BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA
REFERAT II JANUARI 2019
INFERTILITAS
DISUSUN OLEH:
Revoldy Moenandar 2016 – 84 – 032
Pembimbing: dr. Novy Riyanti Sp.OG, M.Kes
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI RSUD DR. M. HAULUSSY FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON 2019 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 . LATAR BELAKANG Infertilitas adalah gangguan dari sistem reproduksi yang ditandai dengan kegagalan mengalami kehamilan setelah 12 bulan atau lebih dan telah melakukan hubungan sanggama tanpa kontrasepsi secara teratur.1 Dari semua pasangan yang aktif secara seksual, 12 – 15 % mengalami infertilitas.2Pada tahun 2010, infertilitas diperkirakan terjadi pada 48,5 juta pasangan di seluruh dunia. Wanita yang berumur 20 – 44 tahun yang ingin memiliki anak mengalami infertilitas primer sebesar 1,9% dan 10,5 % wanita mengalami infertilitas sekunder.3 Penyebab infertilitas multifaktorial. Faktor pria dan wanita sebagai penyebab infertilitas sekitar 26%, faktor wanita menyumbangkan 39% dari penyebab infertilitas, faktor pria sekitar 20%,
dan faktor yang belum diketahui
penyebabnya sekitar 15%.4 Di Indonesia, 20-30% penduduk mengalami gangguan infertilitas.5 Dari data Biro Pusat Statistik di Indonesia, diperkirakan terdapat 12% pasutri yang tidak mampu membuahkan keturunan. Penyebab infertilitas sebanyak 40% berasal dari laki-laki, 40% dari wanita, 10% dari laki-laki dan wanita dan 10% tidak diketahui.6 Infertilitas tidak hanya merupakan suatu masalah kesehatan, tetapi juga suatu masalah sosial. Masalah infertilitas dapat mempengaruhi hubungan interpersonal, perkawinan dan sosial, serta dapat menyebabkan gangguan secara emosional dan psikologis yang signifikan.7Secara garis besar, pasangan yang mengalami infertilitas akan menjalani proses panjang evaluasi dan pengobatan yang dapat menjadi beban fisik dan psikologis bagi pasangan. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI Infertilitas merupakan ketidakmampuan untuk mengandung sampai melahirkan bayi hidup setelah menikah selama minimal satu tahun, melakukan hubungan senggama teratur, tanpa menggunakan kontrasepsi. 1 Infertilitas dibagi menjadi 2, yaitu infertilitas primer dan infertilitas sekunder. Infertilitas primer merupakan ketidakmampuan pasangan suami istri untuk memperoleh anak setelah berhubungan seksual secara teratur selama 1 tahun dan tanpa menggunakan kontrasepsi. Sedangkan infertilitas sekunder adalah ketidakmampuan pasangan suami istri untuk memperoleh anak lagi setelah berhubungan seksual secara teratur selama 1 tahun tanpa menggunakan kontrasepsi, dimana sebelumnya pasangan ini telah mempunyai anak.8
2.2 EPIDEMIOLOGI Dari semua pasangan yang aktif secara seksual, 12 – 15 % mengalami infertilitas.2 Pada tahun 2010, infertilitas diperkirakan terjadi pada 48,5 juta pasangan di seluruh dunia. Wanita yang berumur 20 – 44 tahun yang ingin memiliki anak mengalami infertilitas primer sebesar 1,9% dan 10,5 % wanita mengalami infertilitas sekunder.3 Penyebab infertilitas bersifat multifaktorial. Faktor pria dan wanita sebagai penyebab infertilitas sekitar 26%, faktor wanita
3
menyumbangkan 39% dari penyebab infertilitas, faktor pria sekitar 20%, dan faktor yang belum diketahui penyebabnya sekitar 15%.4 Di Indonesia, 20-30% penduduk mengalami gangguan infertilitas.5 Dari data Biro Pusat Statistik di Indonesia, diperkirakan terdapat 12% pasutri yang tidak mampu membuahkan keturunan. Penyebab infertilitas sebanyak 40% berasal dari laki-laki, 40% dari wanita, 10% dari laki-laki dan wanita dan 10% tidak diketahui.6
