TUTORIAL IMUNOLOGI & INFEKSI “IMMUNOCOMPROMISED” Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Kedokeran Universitas Tarumanagara 5 November 2016
Imunodefisiensi • Adalah keadaan di mana terjadi penurunan atau ketiadaan respon imun normal.
Jenis Imunodefisiensi • Jenis imunodefisiensi: • Primer (didasari kelainan genetik yang diturunkan) • Sekunder (akibat penyebab lainnya).
• Jenis klasifikasi lain: berdasarkan komponen sistem imun terkait: • • • • •
Defisiensi imunitas humoral (sel B) Defisiensi imunitas seluler (sel T) Defisiensi imunitas humoral dan seluler (sel B dan sel T) Defisiensi komplemen Defisiensi sistem fagositik.
Buku Ajar Patologi Umum Edisi 1 Sagung Seto – Kelainan Imunopatologik – Halaman 244-255
Imunodefisiensi Primer • Pada umumnya menunjukkan gejala klinisnya pada masa anak-anak (usia 6 bulan hingga 2 tahun), dan berwujud sebagai infeksi yg berulang. • • • • • • • •
Agammaglobulinemia tipe Bruton Common Variable Immunodeficiency (CVI) Defisiensi IgA selektif (Isolated selective IgA deficiency) Sindroma DiGeorge (Hipoplasia Timus) Sindroma Wiskott-Aldrich Severe Combined Immunodeficiency Disease / SCID Defisiensi sistem komplemen Cacat fungsi sistem fagosit Buku Ajar Patologi Umum Edisi 1 Sagung Seto – Kelainan Imunopatologik – Halaman 244-255
Defek pada maturasi limfosit
Defek pada maturasi limfosit
Imunodefisiensi Sekunder • Dapat disebabkan oleh: • • • • • •
Infeksi Pengobatan kemoterapi Sitostatika Radiasi Imunosupresan Kondisi fisik seperti usia lanjut dan malnutrisi
Buku Ajar Patologi Umum Edisi 1 Sagung Seto – Kelainan Imunopatologik – Halaman 244-255
1. Agammaglobulinemia tipe Bruton • Adalah defisiensi imunitas humoral yg paling prevalen umumnya hanya mengenai laki-laki karena terkait kromosom X • Mekanisme: kelainan pada gen yg membentuk enzim protein-tirosin kinase protein-tirosin kinase diperlukan utk proses maturasi – diferensiasi sel pre-B menjadi sel B matang berkurangnya limfosit B pada darah tepi & organ imun perifer
Buku Ajar Patologi Umum Edisi 1 Sagung Seto – Kelainan Imunopatologik – Halaman 244-255
1. Agammaglobulinemia tipe Bruton • Temuan: • • • •
Berkurangnya sentrum germinativum & sel plasma Pemeriksaan darah tak ada limfosit B & Ig Tonsil tampak rudimenter / kurang berkembang Imunitas seluler tidak terganggu
• Gejala klinis: • Infeksi berulang bakteri piogen konjungtivitis, otitis media, faringitis, bronkitis, pneumonia, infeksi kulit • Resiko komplikasi paralisis & ensefalitis pasca imunisasi dgn vaksin virus polio & echovirus (patogenesis masih idiopatik). • Penderita cenderung menderita penyakit autoimun: RA, SLE, dermatomiositis, serta infeksi persisten Giardia lamblia yg menyebabkan malabsorpsi (agammaglobulinemia). Buku Ajar Patologi Umum Edisi 1 Sagung Seto – Kelainan Imunopatologik – Halaman 244-255
2. Common Variable Immunodeficiency (CVI) • Bisa timbul sebagai kelainan primer / sekunder • Merupakan suatu kelompok kelainan dengan mekanisme dasar defisiensi Ig yang bervariasi • Secara umum: jumlah sel B cukup, namun terdapat cacat pada proses diferensiasi / fungsi terminalnya • Cacat dapat berupa:
