviridae dan disebarkan oleh nyamuk Aedes. Infeksi dengue mempunyai spektrum manifestasi klinis yang luas mulai dari demam tanpa gejala hingga demam berdarah dan syok. Demam Berdarah Dengue (DBD) telah menjadi penyebab utama kasus rawat inap dan kematian pada anak-anak di daerah endemis.1-3 Menurut World Health Organization (WHO), diperkirakan 50-100 juta infeksi dengue terjadi setiap tahun di lebih dari 100 negara endemik dan menyebabkan 20.000 kematian setiap tahunnya. Pada 2015, sekitar 451.422 kasus dari jumlah total kasus DBD secara global (14,11%) berasal dari wilayah Asia Tenggara dan diperkirakan 1,8 miliar orang di Asia Tenggara berisiko terkena infeksi dengue. Pada tahun 2004-2010, Indonesia menjadi negara kedua dengan kasus DBD tertinggi di dunia setelah Brazil. Pada 2015, jumlah kasus demam berdarah di Indonesia mencapai 129.650 kasus.4-6 Gambaran klinis dan hasil abnormal pada tes laboratorium dari infeksi dengue mirip dengan penyakit demam lainnya. Oleh karena itu, diagnosis yang akurat dan tepat waktu untuk memberikan tatalaksana yang sesuai masih merupakan sebuah tantangan bagi klinisi. Diagnosis yang tertunda menyebabkan pemberian tatalaksana yang tidak tepat dan risiko kematian yang lebih tinggi. Meskipun tidak ada pengobatan khusus untuk infeksi dengue, deteksi dini dan akses ke perawatan medis yang tepat telah menurunkan angka kematian hingga menjadi kurang dari 1%.7,10 Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dan keterampilan klinis dalam mengenali gejala infeksi dengue sehingga dapat dilakukan diagnosis yang tepat dan memberikan tatalaksana yang sesuai pada infeksi dengue yang akan dibahas pada referat ini.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi Dengue adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus RNA dari keluarga Flaviviridae dan disebarkan oleh nyamuk Aedes. Manifestasi yang muncul akibat infeksi virus dengue dapat berupa demam tanpa gejala hingga demam berdarah dan syok. Demam dengue (DD) juga dikenal sebagai breakbone fever dengan gejala berupa demam tinggi yang akut, nyeri otot dan persendian, mialgia dan ruam pada kulit. Populasi yang sebelumnya sudah terinfeksi dengan satu subspesies dari virus dengue akan mengalami peningkatan permeabilitas kapiler yang lebih parah saat terinfeksi dengan subspesies lain dari virus dengue sehingga terjadi perembesan plasma, tanda perdarahan dan menyebabkan syok. Hal ini disebut sebagai demam berdarah dengue (DBD).1,11 2.2. Epidemiologi Distribusi global DBD di daerah tropis dan subtropis telah menyebabkan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Menurut World Health Organization (WHO), diperkirakan 50-100 juta infeksi dengue terjadi setiap tahun dan hampir 75% dari populasi yang menderita DBD berada pada wilayah Asia-Pasifik. Diperkirakan juga bahwa demam berdarah dengue menyebabkan 20.000 kematian setiap tahunnya. Sebuah studi oleh Bhatt dkk memperkirakan bahwa kasus infeksi dengue telah meningkat lebih dari 3 kali per tahun dengan 67 hingga 135 juta kasus per tahun yang bermanifestasi secara klinis pada berbagai tingkat keparahan dari penyakit ini.6-8,12 Dengue tidak hanya berkembang di daerah perkotaan yang kumuh, pinggiran kota dan pedesaan tetapi juga mempengaruhi lingkungan yang lebih maju di negara tropis dan subtropis.5 Sebelumnya, DBD lebih sering terjadi pada anak-anak di bawah usia 15 tahun. Namun, saat ini DBD di sebagian besar wilayah endemik telah banyak ditemukan pada usia yang lebih tua.6
4
2.3.Transmisi Transimisi virus dengue bergantung pada faktor biotik dan faktor abiotik. Faktor biotik mencakup faktor virus, vektor dan pejamu. 2.3.1. Virus Dengue Virus dengue termasuk grup B arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, yang berdasarkan sifat antigennya memiliki empat serotipe berbeda yaitu DENV 1, DENV 2, DENV 3 dan DENV 4 yang telah diidentifikasi sebagai penyebab infeksi dengue sejak pertama kali dikenali pada tahun 1943. Infeksi dengan salah satu serotipe dengue akan menyebabkan terbentuknya antibodi spesifik yang dapat bertahan seumur hidup terhadap serotipe tersebut tetapi tidak terhadap serotipe lain. Sehingga, seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 4 serotipe selama hidupnya2,6,13 Keempat serotipe dengue dapat ditemukan di Indonesia. Dari pengamatan yang dilakukan sejak tahun 1975, didapati bahwa serotipe DENV 3 merupakan serotipe yang paling dominan dan virulen di Indonesia. Akan tetapi, studi terbaru menunjukkan bahwa DENV-1 adalah serotipe yang dominan di Indonesia saat ini.6,13 Koinfeksi oleh beberapa serotipe DENV telah ditemukan secara luas dan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya kasus DBD pada banyak negara endemik. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa koinfeksi dengan serotipe DENV manapun tidak memprovokasi manifestasi infeksi dengue yang lebih parah. Sebaliknya, penelitian lain melaporkan bahwa koinfeksi dengan serotipe DENV yang berbeda menunjukkan manifestasi infeksi dengue yang lebih parah, terutama pada infeksi sekunder.6,14
5
