Integrasi Nasional

  • Uploaded by: Communication Management UI
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Integrasi Nasional as PDF for free.

More details

  • Words: 2,797
  • Pages: 43
INTEGRASI NASIONAL

Pertanyaan mendasar setelah 60 tahun merdeka 





“benarkah kita merupakan suatu bangsa?”. (Apakah bangsa itu?). “Apakah ada alasan yang sah untuk membangun suatu negara?. “ ”Bentuk negara seperti apa yang cocok bagi bangsa ini?.”







Bangsa (nation) adalah suatu konsep sosio-kultural (Rupert Emerson seperti dikutip Suryadinata, 2000). Jadi yang terpenting terbentuknya bangsa adalah sense of belonging terhadap suatu warisan sejarah yang sama dan keinginan untuk hidup bersama dalam suatu kesatuan politik (negara). Sementara itu negara (state) adalah suatu satuan politis yang mengandung tiga unsur dasar: pemerintah yang berdaulat, rakyat dan wilayah (Republik Indonesia memiliki tiga syarat tersebut). Indonesia bukan “ethnic nation” yang berasal dari satu kelompok etnik tetapi social–nation yang berasal dari beragam kelompok etnik (Suryadinata, 2000).

 







Secara sosiologis ethnisitas lebih penting daripada ras. Steve Jones mengatakan:” Our colour does not say much about what lies under the skin”. Kelompok ethnic percaya bahwa mereka memiliki asal yang sama, memiliki nenek moyang yang sama, memiliki ciri budaya yang sama. Mereka biasanya juga mengadposi endogamy. Identitas ethnis bisa berbeda inensitasnya, ada yang keras ada yang kabur (Steve Fenton 1999, dikutip oleh Haralombos hal 172). Tergantung dari “master status” yang mereka pakai. Jadi ada hot ethnicity (emosional, mendalam dan ingin merdeka), serta cold ethnicity (kurang emosional, digunakan untuk mencari keuntungan sesaat). (Fenton) Ikatan primordial sangat mendasar dalam kehidupan sosial . Manusia selalu menggolongkan diri menjadi: “kita” dan “mereka”. Hal ini berasal dari sosialisasi dan unsur psikokultural “need for belongng”



Mc Crone mengatakan bahwa agama dan etnisitas bisa disatukan oleh nasionalisme asalkan kondisi ekonomi tidak mengecewakan, tetapi bila mengecewakan agama dan etnisitas akan digunakan sebagai senjata. Contoh yang sangat mencolok adalah penggulingan Shah Iran oleh Ayatulloh Khomaini 1979. ( Harolombos 211).Dalam hal ini sentimen terhadap kolonialisme dapat muncul kembali pada pemerintah pada masa post colonialism. Bahkan di Wales orang masih punya sentimen “internal colonialism”. Ini adalah mirror image thd. Pemerintah Britania Raya.



Pemerintah di jaman kemerdekaan yang bersifat sekular akan senantiasa dibayangi oleh aspirasi non sekular. Bila pemerintah sekular tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyat, maka aspirasi non sekular akan menguat, mereka melihat pemerintahan sekular sebagai “mirror image” dari pemerintahan kolonial.

Mc Crone juga memperkenalkan konsep neo nationalism yaitu suatu gerakan masyarakat di suatu daerah untuk memperjuangkan sumbersumber daerahnya terhadap pemerintah pusat. Perasaan ini justru ada pada masyarakat yang kaya sumber alam atau telah maju (sehingga mereka memiliki suatu kesadaran untuk membebaskan diri dari pemerintahan Pusat), contoh masyarakat Quebeck di Kanada, atau Basque di Perancis.

Brubaker membedakan berbagai nasionalisme (Haralombos 212) yaitu:  Nationalizing state: negara yang berusaha membujuk warganya untuk merasa menjadi suatu nation.  National minorities: negara yang sebagian besar warganegaranya merupakan kelompok yang memiliki kesetiaan utama pada negara tetangganya, dimana nenek moyangnya berasal.  National homeland: yaitu suatu negara yang dianggap daerah asal dari sekelompok warga negara. Misalnya New Guinea bagi sebagian masyarakat Papua, RRC atau Taiwan bagi sekelompok etnis Tionghoa di Indonesia, Indonesia atau Malaysia bagi orang Melayu di Singapore. Suatu negara akan sulit menjadi nationlizing state bila sebagian besar warganya tidak merasa berkebangsaan negara itu.







