Interaksi Obat Pada Bayi Dan Anak.docx

  • Uploaded by: Anggita Dayyan
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Interaksi Obat Pada Bayi Dan Anak.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,330
  • Pages: 25
BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Seorang praktisi medik dalam praktek sehari-hari sering dihadapkan pada berbagai

permasalahan

pengobatan

yang

kadang

memerlukan

pertimbangan-

pertimbangan khusus, seperti misalnya pengobatan pada kelompok umur tertentu (anak dan usia lanjut), serta pada kehamilan. Meskipun prinsip dasar dan tujuan terapi pada kelompok-kelompok tersebut tidak banyak berbeda, tetapi mengingat masing-masing memiliki keistimewaan khusus dalam penatalaksanaannya, maka diperlukan pendekatanpendekatan yang sedikit berbeda dengan kelompok dewasa. Pertimbangan pengobatan pada anak, tidak saja diambil berdasarkan ketentuan dewasa, tetapi perlu beberapa penyesuaian seperti dosis dan perhatian lebih besar pada kemungkinan efek samping, karena adanya imaturitas fungsi organ-organ tubuh, sehingga mungkin diperlukan penyesuaian dosis serta pemilihan obat yang benar-benar tepat. Selain itu, pengobatan pada anak juga memerlukan pertimbangan lebih kompleks, antara lain karena berbagai masalah cara pemberian obat, pemilihan bentuk sediaan, dan masalah ketaatan (patient's compliance). Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Berbagai pilihan obat saat ini tersedia, sehingga diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang cermat dalam memilih obat untuk suatu penyakit. Tidak kalah penting, obat harus selalu digunakan secara benar agar memberikan manfaat klinik yang optimal. Sejauh ini prinsip pemakaian obat pada anak dalam praktek sehari hari lebih banyak didasarkan atas prinsip pengobatan pada dewasa. Hal ini dapat dipahami mengingat hingga kini informasi praktis mengenai obat dan terapetika pada anak masih sangat terbatas. Sebagai contoh adalah penentuan dosis. Sebagian besar penentuan dosis obat pada anak didasarkan pada berat badan, umur, atau luas permukaan tubuh terhadap dosis dewasa. Hal ini tidak selalu benar, mengingat berbagai perbedaan baik fisik maupun respons fisiologis yang berbeda antara anak dan dewasa. Sementara itu meskipun berbagai formulasi penghitungan dosis sudah banyak dikembangkan, tetapi

praktis tidak begitu saja bisa diberlakukan secara umum untuk semua anak, dengan ras yang berbeda. Masalah pemakaian obat pada anak tidak saja terbatas pada penentuan jenis obat dan penghitungan dosis tetapi juga meliputi frekuensi, lama dan cara pemberian. Meskipun sebagian besar obat untuk anak tersedia dalam bentuk sediaan oral (biasanya cairan) tetapi dosis yang adekuat kadang sulit dicapai karena berbagai sebab misalnya muntah, atau reaksi penolakan lain yang menyebabkan obat yang diminum menjadi kurang dari takaran yang seharusnya diberikan. Untuk obat-obat simtomatik, keadaan ini tentu mempengaruhi khasiat/kemanfaatan obat. Interaksi obat dengan makanan adalah adanya efek toksik atau efek yang tidak diinginkan dari suatu obat atau penurunan efektivitas obat karena adanya percampuran dengan zat yang ada dalam makanan. Ada obat yang penyerapannya lebih baik dan lebih cepat dan ada obat yang penyerapannya lebih lambat dan lebih jelek bila ada makanan, tanpa makanan atau bersama-sama makanan. Demikian pula jenis makanan dan minuman yang kita konsumsi akan berpengaruh terhadap penyerapan obat dalam tubuh. Setelah obat diserap oleh tubuh, barulah obat bekerja di dalam tubuh sesuai dengan fungsinya masing-masing. Interaksi obat dengan makanan dan minuman dapat berdampak obat tidak bekerja dengan semestinya, menyebabkan efek samping atau sebaliknya obat lebih efektif bekerja. Pemberian obat maupun suplemen pada anak-anak seharusnya diberikan bila ada indikasi dan sesuai petunjuk dari tenaga kesehatan. Namun tak jarang, akibat gencarnya iklan di televisi maupun radio tentang manfaat "keajaiban" jenis obat tertentu membuat orangtua justru keliru mengartikan pesan pariwara. Slogan yang lazim kita dengar adalah "bila sakit berlanjut hubungi dokter". Akibat promosi iklan, orangtua bayi dan anak tidak berpikir panjang apakah memang anaknya sungguh memerlukan obat tersebut atau hanya karena tergoda dengan visualisasi tentang bayi yang sehat, gemuk dan lucu sesuai dengan promosi iklan produk suplemen maupun obat untuk anak.

Memberikan obat pada bayi dan anak perlu perhatian lebih khusus. Bukan saja karena mereka masih kecil, tubuh anak-anak juga akan memberikan reaksi berbeda terhadap obat yang diberikan. Dan yang terpenting adalah beberapa obat dapat menimbulkan reaksi yang bisa berbahaya pada tubuh anak (hal yang tidak terjadi lagi pada tubuh orang dewasa). Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pengaruh pemberian obat pada bayi dan anak.

1.2

1.3

Rumusan Masalah 1.2.1

Bagaimana penggunaan obat pada bayi dan anak?

1.2.2

Bagaimanacara pemberian obat pada bayi dan anak?

1.2.3

Bagaimana pengaruh pemberian obat pada bayi dan anak?

1.2.4

Apa saja kesalahan pemberian obat pada bayi dan anak?

1.2.5

Bagaimana interaksi obat dan makanan pada bayi dan anak?

Tujuan Penulisan 1.3.1

Menjelaskan cara penggunan obat pada bayi dan anak.

1.3.2

Menjelaskan cara pemberiaan obat pada bayi dan anak.

1.3.3

Menjelaskan pengaruh pemberian obat pada bayi dan anak.

1.3.4

Menjelaskan kesalahan pemberian obat pada bayi dan anak.

1.3.5

Menjelaskan interaksi obat dan makanan pada bayi dan anak.

BAB II PEMBAHASAN

2. 1

Penggunaan Obat pada Bayi dan Anak Penggunaan obat pada bayi dan anak harus dipertimbangkan secara khusus karena adanya perbedaan laju perkembangan/pematangan organ yang juga mencakup fungsi organ

tubuh

dan

sistem

dalam

tubuh

yaitu

faktor farmakokinetika seperti absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat. Farmakokinetika obat pada anak : a. Absorpsi 

Laju absorpsi dan jumlah yang terabsorpsi.



