A. Pendahuluan Hadis merupakan sumber ajaran kehidupan yang menduduki tingkat kedua setelah Alquran. Salah satu fungsi hadis terhadap Alquran adalah memperjelas sesuatu yang di dalam Alquran masih global atau samar. Dalam fungsi yang demikian, umat Islam telah mengakui dan menerimanya. Sebagai sebuah penjelas, maka hadis tidak boleh bertentangan dengan kandungan makna atau maksud dari Alquran. Alquran dan hadis adalah dua entitas yang saling menyempurnakan dan melengkapi.1 Hadis Nabi merupakan penafsiran Alquran dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Rasulullah yang merupakan perwujudan dari Alquran yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.2 Untuk memenuhi fungsi hadis yang demikian, maka kita mestinya dapat memahami hadis secara tepat sehingga hal tersebut dapat mempermudah kita untuk memahami Alquran dan ajaran Islam itu sendiri. Ada banyak perangkat keilmuan yang dapat menjadi alat untuk dapat menggali pemahaman terhadap hadis. Salah satu ilmu yang penting yakni ilmu asbāb al-wurūd hadis yang dalam fungsinya bagi hadis tidak berbeda dengan posisi ilmu asbāb al-nuzūl bagi Alquran. Oleh karena itu, pada makalah ini penulis menguraikan kajian tentang ilmu asbāb al-wurūd serta beberapa hal yang melingkupinya seperti definisi asbāb alwurūd, perbedaan dengan tarikh al-mutun, serta klasifikasi dan fungsi asbāb alwurūd. Selanjutnya, untuk memperkaya kajian, penulis juga menelaah dua buah kitab asbāb al-wurūd yakni kitab al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts karya al-Suyuthi dan al-Bayān wa al-Ta'rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīts al-Syarīf karya Ibn Hamzah alHusayni al-Hanafi al-Dimasyqi.
1
Barmawi Mukri, Kontekstualisasi Hadis Rasulullah, (Yogyakarta: Ideal, 2005), hlm. iii. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 18.
2
1
2
B. Mengenal Ilmu Asbāb al-Wurūd 1. Definisi dan Sejarah Perkembangan Dari segi bahasa, asbāb al-wurūd terdiri dari dua kata dalam bahasa arab yakni asbāb (ٌ )اَ ْسثَابdan al-wurūd (ٌ)اَ ْى ُ٘سُْٗ ُد. Kata asbāb (ٌ )اَ ْسثَابadalah jama‟ dari kata dasar sabab (ٌسثَة ٌَ ) berarti al-habl yakni tali, saluran.3 Maksudnya segala sesuatu yang menghubungkan suatu benda dengan benda lainnya, sebagaimana fungsi tali/saluran. Adapun kata al-wurūd dapat berarti sampai, muncul.4 Menurut ahli bahasa bahwa kata ini dapat juga berarti air yang memancar atau mengalir (٘سدٌٝٛ)اىَاءٌاىز. Secara istilah, ilmu asbāb al-wurūd dapat berarti, ْ ِٔ ٌََِلَجْ ي ُ ٌٝاى َذ ِذ ٌ ٌِٔ ْٞ ِْ ٌ َجا َءٌٌفْٛسٌ َٗاى َّض ٍَاُُ ٌاىَّ ِز ِ ْ ٌ َٗ َسدُٛ ْع َشفُ ٌتِ ٌِٔاى َّسثَةُ ٌاىَّ ِزٌٌِٝع ْي Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu.5 ْ ُ ْع َشفُ ٌتِ ٌِٔاَ ْسثَابُ ٌ ُٗسُْٗ ِدٌٌِٝع ْي ٌ ٌُٔ ُسٌ ٌَٗ ٍَُْا َسثَر ِ ْٝ ٌاى َذ ِذ Ilmu yang menerangkan sebab munculnya hadis dan munasabah-munasabahnya (latar belakang).6 Dalam pengertian yang lebih luas, al-Suyuthi merumuskan pengertian asbāb alwurūd dengan „sesuatu yang membatasi maksud/arti suatu hadis, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, muthlaq atau muqayyad,
atau dinasakh dan
seterusnya‟ atau „suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadis saat kemunculannya‟.7 Pengertian asbāb al-wurūd sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengertian asbāb al-nuzūl, bedanya hanya terletak pada objeknya. Jika asbāb al-nuzūl objeknya adalah Alquran maka asbāb al-wurūd objeknya adalah hadis. Secara sederhana, ilmu asbāb al-wurūd yakni ilmu yang menerangkan sebab munculnya hadis. Sebagian ulama berpendapat bahwa sebab-sebab, latar belakang dan sejarah munculnya suatu hadis seyogyanya sudah tercakup dalam pembahasan ilmu tarīkh, karena itu tidak perlu dijadikan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Akan tetapi karena ilmu ini mempunyai sifat-sifat yang khusus yang dikhawatirkan tidak seluruhnya 3
Al-Hāfizh Jalāl al-Dīn Al-Suyūthī, Asbāb Wurūd al-Hadīts aw al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd alHadīts, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1983), hlm. 10. 4 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 38. 5 Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, … hlm. 63. 6 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jilid II), (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 302-304. 7 Al-Suyūthī, al-Luma' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 11.
3
tercakup dalam ilmu tarīkh dan mempunyai manfaat yang besar sekali dalam ilmu hadis, maka kebanyakan ahli hadis sepakat untuk menjadikannya sebagai suatu ilmu sendiri, yakni sebagai cabang ilmu hadis dari segi matan.8 Adapun terkait sejarah perkembangan ilmu ini tentu sulit melacak kemunculan pertamanya. Namun demikian, asbāb al-wurūd yang mayoritas berasal dari riwayat tentu telah ada sejak masa Nabi karena asbāb al-wurūd itu sendiri adalah peristiwa yang mengitari munculnya suatu hadis. Meskipun demikian, di masa Nabi saw. para sahabat tentu tidak menyadari akan pentingnya asbāb al-wurūd karena hadis-hadis Nabi tidaklah seperti Alquran. Jika Alquran merupakan firman Allah yang terbatas waktu turun dan jumlahnya, maka tidak demikian dengan hadis. Hadis adalah segala hal, baik perkataan, perbuatan juga taqrir Nabi saw. yang muncul di masa hidup beliau setiap hari dan setiap waktu. Oleh karena itu, ada banyak sekali hadis yang asbāb al-wurūd nya tidak diriwayatkan dan asumsi kita adalah karena para sahabat merasa penjelasan tentang asbāb al-wurūd memang tidak urgen pada saat itu. Misalnya saja, hadis-hadis yang memuat tentang isi khutbah atau ceramah yang disampaikan Nabi saw. pada hari-hari tertentu. para sahabat menganggap bahwa kegiatan itu adalah kegiatan rutin yang hanya berupa penyampaian ajaran agama dari Nabi saw. sehingga tidak perlu untuk menguraikan secara detail situasi dan kondisi ketika Nabi saw. menyampaikan khutbahnya. Demikian pula pada sekian banyak hadis Nabi saw. yang lain. Meskipun suatu hadis mungkin memiliki makna tertentu sesuai dengan situasi yang mengitarinya, namun tanpa perlu dicantumkan riwayat asbāb al-wurūdnya, para sahabat sebagai saksi hadis tentu sudah dapat memahami dan mengetahui kenapa hadis itu muncul dan bagaimana pemahamannya. Namun, hal ini kemudian menjadi berbeda ketika Nabi saw. wafat dan para sahabat yang menjadi saksi juga tidak ada. Dalam perkembangannya, para ulama menganggap bahwa asbāb al-wurūd menjadi salah satu aspek penting dalam memahami maksud dan makna yang dikehendaki hadis. Karena itu, saat ini ilmu asbāb al-wurūd telah menjadi bagian dari „ulūm al-hadīts. Penyebutan istilah ilmu asbāb al-wurūd ini nampaknya juga tidak terlepas dari istilah asbāb al-nuzūl dalam kajian Alquran. Jika Alquran
8
Fatchur Rahman, Iktisar Musthalahul Hadits, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1987), hlm. 286.
