BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Wilayah Kecamatan Kartasura 1. Keadaan Geografis Kartasura adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Kecamatan Kartasura terletak di dataran tinggi, dengan tinggi 121 meter di atas permukaan laut dengan luas wilayah 1.923 Ha. Wilayah Kecamatan Kartasura terdiri atas 10 Desa, 2 Kelurahan, 117 Rw dan 415 Rw. Adapun batas-batas wilayah kecamatan kartasura adalah sebagai berikut: Sebelah Utara
: Kabupaten Karanganyar
Sebelah timur
: Kota Surakarta
Sebelah Selatan
: Kecamatan Gatak
Sebelah Barat
: Kabupaten Boyolali
2. Sarana Kesehatan Sarana dan prasarana di Kecamatan Kartasura terdiri dari sarana dan prasarana kesehatan dan pendidikan. Sarana dan prasarana kesehatan adalah sebagai berikut Puskesmas (2 unit), Puskesmas Pembantu (4 unit), Rumah Bersalin (2 unit), Praktek Dokter (86 unit), Dokter 85 orang, Mantri Kesehatan/Perawat 6 orang, Bidan 56 orang.
45
3. Keadaan Demografis Jumlah penduduk Kecamatan Kartasura pada tahun 2012 tercatat 93.932 jiwa yang terdiri dari 45.419 penduduk laki-laki (48,35%) dan 48,513 penduduk perempuan (51,65%). Jumlah rumah tangga sebanyak 32.598. Sedangkan untuk sarana dan prasarana pendidikan adalah sebagai berikut TK sebanyak 53 unit, SD sebanyak 48, SMP sebanyak 9 dan SMU 6 unit, Madrasah Ibtida’iyah sebanyak 7 sekolah, Tsanawiyah 1 sekolah dan Aliyah 1 sekolah. 4. Pendidikan Terakhir Ibu Berdasarkan hasil pengumpulan data pada 32 anak SD stunting dan 32 non stunting terhadap status pendidikan terakhir orang tua dapat dilihat pada gambar 2.
STUNTING
NON STUNTING
31% 47% 53%
DASAR
DASAR
LANJUT
LANJUT 69%
Gambar 2. Karakteristik Pendidikan Orang Tua
Berdasarkan Gambar 2 dapat disimpulkan bahwa pendidikan dasar (tamat SD dan SMP) orang tua anak stunting lebih besar daripada orang tua anak non stunting, masing-masing sebesar 47% dan 31%.
46
5. Status Pekerjaan Ayah Anak Berdasarkan hasil pengumpulan data pada 32 anak SD stunting dan 32 anak SD non stunting terhadap status pekerjaan ayah anak dapat dilihat pada Gambar 3.
NON STUNTING
stunting
0% 12% PNS
41%
19%
PNS SWASTA
SWASTA 47%
LAIN-LAIN
81%
LAIN-LAIN
Gambar 3. Karakteristik Pekerjaan Orang Tua
Berdasarkan Gambar 3 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar status pekerjaan lain-lain (buruh) pada orang tua pada anak SD stunting lebih besar daripada pekerjaan orang tua anak SD non stunting, masingmasing sebesar 41% dan 7%.
B. Karakteristik Sampel Penelitian Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 64 anak sekolah dasar yang masuk dalam kriteria inklusi, yang dikelompokkan menjadi 32 anak stunting dan 32 anak non stunting. Sampel dalam penelitian ini adalah anak Sekolah Dasar kelas III, IV, V (9-12 tahun) yang bertempat tinggal di wilayah kecamatan Kartasura. Kabupaten Sukoharjo. Sampel penelitian terdiri dari 32 anak (50%) laki-laki dan 32 anak (50%) perempuan.
