BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Bencana dapat terjadi dimana saja dan kapan saja di seluruh penjuru dunia. Bencana dapat berdampak kepada individu, keluarga dan komunitas. Bencana adalah gangguan serius yang mengganggu fungsi komunitas atau penduduk yang menyebabkan manusia mengalami kerugian, baik kerugian materi, ekonomi atau kehilangan penghidupan yang mana berpengaruh terhadap kemampuan koping manusia itu sendiri. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan bencana, baik disebabkan oleh kejadian alam seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, letusan gunung berapi, banjir, angin putting beliung dan kekeringan, maupun yang disebabkan oleh ulah manusia dalam pengolahan sumber daya dan lingkungan (contohnya kebakaran hutan, pencemaran lingkungan, kecelakaan transportasi, kecelakaan industri, dan tindakan teror bom) serta konflik antar kelompok masyarakat (Departemen Kesehatan [DepKes], 2006). Bencana memiliki dampak yang sangat merugikan manusia. Rusaknya sarana dan prasarana fisik (perumahan penduduk, bangunan perkantoran, pelayanan kesehatan, sekolah, tempat ibadah, sarana jalan, jembatan dan lain-lain) hanyalah sebagian kecil dari dampak terjadinya bencana disamping masalah kesehatan seperti korban luka, penyakit menular tertentu, menurunnya status gizi masyarakat, stress, trauma dan masalah psikososial, bahkan korban jiwa. Bencana dapat pula mengakibatkan arus pengungsian penduduk ke lokasi-lokasi yang dianggap aman. Hal ini tentunya dapat menimbulkan masalah kesehatan baru di wilayah yang menjadi tempat penampungan pengungsi, mulai dari munculnya kasus penyakit dan masalah gizi serta masalah kesehatan reproduksi hingga masalah penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, penyediaan air bersih, sanitasi serta penurunan kualitas kesehatan lingkungan (DepKes, 2006). Kejadian bencana mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2012 terdapat 1.811 kejadian dan terus meningkat hingga pada tahun 2016 terdapat 1.986 kejadian bencana (Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB], 2013, Gaffar, 2015 ; BNPB, 2016). Sumatera Barat menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang menjadi 5 provinsi tertinggi kejadian bencana. Kondisi ini disebabkan karena 1
geografis Sumatera Bar at yang berada pada jalur patahan sehingga beresiko terhadap bencana, dan Kota Padang menjadi urutan pertama daerah yang paling beresiko tinggi (BNPB, 2014). Besarnya angka kejadian dan dampak yang ditimbulkan oleh bencana sehingga membutuhkan upaya penanggulangan. Penanggulangan bencana adalah upaya sistematis dan terpadu untuk mengelola bencana dan mengurangi dampak bencana, diantaranya penetapan kebijakan dalam bencana, pengelolaan resiko berupa usaha pencegahan dan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat serta upaya pemulihan berupa rehabilitasi dan rekontruksi.
Penanggulangan bencana oleh perawat pada
tahap tanggap darurat meliputi pengkajian secara cepat dan tepat terhadap korban bencana serta pemberian bantuan hidup dasar. Untuk memaksimalkan upaya penanggulangan bencana di bidang
kesehatan, pelayanan kesehatan harus
mempersiapkan tenaga kesehatan yang profesional. Tenaga kesehatan dalam sebuah rumah sakit yang paling banyak adalah perawat.
Perawat sebagai tenaga kesehatan
memiliki peran sebagai responden
pertama dalam menangani korban bencana di rumah sakit.
Semua perawat
mempunyai tanggung jawab dalam perencanaan dan keterlibatan dalam menangani korban. Perawat harus mengetahui apa yang akan mereka lakukan baik ketika mereka sedang bekerja atau tidak bekerja sewaktu bencana terjadi. Perawat harus mengetahui bagaimana memobilisasi bantuan, mengevakuasi pasien-pasien dan mencegah penyebaran bencana. Perawat juga harus mengenal diri mereka sendiri dan perencanaan-
perencanaan rumah sakit dalam mengatasi bencana Bencana dapat
terjadi secara tiba-tiba dan menyebabkan semua orang panik. Bencana dapat mengakibatkan kerusakan dari kecil sampai besar. Gedung- gedung, sistem infrastruktur dan lainnya akan mengalami kerusakan. Rusaknya fasilitas kesehatan, mengakibatkan terjadinya gangguan dalam pelayanan kesehatan disamping itu juga terdapat banyak korban dengan berbagai jenis cedera yang membutuhkan pertolongan segera mengatakan bahwa korban massal yang diakibatkan oleh bencana dapat menyebabkan gangguan pada pelayanan kesehatan. Untuk mengurangi dampaknya, maka perlu meningkatkan kepedulian terhadap bencana melalui tindak penyelamatan dan pertolongan bencana. Tindakan tersebut bertujuan untuk memberikan tanggap darurat yang efektif dan difokuskan pada pertolongan serta bantuan sementara untuk membantu korban segera setelah bencana terjadi. Perawat IGD yang berperan penting dalam tim penyelamatan saat bencana, secara terus menerus berjuang di garis depan 2
operasi penanggulangan bencana. Persiapan perencanaan penanggulangan bencana yang baik adalah kunci dari penanggulangan bencana yang efektif. Derajat kesiapan perawat IGD dalam menghadapi bencana secara langsung berhubungan dengan sukses atau tidaknya keperawatan bencana yang mana berpengaruh besar terhadap respon dan penyembuhan korban bencana di rumah sakit. IGD adalah garis depan dari respon bencana rumah sakit. IGD adalah titik kontak pertama untuk semua pasien yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Perawat IGD memiliki tanggung jawab utama untuk penilaian pasien, triase, dan pengobatan. Perawat harus mampu memberikan penanganan yang cepat, tepat dan aman serta dapat diakses secara mudah untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkan Perawat harus memiliki kompetensi untuk bisa beradaptasi dengan situasi bencana. Kompetensi berarti tindakan nyata pada peran tertentu dan situasi tertentu. Kompetensi dijelaskan juga sebagai kombinasi dari pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang dibutuhkan dalam sebuah pekerjaan
1.2 Rumusan masalah 1. Bagaimana Pre Hospital Management dan Triage pada pasien kegawatdaruratan ? 2. Bagaimana Kegawatdaruratan Bencana ? 3. Bagaimana Kejadian Luar Biasa ? 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui pre hospital management dan triage pada pasien kegawatdaruratan. 2. Untuk mengetahui kegawatdaruratan bencana. 3. Untuk memgetahui kejadian luar biasa.