4
seringkali disebutkan dengan term „turun‟ maka hadis disebutkan dengan term „muncul‟. Meskipun demikian, belum ditemukan keterangan pasti terkait istilah bagi ilmu ini juga kemunculan ilmu ini pertama kalinya dalam kajian „ulūm al-hadīts. Penulis hanya menemukan dalam beberapa sumber bahwa perintis ilmu ini yakni Abu Hamid bin Kaznah al-Jubary9, kemudian disusul oleh Abu Hafsh Umar bin Muhammad bin Raja‟ al-Ukbury/Al-Akbari10 (380-458 H) dengan kitab asbāb alhadīts. Selanjutnya imam al-Suyuthi (849-911 H) juga melahirkan kitab Asbāb Wurūd al-Hadīts atau al-Luma' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts. Lalu dilanjutkan oleh Ibnu Hamzah al-Husainy al-Dimasyqi (1054-1120 H) yang mengarang kitab asbāb al-wurūd berjudul al-Bayān wa al-Ta‟rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīts al-Syarīf. Kitabkitab yang telah disebutkan diatas secara umum merupakan kitab yang memuat riwayat-riwayat asbāb al-wurūd hadis. Motif utama penghimpunan asbāb al-wurūd hadis tersebut terutama ketika para ulama mulai giat memahami syariat dan dasar hukum agama. Seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksnya masalah umat Islam, kebutuhan akan memahami hadis semakin besar. Karena itu, sebagian ulama memandang bahwa memahami hadis dengan asbāb al-wurūd secara sempit yang berasal dari riwayat (asbāb al-wurūd mikro) tidaklah cukup. Hal inilah yang memunculkan konsep asbāb al-wurūd makro yakni dengan mempertimbangkan berbagai aspek di luar asbāb al-wurūd dari riwayat seperti aspek sosiologis, antropologis, psikologis, dan historis. Konsep ini pada awalnya digagas oleh tokoh kontemporer bernama Fazlur Rahman yang menggabungkan antara asbāb al-wurūd mikro dan asbāb al-wurūd makro sebagai bahan pertimbangan untuk menemukan ideal moral dari suatu hadis.
9
Disebutkan bahwa dalam naskah lfiyatus-Suyuthy, syarah Muhammad Mahfudh At-Turmusy, tertulis „Al-Jubany‟, tetapi dalam Alfiyatus-Suyuthi, syarah Ahmad Muhammad Syakir tertulis „AlJubary‟ sebagaimana dikutip dari Fatchur Rahman, Iktisar Musthalahul Hadits,... hlm. 287. Dalam kitab Al-Suyūthī disebutkan nama lengkap beliau adalah Abu Sa‟ad Abdul Jalil bin Muhammad Abdul Wahid bin Qatadah al-Jubari al-Hafizh. Namanya dinisbahkan pada desa Jubarah, suatu daerah yang termasuk wilayah Isfahan. Lihat Al-Hāfizh Jalāl al-Dīn Al-Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah Hadits: Asbab Wurud al-Hadits, Thohiruddin Lubis (ed.), (Bandung: Pustaka, 1985), hlm 310. 10 Beliau adalah seorang guru Abu Ya‟la Muhammad bin al-Husain al-Farra al-Hanbaly dan salah seorang murid dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.
5
2. Perbedaannya dengan Ilmu Tarīkh al-Mutun Dalam definisi yang sederhana, ilmu tarīikh al-mutun menerangkan sejarah 11 ْ ُخٌ ُٗسُْٗ ِدْٝ َاس munculnya hadis Nabi (ٌْف ِ ٝسٌاى َّش ِش ِ ْٝ ٌاى َذذ ِ ُع َْشفُ ٌتِ ٌِٔذٌٌٝ) ِع ْي. Secara sepintas, ilmu ini
dapat dianggap mirip dengan ilmu asbāb al-wurūd, namun sebenarnya ada titik penekanan kajian yang berbeda dari kedua ilmu tersebut. Jika asbāb al-wurūd menekankan pada latar belakang dan sebab lahirnya suatu hadis, dengan pertanyaan kenapa Nabi bersabda atau berbuat demikian, maka pertanyaan substantif dalam kajian tarīkh al-mutun adalah kapan atau di waktu apa hadis itu diucapkan atau perbuatan itu dilakukan oleh Nabi saw. Ilmu tarīkh al-mutun sangat berperan dan berhubungan dengan ilmu nāsikh wa mansūkh. Hal ini karena untuk menentukan nāsikh dan mansūkhnya hadis harus diketahui waktu munculnya hadis tersebut sehingga yang muncul belakangan dapat menghapus hukum dari suatu hadis yang muncul lebih dahulu. Setelah itu baru dapat diamalkan hadis yang nāsikh sementara yang mansūkh ditinggalkan.12 Meskipun demikian, ilmu tarīkh al-mutun juga dapat melengkapi ilmu asbāb al-wurūd dalam membantu untuk memahami makna yang terkandung dalam hadis secara sempurna. Dalam kajian tarikh al-mutun, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengetahui sejarah kemunculan sebuah teks hadits. Pertama, pendataan teksteks hadits shahih atau matan-matan hadits yang benar-benar bersumber dari Nabi. Kedua, penelitian sejarah, dalam hal ini selalu bersinggungan dengan disiplin asbāb al-wurūd sebuah hadits. Hal ini disebabkan adanya keterkaitan antara unsur-unsur yang memiliki andil dalam kelahiran sebuah matan hadits, seperti latar belakang, waktu, tempat, serta sahabat yang menerima matan tersebut. Salah satu cara untuk mengetahui tarīkh al-mutun yakni dengan mengamati redaksi hadis yang menunjukkan suatu waktu/masa. Sebagai contoh adanya redaksi „‟اَ َّٗ ُه ٌ ٍَا ٌ َماَُ ٌ َم َزا13 ْ ‟اَ ِخ ُش15 permulaan yang terjadi adalah begini, „ٌ‟قَ ْث ُو14 sebelum, „ٌ ‟تَ ْع ُذsesudah, „ٌِِ ٌْٝاِلَ ٍْ َش yang terakhir dari dua urusan, „ٌ ‟تِ َشْٖشdengan sebulan, dan isyarat redaksi lainnya.16 11
