HUBUNGAN KONSEP MANUSIA DENGAN KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh HERDIYANTI FHAUZIAH 1110011000033
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1436 H
LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Hubungan Konsep Manusia dengan Konsep Pendidikan Islam Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah", disusun oleh Herdiyanti Fhauziah NIM 111001 1000033, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syadf Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqosah pada tanggal 2 Maret 2015 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana 51 (S. Pd,I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam. Jakada, 31 Maret 2015
Panitia Ujian Munaqosah Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi)
Tanggal
Dr. H. Abdul Majid Khon. M. Ae NIP: 19580707 198703 1005
ilv,%l
Sekretaris (Sekretaris JurusaniProdi)
1/*,
Marhamah Saleh. Lc. MA NIP: 19720313 200801 2 010
Penguji
I
,lqlo, /
Muhammad Zuhdi. M.Ed. Ph.D NIP: 19720704199703 | 002
Penguji
II
Prof. Dr. H. Ahmad Syaf ie Noor. MA NIP: 19470902 196712 | 001
Mengetahui: Dekan Fakul
NIP: 1955042
uruan
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
HUBUNGAN KONSEP MANUSIA DENGAN KONSEP
PENDIDIKAN ISLAM MENURUT HAJI ABDUL MALIK
KARIM AMRULLAH Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh
HERDIYANTI FHAUZIAH NIM:
1110011000033
Di bawah Bimbingan
\ ___/w7
Drs. Abdul Haris. M.Ae
NIP: 19660901 199503
1 001
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBTYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2015
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI Skripsi berjudul Hubungan Konsep Manusia dengan Konsep Pendidikan Islam Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah disusun oleh Herdiyanti Fhauziah, NIM. 1110011000033, Jurusan Pendidikan Agarna Islam. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diajukan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.
J
Yang mengesahkan,
Pembimbing
--\u
/
Drs. Abdul Haris. M.Ae
NIP: 19660901 199503 1 001
akarta, 1 3 Februari 201 5
SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH
Saya yang bertanda tangan d i bawah ini:
Nama
Herdiyanti Fhauziah
NIM
11
Jurusan/prodi
Pendidikan Agama Islam (PAI)
Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
1001 1000033
MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA Bahwa skripsi yang berjudul Hubungan Konsep Manusia dengan Konsep Pendidikan Islam Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen : Nama Pembimbing
: Drs.
NIP
:19660901 199503 1 001
Demikian surat pemyataan
ini
Abdul Haris, M.Ag
saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap
menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya sendiri.
Jakarta,13 Februari 2015 Mahasiswa ybs
ABSTRAK Nama :
Herdiyanti Fhauziah
NIM :
1110011000033
Judul :
Hubungan Konsep Manusia dengan Konsep Pendidikan Islam Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah
Manusia merupakan makhluk paling sempurna di antara makhluk ciptaan Allah SWT. Seiring dengan penciptaan raganya, diciptakan pula dalam dirinya akal dan fitrah tauhid, yang nantinya dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Pendidikan adalah usaha yang dilakukan secara berkesinambungan oleh pendidik kepada peserta didik untuk mengembangkan semua aspek kepribadian anak didik baik jasmani maupun rohaninya menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Namun, dalam pendidikan Islam pengertian pendidikan dikhususkan untuk pengarahan aspek kepribadian anak didik menuju pembentukan kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam. Berdasarkan konteks tersebut, maka tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana konsep manusia menurut Hamka? Dan pertanyaan turunannya adalah bagaimana hubungan konsep manusia dengan konsep pendidikan Islam menurut Hamka?. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis dan kajian pustaka. Setelah data terkumpul dan tercatat dengan baik, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa data. Proses analisa dilakukan dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, kemudian data tersebut dianalisis dan dipelajari secara cermat dan dideskripsikan yang selanjutnya memberikan gambaran dan penjelasan serta uraian. Konsep manusia menurut Hamka adalah, bahwa manusia merupakan khalifah fi al-ardh sekaligus ‘abd Allah yang berkewajiban untuk taat dan mengabdi kepada-Nya semata. Menurutnya ketika lahir, potensi manusia belum diketahui dan hanya membawa insting (gharizah) atau fitrah, kemudian potensi tersebut akan berkembang setelah manusia lahir dan melakukan serangkaian interaksi dengan lingkungannya. Dalam diri manusia terdapat tiga unsur utama yang dapat menopang tugasnya sebagai khalifah fi al ardh dan ‘abd Allah. Ketiga unsur utama tersebut adalah akal, hati, dan pancaindera (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba) yang terdapat pada jasadnya. Dengan itu manusia dapat beribadah dan bertakwa kepada Tuhannya guna menjadi manusia yang sempurna. Konsep manusia ini tercermin pada perumusan konsep pendidikan Islam Hamka, baik makna, tujuan, materi, dan unsur pendidikan lainnya. Pemikiran tentang pendidikan Islam Hamka berpijak pada integralitas fitrah, yakni mengoptimalkan seluruh potensi yang ada pada anak didik.
i
ABSTRACT Name NIM Title
: Herdiyanti Fhauziah : 1110011000033 : Hubungan Konsep Manusia dengan Konsep Pendidikan Islam Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah
Human being is the most perfects creature among the creatures of Allah SWT. Along with the creation of his body, also created in his a mind and disposition of monotheism, which will be developed through a process of education. Education is a continuous work done by educators for learners to develop all aspects of the personality of the students both physically and spiritually towards the formation of a major personality. However, in Islamic education the meaning of educational is devoted to directing students towards the formation of personality in accordance with the teachings of Islam. Based on the context, the purpose of this paper is to investigate how the concept of man according to Hamka? And derivatives question is how the concept of human relations with the concept of Islamic education by Hamka?. The method used is a qualitative research method with a descriptive approach of analysis and library research. Once the data is collected and recorded properly, then the next step is to analyze the data. The analysis process is done by reviewing all available data from various sources, then the data is analyzed and studied carefully and described here in after provides an overview and explanation and description. The concept of man in Hamka is, that man is a caliph fi al-ard at once 'abd Allah are obliged to obey and serve Him alone. According to him at birth, human potential is unknown and only bring instinct (gharizah) or nature, then the potential of the human will develop after birth and conducted a series of interactions with the environment. In humans, there are three main elements that can sustain his duties as caliph fi al-ard and 'abd Allah. The three main elements are mind, heart, and senses (sight, hearing, smell, taste, and touch) found on his body. With those man can worship and devoted to his Lord in order to become a perfect human. This concept is reflected in the formulation of the concept of Islamic education by Hamka, at the meaning, purpose, materials, and other educational elements. Hamka’s minds about Islamic education is grounded on integralitas of nature, which optimizes all the potential in students.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam saya sanjungkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya sampai akhir zaman. Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua dan keluargaku tercinta Ayahanda Yusri, Ibunda Sobriyah yang selalu mendoakanku dan mendidikku dengan penuh keikhlasan, keridhaan dan kesabaran serta kasih sayang hingga saat ini. Dan kepada adik-adikku (Chika, Zanky, Zaskia, Natasya, dan Sabian) yang selalu memberikan semangat dalam menuju hidup yang penuh keberkahan, semoga Allah SWT senantiasa menuntun dan menjaga mereka dalam menuju keridhaan-Nya. Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini berkat bantuan serta dukungan dari berbagai pihak yang secara tulus ikhlas memberikan bantuannya baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan dan menghaturkan ucapan terima kasih kepada: 1.
Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
2.
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.
3.
Drs. Abdul Haris, M.Ag, Dosen pembimbing skripsi yang dengan tulus ikhlas telah
memberikan
bimbingan,
bantuan
serta
motivasinya
untuk
menyelesaikan skripsi ini. 4.
Prof. Dr. H. Armai Arief, M.Ag, Dosen Penasehat Akademik dan para dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis dari awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.
5.
Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
iii
membantu penulis dalam mengumpulkan bahan-bahan referensi untuk menyelesaikan skrpsi ini. 6.
Kawan-kawan yang memberikan keceriaan dalam kehidupan dengan tawa dan canda, para mahasiswa PAI khususnya PAI A angkatan 2010 -Shofa, Aqiela, Puji, Niesa, Alis, Upik, Endang, Isma, Mba Uni, Yully, Ziah, Reren, Eva, Eby, Fitri, Wiwid, Fufah, Tia, Firda, Maesaroh, Fahmi, Henry, Zaki, Teguh, Makky, Fadly, Basyir, Haris, Tejo, Suhail, Rahman, Fauzul, Roaz, Taqien, Deri-, Aniez (PAI D), Amel (PAI D), Imah (PAI D), Mae (PAI B), Kiki (PAI D), segenap kawan-kawan yang secara langsung maupun tidak langsung telah ikut serta membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dengan menengadahkan tangan dan mengucap syukur Alhamdulillah hanya
kepada Allah SWT, penulis memohon semoga amal baik yang sudah diberikan menjadi amal shaleh dan diterima disisi-Nya. Akhirnya tiada kata lain yang lebih berarti selain sebuah harapan semoga penelitian ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Jakarta, 13 Februari 2015 Penulis
Herdiyanti Fhauziah
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ........................................................................................................... i ABSTRACT ......................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii DAFTAR ISI ........................................................................................................ v BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ............................................................... 8 C. Pembatasan Masalah .............................................................. 9 D. Perumusan Masalah ................................................................ 9 E. Tujuan dan Kegunaan Penelitan ............................................. 9
BAB II
KAJIAN TEORI KONSEP MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM A. Pengertian Manusia dan Pendidikan Islam ........................... 10 1.
Manusia .......................................................................... 10
2.
Pendidikan Islam ............................................................ 13
B. Manusia Dalam Pendidikan Islam ......................................... 15 1.
Kedudukan Manusia dalam Islam .................................. 15
2.
Proses Penciptaan Manusia ............................................ 16
3.
Tugas Hidup Manusia .................................................... 21
v
4.
Potensi Manusia ............................................................. 22
5.
Tujuan Hidup Manusia ................................................... 23
6.
Manusia Sebagai Subjek dan Objek Pendidikan ............ 24
C. Hasil Penelitian yang Relevan ............................................... 27 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu Penelitian ................................................................... 29 B. Metode dan Jenis Penelitian .................................................. 29 C. Sumber data ........................................................................... 30 D. Teknik Pengumpulan Data .................................................... 30 E. Teknik Analisis Data ............................................................. 31 F. Teknik Penulisan ................................................................... 31
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN A. Biografi Hamka ..................................................................... 32 1.
Riwayat Hidup Hamka ................................................... 32
2.
Pendidikan Hamka ......................................................... 33
3.
Pekerjaan dan Karya-karya Hamka ................................ 36
B. Konsep
Manusia
serta
Hubungannya
dengan
Konsep
Pendidikan Islam Menurut Hamka ........................................ 41 1. Konsep Manusia .............................................................. 41 2. Konsep Pendidikan Islam ................................................ 51 a. Tujuan Pendidikan Islam ........................................... 54 b. Materi Pendidikan Islam ........................................... 55 c. Guru Sebagai Pendidik .............................................. 58 d. Peserta Didik ............................................................. 59 3. Hubungan Konsep Manusia dengan Konsep Pendidikan Islam ................................................................................ 61
vi
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................ 65 B. Implikasi ................................................................................ 66 C. Saran ...................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 68 LAMPIRAN-LAMPIRAN
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna yang diberi keistimewaan bentuk serta dianugerahi dengan akal dan fikiran yang membuatnya mampu memikirkan mengenai alasan penciptaannya di muka bumi dan tujuan dari penciptaannya tersebut. Sesuai dengan firman Allah dalam surat At-Taghabun ayat 3:
“Dia menciptakan langit dan bumi dengan haq.Dia membentuk rupamu dan membaguskan rupamu itu dan hanya kepada Allah-lah kembali (mu).”
Awal mula penciptaan manusia adalah dari Adam as., lalu dari sulbinya terciptalah Hawa sebagai pasangannya dan lahirlah keturunan-keturunannya secara terus-menerus hingga akhir zaman. Seiring bertambahnya jumlah manusia di muka bumi ini beserta hiruk-pikuk aktivitasnya guna menyambung keberlangsungan hidupnya di dunia, manusia lambat laun menjadi lupa akan hakikat dirinya serta tujuan dari penciptaannya di dunia ini. Padahal Al-Qur‟an telah memaparkan secara jelas bahwa tidaklah semata-mata Allah menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana tertera dalam firman-Nya surat Adz-Dzariyat ayat 56:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
1
2
Ibadah dalam hal ini, sebagaimana dikatakan Toto Suharto, tidak dimaksudkan dalam pengertiannya yang sempit, tetapi dalam pengertiannya yang luas. Yaitu, nama bagi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Intinya, tujuan hidup manusia adalah ibadah kepada Allah dalam segala tingkah lakunya.1 Penciptaan manusia bukanlah tanpa tujuan. Manusia mempunyai kedudukan sebagai „abd Allah dan khalifah yang di dalamnya terdapat tanggung jawab yang mesti diembannya. Untuk dapat mengetahui tugas-tugas tersebut maka pemahaman mengenai hakikat dirinya dari apa ia tercipta dan untuk apa ia diciptakan penting untuk diketahui, semua hal tersebut terkait dengan pemahaman mengenai konsep manusia. Setelah mengetahui jawaban mengenai hakikat dan eksistensinya di dunia ini diharapkan ia akan mampu mengetahui arah dan tujuan hidupnya sehingga terhindar dari kebimbangan. Upaya untuk menyingkap hakikat manusia secara utuh telah banyak menyita perhatian, baik dari kalangan filosof, ilmuan bahkan agamawan. Salah satunya ialah tokoh filosof terkemuka, John Locke. Menurutnya, sebagaimana dikutip oleh Ag.Soejono, “Pada waktu lahir anak manusia adalah kosong seperti kertas putih belum tertulisi, pengisiannya bergantung pada pengalamannya”.2 Menurut Alexis Carrel, sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, “Mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya.”3 Pendapat ini menunjukkan tentang betapa sulitnya memahami manusia secara tuntas dan menyeluruh. Sehingga setiap kali seseorang selesai memahami dari satu aspek tentang manusia, maka muncul pula aspek yang lainnya yang belum ia bahas.