2.3 ETIOLOGI Secara garis besar penyebab infertilitas dapat dibagi menjadi faktor tuba dan pelvik (35%), faktor lelaki (35%), faktor ovulasi (15%), faktor idiopatik (10%) dan faktor lain (5%).8 Penyebab infertilitas
Persen
Faktor tuba dan faktor pelvik (sumbatan atau kerusakan tuba akibat perlekatan atau akibat
35
endometriosis) Faktor lelaki (abnormalitas jumlah, motilitas dan atau morfologi sperma)
35
Disfungsi ovulasi (ovulasi jarang atau tidak ada ovulasi)
15
Idiopatik
10
Lain-lain
5
Pengamatan yang dilakukan Wang 2003, berdasarkan
pengamatan terhadap 518
pasangan suami istri yang berusia antara 20-34 tahun dijumpai 50% kehamilan terjadi di dalam dua siklus haid pertama dan 90% kehamilan terjadi di dalam enam siklus haid pertama. Wang menemukan bahwa angka fekunditas per bulan adalah berkisar antara 30-35%.2
4
1. Non-Organik a. Usia Usia, terutama usia istri, sangat menentukan besarnya kesempatan pasangan suami istri untuk mendapatkan keturunan. Terdapat hubungan yang terbalik antara bertambahnya usia istri dengan penurunan kemungkinan untuk mengalami kehamilan. Sembilan puluh empat persen (94%) perempuan subur di usia 35 tahun atau 77% perempuan subur di usia 38 tahun akan mengalami kehamilan dalam kurun waktu tiga tahun lama pernikahan. Ketika usia istri mencapai 40 tahun maka kesempatan untuk hamil hanya sebesar lima persen per bulan dengan kejadian kegagalan sebesar 34%-52%.4 Akibat masalah ekonomi atau adanya keinginan segolongan perempuan untuk meletakkan kehamilan sebagai prioritas kedua setelah upaya mereka untuk meraih jenjang jabatan yang baik di dalam pekerjaannya, merupakan alasan bagi perempuan untuk menunda kehamilannya sampai berusia sekitar 30 tahun atau bahkan lebih tua lagi. Hal ini menyebabkan usia rata-rata perempuan masa kini melahirkan bayi pertamanya 3,5 tahun lebih tua dibandingkan dengan usia perempuan yang dilahirkan pada 30 tahun yang lalu. Tentu hal ini akan memberikan pengaruh yang kuat terhadap kesempatan bagi perempuan masa kini untuk mengalami kehamilan.4 b. Frekuensi senggama Angka kejadian kehamilan mencapai puncaknya ketika pasangan suami istri melakukan hubungan suami istri dengan frekuensi 2-3 kali dalam seminggu. Upaya penyesuaian saat melakukan hubungan suami istri dengan terjadinya ovulasi, justru akan meningkatkan kejadian stress bagi pasangan suami istri tersebut, upaya ini sudah tidak direkomendasikan lagi.2
5
c. Pola hidup Alkohol Pada perempuan tidak terdapat cukup bukti ilmiah yang menyatakan adanya hubungan antara minuman mengandung alkohol dengan peningkatan risiko kejadian infertilitas. Namun, pada lelaki terdapat sebuah laporan yang menyatakan adanya hubungan antara minum alkohol dalam jumlah banyak dengan penurunan kualitas sperma.6 Merokok Dari beberapa penelitian yang ada, dijumpai fakta bahwa merokok dapat menurunkan fertilitas perempuan. Oleh karena itu sangat dianjurkan untuk menghentikan kebiasaan merokok jika perempuan memiliki masalah infertilitas. Penurunan fertilitas perempuan juga terjadi pada perempuan perokok pasif. Penurunan fertilitas juga dialami oleh lelaki yang memiliki kebiasaan merokok.6 Berat Badan Perempuan dengan indeks massa tubuh yang lebih daripada 29, yang termasuk dalam kelompok obesitas, terbukti mengalami keterlambatan hamil. Usaha yang paling baik untuk menurunkan berat badan adalah dengan cara menjalani olahraga teratur serta mengurangi asupan kalori di dalam makanan.6 2. Organik a. Masalah Vagina Vagina merupakan hal yang penting di dalam tatalaksana infertilitas. Terjadinya proses reproduksi manusia sangat terkait dengan kondisi vagina yang sehat dan berfungsi