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok Ilmu Dirayah Hadits, … hlm. 302. Fatchur Rahman, Iktisar Musthalahul Hadits,… hlm. 290. 13 ْ ِْ ٍِ ٌٌَ َّ ٌِٔ َٗ َسيْٞ ٌََّللاٌُ َعيٚ َّ ٌَّصي َّ بٌتِ ٌِٔ َسسُ٘ه )ٌٙاىَّْْ٘ ًٌِ(سٗآٌاىثخاسَِٜاٌاىصَّاىِ َذحٌُفٌٝاىشُّ ْؤِٜ ٌْاى َ٘د َ ٌَُِّللا َ أَ َّٗهٌُ ٍَاٌتُ ِذ 14 ْ ٌْاىقِ ْثيَحَ ٌأَْٗ ٌَّ ْسرَ ْقثِيََٖاٌتِفُشُٗ ِجَْاٌئِ َراٌأَ ْٕ َش ْق ْ ِٔ ٌ َٗ َسيَّ ٌَ ٌقَ ْذ ٌََّٖاَّاٌع َِْ ٌأَ ُْ ٌَّ ْسرَ ْذتِ َشْٞ ٌََّللاٌُ َعيٚ َّ َّصي َّ ٌ َماَُ ٌ َسسُ٘ ُه ٌ ِٔ ِرٌُُٔقٌَ ْث َوٌٌ ٍَْ٘ ذْٝ ََاٌاى ََا َء ٌقَا َه ٌشُ ٌَّ ٌ َسأ َ ٌ ٌَِّللا ْ َثُ٘هٌُ ٍُ ْسرَ ْقثِ َوًٌٝتِ َعا )ٌاىقِ ْثيَ ِحٌ(سٗآٌادَذ 15 ْ ٌِٔ َٗ َسيَّ ٌٌَذَشْ كْٞ ٌََّللاٌُ َعيٚ َّ َّصي َّ ٌِِ ٍِ ٌِْ َسسُ٘ ِهْٝ ٌاِلَ ٍْ َش ْ َماَُ ٌآ ِخ َش ْ َّ َشٌُٞاى ُ٘ضُ٘ ِءٌ ٍِ ََّاٌ َغ )ٌداٗدٜخٌاىَّْاسٌُ(سٗآٌات َ ٌٌَِّللا 16 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok Ilmu Dirayah Hadits … hlm. 302-304. 12
6
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan perbedaan antara ilmu asbāb alwurūd dan ilmu tarīikh al-mutun yakni pada titik penekanan kajiannya antara mengetahui sebab kemunculan hadis Nabi (mengapa) dan waktu kemunculan hadis Nabi (kapan). Meskipun demikian, kedua ilmu ini dapat menjadi alat bantu untuk dapat memahami maksud dan makna dari sebuah hadis. 3. Cara Mengetahui Asbāb al-Wurūd Hadis Senada dengan Alquran yakni tidak semua ayat memiliki asbāb al-nuzūl, maka demikian pula dengan hadis. Ada sebagian hadis yang dikemukakan oleh Nabi didahului oleh sebab tertentu, sebagian lagi tanpa didahului oleh sebab tertentu. Oleh karenanya, tidak semua hadis Nabi memiliki asbāb al-wurūd, sehingga tidak semua hadis Nabi dapat dipahami melalui pendekatan ilmu asbāb wurūd al-hadīts ini. Meski demikian, saat ini gagasan asbāb al-wurūd makro dapat menjadi alternatif untuk memahami hadis jika memang tidak ditemukan asbāb al-wurūd mikro. Bagi hadis-hadis yang memiliki asbāb al-wurūd, maka jalan untuk mengetahui sebab kemunculannya hanya dengan jalan riwayat saja, karena dalam hal ini tidak ada jalan bagi logika. Artinya, logika tidak bisa mengira-ngira sebab munculnya hadis karena yang mengetahui hal tersebut hanyalah para sahabat yang hidup di masa Nabi saw. Kesaksian para sahabat ini kemudian dikemukakan dalam riwayat-riwayat yang tersebar di berbagai kitab. Menurut al-Suyūthī, asbāb al-wurūd itu dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yakni:17 a. Berupa ayat Alquran Kategori ini bisa disebabkan turunnya ayat Alquran yang memiliki bentuk umum, namun yang dikehendaki oleh ayat itu adalah makna khusus. guna menjelaskan ayat ini, Nabi saw. menjelaskan kepada para sahabat misalnya pada firman Allah, 18
ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ
17
Al-Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah Hadits, … hlm. 16-18 Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-An‟am: 82) 18
7
Pada ayat tersebut terdapat kata zhulmun (ٌٌ )ظُ ْيyang dipahami oleh sebagian sahabat dengan berbuat aniaya atau melanggar batas ajaran agama. Karena itu, mereka kemudian datang kepada Nabi dan beliau lantas menjelaskan bahwa yang dimaksud zhulmun adalah syirik sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Luqman: 13 (Sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar).19 b. Berupa hadis Hal ini dapat ditemukan dalam ucapan Nabi saw yang sulit dipahami oleh sebagian sahabat, lalu beliau menjelaskan melalui hadis untuk menjawab kemusykilan tersebut. Selain itu, bisa juga hadis yang muncul karena pertanyaan dari Nabi kepada sahabat, lalu Nabi juga memberi penjelasan/jawaban terhadap pertanyaan beliau tersebut. Dalam kitab asbāb al-wurūd akan banyak kita temukan sebab hadis dengan bentuk berupa hadis ini. c. Berupa perkara yang berkaitan dengan para pendengar di kalangan sahabat Bentuk sebab ketiga ini muncul karena adanya suatu persoalan yang berkenaan dengan penjelasan bagi para sahabat yang mendengarkan pada saat itu. Misalnya hadis tentang larangan tergesa-gesa menuju tempat shalat yang muncul karena perilaku beberapa sahabat kala itu.20 َّ ٌع ٌَِْ َع ْث ِذَٚٞ َْذٌَِْٝ ثَاُُ ٌعْٞ ٌٌْقَا َهٌ َد َّذشََْاٌ َشَٞد َّذشََْاٌأَتٌُُّ٘ َع ٌِّٜ ٌِ ٍَ َعٌاىَّْثِّٜصي ٌَ ٌِٔقَاٌِٞقَرَا َدجٌَع ٌَِْأَتٌَِّٜللاٌِ ْت ٌِِأَت َ ٌُّ ُِ َْْ ََاٌَّذْٞ َه ت َّ َّصٌي ٌٌاىص َََّل ِج ٌقَا َه ٌفَ ََلٌذَ ْف َعيُ٘اَٚاه ٌ ٍَاٌشَأُّْ ُن ٌْ ٌقَاىُ٘اٌا ْسرَ ْع َج ْيَْاٌئِى َ ٌَقَّٚصي َ ٌٌس َجاه ٌفَيَ ََّا َ ِ َ ِٔ ٌ َٗ َسيَّ ٌَ ٌئِ ْر ٌ َس َِ َع ٌ َجيَثَحْٞ ٌََّللاٌُ َعيٚ 21 صيُّ٘اٌ َٗ ٍَاٌفَاذَ ٌُن ٌٌْفَأَذِ َُّ٘ا َ ََْ ِحٌفَ ََاٌأَ ْد َس ْمرُ ٌٌْفٞ ُن ٌٌْتِاى َّس ِنْٞ َرُ ٌٌْاىص َََّلجٌَفَ َعيْٞ َئِ َراٌأَذ Dari Abu Qatadah, dari ayahnya, dia berkata: “Ketika kami sedang shalat bersama Nabi saw., tiba-tiba beliau mendengar keributan orang-orang. Maka setelah selesai shalat, Nabi memanggil mereka seraya bertanya: “Mengapa kalian tadi ribut-ribut?” Mereka menjawab: “Kami terburu-buru ingin menghadiri shalat ya Rasulullah.” Maka Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian melakukan seerti itu. Apabila kalian mau menghadiri shalat, maka
19
Riwayat ini dikemukakan dalam beberapa kitab hadis seperti Shahīh al-Bukhārī dalam kitāb ahādīts al-anbiyā, Shahīh Muslim dalam kitāb al-īmān. Lihat Al-Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah Hadits, … hlm. 17. 20 Hadis no. 13 pada Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 97-98. 21 Abū „Abdullāh Muhammad ibn Ismā‟īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah ibn Barzibah al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhāīî, Juz I, (Beirut: Dār al-Fikr, 1981), hlm. 156.
