Ilmu Sosial.docx

  • Uploaded by: Bian Nugroho
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ilmu Sosial.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,339
  • Pages: 21
Makalah Filsafat Ilmu Sosial Subaltern Stusies Sebagai Arus Baru Historiografi

Bian Nugroho 14/368671/FI/03992

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS GADJAH MADA

2018

A. Dimensi Historis Menantang Sejarah Kaum Elit Melalui Penulisan Sejarah Subaltern Narasi sejarah yang dipaparkan melalui kerangka kolonial dan elitis telah mengabaikan peran kelompok – kelompok terpinggirkan dalam masyarakat, seperti kaum miskin kota dan para petani yang telah berjuang melawan aturan – aturan kolonial Inggris sebelum dan selama abad ke – 19 (Said, 1987: vi). Narasi sejarah semacam ini lantas, lebih menguntungkan bagi orang – orang yang berada dalam struktur kolonial maupun elit dan mengukuhkan kesenjangan dalam masyarakat India. Hal ini disampaikan oleh Edward Said “..Bila ada sejarah, maka ada kelas, dan itu adalah inti dari permainan sosial kebudayaan yang panjang dan luar biasa antara penjajah dan yang terjajah, antara elit, penguasa atau kelas hegemonic dan subaltern, yang oleh Gramsci disebut, kelas yang bangkit dari kerumunan orang – orang yang diatur secara koersif atau, dominasi ideologis dari atas.” (Said, 1987: vi) Adapun narasi yang berusaha menyediakan ruang bagi kelompok masyarakat terpinggirkan juga dirintis oleh kalangan Marxist di India (semisal, Dutt, 1940; Karnik, 1957). Namun berbeda dengan wilayah jajahan lainnya, dimana kalangan Marxist berkolaborasi dengan gagasan nasional sebagai cara untuk mewujudkan gerakan pembebasan, tidak ada upaya tertentu untuk mengembangkan gagasan Marxisme yang disesuaikan dengan keadaan India di masa itu. Hingga akhir tahun 1970, kalangan Marxist di India cenderung berkonsentrasi pada kategori analisa klasik Marxist terhadap kemajemukan masyarakat India, alih – alih mengembangkan pemikiran yang lebih membumi (Young, 2001: 311). Meski sama – sama berpijak pada gagasan pokok Marxisme, namun para sejarawan muda yang menggagas kajian “Subaltern Studies Group” menggunakan perangkat analisis yang sama sekali berbeda. Untuk menghadirkan narasi sejarah yang berpihak pada kelompok masyarakat yang terpinggirkan, maka pendekatan yang dilakukan tidak hanya berkonsentrasi pada pertentangan kelas semata, melainkan juga pada bentuk – bentuk marjinalisasi yang terjadi karena faktor – faktor agama, sistem kasta dan suku bangsa. “Subaltern Studies Group” (selanjutnya disingkat menjadi SSG) menjadi proyek kolaborasi antara para sejarawan muda India yang terpencar di beberapa universitas Inggris, Amerika Serikat dan Australia. Mereka adalah, Ranajit Guha, Shahid Amin, David Arnold, Partha Chateerje, David Hardiman dan Gyanendra Pandey. Proyek ini berupaya merintis narasi sejarah alternatif yang berpihak pada golongan “subaltern”, terutama mengenai peran golongan ini dalam menolak aturan kolonial Inggris. Proyek utama dari kelompok studi ini adalah menghasilkan tulisan – tulisan yang dikumpulkan dalam jurnal “Subaltern Studies” selain mengadakan diskusi yang rutin. Jurnal yang terbit pertama kali pada tahun 1982 ini disunting oleh Ranajit Guha hingga enam edisi berikutnya.