BAB II 3
PEMBAHASAN 2.1
Pre Hospital Management dan Triage 1. Definisi Triage Triage adalah proses penolongan pasien berdasarkan tipe dan tingkat kegawatan kondisinya (Zimmermann dan Herr,2006). Triage juga di artikan sebagai suatu tindakan pengelompokan penderita berdasarkan pada beratnya cedera yang diprioritaskan ada tidaknya gangguan pada airway (A), breathing (B) dan circulation (C) dengan mempertimbangkan sarana sumber daya manusia, dan probabilitas hidup penderita. Jadi bisa di simpulkan definisi triage adalah tindakan menolong seseorang yang dalam kondisi gawat darurat dengan memperhatikan konsep ABC (jalan nafas, kebersihan jalan nafas dan si `rkulasi). 2. Tujuan Triage Mengidentifikasi kondisi yang mengancam nyawa. Memprioritaskan pasien menurut kondisi keakutannya. Menempatkan pasien sesuai dengan keakuatannya berdasarkan pada pengkajian yang tepat dan akurat. Menggali data yang lengkap tentang keadaan pasien. 3. Prinsip Triage Triage harus dilakukan dengan segera dan singkat. Kemampuan untuk menilai dan merespons dengan cepat kemungkinan yang dapat menyelamatkan pasien dari kondisi sakit atau cedera yang mengancam nyawa
dalam departemen gawat darurat. Pengkajian harus dilakukan secara adekuat dan akurat. Keakuaratan dan ketepatan data merupakan kunci dalam proses pengkajian. Keputusan dibuat berdasarkan pengkajian. Keselamatan dan keefektifan perawat pasien dapat direncakana jika terdapat data
dan informasi yang akurat dan adekuata. Intervensi yang dilakukan berdasarkan kondisi keakuatan pasien. Tanggung jawab yang paling utama dari proses triage yang dilakukan perawat adalah keakuatan dalam mengkaji pasien dan memberikan perawatan sesuai
dengan prioritas pasien. Tercapainya kepuasan pasien. Penempatan pasien yang benar pada tempat yang benar saat waktu yang benar
dengan penyedia pelayananan yang benar. 4. Klasifikasi Triage Prioritas didasarkan pada pengetahuan, data yang tersedia, dan situasi terbaru yang ada. Huruf atau angka yang sering digunakan antara lain sebagi berikut, Prioritas 1 atau emergency 4
Prioritas 2 urgent Prioritas 3 nonurgent 5. Banyak tipe dari klarifikasi triage yang digunakan pada pre-hospital ataupun hospital. A. Triage Pre-Hospital Triage pada musibah atau bencana dilakukan dengan tujuan bahwa dengan sumber daya yang minimal dapat menyelamatkan korban sebanyak mungkin. Pada musibah massal, jumlah korban puluhan atau mungkin ratusan, di mana penolong sangat
belum
mencukupi
baik
sarana
maupun
penolongnya
sehingga
dianjurkankan menggunakan teknik START. Hal pertama yang dapat lakukan pada saat di tempat kejadian bencana adalah berusaha untuk tenang, lihat sekeliling dan menyeluruh pada lokasi kejadian. Pengamatan visual memberikan kesan pertama mengenai jenis musibah, perkiraan jumlah korban, dan beratnya cedera korban. Pengamatan visual juga memberikan perkiraan mengenai jumlah dan tipe bantuan yang diperlukan untuk mengatsi situasi yang terjadi. Laporkan secara singkat pada cell center dengan bahasa yang jelas mengenai hasil dari pengkajian, meliputi halhal sebagi berikut. Lokasi kejadian. Tipe insiden yang terjadi. Adanya ancaman atau bahaya yang mungkin terjadi. Perkiraan jumlah pasien. Tipe bantuan yang harus diberikan. Komponen penting yang harus disiapkan diantaranya : 1) Sistem komunikasi Kejelasan kemana berita adanya kejadian gawat darurat disampaikan, akan memperpendek masa pra rumah sakit yang dialami penderita. Pertolongan yang datang dengan segera akan meminimalkan resiko-resiko penyulit lanjutan seperti syok hipovolemia akibat kehilangan darah yang berkelanjutan, hipotermia akibat terpapar lingkungan dingin dan sebagainya. Siapapun yang menemukan penderita pertama kali di lokasi harus tahu persis kemana informasi diteruskan. Problemnya adalah bagaimana masyarakat dapat dengan mudah meminta tolong, bagaimana cara membimbing dan mobilisasi sarana tranportasi (Ambulan), bagaimana kordinasi untuk mengatur rujukan, dan bagaimana komunikasi selama bencana berlangsung. 2) Pendidikan Penolong pertama seringkali orang awam yang tidak memiliki kemampuan menolong yang memadai sehingga dapat dipahami jika penderita dapat langsung meninggal ditempat kejadian atau mungkin selamat sampai ke 5