47
C. Status Gizi Anak Sekolah Dasar Penilaian status gizi dalam penelitian ini menggunakan indeks TB/U. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi badan, umur dan nilai z-score dengan indeks TB/U adalah seperti table 10 berikut : Table 10. Distribusi Tinggi Badan dan Nilai z-score TB/U antara Anak SD Stunting dan Non Stunting Rata-Rata Stunting Non Stunting Tinggi Badan (cm) 125.87 ± 14.10 134.68 ± 25.60 Nilai z-core TB/U -2.41 ± 1.44 -0.57 ± 2.44
Pengukuran status gizi anak SD dalam penelitian ini menggunakan nilai z-score dengan indeks TB/U. Tabel 10 menunjukkan bahwa rata-rata tinggi badan anak SD stunting 127.56 ± 26.8 dan tinggi badan anak SD non stunting sebesar 134.56 ± 25.60, sedangkan untuk nilai z-score TB/U pada anak SD stunting sebesar -2.49 ± 1.90 dan untuk nilai z-score TB/U pada anak SD non stunting adalah sebesar 0.66 ± 2.80
D. Distribusi Tingkat Asupan Energi Berdasarkan hasil pengumpulan data pada 32 anak SD stunting dan 32 anak SD non stunting terhadap distribusi tingkat konsumsi energi dapat dilihat pada gambar 4.
48
stunting
non stunting
3%
0% defisit
25%
41%
defisit
9%
kurang
kurang 19%
ringan normal 25%
3%
69%
ringan normal lebih
lebih 6%
Gambar 4. Distribusi Asupan Energi antara Anak SD Stunting dan Non Stunting
Berdasarkan gambar 4 di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat asupan energi defisit pada anak SD stunting lebih besar daripada anak SD non stunting. Tingkat asupan energi defisit pada anak SD stunting adalah sebesar 41% dan untuk anak SD non stunting adalah sebesar 3% (tidak terdapat yang mengalami asupan energi defisit). Hal ini dapat terjadi karena asupan energi melalui makanan masih kurang dibandingkan dengan energi yang dikeluarkan. Ketidakseimbangan masukan energi dengan kebutuhan yang berlangsung dalam jangka lama akan menimbulkan masalah kesehatan anak terutama pertumbuhan (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2013).
E. Distribusi Tingkat Asupan Protein Berdasarkan hasil pengambilan data pada 32 anak SD stunting dan 32 anak SD non stunting terhadap distribusi tingkat asupan protein dapat dilihat pada gambar 5 .
49
stunting
non stunting 6%
9%
defisit 44%
28%
9% 6%
kurang
13%
ringan
lebih
kurang
ringan
normal 19%
defisit
normal 66%
lebih
0%
Gambar 5. Distribusi Tingkat Asupan Protein antara Anak SD Stunting dan Non Stunting
Berdasarkan Gambar 5 dapat disimpulkan bahwa tingkat asupan protein defisit pada anak SD stunting lebih besar daripada asupan anak SD non stunting. Asupan protein defisit pada anak SD stunting adalah sebesar 44% dan untuk asupan protein defisit pada anak SD non stunting sebesar 6%. Menurut Barasi (2007), asupan protein anak yang masih kurang akan menjadikan anak mengalami gangguan pertumbuhan yaitu anak akan tumbuh stunting, kehilangan masa otot, luka yang sukar sembuh dan meningkatkan resiko penyakit infeksi. Penelitian Hidayati et al (2010), menyebutkan bahwa anak balita yang asupan proteinnya kurang mempunyai resiko 3,46 kali akan menjadi anak stunting dibandingkan anak yang asupan proteinnya cukup.
50
F. Distribusi Tingkat Asupan Fe Berdasarkan hasil pengumpulan data pada 32 anak SD stunting dan 32 anak SD non stunting terhadap distribusi tingkat asupan Fe dapat dilihat Gambar 6.
