BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kelamin merupakan suatu fenomena yang telah lama kita kenal dan beberapa diantaranya sangat populer seperti sifilis, gonore maupun herpes. Semakin majunya ilmu pengetahuan, menemukan bahwa penyakit ini tidak hanya menimbulkan gejala klinis pada alat kelamin saja, tapi juga dapat menimbulkan gangguan pada organ-organ tubuh lainnya. Oleh karena itu, penggunaan istilah penyakit kelamin menjadi tidak sesuai lagi dan diubah menjadi Penyakit Menular Seksual (PMS). Namun sejak tahun 1998, istilah PMS ini kembali diganti menjadi Infeksi Menular Seksual (IMS) untuk menjangkau penderita asimptomatik yang ternyata banyak terjadi, terutama pada wanita. Contoh infeksi menular seksual yaitu sifilis (Indiarsa Arief L dkk, 2010). Sifilis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum yang menimbulkan infeksi. Angka infektifitas sifilis terkait dengan golongan umur seksual aktif dan bayi yang ditularkan oleh ibu melalui plasenta. Pemeriksaan dilakukan pada pasien sifilis untuk mendeteksi antibody terhadap Treponema pallidum. Untuk
pengujian
biasanya
(Treponema
menggunakan
metode
TPHA
Treponemal pallidum
Hemaglutinnation Assay). Pengujian dengan TPHA memiliki spesifitas pada Treponema pallidum. Tetapi metode TPHA memiliki beberapa kekurangan yakni proses pengujian yang lama, penyimpanan reagen pada suhu 2-8°C,
1
mahal dan diperlukan tenaga kesehatan yang ahli dibidang laboratorium. Oleh karena beberapa kekurangan tersebut, maka pemeriksaan TPHA hanya dilakukan di rumah sakit dan laboratorium yang besar tidak digunakan di laboratorium kecil maupun puskesmas. Selain TPHA, untuk pengujian Treponema pallidum dapat dilakukan
dengan metode imunocromatografi
(Naully, Gina, 2018). Berdasarkan uraian diatas maka dilakukanlah pemeriksaan sifilis metode imunocromatografi untuk mendeteksi adanya bakteri Treponema pallidum pada pasien yang diduga mengalami gejala sifilis. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana cara melakukan pemeriksaan sifilis menggunakan metode imunocromatografi.? 1.3 Tujuan Praktikum Tujuan dari praktikum ini yaitu untuk mengetahui cara melakukan pemeriksaan sifilis menggunakan metode imunocromatografi. 1.4 Manfaat Praktikum Manfaat dari praktikum ini yaitu untuk melatih keterampilan mahasiswa dalam
melakukan
pemeriksaan
sifilis
menggunakan
metode
imunocromatografi.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sifilis Sifilis adalah salah satu penyakit menular sexual, penyakit tersebut tersebut ditularkan melalui hubunagn seksual.penyakit tini bersifat laten atau dapat kambuh lagi sewaktu-waktu selain itu bisa bersifat akut dan kronis. Penyakit ini dapat cepat di obati bila sudah dapat dideteksi dini. Kuman yang menyebabkan penyakit sifillis dapat memasuki tubuh dengan menembus selaput lendir yang normal dan mampu menenbus plasenta sehingga menginfeksi janin (Djuanda, dkk, 2005). Sifillis adalah prnyakit infeksi oleh Troponema pallidium dengan perjalanan penyakit yang kronis, adanya remisi dan aksaserbasi, dapat menyerang semua organ dalam tubuh terutama sistem kardiovaskuler, otak, dan susunan syaraf, serta dapat terjadi sifilis kongenital (Harahap, Marwali. 1990). Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum, sangat kronis dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari satu orang ke orang yang lain melalui hubungan genito-genital (kelamin-kelamin) maupun orogenital (seks oral). Infeksi ini juga dapat ditularkan oleh seorang ibu kepada bayinya selama masa kehamilan. Tidak dapat tertular oleh sifilis dari handuk, pegangan pintu atau tempat duduk WC (Sudoyo, 2006).
