BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar belakang Hipertiroidisme merupakan salah satu penyakit gangguan kelenjar endokrin yang disebabkan karena peningkatan produksi hormone tiroid secara berlebihan oleh kelenjar tiroid. Penyakit ini ditemukan pada 2% wanita dan 0,2% pria di seluruh populasi dengan insiden munculnya kasus pertahun sebanyak dua puluh orang penderita tiap satu juta populas (Fumarola et al, 2010).Berbagai manifestasi klinik yang muncul akibat penyakit ini dapat mengganggu aktivitas pasien sehari-hari. Manifestasi klinik yang dirasakan pasien dapat berupa gangguan psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan dan emosi yang mudah berubah, gangguan pencernaan berupa diare, hingga gangguan kardiovaskuler berupa takikardi dan palpitasi (Bahn et al, 2011). Pada pasien hipertiroidisme, terapi yang diberikan dapat berupa terapi konservatif dengan pemberian obat anti tiroid maupun terapi pengurangan atau ablasi kelenjar tiroid dengan iodine radioaktif dan tiroidektomi (pengangkatan kelenjar tiroid) yang disesuaikan dengan etiologi penyakit dan pilihan pasien. Dari ketiga pilihan terapi tersebut, terapi dengan obat anti tiroid merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan. Obat anti tiroid yang digunakan secara luas sebagai lini pertama adalah golongan thionamide, yang terdiri dari propylthiouracil dan methimazole. Obat anti tiroid umumnya digunakan selama lebih dari enam bulan hingga pasien mencapai remisi dan pengobatan dapat dihentikan. Selama menggunakan obat anti tiroid pasien dapat mengalami efek samping berupa munculnya ruam kulit, gangguan hepar dan agranulositosis (Fumarola et al, 2010). Pada penggunaan obat anti tiroid, rasionalitas terapi memegang peranan penting dalam menjamin penggunaan obat yang tepat, aman dan efektif. Dengan pemilihan jenis obat anti tiroid dan pemberian dosis yang tepat, kondisi euthyroid dan remisi dapat lebih cepat tercapai dan memperpendek durasi terapi. Dan dengan penggunaan obat yang sesuai dengan kondisi pasien dapat mengurangi risiko efek samping yang muncul.Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mengenai evaluasi terapi pengobatan hipertiroidisme dengan obat anti tiroid perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran pola pengobatan hipertiroidisme di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan mengevaluasi rasionalitas pengobatan agar terapi mendapatkan outcome yang diharapkan.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas rumusan masalah adalah bagaimana Asuhan Keperawatan pada klien dengan Klien HIpertiroid 1
1.3 Tujuan 1. Tujuan Umum Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah akan membahas tentang Asuhan Keperawatan Pada Klien HIpertiroid 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penulisan makalah ini adalah akan membahas: a. Agar mahasiswa mampu mengetahui Definisi b. Agar mahasiswa mampu mengetahui Etiologi c. Agar mahasiswa mampu mengetahui Patofisiologi d. Agar mahasiswa mampu mengetahui Tanda dan gejala e. Agar mahasiswa mampu mengetahui Pemeriksaan Diagnostik f. Agar mahasiswa mampu mengetahui Proses Keperawatan Askep Gagal ginjal
BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Definisi Menurut American Thyroid Association dan American Association of Clinical Endocrinologists, hipertiroidisme didefinisikan sebagai kondisi berupapeningkatan kadar hormon tiroid yang disintesis dan disekresikan oleh kelenjar tiroid melebihi normal (Bahn et 2