0%
stunting
non stunting 0%
16% defisit 9%
kurang
defisit
28%
28%
ringan
9%
66%
normal lebih
kurang ringan
22%
22%
normal lebih
Gambar 6. Distribusi Tingkat Asupan Fe antara Anak SD stunting dan non stunting
Berdasarkan Gambar 6 dapat disimpulkan bahwa tingkat asupan Fe defisit pada anak SD stunting lebih besar daripada anak SD yang non stunting. Asupan Fe anak SD stunting adalah sebesar 66% dan anak SD non stunting sebesar 28%. Hal ini terjadi karena tidak adanya kandungan Fe pada makanan yang dikonsumsi anak. defisiensi Fe merupakan defisiensi gizi yang banyak terjadi pada anak , baik di Negara maju dan berkembang. Defisiensi Fe terjadi dalam tiga tahap diantaranya terjadi bila simpanan Fe berkurang, terlihat karena habisnya simpanan Fe dan terjadi anemia gizi besi. Menurut Nasution (2004), menjelaskan bahwa keseimbangan Fe ditentukan oleh simpanan Fe di dalam tubuh, absorbs Fe dan Fe yang hilang. Sedikitnya 2/3 Fe dalam tubuh merupakan Fe yang bersifat
51
fungsional, kebanyakan dalam bentuk hemoglobin. Sel darah merah selama mengalami sirkulasi, beberapa sebagai myoglobin di dalam sel otot dan sebagian ada di dalam enzim yang mengandung Fe. Anak-anak mempunyai simpanan Fe yang rendah disebabkan karena Fe digunakan untuk pertumbuhan dan pertambahan volume darah.
G. Distribusi Tingkat Asupan Vitamin A Berdasarkan hasil pengumpulan data pada 32 anak SD stunting dan 32 anak SD non stunting terhadap distribusi tingkat asupan vitamin A dapat dilihat pada Gambar 7.
stunting
defisit
defisit
9% 34%
16%
non stunting
kurang
22%
6%
lebih
ringan normal
normal 13%
kurang 3%
ringan 28%
22%
47%
lebih
Gambar 7. Distribusi tingkat Asupan Vitamin A antara Anak SD Stunting dan Non Stunting Berdasarkan Gambar 7 dapat disimpulkan bahwa tingkat asupan vitamin A defisit pada anak SD stunting lebih besar daripada anak SD non stunting. Tingkat asupan vitamin A anak SD stunting sebesar 34% dan untuk anak SD non stunting adalah sebesar 22%. Almatsier (2009) menjelaskan bahwa, defisiensi vitamin A primer terjadi akibat kurang konsumsi atau defisiensi sekunder karena adanya gangguan penyerapan dan penggunaan di dalam tubuh, kebutuhan yang meningkat ataupun karena adanya
52
gangguan
pada
konversi
karoten
menjadi
vitamin
A.
Penelitian
Taufiqurrahman et al (2009), menjelaskan bahwa defisiensi vitamin A menyebabkan kegagalan pertumbuhan dan menurunnya transportasi serta mobilisasi Zn di hati, dimana Zn diperlukan dalam sintesis RBP. Jika defisiensi vitamin A berlangsung lama, maka akan menyebabkan gangguan pertumbuhan yang dimanifestasikan dengan kejadian stunting.
H. Distribusi Tingkat Asupan Seng (Zn) Berdasarkan hasil pengumpulan data pada 32 anak SD stunting dan pada 32 anak SD non stunting terhadap distribusi tingkat asupan Zn dapat dilihat pada Gambar 8.
stunting
non stunting
0% 6% 9%
defisit 28%
kurang 47%
22%
16%
ringan normal
3%
defisit
lebih
kurang ringan
56%
13%
normal lebih
Gambar 8. Distribusi Tingkat Asupan Zn antara Anak SD Stunting dan Non Stunting
Berdasarkan Gambar 8 dapat disimpulkan bahwa tingkat asupan Zn defisit anak SD stunting lebih besar daripada anak SD non stunting. Tingkat Asupan Zn defisit pada anak SD stunting sebesar 47% sedangkan pada anak SD non stunting sebesar 9%. Hal ini berkaitan dengan kurangnya
53
asupan makanan yang mengandung Zn, sumber Zn yang paling baik berasal dari sumber protein hewani seperti daging, hati, kerang dan telur. Bahan sumber protein nabati juga terdapat kandungan Zn, seperti serealia tumbuk dan kacang-kacangan namun dalam hal ini memiliki ketersediaan biologik rendah. Defisiensi Zn pada anak akan mempengaruhi tubuh pendek dan mengganggu metabolisme vitamin A (Almatsier, 2009).