3
2.2 Klasifikasi Penyakit Sifilis Menerut Sudoyo, (2006), penyakit sifilis diklasifikasikan dalam beberapa jenis sebagai berikut: 1. Sifilis Primer Gejala pertamanya adalah munculnya bisul kecil keras yang disebut syanker pada situs infeksi. Biasanya di ujung batang pelir pada pria dan di leher rahim atau vagina wanita. Syanker itu terlihat jelas pada pria, tetapi pada wanita seringkali tersembunyi. Bisul itu tidak gatal ataupun sakit. Jadi sifilis primer dapat berkembang tanpa diketahui. Treponema pallidum biasanya dapat ditemukan didalam syanker semacam itu melalui pemeriksaan mikroskopis medan gelap. Juga dalam stadium ini, spiroketa menyerang kelenjar getah bening, menyebabkan menjadi lebih besar dan keras. Setelah 3-5 pekan, syanker itu sembuh secara spontan, dan penyakit itu dari luar nampak tenang-tenang saja. Tetapi sementara itu organisme tersebut disebarkan lewat aliran darah ke seluruh tubuh. 2. Sifilis Sekunder Stadium penyakit ini di dahului oleh ruam (pemunculan pada kulit) yang timbul setiap saat pada 2 sampai 12 pekan setelah hilangnya syanker. Penyakit itu sekarang tersebar umum dan juga terjadi limfodenopati (kelenjar getah belling yang berpenyakit) yang tersebar luas. Sifilis disebut pula "peniru besar" karena gejala-gejala yang timbul pada stadium ini mirip dengan yang ditimbulkan oleh penyakit lain seperti flu atau mononuleosis menular. Selain ruam gejala-gejala lainnya meliputi radang
4
tenggorokan, kelenjar getah bening yang lembek, demam, lesu dan pusing. Kadang-kadang disertai rontoknya rambut sebagian-sebagian. Luka patogenik terjadi pada selaput lendir, mata, dan sistim syaraf pusat lukaluka ini penuh dengan treponema. Korban dapat menderita hanya satu atau dua dari seluruh gejala penyakit ini atau semua gejala. Stadium ini berlangsung beberapa minggu, dan gejala-gejalanya termasuk luka-luka patogenik, hilang tanpa pengobatan. Tetapi sementara itu treponema mungkin sudah mulai menyerang organ-organ lain dalam tubuh. 3. Sifilis Laten Bila tidak diobati, sifilis sekunder berlanjut menjadi sifilis laten. Selama stadium ini penderita sama sekali tidak menunjukkan gejala yang jelas. Stadium ini dapat berlangsung berbulan-bulan, bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup. Stadium laten hanya dapat diketahui dengan melakukan uji darah (serologis). 4. Sifilis Tersier Atau Lanjut Stadium ini timbul pada sekitar 30% dari orang-orang yang tidak diobati dan dapat terjadi 5 sampai 40 tahun sesudah infeksi mula-mula. Hasil kerja Treponema pallidum secara diam-diam tetapi mematikan selama stadium laten itu menjadi jelas. Luka-luka patogenik tersier terjadi pada sistim safar pusat, sistim pembuluh darah jantung, kulit dan organorgan vital lain seperti mata, otak, tulang, ginjal dan hati. Luka-luka ini yang disebut gumata lalu pecah dan menjadi borok. Penderita dapat
5