Waktu pengosongan lambung menyamai orang dewasa, pada bayi diatas 6 bulan.



Absorpsi perkutan pada neonatus dan bayi jauh lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa.



Diare akut (kasus yang sering dijumpai pada anak) mengakibatkan penurunan absorpsi.

b. Distribusi 

Selama usia bayi kadar air total dalam tubuh terhadap berat badan total memiliki prosentase yang lebih besar daripada anak yang lebih tua/orang dewasa.



Obat yang larut air diberikan dosis yang lebih besar pada neonatus untuk mendapat efek terapetik yang dikehendaki.



Kadar albumin dan globulin pada bayi rendah sehingga obat tidak terikat pada protein lebih banyak shg kadar dalam darah meningkat.

c. Metabolisme 

Pada saat lahir, sebagian besar enzim yang terlibat dalam metabolisme obat belum terbentuk atau sudah ada namun dalam jumlah yang sangat sedikit.

d. Ekskresi 

Laju filtrasi glomerulus pada bayi yang baru lahir lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa karena ginjalnya relatif belum berkembang dengan baik.

Secara umum jalur eliminasi obat (hepar dan ginjal) sangat minim pada bayi yang baru lahir, dan juga pada bayi yang prematur. Hal ini disebabkan karena faktor fisiologis dari bayi yang tidak biasa, dimana dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan dari terapi. Jalur kliren obat sangat dipengaruhi oleh perubahan fisiologi (bayi, premature dan saat pubertas). Pada perkembangan bayi di tahun pertama, kliren metabolit obat sangat minim. Pada saat pubertas kliren akan mengalami penurunan lebih cepat pada perempuan daripada pada laki-laki. Perbedaan farmakodinamik ditemukan antara anak-anak dan orang dewasa hal ini dapat mempengaruhi outcome terapi yang tidak diinginkan dan juga adverse effect. Namun tidak selamanya penggunaan obat pada anak-anak dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Contohnya, sekalipun pada penggunaan asam valproic pada anak-anak dapat menimbulkan hepatotoksik lebih tinggi dibanding pada orang dewasa, namun pada penggunaan isoniasid dan asetaminofen, efek hepatotoksisitasnya lebih rendah. Pengaruh Formulasi pada Efek Makanan Cairan dikosongkan dari perut lebih cepat dari makanan padat, karena dimensi partikel yang dapat melewati pilorus dapat membatasi pengosongan lambung. Kehadiran makanan juga dapat mempengaruhi disintegrasi tablet karena kekuatan pencampuran yang berbeda dan akibatnya waktu yang dibutuhkan untuk partikel tablet yang cukup kecil terlambat untuk ditransfer ke usus kecil. Pada pasien anak-anak di mana obat-obatan lebih sering diberikan sebagai solusi, suspensi atau tablet yang dihancurkan secara tanpa persiapan langkah disintegrasi ini telah dihapus, oleh karena itu efek makanan mungkin berbeda dengan yang diperkirakan dari penelitian orang dewasa sehingga kewaspadaan ekstra diperlukan.

Susu merupakan komponen penting dari neonatus dan diet bayi belum terbukti mengurangi penyerapan banyak obat termasuk ketoprofen, mercaptopurine, metotreksat dan penisilin. Protein dalam makanan juga dapat mengikat dengan obat-obatan untuk mengurangi paparannya, misalnya fenitoin (obat anti kejang). Komposisi makanan dalam hal protein dan kation perlu dipertimbangkan dalam desain tes yang tepat untuk memprediksi interaksi makanan-obat pada anak-anak. Bayi dan balita memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap obat-obatan dibandingkan remaja. Jika memberikan dosis atau waktu pemberian obat yang salah, bisa-bisa obat tersebut tidak efektif atau bahkan berbahaya bagi bayi. Memberikan obat pada bayi harus sesuai dengan resep yang diberikan dokter. Ada beberapa obat yang tidak bisa diberikan pada bayi terutama yang berusia di bawah 6 bulan, karena memiliki efek samping yang berbahaya bagi bayi. Beberapa obat yang tidak dianjurkan untuk bayi biasanya karena bisa menghambat kerja sistem tubuh atau tubuh bayi belum bisa menoleransi obat tersebut. Sehingga bukan kesembuhan yang didapat tapi bisa jadi menimbulkan penyakit yang lain akibat efek sampingnya. Berikut ini adalah beberapa obat yang harus diperhatikan anjuran penggunaannya : 1. Paracetamol (Sanmol) Obat ini tidak dianjurkan untuk bayi berusia di bawah 3 bulan, penggunaan obat ini sebaiknya berdasarkan resep dan setelah berdiskusi dengan dokter atau setelah bayi mendapatkan vaksinasi pertama kali. Parasetamol bisa menghambat beberapa enzim yang berbeda di dalam otak dan ikatan tulang belakang yang terlibat dalam perpindahan rasa sakit. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa penggunaan parasetamol pada bayi bisa meningkatkan risiko asma 5 tahun mendatang sebesar 46 persen. Meminum obat paracetamol dan propifenazon dengan air jeruk sebaiknya dihindari karena air jeruk bersifat asam (mengandung vitamin C tinggi) dan salah satu kandungan obat dari propifenazon memiliki efek samping utama yaitu munculnya gangguan lambung.

2. Ibuprofen. Obat ini sebaiknya digunakan untuk bayi berusia 6 bulan ke atas karena obat ini bisa menghambat produksi beberapa zat kimia di dalam tubuh yang bisa meningkatkan respons cedera, sakit atau menyebabkan peradangan. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa ibuprofen memang lebih bagus untuk mengatasi demam atau menurunkan suhu tinggi pada anak-anak di atas usia 6 bulan. Obat ini tidak bisa digunakan untuk bayi yang menderita asma sejak lahir atau turunan. Ibuprofen dianjurkan diminum bersama susu atau pada waktu makan. Karena obat-obatan jenis ini memiliki sifat mudah larut dalam lemak. 3. Aspirin. Jangan pernah memberikan anak obat yang mengandung aspirin, karena bisa menyebakan Reye's syndrome (sindrom yang bisa mengubah zat-zat kimia dalam darah sehingga merusak fungsi beberapa organ terutama hati dan otak) yang pada kasus tertentu bisa mengakibatkan kematian. Aspirin kadang ditulis sebagai salisilat atau asam asetilsalisilat. 4. Obat anti-mual. Jangan memberikan obat ini tanpa rekomendasi dari dokter, karena obat ini memiliki risiko komplikasi. Rata-rata anak-anak bisa mengatasi rasa mual tanpa harus mengonsumsi obat-obatan. Jika sudah mengalami dehidrasi, segera hubungi dokter. 5. Obat batuk dan flu yang dijual bebas. American Academy of Pediatrics (AAP) melarang penggunaan obat batuk dan flu yang dijual bebas untuk anak usia sebelum sekolah, karena bisa berbahaya. Efek yang ditimbulkan adalah tidak bisa tidur, sakit perut bagian atas dan jantung yang berdebardebar. Setiap tahun 7.000 anak-anak di bawah usia 11 tahun masuk rumah sakit karena mengonsumsi obat batuk dan flu yang berlebihan. 6. Obat orang dewasa. Memberikan anak-anak obat orang dewasa dengan dosis yang dikurangi sangat berbahaya. Jika obat tersebut memberi tanda tidak untuk anak-anak, maka jangan pernah mencoba untuk diberikan ke anak-anak.