2.3.2. Vektor Aedes (Stegomyia) aegypti (Ae. Aegypti) dan Aedes (Stegomyia) albopictus (Ae. Albopictus) adalah dua vektor terpenting dari demam berdarah. Aedes Aegypti merupakan vektor yang paling sering menyebabkan demam berdarah pada daerah perkotaan karena Ae. aegypti merupakan vektor yang sangat antropofilik dan mengigit lebih dari satu manusia untuk menyelesaikan satu siklus gonotropik, sehingga secara epidemiologis menghasilkan banyak kasus demam berdarah di saat yang bersamaan pada daerah perkotaan. Sebaliknya, Ae. Albopictus memiliki sifat yang lebih liar dimana ia menginvasi daerah pinggiran kota dan menggigit manusia maupun hewan. Ae. albopictus memiliki sifat yang agresif dimana ia dapat menyelesaikan satu siklus gonotropik dengan menggigit satu manusia saja. Oleh karena itu, Ae. albopictus memiliki kapasitas yang buruk sebagai vektor di daerah perkotaan.2,3 2.3.3. Pejamu Vektor yang menghisap darah manusia dapat terinfeksi hanya saat terjadi viremia pada pejamu yaitu 2 hari sebelum onset demam dan bertahan selama 5-7 hari sesudahnya. Kerentanan keparahan penyakit pada seorang individu ditentukan oleh status imunitas dan faktor genetik pejamu.3,15 Faktor abiotik mencakup temperatur, kelembaban, dan curah hujan.3 Indeks Curah Hujan (ICH) yang tinggi akan menyediakan tempat perkembangbiakan yang baik bagi nyamuk. Tersedianya air dalam media akan menyebabkan telur nyamuk menetas dan setelah berubah menjadi nyamuk 10-12 hari. Sehingga bila hanya memperhatikan faktor resiko curah hujan, maka waktu yang dibutuhkan dari mulai masuk musim hujan hingga terjadinya insiden DBD adalah sekitar 3 minggu.16
6
2.4.Patogenesis dan Patofisiologi Virus dengue menginfeksi manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegytpti dan menyebabkan viremia dalam 2-6 hari setelah manusia terinfeksi. Tingkat viremia yang lebih tinggi didapati pada pasien DBD dibandingkan dengan pasien demam dengue.17 Berdasarkan teori antibody-dependent enhancement (ADE), adanya antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu dapat mencegah timbulnya penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi sebaliknya apabila antibodi tidak dapat menetralisasi virus, justru akan menimbulkan penyakit yang lebih berat.2,14 Fenomena patofisiologi utama yang membedakan antara demam dengue dan demam berdarah dengue adalah perembesan plasma. Manifestasi klinis yang dapat ditemukan akibat perembesan plasma berupa hepatomegali, edema, penumpukan cairan dalam rongga peritoneum dan pleura.13 Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit merupakan kelainan hematologis yang sering ditemukan dan merupakan penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa penyembuhan dan nilai normal biasanya akan tercapai pada 7-10 hari sejak permulaan sakit.13 Pasien dengan jumlah trombosit yang rendah mengalami lebih banyak komplikasi daripada pasien dengan jumlah trombosit yang lebih tinggi.18 Selain itu, kelainan sistem koagulasi juga merupakan salah satu penyebab perdarahan pada DBD dimana didapati penurunan beberapa faktor pembekuan darah dan peningkatan fibrinogen degradation products (FDP) pada kasus DBD yang berat. Pada DBD ditemukan juga penurunan kadar komplemen akibat aktivasi jalur komplemen yang merangsang produksi sitokin dan bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T sehingga menyebabkan waktu paruh trombosit memendek, perembesan plasma, syok dan perdarahan.13
7
2.5. Manifestasi Klinis dan Perjalanan Penyakit Infeksi virus dengue pada manusia tidak selalu mengakibatkan demam berdarah dengue (DBD), melainkan mempunyai spektrum manifestasi klinis yang luas seperti yang tertera pada Gambar 1. 2,3,19
Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus dengue2,3
Sindrom infeksi virus (undifferentiated fever) memiliki manifestasi demam yang sulit dibedakan dengan infeksi lainnya. Dapat disertai gejala gangguan pernapasan dan pencernaan serta ruam makulopapular pada masa penyembuhan. Gejala akan sembuh dengan sendirinya.3 Pada demam dengue dapat dijumpai trias sindrom yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan timbulnya ruam. Gejala pada anak yang lebih muda biasanya berupa demam yang tidak khas. Namun, pada anak yang lebih besar dapat ditemukan gejala berupa demam yang tinggi mendadak (39 oC - 40 o
C), terus menerus rata-rata selama 5-7 hari dan bisa bersifat bifasik. Disertai
dengan gejala konstitusional berupa nyeri kepala hebat, nyeri di belakang bola mata, punggung, otot, sendi dan disertai rasa menggigil. Dapat timbul ruam makulopapular yang menghilang pada tekanan pada hari sakit ke 3-4 dan ruam konvalesens pada fase penyembuhan yang dapat disertai dengan rasa gatal. Gejala lain yang ditemukan adalah anoreksia, konstipasi, nyeri kolik, nyeri perut dan nyeri tenggorokan. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya didapati leukopenia dan trombositopenia.2,3,13
8
Demam berdarah dengue (DBD) umumnya ditandai oleh 4 manifestasi klinis yaitu demam tinggi, tanda perdarahan terutama perdarahan pada kulit, hepatomegali dan kegagalan sirkulasi (circulatory failure). Temuan laboratorium
yang
khas
pada
DBD
adalah
trombositopenia
dan
hemokonsentrasi. Terdapat tiga fase pada infeksi virus dengue yang meliputi fase demam, fase kritis dan fase kovalesens yang dijelaskan pada Gambar 2.2,13
Gambar 2. Perjalanan penyakit infeksi dengue2