8
datanglah dengan tenang, tidak perlu terburu-buru. Apa yang kalian dapatkan bersama imam, maka shalatlah kalian bersamanya dan sempurnakanlah rakaat yang tertinggal.” (HR. Al-Bukhari) Bila ditinjau dari kaitan dan terpisahnya hadis satu sama lain, maka asbāb wurūd al-hadīts ini dapat dibagi dalam dua jenis. Hal inilah yang diungkapkan oleh alBulqiny seperti yang dikutip oleh al-Suyuthi. Kedua jenis asbāb al-wurūd itu yakni:22 a. Sebab munculnya hadis yang tercantum dalam hadis itu sendiri yakni menjadi satu dengan hadis yang disampaikan Nabi. Bila asbāb wurūd al-hadīts ini bersambung dengan hadisnya, maka ia dinukil dari hadis itu. Contoh dari hadis dan sebab hadis jenis ini sangat banyak seperti hadis tentang Islam, Iman, Ihsan, dan hadis tentang air dua qullah, serta hadis tentang larangan shalat tergesa-gesa seperti yang telah disebutkan. Berikut ini contoh lain hadis jenis ini yakni: ْ ٌتُِْ ٌ ِٕ ََلهٚ َسٞأَ ْخثَ َشَّا ٌ ِع ٌِِْ َلً ٌع َِْ ٌ ِع ْن ِش ٍَحَ ٌت ٌ َّ َحُ ٌتُِْ ٌ َسٝٗا ِ ُِْ ٌقَا َه ٌ َد َّذشََْا ٌ ٍُ َذ ََّ ُذ ٌتُّٜ ص ِ َْ ٌاى ِذ ِ َش ٌقَا َه ٌ َد َّذشََْاٌ ٍُ َعَْٞ ٌد ْ ٌَأُ ٍَا ٍَحٌِٜ َع ٌََّاسٌع َِْ ٌأَتَِٜع ََّاس ٌع ٌَِْ َش َّذاد ٌأَت َّ َّصي ٌ َْدٌَٝٗ َسيَّ ٌٌَفَقَا َه ٌأَ َسأ ٌَ ٌقَاِّٜ ٌِاىثَا ِٕي َ ٌ ِّٜ ٌِاىَّْثَٚه َجا َءٌ َسجُوٌئِى َ ِٔ ْٞ ٌََّللاٌُ َعيٚ َّ َّصي َّ ٌاِلَجْ َش ٌ َٗاى ِّز ْم َش ٌ ٍَاىٌَُٔفَقَا َه ٌ َسسُ٘ ُه ْ َُ ْيرَ َِسٌَٝسج اَُلٌغَضَ ا َ َءٌٌىَ ٌٌُٔفَأَعَا َدَٕاٌشَ ََلَٜ ٌز ٌ ٍَشَّاخ ْ ِٔ ٌ َٗ َسيَّ ٌَ ٌََل ٌشْٞ ٌََّللاٌُ َعيٚ َ ٌٌَِّللا َّ َُّ ِ َء ٌىٌَُٔشُ ٌَّ ٌقَا َه ٌئَٜ َّ ٌَّصي َّ ٌُسسُ٘ ُه ٌٌاى َع ََ ِو ٌئِ ََّل ٌ ٍَاٌ َماَُ ٌىَٔ ٌُ َخاىِصاا ٌْ ِْ ٍِ ٌ َ ْقثَ ُوٌٝ ٌَّللاَ ٌََل ْ ْ ِٔ ٌ َٗ َسيَّ ٌَ ٌََل ٌشٌََّٞللاُ ٌ َعيٚ َ ٌَِّللا َ ََٔقُ٘ ُه ٌىٝ ٌ23)ٌٚتِ ٌِٔ َٗجْ ُٖ ٌُٔ (سٗآٌاىْسائَٜ َٗا ْترُ ِغ Dari Abu Umamah Al-Bahily, dia berkata: Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya: “Bagaimana jika ada seorang yang berjihad untuk mencari pahala dan ketenaran, adakah ia mendapat pahala?” Jawab beliau: “Ia tidak akan mendapat pahala”. Maka orang itu mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali, dan beliau tetap menjawab: “Ia tidak akan mendapat pahala. Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal seseorang, melainkan yang ikhlas hanya untuk-Nya dan semata-mata hanya mengharap ridha-Nya.”24
22
Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 20. Abū „Abdurrahmān Ahmad bin Syu‟aib al-Nasā`ī, Sunan Al-Nasā`ī, (Beirut: Dār Ihyā al-Turāts al-Arabī, tt), hlm. 528.ٌ 24 Hadis ini juga dimasukkan oleh Ibnu Hamzah al-Dimasyqi dalam kitab beliau yakni hadis no 492. Lihat al-Syarīf Ibrāhīm ibn Muhammad ibn Kamāl al-Dīn aw Ibn Hamzah al-Husaynī al-Hanafī al-Dimasyqī, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīts al-Syarīf, Juz 1, (Beirut: al-Maktabah al-„Ilmiyyah, 1982), hlm. 416. 23
9
b. Sebab munculnya hadis yang tidak tercantum dalam hadis itu akan tetapi dijelaskan pada hadis lain Artinya asbāb wurūd al-hadītsnya terpisah dari hadis itu, maka ia dinukil melalui jalan/riwayat yang lain. Jenis ini juga banyak karena terkadang suatu hadis pada satu riwayat diungkapkan dengan lafaz yang pendek. Untuk mengetahui penyebab munculnya hadis tersebut dapat melalui bantuan dari hadis dari periwayat lain. Contohnya hadis tentang niat25 atau hadis tentang jaminan (al-dhammān)26. Contohnya yakni: ْ َْ َساٌَُ ٌ َد َّذشْٞ ٌصاىِ ُخ ٌتُِْ ٌ َم ٌَُاٌاِلَ ْع َش ُض ٌ َع ْثذ َ ََاَُ ٌقَا َهْٞ َاه ٌ َد َّذشََْاٌأَتٌُ٘تَ ْنش ٌع َِْ ٌ ُسي َ َ ََاَُ ٌ ْت ِِ ٌتِ ََله ٌقْٞ َُّ٘بُ ٌتُِْ ٌ ُسيََٝد َّذشََْاٌأ َّ ٌَّللاِ ٌ ْت ِِ ٌ ُع ََ َش ٌع َِْ ٌ َع ْث ِذ َّ ٌ َع ْث ِذٌَََّٚٗافِع ٌ ٍَْ٘ ى ٌُ٘ه َ َِْ اٌد َّذشَا ٌُٓ ع َ ََ ٌَََُّّّٖللاٌِ ْت ِِ ٌ ُع ََ َش ٌأ َ َْشجٌٕٝ َُشِٜ ُشٌُٓع َِْ ٌأَتْٞ اىشَّدْ ََ ِِ ٌ َٗ َغ ِ ٌسس 27
ْ ٌٗ َسيَّ ٌٌَأٌََُّّٔقَا َهٌئِ َراٌا ْشرَ َّذ َّ َّصي َّ ٌَ ََّْْٖخٌ َج َ ٌَِّللا ِ َُّ ِ ٌاى َذشُّ ٌفَأَت ِْشدُٗاٌع ٌَِْاىص َََّل ِجٌفَا َ ِٔ ْٞ ٌََّللاٌُ َعيٚ ِ ٌَٞش َّذجٌَ ْاى َذشٌِّ ٍِ ٌِْف
Dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “Apabila hari sangat panas, maka laksanakanlah shalat bila telah dingin, sebab panas demikian hebat itu merupakan tiupan udara jahannam.” (HR. Al-Bukhari) Penyebab hadis ini dijelaskan oleh hadis lain yang diriwayatkan oleh perawi yang berbeda berikut ini. ٌٌ٘أتٌْٜدذش:ٌٌقاه،ٌٌُدذشْاٌشعث ٌح:ٌٌقاه،ٌٜاىسَّٞذٌاىطٌٞدذشْاٌأتٌ٘اى٘ى:ٌٌقاه،ٌٜ ٌ ٌِ ٌََ ج ذ ٌُ بٌاى ٌِ ذٌثَا ٌُ وٌتٌٌُِاى ٌُ أخثشّاٌاىفض ٌٌَّٔٞللاٌعيٚه ٌَّللاٌصي ٌِ ٌْ٘س ٌُ ٌ ٌُمٌَّْاٌ ٌٍَ ٌَع ٌ ٌَس:ٌق٘هٌٝ،ٌٌئّٔ ٌسَعٌأتاٌرس:ٌق٘هٌٝ،ٌذٌتٌِٕٗةٌٝسَعدٌص:ٌٌقاه،ٌِاىذس ٌُ ٌْ ٌٌَشُ ٌٌٌَّأَ ٌَسا ٌَدٌٌأ،ٌ»ٌ«ٌٌأٌَْت ٌِش ٌْد:ٌٌٌٔٗسيٌَّٞللاٌعيٌٚصيٌٜفقاهٌىٌٔاىْث،ٌاىظ ٌْٖ ٌِش ٌُّ ُِ ٌَإ ٌِّرٌٌٌَُتٌٌُٝ ٌْ ٌٌَفٌَأ َ ٌَسا ٌَدٌ ٌْاى ٌَُ ٌَإ ٌِّرٌٌٌُُأ،ٌٌسٌفَش ٌَ ٌٜ ٌْ ِٗسيٌٌٌف َلٌشا ٌٌَ ٌٌََّْٖ ج ٌَ ٌٌخ ٌِ ٌٌٌَِْٞف ٌْ ٌٍِ ٌذ ٌِّش ٌَ ش ٌَّذجٌٌَ ٌْاى ٌِ ٌُ ٌَّ ٌِ«ٌٌئ:ٌه ٌَ ٌ ٌٌَٗقَا،ٌه ٌِ ٌُْ٘ ٌَءٌاىرٌٌُّيٜ ٌْ ٌََْاٌٌفٌٌَْٝ ٌَسٌأٌَّٚدٌر،ٌا ٌَ ٌ َ ٌٌَِأٌٌٌَْٗش ٌِ ٌٌَْٞ«ٌٌأٌَْت ٌِش ٌْد ٌ»ٌ ٌٍَ ٌَّشٌذ:ٌٌُٔ َهٌٌى ٌَ ٌٌفٌَقَا،ٌٌَُُ ٌَإ ٌِّرٌٝ )ُخٌاتٌِدثاٞ (صذ28 »ٌَلٌِج ٌَ ص ٌَّ ذشٌٌٌُّفٌَأ ٌَْت ٌِش ٌُدٌْٗاٌٌتِاى ٌَ شٌرَ ٌَّذٌ ٌْاى ٌْ ٌٌفٌَا ِ ٌَراٌا، Dari Abu Dzar, katanya kami bersama Nabi saw. dalam suatu perjalanan. Kemudian ada seseorang yang minta izin untuk mengumandangkan azan zuhur. Beliau menjawab, “Biar dingin dulu”. Beberapa saat kemudian, ia minta izin kembali kepada beliau, dan Rasul menjawab: “Biar dingin dulu”. Sampai akhirnya kami melihat bayangan yang sudah condong. Maka saat itu Rasul berkata: “Sesungguhnya panas yang demikian hebat ini adalah hembusan api
25