I. Perbedaan Tingkat Asupan Energi antara Anak Stunting dan Non Stunting Arisman (2009) menjelaskan bahwa, masalah gizi kurang masih tersebar luas di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Penyuluhan gizi secara luas perlu digerakan bagi masyarakat guna perubahan perilaku untuk meningkatkan keadaan gizinya. Zat gizi yang dapat memberikan energi diantaranya karbohidrat, lemak dan protein. Gizi kurang dapat berakibat pada proses pertumbuhan anak, sehingga asupan energi harus terpenuhi pada anak. Rata-rata tingkat asupan energi pada anak SD stunting di Kecamata Kartasura sebesar 77,05% AKG yang masuk dalam kategori tingkat kurang, sedangkan untuk rata-rata tingkat asupan energi anak SD non stunting adalah sebesar 93,63% AKG yang masuk dalam kategori tingkat asupan normal. Perbedaan tingkat asupan energi antara anak SD stunting dan non stunting di wilayah Kecamatan Kartasura sebagai berikut: Table 11 . Perbedaan Tingkat Asupan Energi antara Anak SD Stunting dan Non Stunting Status Gizi N Rata-rata Tingkat p value Anak SD Asupan Energi (%AKG) Stunting 32 77.05 0.000 Non Stunting 32 93.63
54
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Independent Sample T Test, didapatkan dengan p-value sebesar 0.000 yang berarti ada perbedaan tingkat asupan energi antara anak SD stunting dan non stunting di wilayah Kecamatan Kartasura. Menurut Departemen Gizi sdan Kesehatan Masyarakat (2013), bahwa ketidakseimbangan energi masukan energi dengan kebutuhan yang berlangsung dalam jangka lama akan menimbulkan masalah kesehatan anak terutama pertumbuhan anak. Data hasil penelitian ini sumber energi yang dikonsumsi oleh kedua sampel tidaklah jauh berbeda. Keduanya sam-sama mengkonsumsi sumber energi dari karbohidrat, protein dan lemak seperti nasi, telur, daging ayam, tempe, tahu dan sayuran. Namun yang membedakannya adalah jumlah bahan makanan yang dikonsumsi anak. Jumlah bahan makanan yang dikonsumsi oleh anak SD non stunting (1921,29 kkal/hari) lebih banyak daripada anak SD stunting (1540,49 kkal/hari). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jumirah et al (2007), bahwa anak yang sangat pendek umumnya mempunyai konsumsi energi yang kurang dan defisit. Anak yang memiliki status gizi normal (non stunting) mempunyai energi yang baik dan defisit. Menurut Sjostrom et al (2012), bahwa terdapat hubungan antara asupan energi dan zat gizi makro terhadap pertumbuhan bayi di Swedia. Bayi premature di Swedia yang mendapat asupan energi rendah mengalami gagal pertumbuhan, sehingga asupan energi dan zat gizi makro pada bayi dioptimalkan untuk mencegah kegagalan pertumbuhan di masa anak.Selain itu menurut penelitian Hidayati et al (2010) menjelaskan asupan energi yang rendah memiliki resiko terhadap kejadian anak stunting 2,52 lebih tinggi dibandingkan dengan asupan energi yang baik.