1
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 83 Ag. Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan Bagian ke-1, (Bandung: C.V. Ilmu, 1978), Cet. X, h. 20 3 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. I, h. 29 2
3
Padahal pendefinisian mengenai hakikat manusia merupakan hal penting dan dipandang perlu guna membantu manusia mengenal dirinya serta mampu menentukan bentuk aktivitas yang dapat mengantarkannya pada makna kebahagiaan yang sesungguhnya. Namun, upaya tersebut gagal dan manusia hanya mampu menyingkap hakikat dirinya pada batas instrumen bukan pada substansi. Saat menemui jalan buntu tersebut, manusia sadar akan keterbatasannya dan mencoba mengenal dirinya melalui pendekatan agama. Hal ini dikarenakan dalam unsur penciptaan manusia terdapat unsur-unsur ilahiah yang substansinya hanya Allah yang mengetahui. Menurut Abuddin Nata, “Sesungguhnya berbicara tentang manusia tanpa instrumen iman kepada Allah sama artinya membicarakan sesuatu yang rumit dan cenderung tanpa jawaban yang pasti. Manusia adalah makhluk yang memiliki „unsur ke-Ilahian‟, maka tidak mungkin mendalami manusia tanpa melibatkan Allah.”4 Secara psikologis, upaya menyingkap hakikat manusia ini merupakan masalah yang krusial dan penting, terutama dalam proses pendidikannya. Sebab jika tidak, manusia akan kehilangan kendali dan keliru menganggap dirinya superior, dan cenderung menafikan kekuatan makhluk lain termasuk kekuasaan Tuhan. Dampak buruk lain yang dapat diakibatkan dari kesalahan persepsi ini antara lain adalah pelanggaran norma-norma, dan kerusakkan lainnya yang dapat diperbuat manusia. Selain itu, dapat pula muncul sifat pesimis dan rendah diri yang mengakibatkan manusia tidak tergerak untuk menggali dan mengembangkan segala potensi yang telah dianugerahkan Tuhan padanya. Salah satu cara mengetahui dan mempelajari konsep manusia adalah melalui pendidikan. Karena pendidikan merupakan sarana pengembangan kepribadian manusia agar seluruh aspek manusia (aspek keimanan, syariat, dan penghambaan) menjelma dalam sebuah harmoni dan saling menyempurnakan.Lewat penjelmaan itu, seluruh potensi manusia dipadukan dan dicurahkan demi mencapai suatu 4
Ibid., h. 52
4
tujuan. Segala upaya, perilaku, dan getar perasaan, senantiasa bertitik tolak dari tujuan tersebut. Menurut Mohammad Nor Syam, Pendidikan dalam wujudnya selalu bertujuan membina kepribadian manusia, baik demi ultimate goal maupun bagi tujuan-tujuan dekat. Tujuan akhir pendidikan ialah kesempurnaan pribadi. Prinsip ini terutama berpangkal pada asas self realisasi, yakni merealisasi potensi-potensi yang sudah ada di dalam martabat kemanusiaannya. Potensipotensi itu baik berupa potensi-potensi intelektual, mental, rasa, karsa, maupun kesadaran moral, bahkan juga aspek-aspek keterampilan fisik dan perkembangan jasmaniah.5 Menurut Jalaluddin dan Abdullah Idi, Manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang sudah ribuan abad lamanya menghuni bumi. Sebelum terjadi proses pendidikan di luar dirinya, pada awalnya manusia cenderung berusaha melakukan pendidikan pada dirinya sendiri, di mana manusia berusaha mengerti dan mencari hakikat kepribadian tentang siapa diri mereka sebenarnya. Dalam ilmu mantiq, manusia disebut sebagai hayawan al-nathiq (hewan yang berpikir). Berpikir di sini maksudnya adalah berkata-kata dan mengeluarkan pendapat serta pikiran.6 Persoalan yang kemudian muncul adalah cara pandang atau konsep manusia yang digunakan menentukan konsep-konsep lanjutan pada suatu disiplin ilmu atau aliran tertentu. Begitu juga apabila menelaah pendidikan, maka setiap aliran, teori atau sistem pendidikan berakar pada sebuah pandangan falsafah manusia yang digunakan. Sejalan dengan hal tersebut di atas, Prasetya dalam bukunya Filsafat Pendidikan untuk IAIN, STAIN, PTAIS, mengemukakan bahwa, “Corak pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corak penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap untuk memasuki lapangan penghidupan itu.”7
5
Mohammad Nor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 179 6 Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 130-131 7 Prasetya, Filsafat Pendidikan untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 15
5
Sebagai contoh apa yang terjadi dalam tradisi pendidikan di Barat yang berdasarkan pada filsafat positivistik sehingga pendidikan menjadi bebas nilai. Manusia dalam pendidikan dipandang sebagai objek yang tidak jauh berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Perbedaannya hanya dalam fungsi berfikir, kemudian dikatakanlah bahwa manusia adalah binatang yang berfikir. Kemudian pemikiran ini melahirkan pandangan dan sikap hidup materialisme. Puncak kepuasan manusia terletak pada pemuasan materi. Materialisme dan sekuler berjalan seiring dan berkaitan satu sama lain. Kesalahan pemahaman yang telah dilakukan ilmuwan dalam memandang manusia berakibat pada manusia itu sendiri. Karena pada kenyataannya tidak semua kehidupan manusia dapat dirasionalkan. Banyak bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dirasionalkan yang hadir dalam kehidupan manusia seperti cinta, seni, kematian dan sebagainya. Menurut Fadillah Suralaga, “Pandangan yang bersifat antroposentris ini jauh berbeda dengan pandangan Islam dalam melihat manusia dari segi hakikat jati diri substansi manusia. Dalam pandangan Islam pada diri manusia terdapat tiga unsur yang saling berinteraksi dengan kuat yaitu, jasad, jiwa, dan ruh.”8 Menurut Hamka ketiganya merupakan unsur penggerak dan sekaligus memberikan arti bagi keberadaan manusia di muka bumi. Bila salah satu di antaranya tidak difungsikan secara optimal dan proposional, maka akan sangat berpengaruh bagi pembentukan kepribadian peserta didik sebagai hamba-Nya yang mulia.9 Ketidak sempurnaan unsur pada diri manusia inilah (aspek ruh) yang tidak tersentuh oleh pendidikan yang berlangsung di Barat. Di samping memahami konsep manusia diperlukan pula adanya pemahaman mengenai konsep pendidikan Islam. Dikarenakan tujuan hidup ini pada akhirnya akan bersinggungan dengan tujuan pendidikan Islam, karena pendidikan pada dasarnya bertujuan memelihara kehidupan manusia. Seperti pendapat M. Natsir 8
Fadhilah Suralaga, dkk, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I, h. 17 9 Samsul Nizar,Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. I, h. 126
6
sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, “Bahwa dengan mengacu pada surat Adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya Dan Aku (Allah) tidak menjadikan jin dan manusia, melainkan untuk menyembah Aku, menurutnya rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya sama dengan tujuan hidup manusia, yaitu menghambakan diri kepada Allah.”10 Dengan demikian, tujuan hidup muslim sebenarnya merupakan tujuan akhir pendidikan Islam. Para ahli pendidikan Muslim pada umumnya sependapat bahwa teori dan praktek Kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia. Menurut Ali Ashraf, sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar, mengatakan bahwa, “Pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami penafsiran Islam tentang pengembangan inidividu seutuhnya.”11 Apabila pemahaman tentang manusia tidak jelas, maka berakibat tidak baik pada proses pendidikan itu sendiri. Pembicaraan diseputar persoalan ini adalah merupakan sesuatu yang sangat vital dalam pendidikan. Tanpa kejelasan tentang konsep ini, pendidikan akan meraba-raba. Pendidikan Islam merupakan pengembangan pikiran, penataan perilaku, pengaturan emosional, hubungan peranan manusia di dunia ini, serta bagaimana manusia mampu memanfaatkan dunia sehingga mampu meraih tujuan kehidupan sekaligus mengupayakan perwujudannya. Memahami kondisi demikian, maka diperlukan konsep baru tentang manusia yang mempunyai landasan kuat dan jelas, sehingga manusia dipandang dan ditempatkan secara benar dalam arti sesungguhnya. Oleh karena itu, untuk menjelaskan mengenai konsep manusia dan konsep pendidikan Islam secara lebih mendalam, penulis mengambil pemikiran mengenai materi tersebut dari salah satu tokoh cendikiawan tanah air yang sangat menguasai perihal konsep manusia dan pendidikan Islam yang telah diterapkannya pula sebagai bentuk usaha memperbaiki dan memajukan mutu pendidikan di Indonesia, khususnya di tanah 10
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 83 11 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 21
7
Minangkabau. Namun, pemikirannya mengenai konsep manusia dan hubungannya dengan konsep pendidikan Islam yang dicetuskannya ini masih kurang terpublikasikan secara meluas. Tokoh cendikiawan yang dimaksud penulis di sini ialah Hamka. Hamka, merupakan salah seorang tokoh pembaharu Minangkabau yang berupaya menggugah dinamika umat dan seorang mujaddid yang unik. Ia juga sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki pemikiran membumi dan bervisi masa depan. Pernyataan ini tidaklah berlebihan jika kita melihat betapa banyak karya dan buah pikiran Hamka yang turut mewarnai dunia, khususnya Islam. Keterlibatan Hamka di berbagai aspek keilmuan menunjukkan bahwa beliau adalah sosok yang cerdas, penuh inspiratif dan masih banyak hal lain yang dapat kita adopsi untuk mencetak generasi-generasi masa depan seperti Hamka. Meski di kalangan sebagian intelektual masih ada yang meragukan posisinya sebagai pendidik dan pemikir pendidikan Islam, salah satunya Abdul Rahman Wahid. Karena berdasarkan karya-karya yang dihasilkannya, orang-orang cenderung memposisikannya sebagai mufasir melalui Tafsir al-Azhar-nya, sastrawan melalui roman-romannya, sejarawan melalui sejarah Islamnya, sufi melalui Tasawuf Modern-nya, dan da‟i dengan kemampuan retorikanya yang baik. Namun, bila melihat lintas sejarah kehidupannya ia merupakan pendidik yang cukup konsisten dan berhasil. Keikutsertaannya dalam memperkenalkan pembaruan pendidikan di Indonesia dengan melakukan modernisasi kelembagaan dan orientasi materi pendidikan Islam saat mengelola Tabligh School dan Kulliyatul Muballighin di Makassar dan Padangpanjang merupakan salah satu bukti kecemerlangan pemikirannya tentang pendidikan dan dimensi-dimensi ajaran Islam yang bersifat dinamis, inovatif, dan revolusioner. Padahal jika diteliti latar belakang pendidikannya, ia merupakan sosok ulama produk pendidikan tradisional (surau). Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti konsep manusia serta implementasinya terhadap konsep pendidikan Islam yang dicetuskan oleh Hamka,
8
karena penulis ingin mengetahui lebih dalam lagi mengenai pemikiran yang dicetuskannya, serta pengetahuan lain yang dimilikinya yang sementara ini penulis belum ketahui. Bertolak dari hal tersebut, maka dari itu penulis tertarik untuk membahas masalah ini dalam sebuah karya ilmiah berbentuk skripsi yang berjudul “Hubungan Konsep Manusia dengan KonsepPendidikan Islam Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah” B. Identifikasi Masalah Di antara masalah yang terkait dalam penulisan karya ilmiah ini adalah: 1. Kurangnya pemahaman mengenai konsep manusia dalam mengetahui hakekat dan eksistensinya sebagai manusia. 2. Kurangnya
pemahaman
terhadapkonsep
pendidikan
Islam
untuk
diaktualisasikan dalam kehidupan. 3. Kurangnya pemahaman mengenai pentingnya pemahaman konsep manusia yang benar sebagai titik tolak perumusan konsep pendidikan Islam. 4. Kurang
tersosialisasikannya
pendapat
Hamka
terhadap
pemikiran
mengenai konsep manusia dan pendidikan Islam yang telah memberikan kontribusi pada perkembangan hidup manusia terutama dalam hal pendidikan Islam.
C. Pembatasan Masalah Agar permasalahan tidak melebar, maka pada penulisan skripsi ini, dibatasi hanya pada konsep manusia dan hubungannya dengan konsep pendidikan Islam menurut Hamka. D. Perumusan Masalah Dari beberapa uraian singkat di atas, maka permasalahan yang dapat penulis rumuskan adalah sebagai berikut:
9
1. Bagaimana konsep manusia menurut Hamka? 2. Bagaimana hubungan antara konsep manusia dan konsep pendidikan Islam menurut Hamka? E. Tujuan dan Kegunaan Penelitan 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan. b. Untuk mendeskripsikan konsep manusia menurut Hamka. c. Untuk menguraikan hubungan antara konsep manusia dan konsep pendidikan Islam menurut Hamka. 2. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: a. Mengungkapkan pemikiran Hamka yang selama ini penulis belum ketahui. b. Memberikan kontribusi dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnya pendidikan Islam.
BAB II KAJIAN TEORITIK
A. Pengertian Manusia dan Pendidikan Islam 1. Manusia Manusia merupakan salah satu makhluk Allah yang paling istimewa dan pada dirinya diberikan potensi (fitrah) yang membuatnya dapat menjalani kehidupannya di dunia dan dapat mengolah sumber daya yang telah dianugerahkan Allah untuk mempermudah keberlangsungan hidupnya di dunia, serta mampu menjadikan kemegahan alam semesta tersebut sebagai perenungan dan bukti akan besarnya kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Untuk memahami hakikat sebenarnya dari manusia, diperlukan adanya pemahaman yang mendalam dan ketinggian pemikiran karena manusia merupakan makhluk yang kompleks dan memiliki banyak sisi berbeda yang sulit untuk digeneralkan. Menurut
Mohammad
Irfan
dan
Matsuki
HS,
“Al-Qur’an
memperkenalkan tiga istilah kunci (key term) yang mengacu pada makna pokok manusia, yaitu basyar, al-insan, dan al-nas. Ahli lain menambahkan istilah lain yang mengacu pada makna manusia yaitu Adam yakni, representasi manusia.”1 Menurut Fadilah Suralaga, dkk, kata basyar berasal dari kata yang pada mulanya berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahirlah kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena memiliki kulit yang jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain. Proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.2 1
Mohammad Irfan dan Matsuki HS, Teologi Pendidikan Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), Cet. I, h. 55. 2 Fadilah Suralaga, dkk, Psikologi Pendidikan dalam Persepektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I, h. 11
10
11
Firman Allah dalam surat Al-Ruum ayat 20:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.”
Adapun pengertian manusia sebagai insan, sebagaimana dipaparkan oleh Fadilah Suralaga, dkk, “Kata insan diambil dari kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan nampak. Kata insan dalam Al-Qur’an digunakan untuk menunjukkan kepada manusia dengan segala totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain. Akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.”3 Selanjutnya, menurut Mohammad Irfan dan Matsuki HS, “Konsep al-nas mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dalam arti al-nas ini paling banyak disebut Al-Qur’an, yakni sebanyak 240 kali. Menariknya, dalam mengungkapkan manusia sebagai makhluk sosial, Al-Qur’an tidak pernah melakukan generalisasi.”4 Sejak dulu para pakar telah mencoba meneliti perihal makhluk yang bernama manusia dengan menggunakan berbagai teori yang bersumber dari logika dan penggunaan istilah yang bermacam-macam. Penggunaan istilah ini di ambil dari kebiasaan-kebiasaan manusia dalam menjalani kehidupannya. Menurut Achjar Chalil dan Hudaya Latuconsina, para filsuf mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang cenderung terusmenerus mencipta (uncountable creator). Para ahli ilmu sosial mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang cenderung berkumpul (zoon politicon) sehingga merasa tersiksa kalau diasingkan dari pergaulan antarmanusia. Ahli jiwa mengatakan bahwa manusia itu adalah makhluk yang memiliki perasaan (feeling), makhluk yang berpikir (thinking) dan berkeinginan (willing). Para ahli ilmu biologi mengatakan bahwa manusia itu tersusun dari unsur-unsur hayati.5
3
Ibid., h. 11-12 Mohammad Irfan dan Matsuki HS, op. cit., h. 61 5 Achjar Chalil dan Hudaya Latuconsina, Pembelajaran Berbasis Fitrah, (Jakarta: Balai Pustaka, 2009), Cet. II, h. 51-52 4
12
Pengertian tentang manusia di atas menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki kebebasan dalam hal menentukan keinginan dan tindakannya dan juga memiliki kreativitas yang terus-menerus berkembang. Pernyataan yang serupa juga dikemukakan oleh beberapa ahli diantaranya: Menurut Daniel Djuned dalam bukunya Antropologi Al-Qur‟an. Mengatakan bahwa para ulama klasik, baik filsuf, mutakallimin, ataupun ahli ushul melihat manusia hanya sebagai hamba Allah yang diberi akal dan dilengkapi dengan sejumlah potensi atau istitha‟ah, kebebasan memilih atau berkehendak (freewill) dan bebas bertindak (freeact) yang berimplikasi dengan adanya tanggung jawab, meskipun mereka sedikit berbeda dalam analisis tentang bagaimana potensi itu diberikan Tuhan.6 Menurut Aristoteles, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin dan Abdullah Idi, “Manusia adalah hewan berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya dan berbicara berdasarkan akal pikirannya.”7 Menurut Mutahhari, “Manusia adalah makhluk paradoksal. Pada dirinya terdapat sifat-sifat baik dan jahat sekaligus. Tetapi sifat-sifat itu hanyalah halhal yang potensial. Berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya, manusia harus membentuk dirinya. Kemampuan membentuk diri adalah khas manusia; tidak ada makhluk lain yang memiliki kemampuan seperti itu.”8 Menurut M. Arifin, dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam. “Islam juga memandang manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang di dalam dirinya diberi kelengkapan-kelengkapan psikologis dan fisik yang memiliki kecenderungan ke arah yang baik dan yang buruk.”9 Menurut Jalaluddin dan Abdullah Idi, dalam tinjauan Islam, manusia adalah pribadi atau individu yang berkeluarga, selalu bersilaturahmi dan pengabdi Tuhan. Manusia juga pemelihara alam sekitar, wakil Allah swt. di atas muka bumi ini. Manusia dalam pandangan Islam selalu berkaitan
6
Daniel Djuned, Antropologi Al-Qur‟an, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 88 Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 129 8 Murtadha Mutahhari, Perspektif Al-Qur‟an Tentang Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan, 1997),Cet. IX, h. 32 9 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 14 7
13
dengan kisah tersendiri, tidak hanya sebagai hewan tingkat tinggi yang berkuku pipih, berjalan dengan dua kaki dan berbicara.10 Allah SWT. menayatakan dalam firman-Nya surat asy-Syams ayat 1-7:
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya).”
Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang diberi keistimewaan dibanding seluruh ciptaan-Nya yang lain, pada dirinya telah dibekali potensi-potensi (kesempurnaan akal dan fisik), beserta kemampuan untuk mengarahkan potensi-potensi tersebut ke arah kebaikan ataupun keburukan. Dari beberapa pendapat para ahli yang telah dikemukakan oleh penulis, dapat disimpulkan bahwa manusia merupakan makhluk Tuhan yang dianugerahi dengan berbagai potensi serta diberikan kebebasan untuk berpikir dan bertindak, Adakalanya pemikiran dan tindakannya itu mengarah kepada keburukan dan dapat berakibat pada pengerusakkan alam. Namun, dapat pula mengarah kepada kebaikkan yang akan membawa kemaslahatan untuk dirinya, sesama makhluk, maupun alam semesta.
2. Pendidikan Islam Pengertian pendidikan Islam menurut rumusan Seminar Nasional tentang Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, sebagaimana dikutip oleh M. Arifin ialah “Sebagai pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan ruhani dan jasmani manusia menurut ajaran Islam dengan hikmah 10
Jalaluddin dan Abdullah Idi, op. cit., h. 129-130
14
mengarahkan,
membelajarkan,
berlakunya semua ajaran Islam.”
melatih,
mengasuh,
dan
mengawasi
11
Dari hasil konferensi Pendidikan Islam se-Dunia kedua tahun 1980 di Islamabad, Pakistan, sebagaimana dikutip oleh A. Fatah Yasin, “Pendidikan Islam adalah suatu usaha untuk mengembangkan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, dan ilmiah baik secara individual maupun kolektif menuju ke arah pencapaian kesempurnaan hidup sesuai dengan ajaran Islam.”12 Menurut Ahmad D. Marimba, “Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.”13 Menurut A. Fatah Yasin pendidikan Islam merupakan pendidikan yang integral dan berkesinambungan serta mencakup semua aspek kepribadian manusia. Aspek-aspek yang diperhatikan oleh pendidikan Islam adalah: jasad, akal, akidah, emosi, estetika, dan sosial. Karena itu, pendidikan Islam harus diarahkan untuk pengembangan aspek-aspek tersebut kepada hal-hal yang bermanfaat dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, pendidikan Islam ingin membentuk manusia yang menyadari dan melaksanakan tugas-tugas dan kekhalifahannya serta memperkaya diri dengan khazanah ilmu pengetahuan tanpa mengenal batas. Namun juga menyadari bahawa hakikat keseluruhan hidup dan pemilikan ilmu pengetahuan yang dimaksud tetap bersumber dan bermuara kepada Allah.14 Maka dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan
Islam
adalah
suatu
usaha
yang
dilakukan
secara
berkesinambungan untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia baik jasmani maupun rohani, untuk kemudian diarahkan kepada pembentukan kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam.