Istilah “subaltern” sendiri dipinjam dari konsep seorang filsuf dan aktifis Marxist asal Italia, Antonio Gramsci. Hal ini dijelaskan oleh Ranajit Guha dalam pengantar untuk edisi perdana jurnal tersebut: “Kata ‘subaltern’ yang menjadi judul bermakna seperti yang tertulis dalam ‘Consice Oxford Dictionary’, yang adalah ‘kedudukan inferior’. Kata tersebut akan digunakan dalam jurnal ini sebagai sebutan bagi beragam jenis subordinasi yang terjadi dalam masyarakat Asia Selatan, yang dapat terungkap dalam bentuk kelas, kasta, usia, jender atau jabatan atau bentuk lainnya ... adalah suatu kemalasan di antara kita, tentu saja jika berharap bahwa luasnya kontribusi dalam terbitan ini dapat bersesuai dalam enam poin yang disusun oleh Antonio Gramsci dalam karya ‘Notes on Italian History.’” (Guha, 1988: 35) Berbeda dengan para teoritisi yang mengembangkan pemikiran mengenai analisa klasik Marxist, terutama yang berkonsentrasi pada basis ekonomi masyarakat, Gramsci menujukan fokus pada suprastruktur; struktur kebudayaan (termasuk sejarah) yang melanggengkan sistem ekonomi yang menghisap: “Kesatuan historis kelas – kelas penguasa direalisasikan dalam Negara, dan sejarah mereka secara esensial merupakan sejarah Negara dan kelompok – kelompok Negara ... kesatuan historis fundamental, secara konkret, dihasilkan dari hubungan – hubungan organic antara Negara atau masyarakat politik, dan ‘masyarakat sipil’... Kelas – kelas subaltern, dalam definisi, tidak bergabung dan tidak dapat bersatu sampai mereka mampu menjadi ‘Negara’: sejarah mereka, karenanya, dijalin dengan sejarah masyarakat sipil, dan karenanya dengan sejarah Negara dan kelompok Negara. ” (Gramsci, 2000: 207) Dalam buku “The Modern Prince” (1934), Antonio Gramsci menjabarkan mengenai kaitan antara partai politik yang mapan dengan perlawanan secara spontan yang dilakukan oleh orang – orang biasa. Ranajit Guha menggunakan konsep tersebut untuk menulis ulang mengenai gerakan kemerdekaan India, sehingga sejarah utama mengenai perlawanan terhadap kolonial dapat ditemui dalam pemberontakan kaum tani, yang telah dilakukan jauh sebelum pemimpin elit semacam Gandhi bertindak sebagai pemimpin terhadap mereka (Young, 2001: 354). Oleh sebab itu, untuk mengedepankan peran kelompok yang terpinggirkan, Ranajit Guha lebih tertarik untuk menerapkan ide – ide Marxisme dari Gramsci ketimbang berpaku pada kerangka Marxist orthodox yang dianut Partai Komunis India dan para pemikirnya: “Lebih dari itu, Guha menjelaskan bahwa faktor dominasi dan kohersi tidak sekadar berdasarkan atau ditentukan oleh dinamika kelas dalam masyarakat India... Guha mengklaim bahwa, dengan beranjak dari analisis politik dalam segala lapisan di India yang berkonsentrasi pada dinamika kelas, adalah lebih penting bagi para sejarawan untuk memahami keberagaman dan kegamangan dalam masyarakat.” (Chaturvedi, 2007: 10). Perkembangan pemikiran Marxist pada masa tersebut di Inggris dan Eropa daratan umumnya terbelah menjadi tiga kubu (Chibber, 2006: 361): Pertama, mendukung pengukuhan Uni Sovyet sebagai negara komunis yang berarti, membenarkan tindakan – tindakan keji yang dilakukan para pemimpinannya seperti Stalin dan Khrushcev. Kedua, mendukung Republik Rakyat Cina sebagai negara komunis dengan haluan Maoist, yang dianggap lebih sesuai dengan konteks masa tersebut, dan berarti pula membenarkantindakan – tindakan keji yang dilakukan oleh Mao Tse Tsung sebagai “harga revolusi”. Ketiga, menolak kedua varian negara komunis tersebut, terutama pada

