IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSI
Disusun sebagai tugas mata kuliah Pendidikan Inklusi, oleh : 1. Almira Ramadhanti (K4316006)/ B 2. Devita Ajeng P. (K4316019)/ A 3. Fida Alya Noor R. (K4316031)/ A 4. Jeffri Nugroho (K4316038)/ B 5. Nofiyanti Safitri (K4316047)/ A 6. Ramadhanti Prativi (K4316051)/ A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET SURAKARTA 2018
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahi, puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat dan hidayahnya kami selaku penyusun dapat menyelesaikan makalah Pendidikan Inklusi dengan judul “Implementasi Pendidikan Inklusi” ini. Shalawat serta salam kami curahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, dan sahabatnya. Selanjutnya, kami selaku penyusun ingin menyampaikan rasa terimakasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran pembuatan makalah ini, baik berupa dorongan moral maupun materil.Terimakasih kepada Ibu Sugini, S.Pd.,M.Pd. selaku dosen mata kuliah Pendidikan Inklusi yang telah membimbing kami. Semoga makalah ini dapat berguna baik untuk diri kami, teman teman, dan semua yang membaca makalah ini. Kami selaku penyusun memohon maaf atas kekurangan dalam makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memenuhi tugas yang diberikan. Terimakasih.
Surakarta, 27 Maret 2018
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I PENDAHULUAN Indonesia dapat dipromosikan menjadi laboratorium hidup Pendidikan Inklusif. Hal ini dilatarbelakangi oleh keragaman budaya, bahasa, agama, dan kondisi alam yang terfragmentasi secara geologis dan geografis. "Indonesia adalah laboratorium terbesar dan paling menarik untuk menghadapi permasalahan dan tantangan pendidikan inklusif, karena inilah negara kepulauan yang terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 buah," kata Mendiknas Bambang Sudibyo pada Konferensi Asia Pasifik Pendidikan Inklusif di Bali, pekan kemarin (Pikiran Rakyat; Selasa; 3 Juni 2008). Sebagaimana yang dinyatakan dalam siaran pers Mediacenter Depdiknas, Mendiknas menjelaskan, bahwa pendidikan inklusif bukan hanya ditujukan untuk anak-anak cacat atau ketunaan, melainkan juga bagi anak-anak yang menjadi korban HIV-AIDS, anak-anak yang berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah, anak-anak jalanan (anjal), anak-anak di daerah perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak- anak korban bencana alam. "Anak-anak ini yang harus dilayani dengan Pendidikan Layanan Khusus (PLK). Anak-anak tersebut dalam paradigma pendidikan inklusif disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). ABK ini ada dua kelompok, yaitu: ABK temporer (sementara) dan permanen (tetap). Adapun yang termasuk kategori ABK temporer meliputi: anak-anak yang berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah, anak-anak jalanan (anjal), anak-anak korban bencana alam, anak-anak di daerah perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak yang menjadi korban HIV-AIDS. Sedangkan yang termasuk kategori ABK permanen adalah anak-anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, Autis, ADHD (Attention Deficiency and Hiperactivity Disorders), Anak Berkesulitan Belajar, Anak berbakat dan sangat cerdas (Gifted), dan lain-lain. Untuk menangani ABK tersebut dalam setting pendidikan inklusif di Indonesia, tentu memerlukan strategi khusus. Dalam hal ini, ada empat strategi pokok yang diterapkan pemerintah, yaitu : Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan jaminan kepada setiap warga negara Indonesia (termasuk ABK temporer dan permanen) untuk memperoleh pelayanan pendidikan, memasukkan aspek fleksibelitas dan aksebilitas ke dalam sistem pendidikan pada jalur formal, non formal, dan informal. Selain itu menerapkan pendidikan berbasis tekhnologi informasi dan komunikasi (TIK) dan mengoptimalkan peran guru.
