Isal.docx

  • Uploaded by: Malikul Mulki
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Isal.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,187
  • Pages: 47
PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

CIVIL ENGINEERING BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Tujuan

1.1.1. Latar Belakang Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi fungsi dasar dari jalan yaitu memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu lintas dan sebagai akses ke rumah-rumah. Dasar dari perencanaan geometrik jalan adalah sifat gerakan, ukuran kendaraan, sifat pengemudi dalam mengendalikan gerak kendaraannya dan karakteristik arus lalu lintas. Hal-hal tersebut haruslah menjadi bahan pertimbangan perencana sehingga dihasilkan bentuk dan ukuran jalan serta ruang gerak kendaraan yang memenuhi tingkat kenyamanan dan keamanan yang diharapkan. Geometrik jalan yang didesain dengan mempertimbangkan masalah keselamatan dan mobilitas mempunyai kepentingan yang saling bertentangan, oleh karena itu kedua pertimbangan tersebut harus diseimbangkan. Mobilitas yang dipertimbangkan tidak saja menyangkut mobilitas kendaraan bermotor tetapi juga mobilitas kendaraan tidak bermotor dan pejalan kaki. 1.1.2. Tujuan Tujuan dari Tugas Besar Perancangan Geometrik Jalan adalah : 1. Dapat mendesain geometrik jalan sesuai dengan aturan standar yang berlaku di Indonesia. 2. Dapat merencanakan jalan yang didasarkan kepada kebutuhan dan analisa pengaruh jalan terhadap perkembangan wilayah sekitar. 3. Dapat merencanakan jalan yang berorientasi pada efisiensi tingkat pelayanan jalan dengan mengutamakan faktor kenyamanan dan keselamatan pengguna jalan. 4. Dapat menghasilkan desain geometrik jalan yang memaksimalkan rasio tingkat penggunaan biaya pelaksanaan.

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

1.2. Teori Pendukung 1.2.1. Bagian-bagian Jalan Menurut Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan, bagianbagian jalan terdiri atas : 1. Ruang Manfaat Jalan (Rumaja) Ruang manfaat jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasai oleh lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu. Ruang manfaat jalan meliputi badan jalan, median, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, gorong-gorong, dan bangunan pelengkap lainnya. Dalam rangka menunjang pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan serta pengamanan konstruksi jalan, badan jalan dilengkapi dengan ruang bebas. Lebar ruang bebas yang dimaksud sesuai dengan lebar badan jalan. Tinggi ruang bebas bagi jalan arteri dan jalan kolektor paling rendah 5 meter. Sedangkan kedalaman ruang bebas paling rendah 1,5 meter dari permukaan jalan. Saluran tepi jalan adalah saluran yang diperuntukkan bagi penampungan dan penyaluran air agar badan jalan bebas dari pengaruh air. Ukuran saluran tepi jalan ditetapkan sesuai dengan lebar permukaan jalan dan keadaaan lingkungan. Saluran tepi jalan juga dapat diperuntukkan sebagai saluran lingkungan. Ambang pengaman jalan dapat berupa bidang tanah dan/atau konstruksi bangunan pengaman yang berada di antara tepi badan jalan dan batas ruang manfaat jalan yang hanya diperuntukkan bagi pengamanan konstruksi jalan. 2. Ruang Milik Jalan (Rumija) Ruang milik jalan terdiri dari ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan. Ruang milik jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan, pelebaran jalan, dan penambahan jalur lalu lintas di masa akan datang serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan. Adapun sejalur tanah tertentu yang dimaksud dapat dimanfaatkan sebagai ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai lansekap jalan. Ruang milik jalan paling sedikit memiliki lebar sebagai berikut : a) jalan bebas hambatan 30 m; b) jalan raya 25 m; c) jalan sedang 15 m; d) jalan kecil 11 m. 3. Ruang Pengawasan Jalan (Ruwasja)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

CIVIL ENGINEERING

Ruang pengawasan jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang penggunaanya ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan yang diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan serta pengamanan fungsi jalan yang di batasi oleh lebar dan tinggi tertentu. Jika ruang milik jalan tidak cukup luas, lebar luar pengawasan jalan ditentukan dari tepi badan jalan paling sedikit dengan ukuran sebagai berikut : a. Jalan arteri primer 15 m b. Jalan kolektor primer 10 m c. Jalan lokal primer 7 m d. Jalan lingkungan primer 5 m e. Jalan arteri sekunder 15 m f. Jalan kolektor sekunder 5 m g. Jalan lokal sekunder 3 m h. Jalan lingkungan sekunder 2 m i. Jembatan 100 m ke arah hilir dan hulu 4. Gambar Hubungan antara Rumaja, Rumija, dan Ruwasja

Gambar 1.1. Hubungan antara Rumaja, Rumija, dan Ruwasja Sumber : TPGJK No.038/TBM/1997

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Beberapa istilah - istilah yang perlu diketahui adalah sebagai berikut (Perencanaan Geometrik jalan antar kota, 1997) 1) Badan Jalan adalah bagian jalan yang meliputi seluruh jalur lalu lintas, median, dan bahujalan. 2)

Bahu Jalan adalah bagian daerah manfaat jalan yang berdampingan dengan jalur lalu lintas untuk menampung kendaraan yang berhenti, keperluan darurat, dan untuk pendukung samping bagi lapis pondasi bawah, lapis pondasi, dan lapis permukaan.