6
normal. Masalah pada vagina yang memiliki kaitan erat dengan peningkatan kejadian infertilitas adalah sebagai berikut:8
Dispareunia Merupakan masalah kesehatan yang ditandai dengan rasa tidak nyaman atau rasa nyeri saat melakukan senggama. Dyspareunia dapat dialami perempuan ataupun lelaki. Pada perempuan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Faktor infeksi, seperti infeksi candida vagina, infeksi klamidia trachomatis vagina, infeksi trichomonas vagina dan pada saluran kemih. 2. Faktor organik seperti vaginismus, nodul endometriosis di vagina, endometriosis pelvik atau keganasan vagina. Dispareunia pada lelaki dapat disebabkan oleh beberapa faktor berikut: 1. Faktor infeksi, seperti urethritis, prostitis atau sistitis. Beberapa kuman penyebab infeksi antara lain adalah Neisseria gonorrhea 2. Faktor organik, seperti preputium yang terlampau sempit, luka parut di penis akibat infeksi sebelumnya dan sebagainya.
Vaginismus Merupakan masalah pada perempuan yang ditandai dengan adanya rasa nyeri saat penis akan melakukan penetrasi ke dalam vagina. Hal ini bukan disebabkan oleh kurangnya zat lubrikans atau pelumas vagina, tetapi terutama disebabkan oleh diameter liang vagina yang terlalu sempit, akibat kontraksi refleks otot pubokoksigeus yang terlalu sensitif, sehingga terjadi kesulitan penetrasi vagina oleh penis. Penyempitan liang vagina ini dapat disebabkan oleh faktor psikogenik atau
7
disebabkan oleh kelainan anatomik. Faktor anatomi yang terkait dengan vaginismus dapat disebabkan oleh operasi di vagina sebelumnya seperti episiotomy atau karena luka trauma di vagina yang sangat hebat sehingga meninggalkan jaringan parut.8
Vaginitis Beberapa infeksi kuman seperti chlamidia trachomatis, Neiserria gonorrhea, dan bakteria: vaginosis seringkali tidak menimbulkan gejala klinik sama sekali. Namun infeksi klamidia trachomatis memiliki kaitan yang erat dengan infertilitas melalui kerusakan tuba yang dapat ditimbulkannya.8
b. Masalah uterus Uterus dapat menjadi penyebab terjadinya infertilitas. Faktor uterus yang memiliki kaitan erat dengan kejadian infertilitas adalah serviks, kavum uteri dan korpus uteri.6
Faktor serviks 1. Servisitis Memiliki kaitan yang erat dengan terjadinya infertilitas. Servisitis kronis dapat menyebabkan kesulitan bagi sperma untuk melakukan penetrasi ke dalam kavum uteri. Adanya tanda infeksi klamidia trakomatis di serviks seringkali memiliki kaitan erat dengan peningkatan risiko kerusakan tuba melalui reaksi imunologi.6 2. Trauma pada serviks Tindakan operatif tertentu pada serviks seperti konisasi atau upaya abortus provokatus sehingga menyebabkan cacat pada serviks, dapat menjadi penyebab terjadinya infertilitas.6
8
Faktor kavum uteri Faktor yang terkait dengan kavum uteri meliputi kelainan anatomi kavum uteri dan faktor yang terkait dengan endometrium.7 1. Kelainan anatomi kavum uteri Adanya septum pada kavum uteri, tentu akan mengubah struktur anatomi dan struktur vaskularisasi endometrium. Tidak terdapat kaitan yang erat antara septum uteri ini dengan peningkatan kejadian infertilitas. Namun, terdapat kaitan yang erat antara septum uteri dengan peningkatan kejadian kegagalan kehamilan muda berulang. Kondisi uterus bikornis atau uterus arkuatus tidak memiliki kaitan yang erat dengan kejadian infertilitas.7 