11
M. Arifin, op. cit., h. 13-14 A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UIN-Malang Press, 2008), h. 24 13 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1980), Cet. IV, h. 23 14 A. Fatah Yasin, op. cit., h. 108 12
15
B. Manusia dalam Pendidikan Islam 1. Kedudukan Manusia dalam Pendidikan Islam Menurut Umiarso dan Zamroni, dalam konsepsi Al-Qur’an, manusia menempati posisi yang sangat mulia dan terhormat di jagat raya ini, bahkan kemuliannya lebih tinggi dibandingkan dengan malaikat dan makhluk ciptaan Allah lainnya. Oleh karena itu, manusia memiliki tanggung jawab yang besar sebagai mandataris Allah (khalifah Allah fi al ardh) dalam mengatur tata kehidupan di dunia.15 Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah ayat 30:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Kata khalifah berasal dari bahasa Arab “khalafa” yang berarti pengganti, istilah ini pertama kali digunakan setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. yakni sebagai sebutan bagi para pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi. Kedudukan seluruh manusia sebagai khalifah yang disebutkan Allah dalam firman-Nya di atas, tidaklah dimaksudkan bahwa seluruh manusia bertugas sebagai wakil atau pemimpin umat dalam hal pemerintahan. Akan tetapi khalifah di sini memiliki arti bahwa setiap manusia memiliki tanggung jawab untuk dapat mengolah dan menaburkan benih-benih kebaikan sebagai wakil Tuhan di muka bumi.
15
Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011), h. 65
16
Ibnu Arabi mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Yunasril Ali, bahwa jabatan khalifah itu hanya milik insan kamil, karena pada dirinya dari aspek batin- terproyeksi pula nama-nama dan sifat-sifat ilahi. Yang dimaksud khalifah di sini bukan semata-mata jabatan dalam pemerintahan yang secara lahir merupakan tugas memimpin/mengendalikan pemerintahan dalam suatu wilayah negara (khalifah al-zhahiriyah), tetapi lebih ditekankan pada pengertian khalifah yang kedudukannya sebagai wakil (na‟ib) Allah. Atau lebih spesifik lagi, sebagai manifestasi namanama dan sifat-sifat Allah di muka bumi (al khalifah al ma‟nawiyah) hingga kenyataan adanya Tuhan terlihat padanya.16 Manusia selaku khalifah Allah di bumi, menurut Hasan Langgulung sebagaimana dikutip oleh Toto Suharto, mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut: a. b. c.
d.
Manusia semenjak awal penciptaannya adalah baik secara fitrah. Ia tidak mewarisi dosa karena Adam meninggalkan surga. Interaksi antara badan dan ruh menghasilkan khalifah, karakteristik ini yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Manusia selaku khalifah memiliki kebebasan berkehendak (free will), suatu kebebasan yang menyebabkan manusia dapat memilih tingkah lakunya sendiri. Manusia dibekali akal yang dengan akal itu manusia mampu membuat pilihan antara yang benar dan yang salah.17
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan penulis di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki kedudukan sebagai khalifah Allah di bumi, yakni bertugas memanifestasikan nama-nama serta sifat-sifat Allah di muka bumi ini, hingga kenyataan adanya Allah adalah benar adanya. Dan kedudukan tersebut hanya dapat diemban oleh insan kamil, yakni manusia yang memiliki keutamaan di sisi Tuhan maupun di sisi makhluk-Nya. 2. Proses Penciptaan Manusia Manusia diciptakan Tuhan melalui serangkaian proses alami yang berlangsung dalam beberapa tahap. Proses penciptaan manusia dijelaskan Allah dalam firmannya surat Al-Mu’minun ayat 12-14:
16
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn „Arabi oleh AlJili, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 80 17 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011), Cet. I, h. 8485
17
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, pencipta yang paling baik.”
Dilihat dari proses penciptaannya, Al-Qur’an menyatakan proses penciptaan manusia dalam dua tahapan yang berbeda, yaitu: Pertama, disebut dengan tahapan primordial. Kedua, disebut dengan tahapan biologi. Tahap primordial terjadi pada manusia pertama, Adam as. Ia diciptakan oleh Allah dari al-tin (tanah), al-turob (tanah debu), min shal (tanah liat), min hamain masnun (tanah lumpur hitam yang busuk) yang dibentuk Allah dengan seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkan ruh dari-Nya ke dalam diri (manusia) tersebut. Selanjutnya, tahapan biologi yang dapat dipahami secara sains-empirik. Di dalam proses ini, manusia diciptakan dari inti sari tanah yang dijadikan air mani (nutfah) yang tersimpan dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian nutfah itu dijadikan darah beku („alaqah) yang menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikannya segumpal daging (mudghah) dan kemudian dibalut dengan tulang-belulang lalu kepadanya ditiupkan ruh. Menurut Samsul Nizar, “Hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa ruh dihembuskan Allah swt ke dalam janin setelah ia mengalami perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari „alaqah dan 40 hari mudghah.”18
18
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 15
18
Menurut Musa Asy’arie, sebagaimana dikutip oleh Toto Suharto, “Terdapat empat tahap proses penciptaan manusia, yaitu tahap jasad, tahap hayat, tahap ruh, dan tahap nafs.”19 Berikut penjelasan keempat tahapan ini:
a. Tahap jasad Al-Qur’an menjelaskan bahwa permulaan penciptaan manusia adalah dari tanah (turab) (QS. Al-Hajj: 5), yaitu tanah berdebu. Al-Quran terkadang menyebut tanah ini dengan istilah tin (QS. Al-An’am: 2) dan terkadang juga dengan istilah salsal (QS. Al-Rahman: 14). Namun yang jelas, yang dimaksud dengan tanah ini adalah saripatinya atau sulalah (QS. Al-Mu’minun: 12). Penciptaan dari tanah ini tidak berarti bahwa manusia dicetak dari bahan tanah, seperti orang membuat patung dari tanah. Penciptaan ini bermakna simbolik, yaitu sari pati yang membentuk tumbuhan atau binatang yang kemudian menjadi bahan makanan bagi manusia. Jadi, awal mula terciptanya janin di rahim seorang ibu ialah bersumber dari percampuran sperma laki-laki dengan sel telur perempuan yang semuanya itu merupakan hasil dari olahan makanan yang mereka cerna setiap harinya. Dan semua makanan tersebut dihasilkan dari dalam bumi, sehingga proses penciptaan manusia dari tanah hanya merupakan istilah maknawiyah saja. Proses penciptaan manusia dari tanah yang bersifat zhahiriyah hanya pernah terjadi pada proses penciptaan manusia yang paling awal, yakni Nabi Adam as. b. Tahap hayat Menurut Toto Suharto, awal mula kehidupan manusia menurut Al-Qur’an adalah air, sebagaimana kehidupan tumbuhan dan binatang (QS. Al-Anbiya: 30). Maksud air kehidupan disini adalah air yang hina atau sperma (QS. As-Sajdah: 8). Sperma ini kemudian membuahi
19
Toto Suharto, op. cit., h. 82
19
sel telur yang ada dalam rahim seorang ibu. Sperma inilah yang merupakan awal mula hayat (kehidupan) seorang manusia.20 Pernyataan bahwa awal mula kehidupan di muka bumi ialah bersumber dari air juga pernah diungkapkan oleh filosof bernama Thales, hal ini dikarenakan segala unsur dalam makhluk hidup, air pasti menjadi salah satu kebutuhan dan menjadi bagian dari dirinya. Baik itu hewan, tumbuhan maupun manusia. Pada proses terjadinya manusia, air sebagai sumber kehidupan yang dimaksudkan adalah air sperma yang dihasilkan kaum lelaki, di dalamnya terdapat zat-zat hidup yang nantinya akan membuahi sel telur. Sehingga jasad janin yang nantinya akan tumbuh dalam rahim sang ibu akan dapat hidup dan memiliki karakteristik makhluk hidup pada umumnya, seperti membutuhkan makanan, bergerak, bernafas, dan menanggapi rangsang. c. Tahap ruh Kata ruh berasal dari kata ar-rih yang berarti angin. Oleh karena itu, ar-ruh disebut juga an-nafs, yaitu napas atau nyawa. Menurut ibn Atsir, sebagaimana dikutip oleh Umiarso dan Zamroni, “Ruh itu dipakai dalam berbagai arti, tetapi yang paling umum ialah sesuatu yang dijadikan sandaran bagi jasad.”21 Menurut I.R. Poedjawijatna, “Kebanyakan ahli filsafat Yunani berpendapat bahwa ruh itu merupakan satu unsur yang halus, yang dapat meninggalkan badan. Jika dia pergi dari badan, dia kembali ke alamnya yang tinggi, meluncur ke angkasa luar dan tidak mati, sebagaimana ungkapan Phytagoras kepada Diasgenes.”22
20
Ibid. Umiarso dan Zamroni, op. cit., h. 77 22 I.R. Poedjawijatna, Manusia dengan Alamnya (Filsafat Manusia), (Jakarta: Bina Aksara, 1983), Cet. III, h. 67 21
20
Adanya proses peniupan ruh yang ditiupkan Tuhan dalam diri manusia dan kemudian diiringi dengan pemberian pendengaran, penglihatan, dan hati merupakan bukti bahwa yang menjadi pimpinan dalam diri manusia adalah ruh. Ruhlah yang kiranya dapat membimbing, pendengaran, penglihatan dan hati untuk memahami kebenaran. Menurut
I.R.
Poedjawijatna
juga,
“Islam
juga
memandang
permasalahan ruh merupakan suatu hal yang terbatas untuk dipelajari secara mendalam. Hal itu menjadi landasan bukti walaupun banyak ilmu yang telah dimiliki oleh manusia, namun sampai kapanpun ia tidak akan bisa melebihi Tuhannya, dalam masalah ruh.”23 Menurut Zuhairini, dkk, Islam berpendapat bahwa manusia terdiri dari dua substansi yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Maka hakikat pada manusia adalah ruh itu, sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan material di alam yang material bersifat sekunder dan ruh adalah primer, karena ruh saja tanpa jasad yang material, tidak dapat dinamakan manusia. Malaikat adalah makhluk ruhaniyah (bersifat ruh semata) tidak memiliki unsur jasad yang material. Tetapi sebaliknya unsur jasad yang material saja tanpa ruh, maka juga bukan manusia namanya. Hewan adalah makhluk yang bersifat jasad material yang hidup. Manusia tanpa ruh, tidak lebih dari hewan.24 Jadi, ruh merupakan suatu unsur halus yang melekat pada jasad. Manusia bisa dikatakan hidup apabila ruhnya masih melekat pada jasadnya. Namun, bila ruhnya tersebut telah meninggalkan jasadnya, maka telah berakhirlah kehidupannya di muka bumi ini. Oleh karena itu, pada hakikatnya jiwa manusia yang telah hidup sejak zaman azali hingga di dunia akhirat nanti hanyalah ruhnya saja, adapun jasadnya yang tampak di muka bumi ini hanya merupakan alat atau wadah sebagai bukti yang jelas akan kehidupannya di muka bumi.
23 24
Ibid. Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 2004), h. 77
21
d. Tahap nafs Menurut Toto Suharto, kata nafs dalam Al-Qur’an mempunyai empat pengertian, yaitu nafsu, napas, jiwa, dan diri (keakuan). Dari keempat pengertian ini, Al-Qur’an lebih sering menggunakan kata nafs untuk pengertian diri (keakuan). Diri atau keakuan adalah kesatuan dinamik dari jasad, hayat dan ruh. Dinamikanya terletak pada aksi atau kegiatannya. Kesatuannya bersifat spiritual yang tercermin dalam aktivitas kehidupan manusia.25 Dalam diri manusia, terdapat jasad sebagai wadah bagi ruh dan dengan gabungan keduanya kemudian menjadi hiduplah jasad tersebut. Gabungan unsur-unsur tersebut nantinya akan menghasilkan sebuah aksi atau tindakan. Dengan adanya aksi tersebutlah baru manusia dapat dikatakan hidup. Oleh karena itu, dalam hidupnya manusia selalu bergerak, bersosialisasi dan tidak pernah berhenti untuk berkreativitas dan mengelola sumber daya alam guna menjaga keberlangsungan hidupnya dan melestarikan alam semesta.
3. Tugas Hidup Manusia Tugas manusia dalam pandangan Islam adalah memakmurkan bumi dengan jalan memanifestasikan potensi Tuhan dalam dirinya. Dengan kata lain, manusia sesungguhnya diperintahkan untuk mengembangkan sifat-sifat Tuhan menurut perintah dan petunjuk-Nya. Sifat-sifat Tuhan ini dalam bahasa agama biasa disebut Al-Asma Al-Husna, yang berjumlah 99. Sebagai contoh, Tuhan adalah Maha Pengasih (Ar-Rahman) maka manusia diperintahkan untuk bersifat asih terhadap dirinya dan makhluk lain. Menurut Toto Suharto, Satu hal yang perlu dikemukakan di sini adalah bahwa sifat-sifat Tuhan itu hanya dapat dimanifestasikan oleh manusia dalam bentuk dan cara yang terbatas. Hal ini, selain karena watak keterbatasan manusia, juga dimaksudkan agar manusia tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Seyogyanya manusia menganggap proses perwujudan sifat-sifat Tuhan ini sebagai suatu amanah, agar manusia mempunyai tanggung jawab yang besar dalam melaksanakan tugas ini.26
25 26
Toto Suharto, op. cit., h. 83 Ibid., h. 85-86
22
Jadi, proses perwujudan sifat-sifat Tuhan ini hanyalah sebagai contoh kecil dari keluasan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Besar. Oleh karena itu, manusia seyogyanya
tidak
bersifat
sombong dan superior dengan
menganggap bahwa dirinya telah mencapai puncak dari semua sifat-sifat baik yang melekat pada nama-nama Tuhan.
4. Potensi Manusia Untuk dapat menjalankan fungsi kekhalifahannya, manusia dibekali Tuhan dengan berbagai potensi. Potensi-potensi ini diberikan Tuhan kepada manusia sebagai suatu anugerah, yang tidak diberikan Tuhan kepada makhluk lain. Potensi-potensi ini dalam bahasa agama disebut dengan fitrah. Di dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang memungkinkan ia menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Hadis ini mengisyaratkan bahwa manusia semenjak lahir sudah dibekali dengan berbagai potensi yang disebut dengan fitrah. Fitrah adalah suatu istilah dari bahasa Arab yang berarti tabiat yang suci atau baik, yang khusus diciptakan Tuhan bagi manusia. menurut Toto Suharto, “Fitrah kiranya merupakan modal modal dasar bagi manusia agar dapat memakmurkan bumi ini. Fitrah juga merupakan potensi kodrati yang dimiliki manusia agar berkembang menuju kesempurnaan hidup. Keberhasilan manusia
dalam
hal
ini
dapat
dilihat
dari
kemampuannya
untuk
mengembangkan fitrah ini.”27 Berdasarkan dengan potensi (fitrah) yang dibekalkan Tuhan kepada manusia, para ahli filsafat telah memberikan berbagai predikat kepada manusia. Menurut Zuhairini, Prediket tersebut antara lain: a. Manusia adalah “homo sapiens” artinya makhluk yang mempunyai budi. b. Manusia adalah “animal rational” artinya binatang yang berpikir.
27
Ibid., h. 86
23
c. Manusia adalah “homo laquen” yaitu makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun. d. Manusia adalah “homo faber” artinya makhluk yang tukang, dia pandai membuat perkakas atau disebut juga “tool making animal” yaitu binatang yang pandai bekerja sama, bergaul dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. e. Manusia adalah “homo economicus” artinya makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi dan bersifat ekonomis. f. Manusia adalah “homo religious” yaitu makhluk yang beragama. Dr. M.J.
Langeveld
seorang
tokoh
pendidikan
bangsa
Belanda,
memandang manusia itu sebagai “animal educadum dan animal educabile” yaitu bahwa manusia itu adalah makhluk yang harus dididik dan dapat dididik. Di samping itu manusia juga sebagai “homo planemanet” artinya untuk itu maka unsur rohaniah merupakan syarat mutlak untuk terlaksananya program-program pendidikan.28 Jadi, potensi atau fitrah merupakan bekal khusus yang telah disiapkan Tuhan untuk kelangsungan hidup manusia di bumi. Dengan potensi-potensi yang berbeda tersebut manusia akan saling belajar dan membantu satu sama lain guna mengoptimalkan potensi-potensi yang dimiliki diri mereka masingmasing hingga menuju kesempurnaan hidup. Namun, kesempurnaan tersebut hanya mampu dicapai oleh orang-orang yang mampu mengenali dan menggali secara benar potensi-potensi yang terdapat dalam diri mereka.
5. Tujuan hidup manusia Al-Qur’an menjelaskan bahwa tidaklah semata-mata Allah menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Firman Allah dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56:
28
Zuhairini, dkk, op. cit, h. 82-83
24
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” Menurut Toto Suharto, “Ibadah (pengabdian) dalam hal ini tidak dimaksudkan dalam pengertiannya yang sempit, tetapi dalam pengertiannya yang luas. Yaitu, nama bagi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Intinya, tujuan hidup manusia adalah ibadah kepada Allah dalam segala tingkah lakunya.”29 Tujuan hidup ini pada akhirnya akan bersinggungan dengan tujuan pendidikan Islam, karena pendidikan pada dasarnya bertujuan memelihara kehidupan manusia. Dengan demikian, tujuan hidup muslim sebenarnya merupakan tujuan akhir pendidikan Islam.