Hadis dan sebab hadisnya dimuat dalam kitab al-Suyūthī pada hadis no 1. Lihat Al-Suyūthī, alLumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 72-73. 26 Hadis dan sebab hadisnya dimuat dalam kitab al-Suyūthī pada hadis no 43. Lihat Al-Suyūthī, alLumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 176-177. 27 Al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhāīî, Juz I, ... hlm. 135. 28 Al-Amīr Alā` al-Dīn „Alīy ibn Balbān al-Fārisī, Shahīh Ibn Hibbān bi Tartīb Ibn Balbān, (Beirut: al-Muassasah al-Risālah, 1997), hlm. 376.
10
jahannam. Maka ketika hari dalam keadaan panas seperti sekarang ini, lakukanlah shalat ketika sudah dingin.”29 (Shahih Ibnu Hibban) 4. Fungsi Asbāb al-Wurūd Kedudukan asbāb al-wurūd bagi hadis sebenarnya sama dengan posisi asbāb alnuzūl bagi Alquran. Ilmu asbāb al-wurūd merupakan suatu jalan yang penting untuk memahami makna yang terkandung dalam matan hadis secara kontekstual seperti halnya ilmu asbāb al-nuzūl bagi pemahaman Alquran. Berikut ini beberapa fungsi asbāb al-wurūd bagi hadis:30 1. Untuk mengetahui konteks sosial dan budaya atau setting sosial ketika hadis itu muncul. Hal ini sangat diperlukan sebab dengan ini kita akan mampu memahami hadis Nabi secara lebih tepat. 2. Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syariat (hukum). Bagi manusia awam, sebagian ketetapan syariat dianggap tidak memiliki makna, hal ini dikarenakan pengetahuan mereka tidak sampai kepada hal itu. Dengan mengetahui asbāb al-wurūd, maka kita dapat menyingkap makna dan hikmah dari adanya ketetapan syariat dalam hadis. 3. Untuk menjelaskan posisi atau fungsi Nabi saw. ketika menyampaikan hadis apakah sebagai Nabi (penyampai risalah), kepala negara, pemimpin perang, kepala rumah tangga atau sebagai manusia biasa.31 4. Untuk mentakhshishkan hukum yang terkandung, karena terkadang lafaz hadis disebutkan secara umum, sehingga untuk mengambil kandungan isinya memerlukan dalil yang mentakhsiskannya (takhshish al-‟ am)32
29
Hadis dan penyebab hadis ini juga dimasukkan oleh Al-Suyūthī dalam kitabnya pada hadis no 18. Lihat Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 105-106. 30 Al-Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah Hadits, … hlm. 7-16. Lihat juga Fatchur Rahman, Iktisar Musthalahul Hadits, … hlm. 287. 31 Fungsi ini dapat dilihat pada asbāb al-wurūd dari hadis berikut ini, “ٌٌْ َا ُمّْٞ ”أَ ّْرُ ٌْ ٌأَ ْعيَ ٌُ ٌتِأ َ ٍْ ِش ٌ ُد. Asbāb alwurūd hadis ini yakni ketika Nabi saw. memberikan saran mengenai cara penyerbukan kurma pada petani di Madinah. Karena menganggap posisi beliau sebagai Nabi saw., maka petani tersebut mengikuti saran Nabi saw. Namun, hasil penyerbukan tersebut malah gagal dan petani tersebut lantas melaporkannya kepada Nabi saw. mendengar itu, Nabi saw. kemudian bersabda dengan hadis tersebut. Dengan mengetahui asbāb al-wurūd hadis ini, kita dapat menyimpulkan bahwa saran Nabi saw. kepada petani tersebut adalah saran sebagai seorang manusia biasa, karena beliau memang tidak memiliki kemampuan dalam dunia pertanian. Lihat Abū Husain Muslim ibn al-Hajjāj ibn al-Qausyaz al-Qusyairī an-Naisābūrī, Shahīh Muslim, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1991), hlm. 1836.
11
5. Untuk membatasi arti yang mutlak dari suatu hadis (taqyid al-muthlaq).33 6. Untuk merinci ketentuan yang masih bersifat global (tafshil al-mujmal). 7. Untuk menentukan dan menyelesaikan persoalan nāsikh dan mansūkh. Ilmu asbāb al-wurūd dapat membantu untuk mengetahui mana hadis yang datang lebih
dahulu
dari
hadis
yang
bertentangan.
Sehingga
kita
dapat
mengkompromikan atau menghapus yang datang lebih dahulu. 8. Untuk menerangkan „illat (alasan) suatu hukum. 9. Untuk menjelaskan kemusykilan hadis. Dari sejumlah poin di atas, kita dapat menyimpulkan fungsi umum dari mengetahui sebab munculnya suatu hadis yakni agar dapat mendukung dalam pengkajian makna hadis yang dikehendaki. Pengetahuan akan sebab munculnya hadis dapat menjadi sarana untuk mengetahui dan memahami maksud dari akibat yang ditimbulkannya (dalam hal ini hadis). Selain itu, kita dapat mengetahui perubahan hukum, karena hukum dapat berubah karena perubahan atau perbedaan sebab, situasi, dan „illat.34 Hal ini juga dibenarkan Yusuf al-Qardhawi yang menyatakan bahwa di antara cara yang baik untuk memahami hadis Nabi saw. ialah dengan memperhatikan sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis, atau kaitannya dengan „illah (alasan/sebab) tertentu, yang dinyatakan dalam hadis atau disimpulkan darinya, atau dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya. Karena itu, menurut haruslah dilakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan yang umum, yang sementara dan yang abadi, serta antara yang partikular dan yang universal. Dengan memperhatikan konteks, kondisi lingkungan, serta asbāb al-wurūd, maka tentu akan lebih mudah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih tepat.35
32
Misalnya hadis tentang pahala shalat orang yang duduk (HR. Ahmad). Dari asbāb al-wurūd dapat dipahami bahwa shalat yang dimaksud adalah shalat sunnah. Lihat Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 14 33 Misalnya hadis tentang sunnah. Kata sunnah masih bersifat mutlak mencakup perbuatan yang memiliki landasan hukum maupun yang tidak memiliki landasan hukum. Lalu, dari asbāb al-wurūd al-Suyūthī menyimpulkan bahwa sunnah dalam hadis tersebut adalah perbuatan yang ada nash nya dalam Islam. Lihat Al-Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah Hadis, ... hlm. 8. 34 Nuruddin „Itr, „Ulum al-Hadits 2, terj. Mujiyo, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 108. Lihat juga Muh Zuhri, Telaah Matan Hadis, (Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm. 62. 35 Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Karisma, 1999), hlm. 131-133.