Konsep ethnisitas lebih berguna dari pada ras karena tidak terkungkung oleh warna kulit. Kosep ethis lebih mengakui adanya perbedaan budaya yang tidak mudah diganti daripada konsep “migrant-host” yang mengasumsikan bahwa semua ethnik pendatang harus dan mampu mengikuti budaya setempat. Konsep ethnisitas lebih sesuai dengan ide multikulturalisme.



Di Era globalisasi identitas etnis makin “mengalir”, tetapi semua orang tetap mengidentifikasi dirinya dengan ethnik tertentu. Ini sebabnya kita masih tetap perlu mempelajari ethnografi. Tetapi studi ethnik yang sangat bersifat simbolik interaktionis sangat bersifat interpretatif, sehingga hasilnya sering kurang dapat dijadikan pedoman pengambilan keputusan.





Wallerstein: nationalisme diperlukan untuk membangkitkan sentimen penduduk dalam mempertahan negara dari kekuatan luar. Mc Crone (Sociology of Nationlism 1998) membedakan antara Civic Nationalism (berbagai ethnik group memiliki kesetiaan bersama terhadap bangsa) dan Ethnic Nationalism (suatu golongan ethnik memikiki kesetiaan pada ethniknya dan menginginkan suatu negara tersendiri).







Stuart Hall (1992 dikutip Harolombos 208) di jaman modern nsionalisme bukan menguat tetapi akan melemah. Marxian menganggap kelas lebih penting daripada nasionalisme, Liberalis melihat globalisasi akan melemahkan nasionalisme, sebab pasar global akan menghubungkan semua bagian dunia. Kelompok lain justru percaya bahwa nasionalisme akan menguat. Manusia diberbagai tempat masih mengidentifikasikan dirinya pada “bangsanya” daripada pengelompokan lain. Scotis dan Welsch di Britania, Basque di Spanyol, Breton di Perancis semua bercita-cita ingin merdeka. USSR pecah karena Lithuania, Estonia dan Ukraina ingin merdeka sebagai bangsa. Di Yugoslavia Kroasia, Serbia dan Muslim memperebutkan daerah untuk menjadi negara merdeka. Ben Anderson:”... Indeed , nation-ness is the most unversally legitimate value in the political life of our





Karena konsep negara-bangsa bersifat socio-cultural dan politik. Jadi inti persoalan negara kesatuan Indonesia adalah terletak pada kwalitas dari komitment sosio-kultural dan politik yang melandasi berdirinya negara-bangsa itu. Bapak bangsa Polandia Josef Pilsudski mengatakan :” Negaralah yang membentuk bangsa bukan sebaliknya” (Simbolon, 2001).







Ben Anderson mengatakan bahwa negara-bangsa adalah suatu “imagined society”, jadi eksistensinya tergantung dari berapa besar warga masyarakatnya mengakui, mendambakan dan membayangkannya. Mengingat hal itu tidak terlalu penting mencari jawab apakah kita benar-benar merupakan suatu ”bangsa”. Yang terpenting secara legal apakah kita dapat mempertahankan kedaulatan, dan secara sosiologis sejauhmana nilai-nilai kesatuan dan cita-cita sebagai suatu bangsa tetap hidup dalam alam budaya masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Dengan kata lain bagaimana bangsa ini dapat menjaga integrasi sosial dan nasional dengan menyeimbangkan integrasi normatif, fungsional dan koersif.

Integrasi Normatif      

Pertanyaan dasar: “Apakah ada nilai-nilai dasar yang disepakati? “Apakah norma-norma dasar yang dipatuhi? “Apakah ada rasa identitas yang sama? “Apakah ada cita-cita yang sama? “Apakah ada toleransi dan solidaritas antar daerah dan golongan?