2. Faktor endometriosis Endometriosis kronis memiliki kaitan yang erat dengan rendahnya ekspresi integrin endometrium yang sangat berperan di dalam proses implantasi. Faktor ini yang dapat menerangkan tingginya kejadian penyakit radang panggul subklinik pada perempuan dengan infertilitas. Polip endometrium merupakan pertumbuhan abnormal endometrium yang seringkali dikaitkan dengan kejadian infertilitas. Adanya kaitan antara kejadian polip endometrium dengan kejadian endometrium kronis tampaknya meningkatkan kejadian infertilitas.7
Faktor miometrium Mioma uteri merupakan tumor jinak uterus yang berasal dari peningkatan aktivitas proliferasi
sel-sel
myometrium. Berdasarkan
lokasi
mioma uteri terhadap
myometrium, serviks dan kavum uteri, maka mioma uteri dapat dibagi menjadi 5 klasifikasi sebagai berikut: mioma subserosum, mioma intramural, mioma
9
submukosum, mioma serviks dan mioma di rongga peritoneum. Pengaruh mioma uteri terhadap kejadian infertilitas hanyalah berkisar antara 30-50%. Mioma uteri mempengaruhi infertilitas kemungkinan terkait dengan sumbatan pada tuba, sumbatan pada kanalis servikalis atau mempengaruhi implantasi.7 Adenomiosis uteri merupakan kelainan pada myometrium berupa sisipan jaringan stroma dan kelenjar yang sangat menyerupai endometrium. Sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti patogenesis dari adenomiosis uteri ini. Secara teoritis, terjadinya proses metaplasia jaringan bagian dalam dari myometrium (the junctional zone) yang secara ontogeny merupakan sisa dari duktus Muller. Adenomiosis memiliki kaitan yang erat dengan nyeri pelvik, nyeri haid, perdarahan uterus yang abnormal, deformitas bentuk uterus dan infertilitas.7 c. Masalah Tuba Tuba Fallopi memiliki peran yang besar di dalam proses fertilisasi, karena tuba berperan di dalam proses transport sperma, kapasitas sperma, proses fertilisasi dan transport embrio. Adanya kerusakan atau kelainan tuba tentu akan berpengaruh terhadap angka fertilitas.6 Kelainan tuba yang seringkali dijumpai pada penderita infertilitas adalah sumbatan tuba baik pada pangkal, pada bagian tengah tuba, maupun pada ujung distal dari tuba. Berdasarkan bentuk dan ukurannya, tuba yang tersumbat dapat tampil dengan bentuk dan ukuran yang normal, tetapi dapat pula tampil dalam bentuk hidrosalping. Sumbatan tuba dapat disebabkan oleh infeksi atau dapat disebabkan oleh endometriosis. Infeksi klamidia trakomatis memiliki kaitan yang erat dengan terjadinya kerusakan tuba.6
10
Klasifikasi kerusakan tuba yaitu:7 1. Ringan/ Grade I - Oklusi tuba proksimal tanpa adanya fibrosis atau oklusi tuba distal tanpa ada distensi. - Mukosa tampak baik - Perlekatan ringan (perituba-ovarium) 2. Sedang/ Grade II - Kerusakan tuba berat unilateral 3. Berat/ Grade III - Kerusakan tuba berat bilateral - Fibrosis tuba luas - Distensi tuba > 1,5 cm - Mukosa tampak abnormal - Oklusi tuba bilateral - Perlekatan berat dan luas d. Masalah ovarium Ovarium memiliki fungsi sebagai penghasil oosit dan penghasil hormon. Masalah utama yang terkait dengan fertilitas adalah terkait dengan fungsi ovulasi. Sindrom ovarium polikistik merupakan masalah gangguan ovulasi utama yang seringkali dijumpai pada kasus infertilitas. Saat ini untuk menegakkan diagnosis sindrom ovarium polikistik jika dijumpai dari 3 gejala dibawah ini:7
Terdapat siklus haid oligoovulasi atau anovulasi
Terdapat gambaran ovarium polikistik pada pemeriksaan ultrasonografi (USG)
11
Terdapat gambaran hiperandrogenisme baik klinis maupuan biokimiawi.