3)

Batas Median Jalan adalah bagian median selain jalur tepian, yang biasanya ditinggikan dengan batu tepi jalan.

4)

Daerah di Luar Kota adalah, daerah lain selain daerah perkotaan.

5) Ruang Manfaat Jalan (Rumaja) adalah daerah yang meliputi seluruh badan jalan, saluran tepi jalan dan ambang pengaman. 6) Ruang Milik Jalan (Rumija) adalah daerah yang meliputi seluruh daerah manfaat jalan dan daerah yang diperuntukkan bagi pelebaran jalan dan penambahan jalur lalu lintas di kemudian hari serta kebutuhan ruangan untuk pengaman jalan. 7) Ruang Pengawasan Jalan (Ruwasja) adalah lajur lahan yang berada di bawah pengawasan penguasa jalan, ditujukan untuk penjagaan terhadap terhalangnya pandangan bebas pengemudi kendaraan bermotor dan untuk pengamanan konstruksi jalan dalam hal ruang daerah milik jalan tidak mencukupi. 8) Daerah Perkotaan adalah daerah kota yang sudah terbangun penuh atau areal pinggiran kota yang masih jarang pembangunannya yang diperkirakan akan menjadi daerah yang terbangun penuh dalam jangka waktu kira-kira 10 tahun mendatang dengan proyek perumahan, industri, komersil, dan berupa pemanfaatan lahan lainnya yang bukan untuk pertanian. 9) Ekivalen Mobil Penumpang (emp) adalah faktor dari berbagai kendaraan dibandingkan terhadap mobil penumpang sehubungan dengan pengaruhnya kepada kecepatan mobil penumpang dalam arus lalu lintas campuran. 10) Faktor-K adalah faktor berupa angka yang memperbandingkan volume lalu lintas per jam yang didasarkan pada jam sibuk ke 30-200 dengan volume lalu lintas harian rata rata tahunan.

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

11) Faktor F adalah faktor variasi tingkat lalu lintas per 15 menit dalam satu jam, ditetapkan berdasarkan perbandingan antara volume lalu lintas dalam satu jam dengan 4 kali tingkat volume lalu lintas per 15 menit tertinggi. 12) Jalan Antar Kota adalah jalan jalan yang menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi dengan ciri-ciri tanpa perkembangan yang menerus pada sisi mana pun termasuk desa, rawa, hutan, meskipun mungkin terdapat perkembangan permanen, misalnya rumah makan, pabrik, atau perkampungan. 13) Jarak Pandang (Jr) adalah, jarak di sepanjang tengah-tengah suatu jalur dari mata pengemudi ke suatu titik di muka pada garis yang sama yang dapat dilihat oleh pengemudi. 14) Jarak Pandang Mendahului (Jd), adalah jarak pandang yang dibutuhkan untuk dengan aman melakukan gerakan menyiap dalam keadaan normal. 15) Jarak Pandang Henti (JP) adalah jarak pandang ke depan untuk berhenti dengan aman bagi pengemudi yang cukup mahir dan waspada dalam keadaan biasa. 16) Jarak Pencapaian Kemiringan adalah panjang jalan yang dibutuhkan untuk mencapai perubahan kemiringan melintang normal sampai dengan kemiringan penuh. 17) Jalur adalah suatu bagian pada lajur lalu lintas yang ditempuh oleh kendaraan bermotor (beroda 4 atau lebih) dalam satu jurusan. 18) Jalur Lalu lintas adalah bagian daerah manfaat jalan yang direncanakan khusus untuk lintasan kendaraan bermotor (beroda 4 atau lebih). 19) KAJI adakah singkatan dari Kapasitas Jalan Indonesia. 20) Kapasitas Jalan adalah arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan pada suatu bagian jalan pada kondisi tertentu, dinyatakan dalam satuan mobil penumpang per jam. 21) Kecepatan Rencana (VR) adalah kecepatan maksimum yang aman dan dapat dipertahankan di sepanjang bagian tertentu pada jalan raya tersebut jika kondisi yang beragam tersebut menguntungkan dan terjaga oleh keistimewaan perencanaan jalan. 22) Lajur adalah bagian pada jalur lalu lintas yang ditempuh oleh satu kendaraan bermotor beroda 4 atau lebih, dalam satu jurusan.