• Kegagalan sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma • Kelainan intrinsik pada sel B sendiri (meskipun fungsi Th memadai & Treg ditiadakan, sel B tetap tak mampu membentuk Ig) • Fungsi abnormal T helper limfokin yg merangsang pembentukan Ig (IL2 dan IFN-gamma) kurang jumlahnya, atau jumlah T supressor meningkat • Pada sebagian penderita, kecacatan disebabkan mutasi gen yg mengatur Ig. Buku Ajar Patologi Umum Edisi 1 Sagung Seto – Kelainan Imunopatologik – Halaman 244-255
2. Common Variable Immunodeficiency (CVI) • Secara klinis: • • • •
Ditemukan pada laki-laki dan perempuan Pada usia anak-anak atau dewasa muda Penderita menunjukkan infeksi bakteri berulang Rentan infeksi enterovirus, herpes zoster & diare persisten akibat giardiasis • Cenderung menderita penyakit autoimun dan keganasan sel limfoid • Pemeriksaan darah jumlah limfosit cukup namun sel plasma berkurang, dijumpai hipogammaglobulinemia yg umumnya mencakup semua kelas (pada sebagian besar kasus hanya defisiensi IgG)
• Secara histopatologik: terjadi hiperplasia area sel B (folikel limfoid) pada berbagai organ imun perifer disebabkan oleh ketidakmampuan sel B menghasilkan Ig (mampu proliferasi tapi tak mampu menghasilkan Ig) tak ada feedback negatif utk menghentikan proliferasi sel B terus bertambah banyak Buku Ajar Patologi Umum Edisi 1 Sagung Seto – Kelainan Imunopatologik – Halaman 244-255
3. Defisiensi IgA Selektif • Lebih banyak ditemukan pada orang kulit putih, dapat terjadi secara familial / sekunder akibat infeksi campak, toxoplasma, atau virus lainnya • Mekanisme yg mendasari: cacat pada proses diferensiasi sel B pembentuk IgA pada bnyk kasus, jumlah sel B pembentuk IgA cukup banyak, tapi menunjukkan fenotip imatur koekspresi dengan IgD dan IgM hanya sebagian dr sel B tersebut yg dapat berdiferensiasi menjadi sel plasma • Mekanisme lain: adanya antibodi terhadap IgA (pada 40% penderita) IgA dirusak & berkurang kadarnya Buku Ajar Patologi Umum Edisi 1 Sagung Seto – Kelainan Imunopatologik – Halaman 244-255
3. Defisiensi IgA Selektif • Gejala klinik: • Bisa asimptomatik • Infeksi berulang pada daerah mukosa (saluran nafas, cerna, urogenital) IgA serum rendah dan IgA sekretori berkurang • Cenderung mengalami penyakit alergi & autoimun
Buku Ajar Patologi Umum Edisi 1 Sagung Seto – Kelainan Imunopatologik – Halaman 244-255
4. Sindroma DiGeorge (Hipoplasia Timus) • Disebabkan oleh kegagalan perkembangan kantong faringeal ke 3 dan 4 pada masa embrional sekitar minggu ke-8 masa kehamilan terjadi hipoplasia / aplasia kelenjar timus & paratiroid, malformasi jantung & PD besar, abnormalitas bentuk mulut, hidung & muka • Temuan: • Imunitas seluler tidak ada / sangat minim (tak ada limfosit T dalam darah tepi & daerah parakorteks KGB & periarteriola limpa) • Sel plasma & kadar Ig cenderung normal
• Secara klinis: penderita sangat rentan infeksi virus & jamur disertai tetani akibat aplasia kelenjar tiroid Buku Ajar Patologi Umum Edisi 1 Sagung Seto – Kelainan Imunopatologik – Halaman 244-255