Kondisi integrasi normatif di Indonesia 





 

Saat ini konsensus terhadap nilai-nilai kebangsaan kita masih kontroversial (Pancasila). Konsensus terhadap norma dasar (UUD 45) masih belum mantap. Identitas kebangsaan sudah terbentuk tetapi tanpa kebanggaan Cita-cita sebagai bangsa jelas tapi pesimistik Solidaritas dan toleransi merosot.

…lanjutan 

Konsensus nilai dan norma (sebagai negara kesatuan) dimasa lalu hanya dilakukan dengan kesepakatan politis antar tokoh masyarakat, sementara proses sosialisasi yang terjadi sehari-hari di lembaga keluarga, keagamaan, sekolah di tingkat akar rumput tidak pernah benar-benar dipantau, dikembangkan dan difasilitasi oleh pemerintah, bahkan seringkali justru di kacaukan oleh pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan (terjadinya kesenjangan antar kelompok dan daerah sehingga menimbulkan kecemburuan sosial antar kelompok SARA).





Pola sosialisasi nilai yang mengembangkan “animosity” (kebencian tersembunyi) yang bisa menimbulkan konflik terselubung maupun terbuka antar kelompok sosial . Dalam memperkuat integrasi normative, pemerintah (terutama pada masa orde baru) sering melakukan kebijakan integrasi normatif secara ”paksa” seperti : * politik ganti nama untuk orang cina, dan melarang budaya cina. * merangkul kelompok-kelompok primordial tertentu untuk kepentingan politik * menanamkan nilai Pancasila secara koersif, tanpa keteladanan nasional, sehingga pamornya menurun. * Kebijakan transmigrasi yang tidak mempertimbangkan rasa kecemburuan antar etnik pendatang dan etnik lokal. Kebijakan ini secara sosiologis tidak berhasil memperkuat integrasi normatif secara nasional, malah sebaliknya menyimpan ”kebencian tersembunyi” antar golongan etnis dan agama.

Integrasi Fungsional Ada dua pertanyaan dasar dari Integrasi Fungsional: 1. “Apa manfaat (fungsi) integrasi nasional bagi masyarakat banyak? 2. ” Apakah ada ikatan fungsional yang relatif seimbang antar unsur (kelompok atau daerah)?”

Kondisi integrasi fungsional di Indonesia 







Daerah tidak mampu mengembangkan potensi alamnya untuk pembangunan lokal. kesenjangan ekonomi antar kelompok dan daerah amat mencolok. Kelompok tertentu (7% dari jumlah penduduk) menguasai hampir semua fungsi perekonomian. Sebelum otonomi semua sumber kekuasaan dan sumber ekonomi dikuasai Jawa (khususnya Jakarta). 60-70% dari seluruh uang yang beredar di negeri ini ada di Jakarta. Militer diberi ”dwi fungsi” sehingga semua kedudukan strategis dimonopoli militer.

…lanjutan 



Potensi ekonomi maupun budaya yang khas daerah tidak dapat dikembangkan sehingga daerah tidak memiliki fungsi khas secara nasional. Fungsi dan potensi golongan perempuan dibatasi Pembangunan desa amat terbelakang dibanding kota (urban bias), sehingga migrasi dari desa ke kota tidak terbendung. Para migran dianggap disfungsional di kota sehingga dipaksa kembali ke desa.

Lanjutan....... * Golongan miskin mengalami berbagai eksklusi

sosial (hak memperoleh pedidikan, kesehatan dasar, modal kerja dsb.) sehingga sulit untuk keluar dari kemiskinan apalagi mengembangkan fungsi yang berarti secara nasional. * Dalam era globalisasi dan liberalisasi fungsi buruh tidak dihargai secara layak (misalnya sistem kontrak), sehingga kepastian hidup dan karir tidak terjamin. * Angka pengangguran yang tinggi mencerminkan banyaknya tenaga kerja yang ”non fungsional” .





Di era globalisasi berkembang kosmopolitanisme, sehingga solidaritas sosial golongan kelas atas dan menengah terhadap golongan kelas bawah menurun. Menonjolnya kekuasaan modal kapitalis dunia yang cendeung dikuasai negara kapitalis merangsang munculnya solidaritas antar kelompok sesama identitas (entnis, rasial maupun agama). Solidaritas ini bisa menyaingi atau menganggu solidaritas nasional.