7. Asetaminofen yang berlebihan. Beberapa obat mengandung asetaminofen untuk mengurangi demam dan sakit, tapi berhati-hati dalam penggunaannya. Harus sesuai dengan resep dokter atau apoteker setempat. 8. Obat herbal yang mengandung ephedra atau ephendrine. Jangan pernah memberikan anak-anak obat ini, karena berhubungan dengan tekanan darah tinggi, detak jantung yang tidak teratur, serangan jantung dan stroke. Berikanlah pengobatan alternatif lain yang lebih aman dan alami. 9. Tablet kunyah. Jangan memberikan anak berusia di bawah 2 tahun obat ini, umumnya anak berusia 2 sampai 4 tahun yang sudah mengerti cara minum obat ini. Jika orang tua berpikir anaknya belum terlalu mengerti, maka hancurkan obat dan letakkan di sendok yang diberi sedikit air. Dosis yang diberikan harus sesuai.

2. 2

Pemberian Obat pada Bayi dan Anak Memberikan obat pada bayi dan anak harus hati-hati, karena hati bayi dan anak belum dapat berfungsi dengan optimal dalam mengolah bahan kimia dari peredaran darah. Hati pada bayi dan anak belum berkembang secara sempurna. Kadar obat dalam darah anak amat mudah terlampaui dan untuk menghindari efek yang tidak diinginkan, obat perlu ditakar dengan tepat dan mematuhi dosis yang dianjurkan. Perlu diingat jangan mengencerkan atau memasukkan obat ke dalam susu bayi. Faktor yang menjadi pertimbangan sebelum suatu obat diberikan kepada seorang pasien anak : a. Rute pemberian yang diinginkan b. Usia anak c. Ketersediaan bentuk sediaan d. Pengobatan lain yang sedang dijalani e. Kondisi penyakit f. Penyuluhan dan kepatuhan. Kepatuhan anak terhadap pengobatan sangat tergantung pada orang tua, atau pengasuh. Penyuluhan dengan melibatkan

pasien anak dapat dilakukan pada pasien usia 8-10 tahun. Hal-hal yang dapat mempengaruhi kepatuhan : 

Formulasi (rasa)



Penampilan obat



Kemudahan cara penggunaan



Waktu pemberian obat (berhubungan dengan waktu tidur, waktu sekolah)



Efek samping pada bayi dan anak

Dalam memberikan obat kepada bayi dan anak, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, dan ini tidak disarankan untuk dilakukan, yaitu jangan memberikan pada anak obat resep untuk orang dewasa atau sisa obat orang lain. Bila menggunakan obat bebas,

bacalah

baik-baik

petunjuk

pada

kemasannya

atau

tanyakan

kepada

apoteker.Jangan memberikan obat bebas untuk jangka waktu yang lama tanpa berkonsultasi dengan dokter. Dan jangan memberikan obat yang pernah membuat anak menunjukkan gejala mual, muntah, diare, ruam atau bengkak di mata dan persendian. Selain itu memaksa bayi minum obat (dengan cara memeganginya agar tidak meronta), karena hanya akan menimbulkan trauma. Buntutnya kelak Ia justru makin sulit bila harus minum obat. Pemaksaan juga bisa membuatnya menangis sehingga meningkatkan risiko tersedak. Teknik memencet hidung bayi agar ia mau membuka mulut juga tidak disarankan. Bayi terutama di bawah 4 bulan belum pandai menelan sehingga asupan yang masuk (termasuk obat) akan diterima dengan mekanisme isap. Memencet hidungnya berbahaya karena dikhawatirkan akan menyebabkan obat masuk ke paru-paru. Jangan membohongi anak dan bayi misalnya dengan mengatakan bahwa obat rasanya manis padahal sebenarnya pahit. Bayi itu cerdas dan memiliki daya ingat yang tajam. Ketimbang membohongi beri penjelasan (meski kemampuan berkomunikasinya masih terbatas) bahwa obat ini dapat menyembuhkan penyakitnya sehingga ia dapat bermain kembali. Cobalah mencari cara yang menyenangkan agar bayi tertarik minum obat. Contoh, dengan mengandaikan sendok obat sebagai pesawat yang siap masuk ke dalam mulutnya. Ketika sendok digerakkan menuju mulut, iringi dengan suara yang menirukan bunyi pesawat. Berikan anak kepercayaan, anak-anak umur dua sampai tiga tahun biasanya ingin lebih berkuasa. Mereka biasanya ingin memegang sendok obat sendiri dan

meminumnya. Untuk ini beri mereka pilihan tapi tetap mengharuskan mereka untuk minum obat. Misalnya saja tanyakan apakah dia ingin pakai sendok atau gelas? Kapan dia ingin minum obat, sebelum bermain atau saat kapan? Turuti saja keinginannya seandainya dia minta minum obat di ruang tamu sambil ditemani nenek, ayah atau siapapun. Selain itu, coba jenis obat lain. Jika biasanya bayi atau anak mengonsumsi obat dalam bentuk cair dan ia menolak, coba tablet kunyah dan tablet biasa. Yang paling gampang, tentu tablet kunyah yang rasanya enak dan larut dalam waktu singkat di mulut. . 2. 3