tindakan keji yang diambil para pimpinan negara tersebut dan mendefinisikan ulang cita – cita Marxisme yang lebih ‘demokratik’ serta tidak membenarkan adanya kekerasan sebagai jalan bagi revolusi. Kubu yang terakhir ini lantas berkembang dalam beragam varian di Jerman, Prancis, Inggris dan Amerika Serikat. Salah satu varian yang cukup dikenal adalah gerakan “New Left” yang secara harfiah dan teoritis berarti “Kiri Baru”. Sebagai bentuk penolakan terhadap dua perwujudan gagasan Marxisme yang otoriter di RRC dan Uni Sovyet, para pemikir yang berafiliasi dengan kelompok New Left berusaha mengajukan tafsiran tandingan terhadap seragamnya pemikiran Marxisme yang berkembang di masa itu. Selain itu, penerbitan karya – karya Antonio Gramsci pun memberi posisi tawar yang lebih berarti untuk kubu yang terakhir ini. Di atas keadaan seperti ini, hadir faktor penting yang menjadi latar belakang berdirinya SSG, yakni kemunculan narasi sejarah alternatif yang dikenal dengan “History from Below” yang dikembangkan oleh sejarawan New Left, E.P. Thompson. Pada tahun 1966, Thompson menulis esai dengan judul tersebut di kolom “Times Literary Supplement”. Esai tersebut adalah awal dari karya Thompson yang berjudul “The Making of English Working Class” yang menjadi penanda dirintisnya “sejarah sosial”. Berbeda dengan narasi sejarah yang seringkali menyorot peran dan kehebatan individu – individu dalam peristiwa tertentu, semangat “History from Below” lebih tertarik memperhatikan golongan yang ditindas, orang – orang miskin, para pembangkang dan kelompok terlupakan lainnya. B. Dimensi Aksiologis Untuk memetakan pokok-pokok gagasan proyek SSG pada edisi perdana jurnal Subaltern Studies, Ranajit Guha menulis sebuah artikel yang berjudul “ On some Aspect of Historiography of Colonial India” yang bertujuan untuk memperlihatkan proyek-proyek yang akan dikerjakan oleh SSG. Dalam artikelnya Guha menunjukan bahwa sejarah yang ditulis selama ini oleh pihak kolonial dan dilanjutkan oleh Mahzab Cambridge —Mazhab Cambrige adalah kelompok sejarawan India lulusan Inggris yang menulis sejarah kemerdekaan India— mengabaikan kaum subaltern yang jumlahnya tidak dapat dihitung sedikit pada masa itu dan minjadi pihak yang mengalami imbas dalam gejolak politik pada masa itu. Guha dalam Artikel tersebut juga menjelaskan istilah-istilah yang nantinya akan digunakan secara konsisten dalam jurnal Subaltern Studies: “Istilah ‘elit’ yang digunakan dalam pernyataan ini adalah untuk menandakan kelompok dominan, baik orang asing maupun pribumi. Kelompok orang asing dominan termasuk seluruh orang yang bukan India, yang sebagian besar adalah petinggi Inggris di wilayah koloni, pelaku industri, merkantilis, juru hitung, staf perkebunan, tuan tanah dan misionaris. Kelompok pribumi