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

23) Lajur Pendakian adalah lajur tambahan pada bagian jalan yang mempunyai kelandaian dan panjang tertentu untuk menampung kendaraan dengan kecepatan rendah terutama kendaraan berat. 24) Mobil Penumpang adalah kendaraan beroda 4 jenis sedan atau van yang berfungsi sebagai alat angkut penumpang dengan kapasitas tempat duduk 4 sampai 6. 25) Satuan Mobil Penumpang (SMP) adalah jumlah mobil penumpang yang digantikan tempatnya oleh kendaraan jenis lain dalam kondisi jalan, lalu lintas dan pengawasan yang berlaku. 26) Strip Tepian adalah bagian datar median, yang perkerasannya dipasang dengan cara yang sama seperti pada jalur lalu lintas dan diadakan untuk menjamin ruang bebas samping pada jalur. 27) Tingkat Arus Pelayanan (TAP) adalah kecepatan arus maksimum yang layak diperkirakan bagi arus kendaraan yang melintasi suatu titik atau ruas yang seragam pada suatu jalur atau daerah manfaat jalan selama jangka waktu yang ditetapkan dalam kondisi daerah manfaat jalan, lalu lintas, pengawasan, dan lingkungan yang berlaku dinyatakan dalam banyaknya kendaraan per jam. 28) Volume Jam Rencana (VJR) adalah prakiraan volume lalu lintas per jam pada jam sibuk tahun rencana, dinyatakan dalam satuan SMP/jam, dihitung dari perkalian VLHR dengan faktor K. 29) Volume Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR) adalah volume total yang melintasi suatu titik atau ruas pada fasilitas jalan untuk kedua jurusan, selama satu tahun dibagi oleh jumlah hari dalam satu tahun. 30) Volume Lalu lintas Harian Rencana (VLHR) adalah taksiran atau prakiraan volume lalu lintas harian untuk masa yang akan datang pada bagian jalan tertentu

SYAFRIZAL / F 111 17 264

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

CIVIL ENGINEERING BAB II

KRITERIA PERENCANAAN GEOMETRIK ANTAR KOTA

2.1. Klasifikasi Jalan 2.1.1. Klasifikasi menurut fungsi jalan Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas: 1) Jalan Arteri Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien, 2) Jalan Kolektor Jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi, 3) Jalan Lokal Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. 2.1.2. Klasifikasi menurut kelas jalan 1) Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton. 2) Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan kasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Klasifikasi menurut kelas jalan

Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

2.1.3. Klasifikasi menurut medan jalan 1) Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. 2) Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan keseragaman kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut. 3) Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Klasifikasi menurut medan jalan

Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

2.I.4. Klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya sesuai PP. No.34/2006 adalah 1) jalan nasional 2) jalan provinsi 3) jalan kabupaten 4) jalan kota 5) jalan desa

2.2. Kriteria perencanaan 2.2.1. Kendaraan Rencana 1) Kendaraan Rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik.

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

2) Kendaraan Rencana dikelompokkan ke dalam 3 kategori: a)

Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang;

b)

Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2 as;

c)

Kendaraan Besar, diwakili oleh truk-semi-trailer.

3) Dimensi dasar untuk masing-masing kategori Kendaraan Rencana ditunjukkan dalam Tabel 2.3 Gambar 2.1 s.d. Gambar 2.3 menampilkan sketsa dimensi kendaraan rencana tersebut.

Tabel 2.3. Dimensi kendaraan rencana

Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Gambar 2.1. Dimensi kendaraan kecil Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

Gambar 2.2 Dimensi kendaraan sedang Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Gambar 2.3. Dimensi kendaraan besar Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

2.2.2 Satuan Mobil Penumpang 1) SMP adalah angka satuan kendaraan dalam hal kapasitas jalan, di mana mobil penumpang ditetapkan memiliki satu SMP. 2) SMP untuk jenis jenis kendaraan dan kondisi medan lainnya dapat dilihat dalam Tabel 2.4. Detail nilai SMP dapat dilihat pada buku Manual Kapasitas Jalan Indonesia

Tabel 2.4. Ekivalen Mobil Penumpang (EMP)

Sumber : MKJI No.036 /TBM (1997)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

2.2.3 Volume Lalu Lintas Rencana 1) Volume Lalu Lintas Harian Rencana (VLHR) adalah prakiraan volume lalu lintas harian pada akhir tahun rencana lalu lintas dinyatakan dalam SMP/hari. 2) Volume Jam Rencana (VJR) adalah prakiraan volume lalu lintas pada jam sibuk tahun rencana lalu lintas, dinyatakan dalam SMP/jam, dihitung dengan rumus:

di mana : K (disebut faktor K), adalah faktor volume lalu lintas jam sibuk, dan F (disebut faktor F), adalah faktor variasi tingkat lalu lintas Perseperempat jam dalam satu jam. 3) VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu lintas lainnya yang diperlukan. 4) Tabel 2.5 menyajikan faktor-K dan faktor-F yang sesuai dengan VLHR Tabel 2.5. Penentuan faktor K dan faktor F berdasarkan volume lalu lintas harian

Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

2.2.4 Kecepatan Rencana 1) Kecepatan rencana, VR, pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti. 2) VR untuk masing masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari Tabel 2.6. 3) Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam. Tabel 2.6. Kecepatan Rencana, VR sesuai klasifikasi fungsi dan klasifikasi medan jalan

Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

2.3. JARAK PANDANG Jarak pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi pada saat mengemudi sedemikian sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan yang membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk menghidari bahaya tersebut dengan aman. Dibedakan dua Jarak Pandang, yaitu Jarak Pandang Henti (Jh) dan Jarak Pandang Mendahului (Jd).

2.3.1 Jarak Pandang Henti 1)

Jh adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya halangan di depan. Setiap titik disepanjang jalan harus memenuhi Jh.

2)

Jh diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan 15 cm diukur dari permukaan jalan.