5. Sindroma Wiskott-Aldrich • Bersifat terkait kromosom X resesif • Mekanisme: cacat pada glileonilisasi protein membran (menyebabkan berkurangnya ekspresi protein membran limfosit B dan T, makrofag, netrofil dan trombosit) & pada pematangan sel pokok hematopoetik • Secara klinis:
• Awalnya kelenjar timus normal, namun berangsur terjadi penurunan jumlah sel T secara progresif di sirkulasi & daerah parakorteks KGB • Kadar Ig bervariasi: IgM rendah, IgG normal, IgA dan IgE menngkat • Pembentukan antibodi normal terhadap antigen protein, namun berespon buruk terhadap antigen polisakarida • Cenderung mengalami infeksi berulang • Trombositopenia dan eksem • Rentan terhadap penyakit keganasan limfoid Buku Ajar Patologi Umum Edisi 1 Sagung Seto – Kelainan Imunopatologik – Halaman 244-255
6. Severe Combined Immunodeficiency Disease (SCID) • Kombinasi defisiensi imun seluler dan humoral • Ada 2 kelompok kelainan: diturunkan secara autosomal resesif dan terpaut X. • Secara klinis: • Rentan berbagai infeksi (bakteri, jamur, virus) • Tak dijumpai Ig dalam darah
• Secara histopatologik: • Ditemukan timus yg hipoplastik dgn pengurangan jumlah limfosit juga ditemui pada berbagai organ imun perifer (daerah sel T dan B mengalami pengurangan jumlah sel) Buku Ajar Patologi Umum Edisi 1 Sagung Seto – Kelainan Imunopatologik – Halaman 244-255
6. Severe Combined Immunodeficiency Disease (SCID) – Autosomal Recessive • 50% di antaranya tidak memiliki enzim ADA (adenosin deaminase) terjadi penumpukan deoksiadenosin, deoksi ATP, dan S-adenosil homosistein bersifat toksik terhadap limfosit imatur (T dan B) • Oleh karena sintesis DNA dihambat, jumlah limfosit berkurang • Beberapa penderita memiliki jumlah limfosit T normal tapi cacat pada reaksi terhadap stimulasi antigen • Akhir-akhir ini ditemui SCID berbentuk cacat ekspresi gen MHC kelas II bare lymphocyte syndrome antigen MHC II tidak terpajan pada permukaan limfosit B, makrofag dan sel dendritik gagal presentasi pada CD4+ cacat reaksi hipersensitivitas lambat & reaksi antibodiantigen sel T-dependent rentan infeksi terutama virus Buku Ajar Patologi Umum Edisi 1 Sagung Seto – Kelainan Imunopatologik – Halaman 244-255
6. Severe Combined Immunodeficiency Disease (SCID) – X-linked recessive • 50% menunjukkan mutasi gangguan yg mempengaruhi reseptor sitokin IL 2, 4, dan 7 menghambat proses aktivasi sel T
Buku Ajar Patologi Umum Edisi 1 Sagung Seto – Kelainan Imunopatologik – Halaman 244-255
7. Defisiensi Sistem Komplemen • Defisiensi C3 kerentanan infeksi bakteri piogenik • Defisiensi C1q, 2, dan 4 kerentanan penyakit kompleks imun karena terhambatnya pemusnahan kompleks imun dari sirkulasi • Defisiensi enzim C1 esterase mengakibatkan aktivasi C1 secara tidak terkendali penderita mengalami angioedema herediter yg ditandai pembengkakan kulit dan mukosa yg berulang • Defisiensi C5-8 kerentanan infeksi golongan Neisseria (gonore atau meningokok)
Buku Ajar Patologi Umum Edisi 1 Sagung Seto – Kelainan Imunopatologik – Halaman 244-255
8. Cacat Fungsi Sistem Fagosit • Sangat jarang terjadi • Bermanifestasi sebagai radang granulomatosa yg dikenal sebagai Job syndrome, dan beberapa kelainan kongenital lainnya • Gangguan ini menyebabkan kegagalan melawan infeksi