Pada fase demam akan timbul demam dengan karakteristik seperti pada demam dengue dan gejala penyerta lain berupa facial flushing, eritema kulit, mialgia, artralgia, sakit kepala, sakit tenggorokan, injeksi konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah.12 Pada fase kritis biasanya ditemukan demam menurun dengan suhu sekitar 37,5oC -38oC atau kurang pada hari sakit ke 3-7 dan biasanya berlangsung 1-2 hari. Fase ini berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler dan dapat berkembang menjadi sindrom syok dengue (SSD) yang sering didahului oleh tanda bahaya (warning signs) yang tertera pada Tabel 1.11,12
9
Tabel 1. Tanda bahaya2 Tanda bahaya (warning signs) Klinis
Laboratorium
Demam turun tapi keadaan anak memburuk Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen Muntah yang menetap Letargi, gelisah Perdarahan mukosa Oliguria Pembesaran hati Akumulasi cairan Hematokrit meningkat bersamaan dengan penurunan cepat jumlah trombosit Hematokrit awal tinggi
Pada fase pemulihan terjadi reabsorpsi bertahap dari cairan ekstravaskular dalam 2-3 hari. Pasien umumnya mengalami bradikardia saat ini. 11,12 SSD dibagi menjadi syok terkompensasi dan dekompensasi. Pada syok terkompensasi tekanan darah belum turun, namun terjadi peningkatan detak jantung, ditemukan ekstremitas dingin dan lembab, sianosis, kulit menjadi berbercak-bercak (mottled), capillary refill time (CRT) memanjang lebih dari 2 detik dan tekanan nadi (perbedaan tekanan sistolik dan diastolik) menyempit kurang dari 20mmHg. 2 Pada syok dekompensasi, upaya kompensasi sistem kardiovaskular telah gagal sehingga tekanan sistolik dan diastolik menurun oleh karena itu keadaan ini disebut syok hipotensif. Jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat maka akan terjadi profound shock yang ditandai dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur serta sianosis makin jelas terlihat. 2 Syok hipotensif berkepanjagan menyebabkan asidosis metabolik berat, kegagalan organ multipel seperti gagal hati akut, gagal ginjal akut, ensefalopati, kardiomiopati. Sebagian kematian akibat dengue terjadi akibat profound shock yang dipersulit oleh perdarahan dan/atau pemberian cairan berlebih. 2
10
Manifestasi tidak lazim (unusual manifestation) atau expanded dengue syndrome berhubungan dengan ko-infeksi, ko-morbiditas atau komplikasi syok yang berkepanjangan (prolonged shock) disertai kegagalan organ (organ failure) seperti yang tercantum pada Tabel 2. 2,19 Tabel 2. Expanded dengue syndrome19
Pada sebagian kasus dengue kadang dapat ditemui manifestasi keterlibatan susunan syaraf pusat seperti kejang dan penurunan kesadaran terutama terjadi pada keadaan syok dengue. Hal ini dipertimbangkan pada pasien dengan demam 2-7 hari yang disertai dengan penurunan kesadaran dan atau kejang. Ensefalitis terjadi akibat virus yang dapat menembus sawar darah otak. Ensefalopati terutama disebabkan oleh hepatoseluler ensefalopati, namun dapat juga disebabkan oleh gagguan keseimbangan elektrolit dan metabolik. 2,13,20,21
11
Perdarahan masif umumnya disebabkan oleh koagulasi intravaskuler diseminata (KID) dan kegagalan multiorgan seperti disfungsi hati dan ginjal, hipoksia akibat syok yang berkepanjangan dan asidosis metabolik yang disertai dengan trombositopenia. Perdarahan paling sering terjadi pada saluran pencernaan dengan gejala berupa hematemesis, hematokesia dan melena. 2,3 Gagal ginjal akut biasanya terjadi akibat syok yang tidak teratasi dengan baik pada fase terminal syok. Terkadang dapat ditemukan sindrom uremik hemolitik. Selain itu, dapat juga terjadi komplikasi pada otot jantung berupa miokarditis. Namun, hal ini jarang ditemukan pada infeksi dengue dan bukan penyebab kematian pada pasien dengan infeksi dengue. 2,3,13,21 2.6. Klasifikasi Demam Berdarah Dengue (DBD) Tabel 3. Klasifikasi derajat DBD berdasarkan WHO 20113 DD/DBD
Derajat
DD
Tanda dan Gejala Demam disertai minimal dua gejala seperti Nyeri kepala Nyeri retroorbital Nyeri otot Nyeri sendi Ruam kulit makulopapular Manifestasi perdarahan Tidak ada perembesan plasma
Laboratorium
Leukopenia (≤5000 sel/mm3) Trombositopenia (<150.000sel/mm3) Peningkatan hematokrit 5-10% Tidak ada bukti perembesan plasma
DBD
I
Demam dan manifestasi perdarahan (TT positif) dan tanda perembesan plasma
Trombositopenia <100.000sel/mm3 Disertai peningkatan hematokrit ≥20% Trombositopenia <100.000sel/mm3 Disertai peningkatan hematokrit ≥20%
DBD
II
Seperti derajat I ditambah perdarahan spontan
DBD
III
Seperti derajat I atau II ditambah kegagalan sirkulasi (nadi lemah, hipotensi, gelisah, diuresis menurun)
Trombositopenia <100.000sel/mm3 Disertai peningkatan hematokrit ≥20%
DBD
IV
Seperti derajat III dengan syok hebat dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur
Trombositopenia <100.000sel/mm3 Disertai peningkatan hematokrit ≥20%
12
2.7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium untuk menegakan diagnosis dengan cepat dan akurat sangat penting dalam tatalaksana klinis. Berikut adalah pemeriksaan laboratorium untuk membantu diagnosis infeksi dengue apabila tersedia di tempat layanan kesehatan 2.7.1. Isolasi virus Isolasi virus lebih spesifik dari tes serologi namun rumit, memakan biaya, waktu dan hanya dapat dilakukan pada 6 hari pertama infeksi. 2,3 2.7.2. Deteksi asam nukleat virus Deteksi RNA virus dilakukan dengan uji reverse transcripatse polymerase chain reaction (RT-PCR). Hasil dapat diperoleh dalam 1-2 hari, akan tetapi tes ini rumit dan membutuhkan peralatan canggih serta tenaga kerja yang berpengalaman. 2,3,13 2.7.3. Deteksi antigen virus Hasil deteksi antigen NS1 dapat diperoleh dalam beberapa jam dan tidak membutuhkan peralatan yang sulit seperti deteksi asam nukleat virus. Antigen NS1 muncul pada hari pertama setelah timbulnya demam dan menurun ke tingkat yang tidak terdeteksi setelah 5-6 hari sehingga direkomendasikan untuk digunakan pada diagnosis dini.2,3,23 2.7.4. Deteksi serum respons imun/ uji serologi serum imun Deteksi respon imun serum meliputi pemeriksaan hemagglutinin inhibition test (uji HI), complement fixation test (CFT), uji neutralisasi dan serologi IgM dan IgG anti dengue. Pemeriksaan uji serologi dilakukan berdasarkan perjalanan penyakit dengue seperit pada Gambar 3. Pemeriksaan serologi IgG dan IgM memiliki kadar yang bervariasi selama perjalanan penyakit dan dapat digunakan untuk membedakan infeksi primer dan sekunder seperti pada Tabel 4.2,3,23,24
