Interaksi Metabolisme.docx

  • Uploaded by: Novia Rozadi
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Interaksi Metabolisme.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,583
  • Pages: 8
INTERAKSI OBAT YANG BERHIBUNGAN DENGAN METABOLISME Pengertian interaksi obat Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain (interaksi obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua obat atau lebih digunakan secara bersama-sama. Kejadian interaksi obat dalam klinis sukar diperkirakan karena :  Dokumentasinya masih sangat kurang  Seringkali lolos dari pengamatan, karena kurangnya pengetahuan akan mekanisme dan kemungkinan terjadi interaksi obat. Hal ini mengakibatkan interaksi obat berupa peningkatan toksisitas dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat, sedangkan interaksi berupa penurunan efektifitas dianggap diakibatkan bertambah parahnya penyakit pasien.  Kejadian atau keparahan interaksi obat dipengaruhi oleh variasi individual, dimana populasi tertentu lebih peka misalnya pasien geriatric atau berpenyakit parah, dan bisa juga karena perbedaan kapasitas metabolisme antar individu . Selain itu faktor penyakit tertentu terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang parah dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberian kronik). Mekanisme interaksi obat Interaksi diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam proses farmakokinetik maupun farmakodinamik . Interaksi farmakokinetik ditandai dengan perubahan kadar plasma obat, area dibawah kurva (AUC), onset aksi, waktu paruh dan sebagainya. Interaksi farmakokinetik diakibatkan oleh perubahan laju atau tingkat absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Interaksi farmakodinamik biasanya dihubungkan dengan kemampuan suatu obat untuk mengubah efek obat lain tanpa mengubah sifat-sifat farmakokinetiknya. Interaksi farmakodinamik meliputi aditif (efek obat A = 1, efek obat B = 1, efek kombinasi keduanya = 2), potensiasi (efek A = 0, efek B = 1, efek kombinasi A+ B= 2), sinergisme (efek A = 1, efek B = 1, efek kombinasi A+B = 3), dan antagonism (efek A = 1, efek B = 1, efek kombinasi A+B = 0).Mekanisme yang terlibat dalam interaksi farmakodinamik adalah perubahan efek pada jaringan atau reseptor.

Metabolisme Metabolisme obat adalah proses modifikasi biokimia senyawa obat oleh organism hidup , pada umumnya dilakukan melalui proses enzimatik.Proses metabolism obat merupaka salah satu hal penting dalam penentuan durasi dan intensitas khasiat farmakologis obat, karena senyawa lipofil sebagian besar direabsorbsi kembali kedalam tubuli ginjal setelah filtrasi glomerulus , maka senyawa ini dapat diekskresi dengan lambat melalui ginjal.Karena itu bila senyawa itu tidak dirubah secara kimia, mungkin berbahaya karena bahan bahan demikian menetap dalam tubuh dan terakumulasi terutama dalam jaringan lemak. Karena itu tidak mengherankan bahwa organism memiliki system enzim yang dapat mengubah xenobiotika lipofil menjadi bahan yang lebih hidrofil dan lebih mudah diekskresi. Laju ekskresi bahan yang larut dalam lemak bergantung, sebagian besar kepada berapa cepat senyawa ini di metabolism menjadi senyawa-senyawa yang lebih larut dalam air dalam organism. Proses perubahan senyawa asing tersebut dinamakan biotransformasi. Untuk menghasilkan efek sistemik dalam tubuh, obat harus mencapai reseptor, berarti obat harus da[at melewati membrane plasma, untuk itu obat harus larut lemak. Metabolisme dapat mengubah senyawa aktif yang larut lemak menjadi senyawa larut air yang tidak aktif, yang nantinya akan diekskresi terutama melalui ginjal. Obat dapat melewati dua fase metabolism, yaitu metabolism fase I dan II. Pada metabolism fase I, terjadi oksidasi, demetilasi, hidrolisa dan sebagainya oleh enzim mikrosomal hati yang berada di endothelium, menghasilkan metabolit obat yang lebih larut dalam air. Pada metabolism fase II, obat bereaksi dengan molekul yang larut air (misalnya asam glukoronat, sulfat) menjadi metabolit atau yang tidak aktif, yang larut dalam air. Suatu senyawa dapat melewati satu atau kedua fase metabolism diatas hingga tercapai bentuk yang larut dalam air. Sebagian besar interaksi obat yang signifikan secara klinis terjadi akibat metabolism fase I daripada fase II.