Dengan posisi seperti itu sebagian besar daerah dan golongan merasa tidak ada suatu rasa saling ketergantungan (interdependensi) fungsional antar daerah maupun kelompok masyarakat Yang terjadi dalam kondisi seperti ini adalah dependensia dari golongan miskin terhadap si kaya dan eksploitasi si kaya terhadap si miskin. Para pakar menamakan ini bukan integrasi nasional tetapi suatu internal colonialism.



...lanjutan.



pelaksanaan otonomi (sekurang-kurangnya) pada tahap awal justru akan membuka luka baru pada integrasi nasional kita, karena masyarakat di daerah-daerah (terutama yang kaya) tidak mampu mengendalikan diri untuk menyambut otonomi ini dalam suatu kerangka solidaritas nasional, sehingga muncullah berbagai konflik kepentingan vertikal antara daerah dengan provinsi dan pusat maupun horizontal antar daerah itu sendiri. Ini merupakan akibat dari pengembangan integrasi fungsional ditengah lemahnya integrasi normatif (rasa kesatuan sebagai satu

Integrasi Koersif Pertanyaan dasar: 





Apakah ada figur atau kelompok yang memiliki kekuatan untuk mengintegrasikan? Sejauhmana kekuatan itu diimbangi oleh kekuatan-kekuatan lainnya? Apakah pembagian pemisahan dan pembagian kekuasaan itu efektif mengintegrasikan negara-bangsa?

Kondisi integrasi koersif di Indonesia. 



Sejak awal rezim Orba memang telah didukung oleh konsensus nasional untuk menjaga stabilitas nasional dengan menggunakan pendekatan security approach yang kemudian menjadi akar dari tindakan-tindakan koersif rezim ini selama berkuasa. Pemerintah Orba bahkan bukan hanya menggunakan military violence tetapi juga idelogical violence (hegemony) melalui berbagai penataran dan indoktrinasi di birokrasi, masyarakat luas sampai pendidikan di sekolah.







lanjutan Secara keseluruhan struktur lembaga birokrasi bahkan diluar birokrasi (mis. RT/RW, organisasi profesi dsb. dikooptasi dan diseragamkan sehingga banyak organisasi menjadi semu dan rakyat kehilangan kemampuan dan minat berorganisasi. (atomistic). Untuk melengkapi efektifitas preventif dan represif bilamana perlu pemerintah Orba juga mentrapkan pasal-pasal hukum yang melegalkan tindakan pemerintah untuk mengambil tindakan hukum yang melanggar hak asasi. Pembatasan kemerdekaan berpikir dan berekspresi meluas dari kehidupan ...



Di masa Orba sentralisasi yang ketat yang membuat masyarakat daerah tidak berdaya dan amat bergantung.pada pusat. Puncak dari sentralisasi keuasaan adalah memusatnya seluruh kewenangan pemerintahan eksekutif, legislative dan judikatif berada ditangan satu orang yaitu presiden.



Bangsa Indonesia selama ini telah terintegrasi secara “semu”. Kebudayaan nasional seolaholah telah tertanam di semua daerah (bahasa nasional, sistem politik nasional, pendidikan nasional, ekonomi dan pemerintahan nasional dsb.), tetapi nilai-nilai rasa kesatuan sebagai bangsa jauh mundur dibanding saat republik ini didirikan.

…lanjutan  Pada masa reformasi, dicabutnya dwifungsi ABRI telah mengurangi kebijakan pemerintah yang bersifat koersif secara signifikan, tetapi hal ini tidak menyurutkan niat daerah-daerah tertentu (Papua dan Aceh) untuk memisahkan diri, bahkan momentum “vacuum of power” ini seolah dimanfaatkan oleh kelompok separatis.  Kemandirian POLRI belum mampu mengambalikan tingkat kekuatan koersi pada titik yang optimal. Sementara itu dimasa reformasi ini muncul gejala pengembangan kekuatan koersi oleh kelompokkelompok masyarakat sipil dengan menggunakan atribut-atribut militer. Ini menunjukan inkonsistensi sipil dalam mempersepsi militerisme dan kekerasan. Disatu pihak mereka menolak kekerasan dan militerisme, dilain pihak mereka melakukannya sendiri.