Empat puluh sampai tujuh puluh persen kasus sindrom ovarium polikistik ternyata memiliki kaitan erat dengan kejadian resistensi insulin. Penderita infertilitas dengan obesitas seringkali menunjukkan gejala sindrom ovarium polikistik.7 Masalah gangguan ovulasi yang lain adalah yang terkait dengan pertumbuhan kista ovarium non-neoplastik ataupun kista ovarium neoplastik. Kista ovarium yang sering dijumpai pada penderita infertilitas adalah kista endometrium yang sering dikenal dengan istilah kista cokelat. Kista endometriosis tidak hanya mengganggu fungsi ovulasi, tetapi juga dapat mempengaruhi fungsi maturasi oosit.7 Untuk menilai derajat keparahan endometriosis, saat ini digunakan klasifikasi berdasarkan revisi American Fertility Society (AFS). Pada kista endometriosis dengan AFS derajat sedang atau berat kejadian infertilitas dapat dikaitkan dengan kegagalan ovulasi, kegagalan maturasi oosit, dan kegagalan fungsi tuba akibat deformitas tuba.1 Tindakan operatif untuk pengangkatan kista ovarium jika tidak dilakukan dengan hati-hati dapat berakibat meningkatnya kejadian kegagalan fungsi ovarium, yang akan semakin memperburuk prognosis fertilitasnya.1 Gangguan ovulasi menurut WHO dibagi dalam 4 kelas, yaitu:9 Kelas 1 : Kegagalan pada hipotalamus hipopise. Karakteristik dari kelas ini adalah gonadotropin yang rendah, prolaktin normal, dan rendahnya estradiol. Kelainan ini terjadi sekitar 10 % dari seluruh kelainan ovulasi. Kelas 2: Gangguan fungsi ovarium. Karakteristik dari kelas ini adalah kelainan pada gonadotropin namun estradiol normal. Anovulasi kelas 2 terjadi sekitar 85 % dari seluruh kasus kelainan ovulasi.
12
Kelas 3: Kegagalan ovarium. Karakteristik kelainan ini adalah kadar gonadotropin yang tinggi dengan kadar estradiol yang rendah. Terjadi sekitar 4-5 % dari seluruh gangguan ovulasi. Kelas 4:Kelompok wanita yang mengalami gangguan ovulasi akibat disfungsi ovarium, memiliki kadar prolaktin yang tinggi. e. Masalah peritoneum Masalah yang sering dikaitkan antara faktor peritoneum dengan infertilitas adanya faktor endometriosis. Endometriosis dijumpai sebesar 25-40% pada perempuan dengan masalah infertilitas dan dijumpai sebesar 2-5 % pada populasi umum. Endometriosis dapat tampil dalam bentuk adanya nodul-nodul saja di permukaan peritoneum atau berupa jaringan endometriosis yang berinfiltrasi dalam di bawah lapisan peritoneum. Endometriosis dapat terlihat dengan mudah dalam bentuk yang khas yaitu nodul hitam, nodul hitam kebiruan, nodul cokelat, nodul putih, nodul kuning dan nodul merah yang seringkali dipenuhi pula oleh sebaran pembuluh darah. Bercak endometriosis juga dapat tampil tersembunyi tipis di bawah lapisan peritoneum yang dikenal dengan istilah nodul powder burn, da nada pula bercak endometriosis yang tertanam dalam di bawah lapisan peritoneum (deep infiltrating endometriosis).10 Patogenesis endometriosis di rongga peritoneum seringkali dikaitkan dengan teori regurgitasi implantasi dari Sampson atau dapat pula dikaitkan dengan teori metaplasia. Pertumbuhan endometriosis sangat dipengaruhi pula dengan paparan hormonal seperti estrogen dan progesterone. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti hubungan yang erat antara endometriosis dengan kejadian infertilitas. Diperkirakan disebabkan oleh
13
faktor-faktor imunologis yang kemudian berdampak negative terhadap kerusakan jaringan.10 f. Faktor laki-laki Infertilitas dapat juga disebabkan oleh faktor laki-laki dan setidaknya sebesar 3040% dari infertilitas disebabkan oleh faktor laki-laki, sehingga pemeriksaan pada lakilaki penting dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan infertilitas. Fertilitas laki-laki dapat menurun akibat dari:10 a. Kelainan urogenital kongenital atau didapat b. Infeksi saluran urogenital c. Suhu skrotum yang meningkat (contohnya akibat dari varikokel) d. Kelainan endokrin e. Kelainan genetik f. Faktor imunologi Di Inggris, jumlah sperma yang rendah atau kualitas sperma yang jelek merupakan penyebab utama infertilitas pada 20% pasangan. Kualitas semen yang terganggu, azoospermia dan cara senggama yang salah, merupakan faktor yang berkontribusi pada 50% pasangan infertilitas. Infertilitas laki-laki idiopatik dapat dijelaskan karena beberapa faktor, termasuk disrupsi endokrin yang diakibatkan karena polusi lingkungan, radikal bebas atau kelainan genetik.7