1. Mekanisme metabolisme obat Metabolisme obat sebagian besar terjadi di reticulum endoplasma sel-sel hati. Selain itu, metabolism obat juga terjadi di sel-sel epitel pada saluran pencernaan, paru-paru, ginjal dan kulit. Terdapat dua fase metabolism obat yakni fase I dan Fase II. Pada reaksi-reaksi ini, senyawa yang kurang polar akan dimodifikasi menjadi senyawa metabolit yang lebih polar. Proses ini dapat menyebabkan aktivasi atau inaktivasi senyawa obat. Reaksi fase I disebut juga reaksi non sintetik, terjadi melalui reaksi-reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis, siklikasi dan desiklikasi. Reaksi oksidasi terjadi bila ada penambahan atom oksigen atau penghilangan hydrogen secara enzimatik. Biasanya reaksi oksidasi ini melibatkan sitokrom P450 monooksigenase (CYP), NADPH dan oksigen. Obat-obat yang dimetabolisme menggunakan metode ini antara lain golongan fenotiazin, parasetamol dan steroid. Reaksi oksidasi akan mengubah ikatan C-H menjadi C-OH, hal ini mengakibatkan beberapa senyawa yang tidak aktif (pro drug) secara farmakologi menjadi senyawa yang aktif, juga senyaa yang lebihtoksik/beracun dapat terbentuk melalui reaksi oksidasi ini.

Gambar rx fese I

Reaksi fase II, disebut pula reaksi konjugasi, biasanya merupakan reaksi detoksikasi dan melibatkan gugus fungsional polar metabolit fase I, yakni gugus karboksil (-COOH), hidrosil (-OH), dan amino (-N2) yang terjadi melalui reaksi metilasi, asetilasi, sulfas dan glukoronidasi. Reaksi fase II akan meningkatkan berat molekul senyawa obat dan menghasilkan produk yang tidak aktif. Hal ii merupakan kebalikan dari reaksi metabolisme obat pada fase I. Gambar rx fase II

Metabolisme obat dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain faktor fisiologis (usia, genetika, nutrisi, jenis kelamin), serta penghambatan dan juga induksi enzim yang terlibat dalam proses metabolism obat. Selain itu, faktor patologis (penyakit pada hati atau ginjal) juga berperan dalam menentukan laju metabolism obat. Induksi dan inhibisi enzim Induksi enzim : menaikkan kecepatan biosintesis enzim menyebabkan meningkatnya laju metabolism yang umumnya deaktivasi obat, sehingga mengurangi kadarnya dalam plasma dan memperpendek waktu paruh obat, karena itu intensitas durasi dan efek farmakologinya berkurang. Gambar

2. Interaksi pada proses metabolisme a. Peningkatan metabolisme Beberapa obat bisa meningkatkan aktifitas enzim hepatic yang terlibat dalam metabolisme obat-obat lain. Misalnya fenobarbital meningkatkan metabolism warfarin sehingga menurunkan aktivitas antikoagulannya. Pada kasus ini dosis warfarin harus ditingkatkan, tapi setelah pemakaian fenobarbital dihentikan dosis warfarin harus diturunkan untuk menghindari potensi toksisitas. Sebagai alternative dapat digunakan sedative selain barbiturate, misalnya golongan benzodiazepine, fenobarbital, juga meningkatkan metabolisme obat-obat lain seperti hormone steroid. Barbiturate lain dan obat-obat seperti karbamazepin, fenitoin dan rifampisin juga menyebabkan induksi enzim. Piridoksin mempercepat dekarboksilasi levodopa menjadi metabolit aktifnya, dopamine, dalam jaringan perifer. Tidak seperti levodopa, dopamine tidak bisa melewati sawar darah untuk memberikan efek antiparkinsonnya. Pemberian karbidopa (suatu penghambat dekarboksilasi) bersama dengan levodopa, dapat mencegah gangguan aktivitas levodopa oleh piridoksin. b. Penghambatan metabolisme