terserang sakit jiwa, kebutaan atau penyakit jantung dan akhirnya dapat meninggal. 5. Sifilis Syaraf Selama stadium early, sepertiga dari penderita sifilis dapat terkena susunan syaraf pusatnya dan setengah dari golongan ini jika tidak mendapat pengobatan akan menderita laten neurosifilis, yang jaraknya dari stadium primer dapat mencapai waktu lebih dari 5 tahun. Penyakit ini terjadi tanpa gejala, sedangkan gejala klasik dapat timbul dalam bentuk dementia paralytica, tabes dorsalis dan sebagainya. Gejala penyakit yang timbul juga dapat menyerupai penyakit saraf lainnya. 6. Sifilis Kardiovaskuler Setelah 10-40 tahun sejak terjadinya sifilis primer, penderita yang tidak mendapat pengobatan dapat menunjukkan tanda-tanda terkena sistim kardiovaskuler. Terjadi kelainan sifilis pada aorta dan arteritis paru-paru. Reaksi peradangan yang terjadi dapat menyebabkan stenosis yang berakibat angina, insufisiensi miokardium yang dapat mengakibatkan kematian. 7. Sifilis Kongenital Sifilis kongenita merupakan penyakit sifilis yang timbul pada bayi waktu lahir, beberapa waktu atau beberapa tahun sesudahnya. Wanita hamil yang sedang menderita sifilis, terutama stadium sekunder, dapat menularkannya pada bayi yang sedang dikandungnya secara transplasenta. Treponema pallidum yang terdapat dalam peredaran darah ibu masuk ke
6
janin pada waktu kehamilan pekan ke 16. Pada saat itu lapisan gel Langhans telah menjadi atropik. Jika infeksinya terjadi secara masif,maka dapat mengakibatkan kematian janin, atau bayi lahir terus mati. Infeksi Treponema pallidum juga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin intra atau ekstrauteri. Jika wanita hamil baru terkena sifilis pada waktu 6 pekan terakhir kehamilannya, maka biasanya janin belum sempat terkena sifilis, karena kuman belum sempat tersebar di dalam peredaran darah ibu. 8. Sifilis Kongenital Praekoks Penyakit ini mulai menunjukkan gejala pada waktu bayi lahir atau setelah berumus 1-3 bulan. Terlihat bullae pada telapak tangan, condylomata lata, osteochondritis atau periostitis epiphysis tulang panjang yang dapat menyebabkan terjadinya pseudoparalisis dari Parrot, kelainan pada tulang tibia atau sabre bone, terjadi patah tulang spontan atau penonjolan tulang dahi. Selain itu dapat terjadi gejala penyumbatan hidung atau snuffle-nose, hepatosplenomegali, atropi dan distropi otot, sehingga berat badan statis tidak bertambah. 9. Sifilis Kongenital Tarda Penyakit ini mulai menunjukkan gejala pada usia lebih dari satu tahun sampat usia 6- 7 tahun. Akan ditemukan Trias Hutchinson, yaitu berupa tuli syaraf ke-8 atau tuli perseptif, defo~itas gigi seri atas tengah dan keratitisinterstitialis. 2.3 Morfologi Treponema pallidum
7
Treponema pallidum merupakan salah satu bakteri Spirochaeta. Bakteri ini berbentuk spiral. Terdapat empat subspesies yang sudah ditemukan, yaitu Treponema pallidum pallidum, Treponema pallidum pertenue, Treponema pallidum carateum, dan Treponema pallidum endemicum. Namun laporan ini banyak akan membahas Treponema pallidum pallidum yang merupakan penyebab sifilis (Jawetz, Melnick, 2005). Treponema pallidum merupakan Spirochaeta yang bersifat motil yang umumnya menginfeksi melalui kontak seksual langsung, masuk ke dalam tubuh inang melalui celah di antara sel epitel. Organisme ini juga dapat ditularkan kepada janin melalui jalur transplasental selama masa-masa akhir kehamilan. Struktur tubuhnya yang berupa heliks memungkinkan Treponema pallidum pallidum bergerak dengan pola gerakan yang khas untuk bergerak di dalam medium kental seperti lender (mucus). Dengan demikian organisme ini dapat mengakses sampai ke sistem peredaran darah dan getah bening inang melalui jaringan dan membran mucosa (Jawetz, Melnick, 2005).