dominan termasuk seluruh kelas dan kepentingan yang bekerja dalam dua lapisan. Dalam lapisan - seluruh India, mereka adalah kutub feodal yang paling besar, perwakilan paling penting atas borjuis industrial and merkanitilis serta, pribumi yang paling utama direkrut dalam lapisan birokrasi. Dalam level lokal dan regional, mereka merepresentasikan kelas dan elemen lain yang mana tiap anggota kelompok dominan tersebut, termasuk kategori yang telah disebut sebelumnya, atau yang tercakup dalam hierarki strata sosial yang lebih rendah ketimbang kelompok seluruh India tersebut ... Istilah ‘rakyat’ dan ‘kelas subaltern’ digunakan secara berpadanan dalam catatan ini. Kelompok sosial dan elemen yang tercakup dalam kategori ini mewakili perbedaan demografis antara keseluruhan populasi di India dan semua yang telah kita deskripsikan sebagai elit...” (Guha, 1988: 44) Untuk melihat lebih rinci bagaimana pandangan SSG mengenai kolonialisme. Guha menulis sebuah buku yang berjudul “Dominance Without Hegemony - History and Power in Colonial India” (1997). Dalam buku ini Guha terinspirasi oleh filsuf Jerman Karl Marx. Pandangan Guha terhadap kolonialisme dipengaruhi oleh buku Marx yang berjudul “Grundrise”. Marx menyatakan bahwa, dalam upaya menciptakan pasar dunia, kapital bekerja melintasi batas spasial yang ada. Dalam hal ini, kendala yang dihadapi berbagai wilayah yang tidak cukup memadai untuk terciptanya pasar dunia membutuhkan satu aturan yang seragam (universal) demi terwujudnya pasar tersebut. Dengan demikian, kolonialisme oleh Guha, ditafsirkan sebagai bagian dari universalisasi kepentingan kapital —pihak kolonial— dimana kehidupan masyarakat India disesuaikan dengan standar yang dikehendaki industri yang tengah berkembang. Efek dari segala hal ini adalah perluasan ilusi mengenai kekuatan kapital dan mempromosikan tendensi universalnya melalui wacana liberal, seperti yang tampak pada sejarawan liberal-kolonial maupun liberal-nasionalis (Guha, 1997: 18 – 19). Pada masanya pandangan yang dipegang oleh SSG mengenai kolonialisme dapat dibilang antimainstream dari para ilmuan yang berfokus pada kajian kolonialisme. Oleh karena itu dalam bukunya Guha menekankan pentingnya suatu kajian mengenai kolonialisme untuk membongkar proyek “penceraha yang menjadi dalih atas penindasan ekonomi politik yang terjadi: “Maka, adalah penting bahwa kritik atas historiografi seharusnya dimulai dengan meragukan asumsi universal dari ideologi liberal dan atribusi hegemoni yang diterima begitu saja dalam

intepretasi kolonialis dan nasional terhadap sejarah India. Secara ringkas, hal ini harus dimulai dengan mendudukkan itu semua di luar semesta wacana liberal.” (Guha, 1997: 20) Maka jika dapat dipetakan narasi sejarah yang dikembangkan oleh SSG lantas mensyaratkan kecenderungan (a) memisahkan sejarah kekuasaan dari segala jenis sejarah universalis mengenai kapital (b) kritik terhadap bentuk negara – bangsa dan (c) membongkar hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan, yang mana arsip sejarah adalah suatu bentuk dari pengetahuan (Chakrabarty, 2000: 15). Dalam tulisan – tulisan yang kemudian diterbitkan dalam jurnal tersebut, kajian atas konfigurasi kekuasaan yang tercermin dalam narasi sejarah India terpilah menjadi dalam dua arus utama: secara vertikal, yakni mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci dan secara horizontal, yakni mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Michel Foucault (Curie, 1995: 219). C. Dimensi Epistemologis 1. Bentuk Kekuasaan Vertikal: Konsep ‘Subaltern’ Antonio Gramsci Dalam “A Rule of Property for Bengal,” Ranajit Guha mendedikasikan karya tersebut untuk Susobhan Sarkar. Seorang guru yang mengajarnya di Presidency College Kalkuta. Pada tahun 1950an, ketika karya-karya Gramsci belum dibahas seccara serius di belahan bumi Barat , Sarkar telah mendiskusikan pokok-pokok pemikiran Gramsci mengenai hegemoni dan dominasi dengan para mahasiswanya (Chaturvedi, 2000: viii). Selain kuliah Guha yang diampu Susobhan Sarkar, ide – ide Gramscian juga diperoleh para anggota SSG melalui pendidikan di Eropa pada tahun 1970an. Kala itu, tulisan sejarawan Marxist Eric Hobsbawm yang berjudul ‘‘For a History of Subaltern Classes’’ di jurnal Societa juga memberikan pengaruh dalam penulisan sejarah melalui sudut pandang Gramscian. Kajian Hobsbawm mengenai pemberontakan primitif yang dianggap sebagai tindak kriminal lantas menjadi pengaruh utama bagi tulisan Guha yang berjudul “Elementary Aspect of Peasant Insurgency in Colonial India” (Chaturvedi, 2000: ix). Penggunaan kata ‘subaltern’ dalam kajian yang dirintis oleh SSG ini menjadi penting. Terma tersebut memang mencakup secara luas beragam kelas yang mengalami subordinasi dalam tataran sosial dan politik seperti pekerja industri, petani, buruh, penggembala, pengrajin dan masih banyak lagi. Namun, hal ini justru menguntungkan karena mengetengahkan tujuan utama dari kaitan