55
J. Perbedaan Tingkat Asupan Protein antara Anak Stunting dan Non Stunting Yuniastuti (2008) menjelaskan, bahwa protein mempunyai 5 fungsi utama yaitu membentuk jaringan baru dalam masa pertumbuhan dan perkembangan tubuh, memelihara jaringan tubuh, menyediakan asam amino, mengatur keseimbangan air dalam tubuh dan mempertahankan kenetralan asam basa dalam tubuh. Rata-rata tingkat asupan protein pada anak SD stunting di Kecamatan Kartasura sebesar 79,48% AKG yang masuk dalam kriteria tingkat asupan defisit, sedangkan pada anak SD non stunting tingkat asupan protein sebesar 99,60% AKG termasuk dalam kategori tingkat asupan normal. Perbedaan tingkat asupan protein antara anak SD stunting dan non stunting di wilayah Kecamatan Kartasura adalah sebagai berikut: Table 12. Perbedaan Tingkat Asupan Protein antara Anak SD Stunting dan Non Stunting Status Gizi N Rata-rata Tingkat p value Anak SD Asupan Protein (%AKG) Stunting 32 79.48 0.000 Non Stunting 32 99.60
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Independent Sample T Test, didapatkan dengan nilai p-value sebesar 0.000 yang berarti ada perbedaan tingkat asupan protein antara anak SD stunting dan non stunting di wilayah Kecamatan Kartasura. Terdapatnya perbedaan asupan protein antara anak SD stunting dan non stunting dalam penelitian diketahui dari jumlah dan sumber protein yang dikonsumi. Anak stunting lebih sedikit asupan proteinnya disbanding anak non stunting yaitu masing-masing 44.89 gr/hari dan 57.09 gr/hari. Begitu juga dengan sumber protein hewani yang
56
dikonsumsi anak non stunting lebih sering daripada anak stunting, sumber protein hewani diantaranya susu, daging, sosis, daging ayam. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Hidayati et al (2010) bahwa anak balita yang kurang asupan protein mempunyai resiko 3,46 kali akan menjadi anak stunting dibandingkan dengan anak yang cukup asupan proteinnya, karena pertumbuhan anak SD dipengaruhi oleh asupan makan di masa lampau. Misrawati (2012) dalam penelitiannya menjelaskan asupan energi yang kurang akan dipenuhi dari asupan protein, sehingga ketersediaan protein tidak cukup untuk pembentukan jaringan baru. Ketersediaan protein yang kurang akan menyebabkan pengurangan laju pertumbuhan dan penurunan masa otot tubuh. Protein juga berfungsi sebagai pembentukan antibodi, sehingga dibutuhkan jumlah protein yang cukup besar untuk memproduksi antibody yang digunakan untuk melawan zat asing yang masuk ke dalam tubuh. Daya tahan tubuh yang rendah terhadap penyakit lebih banyak diderita oleh anak dengan status gizi kurang, yang disebabkan karena rendahnya kemampuan tubuh untuk membentuk anti bodi (Muchtadi, 2009). Anak yang asupan proteinnya masih kurang akan berakibat pada proses pertumbuhannya, sehingga anak tidak tumbuh sesuai potensialnya. Karena dalam hal ini protein digunakan sebagai zat pembakar sehingga otot-otot menjadi lembek dan rambut mudah rontok (Arisman, 2009).
57
K. Perbedaan Tingkat Asupan Fe antara Anak Stunting dan Non Stunting Zat besi memiliki fungsi bagi tubuh diantaranya sebagai unsur hemoglobin, myoglobin dan beberapa enzim oksidatif yang disimpan sebagai ferritin di dalam hati, limpa dan sum-sum tulang terutama dalam jaringan retikulo indotelial (Yuniastuti, 2007). Keseimbangan Fe detentukan oleh simpanan Fe di dalam tubuh, absorbs Fe dan Fe yang hilang. Sedikitnya 2/3 Fe dalam tubuh merupakan Fe yang bersifat fungsional, kebanyakan dalam bentuk myoglobin. Anak-anak mempunyai simpanan Fe yang rendah disebabkan karena Fe digunakan untuk pertumbuhan dan pertambahan volume darah (nasution, 2004). Rata-rata tingkat asupan Fe anak SD stunting di wilayah Kecamatan Kartasura adalah sebesar 60,48% termasuk kategori tingkat asupan Fe defisit, sedangkan anak SD non stunting sebesar 78,58% yang dikategorikan tingkat asupan Fe ringan. Perbedaan tingkat asupan Fe antara anak SD stunting dan non stunting di wilayah Kecamatan Kartasura adalah sebagai berikut: Table 13 . Perbedaan tingkat asupan Fe antara anak SD stunting dan non stunting Status Gizi N Rata-rata Tingkat p value Anak SD Asupan Fe (%AKG) Stunting 32 60.48 0.000 Non Stunting 32 78.58
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Independent Sample T Test, didapatkan dengan nilai p-value sebesar 0.000 yang berarti ada perbedaan tingkat asupan Fe antara anak SD stunting dan non stunting di wilayah Kecamatan Kartasura. Hal ini dapat disebabkan karena rendahnya Fe yang terdapat di dalam makanan, sehingga penyerapan Fe akan berkurang
58
(Linder, 2010). Terdapatnya perbedaan asupan Fe antara anak SD stunting dan non stunting dalam penelitian diketahui dari sumber protein yang dikonsumi. Anak stunting lebih sedikit jumlah asupan Fe dibanding anak non stunting yaitu masing-masing 8.06 gr/hari dan 11,86 gr/hari. Begitu juga dengan sumber
hewani yang dikonsumsi anak non stunting lebih sering
daripada anak stunting, sumber protein hewani diantaranya susu, daging, telur, ikan, hati ayam. Penelitian
ini
sejalan
dengan
penelitian
Rahfiludin
(2002),
menjelaskan bahwa pemberian suplementasi F2 30 mg dan Vit C 20 mg pada anak prasekolah di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan nilai z-score dari indikator TB/U pada kurun waktu dua bulan. Kekurangan asupan Fe dalam tubuh dapat meningkatkan kerawanan terhadap penyakit infeksi.