al, 2011). Hipertiroidisme merupakan salah satu bentuk thyrotoxicosis atau tingginya kadar hormon tiroid, T4, T3 maupun kombinasi keduanya, di aliran darah. Peningkatan kadar hormon tiroid menyebabkan paparan berlebihan pada jaringan-jaringan tubuh yang menyebabkan munculnya berbagai manifestasi klinik yang terkait dengan fungsi hormon tiroid dalam berbagai proses 2.2 Etiologi Berdasarkan etiologinya hipertiroidisme dapat dibagi menjadi beberapa kategori, secara umum hipertiroidisme yang paling banyak ditemukan adalah Graves’ Disease, toxic adenoma, dan multinodular goiter. a. Graves’ Disease Graves’ disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme karena sekitar 80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves’ disease. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 20 – 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1 (Fumarola et al, 2010). Graves’ disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan kadar hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid Kondisi ini disebabkan karena adanya thyroid stimulating antibodies (TSAb) yang dapat berikatan dan mengaktivasi reseptor TSH (TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb memicu perkembangan dan peningkakan aktivitas sel-sel tiroid menyebabkan peningkatan kadar hormon tiroid melebihi normal.TSAb dihasilkan melalui proses respon imun karena adanya paparan antigen. Namun pada Graves’ Disease sel-sel APC (antigen presenting cell) menganggap sel kelenjar tiroid sebagai antigen yang dipresentasikan pada sel T helper melalui bantuan HLA (human leucocyte antigen). Selanjutnya T helper akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi berupa TSAb. Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves’ Disease adalah HLA. Pada pasien Graves’ Disease ditemukan adanya perbedaan urutan asam amino ke tujuh puluh empat pada rantai HLA-DRb1. Pada pasien Graves’ Disease asam amino pada urutan ke tujuh puluh empat adalah arginine, Sedangkan umumnya pada orang normal, asam amino pada urutan tersebut berupa glutamine (Jacobson et al, 2008). Menurut Bahn et al (2011), terapi pada pasien Graves’ disease dapat berupa pemberian obat anti tiroid, iodine radioaktif atau tiroidektomi. Di Amerika Serikat, iodine radioaktif paling banyak digunakan sebagai terapi pada pasien Graves’ disease. Sedangkan di Eropa dan Jepang terapi dengan obat anti tiroid dan operasi lebih banyak diberikan dibandingkan iodine radioaktif. Namun demikian pemilihan terapi didasarkan pada kondisi pasien misalnya ukuran goiter, kondisi hamil, dan kemungkinan kekambuhan. Selain pemberian terapi di atas, pasien 3
Graves’ disease perlu mendapatkan terapi dengan beta-blocker. Beta-blocker digunakan untuk mengatasi keluhan seperti tremor, takikardia dan rasa cemas berlebihan.Pemberian beta-blocker direkomendasikan bagi semua pasien hipertiroidisme dengan gejala yang tampak (Bahn et al, 2011). b. Toxic Adenoma Pada pasien toxic adenoma ditemukan adanya nodul yang dapat memproduksi hormon tiroid. Nodul didefinisikan sebagai masa berupa folikel tiroid yang memiliki fungsi otonom dan fungsinya tidak terpengaruhi oleh kerja TSH (Sherman dan Talbert, 2008). Sekitar 2 – 9% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan karena hipertiroidisme jenis ini. Menurut Gharib et al (2007), hanya 3–7% pasien dengan nodul tiroid yang tampak dan dapat teraba, dan 20 – 76% pasien memiliki nodul tiroid yang hanya terlihat dengan bantuan ultra sound. Penyakit ini lebih sering muncul pada wanita, pasien berusia lanjut, defisiensi asupan iodine, dan riwayat terpapar radiasi. Pada pasien dengan toxic adenoma