6. Manusia Sebagai Subjek dan Objek Pendidikan Menurut Langeveld, sebagaimana dikutip oleh Madyo Eko Susilo dan RB Kasihadi, “Manusia itu adalah „animal educandum‟ (makhluk yang harus dididik) dan „homo educandus‟ (makhluk yang dapat mendidik).”30 Dari hakikat ini jelas bahwa pendidikan itu merupakan keharusan mutlak bagi manusia. Hal ini sesuai dengan kandungan Al-Qur’an surat Al’Alaq ayat 1-5:
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Agama Islam mendorong umatnya agar menjadi umat yang pandai, dimulai dengan belajar baca tulis dan diteruskan dengan belajar berbagai macam ilmu pengetahuan. Islam di samping menekankan kepada umatnya 29
Toto Suharto, op. cit., h. 83 Madyo Eko Susilo Dan RB Kasihadi, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h. 18 30
25
untuk belajar juga menyuruh umatnya untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Jadi Islam mewajibkan umatnya belajar dan mengajar. Menurut Zuhairini, dkk, “Melakukan proses belajar dan mengajar adalah bersifat manusiawi, yakni sesuai dengan harkat kemanusiaannya, sebagai makhluk homo educandus, dalam arti manusia itu sebagai makhluk yang dapat dididik dan mendidik.”31 a. Manusia sebagai subjek pendidikan Menurut Ahmad D. Marimba, “Yang dimaksud dari manusia sebagai subjek pendidikan adalah manusia dalam perannya sebagai pendidik, secara umum pendidik adalah mereka yang memiliki tanggung jawab mendidik. Mereka adalah manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya melaksanakan proses pendidikan.”32 Menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Umiarso dan Zamroni, „Makhluk yang paling mulia di muka bumi ialah manusia. Sedangkan, yang paling mulia penampilannya adalah kalbunya. Guru atau pengajar selalu menyempurnakan, mengagungkan, dan mensucikan kalbu itu serta menuntunnya untuk dekat dengan Allah.‟ Ia juga menambahkan, „Seseorang yang berilmu kemudian bekerja dengan ilmunya itu, dialah yang dinamakan orang besar di bawah kolong langit ini. Ia bagai matahari yang mencahayai orang lain, sedangkan ia sendiri pun bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain, ia sendiri pun harum.‟33 Pendidik, selain bertugas melakukan transfer of knowledge, juga adalah seorang motivator dan fasilitator bagi proses belajar peserta didiknya. Menurut Hasan Langgulung sebagaimana dikutip oleh Toto Suharto, “Dengan paradigma ini, seorang pendidik harus dapat memotivasi dan memfasilitasi peserta didik agar dapat mengaktualisasikan sifat-sifat Tuhan yang baik, sebagai potensi yang perlu dikembangkan.”34 Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Luqman ayat 13:
31
Zuhairini, dkk, op. cit., h. 99 Ahmad. D. Marimba, op. cit., h. 37 33 Umiarso dan Zamroni, op. cit., h. 85 34 Toto Suharto, op. cit., h. 116 32
26
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan penulis di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai subjek pendidikan adalah merupakan seorang pendidik, dalam hal ini pendidik tugas seorang pendidik bukanlah sekedar melakukan transfer ilmu saja, melainkan juga sebagai penanam nilai-nilai moral pada diri peserta didik.
b. Manusia sebagai objek pendidikan Menurut Toto Suharto, “Manusia sebagai objek pendidikan yakni manusia dalam perannya sebagai peserta didik, peserta didik dalam paradigma berarti orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi dasar (fitrah) yang perlu dikembangkan.”35 Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 31:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat. Lalu mereka berkata: "Sebutkanlah kepada-ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orangorang yang benar!."
Menurut Umiarso dan Zamroni, ayat ini menggambarkan pada kita betapa fitrah manusia sebagai peserta didik sudah diaplikasikan oleh manusia pertama, yaitu Adam, sebagaimana Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda secara keseluruhan. Dialog tersebut menjadi
35
Ibid., h. 119
27
indikasi betapa proses pendidikan mempunyai urgenitas tersendiri dalam Islam.36 Akan tetapi menurut Zakiah Daradjat, dkk, “Fungsi murid dalam interaksi belajar-mengajar adalah sebagai subjek dan objek. Sebagai subjek, karena murid menentukan hasil belajar dan sebagai objek, karena muridlah yang menerima pelejaran dari guru”.37 Jadi, manusia sebagai objek pendidikan ialah saat manusia berada pada posisi sebagai penerima materi atau ilmu. Namun, tetap saja hasil akhirnya ditentukan oleh mereka sendiri sebagai subjek penentu.
C. Hasil Penelitian yang Relevan Tulisan-tulisan tentang Hamka sudah banyak dikaji orang, begitu juga tentang penelitian mengenai tokoh ini, dikarenakan tokoh ini memiliki pengaruh besar di bidangnya dengan bukti karya-karyanya yang masih terus diterbitkan dan dikaji hingga saat ini. Berikut merupakan beberapa penelitian terkait dengan Hamka berkenaan masalah pendidikan, yaitu: 1. Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Buku Tasawuf Modern Buya Hamka skripsi karya Rini Setiani mahasiswa PAI, dalam penelitian karya ilmiahnya ini peneliti mencoba mengulas nilai-nilai Islam yang dapat diaplikasikan dalam khazanah pendidikan Islam yang terkandung dalam buku Tasawuf Modern karya Hamka. Dari penelitian ini pula dapat diketahui setidaknya terdapat tiga pembahasan pokok mengenai nilia-nilai pendidikan Islam, yaitu pendidikan keimanan, pendidikan akhlak, dan pendidikan spiritual. 2. Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, skripsi karya Ajeng Pramiswari mahasiswi PAI, dalam penelitian karya ilmiah ini peneliti memaparkan bahwa tujuan hidup manusia merupakan tolak ukur pendidikan Islam, dalam hal ini, tujuan hidup manusia yang dirumuskan 36
Umiarso dan Zamroni, op. cit., h. 83 Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet-I, h. 268 37
28
Hamka adalah untuk beribadah, maka segala proses pendidikan pada akhirnya bertujuan agar dapat menuju dan menjadikan peserta didik sebagai abdi Allah dengan cara mengenal dan mencari keridhoan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia, serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna di tengah-tengah komunitas sosialnya. Dari dua penelitian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti pandangan Hamka mengenai konsepnya tentang manusia dan hubungannya dengan konsep pendidikan Islam yang dirumuskannya. Karena pada dasarnya setiap konsep pendidikan yang dirumuskan oleh suatu tokoh tidak akan pernah terlepas dari gagasan mereka tentang manusia, karena manusia merupakan subjek dan objek kajian dari pendidikan itu sendiri, jadi pemahaman tentang konsep manusia secara mendalam mutlak dipahami oleh para penggagas pendidikan, dalam penelitian ini adalah Hamka. Dan karena belum ditemukan penelitian yang membahas mengenai konsep manusia dan implikasinya terhadap konsep pendidikan Islam menurut Hamka.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian Penelitian yang berjudul “Hubungan Konsep Manusia dengan Konsep Pendidikan Islam Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah” ini dilaksanakan dalam waktu beberapa bulan, dengan pengaturan waktu sebagai berikut: bulan September 2014 sampai bulan Februari 2015 digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari teks book yang ada di perpustakaan, serta sumber lain yang mendukung penelitian. B. Metode dan Jenis Penelitian Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Sesuai dengan pokok masalah yang telah dirumuskan, data dan informasi yang dihimpun dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode kualitatatif. Dalam penyajian data digunakan metode deskriptif analisis. Metode deskriptif digunakan untuk menguraikan dan menggambarkan data dan informasi yang diperoleh dalam bentuk kalimat yang disertai dengan kutipan-kutipan data. Dalam proses mengumpulkan bahan kepustakaan, peneliti melakukannya dengan cara membaca, menelaah buku-buku, surat kabar dan bahan-bahan informasi lainnya terutama yang berkaitan dengan manusia dan pendidikan Islam.
29
30
C. Sumber Data Menurut Lexy J. Moleong, “Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.”1 Adapun sumber data tersebut adalah: 1. Menurut Saefudin, “Data primer adalah data utama dari berbagai referensi atau sumber-sumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama”2. Dalam hal ini sumber data primer yang digunakan adalah bukubuku karya Hamka sebagai sumber acuan utama, antara lain: Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998, dan Hamka, Lembaga hidup, Jakarta: Djajamurni, 1962. 2. Menurut Sugiyono, “Sumber data sekunder sebagai data pendukung yaitu berupa data-data tertulis baik itu buku-buku maupun sumber lain yang memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas.”3Dalam hal ini sumber data sekunder yang digunakan antara lain buku Memperbincangkan Dinamika Intelektual Dan Pemikiran HAMKA Tentang Pendidikan Islam karangan Samsul Nizar dan Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan karangan Suwito dan Fauzan, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawuf HAMKA karangan Abdul Rouf, dan lain sebagainya.
D. Teknik Pengumpulan Data Teknik dan alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Pustaka (Library Research), menurut Sugiyono “studi pustaka yaitu studi yang dilakukan dengan mempelajari literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-data melalui bahan bacaan
1
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h.
157 2
Saefudin Azwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 89 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 309 3
31
seperti teks book, dan artikel yang memiliki relevansi dengan penelitian ini guna mendapatkan landasan teori.”4 E. Teknik Analisis Data Menurut Lexy J. Moleong, “Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.”5 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik Analisis Isi (Content Analysis), yaitu menggunakan deskriptif analisis. Dalam catatan deskriptif ini peneliti memberikan informasi faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan mencakup penggambaran secara rinci dan akurat terhadap berbagai dimensi yang terkait dengan semua aspek penelitian, yaitu mengenai konsep manusia dan hubungannya dengan konsep pendidikan Islam menurut Hamka. Kemudian setelah itu, dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas, kemudian peneliti menganalisis data tersebut, sehingga menghasilkan suatu kesimpulan. F. Teknik Penulisan Teknik atau metode penulisan ini berpedoman pada Pedoman Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014. Teknik penulisan juga mengacu kepada buku Metode Penelitian Pendidikan karya Prof. Dr. Sugiyono dan juga mengacu kepada buku Metodologi Penelitian Kualitatif karya Prof. Dr. Lexy J Moelong, M.A.
4
Ibid., h. 309 Lexy J. Moleong, op. cit., h. 248
5
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biografi Hamka 1. Riwayat Hidup Hamka Menurut Samsul Nizar, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), lahir di sungai Batang, Maninjau (Sumatera Barat) pada hari Minggu, tanggal 16 Februari 1908 M/13 Muharram 1326 H dari kalangan keluarga yang taat beragama. Ayahnya bernama Haji Abdul Karim Amrullah atau dikenal dengan sebutan Haji Rasul bin Syeikh Muhammad Amrullah (gelar Tuanku Kisai) bin Tuanku Abdul Saleh. Haji Rasul merupakan salah seorang ulama yang pernah mendalami agama di Mekkah, pelopor kebangkitan Kaum Mudo, dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah binti Haji Zakakaria (w. 1934). Dari genelogis ini dapat diketahui, bahwa ia berasal dari keturunan yang taat beragama dan memiliki hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilinear. Oleh karena itu, dalam silsilah Minangkabau ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.1 Menurut Herry Mohammad, dkk, nama Hamka melekat setelah ia untuk pertama kalinya menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada tahun 1927.2 Menurut Abdul Rouf, nama asli Hamka adalah Abdul Malik. Lalu diberi gelar buya oleh para penganut faham Muhammadiyah di Minangkabau, yang menunjukkan bahwa orang itu memiliki kedalaman ilmu dalam pengetahuan agama. Panggilan tersebut setara dengan panggilan kyai di Pulau Jawa. Nama 1
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. I, h. 15-18 2 Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani), 2006, h. 60
32
33
Hamka merupakan singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang juga merujuk kepada nama ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah.3 Menurut Floriberta Aning S, dalam bukunya yang berjudul 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, pada tahun 1929 Hamka menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan dan kemudian dari hasil perkawinan tersebut mereka dikaruniai 12 orang anak, 2 diantaranya meninggal dunia. Dan pada tahun 1973 ia menikah untuk yang kedua kalinya dengan seorang perempuan asal Cirebon, yaitu Hj. Siti Chadijah setelah ditinggal wafat istri pertamanya satu setengah tahun sebelumnya. Hamka dikenal sebagai salah satu tokoh organisasi Islam modern Muhammadiyah. Bahkan Hamka bisa disebut sebagai tokoh utama berdirinya organisasi itu di wilayah Sumatera Barat.4 2. Pendidikan Hamka Menurut Samsul Nizar, sejak kecil Hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca Al-Qur‟an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padangpanjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke sekolah desa dan mengenyam pendidikan di sana selama 3 tahun lamanya. Ia juga memiliki hobi menonton film yang kemudian banyak memberinya inspirasi untuk mengarang.5 Pendidikan formal yang dilaluinya sangat sederhana. Mulai tahun 1916 sampai 1923, ia belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah School di Padangpanjang, serta Sumatera Thawalib di Padangpanjang dan di Parabek. Walaupun pernah duduk di kelas VII, akan tetapi ia tidak memiliki ijazah. Guru-gurunya pada waktu itu antara lain; Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid Hakim, Sutan Marajo, dan Syeikh Zainuddin Labay el-Yunusiy.
3
Abdul Rouf, Tafsir Al Azhar: Dimensi Tasawuf HAMKA, (Selangor: Piagam Intan SDN. BHD, 2013), Cet. I, h. 19 4 Floriberta Aning S, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20, (Jakarta: Pt. Buku Kita, Cet. III, 2007), h. 81 5 Samsul Nizar, op. cit., h. 25-26
34
Pelaksanaan pendidikan waktu itu masih bersifat tradisional dengan menggunakan sistem halaqah. Pada tahun 1916, sistem klasikal baru diperkenalkan di Sumatera Thawalib Jembatan Besi. Hanya saja, pada saat itu sistem klasikal yang diperkenalkan belum memiliki bangku dan alat belajar mengajar lainnya. Materi pendidikan masih berorientasi pada pengajian kitabkitab klasik, seperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fiqh, dan sejenisnya. Pendekatan pendidikan dilakukan dilakukan dengan menekankan pada aspek hafalan. Pada waktu itu, sistem hafalan merupakan cara yang paling efektif bagi pelaksanaan pendidikan. Meskipun kepadanya diajarkan membaca dan menulis huruf Arab dan Latin, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah mempelajari kitab-kitab Arab klasik dengan standar buku-buku pelajaran sekolah agama rendah di Mesir. Pendekatan pelaksanaan pendidikan tersebut tidak diiringi dengan belajar menulis secara maksimal. Akibatnya banyak di antara teman-temannya yang fasih dalam membaca kitab, akan tetapi tidak bisa menulis dengan baik. Di antara metode-metode yang digunakan guru-gurunya, hanya metode pendidikan yang digunakan Zainuddin Labay el Yunusiy yang menarik hatinya. Pendekatan yang dilakukan gurunya ini, bukan hanya mengajar (transfer of knowledge), akan tetapi juga melakukan proses “mendidik” (transformation of value). Melalui Diniyah School Padangpanjang yang didirikannya, ia telah memperkenalkan bentuk lembaga Islam modern dengan menyusun kurikulum pendidikan yang lebih sistematis, memperkenalkan sistem pendidikan klasikal dengan menyediakan kursi dan bangku tempat duduk siswa, menggunakan buku-buku di luar kitab standar, serta memberikan ilmu-ilmu umum seperti : bahasa, matematika, sejarah, dan ilmu bumi. Secara formal, pendidikan yang ditempuh Hamka tidaklah tinggi. Hanya sampai kelas 3 di sekolah desa, lalu, sekolah agama yang ia jalani di Padangpanjang dan Parabek juga tak lama, hanya selama tiga tahun. Selebihnya ia belajar sendiri. Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai Bahasa Arab. Dari sinilah ia mengenal dunia secara
35
lebih luas, baik hasil pemikiran klasik Arab maupun Barat. Karya para pemikir Barat ia dapatkan dari hasil terjemahan ke Bahasa Arab. Lewat bahas pula Hamka kecil suka menulis dalam bentuk apa saja. Ada puisi, cerpen, novel, tasawuf, dan artikel-artikel tentang dakwah. Ketertarikannya terhadap ilmu pengetahuan, tidak hanya seputar ilmuilmu Islami, namun juga terhadap ilmu-ilmu umum semakin berkembang saat ia bekerja di perpustakaan milik gurunya Engku Zainuddin dan Engku Dt. Sinaro yang bernama Zinaro. Selain dipekerjakan untuk membantu melipat kertas, gurunya juga memperbolehkannya untuk membaca buku-buku di perpustakaan tersebut. Pada saat itulah ia mulai berkenalan dengan bukubuku karya Plato, Aristoteles, Phytagoras, Plotinus, Ptolemaios, dan ilmuan lainnya dari berbagai bidang ilmu. Dalam menerima berbagai informasi dan ilmu pengetahuan ia sangat menunjukkan kehati-hatiannya, namun tak menutup kemungkinan juga baginya untuk terkadang ia mengambil pendapat ilmuan Barat yang pandangannya bersifat positif bagi pembangunan dinamika umat (Islam). Sistem
pendidikan
tradisional
dilingkungan
tempat
tinggalnya
membuatnya merasa kurang puas dan ia berniat untuk melanjutkan pendidikannya di tanah Jawa, ia lalu mendalami kitab-kitab klasik dan ilmu lainnya di Yogyakarta. Guru yang amat besar jasanya dalam mengajarinya tentang ilmu agama pada waktu itu adalah A.R. Sutan Mansur. Ia juga sering melakukan diskusi guna memperluas wawasannya bersama para kawannya, salah satunya ialah Muhammad Natsir. Di tempat ini pula, ia mulai berkenalan
dengan
ide
pembaruan
gerakan
Serikat
Islam
dan
Muhammadiyah. Kemudian, pada tahun 1925, ia melanjutkan pendidikannya di Pekalongan, di sini, ia tinggal dan bersama iparnya A.R. St. Mansur dan mulai mempelajari ilmu tentang Islam yang dinamis maupun ilmu politik dari iparnya tersebut. Di sini pula ia berkenalan dengan ide-ide pembaruan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha yang berupaya mendobrak kebekuan umat. Ide-ide pembaruan para tokoh ini juga turut
36
mewarnai wacana pembaruan yang dilakukannya. Dan pada bulan Juni di tahun yang sama, ia kembali ke kampung halamannya di Maninjau dengan membawa semangat dan waawasan yang baru tentang Islam yang dinamis. Diantara guru-guru dan teman seperjuangan Hamka antara lain; Haji Rasul (ayahnya), Syeikh Ibrahim Musa, R.M. Surjopranoto, A.R. Sutan Mansur (dewan penasehat Muhammdiyah 1962-1980), H. Fachroedin (wakil ketua P.B. Muhammadiyah), K.H. Mas Mansur, H.O.S. Cokroaminoto (yang mengajarinya tentang peradaban Barat), A. Hasan, M. Natsir, K.H. Ahmad Dahlan (pendiri organisasi Muhammadiyah), K.H. Ibrahim, K.H. Mukhtar Bukhari, dan K.H. Abdul Mu‟thi.