4
BAB II PEMBAHASAN
Sebelum membahas aspek-aspek penting dalam pendidikan inklusif, terlebih dahulu penulis perlu memberikan gambaran tentang konsep dasar ABK yang dibahas dalam makalah ini. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah mereka yang mempunyai kebutuhan, baik permanen maupun sementara, yang disebabkan oleh kondisi sosial-emosi, dan/atau, kondisi ekonomi dan/atau, kondisi politik dan/atau, kelainan bawaan maupun yang didapat kemudian. Dengan kata lain, kita tidak hanya membicarakan kelompok minoritas yang disebabkan oleh kelainan/kecacatan saja, tetapi mencakup sejumlah besar anak yang sekolah. Oleh karenanya, sekolah hendaknya mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, ataupun kondisi- kondisi lainnya. Sekolah harus mencari cara agar berhasil mendidik semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan pendidikan khusus. Mengubah sekolah atau kelas tradisional menjadi inklusif, ramah terhadap pembelajaran merupakan suatu proses dan bukan suatu kejadian tiba-tiba. Proses ini tidak akan terjadi dalam sehari, karena memerlukan waktu dan kerja kelompok. Alasan dalam mengimplementasikan Pendidikan Inklusif, yaitu: (Sita, Wijayanti, Noak, & Purnamaningsih, 2003)
Hambatan utama anak berkelainan untuk maju termasuk dalam mengakses pendidikan setinggi mungkin bukan pada kecacatannya, tetapi pada penerimaan sosial masyarakat Pendidikan inklusif dalam beberapa tahun terakhir ini telah menjadi isu yang sangat menarik dalam sistem pendidikan nasional Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Jumlah ABK yang telah bersekolah untuk jenjang SD hanya 0,00018% dan SMP hanya 0,00012% dari total seluruh anak usia sekolah. Sedangkan prosentase sekolah penyelenggara pendidikan inklusif untuk jenjang SD adalah 0,39% dan jenjang SMP adalah 0,25%.
Dalam Pedoman Pendidikan Inklusif (Permendiknas 70/2009) dinyatakan bahwa dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif 8 (delapan) komponen yang harus diperhatikan pemangku kepentingan (stakeholder) sekolah, yaitu: 1. Peserta didik
Sasaran pendidikan inklusif adalah siswa normal dan siswa berkebutuhan khusus (tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, , berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat aditif lainnya, memiliki kelainan lainnya, dan tunaganda. 5
Identifikasi dilakukan untuk menemukan anak kelainan yang memerlukan layanan khusus melalui program inklusi. Tujuan identifikasi meliputi: penjaringan (screening), pengalihtanganan (referal), klasifikasi, perencanaan pembelajaran, dan pemantauan kemajuan belajar.
Assesmen adalah proses pengumpulan informasi sebelum perencanaan pembelajaran agar sesuai dengan kebutuhan individu. Fungsi asesmen adalah (1) screening, (2) referal, (3) perencanaan pembelajaran individu (PPI), (4) monitoring kemajuan belajar, (5) evaluasi program. Sasaran asesmen adalah anak berkelainan yang sudah atau akan masuk sekolah SD/MI; anak berkelainan yang belum/tidak bersekolah dan yang akan ikut program nonformal/informal
2. Kurikulum
Jenis Kurikulum pada dasarnya menggunakan kurikulum standar nasional namun perlu dimodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan siswa. Hambatan yang dialami siswa berkelainan sangat bervariasi mulai dari ringan sampai berat. Tim pengembang kurikulum berperan untuk melakukan modifikasi pengembang kurikulum di sekolah yang terdiri dari: kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lai yang terkait.
Tujuan Pengembangan Kurikulum dalam pendidikan inklusif adalah (1) Membantu peserta didik mengembangkan potensi dan mengatasi hambatan belajar siswa, (2) Membantu guru dan orangtua dalam mengembangkan program pendidikan ABK baik di sekolah dan di rumah dan (3) Menjadi pedoman bagi sekolah dan masyarakat dalam menilai, mengembangkan, dan menyempurnakan program pendidikan inklusif.