Pengaruh Pemberian Obat pada bayi dan Anak Memberikan obat pada bayi dan anak perlu perhatian lebih khusus. Bukan saja karena mereka masih kecil, tubuh anak-anak juga akan memberikan reaksi berbeda terhadap obat yang diberikan. Dan yang terpenting adalah beberapa obat dapat menimbulkan reaksi yang bisa berbahaya pada tubuh anak (hal yang tidak terjadi lagi pada tubuh orang dewasa). Maka penting untuk selalu memberikan dosis tepat, tak kurang dan tak berlebihan pada anak. Selalu ikuti aturan yang tertera pada kemasan dan jika ada pertanyaan konsultasikan pada dokter . Penggunaan obat yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman dan juga tidak ekonomis atau yang lebih populer dengan istilah tidak rasional, saat ini telah menjadi masalah tersendiri dalam pelayanan kesehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang. Masalah ini dijumpai di unit-unit pelayanan kesehatan, misalnya di rumah sakit, puskesmas, praktek pribadi, maupun di masyarakat luas. Penggunaan obat yang tidak tepat jika risiko yang mungkin terjadi tidak imbang dengan manfaat yang diperoleh dari tindakan memberikan suatu obat. Dengan kata lain, penggunaan obat dapat dinilai tidak rasional jika: a

Indikasi penggunaan tidak jelas atau keliru

b

Pemilihan obat tidak tepat artinya obat yang dipilih bukan obat yang terbukti paling bermanfaat, paling aman, paling sesuai, dan paling ekonomis

c

Cara penggunaan obat tidak tepat mencakup besarnya dosis, cara pemberian, frekuensi pemberian dan lama pemberian

d

Kondisi dan riwayat pasien tidak dinilai secara cermat, apakah ada keadaankeadaan yang tidak memungkinkan penggunaan suatu obat atau mengharuskan penyesuaian dosis (misalnya penggunaan aminoglikosida pada gangguan ginjal) atau keadaan yang akan meningkatkan risiko efek samping obat.

e

Pemberian obat tidak disertai dengan penjelasan yang sesuai kepada pasien atau keluarganya.

f

Pengaruh pemberian obat, baik yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, tidak diperkirakan sebelumnya dan tidak dilakukan pemantauan secara langsung atau tidak langsung.

1. Peresepan Pada Anak Anak terutama neonatus mempunyai respons yang berbeda terhadap pemberian obat dibandingkan dengan orang dewasa. Perhatian khusus perlu diberikan pada masa neonatus (umur 0-30 hari) karena dosis harus selalu dihitung dengan cermat. Pada umur ini risiko efek toksik bertambah karena filtrasi ginjal yang belum efisien, defisiensi relatif enzim, sensitivitas organ target yang berbeda dan belum memadainya sistim detoksifikasi yang menyebabkan lambatnya eksresi obat. Jika memungkinkan injeksi intramuskular harus dihindarkan karena menyebabkan rasa sakit pada anak. Seyogyanya obat yang diresepkan untuk anak memang obat yang mempunyai lisensi khusus untuk anak, namun demikian anak sering membutuhkan obat yang tidak mempunyai lisensi khusus. 2. Efek Samping Beberapa Obat pada Bayi dan Anak Obat berguna untuk kesembuhan dari suatu penyakit kecuali bila dipakai secara rasional dan dalam jangka pendek tentu tak menimbulkan efek samping yang merugikan. Jadi tergantung rasionalisasinya 1. Obat Anti TBC Obat ini diberikan dalam jangka waktu lama pada anak yang memang mempunyai riwayat penyakit TBC. Bisa enam bulan bahkan sampai satu tahun. Pemberian obat selama itu merupakan suatu keharusan dan harus disiplin serta teratur, agar penyakitnya hilang.

Tentu saja pemakaian obat dalam jangka lama ada efek sampingnya. Terutama ke organ hati, di mana ada peningkatan SGOT dan SGPT dalam darah, yaitu peningkatan enzim-enzim dari hati. Tingginya kadar ini tergantung dari kerusakan hatinya. Biasanya anak akan tampak kuning. Dulu sering dipakai obat anti TBC berupa suntikan streptomycin.Efeknya bisa menyebabkan ketulian dan juga gangguan pada ginjal.Tapi sekarang obat tersebut jarang dipakai.Obat anti TBC yang sekarang banyak dipakai adalah Ryampisin, INH dan Pyrazinoid. Untuk mengurangi efek samping dari pemakaian obat anti TBC jangka lama ini bisa di-back up dengan pemberian obat-obatan yang melindungi organ hati. Alternatif lain dengan merendahkan dosisnya. b. Obat Anti Kanker Pada anak penderita kanker darah (leukimia) atau anak dengan tumor ganas, pengobatan dilakukan antara lain dengan pemberian obat-obatan sitostatik. Namun pemberiannya harus sesuai aturan. Pengobatannya bisa dalam jangka waktu lama 1-2 tahun dan bahkan sampai 5 tahun. Selama itu pula obat-obatan tersebut harus tetap diberikan. Kalau tidak, penyakitnya tak akan hilang. Pemakaian obat sitostatik harus dimonitor karena mempunyai efek samping di seluruh tubuh. Selain mematikan sel-sel kankernya juga bisa merusak sel-sel tubuh lainnya. Rambut anak bisa jadi rontok, kadar Hb turun dan juga bisa terjadi risiko perdarahan karena trombositnya turun atau ada bagian tubuh yang rusak, jumlah lekositnya juga menurun, dan kulit jadi keriput. Terkadang dalam keadaan tertentu, setelah diberikan obat anti kanker anak jadi pucat dan Hb-nya turun. Bila keadaannya seperti itu maka harus dilakukan transfusi darah. Apabila terjadi perdarahan maka anak harus diberikan trombosit. Untuk mengatasi efek samping dari penggunaan obat anti kanker maka yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan nutrisi yang baik pada anak. Sehingga sel-sel yang rusak bisa tergantikan dengan protein yang didapat dari makanan.