Buku Ajar Patologi Umum Edisi 1 Sagung Seto – Kelainan Imunopatologik – Halaman 244-255
Infeksi Oportunistik Diagnosa HIV/AIDS • • • • • • • • • • • • •
Cytomegalovirus (CMV) Herpes simplex Histoplasma capsulatum Isosporiasis Kandidiasis HPV kanker servix, concyloma accuminata Koksidiomikosis Kriptokokosis Kriptosporidiosis Mikobakterium Pneumocystis carinii Salmonella (septikemia) Toxoplasma gondii Buku Ajar Patologi Umum Edisi 1 Sagung Seto – Kelainan Imunopatologik – Halaman 244-255
HIV - AIDS
Patogenesis & Patofisiologis Virus HIV • Virus HIV menyerang limfosit CD4+ (molekul gp120 virus & CD4) partikel virus bergabung dengan DNA host reverse transcription membentuk cDNA sel bervirus dibawa APC ke KGB regional (jalur infeksinya malah dipermudah) sel bervirus bereplikasi jumlah sel yg mengekpresikan gen virus semakin banyak: demam, nyeri telan, pembengkakan KGB, ruam, diare, batuk tiba-tiba jumlah sel yg mengekpresikan virus menurun cepat karena CD8+ meningkat menghilangnya viremia, fase “laten” penghancuran CD4+ yang perlahan-lahan semakin tinggi imunitas tubuh perlahan memburuk tubuh tidak mampu mengkompensasi masuk tahap AIDS terkena infeksi-infeksi sekunder tidak diberi ARV/diobati adekuat † Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Edisi VI Jilid I Halaman 888-919 – HIV/AIDS di Indonesia
Gejala Klinis Infeksi HIV • • • • • • • • • • •
Pembesaran KGB Penurunan BB yang tak dapat dijelaskan Infeksi saluran nafas atas berulang Kelainan kulit Keluhan di rongga mulut & saluran makan atas Keluhan di gigi geligi Infeksi jamur di kuku Diare kronik > 1 bulan Demam berkepanjangan Nafsu makan menurun Gejala infeksi tuberkulosis paru dan ekstra paru
Gejala Klinis Infeksi HIV • • • • • • • • • •
Infeksi berat Kelainan darah Jamur di paru Infeksi menular seksual Sarkoma kaposi Infeksi jamur sistemik Gangguan penglihatan Infeksi di intrakranial Kebas atau kesemutan pada tangan dan kaki Kelemahan otot
Tes HIV • Perlu diperhatikan: MASA JENDELA • Mendeteksi antibodi terhadap virus HIV • ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) • Aglutinasi • Dot-blot immunobinding assay
• Mendeteksi keberadaan virus HIV • Isolasi & biakan virus • Deteksi antigen • Deteksi materi genetik dalam darah pasien
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Edisi VI Jilid I Halaman 888-919 – HIV/AIDS di Indonesia
Jenis Tes HIV Strategi I • Hanya dilakukan 1x pemeriksaan • Bila hasil reaktif, dianggap terinfeksi HIV • Bila hasil non-reaktif, dianggap tidak terinfeksi HIV • Reagen yg dipakai harus memiliki sensitivitas yg tinggi (>99%)
Strategi II • 2x pemeriksaan • Pemeriksaan I: reagen dgn sensitivitas tertinggi, pemeriksaan II: reagen yg lbih spesifik & beda jenis antigen/tekniknya dari yg pertama • Pemeriksaan I: reaktif lanjut ke pemeriksaan II. Non-reaktif: hasil (-) • Pemeriksaan II: reaktif: (+) HIV. Non-reaktif: diulang dengan kedua metode. • Setelah pengulangan bila hasil tidak sama: indeterminate