3)

Jh terdiri atas 2 elemen jarak, yaitu:

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING a)

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

jarak tanggap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti sampai saat pengemudi menginjak rem; dan

b)

jarak pengereman (Jh,) adalah jarak yang dibutuhkan untuk menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti.

4)

Jh, dalam satuan meter, dapat dihitung dengan rumus:

di mana : VR

= kecepatan rencana (km/jam)

T

= waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik

g

= percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det2

f

= koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal, ditetapkan 0,35- 0,55.

disederhanakan menjadi:

5)

Tabel 2.7 berisi Jh minimum yang dihitung berdasarkan persamaan dengan pembulatan-pembulatan untuk berbagai VR.

Tabel 2.7. Jarak Pandang Henti (JH) minimum

Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

2.3.2. Jarak Pandang Menyiap Jarak Pandang Menyiap, yaitu jarak pandangan yang dibutuhkan untuk dapat menyiap kendaraan lain yang berada pada lajur jalannya dengan menggunakan lajur untuk arah berlawanan (Lihat gambar 2.4). Jarak pandang menyiap standar adalah :

dimana d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu reaksi oleh kendaraan yang hendak menyiap dan membawa kendaraannya yang hendak membelok ke lajur kanan

d2 = Jarak yang ditempuh kendaraan yang menyiap selama berada pada lajur sebelah kanan

d3 = Jarak bebas yang harus ada antara kendaraan yang menyiap dengan kendaraan yang berlawanan arah setelah gerakan menyiap dilakukan, diambil 30-100 m d4 = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang berlawanan arah selama 2/3 dari waktu yang diperlukan oleh kendaraan yang

menyiap berada pada

lajur sebelah kanan atau sama dengan 2/3d2 t1 = Waktu reaksi yang besarnya tergantung dari kecepatan yang dapat ditentukan dengan korelasi m = Perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan yang disiap yaitu 15 km/ jam V

= Kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap, dalam perhitungan dapat dianggap sama dengan kecepatan rencana, km/ jam

a

= Percepatan rata-rata yang besarnya tergantung dari kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap yang dapat ditentukan dengan mempergunakan korelasi

SYAFRIZAL / F 111 17 264

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

CIVIL ENGINEERING

t2 = Waktu dimana kendaraan yang menyiap berada pada lajur kanan yang dapat ditentukan dengan mempergunakan korelasi

Gambar 2.4. Jarak Pandang Mendahului Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997) Tabel 2.8 Panjang Jarak Pandang Mendahului VR (km/jam)

120

100

80

60

50

40

30

20

Jd (m)

800

670

550

350

250

200

150

100

Sumber : Perencan Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997 Tabel 2.9 Jarak Pandang Mendahului Untuk Jalan Perkotaan

Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan (1992)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

2.3 DAERAH BEBAS SAMPING TIKUNGAN Daerah Bebas Samping Di Tikungan (E) adalah ruang untuk menjaminkebebasan pandang pengemudi kendaraan di tikungan, sehingga Jh dapatterpenuhi, dan dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pandanganpengemudi di tikungan dengan membebaskan obyek-obyek penghalangsejauh E, yang diukur dari garis tengah lajur dalam sampai pada obyekpenghalang, sehingga persyaratan untuk Jh terpenuhi. Ada dua bentuk Daerah Bebas Samping Di Tikungan, yaitu: Jarak Pandang Henti (Jh) < Panjang Tikungan (Lt) Jarak Pandang Henti (Jh) > Panjang Tikungan (Lt) Adapun rumusan Daerah Bebas Samping Di Tikungan (E), adalah:

`

Gambar 2.3.1 Daerah bebas samping di tikungan (kondisi Jh
SYAFRIZAL / F 111 17 264

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

CIVIL ENGINEERING

KONDISI Jh< Lt:

28,65. Jh

I

E= R . [ 1 – Cos

I

R

]

KONDISI Jh> Lt

Jh - Lt

28,65. Jh

I

E= R . [ 1 – Cos

I

R

]+[

. Sin

2

Dimana: •

R I

= Jari-jari tikungan (m)

• •

R JH

= Jari-jari sumbu lajur dalam (m) = Jarak pandang henti (m)



LT

= Panjang tikungan (m)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

28,65. Jh I

R

]

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Gambar : 2.3.2Daerah bebas samping di tikungan (kondisi Jh > Lt) Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan (1992) Tabel 2.3.2 Nilai E untuk Jh > Lt (meter), Dimana Jh - Lt = 25 meter

Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997

SYAFRIZAL / F 111 17 264

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

CIVIL ENGINEERING BAB III

KOMPONEN – KOMPONEN ALINEMEN HORIZONTAL DAN VERTIKAL 3.1 ALINEMEN HORISONTAL Alinemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal. Alinyemen horizontal juga dikenal dengan nama “situasi jalan” atau “trase jalan”. Alinemen horizontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung (disebut juga tikungan). Perencanaan geometri pada bagian lengkung dimaksudkan untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan yang berjalan pada kecepatan tertentu dengan membentuk superelevasi. Gaya sentrifugal adalah gaya yang mendorong kendaraan secara radial keluar dari lajur jalannya. Sedangkan superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang berfungsi mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan. 3.1.1 Bentuk bagian lengkung Bentuk bagian lengkung dapat berupa : Full Circle (FC) atau Lengkung Busur Lingkaran Sederhana Lengkung busur lingkaran sederhana hanya dapat dipilih untuk radius lengkung yang besar. Perencanaan Tikungan Bentuk tikungan yang dianjurkan oleh Bina Marga :