c. Obat Anti Kejang Pada anak yang mempunyai riwayat kejang, semisal karena penyakit ensefalitis (radang otak). Awalnya mungkin dengan pemberian antibiotik semisal untuk 10-20 hari. Biasanya kemudian pemberian dalam bentuk vitamin yang tidak menyebabkan kerugian. Seperti untuk mencegah kerusakan fungsi otak lebih lanjut. Lalu diberikan juga obat untuk memperbaiki fungsi sirkulasi darah ke otak dan juga untuk memperbaiki fungsi sarafnya. Penggunaan obat dalam jangka panjang pada anak yang punya riwayat kejang seperti penyakit di atas adalah obat anti kejang. Efek samping obat dalam jangka lama ini tergantung jenis obatnya.Semisal, pemberian obat Luminal maka efeknya anak jadi hiperaktif, tak bisa diam, selalu bergerak terus. Atau pemberian asam valproat yang bisa menyebabkan gangguan pankreas dan juga menurunkan kadar trombosit. Ada tidaknya efek samping dari penggunaan obat-obatan anti kejang dapat diketahui dari pemeriksaan darah. Karena itu, selama anak mengkonsumsi obatobatan tersebut harus selalu dimonitor. Biasanya dievaluasi secara berkala, misalnya dalam waktu 6 bulan atau satu tahun tergantung dari klinisnya. Bila jumlah trombosit di bawah normal (normal: 150-200 ribu) biasanya sudah menimbulkan efek samping ini akan menyebabkan perdarahan. Fungsi pankreas pun mungkin terganggu, yaitu fungsi lipase (enzim yang membantu mencerna lemak/lipid) dan amilase (enzim untuk membantu pencernaan). Jika dalam darah kadar enzim tersebut meningkat berarti ada kerusakan pada pankreas. d. Obat Batuk Pilek Tentu obat ini tak diberikan dalam jangka panjang. Bila anak terkena sakit batuk pilek maka dengan pemberian obat selama 3- 5 hari atau 1-2 minggu saja sudah sembuh. Setelah jangka waktu itu tak ada penumpukan zat obat dalam tubuh. Jadi rata-rata penggunaan obat ini tak ada efek sampingnya. Umumnya dalam hal pemberiannya pun sesuai resep dokter. Misalnya, jika batuk pilek sudah berhenti harus dihentikan penggunaannya.

Biasanya dalam pemberian obat batuk pilek disertai pula dengan pemberian obat antibiotik bila ada indikasi suhu anak panas, berarti ada infeksi. Tapi kalau tidak ada indikasi infeksi misal, batuk pilek karena alergi maka obat antibiotik tak perlu digunakan karena tak ada pengaruhnya. e. Obat Antibiotik Obat-obatan antibiotik jaman dulu berbeda dengan jaman sekarang. Dalam hal efek samping obat antibiotik jaman dulu, misalnya tetracyclin bisa menyebabkan gigi kuning. Ada juga obat seperti sulfan yang menyebabkan anemia. Sedangkan obatobat antibiotik yang sekarang hampir tak punya efek samping, Mungkin ada yang bisa mengakibatkan diare. Hal ini karena ada flora dalam usus

yang

terganggu.Sebenarnya dalam usus itu ada kuman yang baik dan ada juga kuman penyakit (patogen). Dengan pemberian antibiotik tersebut kuman yang baik pun ikut mati. Lamanya penggunaan obat antibiotik tergantung derajat penyakitnya. Biasanya dokter sudah menentukan dosisnya dan juga harus dihabiskan sesuai aturannya. Kalau tidak maka kumannya akan menjadi resisten. f. Obat Penurun Panas dan Penghilang Rasa Nyeri Seringkali kalau diperhatikan bila anak sakit ibu biasanya langsung memberikan obat penurun panas. Bisa saja yang terjadi sedikit-sedikit tapi sering. Pada jenis obatobat penurun panas dan penghilang nyeri harus diberikan tergantung klinisnya dan juga sesuai anjuran dokter kapan harus diberikan dan kapan tidak diberikan. Karena obat-obat ini justru mempunyai efek samping, terutama mengganggu fungsi hati. g. Obat Alergi Untuk obat-obat anti alergi dengan penggunaan jangka waktu lama dianjurkan obat dengan derivat atau golongan baru yaitu antihistamin. Hampir bisa dikatakan antihistamin tak ada efek samping dibandingkan golongan obat sebelumnya yang berefek samping jadi mengantuk. Juga jangan diberikan steroid karena bisa mengakibatkan gangguan tumbuh kembang pada anak. Sebab steroid sudah diproduksi sendiri dalam tubuh. Kalau diberikan steroid lagi dalam jangka lama maka produksi steroid di dalam tubuh akan tersupresi dan akibatnya mengganggu pertumbuhan anak. Untuk pemberian jangka

pendek boleh dilakukan asal ada indikasi. Misalnya, anak gatal hebat atau mendapat serangan asma hebat. Pemberiannya bisa 3-5 hari atau mungkin seminggu dan setelah itu selesai. Karena itu pada kemasan obat anti alergi yang mengandung steroid biasanya dicantumkan batas lama pemberiannya. h. Obat Anti Jamur Memang tidak banyak penyakit karena gangguan jamur. Efek samping penggunaan obatnya pun tergantung jenis penyakitnya. Tapi biasanya penggunaan obat ini dalam jangka pendek hanya 5 hari sampai 3 minggu.Sehingga efek sampingnya pun bisa dikatakan tidak ada. i. Obat Pencahar Pada beberapa anak mungkin ada yang mengalami sulit buang air besar, sehingga setiap kali harus dibantu dengan obat. Ada obat minum dan ada juga yang lewat anus. Sebenarnya tak berpengaruh apa-apa bagi tubuh. Obat tersebut tak diserap oleh tubuh. Yang lewat anus malah lebih aman, karena hanya memperlunak daerah di sekitar anus saja. Lagipula obat ini tak dibutuhkan setiap hari karena jika buang airnya normal maka pemberiannya pun dihentikan. Persoalannya bila anak sulit buang air besar terus menerus atau dalam jangka lama, maka yang harus dilakukan adalah mencari penyebabnya. Bukan dengan penggunaan obat pencahar terus menerus. Apakah penyebabnya itu karena diet makanan yang tak seimbang ataukah ada penyakit lain yang berpengaruh pada kesulitan buang air besarnya.

3. Reaksi Obat yang Merugikan pada Bayi dan Anak Identifikasi dan pelaporan dari reaksi obat yang tidak diinginkan sangat penting mengingat: 

Kerja obat dan profil farmakokinetika obat pada anak (terutama yang masih sangat muda) mungkin berbeda dengan orang dewasa.



Obat tidak secara ekstensif diujikan pada anak sebelum diijinkan untuk beredar.



Banyak obat yang tidak secara khusus diindikasikan untuk anak.



Formula yang sesuai mungkin tidak tersedia untuk dosis yang tepat yang diperbolehkan bagi anak.



Sifat dan jenis penyakit dan efek samping yang tidak diinginkan mungkin berbeda antara anak dan orang dewasa.