Strategi III • 3x pemeriksaan • Bila hasil I, II, III: reaktif terinfeksi HIV • Bila hasil pemeriksaan tidak sama: equivocal / indeterminate dianggap (+) bila pasien memiliki riwayat pemaparan HIV / berisiko tinggi tertular HIV. Dianggap (-) bila pasien tidak memiliki riwayat/tidak berisiko tertular HIV. • Pemeriksaan ketiga dipakai reagen yg asal antigen & tekniknya beda, & spesifisitas lbih tinggi
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Edisi VI Jilid I Halaman 888-919 – HIV/AIDS di Indonesia
Protokol Tes HIV I
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Edisi VI Jilid I Halaman 913 – Gejala dan Diagnosis HIV
Protokol Tes HIV II
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Edisi VI Jilid I Halaman 913 – Gejala dan Diagnosis HIV
Protokol Tes HIV III
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Edisi VI Jilid I Halaman 913 – Gejala dan Diagnosis HIV
Jenis Tes HIV • Bila pemeriksaan penyaring menyatakan hasil reaktif dilanjutkan pemeriksaan konfirmasi utk memastikan adanya infeksi HIV Western Blot (WB) • Sebelum & sesudah tes HIV (selain keperluan surveillans, karena hasilnya tidak diberitahu kepada pasien) konseling!
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Edisi VI Jilid I Halaman 888-919 – HIV/AIDS di Indonesia
Diagnosis HIV/AIDS • Dinyatakan terinfeksi HIV bila pemeriksaan lab membuktikan terinfeksi HIV (baik pemeriksaan antibodi/deteksi virus) • Dinyatakan terkena AIDS (untuk kepentingan surveillans) bila terdapat infeksi oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 350 sel/mm3.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Edisi VI Jilid I Halaman 888-919 – HIV/AIDS di Indonesia
Penatalaksanaan HIV • Kombinasi beberapa obat antiretroviral (ARV) • Penatalaksanaan ODHA: • Pengobatan utk menekan replikasi virus HIV dengan obat ARV • Pengobatan utk mengatasi berbagai penyakit infeksi & kanker yg menyertai HIV/AIDS jamur, TBC, hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks • Pengobatan suportif makanan dgn nilai gizi lebih baik & dukungan psikososial & agama & tidur cukup & menjaga kebersihan pribadi & lingkungan
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Edisi VI Jilid I Halaman 888-919 – HIV/AIDS di Indonesia
Manfaat Pemberian ARV • • • • •
Menurunkan angka kematian Menurunkan risiko perawatan di RS Menekan viral load Memulihkan kekebalan Menurunkan risiko penularan
• Jenis-jenis ARV: • • • •
Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NsRTI) Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NRTI) Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) Protease inhibitor (PI)
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Edisi VI Jilid I Halaman 888-919 – HIV/AIDS di Indonesia
Obat ARV yang Beredar di Indonesia Nama Dagang
Nama Generik
Golongan
Duviral
Sediaan
Dosis per hari
Tablet kandungan zidovudin 300 mg, lamivudin 150 mg
2x1 tablet
Stavir Zerit
Stavudin (d4T)
NsRTI
Kapsul 30 mg, 40 mg
>60 kg: 2x40 mg <60 kg: 2x30 mg
Hiviral 3TC
Lamivudin (3TC)
NsRTI
Tablet 150 mg, larutan oral 10mg/mL
2x150 mg <50 kg: 2 mg/kg, 2x/hari
Viramune Neviral
Nevirapin (NVP)
NsRTI
Tablet 200 mg
1x200 mg selama 14 hari, dilanjutkan 2x200 mg
Retrovir Adovi Avirzid
Zidovudin (ZDV, AZT)
NsRTI
Kapsul 100 mg
2x300 mg, atau 2x250 mg (dosis alternatif)
Videx
Didanosin (ddI)