3. Riwayat Pekerjaan dan Karya-Karya Hamka Menurut Samsul Nizar, Pada tahun 1925, sekembalinya Hamka dari perjalanan intelektualnya di tanah Jawa, ia kembali ke Maninjau dan mulai berpidato di muka umum, ia menambah wawasannya dengan berlangganan surat kabar dari Jawa yang memperkenalkannya dengan ide-ide pembaruan dan pergerakan umat Islam. Dan untuk memperkenalkan semangat modernis tentang wawasan Islam “baru” tersebut ia membuka kursus pidato yang diberi nama “Tabligh Muhammadiyah”. Kumpulan pidato-pidatonya tersebut kemudian ia himpun menjadi sebuah buku berjudul “Khatib al-Ummah”.6 Menurut Rusydi Hamka, kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika Hamka menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, Hamka membantu menentang usaha kembalinya Penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai geriliya di dalam hutan Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau juga menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudian diharamkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1960.7
6
Ibid., h. 28-29 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1989), h. 7 7
37
Menurut Irfan Hamka, jabatan atau pekerjaan yang pernah diemban Hamka selama hidupnya antara lain, menjabat sebagai Konsultan Muhammadiyah Sumatera Barat pada tahun 1943, menjadi Ketua Front Pertahanan Nasional (FPN) pada tahun 1947, menjadi Ketua Sekretariat Bersama Badan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK) di tahun 1948, menjadi Pegawai Negeri pada Departemen Agama RI di Jakarta pada tahun 1950, pada tahun 1955 sampai 1957 terpilih sebagai Anggota Konstituante Republik Indonesia, pada tahun 1960 menjabat sebagi Pengurus Pusat Muhammadiyah, menjadi Dekan Fakultas Usuluddin Universitas Prof. Moestopo Beragama pada tahun 1968, menjabat sebagi Ketua MUI pada tahun 1975 hingga 1981, dan di tahun yang sama pula ia menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar selama dua periode.8 Menurut Irfan Hamka pula, sebagai seorang intelektual yang produktif di zamannya,
Hamka
juga
mendapatkan
berbagai
gelar
kehormatan.
Penghargaan yang pernah didapatnya antara lain; gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Lalu gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Prof. Moestopo Beragama, dan kemudian mendapat gelar yang sama dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974. Bahkan setelah wafatnya ia mendapat Bintang Mahaputera Madya dari Pemerintah RI di tahun 1986, dan mendapat penghormatan sebagai Pahlawan Nasional di tahun 2011.9 Menurut Samsul Nizar, Hamka memiliki peran yang luas dalam pembaruan Islam di Makassar dan Minangkabau. Ia menawarkan model pendidikan Islam yang reformis. Bahkan melalui ide-ide pembaruannya, ia membuka wawasan intelektual umat Islam dan mensejajarkan pendidikan Islam dengan pendidikan yang dikelola Pemerintah Kolonial. Ia mencoba melakukan periodesasi perjalanan intelektualnya dalam empat periode, antara lain. Pertama, masa munculnya konversi intelektual. Proses ini terjadi tatkala ia melihat adanya ketimpangan terhadap pola pemikiran umat Islam yang 8 9
Irfan Hamka, Ayah, (Jakarta: Republik, 2013), h. 290 Ibid.
38
jumud, serta pendidikan Islam yang hanya berorientasi pada bangsa Arab dan dikotomis. Kedua, tahap pencarian identitas dan pembentukan wawasan intelektual. Masa ini dipengaruhi oleh pemikiran ketika ia belajar di Pekalongan dan Jogjakarta. Persentuhannya dengan ide-ide Islam modernis yang berkembang waktu itu, telah ikut mempengaruhi warna dan dinamika pemikirannya. Ketiga, tahap pengembangan intelektual awal. Masa ini adalah setelah kembali dari Jawa. Dinamika ini bisa dilihat dari upayanya mengembangkan ide pembaruan, baik ketika di Minangkabau maupun Medan dan Makassar. Proses tersebut dilakukan melalui wadah Muhammadiyah maupun karya-karyanya. Keempat, tahap pengembangan intelektual kedua dan pemaparan pemikiran-pemikiran pembaruannya. Masa ini diawali ketika berangkat ke Jakarta, dan terutama pada tahun 1952 sampai akhir hayatnya, ketika zaman Jepang, Hamka memang sempat mendapat posisi sebagai anggota Syu Kai (Dewan Perwakilan Rakyat), setelah banyak sekali pelarangan yang dilakukan Jepang terhadap perkumpulan dan majalah yang dipimpinnya. Dan sikap kompromi mau bekerja sama dengan Jepang ini juga yang memunculkan sikap sinis terhadap dirinya, hingga akhirnya ia pergi ke Padangpanjang pada tahun 1945 hingga tahun 1949. Sesudah perjanjian Roem Royen, ia ingin mengembangkan dakwah dan pemikirannya ke Jakarta dan
mulai
melakukan
aktivitasnya
sebagai
koresponden
majalah
Pemandangan dan Harian Merdeka. Ia kemudian mengarang karya autobiografinya Kenang-kenangan Hidup, tahun 1950.10 Hamka adalah seorang pemimpin politik, dan agamawan, sastrawan, wartawan (jurnalistik) yang moderat dan diterima oleh semua lapisan dan golongan masyarakat, beliau wafat pada 24 Juli 1981 (1401 H), dengan meninggalkan karya pena yang sangat banyak jumlahnya. Menurut Hery Sucipto, sebagai bukti penghargaan yang tinggi di bidang keilmuan, perserikatan Muhammadiyah kini telah mengabadikan namanya
10
Samsul Nizar, op. cit., h. 45-46
39
sebagai nama Perguruan Tinggi yang ada di Yogyakarta dan Jakarta: Universitas Hamka (UHAMKA).11 Menurut Samsul Nizar, berdasarkan karya-karya yang dihasilkannya, orang-orang cenderung memposisikan Hamka sebagai mufasir melalui Tafsir Al-Azhar-nya, sastrawan melalui roman-romannya, sejarawan melalui sejarah Islamnya, sufi melalui Tasawuf Modern-nya, dan da‟i dengan kemampuan retorikanya yang baik. Namun, bila melihat lintas sejarah kehidupannya ia juga
merupakan
Keikutsertaannya
pendidik dalam
yang
cukup
memperkenalkan
konsisten pembaruan
dan
berhasil.
pendidikan
di
Indonesia dengan melakukan modernisasi kelembagaan dan orientasi materi pendidikan Islam saat mengelola Tabligh School dan Kulliyatul Muballighin di Makassar dan Padangpanjang merupakan salah satu bukti kecemerlangan pemikirannya tentang pendidikan dan dimensi-dimensi ajaran Islam yang bersifat dinamis, inovatif, dan revolusioner. Padahal jika diteliti latar belakang pendidikannya, ia merupakan sosok ulama produk pendidikan tradisional (surau).12 Lebih dari seratus buku telah dikarangnya yang meliputi: sejarah, filsafat, novel dan masalah-masalah Islam. Selain itu ia juga dipandang sebagai pengajar tasawuf modern di Indonesia. Berikut adalah beberapa karya-karya Hamka, antara lain: a. Autobiografi Kenang-Kenangan Hidup, Jilid I, II, III, IV, Cet. 4. Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Dalam buku ini ia mengisahkan secara terperinci mengenai kisah hidupnya dari kecil hingga dewasa, bahkan hingga halhal yang sangat prinsipil seperti sisi-sisi kehidupan keluarganya.
b. Biografi Ayahku; Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya. Jakarta: Pustaka Widjaja, 1958. Melalui karyanya ini ia 11 12
Hery Sucipto, Tajdid Muhammadiyah, (Jakarta: Grafindo, 2005), h. 158 Samsul Nizar, op. cit., h. 2
40
berupaya memaparkan secara rinci kepribadian dan sepak terjang ayahnya Haji Abdul Karim Amrullah atau dikenal dengan sebutan Haji Rasul. Bahkan lebih jauh, ia mengawali karyanya dengan memaparkan sejarah perkembangan dan pergerakan umat Islam di Minangkabau pada awal abad XIX.
c. Filsafat dan Keagamaan 1) Falsafah Hidoep. Djakarta: Poestaka Pandji Masyarakat, 1950. Dalam karyanya ini ia memaparkan tentang makna hidup, ilmu, akal, hukum alam (sunnatullah), adab kesopanan, kesederhanaan, keberanian, keadilan, persahabatan, dan fungsi Islam sebagai pembentuk hidup. 2) Lembaga Hidup, Jakarta: Djajajmurni, 1962. Dalam karyanya ini ia mencoba mengupas tentang makna kewajiban serta fungsi dan tata cara pelaksanaan kewajiban tersebut, lalu diakhiri dengan pemaparan sosok Nabi Muhammad SAW. 3) Lembaga Budi, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983. Sesuai dengan judul buku ini, di dalamnya dipaparkan secara rinci mengenai makna budi dan perkara-perkara yang dapat merusak budi tersebut, selain itu ia juga menyisipkan sedikit pengalaman-pengalaman hidupnya. 4) Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983. Dalam buku ini ia mencoba memaparkan permasalahan tasawuf dengan bahasa yang lebih sederhana dan mudah untuk dipahami masyarakat umum. Ia juga menjelaskan tentang perlunya penghayatan keagamaan yang mendalam, namun, tidak perlu melakukan pengasingan diri (uzlah), melainkan tetap aktif terlibat dalam masyarakat. 5) Tafsir Al-Azhar, Juz I Sampai Juz XXX. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
41
d. Adat dan Kemasyarakatan 1) Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Jakarta: Tekad, 1963. Yang berisi kritikkan terhadap banyaknya adat Minangkabau yang dianggapnya sudah menyimpang dari ajaran Islam. 2) Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
e. Sejarah Islam 1) Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq). Medan: Pustaka Nasional, 1929. 2) Ringkasan Tarikh Ummat Islam. Medan: Pustaka Nasional, 1929. 3) Sedjarah Islam Di Soematera. Medan: Pustaka Nasional, 1950. 4) Sejarah Umat Islam, 4 Jilid. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
B. Konsep Manusia serta Hubungannya dengan Konsep Pendidikan Islam Menurut Hamka 1. Konsep manusia a. Pengertian manusia dan fitrah manusia menurut Hamka Manusia merupakan salah satu di antara banyak makhluk ciptaan Allah SWT. Tujuan dan bentuk penciptaan manusia itu sendiri amatlah berbeda dengan makhluk selainnya, manusia dianugerahi keistimewaan berupa bermacam-macam potensi dan kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk ciptaan Allah lainnya. Untuk menghasilkan bibit-bibit manusia yang unggul dan berpotensi baik ini tidaklah terjadi secara tiba-tiba tanpa melalui suatu proses terlebih dahulu, akan tetapi dibutuhkan suatu usaha dan ikhtiar yang dimulai sedari dini, yakni sejak manusia masih berada dalam kandungan. Menurut Hamka, “Dalam kandungan seorang ibu tercipta „Lembaga (cetakan) Hidup‟ yang akan dituangkan seketika manusia itu terlahir di dunia kelak.”13 Jadi, dalam rahimlah masa penentuan nasib, masa membentuk lembaga. Lembaga yang salah, tiada akan menghasilkan 13
Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1997), h. 2
42
yang benar. Maka dari itu diusahakan lembaga tidak menjadi sekedar lembaga yang tidak pernah diusahakan dalam menuangkannya. Bagi Hamka, manusia harus berusaha agar hal-hal yang diusahakannya sesuai dengan ketentuan yang disediakan Tuhan untuk manusia. Pada Al-Qur‟an terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk penyebutan manusia, yakni; al-basyar, an-nas, al-insan, dan bani Adam. Istilah penyebutan tersebut didasari atas perbedaan manusia dengan makhluk-makhluk Allah lainnya baik dalam hal bentuk, serta potensipotensi yang dianugerahkan pada diri manusia, seperti akal pikiran, kalbu dan juga nafsu yang berguna untuk mempelajari dan memahami alam semesta. Setelah manusia terlahir di dunia, meski ia terlihat lemah dan tak berdaya. Namun, sebenarnya sudah terdapat potensi-potensi atau fitrah yang terdapat di dalam dirinya. Sebagaimana dikemukakan oleh Samsul Nizar, bahwa dalam hal proses penciptaannya, manusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna, ia telah dianugerahkan dengan berbagai fitrah yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Dalam perspektif pendidikan Islam fitrah manusia dimaknai dengan sejumlah potensi yang menyangkut kekuatan-kekuatan manusia. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan hidup, kekuatan rasional (akal), dan kekuatan spiritual (agama).14Ketiga kekuatan ini bersifat dinamis dan saling terkait satu sama lain (integral). Dalam Al-Qur‟an kata fitrah dinukilkan Allah SWT. dalam surat arRuum ayat 30:
14
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 135
43
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Dalam menafsirkan ayat di atas, Hamka memaknai kata fitrah sebagai “Rasa asli (murni) yang berada dalam jiwa setiap manusia yang belum dipengaruhi oleh faktor lainnya, kecuali mengakui kekuasaan tertinggi di alam ini (Allah).”15Menurutnya pula, “Pada dasarnya fitrah manusia adalah senantiasa tunduk kepada Zat yang hanif (Allah) melalui agama yang disyari‟atkan padanya.”16 Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Abu „Ala al-Maududi sebagaimana dikutip oleh A. Susanto. Menurutnya, “Manusia adalah hamba Allah yang diciptakan dengan dibekali berbagai potensi, kemampuan atau sifat dasar, yaitu as-sam‟u (pendengaran), al-bashir (penglihatan), dan al-fuad (akal pikiran).”17 Apabila manusia dapat mengaktualisasikan dan memfungsikan ketiga potensi tersebut secara maksimal, manusia tersebut akan mencapai derajat yang tinggi, mampu menciptakan bermacam-macam ilmu pengetahuan sehingga layak untuk menjadi pemimpin, sebagai khalifah di muka bumi ini. Menurut Samsul Nizar, Fitrah dalam Islam tidaklah sama dengan teori Tabularasa John Locke, yang menyatakan manusia lahir tanpa potensi. Konsep fitrah manusia dalam Islam juga berbeda jauh dengan teori Nativisme A. Scophenhour yang menistakan adanya pengaruh dari luar diri manusia. Selain dua teori tersebut, konsep fitrah dalam Islam juga berlainan dengan teori Konvergensi William Stern, sebab dalam Islam perkembangan potensi manusia itu bukan semata-mata dipengaruhi oleh lingkungan semata dan tidak bisa ditentukan melalui pendekatan kuantitas. Kepribadian manusia terbentuk atas peran potensi yang dimilikinya dan juga keterlibatan lingkungan di sekitarnya, selain itu faktor hidayah yang diberikan Allah kepada setiap hamba yang dikehendakinya juga turut serta membentuk kepribadian manusia.18 15
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), Jilid 7, h. 5516 Ibid, h. 5515 17 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 76. 18 Samsul Nizar, op. cit., h. 136 16
44
Dalam pandangan Islam, manusia tidaklah terlahir dengan tanpa membawa potensi
apapun dan juga sebaliknya, dengan menafikan
pengaruh lingkungan bagi pengembangan potensi-potensi yang telah terdapat pada dirinya. Melainkan telah ada potensi atau fitrah dalam diri manusia sejak mereka dilahirkan, dan potensi atau fitrah tersebut akan dapat berkembang dengan baik melalui perantara dan bantuan pendidikan dari lingkungan disekitarnya. Menurut Hamka ketika lahir, potensi anak belum diketahui. Pada masa ini seorang anak hanya membawa insting (gharizah), seperti menangis, merasakan haus, lapar, dan lain sebagainya. Dengan perangkat fisik tersebut secara bertahap mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik. Proses manusia mengembangkan potensinya secara efektif dan efesien adalah melalui pendidikan. Proses ini dimulai sejak manusia lahir sampai perkembangannya mengalami kefakuman, yaitu dengan adanya kematian.19 Hal senada juga dituturkan oleh ibnu Hazm, sebagaimana dikutip oleh A. Susanto, yakni, “Manusia difitrahkan tidak mempunyai pengetahuan tentang kehidupannya sewaktu dilahirkan. Kemudian perjalanan hidupnya menuntut untuk bertindak melawan kegundahan. Dan ia mulai mencapai pemenuhan hajat hidupnya yang berupa ilmu, yaitu indra, asumsi, intuisi, dan akal pikiran”.20 Jadi, dapat disimpulkan bahwa manusia merupakan makhluk Allah yang dibekali dengan berbagai potensi atau fitrah yang istimewa. Fitrah manusia ini pada dasarnya masih merupakan wujud „ilmi, yaitu berupa embrio dalam ilmu Tuhan, yang kemudian akan berkembang setelah manusia
lahir
dan
melakukan
serangkaian
interaksi
dengan
lingkungannya. Perasaan akan adanya Yang Maha Kuasa juga adalah fitrah manusia. jadi, bila saat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa, seseorang menyimpang dari fitrah asalnya yakni berbuat 19 20
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6, op. cit., h. 4665-4667 A. Susanto, op. cit., h. 41
45
kebajikan dan tunduk atas perintah Khaliknya, maka ia telah menyalahi fitrahnya tersebut.
b. Potensi manusia menurut Hamka Pada waktu dilahirkan, setiap manusia telah dianugerahi potensipotensi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Potensi itu sendiri merupakan bakat atau kemampuan khusus yang dimiliki manusia sebagai sebuah anugerah dari Tuhan sebagai bekal untuk menjalankan tugasnya sebagai hamba dan khalifah Tuhan di muka bumi ini. Menurut Hamka, “Pada diri setiap anak (manusia), terdapat tiga unsur utama yang dapat menopang tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh maupun „abd Allah. Ketiga unsur utama tersebut adalah akal, hati, atau kalbu (roh) dan pancaindera (penglihatan dan pendengaran) yang terdapat pada jasadnya.”21Perpaduan ketiga unsur tersebut membantu manusia (peserta didik) untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun peradabannya, memahami fungsi kekhalifahannya, serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah. Dalam hal ini, ia mengutip firman Allah SWT, surat al-Mulk ayat 23:
“Katakanlah: „Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati‟. (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.”