Model Pengembangan Kurikulum terbagi menjadi dua, yaitu: (1) Model kurikulum tingkat satuan pendidikan yang sesuai standar nasional. ABK mengikuti kurikulum siswa reguler namun mendapatkan program layanan khusus pada proses pembimbingan belajar, motivasi dan ketekunan belajar; (2) Model kurikulum akomodatif. Guru memodifikasi strategi pembelajaran, jenis penilaian dan program tambahan lain dengan mengacu pada kebutuhan ABK.
3. Tenaga Pendidik
Tenaga pendidik meliputi guru kelas, guru mata pelajaran (Pendidikan Agama serta Pendidikan agama serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), dan guru pembimbing khusus (GPK).
Tugas a) Tugas Guru Kelas & Guru Mata Pelajaran: menciptakan iklim belajar yang kondusif, menyusun dan melaksanakan asesmen untuk 6
mengetahui kemampuan dan kebutuhan siswa, menyusun program pembelajaran bersama GPK sesuai program kurikulum modifikasi, melaksanakan kegiatan belajar mengajar dan penilaian mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya (untuk guru kelas semua mata pelajaran kecuali Pendidikan Agama dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), memberikan program remedi atau percepatan bagi siswa yang membutuhkan, dan melaksankan administrasi kelas sesuai bidang tugasnya b) Tugas Guru Pendidikan Khusus: menyusun instrumen asesmen pendidikan untuk siswa inklusif dan melakukan pendampingan ABK pada kegiatan pembelajaran bersama dengan guru kelas dan guru mata pelajaran, membangun sistem koordinasi antara guru, pihak sekolah dan orang tua peserta didik, memberi bantuan layanan khusus seperti remedi dan bimbingan secara berkesinambungan pada ABK, memberi bantuan atau berbagi pengalaman pada guru kelas dan guru mata pelajaran c) Kedudukan guru ditetapkan berdasarkan kualifikasi yang telah ditetapkan sekolah. Guru kelas bertanggung jawab atas satu kelas, Guru mata pelajaran mengajar bidang studi tertentu, dan GPK berperan sebagai pendamping khusus. 4. Kegiatan Pembelajaran
Perencanaan dibutuhkan dalam melakukan pengelolaan kelas dan pengorganisasian bahan, pembuatan strategi pendekatan dan prosedur kegiatan belajar mengajar, penggunaan sumber dan media belajar serta kegiatan penilaian.
Pelaksanaan dilakukan dengan cara apersepsi, penyajian materi/bahan pelajaran, mengimplementasikan metode, sumber/media belajar, dan bahan latihan sesuai tujuan pembelajaran dan kemampuan siswa, mendorong siswa terlibat aktif dalam demonstrasi penguasaan materi pelajaran dan membina hubungan yang baik dengan siswa.
Prinsip-Prinsip Pembelajaran yaitu: (1) Prinsip motivasi. Guru memotivasi siswa agar semangat belajar, (2) Prinsip latar/konteks. Dalam pembelajaran guru memanfaatkan sumber belajar di lingkungan sekitar, (3) Prinsip keterarahan. Guru harus merumuskan tujuan pembelajaran dengan jelas, (4) Prinsip hubungan sosial. Optimalkan interaksi antara guru, siswa dan lingkungan, (5) Prinsip belajar sambil bekerja. Belajar dengan melakukan kegiatan percobaan, pengamatan, penelitian, dsb, (6) Prinsip Individualisasi. Guru perlu mengenali kemampuan dan kebutuhan tiap siswa agar dapat menyusun strategi pembelajaran yang tepat (7) Prinsip menemukan. Guru perlu menemukan strategi 7
pembelajaran yang dapat membuat anak aktif secara fisik, mental, sosial atau emosional, (8) Prinsip pemecahan masalah. Guru mengajukan persoalan yang ada di lingkungan pada siswa untuk melatih kemampuannya dalam memecahkan masalah. 5. Penilaian dan Sertifikasi
Penilaian dalam setting inklusi ini mengacu pada kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan siswa sesuai dengan bakat, minat, dan potensinya, yaitu: a) Penilaian hasil belajar siswa inklusif b) Siswa reguler wajib mengikuti ujian nasional, bila dinyatakan lulus akan mendapatkan ijazah yang blankonya dikeluarkan oleh pemerintah c) Siswa ABK mengikuti ujian yang diselenggarakan satuan pendidikan yang bersangkutan, bila telah menyelesaikan pendidikannya akan mendapatkan surat tanda tamat belajar yang blankonya dikeluarkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan. Siswa dapat melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi pada satuan pendidikan yang menye-lenggarakan pendidikan inklusif atau pendidikan khusus.