Gambar 2.3 Treponema pallidum 2.4 Cara Penularan Treponema pallidum
8
Sifilis disebabkan oleh bakteri yang disebut Spirochaeta. Penyebarannya tidak seluas gonorhoeae, tetapi lebih menakutkan karena kerusakan yang mungkin ditimbulkannya lebih besar. Seperti gonorhoeae, penyakit ini disebarkan melalui kontak langsung dengan luka-luka pada orang yang ada pada stadium menular. Spirochaeta, seperti monococcus, adalah mikroba yang tidak tahan berada di luar tubuh manusia, sehingga kemungkinan tertulari dari benda mati sangat kecil (Jawetz, Melnick, 2005). Treponema pallidum masuk ke dalam tubuh sewaktu terjadi hubungan kelamin melalui luka-luka goresan yang amat kecil pada epitel, dengan cara menembus selaput lendir yang utuh ataupun mungkin melalui kulit yang utuh lewat kantung rambut. Masa inkubasi sifilis berkisar 10-90 hari (rata-rata 21 hari) setelah infeksi. Bila tidak diobati, sifilis dapat timbul dalam beberapa stadium penyakit (Jawetz, Melnick, 2005). Menurut Jawetz, Melnick, (2005), adapun cara penulaannya bisa melalui: a) Melalui kontak langsung dengan penderita sifilis. b) Luka terjadi terutama pada alat kelamin eksternal, vagina, anus atau di dubur. Luka juga dapat terjadi di bibir dan dalam mulut. c) Wanita hamil dengan penyakit ini dapat terbawa ke bayi. d) Hubungan genito-genital (kelamin-kelamin) maupun oro-genital (seks oral)
9
2.5 Kelainan Sifilis Treponema pallidium adalah bakteri penyebab sifilis atau penyakit Raja Singa adalah salah satu penyakit menular seksual (PMS) yang kompleks, disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema pallidum. Perjalanan penyakit ini cenderung kronis dan bersifat sistemik. Hampir semua alat tubuh dapat diserang, termasuk sistem kardiovaskuler dan saraf. Selain itu wanita hamil yang menderita sifilis dapat menularkan penyakitnya ke janin sehingga menyebabkan sifilis kongenital yang dapat menyababkan kelainan bawaan atau bahkan kematian. Jika cepat terdeteksi dan diobati, sifilis dapat disembuhkan dengan antibiotika. Tetapi jika tidak diobati, sifilis dapat berkembang ke fase selanjutnya dan meluas ke bagian tubuh lain di luar alat kelamin (Jawetz, Melnick, 2005). Menurut Jawetz,
Melnick, (2005), gejala yang mungkin terjadi pada
wanita, yang terurai dalam empat stadium berbeda. a. Stadium satu. Stadium ini ditandai oleh munculnya luka yang kemerahan dan basah di daerah vagina, poros usus atau mulut. Luka ini disebut dengan chancre, dan muncul di tempat Spirochaeta masuk ke tubuh seseorang untuk pertama kalinya. Pembengkakan kelenjar getah bening juga ditemukan selama stadium ini. Setelah beberapa minggu, chancre tersebut akan menghilang. Stadium ini merupakan stadium yang sangat menular. b. Stadium dua. Kalau sifilis stadium satu tidak diobati, biasanya para penderita akan mengalami ruam, khususnya di telapak kaki dan tangan.