Begitu juga dalam pandangan Hasan al-Banna sebagaimana dikutip oleh A. Susanto, “Manusia terdiri dari beberapa unsur pokok, yaitu1) jasmani atau badan, 2) hati (qalb), 3) akal.”22
21 22
Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid XIV. op. cit., h. 274 A. Susanto, op. cit., h. 64
46
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap manusia, sejak dilahirkan ke dunia telah memiliki akal, jasad, dan jiwa sebagai sebuah bekal (potensi) pribadinya masing-masing yang dapat digunakan untuk mempelajari dan memahami hakikat alam semesta sebagai bentuk tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT. di muka bumi. Di sini penulis akan memaparkan macam-macam potensi manusia menurut Hamka, yakni: 1) Jasad Menurut Hamka, jasad (jism) manusia merupakan tempat di mana jiwa (al-qalb) berada, meskipun jiwa merupakan tujuan utama bagi manusia, namun tanpa jism, jiwa tidak akan berkembang secara sempurna. Melalui wasilah jism, jiwa manusia akan berkembang secara sempurna. Begitu juga Menurut Zakiah Daradjat, “Dimensi fisik merupakan dimensi yang mempunyai bentuk dan terdiri dari seluruh perangkat: badan, kepala, kaki, tangan, dan seluruh anggota luar dan dalam, yang diciptakan oleh Allah dalam bentuk dan kondisi yang sebaik-baiknya. Bahkan manusia adalah makhluk Allah yang paling baik.”23
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat at-Tin ayat 4:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya.”
Jasad manusia merupakan materi yang terikat dengan hukum alam, yang dapat merasakan sehat, sakit, kuat dan lemah, yang semuanya itu tergantung pada kebijakan manusia itu sendiri dalam merawat tubuh atau jasadnya selagi ia masih hidup. Kemampuan dan daya tahan tubuh tiap manusia berbeda antara satu dengan lainnya, biasanya kaum lelaki memiliki kekuatan dan ketahanan tubuh yang lebih kuat dibandingkan 23
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: CV Ruhama, 1995), Cet. 2, h. 2
47
dengan kaum wanita yang cenderung lebih lemah. Oleh karena itu, pengetahuan tentang perawatan tubuh mutlak diperlukan oleh setiap manusia agar dapat menjalani tugas dan aktivitas kehidupannya dengan baik. Menurut Hamka, terdapat dua cara yang dapat ditempuh manusia untuk memelihara tubuhnya, yaitu: pertama, sederhana dalam makan dan minum. Kedua, mengetahui ilmu kesehatan. Memelihara kesehatan tubuh adalah penting. Jika tubuh tidak sehat, hanya akan memengaruhi aspek diri manusia yang lainnya, yaitu kesehatan akal, bahkan akhirnya akan berdampak pada kesehatan busi (akhlak).24 Menurut Zakiah Daradjat dalam bukunya Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, “Kebutuhan fisik jasmaniah merupakan kebutuhan pertama atau disebut juga kebutuhan primer, seperti makan, minum, seks, dan sebagainya, tidak dipelajari manusia, sudah fitrahnya sejak lahir. Jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dipenuhi, akan hilanglah keseimbangan fisiknya.”25 Jadi, dapat disimpulkan bahwa jasad manusia merupakan wadah tempat bersemayamnya jiwa manusia selagi ia hidup di dunia ini, yang terdiri dari seluruh anggota fisik tubuh manusia baik luar maupun dalam. Dan terdapat beberapa kebutuhan jasad yang mesti terpenuhi guna menjaga kesehatan jasad seperti, makan, minum dan lain sebagainya. Pemeliharaan kesehatan jasad ini mutlak diperlukan, karena kesehatan jasad akan mempengaruhi potensi atau unsur diri manusia lainnya baik itu akal maupun jiwanya. 2) Jiwa Pembicaraan mengenai konteks jiwa pada manusia, sesungguhnya merujuk pada sisi dalam diri manusia yang berpotensi baik dan buruk. Pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari pada potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukannya lebih kuat dari pada daya tarik kebaikannya. Sehingga, jiwa manusia berada pada posisi yang
24 25
Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 40 Zakiah Daradjat, op. cit., h. 19
48
lemah, yang digambarkan dengan sifat-sifat bodoh dan kegelapan dan cenderung membawa kepada kejahatan. Agar manusia dapat memperoleh keberuntungan, jiwa harus diluruskan dengan mendidiknya sesuai akhlak Islam. Salah satu faktor penting yang dapat meluruskan jiwa seseorang adalah bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu agar terhindar dari kebodohan. Selain itu, pendidikan jiwa pun membutuhkan kesungguhan hati, kesabaran, dan pengetahuan yang matang. Menurut ibnu Sahnun sebagaimana dikutip oleh A. Susanto, “Pendidikan kejiwaan adalah suatu yang penting untuk menghubungkan manusia dengan penciptanya. Pendidikan kejiwaan ditekankan untuk membentuk
kepribadian
anak
agar
memiliki
kepribadian
yang
sempurna.”26 Dalam pandangan Hamka tentang pendidikan jiwa (al-qalb) dan jasad (jism), ia kelihatannya terpengaruh pada pandangan Plato dan Prancis Bacon. Hal ini terlihat dari sandaran teoritis yang dipergunakan dalam Lembaga Hidup. Di antaranya, ia mengutip pendapat Plato yang menyebutkan, bahwa dalam melaksanakan pendidikan, maka ada dua latihan yang perlu dikembangkan, yaitu: pertama, melatih tubuh dengan gymnastic supaya tubuh kuat dan sehat. Kedua, melatih jiwa dengan musik, agar jiwa memperoleh ketentraman dan mampu merasakan sesuatu.27 3) Akal Kata akal dalam Bahasa Indonesia berarti pikiran atau intelek (daya atau proses pikiran yang lebih tinggi berkenaan dengan ilmu pengetahuan). Dalam Bahasa Indonesia perkataan akal menjadi kata majemuk akal pikiran. Kedudukan akal dalam Islam, adalah sangat penting, karena akallah wadah
yang
menampung
akidah,
syari‟ah
serta
akhlak
dan
menjelaskannya. Kita tidak akan pernah dapat memahami Islam tanpa 26 27
A. Susanto, op. cit., h. 57 Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 40-41
49
mempergunakan akal. Dan dengan mempergunakan akal dengan baik dan benar sesuai dengan petunjuk Allah, manusia akan merasa selalu terikat dan dengan sukarela mengikatkan diri kepada Allah SWT. Pandangan Hamka mengenai akal, baginya akal adalah laksana sentral listrik dalam pribadi insan, yang harus dipenuhi oleh waterkratch (tenaga air) dan bahan lainnya, sehingga dapat menimbulkan nyala pada lampu-lampu pancaindera. Kekayaan tenaga air tersebut merupakan hasil dari penyelidikan, percobaan dan pengalaman. Tujuan yang dikehendaki akal ialah tujuan yang bersifat mulia dan utama, namun jalan yang harus dilalui amatlah sukar.28 Menurutnya Zakiah Daradjat, “Akal merupakan pembeda antara manusia dengan makhluk Allah swt yang lain. Dengan akal, manusia memahami, mengamati, berpikir dan belajar. Serta dengan akal itu manusia merencanakan berbagai kegiatan besar dan kecil, serta memecahkan berbagai masalah.”29 Menurut Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh Mohammad Daud Ali, Perkataan akal dalam Bahasa Arab mengandung beberapa arti, di antaranya mengikat dan menahan. Makna akar katanya adalah ikatan. Ia juga mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir. Para ahli filsafat dan ahli ilmu kalam mengartikan akal sebagai daya (kekuatan, tenaga) untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dengan orang lain, daya untuk mengabstrakkan (menjadikan tidak berwujud) bendabenda yang ditangkap oleh pancaindera.30 Untuk menjadikan potensi akal manusia agar dapat berkembang dengan baik dan sempurna, maka dibutuhkan peran pendidikan akal guna mengaktifkan saraf-saraf pengetahuan yang telah dianugerahkan Tuhan pada setiap manusia. Menurut Hamka, “Apabila bertambah tinggi perjalanan akal, maka bertambah banyak alat pengetahuan yang dipakai, pada akhirnya
28
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. 123 Zakiah Daradjat, op. cit., h. 5 30 Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 385 29
50
bertambah tinggi pulalah martabat iman dan Islam seseorang, sebagaimana sabda Nabi SAW. „Agama itu ialah akal, dan tidak ada agama pada orang yang tidak berakal‟.”31 Pandangan Hamka ini sejalan dengan pemikiran beberapa tokoh pendidikan Islam, antara lain: a) Menurut ibnu Qayyim sebagaimana dikutip oleh A. Susanto, “Akal adalah pemberian yang paling utama dari Tuhan. Oleh karena itu, akal merupakan pancaran dari Tuhan. Pada saat manusia melakukan hal yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan maka sesungguhnya ia telah menyimpang dari maksud sebenarnya Tuhan memberikan atau melimpahkan nikmat itu kepadanya.”32 b) Menurut Ibnu khaldun sebagaimana dikutip oleh Ismail Said Ali, “Akal tidak akan terbentuk secara sempurna kecuali dengan tambahan yang dihasilkannya dari masyarakat.”33 c) Menurut Zakiah Daradjat, “Akal adalah suatu daya yang amat dahsyat yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Oleh karena itu pendidikan akal, hendaknya memperhatikan pembinaan daya akal dan melatihnya, agar dapat digunakan untuk kebaikan.”34 Jadi, dapat disimpulkan bahwa akal merupakan sebuah karunia yang khusus diberikan Allah SWT. hanya kepada umat manusia. Oleh karena itu, akal merupakan pancaran dari Tuhan, dan setiap yang berasal dari Tuhan pastilah ditujukan untuk hal-hal kebaikan. Maka, bila akal manusia digunakan untuk kemaksiatan dan berpikiran jahat lainnya, sesungguhnya ia telah menyimpang dari jalan yang dimaksudkan oleh Tuhan. Untuk menghindari hal tersebut, pendidikan akal mutlak diperlukan, seperti dengan melakukan berbagai penyelidikan dan
31
Hamka, Filsafat Ketuhanan, (Surabaya: Karunia, 1985), h. 10 A. Susanto, op. cit., h. 35 33 Said Isamail Ali, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2010), Cet. I, h. 69 34 Zakiah Daradjat, op. cit., h. 7 32
51
percobaan. Hasil dari pendidikan tersebut dimaksudkan untuk menguak kebesaran dan kekuasaan Tuhan akan alam jagat raya ini, yang nantinya dapat mengarahkan perbuatan manusia menuju kepada kebaikan dan kemantapan iman. Perkembangan jiwa manusiapun akan lebih baik bila didukung oleh potensi akal. Karena dalam hal ini, akal berfungsi mengolah informasi terhadap fenomena yang didapat melalui pancaindera yang kemudian dihasilkan dalam bentuk kesimpulan yang dapat dirasakan oleh jiwa. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh manusia yang berpikir merdeka dan menggunakan potensi akalnya secara maksimal. Menurut Samsul Nizar, “Pandangan Hamka tentang akal ini, terpengaruh dari pandangan Huizingan seorang filosof Belanda. Namun, secara substansial, pendekatan yang dilakukannya telah mengalami reduksi dan penyaringan sesuai dengan kerangka ajaran Islam. Untuk itu, jika ditelusuri, pandangannya tersebut telah bernuansa Islami.”35 “Menurut Hamka, di samping ketiga potensi di atas, manusia juga memerlukan agama, baik sebagai pemenuhan psikis maupun penuntun dinamika akalnya. Dengan tuntunan agama, manusia akan lebih banyak mengetahui rahasia Allah, baik yang bersifat fisik maupun metafisik, serta senantiasa tunduk kepada ketentuan-Nya.”36
2. Konsep pendidikan Islam Menurut Abuddin Nata, dalam bahasa Arab, pendidikan disebut dengan istilah ta‟lim, tarbiyah dan ta‟dib. Ta‟lim mengesankan proses pemberian bekal pengetahuan, tarbiyah mengandung pengertian proses pembinaan dan pengarahan bagi pembentukan kepribadian dan sikap mental, sedangkan ta‟dib mengandung arti proses pembinaan terhadap sikap moral dan estetika dalam kehidupan yang lebih mengacu pada peningkatan martabat manusia.37
35
Samsul Nizar, Memperbincangkan…, op. cit., h. 125 Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 230 37 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 9 36
52
Dalam hal pendefinisian makna pendidikan, Hamka cenderung menggunakan dua istilah saja, yakni ta‟lim dan tarbiyah. Penggunaan istilah ta‟lim diambilnya dari Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 3:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepadaku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
“Menurut Hamka, kata ta‟lim pada ayat tersebut mengandung makna bahwa pendidikan merupakan proses pentransferan seperangkat pengetahuan yang dianugerahkan Allah kepada manusia (Adam).”38 Pendidikan pada definisi ini didapat dengan menggunakan potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada seluruh manusia, yakni potensi pancaindera dan akal yang dapat berguna bagi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi ini sekaligus menyibak rahasia-rahasia yang terdapat di alam semesta. Dengan kata lain, kata ta‟lim dapat pula diartikan sebagai suatu proses terus-menerus yang diusahakan manusia semenjak lahir. Istilah kedua yang digunakan Hamka dalam definisi pendidikan ialah tarbiyah. Dalam penjelasannya ia mengutip ayat Al-Qur‟an surat al-Isra‟ ayat 24:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku di waktu aku kecil".