sebagian besar tidak muncul gejala atau manifestasi klinik seperti pada pasien dengan Graves’ disease. Munculnya nodul pada tiroid lebih banyak ditemukan pada daerah dengan asupan iodine yang rendah. Menurut Paschke (2011), iodine yang rendah menyebabkan peningkatan kadar hidrogen peroksida di dalam kelenjar tiroid yang akan menyebabkan mutasi. Hal ini sesuai dengan Tonacchera dan Pinchera (2010), yang menyatakan pada penderita hipertiroidisme dengan adanya nodul ditemukan adanya mutasi pada reseptor TSH. c. Toxic Multinodular Goiter Selain Grave’s Disease dan toxic adenoma, toxic multinodular goiter merupakan salah satu penyebab hipertiroidisme yang paling umum di dunia. Secara patologis toxic multinodular goiter mirip dengan toxic adenoma karena ditemukan adanya nodul yang menghasilkan hormon tiroid secara berlebihan, namun pada toxic multinodular goiter ditemukan beberapa nodul yang dapat dideteksi baik secara palpasi maupun ultrasonografi. Penyebab utama dari kondisi ini adalah faktor genetik dan defisiensi iodine. d. Hipertiroidisme Subklinis Graves’ Disease, toxic adenoma, dan toxic multinodular goiter merupakan penyebab utama hipertiroidisme utama di seluruh dunia dan termasuk dalam jenis overt hyperthyroidism. Pada hipertiroidisme jenis ini, kadar TSH ditemukan rendah atau tidak terdeteksi disertai peningkatan kadar T4 dan T3 bebas (Bahn et al, 2011). Selain ketiga jenis di atas, sekitar 1% kasus hipertiroidisme disebabkan hipertiroidisme subklinis. Pada hipertiroidisme sub klinis, kadar TSH ditemukan rendah disertai kadar T4 dan T3 bebas 4
atau total yang normal. Menurut Ghandour (2011), 60% kasus hipertiroidisme subklinis disebabkan multinodular goiter. Pada pasien yang menderita hipertiroidisme subklinis dapat ditemukan gejala klinis yang tampak pada pasien overt hyperthyroidism. Menurut Bahn et al, 2011 prinsip pengobatan hipertiroidisme sub klinis sama dengan pengobatan overt hyperthyroidism. 2.3 Patofisiologi Penyebab
hipertiroid
biasanya
adalah
penyakit
graves
goiter
toksika
Pada
kebanyakan penderita hipertiroid kelenjar tiroid membesar dua sampai tiga kali dari ukuran normalnya disertai dengan banyak hyperplasia dan lipatan lipatan sel sel & olikel sehingga "$#lah sel%sel inilebih meningkat beberapa kali dibandingkan dengan pe#besaran kelen"ar! '$ga setiap sel#eningkat ke(epatan sekresinya beberapa kali lipat dengan kecepatan )%*) kali lebih besar daripada normal! Pada hipertiroid konsentrasi TSH +Tyroid Sti#$lating Hor#on, plas#a#en$r$n karenan ada ses$at$ yang #enyer$pai TSH! -iasanya bahan%bahan ini adalah antibodyi##$noglob$lin yang diseb$t TSI +Thyroid Sti#$lating I##$noglob$lin, yang berikatandengan reseptor #e#bran yang sa#a dengan reseptor yang #engikat TSH! -ahan%bahan terseb$t#erangsang aktivasi (A.P dala# sel dengan hasil akhirnya adalah hipertiroidis#e! /arena it$ pada pasien hipertiroid konsentrasi TSH #en$r$n sedangkan konsentrasi TSI #eningkat! -ahanini #e#p$nyai e&ek perangsangan yang pan"ang pada kelen"ar tiroid yakni selama 12 jam, berbeda dengan e&ek TSH yang hanya berlangs$ng sat$ "a#! Tingginya sekresi hor#one tiroidyang disebabkan oleh TSI selan "$tnya "$ga #enekan pe#bent$kan TSH oleh kelen"ar hipo&isisanterior! Pada hiperti roidis# e kelen"ar ti roid dipaksa #ensekresikan hor#one hingga dil$ar batas sehingga $nt$k #e#en$hi pesanan terseb$t sel%sel sekretori kelen"ar tiroid #e#besar!Ge"ala klinis pasien yang sering berkeringat dan s$ka ha1a dingin ter#as$k akibat dari si&at hor#one tiroid yang kalorigenik akibat peningkatan la"$ #etabolis#e t$b$h yang diatas nor#al!-ahkan akibat proses #etabolis#e yang #enyi#pang ini terkadang penderita hiperti roidis#e #engala#i kes$litan tid$r! E&ek pada kepekaan sinaps sara& yang #engand$ng ton$s otot sebagaiakibat dari hipertiroidis#e ini #enyebabkan ter"adinya tre#or otot yang hal$s dengan &rek$ensi* 2 % * )