14
2.4 Diagnosis Tahap Pemeriksaan Dasar Infertilitas Pemeriksaan dasar merupakan hal yang sangat penting dalam tata laksana. Dengan melakukan pemeriksaan dasar yang baik dan lengkap, maka terapi dapat diberikan dengan cepat dan tepat, sehingga penderita infertilitas dapat terhindar dari keterlambatan tata laksana infertilitas yang dapat memburuk prognosis dari pasangan suami istri tersebut.10 1. Anamnesis Awal pertemuan, memperoleh data adalah hal yang sangat penting. Hal-hal yang diperoleh dari data tersebut diantaranya apakah pasangan suami istri atau salah satunya memiliki kebiasaan merokok atau minum minuman berakohol dan apakah pasangan suami istri atau salah satunya menjalani terapi khusus seperti antihipertensi, kartikosteroid dan sitostatika. 10 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada pasangan suami istri dengan masalah infertilitas adalah pengukuran tinggi badan, penilaian berat badan dan pengukuran lingkar pinggang. Penentuan indeks massa tubuh perlu dilakukan dengan menggunakan formula berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m2). Perempuan dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25 kg/m2 termasuk ke dalam kriteria berat badan lebih. Hal ini memiliki kaitan erat dengan sindrom metabolik. IMT yang kurang dari 19 kg/m2 seringkali dikaitkan dengan penampilan pasien yang terlalu kurus dan perlu dipikirkan adanya penyakit kronis seperti infeksi tuberkulosis (TBC), kanker atau masalah kesehatan jiwa seperti anoreksia nervosa atau bulimia nervosa.10 Adanya pertumbuhan rambut abnormal seperti kumis, jenggot, jambang, bulu dada yang lebat, bulu kaki yang lebat dan sebagainya (hirsutisme) atau pertumbuhan jerawat yang banyak
15
dan tidak normal pada perempuan, seringkali terkait dengan kondisi hiperandrogenisme, baik klinik maupun biokimiawi.10 3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan dasar yang dianjurkan untuk mendeteksi atau menginformasi adanya ovulasi dalam sebuah siklus haid adalah penilaian kadar progesteron pada fase luteal medial, yaitu kurang lebih 7 hari sebelum perkiraan datangnya haid.1 Pemeriksaan kadar thyroid stimulating hormon (TSH) dan prolaktin hanya dilakukan jika terdapat indikasi berupa siklus yang tidak berovulasi, terdapat keluhan berupa galaktore atau terdapat kelainan fisik atau gejala klinik yang sesuai dengan kelainan pada kelenjar tiroid.1,10 Pemeriksaan kadar luteinizing hormon (LH) dan follicles stimulating hormon (FSH) dilakukan pada fase poliferasi awal (hari 3-5) terutama jika dipertimbangkan terdapat peningkatan nisbah LH/ FSH pada kasus sindrom ovarium polikistik (SPOK).1,10 Pemeriksaan uji pascasenggama atau postcoital test (PCT) merupakan metode pemeriksaan yang bertujuan untuk menilai interaksi antara sperma dan lendir serviks. Namun, metode ini sudah tidak dianjurkan untuk digunakan karena memberikan hasil yang sulit untuk dipercaya. 4. Pemeriksaan Analisis Sperma Pemeriksaan analisis sperma sangat penting dilakukan pada awal kunjungan pasutri dengan masalah infertilitas, karena dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa faktor lelaki turut memberikan kontribusi sebesar 40% terhadap kejadian infertilitas.10 Beberapa syarat yang harus diperhatikan agar menjamin hasil analisis sperma yang baik adalah:10 a. Melakukan abstinensia (pantang senggama) selama 2-3 hari.