fasilitas kesehatan dengan mengalami kecacatan karena cara tranport yang salah. Penderita dengan kegagalan pernapasan dan jantung kurang dari 4-6 menit dapat diselamatkan dari kerusakan otak yang ireversibel. Syok karena kehilangan darah dapat dicegah jika sumber perdarahan diatasi, dan kelumpuhan dapat dihindari jika upaya evakuasi dan tranportasi cedera spinal dilakukan dengan benar. Karena itu orang awam yang menjadi penolong pertama harus menguasai lima kemampuan dasar yaitu : Menguasai cara meminta bantuan pertolongan Menguasai teknik bantuan hidup dasar (resusitasi jantung paru) Menguasai teknik mengontrol perdarahan Menguasai teknik memasang balut-bidai Menguasai teknik evakuasi dan tranportasi 3) Tranportasi Alat tranportasi yang dimaksud adalah kendaraannya, alat-alatnya dan personalnya. Tranportasi penderita dapat dilakukan melalui darat, laut dan udara. Alat tranportasi penderita ke rumah sakit saat ini masih dilakukan dengan kendaraan yang bermacam-macam kendaraan tanpa kordinasi yang baik. Hanya sebagian kecil yang ambulan,
itupun
dengan
ambulan
biasa
dilakukan
yang
dengan
tidak memenuhi
standar gawat darurat. Jenis-jenis ambulan untuk suatu wilayah dapat disesuaikan dengan kondisi lokal untuk pelayanan harian dan bencana.
4) Pendanaan Sumber pendanaan cukup memungkinkan karena system asuransi yang kini berlaku di Indonesia. Pegawai negeri punya ASKES, pegawai swasta
memiliki
jamsostek,
masyarakat
miskin
ASKESKIN. Orang berada memiliki asuransi jiwa. 5) Quality Control Penilaian, perbaikan dan peningkatan system
harus
mempunyai
dilakukan
secara periodic untuk menjamin kualitas pelayanan sesuai tujuan. B. Kategori Triage Triage dua tingkat. Dalam system dua tingkat, pasien dikategorikan sakit atau tidak sakit. Pasien yang sakit membutuhkan perawatan darurat dengan kondisi yang membahayakan nyawa, tubuh, atau organ. Sementara itu, pasien yang tidak
6
sakit ialah pasien yang tidak menunjukkan tanda-tanda serius, bisa menunggu
jika perawatan sedikit tertunda. Triage tiga tingkat. System ini banyak digunakan di Amerika Serikat. Pengategorian dapat ditentukan berdasarkan warna (merah, kuning, hijau). Atau pemberian nomer (kategori 1,2,3) tetapi pada dasarnya kategori tersebut merujuk pada kondisi di bawah ini. a) Gawat darurat b) Darurat c) Biasa
Triage empat tingkat. Penggunaan system ini dilakukan dengan menambahkan status live threatening (ancaman nyawa) selain status gawat darurat, darurat dan biasa. Triage lima tingkat. Saat ini, skala triage lima tingkat banyak digunakan di seluruh UGD rumah sakit di Amerika Serikat. Pada skala ini ada penambahan level yaitu tingkat 1 yang berarti gawat darurat tertinggi ‘dan 5 tingkat pasien dengan kondisi yang
paling ringan. C. Proses Triage Ketika perawat triage menemukan kondisi yang mengancam nyawa, pernapasan, atau sirkulasi dibawah ke ruang perawatan. Pada tindakan triage, terdapat istilah undertriage dan uptriage. Dua konsep kunci ini sangat penting untuk memahami proses triage. Undertriage adalah proses yang underestimating tingkat keparahan atau cedera, misalnya: pasien prioritas 1 (segera) sebagia prioritas 2 (tertunda) atau prioritas 3(minimal). Uptriage adalah proses overestimating tingkat individu yang telah mengalami sakit atau cedera, misalnya pasien prioritas 3 sebagai prioritas 2 (tertunda) atau prioritas 1 (segera). Tindakan awal perawat triage sebagai berikut. a) Memeriksa pasien. b) Mendengarkan suara yang tidak umum. c) Waspada terhadap baerbagai bau. d) Memutuskan apakah penangananan harus segera dilakukan. e) Memperhatikan pengontrolan infeksi dalam situasi apa pun. f) Membersihkan tangan dengan sabun atau pembersih tangan
7
2.2
Kegawatdaruratan Bencana 1) Definisi Bencana umumnya dikategorikan sesuai dengan penyebabnya, seperti penyabab alamiah, manusia, teknologi, ataupun konflik manusia. Berbagai definisi bencana dapat ditemukan di berbagai referensi. World Health Organization / WHO mendefinisikan bencana sebagai “suatu gangguan yang berdampak serius bagi fungsi komunitas atau masyarakat yang menimbulkan kehilangan dan kerugian besar dari segi manusia, materi, ekonomi, maupun lingkungan, dimana gangguan tersebut melebihi kemampuan komunitas atau masyarakat untuk mengatasinya dengan menggunakan sumber dayanya sendiri.” Definisi WHO (2010) di atas ruang lingkupnya meliputi bencana-bencana yang menimbulkan banyak korban dan juga bencana yang tidak menyebabkan bahaya ataupun penyakit bagi manusia. Dalam Pelayanan Kesehatan bencana juga didefinisikan sebagai “jumlah pasien yang ada dalam waktu tertentu, melebihi kapasitas unit gawat darurat untuk memberikan pelayanan dan mengakibatkan dibutuhkannya penambahan sumber daya manusia dan alat/barang dari luar unit gawat darurat tersebut.” Definisi ini tidak mencakup bencana-bencana di mana tidak ada pasien/korban yang selamat yang di bawa ke ruang gawat darurat. Banyak insiden, seperti kecelakaan