3 4 d e ti k
sehing ga
penderita
#en gala#i
ge#etar
t a n g a n y a n g a b n o r # a l ! 5 a d i y a n g takikardi ata$ diatas nor#al "$ga #er$pakan salah sat$ e&ek hormon tiroid! Eksopthal#$s yangter"adi #er$pakan reaksi in&la#asi a$toi#$n yang #engenai daerah "aringan periorbital dan otot%otot ekstraok$ler akibatnya bola #ata terdesak kel$ar
2.4 Tanda dan Gejala Hormon tiroid memiliki peranan yang vital dalam mengatur metabolisme tubuh. Peningkatan kadar hormon tiroid dalam darah memacu peningkatan kecepatan metabolisme di seluruh tubuh. Salah satu gejala yang umum ditemui pada penderita hipertiroid adalah 5
intoleransi panas dan berkeringat berlebihan karena peningkatan kadar tiroid memacu peningkatan basal metabolic rate. Selain itu hipertiroidisme juga mempengaruhi sistem kardiorespiratori menyebabkan kondisi palpitasi, takikardi dan dyspnea umum ditemukan pada pasien hipertiroidisme (Nayak dan Burman, 2006).Akibat stimulasi sistem saraf adrenergik berlebihan, muncul gejala gejala psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan, mudah tersinggung dan insomnia. Peningkatan kecepatan metabolisme menyebabkan pasien hipertiroidisme cepat merasa lapar dan nafsu makan bertambah, namun demikian terjadi penurunan berat badan secara signifikan dan peningkatan frekuensi defekasi. Pada pasien wanita dapat terjadi gangguan menstruasi berupa oligomenorrhea, amenorrhea bahkan penurunan libido (Bahn et al, 2011; Baskin et al, 2002).Pada pasien Graves’ disease, gejala klinis juga dapat berupa inflamasi dan edema di otot mata (Graves’ ophtalmopathy) dan gangguan kulit lokal (myxedema). Mekanisme terjadinya Graves’ ophtalmopathy dan myxedema belum diketahui secara pasti namun diperkirakan pada keduanya terjadi akumulasi limfosit yang disebabkan oleh aktivasi sitokin pada fibroblast (Weetman, 2000). 2.5 Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan kelenjar tiroid: Goiter (konsistensi, noduler, nyeri), murmur, dan bruit. Pada penderita dengan pembesaran tiroid simetris disertai dengan kelainan mata (orbitopathy), sangat mungkin penyakit Grave sehingga tidak perlu mencari penyebab lebih lanjut. Pemeriksaan laboratorium: Kadar T4/FT4 dan T3/FT3 meningkat, kadar TSH menurun, dan TRAb positif. Pemeriksaan radiologi-Skintigrafi: Uptake iodium meningkat.-Skintigram dengan 123I maupun 99mTc sebaiknya dilakukan bila ada kecurigaan Toxic Adenoma (TA) atau Toxic Multinodular Goiter(TMNG). USG (colour doppler): penilaian aliran darah tiroid dan dapat membedakan PG dan tiroiditis destruktif Bila kelenjar tiroid tidak noduler tanpa orbitopathy, perlu pemeriksaan TRAb dan RAIU untuk membedakan PG dengan sebab lain. 2.6 Komplikasi 1. Edema paru-paru Edema paru-paru berlangsung akibat penimbunan cairan serosa atau serosanguinosa yang terlalu berlebih di dalam area interstisial serta alveolus paru-paru. Perihal ini timbul dikarenakan ginjal tidak bisa mensekresi urine serta garam didalam jumlah cukup. Seringkali edema paru-paru mengakibatkan kematian. 2. Hiperkalemia (kandungan kalium darah yang tinggi)
6
Konsentrasi kalium darah yang lebih tinggi dari 5, 5 meq/l bisa merubah system konduksi listrik jantung. Jika perihal ini terus berlanjut, irama jantung jadi tidak normal serta jantung 3.