Meskipun sediaan bentuk cair terutama disediakan untuk anak, namun sediaan ini mengandung gula yang mempercepat kerusakan gigi. Untuk terapi jangka panjang dianjurkan menggunakan sediaan obat yang tidak mengandung gula. Menetapkan kekuatan sediaan obat dalam bentuk kapsul atau tablet penting dilakukan karena sebetulnya banyak anak yang bisa menelan kapsul atau tablet dan menyukai obat dalam bentuk padat. Orang tua mempunyai peranan yang penting dalam membantu menentukan sediaan yang tepat untuk anak. Apabila dibutuhkan resep obat berbentuk sediaan cair yang diberikan secara oral kurang dari 5 ml, maka bisa diberikan bentuk sediaan tetes yang diberikan secara oral. Pada pemberian sediaan tetes secara oral hendaknya orang tua anak diberi tambahan informasi untuk jangan menambahkan sediaan tersebut pada susu atau makanan bayi/anak. Apabila diberikan bersama dengan susu atau makanan bayi/anak, kemungkinan bisa terjadi interaksi atau dosis yang diberikan berkurang karena anak tidak menghabiskan susu atau makanan tersebut. Orang tua harus diperingatkan agar menjauhkan semua obat dari jangkauan anak.

4. Dosis untuk Bayi dan Anak Umumnya dosis untuk anak-anak diukur berdasarkan berat badan (karena itu dibutuhkan perkalian dengan berat badan dalam kilogram untuk menentukan dosis anak), kadang dosis ditentukan berdasarkan luas permukaan tubuh (dalam m2). Metoda di atas lebih baik digunakan dibandingkan dengan menghitung dosis untuk anak berdasarkan dosis yang digunakan untuk orang dewasa. Pada umumnya dosis tersebut tidak boleh melebihi dosis maksimum orang dewasa. Misalnya: jika dosis ditentukan 8 mg/kg (maksimum 300 mg), seorang anak dengan berat 10 kg, dosis yang diberikan 80 mg, tetapi jika berat anak 40 kg dosis yang diberikan 300 mg (bukan 320 mg). Anak mungkin memerlukan dosis per kilogram yang lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa karena kecepatan metabolismenya lebih tinggi. Beberapa masalah yang perlu dipertimbangkan antara lain, anak yang gemuk akan mendapat dosis yang terlalu besar, untuk itu dosis harus diperhitungkan berdasarkan berat ideal dan dikaitkan dengan tinggi badan dan umur. Penghitungan berdasarkan luas permukaan tubuh lebih akurat dibandingkan dengan berat badan karena fenomena fisiologis tubuh lebih dekat berhubungan dengan luas permukaan tubuh. Rata-rata luas permukaan tubuh pada orang dewasa dengan berat badan 70 kg adalah 1,8 m2. Untuk anak-anak rumus yang bisa digunakan adalah: Luas permukaan tubuh pasien (m2) x dosis dewasa 1,8 Metode persentase dari dosis dewasa digunakan untuk menghitung dosis obat yang memiliki cakupan terapi yang lebar antara dosis terapetik dan dosis toksik. Hati-hati dengan penggunaan obat baru yang mempunyai potensi toksik. Umumnya antibakteri diberikan dalam waktu tertentu dalam beberapa hari. Untuk menghindari anak bangun pada malam hari diberikan beberapa fleksibilitas. Misalnya dosis malam hari diberikan pada saat mau tidur.

2. 4

Kesalahan Pemberian Obat pada Bayi dan Anak a. Bila bayi dan anak demam segera diberi obat penurun panas Sebenarnya ketika terjadi demam atau naiknya suhu tubuh bayi merupakan salah satu tanda/proses tubuh bayi bereaksi terhadap beberapa hal antara lain : infeksi ringan dan tubuh secara alami berusaha melawan kuman. Demam juga menjadi salah satu tanda dehidrasi atau gejala kekurangan cairan pada tubuh dan beberapa penyebab lain. Tidak perlu buru - buru diberi obat penurun panas. Perhatikan dahulu penyebabnya. Apakah bayi baru saja mendapat imunisasi, bila sudah ada pesanan dokter atau bidan maka obat penurun panas boleh diberikan. Perhatikan bila bayi teraba hangat dan tidak sedang imunisasi, apakah bayi terlalu rapat diselimuti. Bila iya akibat terlalu rapat selimut, buka selimutnya dan kenakan baju yang tipis serta berikan minum ASI dan cek ulang suhu tubuhnya setelah beberapa saat dengan menggunakan termometer. Bila suhu masih di bawah 38oC maka bayi tak perlu obat penurun panas. Cukup kompres air hangat dengan handuk tipis di sekitar leher dan ketiak, bila suhu cenderung naik 38oC, bawa bayi kepada tenaga kesehatan terdekat sambil tetap diberi ASI. b. Obat untuk bayi diminum oleh ibu karena tak tega anak mimun obat, dengan harapan bayi akan mendapat efek obat melalui ASI. Pemikiran seperti ini masih kerapkali ditemui bahkan di kota besar sekalipun. Banyak para ibu yang tidak tega bayinya harus minum obat dan akhirnya ibu yang mengkonsumsi obat yang diresepkan oleh dokter anak. Suatu ketika bayi Ibu " A" mendapat resep dari dokter untuk pengobatan infeksi pada bayinya. Berhubung setiap kali minum obat bayinya seperti rasa mau muntah, maka si ibu lalu berinisiatif minum obat tersebut dengan harapan bahwa bayinya akan mendapat efek kerja obat dari ASI.

Perlu diketahui bahwa dosis obat yang diberikan pada bayi sangat rendah dibandingkan dengan dosis obat orang dewasa. Dengan perhitungan miligram per berat badan bayi. Bisa dibayangkan bila obat tersebut yang minum ibunya, meskipun ada beberapa jenis obat - obat bisa saja terserap dalam ASI namun tentu saja sudah tidak bisa dijadikan sebagai cara pengobatan yang sesuai ketentuan. Maka tak heran bila bayi yang sakit tidak sembuh-sembuh akibat ibu yang mengkonsumsi obat tersebut. c. Ingin anak sehat harus diberi suplemen vitamin Pemikiran ini perlu diluruskan kembali. Seorang bayi dan anak yang sehat tidak memerlukan suplemen apapun untuk menjaga daya tahan tubuhnya. Terlebih bila kebutuhan ASI dan makanan alami sebagai sumber vitamin dan mineral sudah cukup terpenuhi. Tambahan suplemen diberikan dengan pertimbangan ketika seorang anak mengalami kekurangan gisi berat, sakit dan dalam kondisi pemulihan kesehatan. d. Bila anak tak suka makan sayur dan buah, cukup diganti dengan suplemen yang mengandung vitamin sesuai kandungan yang tertera pada kemasan. Hal ini tidak benar, anak tetap memerlukan asupan makanan alami dari sayuran dan buah buahan. Kebutuhan serat dan vitamin alami sangat penting bagi tubuh. Terutama mencegah kanker colon/kanker usus besar. Perlu diingat bila anak terlalu banyak diberikan konsumsi suplemen vitamin yang tidak dapat dikeluarkan dari tubuh bila mengalami kelebihan asupan seperti vitamin A, D , E dan K. Maka alih alih bahwa vitamin tersebut berguna bagi tubuh justru dapat menjadi ancaman kesehatan karena mengendap dalam tubuh, meracuni hati/lever. Obat-obat dan vitamin yang tidak rasional dan tanpa indikasi medis yang jelas