pesawat, tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit korban yang selamat (penyintas). Bencana lainnya, seperti bencana teknologi, seringkali tidak menimbulkan kerugian atau penyakit bagi manusia sama sekali. Namun dalam system pelayanan kesehatan bencana jenis ini dapat memberikan dampak pada pasien yang kelangsungan hidupnya bergantung pada teknologi (seperti pada pasien yang terpasang ventilator atau mesin pompa intravena). Meskipun sebagian besar bencana terkait teknologi, seperti pemadaman jaringan listrik masal atau gangguan system computer, tidak secara langsung mencederai atau menimbulkan penyakit, bencana jenis ini dapat memiliki efek tidak langsung yang cukup serius terhadap nyawa manusia, terutama berdampak bagi pasien yang kelangsungan hidupnya bergantung pada teknologi. Indonesia sebagai Negara yang terletak di area lempeng tektonik dan rangkaian gunung api yang aktif, memiliki jumlah penduduk yang banyak dan perkembangan industi yang memakai teknologi tinggi, sangat rentan terhadap kemungkinan
yang
bencana,indonesia
terjadi
memilikin
bencana.
Dalam
undang-undang
no
pendekatan 24
tahun
menghadapi 2007
tentang 8
Penanggulangan bencana. Menurut UU no 24 tersebut bencana,dinyatakan sebagai rangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,kerusakan lingkungan,kerugian harta benda,dan dampak psikologis. Bencana dalam UU no 24 tahun 2007 dibagi menjadi bencana alam,non alam,dan bencna sosial. Tahapan bencana di bagi menjadi ; tahap pencegahan,tahap tanggap darurat,dan tahap rehabilitasi rekonstruksi. Kegiatan penanganan bencana dilakukan sesuai dengan tahapan bencana dengan titik berat pada pencegahan bencana. Tahapan dan kegiatan penanganan bencana ,meliputi : 1. Tahap pencegahan bencana,merupakan
kegiatan
yang
dilakukan
untuk
menghilangkan dan atau mengurangi ancaman bencana. Kegiatan ini dalam UU bencana di bagi dalam pencegahan dan mitigasi serta kesiap siagaan bencana. 2. Tahap tanggap darurat,merupakan kegiatan yang dilakukan dengan segera saat bencana
untuk
mengurangi
dampak
bencara
antara
lain
;
evakuasi,penyelamatan,pengobatan korban bencana ,pengungsian serta pemulihan sarana dan prasarana. 3. Tahap rehabilitasi dan rekontruksi.yaitu rehabilitasi untuk pemulihan semua aspek pelayanan dan kondisi masyarakat serta rekonstruksi untuk pembangunan kembali sarana prasarana agar masyarakat berfungsi kembali. 2) Keperawatan Bencana Indonesia negara yang rentan terjadi bencana harus memiliki tenaga kesehatan yang mampu melakukan pelayanan untuk mengurasi resiko bencana. mengurangi risiko bencana. Perawat memiliki kemampuan dalam memberikan pelayanan penatalaksanaan bencana disemua tahap bencana melalui kegiatan keperawatan. Pelaksanaan program pemerintahan dan kordinasi dengan para pihak terkait penanganan bencana. Dalam setiap tahap kegiatan penatalaksanaan bencana ini, perawat melakukan kegiatan keperawatan bencana melalui perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan, educator kesiapsiagaan bencana, kordinator dan pengembang program penanganaan bencana, serta sebagai peneliti. Kegiatan edukasi terkait kesiapsiagaan bencana dilakukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat antara lain berfokus tentang: a. Pencegahan banjir, penggundulan dan kebakaran hutan b. Peningkatan kewaspadaan dan pemahaman deteksi dini bencana 9
c. Persiapan evakuasi jika ada peringatan bencana d. Persiapan diri dan keluarga untuk barang cadangan; air minum, makanan, dan caramengatasi masalah kesehatan dalam kondisi bencana e. Persiapan diri dan keluarga untuk memiliki ketahanan kembali secara optimal setelah bencana ( ketahanan individu dan keluarga menghadapi bencana ) Kegiatan perawat selama tahap respons bencana seringkali pelayanannya berpusat pada pemberian asuhan terhadap pasien yang mengalami cedera fisik, penyakit, dan respons emosional terhadap kejadian tersebut. Untuk memberikan asuhan untuk korban bencana, perawat dan tenaga kesehatan lainnya harus memahami penatalaksanaan bencana seperti mitigasi, perencanaan, tanggap darurat, dan pemulihan. Tidak semua kejadian bencana menyebabkan korbannya dirawat di UGD rumah sakit setempat. Suatu bencana besar mungkin saja berdampak terhadap infrastruktur rumah sakit ataupun lingkungan di mana rumah sakit tersebut berada. Bencana yang tidak menimbulkan kerusakan infrastuktur sistem komputer, gangguan jaringan listrik atau air rumah sakit, atau kerusakan jaringan telepon rumah sakit. Bencana- bencana yang menimbulkan korban jiwa seringkali terjadi pada bencana alam sebagai contoh: Tsunami Aceh 2004 