1. Lingkaran Penuh (Full Circle) Bentuk tikungan seperti ini digunakan pada tikungan yang mempunyai jari-jari besar dengan sudut tangent yang relative kecil

Lengkung busur lingkaran Sederhana Sumber : Buku dasar-dasar perencanaan Geometrik jalan,oleh : silvia sukiman

SYAFRIZAL / F 111 17 264

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

CIVIL ENGINEERING

Batasan yang biasanya dipakai di Indonesia adalah sebagai berikut :

Kecepatan Rencana

Jari-jari Lengkungan Minimal

(Km/Jam)

(m)

200

1500

100

1000

80

700

60

300

40

130

Rumus yang biasa digunakan: Dari gambar lengkung busur lingkaran sederhana diatas, dapat diketahui : …………. (3.1) …….….. (3.2)

……

………………………………… Syarat pemakaian : 1)

Tergantung dari harga v yang ada (design speed)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

…….….. (3.3)

………….. (3.4)

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Mis : Untuk Vp = 80 Km/jam R > 110 2) R dicoba dahulu pada gambar pengukuran staking out. 3) R dan V dapat dilihat pada daftar II “ Standart Perencanaan Geometrik Jalan raya” 4) Harga dihitung secara analitis berdasarkan koordinat, setelah itu diukur Dengan menggunakan busur 5) Ac > 0 6) Lc > 20 cm Karena lengkung hanya berbentuk busur lingkaran saja, maka pencapaian superelevasi dilakukan sebagian pada jalan lurus dan sebagian lagi pada bagian lengkung.

2.

Spiral-Circle-Spiral (SCS) atau Lengkung Busur Lingkaran dengan Lengkung Peralihan

SYAFRIZAL / F 111 17 264

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

CIVIL ENGINEERING

Gambar diatas menggambarkan sebuah lengkung Spiral-Circle-Spiral simetris dimana panjang lengkung peralihan dari TS ke SC sama dengan dari CS ke ST (= Ls). Lengkung TSSC adalah lengkung peralihan berbentuk spiral yang menghubungkan bagian lurus dengan radius tak berhingga di awal spiral (kiri TS) dan bagian berbentuk lingkaran diakhir spiral (kanan SC). Titik TS adalah titik peralihan bagian lurus ke bagian berbentuk spiral dan titik SC adalah titik peralihan bagian spiral ke bagian lingkaran.Rumus yang umum digunakan adalah : 1) Derajat Kelengkungan Adalah sudut yang dibemtuk oleh ujung lingkarang dengan jari-jari R (m)

yang

menghasilkan panjang busur sebesar 25 m. D=

25 . 360

( D berlaku untuk semua tipe kurva )

25 r Dari gambar diatas, dapat diketahui bahwa Besarnya sudut spiral pada titik SC ………(3.5) ..……..(3.6) ……. (3.7) untuk Ls = 1 m, maka p = p* dan k = k* dan untuk Ls = Ls, maka p = p*.Ls dan k = k*. Ls dengan nilai p* dan k* untuk setiap nilai Sudut pusat busur lingkaran = kedua tangen adalah

diberikan di tabel 4.1

dan sudut spiral =

, jika besarnya sudut perpotongan

maka : ............…..…..(3.8) ......…..…..….. (3.9) …......…....….(3.10)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

.....…..…..…..(3.11)

Sumber : Buku dasar-dasar perencanaan Geometrik jalan, oleh : silvia sukiman Syarat pemakaian : ( Ls Min <

3.

dan

L < 2Ts) ; (AC > 0

dan

Lc > 20)

Spiral-Spiral (SS) atau Lengkung Spiral-Spiral Lengkung horizontal berbentuk spiral-spiral adalah lengkung tanpa busur lingkaran, sehingga titik SC berimpit dengan titik CS. Panjang busur lingkaran Lc = 0 dan 1/2 .

Rumus umum yang digunakan : Ls = θs . R

....................( 3.12 )

28,648 Ls = (R + P) tan ½ ∆ + k Es = ( R + P ) – R Cos ½ ∆

SYAFRIZAL / F 111 17 264

...............… ( 3.13 )

....................( 3.15 )

=

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

L = 2 Ls

................... ( 3.16 )

(harga R = P* > Ls) dan ( K = K* . Ls ) Syarat pemakaian : a) Harga dihitung secara analitis, namun dalam hal ini harga dihitung atau diukur langsung dengan mengunakan busur. b) θs = ½ β 3.1.2 Trase 1) Penentuan route / trase jalan adalah penentuan koridor terbaik antara dua buah titik yang harus dihubungkan 2) Koridor adalah bidang memanjang yang menghubungkan dua titik 3) Trase adalah seri dari garis – garis lurus yang merupakan rencana dari sumbu jalan

Tahap kegiatan dalam penentuan lokasi trase jalan : a. Studi Penyuluhan (Reconnaissance Study) Tujuan : Menentukan berbagai alternative koridor yang memenuhi syarat b. Pemilihan koridor terbaik dari beberapa alternative koridor yang memenuhi syarat Tujuan : Menentukan koridor terbaik

FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN ROUTE LOCATION SUATU JALAN 1)

Medan / Topografi : Dataran, Bukit dan Pegunungan

2)

Perpotongan dengan sungai

3)

Daerah lahan kritis

4)

Daerah aliran sungai

5)

Meterial konstruksi jalan

6)

Galian dan Timbunan

7)

Pembebasan tanah

8)

Lingkungan

SYAFRIZAL / F 111 17 264

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

CIVIL ENGINEERING 3.1.3. Jari-Jari Tikungan

Jari - jari tikungan minimum (Rmin) ditetapkan sebagai berikut:

di mana : Rmin = Jari jari tikungan minimum (m), VR

= Kecepatan Rencana (km/j),

Emax = Superelevasi maximum (%), F

= Koefisien gesek, untuk perkerasan aspal f=0,14-0,24

Tabel 3.1. Panjang Jari-jari Minimum (dibulatkan).

Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

3.1.4. Tikungan Gabungan Ada dua macam tikungan gabungan, sebagai berikut: 1) Tikungan gabungan searah, yaitu gabungan dua atau lebih tikungan dengan arah putaran yang sama tetapi dengan jari jari yang berbeda (lihat Gambarll.23); 2) Tikungan gabungan balik arah, yaitu gabungan dua tikungan dengan arah putaran yang berbeda (lihat Gambar 11.25). Penggunaan tikungan gabungan tergantung perbandingan R1 dan R2:

tikungan gabungan searah harus dihindarkan,

tikungan gabungan harus dilengkapi bagian lurus atau clothoidesepanjang paling tidak 20 meter (lihat Gambar 3.2)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

3) Setiap tikungan gabungan balik arah harus dilengkapi dengan bagian lurus di antara kedua tikungan tersebut sepanjang paling tidak 30 m (lihat Gambar

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

3.1.5. Panjang Bagian Lurus 1) Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan, ditinjau dari segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus harus ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit (sesuai VR). 2) Panjang bagian lurus dapat ditetapkan dari Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Panjang Bagian Lurus Maksimum.

Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

3.1.6. Superelevasi Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang berfungsi mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat berjalan melalui tikungan pads kecepatan VR.Nilai superelevasi maksimum ditetapkan 10%.Pencapaian superelevasi a. Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal pada bagian jalan yang lurus sampai ke kemiringan penuh (superelevasi) pada bagian lengkung. b. Pada tikungan SCS, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear (lihat Gambar II.21), diawali dari bentuk normal

sampai awal lengkung

peralihan (TS) yang berbentuk

pada bagian lurus jalan, 'lalu dilanjutkan

sampai superelevasi penuh

pada akhir bagian lengkung peralihan

(SC).

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

c. Pada tikungan fC, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear (lihat Gambar 11.22), diawali dari bagian lurus sepanjang 213 LS sampai dengan bagian lingkaran penuh sepanjang 113 bagian panjang LS. d. Pada tikungan S-S, pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan pada bagian spiral.

Gambar 3.5 Metode pencapaian superelevasi pada tikungan tipe SCS Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

Gambar 3.6 Metode pencapaian superelevasi pada tikungan tipe fC Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Gambar 3.7 Diagram Superelevasi dari Tikungan S - S Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

CIVIL ENGINEERING

3.1.7. Pelebaran Jalur Lalu Lintas di Tikungan Pelebaran pada tikungan dimaksudkan untuk mempertahankan konsistensi geometrik jalan agar kondisi operasional lalu lintas di tikungan sama dengan di bagian lurus. Pelebaran jalan di tikungan mempertimbangkan: 1.

Kesulitan pengemudi untuk menempatkan kendaraan tetap pada lajurnya.

2.

Penambahan lebar (ruang) lajur yang dipakai saat kendaraan melakukan gerakan melingkar. Dalam segala hal pelebaran di tikungan harus memenuhi gerak perputaran kendaraan rencana sedemikian sehingga proyeksi kendaraan tetap pada lajumya.

3.

Pelebaran di tikungan ditentukan oleh radius belok kendaraan rencana (lihat Gambar 2.1 s.d. Gambar 2.3), dan besarnya ditetapkan sesuai Tabel 3.3.

4.

Pelebaran yang lebih kecil dari 0.6 meter dapat diabaikan.

5.

Untuk jalan 1 jalur 3 lajur, nilai-nilai dalam Tabel 3.3 harus dikalikan 1,5.

6.

Untuk jalan 1 jalur 4 lajur, nilai-nilai dalam Tabel 3.3 harus dikalikan 2.

Rumus umum:



 n(b'c)  (n  1)Td



...( 3.19 )

z

dimana: b’

=

Td

=

R2

Z

=

0,105

2,40 

R

2



 (2 P  )

R2  2 p2



 R

R dimana: ß

=

Lebar perkerasan jalan tikungan (m)

Η

=

Jumlah jalur

b’

=

Lebar lintasan kendaraan pada tikungan (m)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING C

=

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Kebebasan samping -

Untuk lebar jalan 6,00 m = 0,8

-

Untuk lebar jalan 7,00 m = 1,0

-

Untuk lebar jalan 7,50 m = 1,25

Td

=

Lebar melintang akibat tonjolan kedepan (m)

Z

=

Lebar tambahan akibat kelainan mengemudi (m)

R

=

Jari-jari tikungan

Δ

=

Tonjolan kedepan (1,2 m)

P

=

Jarak standar (6,1 m)

Catatan: Rumus dapat digunakan apabila 1000/R > 6 -

Jika ≤ 6, maka b’, Td dan z ditentukan dengan menggunakan grafik.