13
Gambar 3. Pemeriksaan serologi dengue berdasarkan perjalanan penyakit3
Tabel 4. Interpretasi hasil pemeriksaan IgM dan IgG anti dengue25 IgM
IgG
Interpretasi
(+)
(-)
Infeksi primer
(+)
(+)
Infeksi sekunder
(-)
(+)
Pernah terinfeksi
(-)
(-)
Tidak ada infeksi
Pada daerah endemik, pemeriksaan IgM dan IgG anti dengue menyebabkan banyak hasil positif palsu akibat IgM anti dengue yang tetap positif sampai 3 bulan setelah terinfeksi dan sering tidak terdeteksi pada infeksi sekunder sehingga hasil yang didapat seolah-olah menunjukkan kesan infeksi dengue di masa lampau dimana hanya ditemukan IgG yang positif. Sementara, IgA anti dengue ada dalam sirkulasi untuk periode waktu yang lebih singkat dan lebih tinggi pada infeksi sekunder. Penelitian terbaru menganggap bahwa IgA anti dengue lebih unggul daripada IgM anti dengue dan NS1 untuk diagnosis infeksi dengue terutama pada infeksi sekunder. 26-29 Spesifisitas dan sensitivitas IgA anti dengue lebih tinggi pada infeksi dengue sekunder dibandingkan dengan infeksi dengue primer.27,30,31
14
Hasil positif IgA anti dengue juga dapat ditemukan pada demam tifoid, leptospirosis atau infeksi Flavivirus lainnya. Hasil negatif palsu juga dapat ditemukan pada infeksi dengue yang mungkin disebabkan akibat pengambilan sampel yang tidak sesuai dengan perjalanan penyakit atau kadar IgA anti dengue yang rendah sehingga sulit dideteksi. Akan tetapi, masih belum cukup banyak studi yang meneliti mengenai nilai diagnostik IgA anti dengue terutama pada populasi Indonesia. Sehingga IgA anti dengue belum dijadikan pedoman resmi dalam diagnsosis infeksi dengue saat ini.27 2.7.5. Analisis parameter hematologi Parameter hematologi yang terpenting pada dengue ialah nilai leukosit, hematokrit dan trombosit yang juga merupakan bagian dari diagnosis klinis demam berdarah dengue (DBD). Biasanya pada awal fase demam akan dijumpai jumlah leukosit yang normal atau terdapat peningkatan neutrofil dengan jumlah trombosit dan hematokrit yang cenderung masih normal. Kemudian, seiring dengan berjalannya proses penyakit maka akan didapati penurunan leukosit, penurunan trombosit dan peningkatan hematokrit ringan terutama pada akhir fase demam memasuki fase kritis atau saat penurunan suhu. 2,3,13 Pada awal perjalanan penyakit, pemeriksaan yang direkomendasikan adalah isolasi virus, deteksi asam nukleat atau antigen virus. Namun, pada akhir dari fase akut pemeriksaan serologi adalah pilihan utama. 2.8.Kriteria Diagnosis Diagnosis DD ditegakkan jika didapati demam akut yang disertai dengan dua atau lebih dari gejala berikut nyeri kepala, nyeri retroorbital, nyeri otot, nyeri sendi, ruam kulit, manifestasi perdarahan, leukopenia (≤5000 sel/mm3), trombositopenia (<150.000sel/mm3) dan peningkatan hematokrit 5-10%. 2,3
15
Kriteria diagnosis DBD dapat ditegakkan apabila memenuhi kriteria diagnosis DD ditambah dengan manifestasi perdarahan baik melalui uji tourniquet positif atau perdarahan spontan disertai trombositopenia ≤100.000 sel/mm3 dan bukti perembesan plasma berupa peningkatan nilai hematokrit ≥20% dari baseline atau penurunan pada fase konvalesens, atau ditemukan efusi pleura, asites, hipoproteinemia atau albuminemia. 2,3 Demam berdarah dengue dengan syok (SSD) ditegakkan apabila pasien memenuhi kriteria DBD dan ditemukan tanda-tanda dan gejala syok berupa takikardia, akral dingin, waktu pengisian kapiler (capillary refill time/CRT) > 2 detik, nadi melemah, letargi, tekanan nadi (perbedaan antara sistolik dan diastolik) <20mmHg atau hipotensi. 2,3 Kriteria expanded dengue syndrome ditegakkan apabila memenuhi kriteria DD atau DBD baik disertai syok atau tidak, dengan manifestasi klinis komplikasi infeksi dengue atau manifestasi klinis yang tidak biasa seperti tanda dan gejala kelebihan cairan, gangguan elektrolit, ensefalopati, ensefalitis, perdarahan masif, gagal ginjal akut, haemolytic uremic syndrom (HUS), infeksi ganda dan gangguan jantung berupa gangguan konduksi, miokarditis ataupun perikarditis.2 Diagnosis probable dengue ditegakkan jika kriteria di atas diperkuat dengan hasil pemeriksaan sampel serologi dengue tunggal dan didapati kasus DBD pada lingkungan setempat. Diagnosis confirmed dengue dapat ditegakkan bila kasus memenuhi kriteria probable dengue diperkuat dengan isolasi virus dengue, peningkatan serum IgG sebanyak empat kali atau lebih pada uji inhibisi-hemaglutinasi atau peningkatan antibodi IgM spesifik terhadap virus dengue, deteksi antigen dengue dengan pemeriksaan immunochemistry, immunofluorescense atau ELISA, atau deteksi genom virus dengue dengan RTPCR2,3
16
2.9.