16
b. Mengeluarkan sperma dengan cara masturbasi dan menghindari dengan cara senggama terputus. c. Menghindari penggunaan pelumas saat masturbasi. d. Menghindari penggunaan kondom untuk menampung sperma. e. Menggunakan tabung dengan mulut yang lebar sebagai tempat penampungan sperma. f. Tabung sperma harus dilengkapi dengan nama jelas, tanggal dan waktu pengumpulan sperma, metode pengumpulan sperma yang dilakukan (masturbasi atau senggama terputus). g. Mengirimkan sampel secepat mungkin ke laboratorium sperma. h. Menghindari paparan temperatur yang terlampau tinggi (>38%) atau terlalu rendah (<15ºC) atau menempelkannya ke tubuh sehingga sesuai dengan suhu tubuh.
Untuk mengurangi nilai positif palsu pada pemeriksaan analisis sperma, maka pemeriksaan analisis sperma yang berulang hanya dilakukan jika pemeriksaan analisis sperma yang pertama menunjukkan hasil yang abnormal.10
2.5 Terapi Tatalaksana pada gangguan ovulasi Penanganan gangguan ovulasi berdasarkan WHO, yaitu:9 a. WHO kelas I Pada perempuan yang memiliki IMT < 19, tindakan peningkatan berat badan menjadi normal akan membantu mengembalikan ovulasi dan kesuburan. Pengobatan yang disarankan untuk kelainan anovulasi pada kelompok ini adalah kombinasi rekombinan FSH – rekombinan LH, hMG atau hCG. Penggunaan kombinasi preparat 17
gonadotropin (rFSH dan rLH) dilaporkan lebih efektif dalam meningkatkan ovulasi dibandingkan penggunaan rFSH saja. b. WHO kelas II Pengobatan gangguan ovulasi WHO kelas II dapat dilakukan dengan cara pemberian obat pemicu ovulasi golongan anti estrogen (klomifen sitrat), tindakan drilling ovarium atau penyuntikan gonadotropin. Pengobatan lain yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan insulin sensitizer seperti metformin. Perempuan dengan gangguan ovulasi WHO kelas II dianjurkan untuk mengkonsumsi klomifen sitrat sebagai penanganan awal selama maksimal 6 bulan. Efek samping klomifen sitrat diantaranya adalah sindrom hiperstimulasi, rasa tidak nyaman di perut, serta kehamilan ganda. Pada pasien SOPK dengan IMT > 25, kasus resisten klomifen sitrat dapat dikombinasi dengan metformin karena diketahui dapat meningkatkan laju ovulasi dan kehamilan. Tindakan drilling ovarium per laparaskopi dengan tujuan menurunkan kadar LH dan androgen adalah suatu tindakan bedah untuk memicu ovulasi perempuan SOPK yang resisten terhadap klomifen sitrat. c. WHO kelas III Pada pasien yang mengalami gangguan ovulasi karena kegagalan fungsi ovarium (WHO kelas III) sampai saat ini tidak ditemukan bukti yang cukup kuat terhadap pilihan tindakan yang dapat dilakukan. Konseling yang baik perlu dilakukan pada pasangan yang menderita gangguan ovulasi WHO kelas III sampai kemungkinan tindakan adopsi anak.