pun berhenti berdenyut. Hiperkalemia, Akibat penurunan eksresi asidosis metabolic, kata bolisme dan masukan diit
berlebih. 4. Perikarditis, efusi perincalkdial dan temponade jantung. 5. Hipertensi, Akibat retensi cairan dan natrium serta mal fungsi sistem rennin angioaldosteron. 6. Anemia, Akibat penurunan eritroprotein, rentang usia sel darah merah, pendarahan gasstrointestina akibat iritasi. 7. Penyakit tulang, Akibat retensi fosfat kadar kalium serum yang rendah metabolisme vitamin D, abnormal dan peningkatan kadar aluminium. 2.7 Penanganan dan Prognosis Penanganan gagal ginjal seperti Hemodialisis menggunakan mesin, keunggulannya, tidak perlu repot. Harap dicatat setiap pasien yang sudah terkena Gagal ginjal kronis harus mengontrol asupan / masuk nya cairan / air minum per hari, maksimal 600 milliliter atau 0.6 Liter (setara 1 botol). Ingat per hari. Jika tidak terkontrol, pada saat proses rutin Hemodialisis, biasanya mesin akan menarik sampai kepada berat kering terpenuhi sehingga akhirnya pasien mengalami keram pada kaki, atau tekanan darah tidak stabil (biasanya menjadi turun drastis). Berat kering adalah berat normal karena air sudah dibuang dari tubuh (karena pasien Gagal ginjal kronis tidak dapat buang air kecil lagi). Prognosis pasien dengan penyakit gagal ginjal dijaga sebagai Data epidemiologi telah menunjukkan bahwa menyebabkan semua kematian. (Tingkat kematian secara keseluruhan) meningkat sebagai penurunan fungsi ginjal Penyebab utama kematian pada pasien dengan penyakit gagal ginjal adalah penyakit jantung, terlepas dari apakah ada perkembangan ke tahap Sementara terapi pengganti ginjal dapat mempertahankan pasien tanpa batas waktu dan mmperpanjang kehidupan, kualitas hidup adalah sangat terpengaruh
ginjal transplantasi
meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan stadium 5 CKD signifikan bila dibandingkan dengan terapi pilihan. Namun, hal ini terkait dengan mortalitas jangka pendek meningkat (akibat komplikasi dari operasi). Transplantasi samping, intensitas tinggi rumah hemodialisis muncul terkait dengan kelangsungan hidup baik jika dibandingkan dengan tiga kali seminggu konvensional hemodialisis dan dialisis peritoneal.
2.8 Proses Keperawatan 2.8.1 Pengkajian 7
Dapatkan riwayat lengkap, termasuk riwayat keluarga ,mengalami hipertiroidisme, dan perhatikan adanya keluhan iritabilitas atau peningkatan reaksi emosianal dan dampak perubahan ini pada interaksipasien dengan keluarga , teman , dan rekan kerja. Kaji stresor dan kemampuan pasien untuk mengatasi sters Evaluasi status nutrisi dan manifestasi gejala; perhatikan adanya kecemasan yang berlebihan dan perubahan penglihatan serta tampilan mata. Kaji dan pantau status jantung secara periodik (frekuensi denyut jantung, tekanan
2.8.2
darah, suara /bunyi jantung, dan nadi perifer) Kaji status emosinal dan status psikologis. Diagnosa Keperawatan 1. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan laju metabolik yang berlebihan, nafsu makan berlebihan, dan peningkatan aktifitas gastrointestinal. 2. Ketidakefektifan koping yang berhubungan dengan iritabilitas. Hipereksibilitas, kecemasan/ketakutan, dan instabilitas emosianal. 3. Hrga diri rendah yang berhubungan dengan perubahan penampilan, berlebihan nafsu makan, dan penurunan serta badan. 4. Perubahan suhu tubuh,
2.8.3 Perencanaan NANDA NIC NOC 1. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan laju metabolik yang berlebihan, nafsu makan berlebihan, dan peningkatan aktifitas gastrointestinal. NOC : 1. 2. 3.
Keseimbangan elektrolit dan asam basa Keseimbangan cairan Hidrasi
Kriteria hasil : a. b. c. d.