Komplikasi 2.9.1. Kelebihan cairan Pada fase kritis dan fase konvalesens sering ditemukan penyulit berupa kelebihan cairan sehingga dapat terjadi edema paru dan gagal jantung yang menyebabkan gagal napas dan kematian. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan melalui monitor ketat dengan pemantauan pemberian cairan intravena dari minimal sampai rumatan. Pada umumnya pemberian cairan pada hari sakit ke 3-5 sesuai panduan tidak akan menyebabkan edema paru karena pada saat tersebut perembesan plasma masih terjadi. Namun, pemberian cairan intravena pada fase penyembuhan dapat menyebabkan edema paru karena pada fase ini terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular. 2,3,13 Tanda dan gejala kelebihan cairan berupa pasien tampak sakit berat, distres pernapasan, dispnea dan takipnea, hepatomegali yang makin membesar, abdomen cembung dengan asites masif, nadi meningkat dengan isi dan tekanan yang masih kuat, krepitasi dan atau ronki dan atau wheezing di semua lapang paru, perfusi yang buruk pada pasien dengan gagal napas karena efusi pleura masif dan atau asites. 2 2.9.2. Gangguan elektrolit Hiponatremia dan hipokalsemia merupakan gangguan elektrolit yang paling sering terjadi pada fase kritis demam berdarah dengue. Sementara, hipokalemia lebih sering ditemukan pada fase konvalesens. Hiponatremia terjadi akibat pemberian cairan infus larutan hipotonis yang tidak adekuat. Hipokalsemia terjadi akibat perembesan kalsium mengikuti albumin masuk ke rongga pleura atau peritoneal. Hipokalemia disebabkan adanya kondisi stres dan pemberian diuretik. 2,22
17
2.10. Tatalaksana 2.10.1. Rawat Jalan Pasien demam dengue tanpa komorbid dan indikasi sosial dapat rawat jalan. Untuk tatalaksana pasien rawat jalan dapat diberikan pengobatan simtomatik berupa antiperetik dengan parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali setiap 6-8 jam apabila suhu >38oC. Selain itu, upaya menurunkan demam dapat dilakukan dengan cara kompres hangat (tepid sponge). Pemberian aspirin / NSAID / ibuprofen harus dihindari. Kemudian, perlu diedukasikan kepada orang tua pasien mengenai tanda bahaya (warning signs) agar dapat segera dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan. Saat dirawat di rumah, pasien harus istirahat dan mendapatkan hidrasi yang cukup dengan minum air putih atau teh dan lebih baik jika diberikan cairan yang mengandung elektrolit seperti jus buah, oralit atau air tajin. Tanda kecukupan cairan dinilai dari diuresis setiap 4-6 jam. 2,3 2.10.2. Rawat Inap Pengobatan pada rawat inap untuk DBD bersifat simtomatis dan suportif. Terapi simtomatis berupa pemberian antipiretik dan istirahat. Terapi suportif berupa terapi cairan yang harus segera dilakukan pada pasien dengan tanda bahaya, hematokrit yang tetap meningkat 10-20% setelah rehidrasi oral dan pasien yang tidak mendapat hidrasi yang cukup melalui oral atau muntah. Pada semua pasien DBD harus dilakukan pemeriksaan hematokrit awal sebelum pemberian cairan intravena sebagai data dasar.3 Pilihan utama untuk terapi cairan pada pasien DBD ialah cairan kristaloid isotonik disesuaikan dengan berat badan, kondisi klinis dan temuan laboratorium terutama nilai hematokrit. Terapi cairan pada anak dengan obesitas harus sesuai dengan berat badan ideal. Pemilihan cairan lain seperti cairan hipotonis NaCl 0,45% dapat diberikan pada pasien usia <6 bulan. Sementara pemberian cairan koloid hipertonik (osmolalitas >300mOsm/L) hanya diberikan pada perembesan plasma masif yang ditandai dengan nilai hematokrit yang semakin meningkat atau tetap tinggi setelah pemberian cairan kristaloid yang adekuat atau pada syok yang tetap tidak mengalami
18
perbaikan setelah bolus cairan kristaloid yang kedua. Jumlah cairan yang diberikan pada pasien DBD tanpa syok adalah kebutuhan rumatan +5% defisit dengan kecepatan disesuaikan dengan berat badan ideal. Pemberian cairan dihentikan pada umumnya setelah 24-48 jam saat keadaan umum stabil dan fase kritis terlewati.2,3 Pada pasien DBD tanpa syok dilakukan pemantauan keadaan umum dan tanda bahaya (warning sign) pada Tabel 1. Pemeriksaan berkala meliputi tanda vital setiap 2-4 jam, perfusi perifer, hematokrit setiap 4-6 jam dan volume urin setiap 8-12 jam dengan target jumlah urin ≥1ml/kgBB/jam. Pemeriksaan penunjang tambahan dapat dilakukan sesuai indikasi.2,3 Pasien dengan SSD terkompensasi diberikan terapi oksigen 2-4 L/menit dan resusitasi dengan cairan kristaloid isotonik intravena sebesar 20 ml/kgBB dalam 1 jam. Bila syok teratasi, volume cairan dipertahankan dengan dosis 10ml/kgBB/jam selama 1-2 jam. Bila keadaan sirkulasi stabil dan hidrasi dapat dilakukan mealui oral, jumlah cairan diturunkan bertahap menjadi 7,5, 5, 3, 1,5 ml/kgBB/jam. Apabila syok tidak teratasi dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menilai A-B-C-S (asidosis, bleeding/perdarahan, calcium, sugar/gula darah) seperti yang tertera pada Tabel 5. sehingga dapat dikoreksi apabila terdapat kelainan.2
Tabel 5 . Pemeriksaan laboratorium pada profound shock atau dengue dengan komplikasi19 Singkatan A-Asidosis B-Bleeding
C-Calcium S-Blood Sugar
Pemeriksaan laboratorium Analisis gas darah
Keterangan
Indikasi prolonged shock, keterlibatan organ (fungsi hati & ginjal) Hematokrit Apabila menurun dibading sebelumnya, segera akukan cross-match untuk transfusi darah ++ Elektrolit, Ca Hipokalsemia sering terdapat pada DBD tetapi tanpa gejala. Gula darah (dextrostick) Terjadi pada DBD berat karena asupan kurang dan muntah. Pada pasien dengan gangguan fungsi hati dapat terjadi hipoglikemia atau hiperglikemia.
19
Pada DBD dengan syok dekompensasi perlu segera dipasangkan akses intravena, apabila gagal dua kali dalam 3-5 menit maka cairan diberikan melalui prosedur intraoseus. Diberi terapi oksigen 2-4 L/menit, cairan kristaloid dan/atau koloid 20ml/kgBB bolus dalam 10-20 menit dan dilakukan pemeriksaan untuk menilai A-B-C-S. Jika syok masih belum teratasi dan nilai hematokrit tetap tinggi dapat diberikan bolus kedua, jika membaik kembali ke pemberian kristaloid sesuai dengan tatalaksana pada syok terkompensasi.2 Pemantauan DBD dengan syok berupa pemeriksaan berkala tanda vital tiap 15-30 menit yang dilanjutkan tiap jam saat syok sudah teratasi, hematokrit setiap 4-6 jam dan produksi urin. Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi apabila ditemukan gangguan fungsi organ. Pada pasien dengan syok perlu diperhatikan tanda-tanda kelebihan cairan.2 Tatalaksana pada fase pemulihan DBD berupa pemantauan status hemodinamik dan perfusi perifer, penghentian terapi cairan intravena dan pemberian furosemid dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan efusi pleura dan asites yang masif. Hipokalemia dapat dikoreksi dengan pemberian buah yang kaya akan kalium dan suplemen. 2,3 Tanda-tanda penyembuhan pada pasien DBD berupa 2,3
Frekuensi nadi, tekanan darah dan frekuensi napas stabil
Suhu badan normal
Tidak ada bukti perdarahan internal maupun eksternal
Nafsu makan membaik
Tidak ada muntah dan nyeri perut
Hematokrit stabil pada baseline
Volume urin cukup
Ruam konvalesens atau gatal terutama pada ekstremitas.