-

Jika ß < lebar jalan, maka tidak ada pelebaran perkerasan di tikungan.

Tabel 3.3. Pelebaran di Tikungan

Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Tabel 3.4. (Lanjutan) Pelebaran di tikungan per Lajur (m)

Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

3.2. ALINYEMEN VERTIKAL Alinyemen vertikal adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan perkerasan jalan. Penarikan alinemen vertikal sangat dipengaruhi oleh beberapa pertimbangan, seperti : kondisi tanah dasar, keadaan medan, fungsi jalan, muka air banjir, muka air tanah dan kelandaian yang masih memungkinkan. Alinemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung vertikal. Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa landai positif (tanjakan), landai negatif (turunan) dan landai nol (datar). Sedangkan untuk bagian lengkung vertikal, dapat berupa : 1. Lengkung Vertikal Cekung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen berada di bawah permukaan jalan. Panjang lengkung vertikal cekung harus ditentukan dengan memperhatikan : a)

Bentuk parabola sederhana

b)

Jarak penyinaran lampu kendaraan

c)

Jarak pandangan bebas di bawah bangunan

d)

Kenyamanan pengemudi

e)

Keluwesan bentuk

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

2. Lengkung Vertikal Cembung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen berada diatas permukaan jalan yang bersangkutan. Pada lengkung vertikal cembung, pembatasan berdasarkan jarak pandangan dapat dibedaka atas 2 keadaan, yaitu : a)

Jarak pandangan berada seluruhnya dalam daerah lengkung (S
b)

Jarak pandangan berada di luar dan di dalam daerah lengkung (S>L)

3.2.1. Lengkung Vertikal 1. Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami perubahan kelandaian dengan tujuan : a) mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian; dan b) menyediakan jarak pandang henti. 2. Lengkung vertikal dalam tata cara ini ditetapkan berbentuk parabola sederhana, a) jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal cembung, panjangnya ditetapkan dengan rumus:

....….. (3.20) b)

jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal cekung,

panjangnya ditetapkan dengan rumus: ....….. (3.21) 3. Panjang minimum lengkung vertikal ditentukan dengan rumus: ....….. (3.22) ....….. (3.23) di mana : L = Panjang lengkung 34ertical (m), A = Perbedaan grade (m), Jh = Jarak pandangan henti (m), Y = Faktor penampilan kenyamanan, didasarkan pada tinggi obyek 10

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

cm dan tinggi mata 120 cm. 4. Y dipengaruhi oleh jarak pandang di malam hari, kenyamanan, dan penampilan. Y ditentukan sesuai Tabel 3.5

Tabel 3.5 Penentuan Faktor penampilan kenyamanan, Y

Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997) 5. Panjang lengkung 35ertical bisa ditentukan langsung sesuai Tabel 3.6 vang didasarkan pada penampilan, kenyamanan, dan jarak pandang. Untuk jelasnya lihat Gambar 3.7 dan Gambar 3.8

Tabel 3.6. Panjang Minimum Lengkung Vertikal

Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

Gambar 3.7. Lengkung Vertikal cembung

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

Gambar 3.8. Lengkung vertikal cekung Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

3.2.4 LandaiMaksimum 4) Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaraan bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti. 5) Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatansemula tanpa harus menggunakan gigi rendah. 6) Kelandaian maksimum untuk berbagai VR ditetapkan dapat dilihat dalam Tabel 3.7. Tabel 3.7. Kelandaian maksimum yang diizinkan

Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997) 7) Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian sehingga penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh VR. Lama perjalanan tersebut ditetapkan tidak lebih dari satu menit. 8) Panjang kritis dapat ditetapkan dari Tabel 3.8

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Tabel 3.8. Panjang Kritis (m)

Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

3.2.4 Koordinasi alinyemen Alinyemen Vertikal, alinyemen horizontal, dan potongan melintang jalan adalah elemen – elemen jalan sebagai keluaran perencanaan hares dikoordinasikan sedemikian sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan yang baik dalam arti memudahkan pengemudi mengemudikan kendaraannya dengan aman dan nyaman. Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat memberikan kesan atau petunjuk kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan dilalui di depannya sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal. Koordinasi alinemen vertikal dan alinemen horizontal harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a.

Alinyemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinemen vertikal, dan secara ideal alinemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi alinemen vertikal;

b.

Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau pada bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan;

c.

Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang harus dihindarkan;

d.

Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal harus dihindarkan; dan

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING e.

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan panjang haru dihindarkan.

Sebagai ilustrasi, Gambar 3.9 s.d. Gambar 3.11 menampilkan contoh-contoh koordinasi alinemen yang ideal dan yang harus dihindarkan.