18
d. WHO kelas IV Pemberian agonis dopamin (bromokriptin atau kabergolin) dapat membuat pasien hiperprolaktinemia menjadi normoprolaktinemia sehingga gangguan ovulasi dapat teratasi. Tatalaksana gangguan tuba Tindakan bedah mikro atau laparaskopi pada kasus infertilitas tuba derajat ringan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan penanganan.9 Tatalaksana endometriosis Meskipun terapi medisinalis endometriosis terbukti dapat mengurangi rasa nyeri namun belum ada data yang menyebutkan bahwa pengobatan dapat meningkatkan fertilitas. Beberapa penelitian acak melaporkan bahwa penggunaan progestin dan agonis GnRH tidak dapat meningkatkan fertilitas pasien endometriosis derajat ringan sampai sedang.9 Tatalaksana infertilitas idiopatik Kemungkinan hamil spontan yang relatif tinggi pada pasangan infertilitas idiopatik mendukung strategi penanganan secara ekspektatif. Pasangan dapat diberi pengertian tentang masa subur dan disarankan untuk melakukan hubungan seksual tanpa kontrasepsi.9 Klomifen sitrat dapat mengatasi kasus infertilitas idiopatik dengan cara memperbaiki disfungsi ovulasi ringan dan merangsang pertumbuhan folikel multipel. Pasien dianjurkan untuk memulai terapi inisial 50 mg sehari mulai pada hari ke-26 siklus haid. Pemantauan folikel dengan USG transvaginal dilakukan pada hari ke-12 untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kehamilan ganda. Pasangan disarankan
19
untuk melakukan hubungan seksual terjadwal dari hari ke-12 siklus haid. Pada kejadian dimana dicurigai adanya respon ovarium yang berlebihan, siklus dibatalkan dan pasangan diminta untuk tidak melakukan hubungan seksual sampai siklus haid berikutnya.9 Penggunaan klomifen telah dikenal oleh semua pasangan infertilitas karena murah, non-invasif dan tidak membutuhkan pemantauan klinis yang banyak. Kejadian kehamilan ganda dan risiko terjadinya kanker ovarium dijadikan dasar dalam pertimbangan risiko dan manfaat.5 Inseminasi intrauterin dengan atau tanpa stimulasi merupakan pilihan pada tatalaksana infertilitas idiopatik. Peningkatan jumlah spermatozoa yang motil dalam uterus dan menempatkan sperma dalam jarak yang dekat terhadap 1 atau lebih oosit berpotensi meningkatkan kemungkinan terjadinya kehamilan. Inseminasi dapat dilakukan dengan atau tanpa prosedur stimulasi ovarium.9
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Cavallini G, Berreta G. Clinical Management of Male Infertility. Springer International Publishing, 2015 2. Parekattil SJ, Agarwal A. Male infertility: Clinical approaches andrology, ART & antioxidants. Springer International Publishing, 2012 3. Mascarenhas, Maya N. National, Regional, and Global Trends in Infertility Prevalence Since 1990: a systematic analysis of 277 Health suveys. PLOS medicine, 2012 4. Nieschlag E. Hermann B, Nieschlag S. Andrology: male reproductive health and dysfunction. Springer International Publishing, 2010 5. Hidayah N. Identifikasi dan pengelolaan stress infertilitas. Humanitas. 2007; 4 (1): 25-33 6. Ahsan, Hakim BA, Tamar M. Faktor risiko yang mempengaruhi keterlambatan konsepsi (infertilitas) pasangan suami isteri pada laki-laki di kecamatan palu utara kota palu. JST Kesehatan. 2012; 2(2): 179-189 7. Karimi Z, Shahnooshi M. Sociologi impact of infertility upon family in Isfahan province. J Soc Sci. 2010; 11(4): 171-198 8. Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010 9. Saraswati A. Infertility. Journal Majority. Faculty of Medicine, Lampung. 2015; 4(5): 1-5 10. Anwar, M. Ilmu Kandungan Edisi Ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2011 11. Cavallini G, Berreta G. Clinical Management of Male Infertility. Springer International Publishing, 2015
21
22