Suatu obat dapat juga menghambat metabolism obat lain, dengan dampak memperpanjang atau meningkatkan aksi obat yang dipengaruhi. Sebagai contoh, alopurinol mengurangi produksi asam urat melalui penghambatan enzim santin oksidase, yang memetabolisme beberapa obat yang potensial toksis seperti merkaptopurin dan azatioprin. Penghambatan santin oksidase dapat secara bermakna meningkatkan efek obat-obat ini, sehingga jika dipakai bersama alopurinol, dosis merkaptopurin atau azatioprin harus dikurangi hingga 1/3 atau ¼ dosis biasanya. Pemberian suatu obat bersamaan dengan obat lain yang enzim pemetabolismenya sama dapat terjadi gangguan metabolism yang dapat menaikkan kadar salah satu obat dalam plasma, sehingga meningkatkan efeknya atau toksisitasnya. Contoh : pemberian S-Warfarin bersamaan dengan pemberian fenilbutazon dapat menyebabkan meningkatnya kadar warfarin dan terjadi pendarahan. Simetidin menghambat jalur metabolisme oksidatif dan dapat meningkatkan aksi obat-obat yang dimetabolisme melalui jalur ini (contohnya karbamazepin, fenitoin, teofilin, warfarin, dan sebagian besar benzodiazepine). Simetidine tidak mempengaruhi aksi benzodiazin lorazepam, oksazepam dan temazepam, yang mengalami konjugasi glukoronida. Ranitidin mempunyai efek terhadap enzim oksidatif lebih rendah daripada simetidin, sedangkan famotidin dan nizatidin tidak mempengaruhi jalur metabolism aktif. Eritromisin dilaporkan menghambat metabolism hepatic beberapa obat seperti karbamazepin dan teofilin sehingga meningkatkan efeknya. Obat golongan fluorokuinolon seperti siprofloksasin juga meningkatkan aktivitas teofilin, diduga melalui mekanisme yang sama. c. Inductor enzim Pemberian suatu obat bersamaan dengan obat lain yang enzim pemetabolismenya sama dapat terjadi gangguan metabolism yang dapat menurunkan kadar obat dalam plasma, sehingga menurunkan efek atau toksisitasnya. Contoh, pemberian estradiol bersamaan dengan rifampisin akan menyebabkan kadar estradiol menurun dan efektifitas kontrasepsi oral estradiol menurun. Interaksi pada proses metabolism merupakan kasus yang palin banyak terjadi, dimana sekitar 50-60% obat yang digunakan dalam terapi dapat

saling berinteraksi pada enzim yang sama. Diantara enzim metabolism yang lebih banyak terlibat adalah enzim-enzim mikrosomal pada fase-I, yaitu yang melakukan proses oksidasi, reduksi dan hidroksilasi obat khususnya isoform CYP3A, enzim CYP lainnya juga terlibat dalam interaksi obat, namun presentasinya lebih kecil dibandingkan keterlibatan CYP3A. Ada dua mekanisme interaksi pada enzim metabolisme-inhibisi dan induksi enzim, dan hal ini dapat terjadi di saluran usus dan hati sebagai organ-organ utama metabolisme obat. Efek inhibisi atau induksi enzim terhadap obat lain akan bermakna klinik.  Jika inhibitor atau induser diberikan dalam waktu yang cukup misalnya beberapa hari untuk inhibitor, dan lebih dari satu minggu untuk induser menampakkan aksinya. Normalisasi enzim ke keadaan semula setelah penghentian inhibitor atau induser memerlukan waktu yang relative lebih cepat untuk inhibitor, dan lebih lama untuk induser enzim tergantung berapa lama induksi enzim berlangsung.  Jika inhibitor atau induser diberikan dengan dosis besar, akan mempengaruhi aktivitas enzim memetabolisme secara signifikan.  Tergantung beberapa jenis enzim yang terlibat dalam metabolisme obat. JIka suatu obat (substrat) hanya dimetabolisme oleh satu jenis enzim saja, maka inhibisi atau induksi enzim tersebut akan memberikan efek yang signifikan terhadap obat. Misalnya atorvastatin dimetabolisme oleh CYP3A dan inhibisi enzim oleh itrakonazol menyebabkan AUC atorvastatin meningkat 3-4 kali lipat.  Penyesuaian kembali dosis obat, setelah diubah ketika proses inhibisi dan induksi enzim berlangsung, amat diperlukan untuk mencegah kegagalan terapi.  Efek inhibisi atau induksi enzim metabolism terhadap hasil terapi sulit diperkirakan jika terjadi pada pemetabolisme lambat, cepat, atau ultra cepat. Selain itu, karena kapasitas metabolism dipengaruhi berbagai variable (usia, jenis kelamin, kehamilan, genetic, jenis dan intensitas patologi) maka manifestasi klinik juga akan tergantung seberapa besar pengaruh variable-variabel tersebut terhadap enzim metabolisme. DAFTAR PUSTAKA

Jung D. 1985. Clinical Pharmacokinetics. Moduls Yogyakarta Melader A, Dabielson K, Schereten B, et.al. Enhancement by food of canrenone biovailability form spironolactone. Clin Pharmacol Ther 199; 22:100-103. Mutschler, E., 1985, Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi, 88-93, Penerbit ITB, Bandung Sulistia, dkk, 2007, Farmakologi dan Terapi, 862-872, UI Press, Jakarta

Related Documents

Interaksi Obat.pptx
June 2020 22
Bab6-interaksi
October 2019 33
Interaksi-sosial.docx
May 2020 29
Interaksi Obat.docx
December 2019 32
04 Interaksi
November 2019 36

More Documents from ""