Terbebas dari edema, efusi, anasarka Bunyi napas bersih, tidak ada dyspnea/ortopnea Terbebas dari distensi vena jugularis, reflek hepatojugular (+) Memelihara tekanan vena sentral, tekanan kapiler paru, output jantung dan tanda-tanda
dalam batas normal e. Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau kebingungan f. Menjelaskan indikator kelebihan cairan NIC 1.Manajemen Cairan
RASIONAL Untuk menentukan
a. Timbang popok/pembalut jika Diperlukan b. Pertahankan catatan intake dan output
kebutuhan penggantian cairan, dan
fungsi
ginjal,
penurunan resiko kelebihan cairan. 8
yang akurat catatan: Hipervolemia terjadi pada fase c. Monitor tanda-tanda vital anurik pada Gagal Ginjal Akut d. Monitor hasil Hb yang sesuai dengan retensi Mengkaji berlanjutnya dan cairan penanganan disfungsi/gagal ginjal. e. Monitor indikasi retensi/ kelebihan cairan (cracles,CVP, edema, distensi vena leher, asites) Meskipun kedua nilai mungkin f. Kaji lokasi dan luas edema meningkat, kreatinin adalah indicator g. Monitor masukan makanan/cairan dan hitung intake kalori yang lebih baik untuk fungsi ginjal h. Monitor status nutrisi karena tidak dipengaruhi oleh hidrasi, diet dan katabolisme jaringan
2. Monitoring Cairan a. Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake cairan dan eliminasi b. Tentukan kemungkinan faktor resiko dari ketidakseimbangan cairan (Hipertermi, terapi diuretic, kelainan renal, gagal jantung, diaphoresis, disfungsi hati, dll) c. Monitor BB d. Monitor serum dan elektrolit urin e. Monitor serum dan osmilalitas urine f. Monitor tekanan darah orthostatic dan perubahan irama jantung g. Monitor parameter hemodinamik invasif h. Catat secara akurat intake dan output i. Monitor adanya distensi leher, edema perifer, dan penambahan BB j. Monitor tanda dan gejala dari edema. Kolaborasi a. Pasang urin kateter jika diperlukan b. Kolaborasi pemberian diuretik sesuai instruksi c. Batasi masukan cairan pada keadaan hiponatremi dilusi dengan serum Na˂ 130 mEq/l d.Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih
muncul memburuk Nyeri berhubungan dengan obstruksi saluran kemih. NOC : 1. Tingkat kenyamanan 2. Pengendalian nyeri 3. Tingkat nyeri Kriteria Hasil : a.
Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik
non farmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri 9
c. Mampu mengenali nyeri (menggunakan skala nyeri, intensitas, frekuensi dan
tanda nyeri) NIC Mandiri
RASIONAL a. Respon nyeri sangat individual
Manajemen Nyeri
sehingga
1.
berbeda untuk masing-masing
Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
termasuk
lokasi
karakteristik
durasi
frekuensi
kualitas dan faktor presipitasi 2. Observasi reaksi
nonverbal
dari
ketidaknyamanan 3. Gunakan
terapeutik
untuk
penanganannyapun
individu. b. Komunikasi mapmpu
terapeutik
meningkatkan
rasa
percaya klien terhadap perawat komunikasi
mengetahui pengalaman nyeri pasien 4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau 6. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau 7. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan 8. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
sehingga dapat lebih kooperatif dalam
nyeri. c. Lingkungan
nyeri
relaksasi. d. Pengalihan
nyeri
yang
nyaman
nyeri
dengan
relaksasi dan distraksi dapat mengurangi nyeri yang sedang timbul. e. Pemberian analgetik yang tepat dapat membantu klien untuk
(farmakologi, nonfarmakologi dan inter personal) 11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi 12. Ajarkan tentang teknik non farmakologi 13. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri 14. Tingkatkan istirahat 15. Monitor penerimaan pasien tentang manajemen
manajemen
dapat membantu klien untuk
nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan 9. Kurangi faktor presipitasi nyeri 10. Pilih dan lakukan penanganan
program
beradaptasi f.
dan
mengatasi
nyeri. Tindakan evaluatif terhadap penanganan dijadikan pengananan
nyeri
dapat
rujukan
untuk
nyeri
yang
mungkin muncul berikutnya Administrasi Analgesik 1.
atau sedang berlangsung.
Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan
derajat nyeri sebelum pemberian obat. 2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi 3. Cek riwayat alergi 4. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali 5. Evaluasi efektifitas analgesik, tanda dan gejala 10
Kolaborasi 1. Berikan analgetik untuk mengurangi Nyeri 2. Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyerisecara teratur 3. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat. 4. Kolaborasikan
dengan
dokter
jika
ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil 5. Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu 6. Tentukan pilihan analgesik tergantung pilihan 7.
dan beratnya nyeri Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual dan muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa mulut. NOC 1. Status Nutrisi : Asupan makanan dan cairan. 2. Status Nutrisi : Asupan Nutrien 3. Pengendalian Berat Badan Kriteria Hasil : a. b. c. d. e.