justru

membahayakan ginjal bayi dan anak. e. Pemberian obat untuk anak dengan meminta obat dari tetangga, teman dan tidak perhatikan sisa obat yang sudah kadaluwarsa. Penyimpanan obat sangat berpengaruh terhadap khasiat dan keamanan obat bagi bayi dan anak. Salah satu contoh misalnya, jika memiliki anak demam atau sakit batuk pilek. Bayi dan anak tidak dibawa berobat ke tenaga kesehatan tetapi menggunakan obat sisa dari simpanan obat milik tetangganya yang belum lama mengalami sakit yang sama. Dengan harapan akan mengurangi biaya berobat.

Perlu diperhatikan bahwa setiap anak memiliki kepekaan dan reaksi alergi yang berbeda satu sama lain. Hal ini yang perlu diwaspadai, pernah terjadi dimana anak mengalami sesak nafas akibat mengkonsumsi obat dari sisa simpanan obat anak lain. Selain reaksi alergi, penyimpanan obat juga berpengaruh terhadap khasiat dan keamanan sebuah obat. Maka, kendati belum kadaluarsa kadang cara penyimpanan yang tidak tepat akan membuat obat terutama kemasan cair akan berjamur di tepi botol dan tertelan oleh anak. Selalu perhatikan betul teknik penyimpanan pada suhu berapa derajat, dan baca baik-baik tangggal kedaluwarsa obat. Sebaiknya, pemberian obat pada bayi dan anak dalam pemantauan tenaga kesehatan. f. Pemberian obat ditunda-tunda karena bayi atau anak sedang tidur. Cara pemberian obat seeperti ini tidak tepat. Dosis obat akan bekerja sedemikian rupa secara berkesinambungan dengan jarak waktu tertentu. Bila sudah dijadwalkan sekian jam jarak pemberian obat, maka tetap bayi atau anak dibangunkan untuk minum obat agar daya kerja obat bekerja maksimal menyembuhkan penyakit yang dialami anak.

2. 5

Interaksi Obat dan Makanan pada Bayi dan Anak Menurut Swestika Swandari dalam BBPK Makassar (diakses 2017), tipe interaksi antara obat dan makanan ada dua yaitu interaksi makanan terhadap obat dan interaksi obat terhadap makanan. Interaksi makanan dengan obat terjadi jika makanan berada bersama dengan obat dalam saluran pencernaan sehingga memberikan pengaruh terhadap bioavailabilitas, farmakokinetik, farmakodinamik, serta efikasi terapi obat yang digunakan. Keberadaan makanan mempengaruhi efikasi terapi karena kehadiran makanan dalam saluran cerna atau peredaran darah dapat meningkatkan atau menurunkan laju absorpsi dan metabolisme obat. Sedangkan Interaksi obat terhadap makanan terjadi karena penggunaan obat berpengaruh secara signifikan pada metabolisme dan bioavailabilitas makanan atau zat gizi dalam tubuh dan mengubah persepsi rasa. Perubahan absorpsi dan metabolisme makanan menyebabkan perubahan pada status zat gizi seseorang seperti deplesi mineral, vitamin, atau gangguan berat badan. Zat gizi makanan diperlukan oleh sistem enzim

untuk berfungsi secara normal. Sistem enzim yang bekerja baik akan membantu metabolisme

obat

berlangsung

dengan

baik

pula.

Yang

dimaksud

dengan

Bioavailabilitas, menurut kamus kesehatan, adalah tingkat sejauh mana suatu obat atau zat lain diserap dan beredar dalam tubuh (Swandari, 2014).

A. Efek Makanan Terhadap Obat pada Bayi dan Anak Kehadiran makanan dalam saluran usus, sebagai situs penyerapan utama, sangat mempengaruhi penyerapan obat pada bayi dan anak. Makanan dapat meningkatkan atau menurunkan keasaman, sekresi pencernaan, dan motilitas usus. Efek tersebut secara langsung menentukan apakah obat akan mudah hancur, seberapa lama tinggal di usus, apakah obat akan menjadi kristal, apakah obat tidak akan diserap sama sekali, dan perubahan teknis lainnya (Stanfield dan Hui, 2010). Diet mineral seperti zat besi, magnesium dan kalsium menunjukkan bagaimana bahan kimia makanan atau zat gizi dapat mempengaruhi penyerapan obat pada bayi dan anak.Contohnya, mineral kimia Ka. Konsumsi simultan mineral ini dan tetrasiklin menyebabkan efek obat kehilangan nilai terapeutik (penyembuhan), sehingga membutuhkan dosis besar untuk mengimbangi kerugian (Stanfield dan Hui, 2010). Vitamin dapat dianggap obat jika digunakan untuk efek farmakologis. Sebagai contoh, jika seorang anak memiliki infeksi kandung kemih dan dosis tinggi dari vitamin C yang diresepkan, vitamin C tidak digunakan untuk karakteristik sebagai vitamin melainkan sedang diresepkan untuk mengasamkan urin (Stanfield dan Hui, 2010). Pemberian obat-obatan dengan makanan adalah praktek umum untuk mengurangi efek samping gastrointestinal, tetapi praktik ini juga dapat mengakibatkan berkurangnya, tertundanya, atau berubahnya kerja obat pada bayi dan anak. Menggunakan makanan sebagai ‘alat’ untuk untuk menyamarkan rasa pahit (biasa dilakukan oleh anak) juga dapat mempengaruhi aksi obat jika makanan mengubah pH atau chelate obat. Obat-obatan oral dipengaruhi oleh makanan di saluran pencernaan, pH lambung dan usus kecil, dan motilitas (kontraksi atau gerakan) saluran pencernaan (Stanfield dan Hui, 2010).