12
C. Telaah Kitab Asbāb al-Wurūd 1. Al-Luma' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts Penulis kitab ini adalah al-Hafizh Abdurrahman ibn al-Kamal Abi Bakr bin Muhammad bin Sabiq al-Din ibn al-Fakhr Utsman bin Nazhir al-Din al-Hamam alHudhairi al-Suyuthi. Beliau diberi gelar Jalaluddin, serta dipanggil dengan nama Abu al-Fadhl. Imam al-Suyuthi dilahirkan di wilayah Asyuth pada malam ahad bulan Rajab, 849 H dan wafat pada tahun 911 H. Beliau dikenal sebagai orang yang begitu dalam pengetahuannya dalam tujuh disiplin ilmu, yakni Tafsir, hadis, Fiqih, Nahwu, Ma‟ani, Bayan, dan Badi‟. Karyanya berjumlah sekitar 600 kitab dari berbagai bidang ilmu.36 Kitab al-luma' fī asbāb al-wurūd al-hadīts adalah salah satu karya fenomenal beliau dalam bidang hadis terutama mengenai ilmu asbāb al-wurūd. Adapun latar belakang penulisan kitab ini –sejauh pembacaan penulis secara umum berdasar atas keinginan beliau untuk turut andil dalam kajian asbāb al-wurūd. Meskipun beliau mengakui bahwa berdasarkan catatan beberapa ulama dalam kitab mereka –seperti Syarh al-Nukhbah karya Ibn Hajar- telah ada karya tentang asbāb al-wurūd sebelum beliau, namun bentuk fisik dari karya tersebut tidak ditemukan. Karena itu, alSuyuthi merasa perlu untuk menghimpun hadis-hadis yang memiliki asbāb al-wurūd hadis.37 Pada terbitan dār al-kutub al-„ilmiyyah tahun 1984, kitab ini dicetak dalam satu jilid serta telah di tahqīq oleh Yahya Isma‟il Ahmad. Sistematika bab kitab ini terdiri dari muqaddimah dan sebelas bab (tema). Bagian muqaddimah terdiri dari dua bab yakni penjelasan tentang asbāb al-wurūd dan pengenalan terhadap kitab ini termasuk metode pentahqīq. Sementara sebelas bab yang termuat dalam kitab ini yakni bab thaharah (8 hadis), bab shalat (12 hadis), bab jenazah (8 hadis), bab shiyam (5 hadis), bab haji (3 hadis), bab jual beli (8 hadis), bab nikah (3 hadis), bab jinayah (5 hadis), bab adhhiyah (1 hadis), bab makanan (3 hadis), bab adab (42 hadis). Dengan demikian, total kitab ini mengupas 98 asbāb al-wurūd hadis Nabi saw.
36 37
Al-Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah Hadits, … hlm. 41-42 Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 65.
13
Metode penulisan imam al-Suyuthi dalam menyusun kitab ini yakni: a. Mengemukan hadis terlebih dahulu dengan baru kemudian menyebutkan sebab munculnya hadis tersebut. Untuk memudahkan pembaca, maka beliau menandai dengan kata „سٝ ‟دذsebelum menyebut teks hadis, dan menandai dengan kata „ ‟سثةsebelum menyebut sebab munculnya hadis. b. Ketika mengemukakan hadis, beliau tidak mencantumkan sanad secara utuh tetapi hanya menyebut sanad yang berasal dari sahabat serta mukharrij kitab. Teknik ini dinamakan ta‟liq yakni membuang seluruh sanad dan menyingkatnya pada peringkat sahabat periwayat hadis. c. Satu hadis tidak mesti hanya memiliki satu sebab, adakalanya beliau mengemukakan beberapa sebab dari munculnya hadis tersebut. Karena itu, beliau menggunakan kata sebab dengan bentuk nakirah (umum) sebagai tanda bahwa sebab itu tidak terbatas pada apa yang beliau kemukakan saja. Karena itu, pentahqiq kitab ini juga terkadang menambahkan sebab lain yang belum dikemukakan al-Suyuti. d. Sumber rujukan al-Suyuti baik sumber hadis maupun sebab munculnya hadis yakni kitab-kitab sunnah yang terkenal baik berupa al-Jawāmi‟, al-masānid, alma‟ājim, dan lain-lain, termasuk kitab tarikh.38 e. Dalam mengemukakan hadis yang terkait suatu tema, pada umumnya beliau hanya menyebutkan satu hadis karna sudah di anggap mewakili. Namun, ada pula yang disebutkan lebih dari satu hadis namun dari jalur serta sumber hadis yang berbeda, misalnya hadis ke 3039. Selain itu, sesekali menyebutkan hadis yang berasal dari dua kitab hadis berbeda dengan matannya berbeda, misalnya hadis ke 32.40
38
Di antaranya kutub al-sittah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan alTirmidzi, Sunan al-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah), Muwathth‟ Malik, Musnad asy-Syafi‟i, Musnad Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim al-Naisaburi, Al-Baihaqi, Ath-Thabrani, Mushannaf Abd Ar-Razzaq, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Tarikh Baghdad, dan lain-lain. Lihat AlSuyūthī, Proses Lahirnya Sebuah Hadits, … hlm. 48-52. 39 Pada hadis ke-30 tentang berbekam, beliau mengungkapkan hadis dari jalur Usamah bin Zaid dari Ahmad dan al-Nasai serta hadis lain dari Tsauban dari Abu Dawud. Kedua hadis ini memiliki matan yang sama. Lihat Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 127-128. 40 Pada hadis ke 32 tentang larangan puasa sebelum Ramadhan, beliau mengungkapkan satu hadis dari jalur Abu Hurairah dari Ahmad, Muslim dan imam empat (Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa‟I,
14
Adapun kelebihan dari kitab ini di antaranya: a. Kitab ini bisa dikatakan sebagai kitab pertama yang mengkaji sebab-sebab munculnya hadis (asbāb al-wurūd hadis), setidaknya kitab yang paling awal muncul dari kitab-kitab yang sampai kepada kita saat ini, karena kitab-kitab lain yang terdahulu sudah tidak ditemukan lagi.41 b. Sebagian besar sebab munculnya hadis yang dikemukakan dalam kitab ini masuk dalam kategori kedua yakni tidak termuat dalam hadis yang dimaksud, karena itu al-Suyuthi telah melakukan usaha keras untuk dapat melacak sebabsebab hadis tersebut. c. Mendorong umat Islam untuk mengkaji kitab tarikh, karena sebab-sebab hadis sebagian ditemukan as-Suyuti justru dari kitab tarikh. d. Al-Suyuthi mengemukakan hadis dan sebabnya secara sederhana dan ringkas, tidak berpanjang lebar, bahkan beliau juga menggunakan metode ta‟liq dalam mengungkapkan hadis. Hal ini sebagai cara untuk memudahkan umat Islam. Adapun kekurangan dari kitab ini yakni: a. Ada sebagian hadis yang dimuat pada bab tertentu, tapi jika dicermati hadis tersebut tidak ada kaitannya dengan nama bab yang dimaksud. Contoh pada bab thaharah dimulai dengan hadis tentang niat. Meskipun jika ingin dipertahankan mungkin as-Suyuthi ingin memulai kitabnya dengan hadis niat sebagaimana yang dilakukan al-Bukhari dalam Shahihnya.42 b. Ada beberapa hadis yang tidak disebutkan redaksi hadis dan juga sebab munculnya hadis tersebut, tapi hanya menyebut tema hadis. Hal ini dapat dilihat pada hadis no 20, al-Suyuthi hanya menyebutkan „سٌاىرشٖذٝ‟اداد.43
dan Ibnu Majah) serta satu hadis lain dari Ibnu Abbas dari Abu Dawud dan al-Baihaqi. Kedua hadis ini memiliki matan yang berbeda tetapi maknanya sama. Lihat Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb alWurūd al-Hadīts, … hlm. 132. 41 Sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Suyūthī dalam muqaddimah kitabnya. Lihat Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 65. 42 Contoh lain misalnya hadis no 28 tentang keutamaan orang yang bersabar saat Allah ambil barang yang paling dicintainya. Hadis ini dimasukkan oleh Al-Suyūthī dalam bab Jenazah, padahal jika dicermati hadis ini lebih tepat dimasukkan dalam bab adab. Lihat Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … 121. 43 Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 109.