Adanya peningkatan BB sesuai dengan tujuan BB ideal sesuai dengan tinggi badan Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi Tidak ada tanda-tanda malnutrisi Menunjukan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan f. Tidak terjadi penurunan BB yang berarti NIC RASIONAL 1. Manajemen Nutrisi Menentukan kalori
individu
dan
a. Kaji adanya alergi makanan kebutuhan nutrisi dalam pembatasan, b. Anjurkan pasien untuk meningkatkan dan mengidentifikasi rute paling intake efektif dan produknya, contoh 11
c. Anjurkan pasien untuk meningkatkan tambahan oral, makanan selang. d. protein dan vitamin C Defisiensi besi dapat terjadi bila e. Berikan substansi gula protein dibatasi, pasien anemi, atau f. Yakinkan diet yang dimakan gangguan fungsi GastroIntestinal mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi g. Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi) h. Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian i. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori j. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi k. Kaji kemampuan
pasien
untuk
mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan 2. Pemantauan Nutrisi 1. BB pasien dalam batas normal
2. Monitor
adanya
penurunan
berat
badan 3. Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan 4. Monitor interaksi anak atau orang tua selama makan 5. Monitor lingkungan selama makan 6. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan 7. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi 8. Monitor turgor kulit 9. Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah 10. Monitor mual dan muntah 11. Monitor kadar albumin, total protein, Hb dan kadar Ht 12. Monitor pertumbuhan
dan
perkembangan 13. Monitor pucat,
dan
kemerahan,
kekeringan jaringan konjungtiva 14. Monitor kalori dan intake nutrisi
12
Kolaborasi Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, dan retensi NOC 1. 2. 3. 4. 5.
Toleransi aktivitas Ketahanan Penghematan energi Kebugaran fisik Energi psikomotorik 6. Perawatan-Diri : aktivitas kehidupan sehari-hari 7. Perawatan diri : aktivitas kehidupan sehari-hari instrumental Kriteria Hasil: 1. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan RR 2. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri 3. Tanda-Tanda Vital normal 4. Energi psikomotor 5. Level kelemahan 6. Mampu berpindah : dengan atau bantuan alat 7. Status kardiopulmonari adekuat 8. Sirkulasi status baik 9. Status respirasi : pertukaran gas dan ventilasi adekuat NIC RASIONAL 1. Terapi Aktivitas 1. Menentukan sejauh mana a. Bantu klien untuk kemampuan klien dalam mengidentifikasi aktivitas melakukan aktivitas. yang mampu dilakukan 2. Mengetahui peningkatan V/S b. Bantu untuk memilih aktivitas terlalu mencolok atau tidak. konsisten yang sesuai dengan 3. Aktivitas memerlukan energy kemampuan fisik, psikologis yang cukup agar klien tidak dan sosisal lemah. c. Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk
aktivitas
yang diinginkan d. Bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda, kruk e. Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai f. Bantu klien untuk membuat 13
jadwal latihan diwaktu luang g. Bantu pasien/ atau keluarga
dalam
mengidentifikasi
kekurangan dalam beraktivitas h. Sediakan penguatan yang positif bagi yang beraktivitas i. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri j.
dan penguatan Monitor respon fisik, emosi,
sosial dan spiritual Kolaborasi Kolaborasi dengan Tenaga Rehabilitasi Medik dalam merencanakan program terapi yang tepat 2.8.4 Implementasi Tahapan keempat adalah implementasi keperawatan. Pada tahap ini perawat akan melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat. 2.8.5 Evaluasi Tahapan kelima adalah evaluasi keperawatan. Pada tahap ini perawat akan menilai tindakan keperawatan sesuai dengan kriteria hasil.
14
BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan Ginjal (Renal) adalah organ tubuh yang memiliki fungsi utama untuk menyaring dan membuang zat-zat sisa metabolisme tubuh dari arah dan menjaga keseimbangan cairan serta elektrolit (misalnya kalsium, natrium, dan kalium) dalam darah. Gagal ginjal adalah suatu kondisi dimana ginjal tidak dapat menjalankan fungsinya secara normal. Pada gagal ginjal akut terjadi penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba dalam waktu beberapa hari atau beberapa minggu dan ditandai dengan hasil pemeriksaan fungsi ginjal (Ureum dan kreatinin darah) dan kadar urea nitrogen dalam darah yang meningkat. Sedangkat pada gagal ginjal kronik, penurunan fungsi ginjal dapat berlangsung terus selam berbulan bulan atau bertahun tahun sampai ginjal tidak dapat berfungsi sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA 15
. Bararah, T., & Jauhar, M. (2013). Asuhan Keperawatan. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Singapura: Elsevier. Muttaqin Arif, Sari Kumala. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika Mubarak dkk. (2015). Standar Asuhan Keperawatan dan Prosedur Tetap dalam Praktik Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
16