L. Perbedaan Tingkat Asupan Vitamin A antara Anak Stunting dan Non Stunting Masalah defesiensi asupan vitamin A pada anak terjadi akibat kurang konsumsi makanan sumber vitamin A dan adanya gangguan penyerapan, kebutuhan yang meningkat atau karena adanya gangguan pada konversi karoten menjadi vitamin A. kekurangan vitamin A dapat terjadi pada penderita KEP, penyakit hati, gangguan absorbsi karena kekurangan asam empedu (Almatsier, 2009). Rata-rata tingkat asupan vitamin A anak SD stunting di wilayah Kecamatan Kartasura adalah sebesar 76,61% termasuk kategori tingkat asupan vitamin A kurang, sedangkan anak SD non stunting sebesar 96,75% yang dikategorikan tingkat asupan vitamin A normal. Hal ini dikarenakan asupan anak stunting terhadap makanan sumber vitamin A
59
masih kurang. Makanan sumber vitamin A diantaranya sayuran hijau, buah, hati, kuning telur, susu. Perbedaan tingkat asupan vitamin A antara anak SD stunting dan non stunting di wilayah Kecamatan Kartasura adalah sebagai berikut: Table 14. Perbedaan tingkat asupan vitamin A antara anak SD stunting dan non stunting Status Gizi N Rata-rata Tingkat p value Anak SD Asupan Vit A (%AKG) Stunting 32 76.61 0.007 Non Stunting 32 96.75
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Independent Sample T Test, didapatkan dengan nilai p-value sebesar 0.007 yang berarti ada perbedaan tingkat asupan vitamin A antara anak SD stunting dan non stunting di wilayah Kecamatan Kartasura. Vitamin A mempunyai pengaruh terhadap sintesis protein, sehingga juga berpengaruh terhadap pertumbuhan sel. Vitamin A dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan gigi. Akibat dari defisiensi vitamin A dapat menyebabkan pertumbuhan tulang terhambat dan bentuk tulang tidak normal (Almatsier, 2009). Peran vitamin A dalam tubuh yaitu untuk pengelihatan, proses pertumbuhan, reproduksi,
perkembangan tulang,
kekebalan serta mengurangi angka kematian dan kesakitan anak (Yuniastuti, 2007). Terdapatnya perbedaan asupan vitamin A antara anak SD stunting dan non stunting dalam penelitian diketahui dari sumber makanan yang dikonsumi. Anak stunting lebih sedikit jumlah asupan vitamin A dibanding anak non stunting yaitu masing-masing 397.25 µg/hari dan 571,13 µg/hari. Penelitian Taufiqurrahman et al (2009), menjelaskan bahwa defisiensi vitamin A menyebabkan kegagalan pertumbuhan dan menurunya transport
60
dan mobilisasi Zn di hati dan sebaliknya Zn diperlukan dalam sintesis RBP. Jika difesiensi vitamin A berlangsung lama, makan akan menyebabkan gangguan pertumbuhan yang dimanifestasikan dengan kejadian stunting Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahman et al (2001), pemberian suplementasi vitamin A membantu penyerapan Zn dalam tubuh yang juga dibantu dengan penambahan α-tokoferol, vitamin B-12, riboflafin dan vitamin C. Vitamin A dalam hal ini bekerja secara responsive terhadap hormone, guna mengatur kekebalan tubuh, pertumbuhan anak dan mengurangi angka kematian terhadap anak. Penelitian Hadi et al (2000), menyebutkan suplementasi vitamin A akan membantu meningkatkan tinggi badan 0,10 cm setiap 4 bulan pada anak usia < 24 bulan dan penambahan tinggi badan 0,22 cm tiap 4 bulan pada anak usia ≥24 bulan.