Sifat koersif dikalangan sipil juga bisa muncul dengan menggunakan agama sebagai alat untuk mengabsolutkan nilai-nilai yang mereka tuntut, bila kelompok semacam ini bisa mendominasi, maka masyarakat kita akan menghasilkan lagi suatu “integrasi koersif” bentuk baru dimasa depan.

.....lanjutan  Ketergantungan Indonesia yang tinggi terhadap bantuan luar negeri telah memungkinkan lembaga internasional serta negara kreditor menekan pemerintah Indonesia untuk mengurangi tidakan koersi dan pelanggaran HAM. Integrasi harus dicapai lewat usaha kesejahteraan dan kebudayaan.Ini adalah dampak positif globalisasi terhadap integrasi nasional kita .  Mengingat hal ini dapat diperkirakan bahwa kecenderungan kekuatan koersi yang berlebihan untuk mempertahankan integrasi nasional di Indonesia akan menurun dimasa depan. Keadaan ini ditunjang oleh gejala berkembangnya demokratisasi yang meluas di masyarakat yang akan mengarah pada berkembangnya “civil society”. Jadi, integrasi koersif seperti yang terjadi dimasa lalu nampaknya tak akan berulang.



Secara sosiologis, sifat koersif untuk mempertahankan kekuasaan atau integrasi di Indonesia masih kuat, kalau bukan oleh militer, sipilpun akan melakukannya.

...lanjutan.  Tingkat dan kwalitas kesadaran berbangsa dari masyakat kita juga cenderung memprihatinkan. Kita dapat mengelompokkan menjadi tiga golongan: § Golongan rational: yang hanya menekankan pada untung rugi (utilitarian atau oportunis), jumlahnya tidak banyak, tetapi cenderung bertambah terus. § Golongan Idealis: yang mendasarkan pada nilai-nilai yang dijunjung tinggi (nilai nasionalisme, kesatuan, kerukunan, patriotisme dsb.). Jumlahnya masih agak banyak tetapi cenderung menurun seiring beralihnya generasi. § Golongan tradisionalis: yang menganggap bahwa integrasi adalah otomatis, tidak perlu dipertanyakan lagi. Golongan ini berjumlah paling besar, (mungkin lebih dari 80% ).

Di jaman globalisasi seperti ini tidak cukup bila integrasi nasional kita hanya didukung oleh golongan yang tradisionalis, untuk menjadi kuat kita membutuhkan golongan yang idealis, tetapi mampukah kita menciptakannya? Bila kita mengikuti kaum rationalis, maka kita akan cenderung membiarkan gejala federalisme, bahkan separatisme. Negara kesatuan memang bukan destiny, tetapi haruskah kita mengambil jalan separatisme sekarang juga? Apakah masyarakat daerah telah siap? Elit local tidak secara otomatis berhak mengklaim seolah-olah mereka lebih baik dari pemimpin di pusat. Di masa awal penerapan otonomi daerah, ternyata banyak elit local yang tidak mampu atau tidak mau mendengarkan “silent majority” di daerahnya.

Kesimpulan Diawal reformasi ini kita menemukan kenyataan bahwa integrasi nasional kita amat lemah kwalitasnya terutama untuk menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dan perubahan yang pesat. Ciri dari kelemahan tersebut ialah:  Integrasi kita masih diterima secara “taken for granted” atau hanya sebagai tradisi (yang tidak dilandasi oleh suatu cita-cita kebersamaan yang jelas).  Aspek normatif dari integrasi kita amat lemah (nilai kebangsaan dan solidaritas sosial).  Aspek fungsional dari integrasi amat lemah karena kesenjangan ekonomi. Rakyat tidak merasakan fungsi dari integrasi.

..lanjutan  Peningkatan aspek fungsional yang amat mendadak melalui otonomi, tanpa diimbangi oleh menguatnya integrasi normatif serta amat lemahnya kewibawaan pemerintah telah menimbulkan konflik antar daerah atau konflik daerah-pusat. Hal ini berpotensi membuka luka yang baru thd. rasa solidaritas kebangsaan.  Kecenderungan menurunnya kekuatan koersi militer karena berkhirnya dwifungsi ABRI  Munculnya gejala koersi baru oleh sipil, tetapi kekuatan ini diimbangi oleh kontrol internasional yang cukup efektif dan oleh gelombang demokratisasi yang berpotensi menghambat munculnya integrasi koersif seperti dimasa lalu.