Gambar 3.9. Koordinasi yang ideal antara alinemen horizontal dan vertical yang berimpit Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

Gambar 3.10 Koordinasi yang harus dihindarkan, dimana alinemen vertical menghalangi pandangan pengemudi pada saat mulai memasuki tikungan pertama Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Gambar 3.11 Koordinasi yang harus dihindarkan dimana pada bagian yang lurus pandangan pengemudi terhalang oleh puncak alinemen vertical sehingga pengemudi sulit memperkirakan arah alinyemen dibalik puncak tersebut.Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

3.2.4 Lajur Pendakian Lajur pendakian dimaksudkan untuk menampung truk-truk yang bermuatan berat atau kendaraan lain yang berjalan lebih lambat dari kendaraan kendaraan lain pada umumnya, agar kendaraan kendaraan lain dapat mendahului kendaraan lambat tersebut tanpa harus berpindah lajur atau menggunakan lajur arah berlawanan. 1. Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan yang mempunyai kelandaian yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya relatif padat. 2. Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a) disediakan pada jalan arteri atau kolektor, b) apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR > 15.000 SMP/hari,dan persentase truk > 15 %. 3. Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana. 4. Lajur pendakian dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian dengan serongansepanjang 45 meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan serongan sepanjang 45 meter (lihat Gambar 3.12). 5. Jarak minimum antara 2 lajur pendakian adalah 1,5 km (lihat Gambar 3.13).

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Gambar 3.12. Lajur pendakian Tipikal Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

Gambar 3.13 Jarak antara dua lajur pendakian Sumber : Perencanaan Geometrik jalan antar kota (1997)

SYAFRIZAL / F 111 17 264

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

CIVIL ENGINEERING

BAB IV PEKERJAAN GALIAN DAN TIMBUNAN

4.1 PERHITUNGAN PENAMPANG TANAH Metode untuk mencari luas penampang galian/timbunan pada setiap patok, dapat dilakukan dengan cara :

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

a. Untuk penampang yang tidak beraturan, luas penampang dicari dengan menggunakan alat planimeter, atau dengan cara sederhana, yaitu menggambarkan galian/timbunannya. Penampangmelintang untuk dicari luas

Gambar 4.1.1 Menghitung luas penampang

b. Untuk penampang yang beraturan, gunakan rumus planimetri biasa.

Gambar 4.1.2 Metode luas ujung

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

c. Metode perhitungan volume tanah pada lengkungan

Gambar 4.1.3 Perhitungan volume tanah pada lengkungan

Adapun Langkah-langkah dalam perhitungan galian dan timbunan, antara lain : 1) Penentuan stationing (jarak patok) sehingga diperoleh panjang horizontal jalan dari alinyemen horizontal (trase jalan). Ketentuan umum untuk pemasangan patok-patok tersebut adalah sebagai berikut : Untuk daerah datar dan lurus, jarak antara patok 100 m. Untuk daerah bukit, jarak antara patok 50 m. Untuk daerah gunung, jarak antara patok 25 m 2) Gambarkan profil memanjang (alinyemen vertikal) yang memperlihatkan perbedaan beda tinggi muka tanah asli dengan muka tanah rencana.

3) Gambar potongan melintang (cross section) pada titik stationing, sehingga didapatkan luas galian dan timbunan.

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

4) Hitung volume galian dan timbunan dengan mengalikan luas penampang rata-rata dari galian atau timbunan dengan jarak patok.

Adapun rumus perhitungan galian dan timbunan dapat dilihat pada tabel 4.1.1

Tabel 4.1.1 Perhitungan Galian dan Timbunan

(Sumber : Hendra Suryadharma, 1999) Menurut Cart F. Mayer David W. Gibson (1981) untuk menghitung besarnya galian dan timbunan dapat digunakan persamaan sebagai berikut: Segitiga

: A = 1/2 . a . t

SYAFRIZAL / F 111 17 264

CIVIL ENGINEERING Trapesium

: A = (a+b/)2 . t

Segiempat

:A=pxl

Flow Chart Perancangan Geometrik Jalan

SYAFRIZAL / F 111 17 264

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

PENCANAAN GEOMETRIK JALAN

CIVIL ENGINEERING

Peta Dasar

Tetapkan kriteria : 1. Kelas & Fungsi jalan 2. Kendaraan Rencana 3. VLHR 4. VR

Tetapkan Titik Awal dan Akhir Trase Jalan Rencana

Koordinasi Alinyemen Horisontal Dan Vertikal Buat Beberapa Alternatif Trase Jalan

Desain Bagian Lurus Dan Tikungan Desain Alinyemen Horisontal Dan Vertikal Pada Tikungan

Desain Alinyemen Horisontal Dan Vertikal Pada Lurus

# Jarak Pandang # Jenis – Jenis Tikungan

Sesuai Kriteria ?

NO

NO TIDAK YA Rencanakan Alat – Alat Bagian Pengendalian Trase Jalan Terpilih

Komponen – komponen Alinyemen Horisontal Dan Vertikal

Potongan Melintang : - Lebar Lajur , Jalur & Lebar Bahu - Perencanaan Jalan Di Tikungan, Rumaja, Rumija & RUwasja

Final Desain

Galian Dan Timbunan

SYAFRIZAL / F 111 17 264

More Documents from "Malikul Mulki"