kekuasaan di antara kelompok sosial yang ada: bahwa, kelompok tersebut bukan sekadar petani dan tuan tanah, tapi juga memiliki peran dalam ranah sosial maupun politik (Arnold, 2000: 32 – 33). Dengan demikian gagasan Gramsci mengenai “subalterno” terdeteksi sebagai pengaruh utama bagi proyek SSG, sebagaimana yang diakui oleh Ranajit Guha dalam pengantar di edisi pertama jurnal tersebut (1982). Kata Subaltern hadir dalam analisa Gramsci mengenai sejarah Italia di bukunya “Prison Notebooks” (1971). Bagi Gramsci, kesatuan sejarah secara fundamental adalah hasil dari hubungan organik antara negara (atau golongan politik) dan masyarakat sipil. Kelompok subaltern berada di antara keduanya, yang adalah korban sekaligus penggerak bagi aturan hegemonik tersebut (Currie, 1995: 220). Dengan demikian, sejarah kelompok subaltern menjadi berserakan dalam episode tertentu karena,kehendak terhadap kesatuan seringkali mengalami interupsi dari perilaku kelas penguasa. Hal ini dinyatakan Gramsci sebagai berikut: “Kelompok subaltern selalu menjadi korban atas perilaku kelas penguasa, bahkan ketika mereka bangkit dan memberontak: hanya kemenangan ‘permanen’ yang dapat memutuskan rantai Subordinasi tersebut, dan hal itu tidak terjadi seketika.” (Gramsci via Currie, 1995: 220) Untuk mengungkapkan pola dan intrik politik dalam aksi kelompok subaltern tersebut, Gramsci menguraikan enam dimensi mengenai perilaku kelompok subaltern dan kelompok dominan tersebut yakni: “1) formasi objektif dari kelompok subaltern melalui perubahan di ranah produksi dan genesis di kelompok sosisal yang belum terbentuk, yang memiliki “mentalitas dan ideologi serta tujuan” yang dapat dipertahankan 2) apakah afiliasi yang ada bersifat aktif atau pasif terhadap formasi politik yang dominan, dan usaha mereka untuk mengupayakan kepentingan kelompok subaltern, untuk mempengaruhi agenda dari kelompok politik yang dominan 3) kehadiran organisasi politik yang dominan bertujuan untuk menjaga dukungan dari kelompok subaltern, yang mana berkepentingan untuk melanjutkan subordinasi dari kelompok subaltern itu 4) generasi dari formasi subaltern untuk mengartikulasikan dan memenuhi klaim yang ‘terbatas dan terpilah’ 5) kebangkitan dari formasi baru yang membenarkan kedaulatan kelompok subaltern dalam