yang menimbulkan korban jiwa dan hilang sekitar 200.000 jiwa, gempa bumi di Yogyakarta 2006 menimbulkan 1.029 korban jiwa dan hilang, gempa bumi Padang tahun 2009 menimbulkan korban jiwa sekitar 1.117 orang. Bencana yang diakibatkan oleh tangan manusia contohnya peristiwa 11 September 2001, serangan teroris di New York dan Washington DC, pemboman di Bali 2002, dan pemboman kereta di Madrid 2004. Bencana yang diakibatkan oleh manusia tersebut memiliki dampak langsung terhadap sistem pelayanan kesehatan, dan seringkali hingga menyebabkan penuhnya fasilitas- fasilitas pelayanan kesehatan yang terdekat dengan lokasi kejadian. Prinsip dasar keperawatan umumnya sama untuk kejadian bencana, kejadian yang menimbulkan korban masal ( mass casualty incident/MCL), kejadian khusus, atau bahkan bencana- bencana yang berasal dari kelalaian, faktor alam, kejadian khusus, ataupun terorisme. Waktu tanggap yang cepat ( response time ) merupakan prinsip /faktor penting dikarenakan banyaknya nyawa yang dapat diselamatkan lewat triase bencana dan pembuatan keputusan cepat yang memungkinkan diberikannya penanganan 10
darurat pada pasien dengan kondisi atau cedera paling parah/kritis. Prinsip melakukan yang terbaik terhadap sebanyak- banyaknya korban bencana, pada kondisi sumber daya terbatas merupakan hal yang sering terjadi di keperawatan saat mendapatkan kejadian korban masal, bencana, ataupun kejadian khusus berskala besar. Pada tahap rehabilitasi, pemulihan individu dan keluarga dapat dilakukan dengan bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan fisik ( makanan, minuman, perumahan) dan pemulihan kondisi kesehatan individu yang sakit, selanjutnya dilanjutkan untuk memulihkan fisik dan psikologis agar mereka dapat kembali kekehidupan normal sebeluum terjadinya wabah penyakit akibat sanitasi dan lingkungan yang buruk akibat bencana. Kelompok berisiko, antara lain; anakanak, orang tua, orang dengan kebutuhan khusus, ibu hamil, penderita penyakit menahan perlu mendapat pelayanan khusus agar kebutuhan spesifik mereka dapat segera dipenuhi dengan lebih baik disaat pemulihan bencana. 3) Faktor-faktor Penyebab Bencana Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh ulah manusia (man-made disaster). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana antara lain: (a) Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made hazards) yang menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation) (b) Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam kota/ kawasan yang berisiko bencana (c) Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera - Jawa – Nusa Tenggara – Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan 11
tanah longsor. Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold, 1986). Gempa bumi yang disebabkan karena interaksi lempeng tektonik dapat menimbulkan gelombang pasang apabila terjadi di samudera. Dengan wilayah yang sangat dipengaruhi oleh pergerakan lempeng tektonik ini, Indonesia sering mengalami tsunami. Tsunami yang terjadi di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik aktif lainnya (Puspito, 1994). Selama kurun waktu 1600–2000 terdapat 105 kejadian tsunami yang 90 persen di antaranya disebabkan oleh gempa tektonik, 9 persen oleh letusan gunung berapi dan 1 persen oleh tanah longsor (Latief dkk., 2000). Wilayah pantai di Indonesia merupakan wilayah yang rawan terjadi bencana tsunami terutama pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara Irian Jaya dan hampir seluruh pantai di Sulawesi. Laut Maluku adalah daerah yang paling rawan tsunami. Dalam kurun waktu tahun 1600–2000, di daerah ini telah terjadi 32 tsunami yang 28 di antaranya diakibatkan oleh gempa bumi dan 4 oleh meletusnya gunung berapi di bawah laut. Wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu panas dan hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang relatif beragam, baik secara fi sik maupun kimiawi, menghasilkan kondisi tanah yang subur. Sebaliknya, kondisi itu dapat menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia seperti terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan. Seiring dengan berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia, kerusakan lingkungan hidup cenderung semakin parah dan memicu meningkatnya jumlah kejadian dan intensitas bencana hidrometeorologi (banjir, tanah longsor dan kekeringan) yang terjadi secara silih berganti di banyak daerah di Indonesia. Pada tahun 2006 saja terjadi bencana tanah longsor dan banjir bandang di Jember, Banjarnegara, Manado, Trenggalek dan beberapa daerah lainnya.