10
Mereka juga dapat menemukan adanya luka-luka di bibir, mulut, tenggorokan, vagina dan dubur. Gejala-gejala yang mirip dengan flu, seperti demam dan pegal-pegal, mungkin juga dialami pada stadium ini. Stadium ini biasanya berlangsung selama satu sampai dua pekan. c. Stadium tiga. Kalau sifilis stadium dua masih juga belum diobati, para penderitanya akan mengalami apa yang disebut dengan sifilis laten. Hal ini berarti bahwa semua gejala penyakit akan menghilang, namun penyakit tersebut sesungguhnya masih bersarang dalam tubuh, dan bakteri penyebabnya pun masih bergerak di seluruh tubuh. Sifilis laten ini dapat berlangsung hingga bertahun-tahun lamanya. d. Stadium empat. Penyakit ini akhirnya dikenal sebagai sifilis tersier. Pada stadium ini, spirochaeta telah menyebar ke seluruh tubuh dan dapat merusak otak, jantung, batang otak dan tulang. 2.6 Pencegahan Sifilis Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah seseorang agar tidak tertular penyakit sifilis (Djuanda, dkk, 2005). Menurut Djuanda, dkk, (2005), hal-hal yang dapat dilakukan antara lain: a) Tidak berganti-ganti pasangan. b) Berhubungan seksual yang aman termasuk selektif dalam memilih pasangan dan pempratikkan ‘protective sex’. c) Menghindari penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan transfusi darah yang sudah terinfeksi.
11
d) Menghindari alkohol dan penggunaan narkoba juga dapatmembantu mencegah penularan sifilis, karena kegiatan tersebut dapat mengakibatkan perilaku seksual beresiko. e) Menggunakan kondom saat berhunungan, mencegah penularan PMS. f) Menjauhkan diri dari kontak seksual yang diketahui terinfeksi.Tidak ada vaksin terhadap sifilis. Untuk perseorangan penggunaan kondom sangat efektif. Untuk masyarakat, cara utama pencegahan sifilis ialah melalui pengendalian yang meliputi pemeriksaan serologis dan pengobatan penderita. Sifilis bawaan dapat dicegah dengan perawatan prenatal (sebelum kelahiran) yang semestinya 2.7 Pengobatan Penderita Sifilis dapat dirawat dengan penisilin atau antibiotik lainnya. Bagi yang alergi penisillin diberikan tetrasiklin 4×500 mg/hr, atau eritromicin 4×500 mg/hr, atau doksisiklin 2×100 mg/hr Menurut statistik, perawatan dengan pil kurang efektif dibanding perawatan lainnya, karena pasien biasanya tidak menyelesaikan pengobatannya. Cara terlama dan masih efektif adalah dengan penyuntikan procaine penisilin di setiap pantat (procaine diikutkan untuk mengurangi rasa sakit) dosis harus diberikan setengah di setiap pantat karena bila dijadikan satu dosis akan menyebabkan rasa sakit. Cara lain adalah memberikan kapsul azithromycin lewat mulut (memiliki durasi yang lama) dan harus diamati (Djuanda, dkk, 2005). Sifilis mudah untuk disembukan dalam tahap awal, suntikan intra muskuler tungal dari pemnisin, antibiotik, akan menyembuhakan orang yang
12
memiliki sifilis kurang dari satu tahun. Dosis di tambahkan untuk mengobati orang yang memiliki sifilis selama lebih dari satu tahun. Bagi penderita yang alergi dengan penisilin,antibiotik lain yang tersedia untuk mengobati sifilis, pengobatan akan membunuh bakteri sifilis dan mencegah kerusakan lebih lanjut,tetapi tidak akan memperbaiki kerusakan yang telah dilakukan (Djuanda, dkk, 2005). Pengobatan sifilis dalam kehamilan yitu dengan penisilin 1 kali penyuntiksn dirasa cukup adekuat, meski beberapa penderita memerlukan 1-3 kali suntkan penisilin.dokter akan menderita yang telah menjalani medikasi untuk melakuka tes darah setahun kedepan, yang dumaksudkan untuk memastikan bahwa bakreri telah lisis dari tubuh penderita (Djuanda, dkk, 2005). 