15
Namun, terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, al-Suyuthi telah mencurahkan segala usahanya untuk menghasilkan kitab ini. Karena itu, kitab ini tetaplah istimewa serta menjadi rujukan penting guna mengetahui asbab al-wurud hadis. 2. Al-Bayān wa al-Ta’rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīts al-Syarīf Pengarang kitab ini adalah al-Syarīf Ibrāhīm ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Kamāl al-Dīn ibn Muhammad ibn Husayn ibn Muhammad ibn Hamzah. Beliau lebih dikenal dengan kuniahnya yakni Ibn Hamzah al-Husaynī alHanafī al-Dimasyqī. Beliau lahir di Damaskus pada tahun 1054 H/1644 M dan beliau wafat pada saat sekembalinya dari ibadah haji di suatu tempat bernama Dzāt al-Hajj pada 1120 H/1708 M. Karya beliau selain al-bayān wa al-ta‟rīf fī asbāb wurūd alhadīts al-syarīf yakni Hāsyiyah „alā syarh al-alfiyyah li ibn al-mushannaf alnahwi.44 Ibnu Hamzah dikenal sebagai seorang pakar dalam ilmu hadis. Beliau mengembara untuk menuntut ilmu ke negara lain bersama ayah dan saudaranya, alSayyid „Abdurrahmān. Guru-guru beliau mencapai delapan puluh orang. Gurunya di Damaskus seperti Muhammad bin Sulaymān al-Maghribī al-Hashakafī dan al-Sayyid „Abd al-Bāqī al-Hanbalī. Guru di Mesir seperti „Abd al-Bāqī al-Zarqānī, Muhammad al-Syauburi, Muhammad al-Bakri. Guru- di Haramain seperti Ahmad-al-Nukhli, Ibnu Salam al-Bisri, al-Hasan bin Ali al-„Ajimi al-Maki, Ibrahim al-Kaurani, Khairuddin al-Ramli dan seorang pentahqiq hadis, Abd al-Qadir al-Bagdadi dan lain-lain.45 Kitab al-bayān wa al-ta‟rīf fī asbāb wurūd al-hadīts al-syarīf adalah salah satu karya terbaik Ibnu Hamzah yang memuat hadis-hadis Nabi saw. yang memiliki asbāb al-wurūd. Kitab ini dicetak pada tahun 1329 H dalam dua jilid besar.46 Kitab ini merupakan kitab yang paling luas pembahasannya dalam bidang ini sehingga menjadi salah satu rujukan utama. Kitab ini bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi tiga jilid besar. Pada terbitan al-maktabah al-„ilmiyyah tahun 1982, kitab ini dicetak dalam tiga jilid besar. Sebelum mengemukakan hadis-hadis, bagian awal kitab ini dibuka 44
Umar Ridha Kahalah, Mu‟jam al-Mu`allifīn: Tarajim Mushannif al-Kutub al-„Arabiyyah, Juz I, (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1993), hlm. 69. Lihat juga Ibn Hamzah, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf, Juz I, … hlm. 30. 45 Ibn Hamzah, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf, Juz I, … hlm. 29-30. 46 M. Ma‟shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), hlm. 93.
16
dengan muqaddimah dan muqaddimah kitab. Muqaddimah pertama ditulis oleh Dr. Abdul Halim Mahmud, berisi hal-hal terkait sunnah Nabi baik kedudukannya bersama Alquran maupun dalam syariat, serta di bagian terakhir dimuat pula biografi singkat Ibnu Hamzah. Sementara muqaddimah kedua adalah muqaddimah dari Ibnu Hamzah yang memuat hal-hal terkait asbāb al-wurūd termasuk beberapa contohnya. Pada bagian isi kitab, berbeda dengan kitab al-Suyūthī yang disusun dengan bab-bab berdasarkan tema, kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyyah atau berdasarkan urutan seperti kamus (mu‟jam) dengan memperhatikan huruf pertama dan kedua dari matan hadis yang dikemukakan. Pada jilid pertama kitab ini dimulai dengan „ ‟دشفٌاىَٖضجsampai dengan „ُْ٘( ‟اىَٖضجٌٍعٌاىhadis ke 1-551). Sementara pada jilid kedua adalah sambungan dari „ُْ٘ ‟اىَٖضجٌٍعٌاىhingga „ٌِاىََٖيح دشفٞ( ‟اىعhadis ke 552-1169). Pada jilid ketiga sambungan dari „ِ ٌاىََٖيحٞ ‟دشف ٌاىعhingga „اءٞ‟دشف ٌاى (hadis ke 1170-1832). Dengan demikian, total kitab ini mengupas 1832 asbāb alwurūd hadis Nabi saw. Sementara itu, metode penulisan Ibnu Hamzah dalam kitab ini yaitu: a. Menyebutkan matan hadis sesuai urutan huruf hijaiyyah (dengan memperhatikn huruf pertama dan kedua untuk pengurutannya) dan memberi nomor. Kemudian menyebutkan sumber-sumber takhrij hadis serta sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut. Terkadang juga disebutkan kualitas hadis tersebut. b. Mengemukan
riwayat
yang memuat
sebab
munculnya
hadis
dengan
menyebutkan sahabat yang meriwayatkan hadis terlebih dahulu. Terkadang beliau menyebut juga sumber takhrij hadis, namun kebanyakan tanpa beliau sebutkan. Untuk memudahkan beliau memberi tulisan dalam tanda kurung „ٔ‟سثث sebelum menyebutkan sebabnya. c. Seringkali beliau memberikan catatan kaki pada redaksi hadis yang dianggap memerlukan penjelasan secara lebih rinci atau jika ada tambahan riwayat yang serupa untuk menguatkan hadis yang dikemukakan.47 f. Sumber rujukan kitab ini yakni kitab-kitab sunnah yang terkenal seperti kitab mu‟jam (al-kabīr, al-awsath, dan al-shaghir), al-masānid (musnad Ahmad bin Hanbal dan lain-lain), dan al-kutub al-sittah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim,
47
Lihat Ibn Hamzah, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf, Juz I, … hlm. 430.