12
Meskipun pembangunan di Indonesia telah dirancang dan didesain sedemikian rupa dengan dampak lingkungan yang minimal, proses pembangunan tetap menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem. Pembangunan yang selama ini bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam (terutama dalam skala besar) menyebabkan hilangnya daya dukung sumber daya ini terhadap kehidupan mayarakat. Dari tahun ke tahun sumber daya hutan di Indonesia semakin berkurang, sementara itu pengusahaan sumber daya mineral juga mengakibatkan kerusakan ekosistem yang secara fisik sering menyebabkan peningkatan risiko bencana. Pada sisi lain laju pembangunan mengakibatkan peningkatan akses masyarakat terhadap ilmu dan teknologi. Namun, karena kurang tepatnya kebijakan penerapan teknologi, sering terjadi kegagalan teknologi yang berakibat fatal seperti kecelakaan transportasi, industri dan terjadinya wabah penyakit akibat mobilisasi manusia yang semakin tinggi. Potensi bencana lain yang tidak kalah seriusnya adalah faktor keragaman demografi di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2004 mencapai 220 juta jiwa yang terdiri dari beragam etnis, kelompok, agama dan adat-istiadat. Keragaman tersebut merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki bangsa lain. Namun karena pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak diimbangi dengan kebijakan dan pembangunan ekonomi, sosial dan infrastruktur yang merata dan memadai, terjadi kesenjangan pada beberapa aspek dan terkadang muncul kecemburuan sosial. Kondisi ini potensial menyebabkan terjadinya konfl ik dalam masyarakat yang dapat berkembang menjadi bencana nasional. 4) Ancaman Bencana di Indonesia Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Data bencana dari BAKORNAS PB menyebutkan bahwa antara tahun 2003-2005 telah terjadi 1.429 kejadian bencana, di mana bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang paling sering terjadi yaitu 53,3 persen dari total kejadian bencana di Indonesia. Dari total bencana hidrometeorologi, yang paling sering terjadi adalah banjir (34,1 persen dari total kejadian bencana di Indonesia) diikuti oleh tanah longsor (16 persen). Meskipun frekuensi kejadian bencana geologi (gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi) hanya 6,4 persen, bencana ini telah 13
menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang besar, terutama akibat gempa bumi yang diikuti tsunami di Provinsi NAD dan Sumut tanggal 26 Desember 2004 dan gempa bumi besar yang melanda Pulau Nias, Sumut pada tanggal 28 Maret 2005. 5) Konsep Dan Kompetensi Keperawatan Bencana Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan bencana dapat melakukan program- program untuk meningkatkan ketahanan masyarakat ( community resilience ) terhadap bencana. Community resilience atau ketahanan masyarakat dapat dijabarkan sebagai kapasitas masyarakat/sistem untuk mengatasi gangguan, bergerak dinamis terhadap perubahan, dan memperhatikan semua fungsi penting, struktur, identitas, dan masukan. Ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana adalah kemampuan dari masyarakat/institusi untuk mengatasi gangguan yang terjadi akibat bencana, melakukan adaptasi terhadap permasalahan dan keterbatasan yang ada dan tetap mempertahankan fungsi social, spiritual, dan ekonomi masyarkat/institusi tersebut. Ketahanan masyarakat terhadap bencana juga berdampak pada semakin meningkatnya kemampuan masyarakat/institusi dalam menghadapi bencana setiap saatnya. Dalam meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana lebih ditekankan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat secara luas, baik masyarakat dalam komunitasnya maupun masyarakat dalam institusi/lembaga seperti rumah sakit, sekolah, dan lainnya . perawat berperan menjadi katalisator tumbuhnya kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana. Peran perawat bencana harus selalu dilakukan, dalam kondisi tidak terjadi bencana maka penekanan dilakukan untuk edukasi dan pengembangan program/kebijakan yang tepat. Ketika terjadi bencana perawat memiliki kemampuan melakukan asuhan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok berisiko dan masyarakat di daerah bencana, serta melakukan kordinasi. Tahap rehabilitasi ditunjukan untuk mampu mengembalikan/meningkatkan kualitas kesehatan.
14
Kompetensi fase pencegahan/ mitigasi
Pengurangan risiko, pencegahan penyakit, dan promosi kesehatan
Pembentukan kebijakan dan perencanaan
Kompetensi fase kesiapsiagaan
Kompetensi fase tanggap darurat
Pembentukan kode etik, legal, dan akuntabilitas
Komunikasi dan penyebaran informasi
Edukasi dan kesiapsiagaan
Kompetensi fase pemulihan/ rehabilitasi
Pelayanan komunitas
Pelayanan individu dan keluarga
Pemulihan individu, keluarga, dan masyarakat jangka panjang
Pelayanan psikologis
Pelayanan kelompok rentan
Gambar 51-1 Framework kompetensi ICN Masyarakat didaerah terkena bencana. Kompetensi perawat bencana indonesia terlah dikembangkan berdasarkan dari kompetensi perawat bencana ICN memiliki empat pilar : 15
1. 2. 3. 4.