2.8 Reaksi Aglutinasi Mekanisme terjadi aglutinasi tidak berbeda dengan mekanisme presipitasi. Pada reaksi ini antibody bersifat multivalent, artinya tiap antibody didapatkan paling sedikit 2 reseptor antigen. Oleh karena antibodinya bersifat multivalent, terjadi ikatan silang dengan antigen yang sesuai. Apabila rasionya sesuai maka akan membentuk kisi-kisi 3 dimensi dan terjadilah aglutinasi. Perbedaannya, antigen pada reaksi presipitasi berupa larutan molekuler atau suspensi koloidal, sedangkan antigen pada reaksi aglutinasi berupa partikel yang tidak larut (Utari, dkk, 2016). Menurut Utari, dkk, (2016), macam-macam reaksi aglutinasi yaitu:
13
1. Direk: untuk menetapkan antibody tehadap antigen yang berupa partikel/sel. Contohnya seperti pemeriksaan golongan darah, pemeriksaan widal, tes Rf, tes kehamilan, dan tes sifilis. Interpretasi hasil: Hasil positif (+) → terjadi penggumpalan Hasil negatif (-) → tidak terjadi gumpalan 2. Indirek: untuk antibody terhadap antigen yang larut dengan meletakkan terlebih dahulu antigen dengan partikel (carrier) seperti: latex, eritrosit, dan karbon. Contohnya seperi tes Streptococcus grup A, anti-HBs. Interpretasi hasil: Hasil positif (+) → tidak terjadi gumpalan Hasil negatif (-) → terjadi gumpalan 2.9 Antigen Antigen adalah bahan yang dapat bereaksi dengan produk respon imun dan merupakan sasaran respon imun. Antigen yaitu bahan yang dapat menimbulkan respon imun. Epitop atau determinan antigen adalah bagian antigen yang menginduksi pembentukan antibody dan dapat diikat dengan spesifik oleh bagian antibody pada limfosit. Hapten adalah determinan antigen dengan berat molekul rendah dan baru menjadi imunogen apabila diikat oleh molekul besar dan dapat mengikat antibody. Contoh hapten adalah golongan antibiotik (Utari, dkk, 2016). Menurut Utari, dkk, (2016), pembagian antibodi menurut epitop dan spesifitas:
14
1. Pembagian antigen menurut epitop: a. Unideterminan, univalen: hanya 1 jenis epitop pada 1 molekul. b. Unideterminan, multivalen: hanya 1 determinan tetapi 2 atau lebih determinan ditemukan dalam 1 molekul. c. Multideterminan, univalen: banyak epitop yang bermacam-macam tapi hanya 1 dari tiap macamnya. d. Multideterminan, multivalen: banyak determinan dan banyak macam pada 1 molekul. 2. Pembagian antigen menurut spesivitas: a. Heteroantigen, yang memiliki oleh banyak spesies. b. Xenoantigen, yang hanya dimiliki spesies tertentu. c. Alloantigen, yang spesifik untuk individu dalam suatu spesies. d. Antigen organ spesifik, yang hanya dimiliki organ tertentu. e. Autoantigen, yang memiliki alat tubuh sendiri. 2.10 Antibodi Imunoglobulin merupakan sustansi pertama yang di identifikasi sebagai molekul dalam serum yang mampu menetralkan sejumlah mikroorganisme penyebab infeksi. Molekul ini dibentuk oleh sel B dengan 2 bentuk yang berbeda, yaitu sebagai reseptor permukaan antigen dan sebagai antibody yang disekresikan ke cairan ektraseluler. Antibodi yang disekresikan dapat berfungsi sebagai adaptor yang mengikat antigen spesifik, sekaligus jembatan yang menghubungkan antigen dengan sel sistem imun atau mengaktivasi komplemen (Utari, dkk, 2016).