kerangka yang telah ditetapkan 6) formasi yang membenarkan kedaulatan integral dari kelompok subaltern hadir dalam struktur yang telah ada...” (Gramsci via Currie, 1995: 220 – 221) Enam butir metodologis tersebut lantas menjadi kerangka penulisan yang secara teoritik membedakan kajian SSG dengan sejarawan Marxist ‘orthodox’ yang berkutat dengan determinisme ekonomi (Chaturvedi, 2000: viii). Hal ini pula, menjadi langkah yang menjanjikan bagi historiografi dari ‘pinggir’ dimana kelompok subaltern menjadi subjek bagi penulisan sejarah mereka sendiri. Di India, sendiri otonomi (kedaulatan) adalah alasan utama penerapan gagasan Gramsci bagi penciptaan narasi sejarah yang berpihak kepada orang-orang yang terkelompok dalam Subaltern. Tujuan utama Gramsci adalah menjelaskan bagaimana kekuasaan dalam negara bekerja, khususnya dalam masyarakat kapitalis modern, yang mana kelompok subaltern tampak menerima subordinasi yang dialami (Arnold, 2000: 34). Hal ini dicontohkan Chandavarkar sebagai berikut: “Pemilahan masyarakat sebagai hierarki yang kompleks seperti dalam India kolonial bukan berarti tanpa masalah. Salah satu contoh nyata adalah, bahwa petani yang kaya hadir sebagai subaltern dalam hubungannya dengan pemilik tanah, sebenarnya juga adalah elit dalam hubungan dominan yang dimiliki terhadap pekerja tanpa kepemilikan tanah dan pengrajin atau buruh jasa. Masyarakat mana pun bisa terbagi dengan cara berbeda dalam situasi yang beragam pula, namun jika berpegang pada teorisasi Gramsci, masalah pokok akan tampak pada pembagian yang mendasar dan kukuh dalam masyarakat di antara subordinat, pekerja, kelompok yang mengolah dan kelas yang menerapkan dominasi ekonomi politik terhadap (subordinat) tersebut.” (Chandavarkar, 1997: 183 – 184) Ada dua hal yang terlihat dalam pengantar yang ditulis Guha. Pertama, bahwa proyek SSG ini dilakukan sebagai tandingan terhadap narasi sejarah yang elitis. Kedua, bahwa para anggota SSG menyertakan penafsiran atas subaltern yang berbeda dengan ‘buruh’ secara umum dan ‘proletar’ secara partikular tanpa mereduksi kerangka Marxist klasik (Currie, 1995: 224). Dalam tulisan pengantar bagi edisi pertama jurnal Subaltern Studies, Guha menyatakan bahwa selama masa penjajahan kolonial di India, kelompok subaltern memiliki ‘kedaulatan’ yang mana ‘tidak berasal dari elit politik maupun bergantung terhadap itu’. Guha berpandangan bahwa, kedaulatan kelompok subaltern tersebut memiliki akar sebelum periode kolonial, tapi bekerja secara lebih baik

di bawah tekanan kolonial Inggris dan bahkan, berkembang menjadi aliran baru, baik dalam bentuk dan isi (Arnold, 2000: 34) Empat edisi awal jurnal yang disunting oleh Guha secara khusus berupaya menerapkan semangat penulisan sejarah dari ‘bawah’ mengenai abad ke – 19 dan 20 di India. Potongan babak sejarah yang dikaji menjelaskan kerja – kerja politik yang otonom dari masyarakat, yang sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh Gramsci: ‘setiap jejak inisiatif independen yang menjadi bagian dari kelompok subaltern, sudah seharusnya menjadi nilai yang tak terjumlah bagi sejarawan yang bersungguh – sungguh’ (Chaturvedi, 2000: x) Penyajian investigasi semacam itu dalam tema subaltern adalah langkah yang serius dari anggota SSG untuk membalikkan narasi sejarah India modern dan untuk meguatkan keutamaan aspirasi kelompok subaltern. Dalam hal ini, para anggota SSG setia pada tuntunan Gramsci untuk menjadi ‘sejarawan yang bersungguh – sungguh’ dalam kajian mengenai kelompok subaltern dan untuk melacak setiap inisiatif independen yang digagas kelompok ini (Arnold, 2000: 38). Kritik Guha atas keterbatasan narasi sejarah elitis dalam menjelaskan inisiatif orang – orang biasa pada masa kampanye para nasionalis, seperti saat gerakan Quit India pada tahun 1942 menjadi tema yang diangkat oleh Stephen Henningham dalam tulisan yang berjudul, “Quit India in Bihar and the Eastern United Provinces: The Dual Revolt” (Edisi II, 1983). Analisa yang dikemukakan oleh Henningham adalah, bahwa pemberontakan yang merata di seluruh India tersebut terjadi seiring dengan penutupan kantor National Congress dan penangkapan para anggotanya pada Agustus 1942. Henningham mengidentifikasi dua pemberontakan saat itu: oleh para elit nasional (yang terhimpun dari petani kaya – kasta tinggi dan tuan tanah kecil) dan pemberontakan oleh kelompok subaltern, yakni orang – orang dari kasta rendah dan secara materi tidak berpunya. Di satu sisi, perlawanan oleh para elit nasional adalah protes terhadap represi kolonial atas National Congress dan tuntutan untuk kemerdekaan. Di sisi yang lain, pemberontakan kelompok subaltern terjadi karena keadaan sulit yang mereka alami, yakni kemahalan harga bahan pokok dan produksi. Kedua faktor ini mendorong lahirnya perlawanan yang serempak terhadap kolonial Inggris (Currie, 1995: 225). Kesesuaian antara kedaulatan kelompok subaltern dengan dominasi atau hegemoni elit serta pertentangan alamiah dalam hubungan tersebut diuraikan oleh seorang anggota SSG, Partha