Kemampuan melakukan tindakan pencegahan/mitigasi Kemampuan kesiapsiagaan Kemampuan melakukan pelayanan saat tanggap darurat dan Kemampuan melakukan rehabilitasi pada individu, keluarga, dan masyarakat Keempat pilar kompetensi ICN selanjutnya dijelaskan pada gambar 51-1
framework kompetensi ICN . Keempat pilar kompetensi ICN selanjutnya dalamkonteks kompetensi perawat indonesia, diintegrasikan dengan spek : 1. Etika, legal dan peka budaya 2. Praktik asuhan keperawatan, dan 3. Profesionalisme yang sesuai dengan aturan indonesia
Mitiga si
Pemulihan
Manajemen/pen gelolaan kegawatdarurata n
Kesiapsiagaa n
Tanggap darurat
Gambar 51-2 Empat Fase Manajemen Kegawatdaruratan 6) Manajemen Kegawat Daruratan Krisis Kejadian kegawatdaruratan/krisis dapat menjadi ancaman bagi seluruh organisasipelayanan kesehatan. Sejak tahun 2008 telah mewajibkan rumah sakit untuk memenuhi standart manajemen kegawatdaruratan terbaru, yang terpisah dan berbeda dengan standart Lingkungan pelayanan kesehatan. Standart manajemen kegawatdaruratan ini sesuai dengan empat fase manajemen kegawatdaruratan, yaitu : mitigasi,kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan (lihat Gambar 51-2) Manajemen
kegawatdaruratan
ini
bertujuan
untuk
mengurangi
atau
menghindari potensi kehilangan, termasuk kehilangan nyawa dan benda, dari potensi kemungkinan bencana atau kejadian bencana sesungguhnya. Empat fase 16
manajemen kegawatdaruratan tersebut menggambarkan proses berkelanjutan dimana suatu organisasi pelayanan kesehatan merencanakan dan mengurangi dampak bencana, bertindak saat dan segera setelah terjadinya bencan, dan mengambil langkah untuk pemulihan pasca terjadinya bencana. Tindakan yang tepat pada semua tahapan siklus akan berdampak pada :
kesiapsiagaan yang lebih baik peringatan yang lebih baik mengurangi kerentanan pencegahan bencana (lihat tabel 51-1)
TABEL 51-1
EMPAT FASE MANAJEMEN KEGAWAT DARURATAN BESERTA TINDAKANYA
MITIGASI Dilakuakan sebelum dan sesudah kejadian kegawatdaruratan
Segalah kegiatan yang bertujuan baik untuk mencegah kegawatdaruratan atau meminimalkan munculnya efek yang tidak di inginkan dari kegawatdaruratan tersebut, termasuk penetapan zona dan pembangunan gedung yang sesui dengan kode dan aturan serta menaati peraturan penggunaan tanah. Tindakan: membeli asuransi banjir dan kebakaran untuk rumah, menempatkan kamera keamanan disekitar rumah sakit, dan memasang jendela anti badai merupakan contoh kegiatan mitigasi.
KESIAPSIAGAAN Dilakukan sebelum kegawatdaruratan
Semua kegiatan, program dan sistemyang ada sebelum kegawatdaruratan terjadi dan digunakan untuk mendukung dan meningkatkan respon terhadap kegawatdaruratan atau bencana. Edukasi masyarakat, pemecahan dan pelatihan merupakan contoh kegiatan yang dilakukan 17
dalam fase ini. Tindakan: rencana evakuasi dan menyimpan persediaan makanan dan air merupakan contoth dari kesiapsiagaan. TANGGAP DARURAT Dilakukan selamakegawatdaruratan berlansung
Seluruh kegiatan dan program yang bertujuan untuk mengatasi efek lansung suatu kegawatdaruratan atau bencana, ntuk mengurangi korban dan kerusakan, serta pemulihan yang cepat. Koordinasi, peringatan dan evakuasi dan pelayanan masyarakat merupakan contoh dari tanggap darurat. Tindakan: mencari tempat perlindungan dari tornado atau mematikan gas ketika gempa bumi adalah contoh kegiatan tanggap darurat.
PEMULIHAN
Segala kegiatan yang meliputi pengembalian
Dilakukan setelah kegawatdaruratan
sistem-sistem menjadi normal. Pemulihan dilakukan untuk mengkaji tingkat kerusakan dan mengembalian sistem pendukung vital kehidupan menjadi standar operasional minimal, pemulihan jangka panjang mungkin berlangsung selama bertahun-tahun. Tindakan: mendapat bantuan finansial untuk membayar perbaikan atau pembersihan puing-puing adalah kegiatan pemulihan.
Siklus manajemen bencana yang utuh meliputi pembentukan kebijakan dan perencanaan fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat mengurangi penyebab bencana atau memitigasi efeknya terhadap menusia, benda dan infrastruktur rumah sakit dan komunitas. Fase mitigasi dan kesiapsiagaan timbul saat pengembangan manjemen bencana dilakuakan untuk mengantisipasi kejadian bencana. Hal-hal yang harus di 18
petimbangkan saat membuat managemen kegawatdaruratan penting dalam konstribusi terhadap mitigasi dan persiapan sistem pelayanan kesehatan untuk menghadapi bencana secara efektif. Empat fase manajemen kegawatdaruratan tidak terjadi secara terpisah atau secara berurutaan. Pada banyak kesempatan, fase-fase tersebut saling tumpang tindih dan lamanya suatu fase sangat bergantung pada derajat keparahan suatu bencana. Mengingat pentingya keempat fae manajemen kegawatdaruratan ini, unit ini akan membahas masing-masing fase secaa mendalam. 2.3
Kejadian Luar Biasa 1. Definisi Kejadian Luar Biasa (KLB) Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.
1501/MENKES/PER/X/2010, Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah. Selain itu, Mentri Kesehatan RI (2010) membatasi pengertian wabah sebagai berikut: “Kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka”. Istilah wabah dan KLB memiliki persamaan, yaitu peningkatan kasus yang melebihi situasi yang lazim atau normal, namun wabah memiliki konotasi keadaan yang sudah kritis, gawat atau berbahaya, melibatkan populasi yang banyak pada wilayah yang lebih luas. 2. Kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB) Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.