15
Menurut Ariffriani, dkk, (2016), antibody adalah bahan larut digolongkan dala protein yang disebut globulin dan sekarang dikenal sebagai imunoglobulin. Imunoglobulin dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen. Semua molekul imunoglobulin 4 rantai polipeptida dasar, yaitu: 1. Dua rantai polipeptida pendek yang identik. Rantai polipeptida ini dinamakan rantai L (light chain) atau rantai ringan. 2. Dua rantai polipeptida panjang yang identik, rantai polipeptida ini disebut rantai H (heavy chain) atau rantai berat. Pada pertengahan rantai H didapatkan ikatan yang disebut ikatan disulfida. Tiap rantai L diikat pada bagian tengah rantai H sebelahnya (Utari, dkk, 2016). Imunoglobulin (Ig) dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen. Antibody yang terbentuk spesifik ini akan mengikat antigen baru lainnya yang sejenis. Bila serum protein dipisahkan secara eletroforesis, maka imunoglobulin ditemukan terbanyak dalam fraksi gammaglobulin meskipun ada pula yang ditemukan pada fraksi alfa dan beta (Utari, dkk, 2016).
16
BAB III METODE PRAKTIKUM 3.1 Waktu dan Tempat Praktikum Praktikum ini dilakukan pada tanggal 8 April 2019 pada pukul 13.00 WITA, dan bertempat di lingkungan STIKES Bina MAndiri Gorontalo khususnya di laboratorium Fitokimia. 3.2 Tujuan Untuk mendeteksi ada tidaknya bakteri Treponema pallidum pada serum pasien dengan menggunakan metode imunocromatografi. 3.3 Metode Adapun metode yang digunakan dalam praktikum pemeriksaan sifilis yaitu metode imunocromatografi. 3.4 Prinsip Kerja Reaksi hemaglutinasi secara imunologis antara eritrosit avian yang dilapisi oleh antigen Treponema pallidum (Nichols strain) pada reagen dengan antibody spesifik terhadap Treponema pallidum pada sampel serum pasien. 3.5 Pra Analitik Persiapan diri
: menggunakan APD.
Persiapan pasien : dalam posisi duduk dan tenang. Persiapan sampel : menggunakan serum yang telah di centrifuge. 3.5.1 Alat a. Tabung tutup merah b. Rapied test sifilis
17
c. Centrifuge d. Holder e. Disposible f. Torniquet 3.5.2 Bahan a. Buffer sifilis b. Kapas alkohol dan kering 3.6 Analitik 1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. 2. Mengambil darah vena dengan menggunakan holder dan disposable kemudian dimasukkan darahnya pada tabung tutup merah. 3. Masukkan kedalam centrifuge dan diputar selama 15 menit. 4. Keluarkan dari dalam centrifuge, beserta rapiednya yang akan digunakan. 5. Teteskan sebanyak 40 mikron serum dan tambahkan 4 tetes buffer sifilis dan ditunggu selama 10 menit. 6. Baca hasilnya setelah 10 menit. 3.7 Pasca Analitik a) Reaktif (+)
: Jika terdapat garis merah pada line control dan test.
b) Non-reaktif (-) : Jika terdapat garis merah pada line control (C). c) Invalid
: Jika tidak terdapat garis merah pada line control dan test atau hanya terdapat garis pada line test.
18
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Berdasarkan pemeriksaan yang telah di lakukan di dapatkan hasil berdasarkan pada tabel berikut ini : Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan sifilis Metode Immunochromatografi (rapid test) Sampel
Metode
Hasil
Keerangan Terdapat 1 garis merah pada line control dengan menggunakan rapied test, serum yang diteteskan dan ditambahkan buffer sifilis
NonSerum
Imunocromatografi
pada bantalan rapied tidak reaktif bereaksi dengan partikel yang telah dilapisi dengan antibody sifilis, sehingga tidak menghasilkan 2 garis warna merah.