M. Perbedaan Tingkat Asupan Seng antar Anak Stunting dan Non Stunting Masalah defesiensi Zn yang dilaporkan pertama kali pada tahun 1960-an, yaitu pada anak dan remaja laki-laki di Mesir, Iran dan Turki dengan karakteristik tubuh pendek dan keterlambatan pematangan seksual. Kerusakan Zn kronis mengganggu pusat system syaraf dan fungsi otak (almatsier, 2009). Rata-rata tingkat asupan Zn pada anak SD stunting dan non stunting di Kecamatan Kartasura masing-masing sebesar 69,50% (stunting) dan 93.63%(non stunting). Perbedaan ini terlihat karena sumber Zn banyak terdapat pada makanan bersumber protein hewani seperti telur, daging, hati. Sedangkan sumber Zn tersebut pada anak SD non stunting sesuai dengan tingkat asupan protein yang dikonsumsi. Perbedaan tingkat
61
asupan Zn antara anak SD stunting dan non stunting di wilayah Kecamatan kartasura adalah sebagai berikut: Table 15. Perbedaan tingkat asupan Zn antara anak SD stunting dan non stunting Status Gizi N Rata-rata p value Anak SD Tingkat Asupan Zn (%AKG) Stunting 32 69.50 0.000 Non Stunting 32 93.63
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Independent Sample T Test, diperoleh nilai p-value 0.000 yang berarti ada perbedaan tingkat asupan Zn antara anak SD stunting dan non stunting di wilayak Kecamatan Kartasura. Seng merupakan zat gizi mikro yang mempunyai peran esensial di dalam fungsi tubuh. Seng mempunyai peran sebagai sintesis DNA dan RNA. Defesiensi Zn dapat mengganggu metabolisme vitamin A (Almatsier, 2009). Perbedaan tingkat asupan Zn dilihat dari jumlah Zn yang dikonsumsi oleh anak yaitu anak SD stunting sebanyak 4,18 g/hari sedangkan anak SD non stunting sebanyak 6,18 g/hari. Penelitian ini sejalan dengan penelitian dari beberapa ahli di Indonesia pada tahun 2005 di Kedungjati-grobogan pada anak SD, ditemukan anak yang mengalami defesiensi Zn sebesar 33,3%. Defesiensi Zn berpengaruh dengan kejadian kurang gizi kronis yaitu stunting. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Stewart et al (2009), menjelaskan bahwa suplementasi asam folat+Fe+Zn pada ibu hamil akan mempengaruhi BMI anak atau keadaan stunting pada anak . menururt Brown et al (2002), suplementasi Zn pada anak dapat mempengaruhi penambahan tinggi badan yaitu 0,72 ± 0,98 cm selama 6,8 bulan pengamatan, pemberian makanan tambahan zat gizi 62
makro dan mikro anak usia 3-36 bulam di Guatemala selama 3 tahun memberikan efek penambahan tinggi badan 2,5 cm. Berdasarkan
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Riyadi
(2007),
menjelaskan bahwa Zn juga berinteraksi dengan hormon-hormon yang berperan penting dalam pertumbuhan tulang, seperti somatomedin-c, osteocalcin, testosterone, hormone thyroid dan insulin. Seng sangat berkaitan dengan metabolisme tulang, sehingga Zn berperan secara positif pada pertumbuhan. Kadar Zn sangat tinggi di tulang sangat tinggi dibandingkan pada jaringan lain. Seng sangat penting untuk memperkuat matrik tulang, serta memperlancar efek vitamin D terhadap metabolisme tulang melalui stimulasi sintesis DNA di sel-sel tulang.
63