6. Menejemen Sekolah
Konsep Manajemen dalam modul ini adalah segala usaha bersama untuk mendagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Fungsi Manajemen meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan, dan penilaian.
Ruang Lingkup Manajemen meliputi manajemen kesiswaan, kurikulum, pembelajaran, penilaian, ketenagaan, sarana-prasarana, pembiayaan, dan sumberdaya lingkungan.
Pelaksanaan Manajemen seperti dukungan manajerial kepala sekolah dalam mendayagunakan sumber-sumber daya baik personal maupun sarana prasarana secara optimal diperlukan sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah inklusif.
7. Penghargaan dan sanksi
Penghargaan seperti sertifikat, piagam, promosi, dana pembinaan atau pelatihan diberikan pada sekolah inklusif sebagai bentuk dorongan untuk menjaga dan meningkatkan mutu layanan pendidikan
Sanksi sepeti teguran, peringatan tertulis, maupun dalam bentuk pembatalan surat ketetapan sebagai sekolah penyelenggara pendidikan 8
inklusif diberikan pada sekolah inklusif yang lalai dalam menjalankan kewajibannya. 8. Pemberdayaan Masyarakat
Masyarakat dapat berperan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, dalam perencanaan, penyediaan tenaga ahli, pengam-bilan keputusan, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi, pen-danaan, pengawasan, dan penyaluran kelulusan
Membuat wadah untuk masyarakat seperti komite sekolah, dewan pendidikan, dan forum-forum pemerhati pendidikan inklusif.
Peran masyarakat dapat berbentuk peran langsung seperti bantuan tenaga keahlian, dukungan pembiayaan, dukungan sarana prasarana, penyaluran lulusan, keterlibatan dalam tim pengelola dan berbentuk peran tidak langsung seperti bantuan pemikiran untuk pengambilan kebijakan, bantuan akses dan jaringan, pengembangan kurikulum, pengawan, dll.
Permasalahan Pendidikan Inklusif di Indonesia : 1. Pemahaman Inklusi dan Implikasinya a) Pendidikan inklusif bagi anak berkelainan/penyandang cacat belum dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan. Masih dipahami sebagai upaya memasukkan disabled children ke sekolah regular dalam rangka give education right dan kemudahan access education, dan againt discrimination. b) Pendidikan inklusi cenderung dipersepsi sama dengan integrasi, sehingga masih ditemukan pendapat bahwa anak harus menyesuiakan dengan sistem sekolah. c) Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu bersikap proactive dan ramah terhadap semua anak, menimbulkan komplain orang tua, dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olokan 2. Kebijakan Sekolah a) Sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup jelas, menerima semua jenis anak cacat, sebagian sudah memiliki guru khusus, mempunyai catatan hambatan belajar pada masing-masing ABK, dan kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk mengimplementasikan pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun cenderung belum didukung dengan koordinasi dengan tenaga profesional, organisasi atau institusi terkait. b) Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak memiliki tangung jawab pada kemajuan belajar ABK, serta keharusan orang tua ABK dalam penyediaan guru khusus. 3. Proses Pembelajaran 9