4.2 Pembahasan Sifilis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum yang menimbulkan infeksi. Angka infektifitas sifilis terkait dengan golongan umur seksual aktif dan bayi yang ditularkan oleh ibu melalui plasenta. Pemeriksaan dilakukan pada pasien sifilis untuk mendeteksi
19
antibody terhadap Treponema pallidum. Untuk
pengujian
biasanya
(Treponema
menggunakan
metode
TPHA
Treponemal pallidum
Hemaglutinnation Assay). Pengujian dengan TPHA memiliki spesifitas pada Treponema pallidum. Tetapi metode TPHA memiliki beberapa kekurangan yakni proses pengujian yang lama. Metode ini banyak digunakan pada rumah sakit
atau
klinik-klinik
yang
besar.
Biasanya
dipuskesmas
hanya
menggunakan metode immunolromatografi dengan rapid test. Pada praktikum kali ini kita menggunakan menggunakan metode immunokromatografi dengan rapid test, pada tahap pertama kita mengambil darah kemudian darah disentrifuge. Tahap kedua dipipet 40 mikron serum dan tambahkan 4 tetes buffer sifilis dan ditunggu selama 10 menit.Baca hasilnya setelah 10 menit. Pada praktikum ini didapatkan hasil negatif yang ditandai dengan 1 garis merah yang muncul disebabkan karena serum yang diteteskan sebanyak 40 mikron dan ditambahkan 4 tetes buffer sifilis pada bantalan rapied tidak bereaksi dengan partikel yang telah dilapisi dengan antibody sifilis, sehingga tidak menghasilkan 2 garis warna merah pada line control dan line test Artinya pada serum pasien tidak terdapat bakteri Treponema pallidum. Untuk mengurangi risiko infeksi sifilis hindari kontak intim dengan orang yang anda kenal terinfeksi,jika Anda tidak tahu apakah pasangan seks terinfeksi, gunakan kondom dalam setiap hubungan seksual.Yang harus menjadi catatan, sifilis adalah penyakit yang dapat disembuhkan dengan diagnosis dan pengobatan yang tepat. Namun, jika dirawat terlambat,
20
mungkin ada kerusakan permanen pada jantung dan otak bahkan setelah infeksi ini musnah pada tubuh.
21
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Sifilis adalah salah satu penyakit menular sexual, penyakit tersebut tersebut ditularkan melalui hubunagn seksual.penyakit tini bersifat laten atau dapat kambuh lagi sewaktu-waktu selain itu bisa bersifat akut dan kronis. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan sifilis meggunakan metode imunocromatografi memiliki hasil yang non-reaktif atau pasien tersebut tidak terinfeksi bakteri Treponema pallidum, hal ini menandakan bahwa antibodi dan antigen tidak bereaksi. 5.2 Saran Sebaiknya saat meneteskan sampel pada rapid test menggunakan pipet tetes dilakukan dengan posisi tegak lurus agar volume yang ada di rapid test sesuai volume yang diperlukan sehingga hasil yang didapatkan akurat
22
DAFTAR PUSTAKA Ariffriani., Denny. Y., Dwi. G. 2016. Hematologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Djuanda, Adhi., dkk. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi IV. Jakarta: Gramedia. Harahap., Marwali. 1990. Penyakit Menular Seksual. Jakarta: Gramedia. Naully, P. G.,Gina. K. 2018. Panduan Analisis Laboratorium Imunoserologi untuk D3 Teknologi Laboratorium Medis. Cimahi: Stikes Jenderal Achmad Yani. Indiarsa Arief L, Marsudi Hutomo,2010 Sifilis Sekunder dengan Manifestasi Klinis Kondilomata Lata (Secondary Syphilis with Condylomata Lata as a Clinical Manifestation). Fungsional Kesehatan Kulit dan Kelamin. Vol.22 N0.3 Jawetz, Melnick. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : EGC. Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Utari, D., Mudiharso., Nurindah, T. 2016. Imunoserologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
23
LAMPIRAN
24