17
Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah).48 Berikut ini penulis kemukakan salah satu contoh hadis dan asbāb al-wurūd yang termuat dalam kitab Ibnu Hamzah. ْ ٌْ ُرْٝ َ)ٌئِ َراٌ َسأ143( ٌ اب ٌَ ٌ ُٗجُ٘ ِٕ ِٖ ٌٌْاىرُّ َشَِِٜ ٌفَادْ صُ٘اٌفٞاد ِ ٌاى ََ َّذ ْ ِْ ٌفٛاس ٌ ٌٌُٔ ٌْْع ٌَ ٌٌَّللاٜ ٌَ ض ٌِ س ٌَ٘دٌ ٌَس ٌْ ٌَِاِل ٌ ْ عٌِاى ٌٌَِْق ٌَذادٌٌْت ٌَ ٌٌٛٗ ٍُ ْسيٌٌِ َٗأَتُْ٘ ٌدَا ُٗدٌ َٗاىرّشْ ٍِ ٌِز ِ ٌاِلَ َدٜ َ ب ِ ْ ٌٔأَ ْخ َش َج ِ ٌَُاْل ٍَاًٌأَدْ ََذٌ َٗ ٌْاىثُخ ْ َ َْ َذ ُح ٌع ُْص ََاَُ ٌفَ َع َِذٌٝ زٌأَ َُّ ٌ َسج اَُل ٌ َج َع َو ٌٌِٔ ْٞ ٌَ ُس ٌْمثَرٌََٚاى َِ ْقذَادٌُفَ َجصَاٌ َعي ٌِ اس ٌِ ذ ٌَ ِ ٌاى ٌِ اًٌٌْت ٌِ ٌََ ٌَٕ ٌ ِ ٌْ ع ٌَ ٌٌثَحٌْٞش ٌَ ٌ ٜ ٌْ ٌٌِِأٌَت ٌِ ض ٌاٌْت ٌَ خ ٌَش ٌْ َسثثٌٔأ ٌ ٌَّٚصٌي ٌَ ٌه ٌَّللا ٌُ ٌْ٘س ٌُ ه ٌ ٌَس ٌَ ه ٌٌقَا ٌَ ٌ َٗجْ ِٖ ِٔ ٌ ْاى َذصْ ثَا َء ٌفَقَا َه ٌىٌَُٔع ُْص ََاُُ ٌ ٍَاٌشَأُّْلَ ٌٌقَاَِٜذْ صٌُ٘فٌٝ ض ْخ اَاٌفَ َج َع َو ٌَ ٌقَا َ ٌ ه ٌ َٗ َماَُ ٌ َسج اَُل ٌ 49سٌادٌٌْصٌُْ٘اٌْٝد ٌِذ ٌَ ٌٜ ٌْ ِعصٌْ ٌِشٌاىٌٌُّْثُ ٌَّ٘ ٌِجٌٌف ٌَ ٌٜ ٌْ ِسٌَثثٌٌٔف ٌَ ًٌعصٌْ ٌِشٌاىٌٌُّْثُ ٌَّ٘جٌ ٌٌَٗذٌَقَ ٌَّذ ٌَ ٌسٌيَّ ٌٌٌَئِ ٌَراٌٌفَ ٌَز ٌَم ٌَش ٌٌُٕٓزاٌسثةٌٌتَ ٌْع ٌَذ ٌَ ٌٌِٗٔ ٌَْٞعٌي ٌَ ٌَُّللا ٌ Adapun kelebihan dari kitab ini di antaranya: a. Kitab ini bisa dikatakan sebagai kitab yang paling luas pembahasannya. Dibandingkan dengan kitab al-Suyūthī, kitab ini memuat hadis dan asbāb alwurūd yang jauh lebih banyak. b. Sistematika penyusunan dengan metode mu‟jam memberi kemudahan bagi pembaca untuk menemukan hadis dan asbāb al-wurūd yang ingin diketahui, terutama jika mengetahui huruf awal matan hadis. c. Penyebutan sumber-sumber kitab takhrij pada hadis yang dikemukakan juga memudahkan pembaca untuk melacak hadis tersebut pada kitab hadis yang asli. e. Hadis dan sebabnya disajikan secara sederhana dan ringkas yakni hanya menyebut sahabat periwayat, tidak berpanjang lebar kecuali pada beberapa bagian yang memang perlu dijelaskan. Adapun kekurangan kitab ini yakni: a. Penyusunan dengan metode mu‟jam di satu sisi menjadi kelebihan, namun di sisi lain juga menjadi keterbatasan bagi pembaca yang tidak mengetahui lafal awal matan hadis. b. Pada bagian asbāb al-wurūd hanya beberapa yang disebutkan sumber takhrij hadis, sementara yang lain hanya disebutkan sahabat periwayat. Hal ini cukup menyulitkan pembaca jika hendak melacak pada kitab lain terutama jika hadis dan sebabnya berasal dari dua riwayat yang berbeda.
48 49
Lihat Muqaddimah Ibn Hamzah, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf, Juz I, … hlm. 35. Lihat Ibn Hamzah, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf, Juz I, … hlm. 155-156.
18
c. Kitab ini tidak menyebutkan sanad hadis secara lengkap tetapi hanya menyebut periwayat dari kalangan sahabat. Karena itu, jika hendak mengetahui sanadnya, maka harus melacak ke kitab aslinya. Akan tetapi, terlepas dari kekurangan yang ada, kitab al-bayān wa al-ta‟rīf fī asbāb wurūd al-hadīts al-syarīf telah menjadi salah satu rujukan utama untuk melacak asbāb al-wurūd hadis. Selain itu, usaha Ibnu Hamzah untuk menghimpun 1832 hadis beserta sebab munculnya merupakan prestasi istimewa yang patut diacungi jempol. D. Kesimpulan Dari pemaparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa ilmu asbāb al-wurūd memiliki kedudukan sebagaimana ilmu asbāb al-nuzūl. Ilmu ini menjadi salah satu penopang dalam usaha untuk mengkaji makna dan maksud dari suatu hadis. Artinya asbāb al-wurūd menjadi sarana untuk mengetahui dan memahami maksud dari akibat yang ditimbulkannya yakni hadis. Dengan demikian maksud hadis menjadi jelas dan terhindar dari berbagai perkiraan yang menyimpang dari tujuan sebenarnya. Dua buah karya terkenal dalam bidang asbāb al-wurūd yang sampai kepada kita saat ini yakni al-luma' fī asbāb al-wurūd al-hadīts karya al-Suyūthī dan al-bayān wa al-ta‟rīf fī asbāb wurūd al-Hadīts al-Syarīf karya Ibnu Hamzah al-Dimasyqi. Dengan metode penulisan serta keistimewaan masing-masing, maka kedua kitab ini telah menjadi rujukan penting dalam kajian asbāb al-wurūd.
19
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 1998. Al-Bukhārī, Abū „Abdullāh Muhammad ibn Ismā‟īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah ibn Barzibah, Shahīh al-Bukhāīî, Juz I, Beirut: Dār al-Fikr, 1981. Husin Munawwar, Said Agil dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Ibn Balbān al-Fārisī, Al-Amīr Alā` al-Dīn „Alīy, Shahīh Ibn Hibbān bi Tartīb Ibn Balbān, Beirut: al-Muassasah al-Risālah, 1997. Ibn Hamzah al-Husaynī al-Hanafī al-Dimasyqī, Al-Syarīf Ibrāhīm ibn Muhammad ibn Kamāl al-Dīn, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīts al-Syarīf, Beirut: al-Maktabah al-„Ilmiyyah, 1982. Ibnu Hibban, Shahīh Ibn Hibbān, al-Maktabah al-Syāmilah. Itr, Nuruddin, „Ulum al-Hadits 2, terj. Mujiyo, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994. Kahalah, Umar Ridha, Mu‟jam al-Mu`allifīn: Tarajim Mushannif al-Kutub al„Arabiyyah, Juz I, Beirut: Muassasah al-Risālah, 1993. Muh Zuhri, Telaah Matan Hadis, Yogyakarta: LESFI, 2003. Mukri, Barmawi, Kontekstualisasi Hadis Rasulullah, Yogyakarta: Ideal, 2005. Muslim, Abū Husain ibn al-Hajjāj ibn al-Qausyaz al-Qusyairī an-Naisābūrī, Shahīh Muslim, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1991. Al-Nasā`ī, Abū „Abdurrahmān Ahmad bin Syu‟aib, Sunan Al-Nasā`ī, Beirut: Dār Ihyā al-Turāts al-Arabī, tt.ٌ Qardhawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., terj. Muhammad alBaqir, Bandung: Karisma, 1999. Rahman, Fatchur, Iktisar Musthalahul Hadits, Bandung: Al-Ma‟arif, 1987. Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jilid II), Jakarta: Bulan Bintang, 1987. Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: Rajawali Press, 2011. Al-Suyūthī, Al-Hāfizh Jalāl al-Dīn, Asbāb Wurūd al-Hadīts aw al-Lumā' fī Asbāb alWurūd al-Hadīts, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1983. Al-Suyūthī, Al-Hāfizh Jalāl al-Dīn, Proses Lahirnya Sebuah Hadits: Asbab Wurud al-Hadits, Thohiruddin Lubis (ed.), Bandung: Pustaka, 1985. Zein, M. Ma‟shum, Ilmu Memahami Hadits Nabi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 201