20
Kriteria pulang rawat antara lain sebagai berikut2,3
Bebas demam minimal 24 jam tanpa antipiretik
Nafsu maka membaik
Perbaikan klinis yang nyata
Jumlah urin cukup
Minimal 2-3 hari setelah syok teratasi
Tidak ada distres pernapasan akibat efusi pleura dan tidak ada asites
Jumlah platelet lebih dari 50.000/mm3. Apabila masih rendah namun klinis baik, pasien dapat pulang dengan saran untuk menghindari aktivitas yang dapat menyebabkan trauma minimal 1-2 minggu sampai platelet normal. Trombosit akan kembali normal dalam 3-5 hari pada kebanyakan kasus tanpa penyulit atau komorbid. Jika terjadi kelebihan cairan maka jumlah cairan diturunkan menjadi 1
mL/kgBB/jam atau diganti dengan koloid. Furosemide 1mg/kgBB/dosis dapat diberikan jika didapati edema paru apabila tekanan darah stabil dan ureum-kreatinin normal. Bila tidak berhasil, dilakukan evaluasi volume intravaskular. Apabila volume intravaskular baik diberikan furosemide dengan dosis ganda. Namun jika masih belum berhasil perlu dipertimbangkan kemungkinan terjadinya gagal ginjal akut yang memerlukan hemodialisa.2 Pada SSD dengan hipokalsemia direkomendasikan pemberian kalsium glukonat 10% 1 ml/kgBB (maksimum 10ml) diencerkan dengan aquadest secara intravena dan dapat diulang setelah 6 jam. Untuk hiponatremia dengan kejang diberikan NaCl 3%, namun bila tidak ada kejang cukup diberikan dekstrose 5% dengan NaCl 0,9%.2 Pada ensefalopati disarankan pemeriksaan fungsi hati (amoniak, transaminase, PT, APTT dan albumin, serta pemerikssan radiologi kepala. Pasien diberi oksigenasi dan cegah peningkatan tekanan intrakranial dengan kepala pasien diposisikan 30° lebih tinggi dari tubuh, cairan intravena direstriksi menjadi <80% kebutuhan rumatan, cairan diganti
21
menjadi koloid atau diberi diuretik, intubasi dini (mencegah hiperkarbia) dan
pemberian
steroid
intravena
setiap
6-8
jam.
Steroid
0,15mg/kgBB/dosis diberikan pada fase akut dan tidak boleh diberikan apabila terdapat perdarahan. Laktulosa 5-10 mL/6jam dapat diberikan untuk mengurangi produksi amoniak. Dapat diberikan vitamin K1 dengan dosis 3mg pada usia <1 tahun, 5mg pada usia <5 tahun dan 10 mg pada usia >5 tahun. Jika terdapat kejang maka diberikan obat antikonvulsi. Antibiotik empiris dianjurkan jika dicurigai terdapat infeksi bakteri sekunder.2 Apabila terdapat perdarahan segera hentikan sumber perdarahan. Pada perdarahan gastrointestinal dapat berikan H2 reseptor agonis. Transfusi komponen darah dapat diberikan sesuai indikasi. Pemberian transfusi platelet pada kasus trombositopenia tidak direkomendasikan, namun dapat dipertimbangkan pada orang dewasa dengan penyakit komorbid dan trombositopenia yang sangat berat. Tindakan plasmaforesis, hemodialisa atau cangkok ginjal dapat dipertimbangkan pada gagal ginjal akut. Jika terjadi kerusakan pembuluh darah paru dapat terjadi acute respiratory distress syndrome (ARDS) sehingga diperlukan oksigenasi dan ventilasi (ventilator) yang adekuat.2 2.11. Pencegahan 2.11.1. Program Pemerintah Sebagai upaya pencegahan infeksi dengue, pemerintah melakukan program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M Plus yaitu menutup tempat penampungan air, menguras bak mandi dan mengubur barang bekas. Ditambah dengan menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan, menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk dan kelambu saat tidur, memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk, menanam tanaman pengusir nyamuk, mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah dan menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa menjadi tempat bersarangnya nyamuk.32
22
Selain itu, kemenkes juga membuat program 1 rumah 1 Jumantik (juru pemantau jentik). Pemerintah juga mengupayakan terbentuknya kelompok kerja operasional DBD di setiap tingkat administrasi dan melakukan revitalisasi kelompok kerja tersebut dengan dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pelatihan tenaga kesehatan di puskesmas dan Rumah sakit untuk penemuan dini (menyediakan Rapid Diagnostic Test /RDT dan reagen untuk diagnosis serotipe virus dengue) dan tatalaksana segera. Dilaksanakan pula program pengamatan kasus DBD sehingga memungkinkan mengantisipasi Kejadian Luar Biasa DBD.32 Terlepas dari tantangan yang ada untuk vaksin demam berdarah yang ideal, pengembangan kandidat vaksin demam berdarah telah berkembang selama dekade terakhir dan beberapa di antaranya telah memasuki uji klinis di daerah endemis dan nonendemik yang pada akhirnya secara resmi diedarkan.33,34 2.11.2. Vaksinasi Vaksin dengue pertama, Dengvaxia (CYD-TDV) oleh Sanofi Pasteur, pertama kali diregistrasikan di Meksiko pada Desember 2015. CYD-TDV merupakan vaksin hidup tetravalen yang dilemahkan yang diberikan dalam 3 dosis dengan jarak 6 bulan secara subkutan. Vaksin ini hanya dapat diberikan pada pasien dengan usia 9-45 tahun yang tinggal di daerah endemik dan sudah pernah mengalami infeksi virus dengue sebelumnya. Sampai saat ini data yang dikumpulkan belum cukup untuk menyimpulkan
apakah
diperlukan
pemberian
booster.