Makanan berlemak tinggi dan makanan rendah akan memperlambat pengosongan lambung sebanyak dua jam. Aksi dari obat yang diberikan dengan atau setelah makan seperti itu akan sama diperlambat. Makanan tinggi protein meningkatkan aliran darah lambung dan meningkatkan penyerapan beberapa obat. Makanan tinggi glukosa menyebabkan sedikit penurunan sementara aliran darah ke saluran pencernaan, yang cenderung untuk mengurangi penyerapan obat (Stanfield dan Hui, 2010). Interaksi makanan terhadap obat terdapat pada tiga fase yaitu fase farmasetika, fase farmakokinetika dan fase farmakodinamik.Berikut ini penjelasan dari ketiga fase tersebut, menurut Swestika Swandari dalam BBPK Makassar (diakses 2014). 1. Fase farmasetika (disolusi dan disintergasi obat) Makanan menyebabkan perubahan pada pH saluran cerna yang berefek terhadap disolusi dan disintergasi obat. Tingkat keasaman juga akan berefek terhadap kelarutan dan efektivitas obat. 2. Fase farmakokinetika Makanan memiliki pengaruh terpenting terhadap absorpsi karena saluran pencernaan merupakan organ terpenting pada absorpsi obat. Makanan dan kandungan zat gizi di dalam saluran cerna dapat meningkatkan atau menurunkan absorpsi dan bioavailabilitas obat karena makanan menyebabkan perubahanan derajat ionisasi, solubilitas, dan pembentukkan chelat medical. Selain itu, laju pengosongan lambung dipengaruhi oleh komposisi makanan. Serat dan makanan kaya lemak diketahui menurunkan laju pengosongan lambung beberapa obat seperti hidralazin diabsorbsi secara maksimal ketika lambung dalam keadaan kosong. Hal ini berkaitan dengan pH lambung. Sedangkan obat lain seperti ldopa, Penicilin-G, dan digoksin akan terdegradasi dan menjadi tidak aktif pada pH lambung rendah dalam waktu lama. 3. Fase farmakodinamika Mekanisme kerja obat dapat berupa aktivitas antagonis atau agonis terhadap fungsi fisiologis dan metabolik normal tubuh. Contohnya oksidasi untuk membunuh sel tumor berlawanan dengan vitamin C yang bersifat antioksidan, Metotreksat mempunyai struktur yang mirip dengan asam folat sehingga pada

kondisi defisiensi folat Metotreksat bersifat kompetitif dengan protein carier folat.

B. Efek Obat Terhadap Makanan Bayi dan Anak Menurut Stanfield dan Hui (2010), obat-obatan tertentu menginduksi sistem enzim yang memerlukan kofaktor vitamin. Hal ini dapat meningkatkan kebutuhan vitamin. Beberapa obat bersaing dengan vitamin untuk suatu tindakan. Selain itu, beberapa obat mengurangi sintesis zat gizi endogen. Misalnya, antibiotik spektrum luas mengganggu sintesis vitamin K oleh mikroorganisme yang biasanya hadir dalam usus besar. Intinya, obat dan vitamin akan bersaing untuk dapat diserap oleh tubuh. Obat dapat meningkatkan atau menurunkan bioavailabilitas zat gizi makanan. Perubahan status zat gizi seseorang obat mempengaruhi intake makanan, absorpsi, metabolisme, ekskresi dari zat gizi makanan. Beberapa zat gizi yang dapat dipengaruhi obat antara lain folat, piridoksin, Vitamin C, Vitamin D, Vitamin A, kalsium, dan seng. Obat seperti aspirin, babiturat, primidon, etinil estradiol, sikloserin,

metotreksat

berpengaruh

terhadap

metabolisme

folat

fenitoin

sehinggadapat menyebabkan defisiensi folat dan anemia megaloblastik. Hal yang patut diwaspadai adalah efek perubahan zat gizi akibat penggunaan obat pada lansia, bayi, anak-anak, wanita hamil dan menyusui (Swandari, 2014). Beberapa obat menyebabkan anoreksia atau mual muntah akibat rasa dan bau obat. Obat-obat yang mengubah persepsi rasa alopurinol, griseofulvin, amilocain, sulfasalazine, amfetamin, lidocain, nifedipin, diltiazem, ampoterisin, blitium, fenitoin, ctm, ampisilin, metil tiourasil , benzokain, kaptopril. Pada penggunaan obat yang dapat mengubah persepsi rasa perlu dilakukan modifikasi tampilan makanan yang dikonsumsi pasien dari segi warna dan rasa (Swandari, 2014).

Metilfenidat yang digunakan dalam terapi hiperaktif anak akan mempengaruhi sistem saraf

perifer. Penggunaan jangka panjang obat ini dapat menghambat

pertumbuhan anak. Maka pada pasien yang menggunakan Metilfenidat diperlukan monitoring gizi (Swandari, 2014). 1. Ketidaksesuaian Obat dan Makanan pada Bayi dan Anak Makanan dan minuman tertentu diketahui tidak sesuai dengan obat terapeutik.Reaksi yang tidak kompatibel terjadi sebagai akibat dari bahan-bahan aktif secara farmakologi dalam makanan.(Stanfield dan Hui, 2010). Tingkat keparahan reaksi tergantung pada dosis obat, jumlah makanan yang dicerna, kerentanan pasien, dan interval antara obat dan konsumsi pangan.Tingkat keparahan reaksi juga dapat dipengaruhi oleh kondisi makanan (Stanfield dan Hui, 2010). 2. Intervensi Klinik pada Bayi dan Anak Stanfield dan Hui (2010) menjelaskan beberapa intervensi klinik dari interaksi obat dan makanan pada bayi dan anak, sebagai berikut: a. Antikonvulsan digunakan untuk mengobati kondisi seperti kejang. Obat jenis ini mengganggu penyerapan zat gizi dalam makanan, maka tidak boleh dikonsumsi bersamaan dengan makanan atau saat menyusui, terutama pada anak-anak. b. Agen antijamur digunakan untuk mengobati infeksi jamur. Obat jenis ini meningkatkan ekskresi ginjal, terutama elektrolit, maka suplementasi dengan elektrolit (misalnya, mineral) biasanya diperlukan.

BAB III PENUTUP 3.1

Kesimpulan Memberikan obat pada bayi dan anak perlu perhatian lebih khusus. Bukan saja karena mereka masih kecil, tubuh anak-anak juga akan memberikan reaksi berbeda terhadap obat yang diberikan. Dan yang terpenting adalah beberapa obat dapat menimbulkan reaksi yang bisa berbahaya pada tubuh anak (hal yang tidak terjadi lagi pada tubuh orang dewasa).

3.2

Saran Penting untuk selalu memberikan dosis yang tepat, tak kurang dan tak berlebihan pada bayi dan anak. Selalu ikuti aturan yang tertera pada kemasan, dan jika ada pertanyaan, konsultasikan pada dokter .

Related Documents


More Documents from "Nicha c'Icha Arisanty"