Berdasarkan ayat di atas Hamka memaknai tarbiyah sebagai “Perbuatan pemeliharaan yang dilakukan kedua orang tua terhadap anaknya. Proses ini dilakukan dengan sabar dan penuh kasih sayang, guna membantu anak dari 38
Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz I,op. cit., h. 156
53
ketidak berdayaannya sampai ia mampu mandiri, baik secara pisik maupun psikis.”39 Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa dalam penggunaan istilah tarbiyah ia cenderung memposisikan pendidikan sebagai transmisi nilai dan misi tertentu. Hal ini senada dengan pemikiran Hasan al-Banna, sebagaimana dikutip oleh A. Susanto. Bahwa menurutnya, istilah at-tarbiyah dan at-ta‟lim sering digunakan dalam pendidikan. At-tarbiyah adalah proses pembinaan dan pengembangan
potensi
manusia
melalui
pemberian
berbagai
ilmu
pengetahuan yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran agama. Dalam penggunaan kata at-tarbiyah ini, Hasan al-Banna sering pula menggunakannya untuk pendidikan jasmani, pendidikan akal, dan pendidikan qalb (hati). Sedangkan at-ta‟lim adalah proses transfer ilmu pengetahuan agama yang menghasilkan pemahaman keagamaan yang baik pada anak didik sehingga mampu melahirkan sifat-sifat dan sikap-sikap yang positif. Sifat dan sikap positif yang dimaksud adalah; ikhlas, percaya diri, kepatuhan, pengorbanan dan keteguhan.40 Makna pendidikan menurut Hamka bukanlah sekedar mengajar (transfer of knowledge) melainkan juga mendidik (transformation of value). Oleh karena itu, Hamka membedakan makna pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, pendidikan adalah “Serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik.” Sementara pengajaran adalah “Upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.”41 Perbedaan kedua pengertian tersebut hanya terletak pada makna saja bukan secara esensi. Karena keduanya merupakan suatu kesatuan yang bersifat integral dan tak dapat dipisahkan, dalam proses pendidikan pasti terdapat pengajaran dan begitu juga sebaliknya. Menurut Zakiah Daradjat, sebagaimana dikutip oleh A. Tafsir, “Hakikat pendidikan mencakup kehidupan manusia seutuhnya. Pendidikan Islam yang 39
Ibid., h. 4036-4037 A. Susanto, op. cit., h. 65. 41 Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz. I, op. cit., h. 202 40
54
sesungguhnya tidak hanya memperhatikan satu segi saja, seperti segi akidah, ibadah atau akhlaknya saja, melainkan mencakup seluruhnya; bahkan lebih luas dari semua itu.”42 Jadi, berdasarkan pendapat yang dikemukakan penulis di atas, pendidikan Islam adalah serangkaian upaya yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik, baik dalam hal mengisi intelektual peserta didik dengan berbagai macam ilmu pengetahuan dan agama, juga dalam hal menanamkan nilai-nilai moral dan kebaikan kepada mereka. Sehingga diharapkan setelah mengenyam pendidikan ini para peserta didik akan mampu bersikap baik dan positif. Pentingnya manusia mencari ilmu pengetahuan, menurut Hamka, bukan hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak, tetapi lebih dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu mengenal Tuhannya, memperhalus akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah. Hanya dengan bentuk pendidikan yang demikian, manusia akan memperoleh ketentraman (hikmat) dalam hidupnya.43 Ini berarti, pendidikan dalam pandangan Hamka terbagi dua bagian; pertama, pendidikan jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. Kedua, pendidikan ruhani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan kepada agama. Adapun konsep pendidikan Islam menurut Hamka adalah: a. Tujuan pendidikan Islam Tujuan merupakan masalah pokok dalam pendidikan, karena tujuan dapat menentukan setiap gerak, langkah dan aktivitas dalam pendidikan. Penetapan tujuan pendidikan berarti penentuan arah yang akan dituju dan sasaran yang hendak dicapai melalui proses pendidikan. “Adapun tujuan pendidikan Islam menurut Hamka adalah mengenal dan mencari keridhaan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia, serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup layak dan berguna 42
Ahmad Tafsir, Epistimologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Fak Tarbiyah Iain Gunung Djati, 1995). h. 98-99 43 Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 54
55
ditengah-tengah komunitas sosialnya.”44 Bila dilihat, tujuan pendidikan ini memiliki dua tujuan utama, yakni mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat dengan cara berusaha sebaik mungkin dan beribadah kepada Allah SWT. guna mencari keridhaan-Nya untuk menjadi hambaNya yang taat. Pendapat serupa juga dituturkan oleh Hasan al-Banna sebagaimana dikutip oleh A. Susanto, “Menurutnya tujuan pendidikan adalah untuk mengantarkan
anak
didik
agar
mampu
memimpin
dunia
dan
membimbing manusia lainnya kepada ajaran Islam yang syamil atau komprehensif, serta memperoleh kebahagiaan di atas jalan Islam.”45 Hal inilah yang menjadi keunggulan pendidikan Islam dibandingkan dengan pendidikan umum lainnya, yakni bahwa tujuan dari pendidikan tidak hanya sebatas untuk mencari kebahagiaan dunia saja, melainkan juga untuk mencapai kebahagiaan di akhirat kelak. Menurut Baharuddin, dkk, “Tujuan pendidikan dalam konsep Islam harus mengarah pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya yaitu tujuan dan tugas hidup manusia, memperhatikan sifatsifat dasar manusia, tuntutan masyarakat, dan dimensi-dimensi ideal Islam.”46
b. Materi pendidikan Islam Dalam orientasi pemikiran biasanya terdapat dua pembagian materi pendidikan, yang pertama berorientasi pada pengembangan akal dan yang kedua berorientasi pada pengembangan rasa atau agama. Menurut Hamka, materi pendidikan yang baik ialah yang memadukan kedua aspek tersebut. Pendidikan yang didasarkan agama akan menumbuhkan keyakinan kepada ketentuan Allah dan menjadi nilai kontrol perilakunya. Sementara pendidikan akal akan membantu
44 45 46
Ibid, h. 197 A. Susanto, op. cit., h. 66
Baharuddin, Umiarso, dan Sri Minarti, Dikotomi Pendidikan Islam Historisitas dan Implikasi pada Masyarakat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. I, h. 145
56
peserta didik membangun peradaban umat secara dinamis sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama yang diyakininya.47 Dalam hidup ini, menurut Hamka terdapat dua prinsip dasar yang dapat menunjang dan menjadikan kemajuan dan kejayaan manusia, yaitu prinsip keberanian dan prinsip kemerdekaan berpikir. Kedua prinsip ini menimbulkan berbagai macam pengetahuan dan tanpa keduanya ilmu pengetahuan tidak pernah muncul serta kejayaan manusia hanya berada dalam angan-angan. Berdasarkan prinsip tersebut Hamka membagi materi pendidikan Islam dalam empat macam, yaitu: 1) Ilmu-ilmu agama, seperti tauhid, fiqh, tafsir, hadis, nahwu, bayan, mantiq, akhlak, dan sebagainya. Menurut Hamka melalui muatan materi keagamaan, diharapkan akan menjadi alat kontrol sekaligus ikut mewarnai pembentukan kepribadian peserta didik.48 Seyogyanya dalam setiap lembaga pendidikan selalu mengedepankan muatan materi pendidikan keagamaan, namun, bukan sebatas mengajar, akan tetapi mendidik agar didapat pengetahuan agama yang mendalam. 2) Ilmu-ilmu umum, menurut Hamka seperti ilmu sejarah, filsafat, kesusateraan, ilmu hitung, ilmu bumi, ilmu falak, ilmu tubuh, ilmu jiwa, ilmu masyarakat, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu pemerintahan, dan lain sebagainya.49 Dengan ilmu-ilmu tersebut diharapkan manusia akan mampu memperluas wawasan berpikirnya guna menyelidiki dan menganalisa ayat-ayat Tuhan di semesta alam ini dan membangun peradaban
yang
rahmatan
lil
„alamin
sebagai
bentuk
pengejawantahannya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. 3) Keterampilan praktis, menurut Hamka seperti baris berbaris akan menjadikan peserta didik hidup lebih teratur dan bisa di atur. Selain itu kegiatan seperti memanah, berperang, berenang, berkuda akan membuat tubuh peserta didik menjadi sehat dan kuat.50 Namun dalam 47
Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 203 Ibid., h. 204 49 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), h. 192-193 50 ______, Falsafah Hidup, (Medan: Pustaka Islamiyah, 1950), h. 75 48
57
pelaksanaannya, seyogyanya dilakukan dalam nuansa yang edukatif guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan (Islam). 4) Kesenian, seperti ilmu musik, menggambar, menyanyi dan memahat. Menurut Hamka dengan ilmu-ilmu tersebut, peserta didik akan memiliki rasa keindahanm senantiasa memperhalus budi rasanya (etika) dengan kebenaran (al-haq).51 Dalam bukunya Pandangan Hidup Muslim, Hamka juga menuturkan “Pandanglah Tuhan melalui jendela keindahan, karena kunci keindahan dalam diri manusia adalah sabar dan tawakal, serta melihat seluruh persoalan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah.”52 Pemikiran materi pendidikan Islam Hamka ini tidak jauh berbeda dengan pemikiran ibnu khaldun. Namun, dalam pengkategorisasian ilmu, ibnu Khaldun sebagaimana dikutip oleh Said Ismail Ali, hanya membagi ilmu menjadi dua; ilmu-ilmu transendental (al-ulum an-naqliyah) dan ilmu-ilmu rasional (al-ulum al-„aqliyah). Berikut penjelasannya: 1) Ilmu-ilmu transendental adalah ilmu yang dinukil manusia dari pembuatnya dan yang diwariskan ke generasi-generasi berikutnya. Yang terdiri dari ilmu-ilmu agama beserta semua ragamnya dan ilmuilmu pembantu yang digunakan untuk mengkajinya, seperti ilmu bahasa, nahwu (gramatika), dan ilmu-ilmu lainnya. 2) Ilmu-ilmu rasional merupakan buah kerja pemikiran dan perenungan manusia. ia sudah menjadi tabiat manusia dari sisi bahwa manusia memiliki pemikiran. Ia tidak memiliki keterkaitan dengan agama, tetapi setiap penganut agama mempelajari dan mendiskusikannya. Ia sudah ada semenjak penciptaan terjadi. Ilmu-ilmu ini disebut dengan ilmu filsafat dan hikmah.53 Jadi, pada konsep pendidikan Islam, materi pendidikan yang diberikan tidak hanya mengedepankan pendidikan akal semata, akan 51
______, Lembaga Hidup, op. cit., h. 201-202 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, op. cit., h. 80 53 Said Ismail Ali, op. cit., h. 103 52
58
tetapi harus diimbangi pula dengan muatan materi keagamaan guna memenuhi semua kebutuhan manusia, baik jasmani maupun rohani.
c. Guru sebagai pendidik Peran pendidik dalam proses pendidikan memiliki andil yang sangat besar, karena pendidik merupakan salah satu faktor utama penentu keberhasilan tercapainya tujuan pendidikan. Karena pendidik ibarat motor penggerak yang mengarahkan dan memotivasi peserta didik untuk terus mengembangkan potensi-potensi dasar mereka menjadi sebuah kemampuan dan keahlian yang dapat bermanfaat bagi kehidupan mereka semua di masa depan. Menurut Hamka, tugas seorang pendidik pada umumnya adalah membantu mempersiapkan dan mengantarkan peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas. Agar dapat melaksanakan tugas tersebut dengan baik, maka terlebih dahulu seorang pendidik mesti memiliki beberapa syarat, yakni “Menurut Hamka
seorang
pendidik
dituntut
untuk
memperluas
keilmuannya, memperhalus budi pekertinya.”
54
wawasan
Menurutnya pula,
“Pendidik harus memperluas pengalamannya, bijaksana, pemaaf, tenang dalam memberikan pengajaran, tidak cepat bosan dalam memberikan pelajaran terutama terhadap materi pelajaran yang kurang dimengerti peserta didik, serta memperhatikan kondisi (baik fisik maupun psikis) peserta didik.”55 Menurut ibnu Sahnun, sebagaimana dikutip oleh A. Susanto, pendidik tidak hanya terbatas pada pendidikan dan pengajaran, namun lebih dari itu seorang pendidik hendaklah berperan sebagai orang tua bagi anak didik. ia juga mempersyaratkan kepada pendidik tentang perilaku pendidik yang harus dimiliki, yaitu perilaku mulia, di mana pendidik dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidik hendaknya berperilaku yang dapat memberikan suri tauladan kepada 54 55
Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 13 Ibid, h. 190
59
anak didiknya, seperti ikhlak, takwa, mempunyai rasa tanggung jawab, dan sopan santun.56 Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Zakiah Daradjat, yakni: Menurut Zakiah Daradjat, dkk, Pekerjaan guru agama adalah luas, yaitu untuk membina seluruh kemampuan-kemampuan dan sikapsikap yang baik dari murid sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini berarti bahwa, perkembangan sikap dan kepribadian tidak terbatas pelaksanaannya melalui pembinaan dalam kelas saja. Dengan kata lain, tugas dan fungsi guru dalam membina murid tidak terbatas pada interaksi belajar mengajar saja.57 Jadi, Guru dengan perannya sebagai seorang pendidik (subyek pendidikan), tidak hanya dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang ilmu pengetahuan yang diajarkannya saja. Namun, ia juga harus memenuhi kualifikasi sebagai seorang guru yang baik dan bermoral tinggi, karena tugas utama seorang guru bukan hanya sekedar menjadi fasilitator dalam pentransferan ilmu kepada para peserta didik semata, akan tetapi, lebih dari itu, ia juga harus mampu menjadi motivator penyemangat dan pantas untuk dijadikan panutan dalam hal berbicara dan bertingkah laku.
d. Peserta didik Pendidikan ada karena faktor manusia yang butuh kepada ilmu-ilmu pengetahuan agar mereka dapat menjalani hidup dengan baik, dengan cara mewarisi pengetahuan dan budaya yang telah dimiliki oleh para generasi sebelumnya. Para pengenyam pendidikan inilah yang disebut dengan peserta didik. Menurut Fadhilah Suralaga, dkk, dalam sistem pendidikan, peserta didik sering dikenal dengan istilah murid yang berasal dari bahasa Arab arada-yuridu-iradatan, muridan yang berarti orang yang menginginkan (the willer). Dalam bahasa Arab terdapat dua istilah lagi, yakni; tilmidz
56
A. Susanto, op. cit., 60 Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. I, h. 264 57
60
dan thalib, kata tilmidz sering diidentikkan dengan murid yang belajar di madrasah, sedangkan kata thalib lebih menggambarkan perilaku aktif, mandiri dan kreatif yang tidak terlalu banyak bergantung pada guru.58 “Menurut Hamka, hidup adalah cita-cita. Cita-cita menjadikan manusia untuk senantiasa berjuang mempertahankan eksistensinya agar tercapai apa yang dituju dengan sempurna.”59 Pernyataan ini erat kaitannya dengan pengertian peserta didik, peserta didik mestilah seseorang yang memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur, sedang alat yang dipergunakan untuk mencapainya tak lain adalah melalui proses pendidikan. Menurut M. Arifin sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, “Anak didik adalah mahkhluk yang sedang dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah optimal kemampuannya fitrahnya.”60 Berdasarkan pandangan di atas, peserta didik dapat diartikan sebagai seseorang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan guna mengoptimalkan potensi dalam dirinya, dan untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan usaha dan semangat yang tinggi. Dalam menjelaskan sikap yang harus dimiliki seorang peserta didik, Hamka mengutip firman Allah surat Al-Isra‟ ayat 24:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku sewaktu aku kecil.”
58
Fadhillah Suralaga, dkk, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Pres, 2005), Cet. I, h. 111-112 59 Hamka, Falsafah Hidup, op. cit., h. 252-253 60 Abuddin Nata, Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 131
61
Menurut Hamka, di dalam ayat tersebut dijelaskan tentang etika yang harus dimilki oleh seorang peserta didik. Yakni meskipun seorang anak atau peserta didik telah berhasil memiliki ilmu pengetahuan dan kedudukan yang tinggi, akan tetapi dihadapan orang tua maupun pendidik hendaklah ia merendahkan diri dan menunjukkan akhlak mulia. Sikap yang demikian dapat memperhalus rasa kemanusiaan dan pengabdian peserta didik, baik kepada orang tuanya, guru-gurunya, ataupun terhadap Khaliknya.61 Peserta didik hendaknya menyadari akan kekurangan dirinya dan berupaya untuk memperbaiki dengan cara meningkatkan mutu ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Proses peningkatan ilmu ini bukan hanya dilakukan melalui interaksi dengan pendidik, akan tetapi dapat juga dilakukan melalui belajar sendiri.
e. Hubungan konsep manusia dengan konsep pendidikan Islam menurut Hamka Adapun hubungan antara konsep manusia dengan konsep pendidikan Islam adalah: 1) Tujuan pendidikan Islam Tujuan penciptaan manusia menurut Hamka yaitu untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah serta untuk memelihara ketiga komponen potensi yang dimiliki manusia (akal, jiwa dan jasad). Hal inilah yang melandasi tujuan pendidikan Islam yang diusungnya. Tujuan pendidikan Islam menurut Hamka adalah mengenal dan mencari keridhaan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia, serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup layak dan berguna ditengah-tengah komunitas sosialnya. Atau dengan kata lain bertujuan untuk mencari kebahagiaan di dunia dan di akhirat melalui kerja keras dan ibadah kepada Allah SWT.
61
Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 181
62
2) Materi pendidikan Islam Dalam hal perumusan materi pendidikan Islam, menurut Hamka materi yang dipelajari haruslah berorientasi pada pengembangan akal dan pengembangan rasa atau agama. Karena pendidikan yang didasarkan pada muatan nilai agama akan menumbuhkan keyakinan pada ketentuan-ketentuan Allah dan akan menjadi nilai kontrol perilakunya. Sementara pendidikan akal akan membantu peserta didik membangun peradaban umat secara dinamis sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama yang diyakininya. Dalam hal perumusan materi pendidikan Islam tersebut, Hamka menyandarkan dari konsep fitrah manusia yang digagasnya. Manusia menurut hamka memiliki tiga potensi utama, yakni akal, jiwa dan jasad. Melalui ilmu-ilmu agama peserta didik akan mampu membentuk kepribadiannya menjadi lebih baik, selanjutnya dengan ilmu-ilmu umum wawasan intelektual peserta didik akan semakin luas dan berkembang, dengan materi ketrampilan praktis (olahraga) akan menjaga kebugaran tubuh dan stamina peserta didik, dan yang terakhir dengan materi kesenian akan semakin memperhalus rasa (jiwa) peserta didik. 3) Guru sebagai pendidik Menurut Hamka pendidik haruslah seseorang yang luas wawasannya serta memiliki berbagai perangai yang baik, karena tugas seorang
pendidik
adalah
membantu
mempersiapkan
dan
mengantarkan peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas. Hal ini sejalan dengan tugas manusia menurut Hamka, yakni sebagai khalifah. Baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Hendaknya sebelum menuangkan ilmu kepada orang lain terlebih dahulu pendidik haruslah mengisi potensi yang ada dalam dirinya yakni akal, jiwa dan jasadnya agar ia tak hanya menjadi seorang
63
pengajar atau pentransfer ilmu semata, namun juga dapat menjadi pendidik yang dapat menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didiknya. 4) Peserta didik Peserta didik menurut pandangan Hamka mestilah seseorang yang memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur. Oleh karena itu mereka haruslah memiliki sifat rendah hati dan rasa keingintahuan yang tinggi. Konsep ini berkaitan erat dengan konsep fitrah manusia yang digagasnya, bahwa manusia yang telah dianugerahi dengan berbagai potensi istimewa (akal, jiwa, dan jasad) haruslah menjaga dan mengembangkan
potensi-potensinya
tersebut
sehingga
dapat
mengenal Tuhannya dan dapat memanfaatkan sumber daya alam yang diciptakan Tuhan untuknya, sebagai suatu cita-cita yang tinggi dan luhur. Dari beberapa pemikiran Hamka yang telah penulis kemukakan terkait dengan masalah konsep manusia juga konsep pendidikan Islam di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa dalam merumuskan konsep pendidikan Islam, pemikiran Hamka berpijak pada konsep manusia yang dirumuskannya. Manusia menurut Hamka merupakan makhluk Allah yang memiliki tugas di muka bumi ini sebagai seorang hamba sekaligus khalifah, dan karenanya manusia berkewajiban untuk menaati dan mematuhi semua ketentuan yang telah ditetapkan Allah baginya. Karena tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah, maka Allah telah menyiapkan berbagai potensi untuk bekal manusia dalam mengemban dan menjalankan tugasnya tersebut, potensi-potensi tersebut menurut Hamka yakni berupa akal, jiwa dan jasad.