WHO
merekomendasikan skrining pra vaksinasi dengan tes serologi untuk mendeteksi adanya infeksi dengue sebelumnya pada pasien yang akan melakukan vaksinasi.34
23
Berdasarkan penelitian terakhir tersebut didapatkan bahwa secara umum vaksin ini mempunyai efikasi 56,5 % dan vaksin Dengue ini dapat menurunkan resiko perawatan rumah sakit sebanyak 80% serta mengurangi resiko menderita DBD sebesar 93% bila diberikan pada anak diatas usia 9 tahun. Selain itu, vaksin ini juga memiliki keamanan yang baik terbukti dengan tidak ditemukannya efek samping yang berat.35 Reaksi sistemik yang paling umum terjadi setelah vaksin adalah sakit kepala (> 50%), malaise (> 40%), dan mialgia (> 40%). Demam terjadi pada 5% dan 16% dari peserta penerima CYD-TDV yang masing-masing berusia 18–60 tahun dan 9-17 tahun.33-34 Pada bulan September tahun 2016, vaksin Dengue pertama di dunia tersebut mendapat persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sejak saat itu, vaksin Dengue tetravalen sudah resmi beredar di Indonesia. Indonesia merupakan negara kedua di Asia yang BPOMnya telah memberi ijin edar vaksin dengue. Saat ini terdapat 10 negara di dunia yang telah menyetujui penggunaan vaksin Dengue di antaranya Indonesia, Filipina, Vietnam, Thailand, Malaysia, Brazil, Puerto Rico, Meksiko, Honduras, dan Kolombia.35,36
24
BAB III KESIMPULAN
Infeksi dengue disebabkan oleh virus RNA dari keluarga Flaviviridae dan disebarkan oleh nyamuk Aedes. Distribusi global DBD di daerah tropis dan subtropis telah menyebabkan masalah kesehatan masyarakat yang serius dimana Indonesia menjadi negara kedua dengan kasus demam berdarah tertinggi di dunia pada tahun 2004-2010 mencapai 129.650 kasus. Angka kejadian DBD meningkat pada musim hujan akibat indeks curah hujan dan kelembaban tinggi yang cocok untuk perkembagbiakan vektor virus dengue. Virus dengue memiliki empat serotipe berbeda yaitu DENV 1, DENV 2, DENV 3 dan DENV 4 dimana semua serotipe tersebut dapat ditemukan di Indoneisa. Infeksi sekunder virus dengue dengan serotipe yang berbeda akan menyebabkan gejala yang lebih berat sehingga meningkatkan angka kejadian DBD. Infeksi virus dengue pada manusia tidak selalu mengakibatkan demam berdarah dengue (DBD), melainkan mempunyai spektrum manifestasi klinis. Fenomena patofisiologi utama yang membedakan antara demam dengue dan demam berdarah dengue adalah terjadinya perembesan plasma. Diagnosis demam dengue ditegakkan jika didapati demam dengan dua atau lebih tanda klinis berupa demam 2- 7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus menerus, bifasik. Manifestasi perdarahan baik spontan maupun uji tourniquet positif. Nyeri kepala, mialgia, atralgia, nyeri retroorbital. Leukopenia dan trombositopenia. Adanya kasus DBD di lingkungan sekitar. Sementara diagnosis demam berdarah dengue dapat ditegakkan apabila didapati dua atau lebih gejala demam denue atau disertai hepatomegali ditambah bukti perembesan plasma dan trombositopenia. Sindrom syok dengue (SSD) ditegakkan apabila pasien memenuhi kriteria DBD dan ditemukan tanda-tanda dan gejala syok hipovolemi baik yang terkompensasi maupun yang dekompensasi. Kriteria untuk expanded dengue syndrome dapat ditegakkan apabila memenuhi kriteria DD atau DBD baik disertai
25
syok atau tidak, dengan manifestasi klinis komplikasi infeksi virus dengue atau dengan manifestasi klinis yang tidak biasa. Diagnosis demam dengue dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium apabila tersedia yaitu melalui isolasi virus, deteksi asam nukleat virus, deteksi antigen virus dan deteksi serum respons imun/ uji serologi serum imun. Pemeriksaan laboratorium dilakukan sesuai dengan fase pada perjalanan penyakit. Penatalaksanaan pasien demam dengue dapat dilakukan dengan rawat jalan. Namun, pasien DBD memerlukan observasi dengan rawat inap untuk mencegah syok akibat perembesan plasma pada masa kritis. Prinsip terapi pada infeksi dengue adalah simtomatis berupa antipiretik dengan parasetamol dan suportif berupa terapi cairan dengan cairan kristaloid isotonik sebagai pilihan utama. Namun, koloid dapat diberikan pada kasus dengan perdarahan masif atau profound shock. Pencegahan infeksi dengue diupayakan oleh pemerintah melalui program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M Plus, 1 rumah 1 Jumantik (juru pemantau jentik), pembentukan kelompok kerja operasional DBD di setiap tingkat administrasi dan melakukan revitalisasi kelompok kerja tersebut dengan dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta program pengamatan kasus DBD. Selain itu, pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian vaksin dengue pada populasi yang memenuhi syarat pada daerah endemis sesuai rekomendasi WHO.
26
BAB IV DAFTAR PUSTAKA
1.
Hasan S, Jamdar SF, Alalowi M, Al Ageel Al Beaiji SM. Dengue virus: a global human threat: review of literature. J Int Soc Prev Community Dent. 2016;6:1–6.
2.
Hadinegoro SR, Moedjito I, Chairulfatah A. Pedoman diagnosis dan tata laksana infeksi virus dengue pada anak. Edisi ke-1. Jakarta: IDAI. 2014. h. 1-69.
3.
Anonim. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever. India: WHO Regional Office for South-East Asia. 2011. h. 1-195.
4.
Maula AW, Fuad A, Utarini A. Ten-years trend of dengue research in Indonesia and South-East Asian countries: a bibliometric analysis. Glob Health Action. 2018;11:1-10.
5.
Anonim. What is dengue?. World Health Organization. 2017. Diunduh dari: https://www.who.int/denguecontrol/disease/en/. Diakses: 15 Feb 2019.
6.
Cucunawangsih, Lugito NPH. Trends of dengue disease epidemiology. Virology Auckl. 2017;8:1-6.
7.
Chang C-J, Chen CS, Tien C-J, Lu M-R. Epidemiological, clinical and climatic characteristics of dengue fever in Kaohsiung City, Taiwan with implication for prevention and control. PLoS One. 2018;13:1-15.