NsRTI
Tablet kunyah 100 mg
>60 kg: 2x200 mg atau 1x400 mg <60 kg: 2x125 mg atau 1x250 mg
Stocrin
Efavirenz (EFV, EFZ)
NNRTI
Kapsul 200 mg
1x600 mg, malam
Nelvex, Viracept
Nelfinavir (NFV)
PI
Tablet 250 mg
2x1250 mg
Kombinasi Obat ARV untuk Terapi Inisial • Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi 3 obat ARV. • Kombinasi yg memungkinkan : Lamivudin + (zidovudin/didanosin/stavudin) + (evafirenz*/nevirapin/nellfinavir) • Penggunaan evafirenz tidak dianjurkan pada bumil trimester 1 / wanita yg berpotensi tinggi utk hamil
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Edisi VI Jilid I Halaman 888-919 – HIV/AIDS di Indonesia
Evaluasi Pengobatan • Cara memantau beratnya rusaknya imunitas akibat HIV & menentukan keputusan memberi ARV : jumlah sel CD4 & viral load viral load juga dapat memperkirakan risiko kecepatan perjalanan penyakit & kematian akibat HIV & efektivitas obat ARV • Indikasi untuk merubah terapi (gagal terapi) : • Adanya progresi penyakit secara klinis dimulai setelah > 6 bulan memakai ARV, atau • Stadium 3 menurut WHO: penurunan BB > 10%, diare atau demam > 1 bulan yg tak dapat dijelaskan sebabnya, oral hairy leukoplakia, terdapat infeksi bakterial yg berat, atau bedridden >1 bulan terakhir.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Edisi VI Jilid I Halaman 888-919 – HIV/AIDS di Indonesia
• VL (viral load) < 400 cm c/mL dalam 24 minggu atau • VL < 50c/mL dalam 48 minggu atau • Konsisten (pada 2 pengukuran berurutan) VL > 50c/mL setelah VL <50 c/mL
Catatan: kebanyakan pasien akan mengalami penurunan pada VL > 1log10 c/mL pada 1-4 minggu
Hitung CD4 gagal meningkat menjadi 25-50 c/mm3 dalam satu tahun Catatan: kebanyakan pasien mengalami peningkatan hitung CD4 150 c/mm3 dalam satu tahun pertama dengan HAART
Kegagalan Klinis
Gagal untuk mencapai:
Kegagalan Imunologis
Kegagalan Virologis
Definisi Kegagalan Terapeutik pada Terapi ARV Dewasa Pada pasien yang belum pernah diobati Terjadinya atau kekambuhan gejala terkait HIV > 3 bulan setelah terapi HAART dimulai Catatan: diagnosis sindrom rekonstitusional imunologis harus disingkirkan
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Edisi VI Jilid I Halaman 893 – HIV/AIDS di Indonesia
Pencegahan Penularan Ibu Ke Bayi • Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran 2012, bumil dengan HIV wajib diberikan ARV • Regimen yg direkomendasikan: AZT + 3TC + EFV, AZT + 3TC + NVP, TDF + 3TC atau FTC + EFV, dan TDF + 3TC atau FTC + NVP • EFV (Evafirenz) tidak dipergunakan pada kehamilan trimester 1 • Pemberian ARV pada bayi yg lahir dari ibu HIV : AZT 2x sehari sejak lahir hingga usia 4-6 minggu, dosis 4 mg/kgBB/kali.
Pencegahan Penularan Ibu Ke Bayi • Transmisi dari bumil ke bayinya adalah 1-3/10 (dari 10 bumil dengan HIV, 1-3 bayinya tertular oleh ibunya) • Transmisi dapat melalui: jalan kelahiran, transplasental, air susu ibu • Kendala yg dikhawatirkan di Indonesia: biaya membeli obat ARV, sectio caesar yang meskipun aman untuk mencegah transmisi namun lebih mahal, pemberian susu formula ganti ASI untuk mencegah transmisi lewat menyusui lebih sulit karena faktor kultural & ekonomi.