64
Untuk dapat memaksimalkan semua potensi yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia, maka manusia harus berusaha, salah satunya melalui proses pendidikan. Oleh karena itu, menurut Hamka pendidikan yang dijalani haruslah yang mengedepankan segala potensi yang dimiliki manusia, dalam kata lain suatu sistem pendidikan haruslah berdasarkan konsep manusia. Hal senada juga dipaparkan oleh Muhammad Nor Syam dalam bukunya Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Menurutnya, Pendidikan dalam wujudnya selalu bertujuan membina kepribadian manusia, baik demi ultimate goal maupun bagi tujuan-tujuan dekat. Tujuan akhir pendidikan ialah kesempurnaan pribadi. Prinsip ini terutama berpangkal pada asas self realisasi, yakni merealisasi potensipotensi yang sudah ada di dalam martabat kemanusiaannya. Potensipotensi itu baik berupa potensi-potensi intelektual, mental, rasa, karsa, maupun kesadaran moral, bahkan juga aspek-aspek keterampilan fisik dan perkembangan jasmaniah.62 Apabila dilihat dari pemikiran pendidikan Islam Hamka di atas, semuanya berpijak pada integralitas fitrah manusia, yakni mengedepankan semua potensi yang dimiliki manusia baik akal, jiwa dan jasadnya. Karena menurut Hamka, pendidikan Islam seharusnya diformat secara sistematis dan proporsional dan mengacu pada konsep fitrah peserta didik. Oleh karena itu, jenis pendekatan pendidikan yang digunakan Hamka adalah pendekatan integralistik (keseluruhan).
62
Mohammad Nor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 179
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan berdasarkan fakta, maka untuk menjawab rumusan masalah yang ada penulis menyajikan kesimpulan berupa: 1. Konsep manusia menurut Hamka adalah bahwa manusia merupakan khalifah fi al-ardh sekaligus ‘abd Allah yang berkewajiban untuk taat dan mengabdi kepada-Nya semata. Manusia pada saat lahir belum diketahui potensinya, namun hanya memiliki insting (gharizah/fitrah) saja. Dan pada diri setiap anak (manusia) pula Allah menganugerahinya dengan tiga unsur utama yang dapat menopang tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh maupun ‘abd Allah. Ketiga unsur utama tersebut adalah akal, hati, atau kalbu (roh) dan pancaindera (penglihatan dan pendengaran) yang terdapat pada jasadnya. Dengan perpaduan ketiga unsur tersebut manusia dapat memperoleh ilmu pengetahuan, membangun peradabannya, memahami fungsi kekhalifahannya, serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah. 2. Hubungan antara konsep manusia dengan konsep pendidikan Islam menurut Hamka sangatlah terkait satu sama lain dan tak dapat dipisahkan. Pemikiran pendidikan Islam Hamka berpijak pada integralitas fitrah manusia. Menurutnya, pendidikan Islam seharusnya diformat secara sistematis dan proporsional dan mengacu pada konsep fitrah peserta didik. Jenis pendekatan pendidikan yang digunakan Hamka adalah pendekatan integralistik
(keseluruhan)
baik
jasmani
maupun
rohani.
Makna
pendidikan Islam menurutnya adalah proses mentransfer sejumlah ilmu dan sekaligus membentuk watak pribadi peserta didik, sesuai dengan nilainilai ajaran Islam. Tujuan pendidikan Islam menurut Hamka ialah untuk
65
66
memelihara ketiga komponen potensi yang dimiliki manusia (akal, jiwa dan jasad). Dalam masalah materi pendidikan menurut Hamka, hendaknya mengacu pada pengembangan akal (filsafat) dan rasa (agama), atau dengan kata lain dapat disebut juga sebagai aspek jasmani dan rohani. Dalam memandang peran guru sebagai pendidik menurut Hamka, pendidik haruslah seseorang yang luas wawasannya serta memiliki berbagai perangai yang baik. Adapun dalam memaknai peserta didik, menurut Hamka peserta didik mestilah seseorang yang memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur. Oleh karena itu mereka haruslah memiliki sifat rendah hati dan rasa keingintahuan yang tinggi.
B. Implikasi 1.
Manusia merupakan makhluk materi sekaligus immateri yang berarti terdiri dari aspek jasmani dan rohani, oleh karena itu pendidikan yang dilaksanakan seyogyanya juga mengedepankan kedua aspek tersebut (integral). Ilmu yang diberikan haruslah yang dapat memuaskan dahaga akal dan jiwa (agama), agar manusia dapat menemukan kebenaran hakiki sekaligus mencapai makna kebahagiaan yang sesungguhnya.
2.
Dalam Al-Qur’an dijelaskan secara tegas bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah, maka dengan sebab tugasnya tersebut manusia memiliki peran sebagai khalifah dan ‘abd Allah di muka bumi ini. Allah juga menganugerahi manusia dengan potensi (akal, jiwa, jasad) untuk membantu mereka dalam melaksanakan tugasnya tersebut, dan untuk mengoptimalkan potensipotensi tersebut maka pendidikan Islam sebagai sarana haruslah merupakan sebuah upaya yang diarahkan untuk mengembangkan ketiga potensi tersebut agar manusia dapat bermanfaat bagi dirinya dan juga lingkungan sekitarnya.
67
C. Saran Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang perlu ditambah dan diperbaiki. Untuk itu dengan penuh kerendahan hati dan tidak bermaksud untuk menggurui, penulis ingin menuliskan beberapa saran 1. Setiap orang perlu memahami konsep tentang manusia, karena dengan tanpa mengenal terlebih dahulu siapa dirinya dan apa hakikat dari penciptaannya tersebut, maka niscaya mereka hanya akan menjadi manusia perusak di muka bumi, karena dalam menjalani kehidupannya mereka hanya memuaskan akal dan nafsu mereka belaka tanpa memperdulikan kebahagiaan hidup yang hakiki. 2. Perumusan ataupun pelaksanaan pendidikan, keduanya mesti mengacu kepada konsep manusia. Karena dalam pelaksanaan pendidikan, manusia merupakan aspek inti yang memiliki peran yang sangat penting baik itu sebagai subjek maupun objek pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah yang dapat mengarahkan manusia menjadi makhluk yang berbudi pekerti luhur serta dapat mengembangkan segala potensi atau bakat yang mereka miliki.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya. Departemen Agama Republik Indonesia. Surabaya: Karya Agung, 2006. Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008. Ali, Said Ismail. Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. I, 2010. Ali, Yunasril. Manusia Citra Ilahi Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh Al-Jili. Jakarta: Paramadina, 1997. Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara, 1987. Azwar, Saefudin. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Baharuddin, Umiarso, dan Sri Minarti, Dikotomi Pendidikan Islam Historisitas dan Implikasi pada Masyarakat Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. I, 2011. Chalil, Achjar, dan Latuconsina, Hudaya. Pembelajaran Berbasis Fitrah. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. II, 2009. Daradjat, Zakiah. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: CV Ruhama, Cet. II, 1995. ______________, dkk. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. I, 1995. Djuned, Daniel. Antropologi Al-Qur’an. Jakarta: Erlangga, 2011. Hamka. Falsafah Hidup. Medan: Pustaka Islamiyah, 1950. ______. Filsafat Ketuhanan. Surabaya: Karunia, 1985. ______. Lembaga Hidup. Jakarta: Djajamurni, 1962. ______. Pandangan Hidup Muslim. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992. ______. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998. ______. Tasawuf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
68
69
______, Irfan. Ayah. Jakarta: Republik, 2013. ______, Rusydi. Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka. Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1989. Irfan, Mohammad, dan HS, Matsuki. Teologi Pendidikan Tauhid sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta: Friska Agung Insani, Cet. I, 2000. Jalaluddin, dan Idi, Abdullah. Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012. Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT Al Ma’arif, Cet. IV, 1980. Mohammad, Herry, dkk. Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani, 2006. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014. Mutahhari, Murtadha. Perspektif Al-Qur’an tentang Manusia dan Agama. Bandung: Mizan, Cet. IX, 1997. Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. I, 1997. ____________. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press, 2002. ___________. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, Cet. I, 2008. ___________. Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001. Poedjawijatna, I.R. Manusia dengan Alamnya (Filsafat Manusia). Jakarta: Bina Aksara, Cet. III, 1983. Prasetya. Filsafat Pendidikan untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia, 1997. Rouf, Abdul. Tafsir Al Azhar: Dimensi Tasawuf HAMKA. Selangor: Piagam Intan SDN. BHD, Cet. I, 2013. S, Floriberta Aning. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20. Jakarta: PT. Buku Kita, Cet. III, 2007.
70
Soejono, Ag. Aliran Baru dalam Pendidikan Bagian ke-1. Bandung: C.V. Ilmu, Cet. X, 1978. Sucipto, Hery. Tajdid Muhammadiyah. Jakarta: Grafindo, 2005. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2012. Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Suralaga, Fadhilah, dkk. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, Cet. I, 2005. Susanto, Ali. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2009. Susilo, Madyo Eko, dan Kasihadi, RB. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2001. Syam, Mohammad Nor. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1986. Tafsir, Ahmad. Epistimologi untuk Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Fak Tarbiyah Iain Gunung Djati, 1995. Umiarso, dan Zamroni. Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur. Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011. Yasin, A. Fatah. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam. Yogyakarta: UIN-Malang Press, 2008. Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 2004.
UJI REFERENSI
Nama
Herdiyanti Fha.uziah
NIM
11 1001
Jurusan
Pendidikan Agama Islam
1000033
Judul Skripsi Hubungan Konsep Manusia dengan Konsep Pendidikan Islam Menurut Haji A bdul Malik Karim Amrullah
1.
Ali, Yunasril. Maru,sia Citra Ilahi Pengembangan Konsep Insan Kamil
Jili. ,,
Halaman Buku
Footnote/Referensi
No.
lbn 'Arabi
oleh
80
Halaman Skripsi
t6
Al-
Jakarta: Paramadina, 1997
Paraf
-l
.
Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
_)
385
51
Persada,2008.
Said Ismail. Pelopor Pendidikan Islam Paling
3.
_,
69, 103
51, 59
4.
Berpengaruh. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. I, 2010. Arifin, M. Filsafat Pendidikan
13, 14
13, 14
89
31
145
57
Islam. Jakarta: Bina
Aksara,
1987. 5.
Azwar, Saefudin. Metodologi Penelitian. Yogyakarla: Pustaka Pelajar, 1998.
6.
Baharuddin, lJmiarso, dan Sri Minarti, Dikotomi Pendidikan Islam Historisitas dan Implikasi
7
pada Masyarakat Islam. Bandung: PT Rernaja 7.
Rosdakarya, Cet. I, 2011. Chalil, Achjar, dan Latuconsina,
5l-52
t2
Hudaya. Pembelajaran Berbasts
Fitrah. Jakarta: Balai
Pustaka,
Cet.II. 2009. 8.
Daradjat, Zakiah. Pendidikan
Islam dalam Keluarga
21 5r
7, 19
47, 48,50,52
dan
Sekolah. Jakarta: CV Ruhama, Cet.
II,
1995.
dkk. Metodik
9.
Khusus
264
6t
88
t2
75,252-253
58,62
10
51
290
38
Agama
Pengajaran
Islam. Jakarta: Bumi
Aksara,
CeLI, 1995. 10.
Djuned, Daniel. Antropologi Al-
Qur'an. Jakarta:
Erlangga,
2011. 11.
Hamka. Falsafah Medan: Pustaka
Hi&.p.
Islamiyah,
1950.
Filsafat
12.
Ketuhanan.
Surabaya: Karunia, 1 985. 13.
_,
Irfan. Ayah.
Jakarla:
Republik,2013. 14.
Lembaga
Hifutp.
Jakarla: Dj ajamurni, 1962.
15.
Pandangan Hidup
Muslim. Jakarta: PT
Bulan
2,13,30, 40, 43, 41, 54, 181, 53, 190,,201-202, 203 80, 192-193
48. 50, 56, 57, 58, 60, 63
I 58, 59
Bintang,1992. 16.
Rusydi. Pribadi dan
_,
38
Martabat Buya Prof. Dr. Hamka. Jakarla: Pustaka Panji Mas, 1989.
Tafsir
17.
Al-Azhar.
Jakarla: Pustaka Panjimas, 1998.
18. 19.
Tasawuf
Modern. Jakarta: Pustaka Paniimas, 1990. Irfan, Mohammad, dan HS,
156, 44, 45, 48, 202, 274, 53, 54, 55 4036-4037, 4665, 4667, 5515,5516 123 50
98-99,
55
10
\
Matsuki. Teologi Pendidikan
Tauhid sebagai
\
Paradigma
Pendidikan Islam.
,/
Jakarta:
(-
Friska Agung Insani, Cet. I, 2000.
20.
Jalaluddin, dan
Idi,
Abdullah.
129,130,
l3l
\
4rl2r13
Filsafat Pendidikan Manusia,
Filsafat, dan Jakarla: PT
Pendidikan. RajaGrafindo
Persada, 2012.
21.
Marimba, Ahmad D. Pengantar
23,37
14,26
60
33
Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT Al Ma'arif, Cet. IV, ,,,,
1980.
Mohammad, Herry, dl*.. TokohTokoh Islam yang Berpenganilt
Abad 20. Jakafia: Gema Insani,
l
2006.
23.
Moleong, Lexy J. Metodologi
r57,248
31,32
Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 201 4. 24.
Mutahhari, Murladha.
P
erspektif 32
Al-Qur'an tentang Manusia
12
clan
Agama. Bandung: Mizan, Cet.
rx,1997. 25.
Nata, Abuddin.
Filsafat
1.
Jakarta:
Pendidikan Islam
29,131
2,62
Logos Wacana Ilmu, Cet. I,
LU,
t997.
.
26.
Tokoh-Tokoh
9,83
61
53
/
Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta:
PT
RajaGrafindo Persada, 2005. 27.
Nizar, Samsul.
Filsafat
15,,21
6, 18
Pendidikan Islam Pendekatan
Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
2, 15-18, 25- 5, 33, 34,39,
28.
Memperbincangkan Dinamika
26,
45-46, 125,126
40,52
135
43
Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam. Jakarla: Kencana, Cet. I,
I
2008.
29.
Pengantar
Dasar-Dasar
Pemikiran
Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama,2001. 30.
I.R. Marutsia dengan Alamnya (Filsofat Poedjawijatna,
67
20
15
5
19
34
81
34
I
Manusia). Jakarta: Bina Aksara, Cet. 31.
III,
1983.
Prasetya. Filsafat Pendidikan
untuk IAIN, STAIN,
PTAIS.
Bandung: Pustaka Setia, 1997.
32.
Rouf, Abdul. Tafsir Al Azhar:
Dimensi Tasawuf
HAMKA.
Selangor: Piagam
Intan
SDN. BHD, Cet. I,2013. 33.
S, Floriberla Aning. 100 Tokoh
yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam
I
Sejarah Indonesia di Abad 20. Jakarta: PT. Buku Kita, Cet.
III,
2007.
34.
Soejono, Ag. Aliran Baru dalam
Pendidikan Bagian
20
ke-L.
Bandung: C.V. Ilmu, Cet. X, t978. 35.
Sucipto, Hery. Muhammadiyah.
Tajdid
158
40
309
31,32
Jakarta:
Grafindo,2005. 36.
Sugiyono, Metode Penelitian
Pendidikan
Kuantitatif,
hrulitatif, dan R&D.
Bandung:
Alfabeta,2012. 37.
Suhafto, Toto.
Filsofat
Pendidikan Islam. Jogjakarla:
82, 93,
91, 2,, 17, 18, 19,
21,
85, 96, 116
22,,
I
23,,
24,26,27
Ar-Ruzz Media, 2011. 38.
Suralaga, Fadhilah, Psikologi Pendidikan
dalam
Perspektif Islam. Jakarla: Jakarla Press, Cet.
39.
dkk.
11, 17,
tt2
111-
5,
llr
62
UN
I, 2005.
Susanto, A.
Pemikiran
Pendidikan Islam.
Jakarta:
35, 41,
64,
44, 46,
49,51,55, 56
18
25
Amzah.2009. 40.
Susilo, Madyo Eko, Kasihadi,
RB.
dan
Dasar-Dasar
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara,200l. 41.
Syam, Mohammad Nor. Filsafat
179
Pendidikan dan Dasar Filsafat
Pendidikan
Pancasila.
Surabaya: Usaha Nasional, 1986.
42.
Tafsir, Ahmad. Epistimologi untuk llmu Pendidikan Islam. Bandung: Fak Tarbiyah Iain Gunung
43.
Diati,
98-99
55
65,77,83
15r20r26
24
t4
1995.
Umiarso, dan Zamroni. Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur. Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 201t.
44.
Yasin, A. Fatah. DimensiDimensi Pendidikan Islam.
47,
65,66,57,76
I
Yogyakarta: UIN-Malang Press, 2008.
45.
Zthairint. Filsafat Pendidikan 77,82-83,99 Islam. Jakarla: Bumi Aksara,
21,24,25
.-\,/
Cet. III,2A04.
Jakarta, 13 Februari 2015 Dosen pembimbing
\, Drs.-\_ Abdul Haris, M.As
NIP: 19660901 199503
1 001