8.
Bhatt S, Gething PW, Brady OJ, Messina JP, Farlow AW, Moyes CL, dkk. The global distribution and burden of dengue. Nature. 2013;496:504–7.
9.
Brady OJ, Gething PW, Bhatt S, Messina JP, Brownstein JS, Hoen AG, dkk. Refining the global spatial limits of dengue virus transmission by evidence-based consensus. PLoS Negl Trop Dis. 2012;6:1-15.
27
10.
Phakhounthong K, Chaovalit P, Jittamala P, Blacksell SD, Day NPJ, White LJ, dkk. Predicting the severity of dengue fever in children on admission based on clinical features and laboratory indicators: application of classification tree analysis. BMC Pediatr. 2018;18:109-18.
11.
Schaefer TJ, Wolford RW. Dengue Fever. StatPearls. 2018. Diunduh dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28613483. Diakses: 11 Feb 2019.
12.
Anonim. Global strategy for dengue prevention and control 2012-2020. Geneva: 2012. h. 1-34.
13.
Soedarmo SSP, Garna H., Hadinegoro SRS. Satari HI. Buku ajar ilmu kesehatan anak : infeksi & penyakit tropis. Edisi ke-2. Jakarta: IDAI; 2002. h. 155-180.
14.
Candra A. Demam berdarah dengue: epidemiologi, patogenesis dan faktor risiko penularan. J Vector Borne Dis. 2010;2:110-9.
15.
Lan NTP, Hirayama K. Host genetic susceptibility to severe dengue infection. Trop Med Health. 2011;39:73–81.
16.
Fahmi U. Buletin jendela epidemiologi: manajemen demam berdarah berbasis wilayah. Edisi ke-2. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia . 2010. h. 1-43.
17.
Hussain T, Jamal M, Rehman T, Andleeb S. Dengue: pathogenesis, prevention and treatment – a mini review. Adv. Life Sci. 2015;2:110–114.
18.
Jahnavi K, Srinivasulu T. Study of incidence, manifestations and complications of dengue fever. Int J Adv Med. 2018;5:137-40.
19.
Satari HI. New dengue case classification. Dalam: Hadinegoro SR, Kadim HM, Devaera Y, Salamia N, Cahyani I, Ambarsari G, penyunting. Update management of infectious diseases and gastrointestinal disorders. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM; 2012. h.16-26.
20.
Osnaya-Romero N, Perez-Guille MG, Andrade-García S, Gonzalez-Vargas E, Borgaro-Payro R, Villagomez-Martinez S, dkk. Neurological complications and death in children with dengue virus infection: report of two cases. J Venom Anim Toxins Incl Trop Dis. 2017;23:25.
28
21.
Malavige GN, Fernando S, Fernando J. Dengue viral infections. Postgr Med J. 2004;80:588–601.
22.
Vachvanichsanong P, McNeil E. Electrolyte disturbance and kidney dysfunction in dengue viral infection. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2015;46:108– 17.
23.
Banerjee A, Paul UK, Bandyopadhyay A. Diagnosis of dengue fever: roles of different laboratory test methods. Int J Adv Med. 2018;5:395–9.
24.
Cucunawangsih, Lugito NPH, Kurniawan A. Immunoglobulin G (IgG) to IgM ratio in secondary adult dengue infection using samples from early days of symptoms onset. BMC Infect Dis. 2015;15:276-82.
25.
Lima JRC, Rouquayrol MZ, Callado MRM, Guedes MIF, Pessoa C. Interpretation of the presence of IgM and IgG antibodies in a rapid test for dengue: analysis of dengue antibody prevalence in Fortaleza City in the 20th year of the epidemic. Rev Soc Bras Med Trop. 2012;45:163–7.
26.
De Decker S, Vray M, Sistek V, Labeau B, Enfissi A, Rousset D, dkk. Evaluation of the diagnostic accuracy of a new dengue IgA capture assay (platelia dengue IgA capture, bio-rad) for dengue infection detection. PLoS Negl Trop Dis. 2015;9:1–12.
27.
Akualing JS, Aryati, Hermawati R, Triyono RA. Diagnosis of dengue virus infection using IgA anti dengue rapid test. EC Microbiolgy. 2016;3:688–96.
28.
Irianto C, Go G. PS-330 evaluation of dengue IgA and NS1 rapid test as an early diagnostic test for dengue virus infection. Arch Dis Child. 2014;99:231.
29.
Hernández CSI, Mateos GS, Aguilar FH, Martinez LI, Alpuche Aranda C, Ludert JE, dkk. Evaluation of a novel commercial rapid test for dengue diagnosis based on specific IgA detection. Diagn Microbiol Infect Dis.2012;72:150–5.
30.
Resna R, Aryati A, Wardhani P, Triyono E. The diagnostic value of anti dengue IgA and anti dengue IgM/IgG in dengue virus infection. Indones J Clin Pathol Med Lab. 2018;21:82-9.
31.
Sil B, Tan Y, Sekaran S, Wang S, Ahmed F, Hossain A. Development of ASSURE dengue IgA rapid test for the detection of anti-dengue IgA from dengue infected patients. J Glob Infect Dis. 2011;3:233-40. 29
32.
Anonim. Kendalikan DBD Dengan PSN 3M
Plus. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. 2016. Diunduh dari: http://www.depkes.go.id/article/view/ 16020900002/kendalikan-dbd-dengan-psn-3m-plus.html. Diakses: 19 Feb 2019. 33.
Anonim. Publication of WHO’s first dengue vaccine position paper. WHO. 2016; Diunduh dari: https://www.who.int/immunization/ newsroom/press/dengue_first_ position_paper/en/. Diakses: 18 Feb 2019.
34.
Anonim. Dengue vaccine: WHO position paper -July 2016. WHO. 2016;91:349-64.
35.
Anonim. Sekilas tentang vaksin dengue. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2017. Diunduh dari: http://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/sekilas-tentang-vaksin -dengue. Diakses: 18 Feb 2019.
36.
Anonim. Badan pengawas obat dan makanan menyetujui izin edar vaksin degue di Indonesia. BPOM. 2016. Diunduh dari: https://www.pom.go.id/new/view/more/ berita/12076/Badan-POM-Menyetujui-Izin-Edar-Vaksin-Dengue-di-Indonesia.html. Diakses: 19 Feb 2019.
30