Dengan kata lain pemerintahan reformasi harus berpegang pada prinsip keseimbangan dimensi-dimensi integrasi yaitu normative (nilai-nilai solidaritas), fungsional ( manfaat timbal balik secara ekonomis dan politis) dan koersif (kekuatan atau kewibawaan untuk mempersatukan secara adil dan beradab).









Dimasa depan mana yang lebih penting citizenship atau nationhood? Mana yang lebih peting statehood atau nationhood? Benarkah nationhood melemah disemua bangsa? Ingat perilaku nagara-negara besar, sosial solidarity masih tinggi Nationalism akan tetap ada karena sangat flexible dan adaptif.

 





Kita belum berhasil menciptakan kesepakatan budaya (civic culture) Persoalannya adalah proses integrasi bangsa kita yang kurang mengembangkan kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif (integrasi normatif), tetapi lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi koersif) Isu sentral dalam dimensi ini adalah masalah disintegrasi nasional dengan segala isu yang terkait seperti gerakan separatisme, kebencian dan kecemburuan sosial “yang terpendam” antar kelompok SARA, ide negara federal, konsep otonomi, globalisasi , masyarakat sipil dsb. Konsensus nilai dan norma (sebagai negara kesatuan) dimasa lalu hanya dilakukan dengan kesepakatan politis antar tokoh masyarakat, sementara proses sosialisasi yang terjadi sehari-hari di lembaga keluarga, keagamaan, sekolah di tingkat akar rumput tidak pernah benar-benar dipantau, dikembangkan dan difasilitasi oleh pemerintah, bahkan seringkali justru di kacaukan oleh pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan (kesenjangan antar kelompok dan daerah sehingga menimbulkan kecemburuan sosial antar kelompok SARA). Kecemburuan ini diekspresikan secara budaya melalui sosialisasi nilai-nilai yang mengembangkan suatu “animocity” (kebencian tersembunyi).

Agama 













Apakah sikretisme/lokalisasi agama merupakan perwujudan integrasi normatif? Agama diperlukan untuk integrasi tetapi pada tingkat lokal saja (bukan antar lokal atau nasional), dan seringkali integrasi agama juga bersifat koersif (penaklukan politik + agama). Rakyat sering ikut pemimpin (agama menjadi budaya. Agama bukan keyakinan pribadi tetapi kelompok Integrasi normatif secara nasional sulit karena: Sejarah politik daerah berbeda dan budaya lokal juga berbeda. Agama selalu menjadi alasan animosity (santri-abangan, islam –kristen dsb.) Agama dijadikan penggolongan untuk kepentingan politik dan ekonomi  tidak ada integrasi fungsional Pengkelasan dijaman Bld berdasar agama  integrasinya koersif, bukan normatif atau fungsional.

agama 









Mengapa Cina ayang beda agama mendapat kedudukan tinggi (fungsional?) Penjajah juga memanfaatkan persamaan agama disamping juga memanfaatkan pendidikan. Ada diskriminasi bagi pendidikan agama (pesantren) Ideologisasi agama= olitisasi agama  ini yang menjadikan agama menjadi faktor konfliktual yang menganggu integrasi nasional. Pancasila merupakan nilai sekular yang diharapkan dapat menetralisir situasi politik yang amat primordialistik. Gerakan multikulturalis apakah = intgrasi normatif atau sekedar kesiapan untuk menerima perbedaan (apakah toleransi/solidaritas? Ataukah karena fungsional?

Related Documents

Integrasi Nasional
November 2019 21
Integrasi Ekonomi.docx
November 2019 31
Integrasi Nasional.docx
April 2020 23
Integrasi Panas.docx
November 2019 22
Integrasi Sosial.docx
June 2020 22

More Documents from "Dosi Sili"

Varel2001
November 2019 52
Operasionalisasi Konsep
November 2019 51
Budget
October 2019 64
Tingkatan Komunikasi
November 2019 48