a) Proses pembelajaran belum dilaksanakan dalam bentuk team teaching, tidak dilakukan secara terkoordinasi. b) Guru cenderung masih mengalami kesulitan dalam merumusakan flexible curriculum, pembuatan IEP, dan dalam menentukan tujuan, materi, dan metode pembelajaran. c) Masih terjadi kesalahan praktek bahwa target kurikulum ABK sama dengan siswa lainnya serta anggapan bahwa siswa cacat tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai materi belajar. d) Karena keterbatasan fasilitas sekolah, pelaksanaan pembelajaran belum menggunakan media, sumber dan lingkungan yang beragam sesuai kebutuhan anak. e) Belum adanya panduan yang jelas tentang sistem penilaian. Sistem penilaian belum menggunakan pendekatan yang fleksibel dan beragam. f) Masih terdapat persepsi bahwa sistem penilaian hasil belajar ABK sama dengan anak normal lainnya, sehingga berkembang anggapan bahwa mereka tidak menunjukkan kemajuna belajar yang berarti. 4. Kondisi Guru a) Belum didukung dengan kualitas guru yang memadai. Guru kelas masih dipandang not sensitive and proactive yet to the special needs children. b) Keberadaan guru khusus masih dinilai belum sensitif dan proaktif terhadap permasalahan yang dihadapi ABK. c) Belum didukung dengan kejelasan aturan tentang peran, tugas dan tanggung jawab masing-masing guru. d) Pelaksanaan tugas belum disertai dengan diskusi rutin, tersedianya model kolaborasi sebagai panduan, serta dukungan anggaran yang memadai. 5. Sistem Dukungan a) Belum didukung dengan sistem dukungan yang memadai. Peran orang tua, sekolah khusus, tenaga ahli, perguruan tinggi - LPTK PLB, dan pemerintah masih dinilai minimal. Sementara itu fasilitas sekolah juga masih terbatas. b) Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam pendidikan inklusi, belum terbina dengan baik. Dampaknya, orang tua sering bersikap kurang peduli dan realistik terhadap anaknya. c) Peran SLB yang diharapkan mampu berfungsi sebagai resource centre bagi sekolah-sekolah inklusi di lingkungannya, belum dapat dilaksanakan secara optimal, baik karena belum adanya koordinasi dan kerja sama maupun alasan geografik. Peran ahli yang diharapkan dapat berfungsi sebagai media konsultasi, advokasi, dan pengembangan SDM sekolah masih sangat minimal. LPTK PLB 1 0
dalam diseminasi hasil penelitian, penelitian kolaborasi maupun dalam implementasi terhadap hasil-hasil penelitaian belum dapat diwujudkan dengan baik. Peran pemerintah yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam mendorong implementasi inklusi secara baik dan benar melalui regulasi aturan maupun. d) Belum didukung dengan sistem dukungan yang memadai. Peran orang tua, sekolah khusus, tenaga ahli, perguruan tinggi - LPTK PLB, dan pemerintah masih dinilai minimal. Sementara itu fasilitas sekolah juga masih terbatas. e) Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam pendidikan inklusi, belum terbina dengan baik. Dampaknya, orang tua sering bersikap kurang peduli dan realistik terhadap anaknya. f) Peran SLB yang diharapkan mampu berfungsi sebagai resource centre bagi sekolah-sekolah inklusi di lingkungannya, belum dapat dilaksanakan secara optimal, baik karena belum adanya koordinasi dan kerja sama maupun alasan geografik. Peran ahli yang diharapkan dapat berfungsi sebagai media konsultasi, advokasi, dan pengembangan SDM sekolah masih sangat minimal. LPTK PLB dalam diseminasi hasil penelitian, penelitian kolaborasi maupun dalam implementasi terhadap hasil-hasil penelitaian belum dapat diwujudkan dengan baik. Peran pemerintah yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam mendorong implementasi inklusi secara baik dan benar melalui regulasi aturan maupun.
1 1
KESIMPULAN
1 2
DAFTAR PUSTAKA
Sita, A. A. A., Wijayanti, D., Noak, P. A., & Purnamaningsih, P. E. (2003). Implementasi Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus ( ABK ) Dalam Lingkup Sekolah Inklusi ( Studi Kasus : SD No . 11 Jimbaran ), (11).
1 3