1501/MENKES/PER/X/2010, suatu derah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau
tidak dikenal pada suatu daerah. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu
dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis
penyakitnya. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per bulan dalam tahun sebelumnya. 19
Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata
jumlah kejadian kesakitan perbulan pada tahun sebelumnya. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya
dalam kurun waktu yang sama. 3. Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB) Menurut Notoatmojo (2003), faktor yang mempengaruhi timbulnya Kejadian Luar Biasa adalah: a) Herd Immunity yang rendah Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya KLB/ wabah adalah herd immunity. Secara umum dapat dikatakan bahwa herd immunity ialah kekebalan yang dimiliki oleh sebagian penduduk yang dapat menghalangi penyebaran. Hal ini dapat disamakan dengan tingkat kekebalan individu.Makin tinggi tingkat kekebalan seseorang, makin sulit terkena penyakit tersebut. b) Patogenesitas Patogenesitas merupakan kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada pejamu sehingga timbul sakit. c) Lingkungan Yang Buruk Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organism, tetapi mempengaruhi kehidupan ataupun perkembangan organisme tersebut 4. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penanggulanagn dilakukan melalui kegiatan yang secara terpadu oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, meliputi: Penyelidikan epidemilogis Penyelidikan epidemiologi pada Kejadian Luar Biasa adalah untuk mengetahui keadaan penyebab KLB dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kejadian tersebut, termasuk aspek sosial dan perilaku sehingga dapat diketahui cara penanggulangan dan pengendaian yang
efektif dan efisien (Anonim, 2004 dalam Wuryanto, 2009). Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina. Tujuannya adalah: 20
1) Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar sembuh dan mencegah agar mereka tidak menjadi sumber penularan. 2) Menemukan dan mengobati orang yang tampaknya sehat, tetapi mengandung penyebab penyakit sehingga secara potensial dapat
menularkan penyakit (carrier). Pencegahan dan pengendalian Merupakan tindakan yang dilakukan untuk memberi perlindungan kepada orang-orang yang belum sakit, tetapi mempunyai resiko terkena penyakit agar
jangan sampai terjangkit penyakit. Pemusnahan penyebab penyakit Pemusnahan penyebab penyakit terutama pemusnahan terhadap bibit penyakit/kuman dan hewan tumbuh-tumbuhan atau benda yang mengandung
bibit penyakit. Penanganan jenazah akibat wabah Terhadap jenazah akibat penyebab wabah perlu penanganan secara khusus menurut jenis penyakitnya untuk menghindarkan penularan penyakit pada
orang lain. Penyuluhan kepada masyarakat Penyuluhan kepada masyarakat, yaitu kegiatan komunikasi yang bersifat persuasif edukatif tentang penyakit yang dapat menimbulkan wabah agar mereka mengerti sifat-sifat penyakit, sehingga dapat melindungi diri dari penyakit tersebut dan apabila terkena, tidak menularkannya kepada orang lain. Penyuluhan juga dilakukan agar masyarakat dapat berperan serta aktif dalam
menanggulangi wabah. Upaya penanggulangan lainnya Upaya penanggulangan lainya adalah tindakan-tindakan khusus masingmasing penyakit yang dilakukan dalam rangka penanggulangan wabah. (Menteri Kesehatan RI, 2010)
21
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan Triage adalah proses penolongan pasien berdasarkan tipe dan tingkat kegawatan kondisinya (Zimmermann dan Herr,2006). Triage juga di artikan sebagai suatu tindakan pengelompokan penderita berdasarkan pada beratnya cedera yang diprioritaskan ada tidaknya gangguan pada airway (A), breathing (B) dan circulation (C) dengan mempertimbangkan sarana sumber daya manusia, dan probabilitas hidup penderita. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan bencana dapat melakukan program- program untuk meningkatkan ketahanan masyarakat ( community resilience ) terhadap bencana. Community resilience atau ketahanan
masyarakat
dapat
dijabarkan
sebagai
kapasitas
masyarakat/sistem untuk mengatasi gangguan, bergerak dinamis terhadap perubahan, dan memperhatikan semua fungsi penting, struktur, identitas, dan masukan. 3.2 Saran Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber – sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung
jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain akan kami jelaskan tentang daftar pustaka makalah
22
DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organization . (2010). Appendic Definiton of term. Retrievedfromhttp://www.wpro.who.int/NR/rdon/4FAEFE0B-0194-40FC-A1F77BA9CC96F0CD/0/44finalDefinitions2010.pdf 2. Undang Undang Republik Indonesia No.24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencacana 3. Badan Nasional Pnanggulangan Bencana (2011). Panduaan Perencanann Kontijensi Menghadapi Bencana (edisi kedua). Diunduh dari http://www.bnpb.go.id/ViewerJS/uploads/migrations/pubs/501.pdf 4. Departemen Kesehatan RI (2007). Pedoman Tknis Penanggulangan Krisi Kesehatan Akibat Bencana. Jakarta 5. Plough A, et al, Building Community Disaster Resilience: Prespectives From a Large Urban Country Departemen ofPublic Health. Am J Public Health. 2013; Jully 103(7): 1190-97. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc 6. World Helath Organization and International Council of Nurses. (2009). ICN Framework of Disaster Nursing Competencies 7. The Join Commission. (2010). 2011hospital acreditation strandart, Oak Brook, II: Joint Commission Resources. 8. C. Long Barbara. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung. 9. Nurjannah, dkk. 2013. Manajemen Bencana. Penerbit Alfa Beta, Bandung.
23