Chatterjee. Ia menyatakan bahwa, dominasi hanya hadir dalam suatu hubungan, yakni kelompok dominan yang menghancurkan secara seketika kelas yang didominasi karena itu berarti kekuasaan dan dominasi pun akan lenyap: “Mereka (kelompok subaltern) akan tergabung dalam sejarah kelas dominan. Pada titik ini, ungkap Chatterjee, adalah penting untuk merumuskan keseluruhan aspek dari sejarah manusia sebagai sejarah, semisal, gerakan yang mengalir dari dorongan sosial yang berbeda dan bertentangan. Menolak kedaulatan kelompok subaltern berarti, ‘mengacuhkan aspek tersebut dari proses sejarah, mereduksi (kedaulatan) itu sebagai kemandegan yang jelas – jelas berarti menghancurkan sejarah (kedaulatan) itu’. Hal ini, adalah apa yang telah dilakukan dalam narasi sejarah elitis di India..” (Chatterjee via Arnold, 2000: 36 – 37) Kedaulatan dari kelompok subaltern dalam wilayah politik adalah tema yang terus diulang dalam tulisan – tulisan yang terangkum di jurnal Subaltern Studies. Gyanendra Pandey, dalam kajiannya mengenai gerakan tani di Awadh pada tahun 1919 – 22 juga menunjukkan bahwa gerakan itu murni sebagai iniasi kaum tani yang melawan tuan tanah, yang juga berarti melawan rezim kolonial Inggris. Ada beberapa kesamaan tema dan intepretasi dari kejadian yang dikaji oleh Pandey dan David Hardiman dalam kajian mengenai gerakan Devi di selatan Gujarat pada tahun 1922 – 23 (Arnold, 2000: 37). Gerakan tersebut terjadi di antara adivasi (petani tradisional), juga bermula sebagai gerakan yang otonom, yang menolak dominasi ekonomi para tuan tanah Parsi. Meski gerakan tersebut menemui kebuntuan pada tahun 1942, dalam pandangan Hardiman, gerakan itu telah menunjukkan bagaimana kelompok subaltern yang ditekan dan dieksploitasi bisa menginisiasi dan mempertahankan gerakan untuk menegaskan kedudukannya sendiri di hadapan kekuatan dan kepentingan ekonomi – politik yang demikian kuat pada masa itu. Arvind N. Das juga fokus pada pembedaan dan perlawanan kaum tani dalam proses disintegrasi dengan ekonomi tradisional yang dilakukan oleh pihak kolonial Inggris. Ia menyimpulkan dalam “Agrarian Change from Above and Below: Bihar 1947 – 78” (Edisi II, 1983) mengenai perkembangan gerakan petani (Kisan Sabha) di Bihar dan hubungan yang terjalin antara gerakan tersebut dan gerakan nasionalis. Das mengungkapkan proses yang menyertai perubahan dari atas dan bawah untuk menunjukkan bahwa, perubahan tata pertanian tidak bisa dipahami semata dari perspektif elit mengenai land reform, karena jauh sebelum itu, para petani telah terlibat dalam

gerakan terorganisir maupun sporadis yang menentang kepemilikan pribadi atas lahan (Currie, 1995: 226 – 227). Sumit Sarkar, seorang anggota SSG yang kemudian keluar dari kelompok tersebut, dalam tulisannya mengenai keterlibatan kelompok subaltern dalam gerakan Swadeshi dan pembangkangan di Bengali juga bertujuan untuk mempersoalkan interaksi alamiah dari dua wilayah politis yang diacu sebagai ‘kedaulatan relatif’ yang dimiiki kelompok subaltern. Seperti yang ditunjukkan dalam tulisan tersebut, adanya gerakan subaltern, meskipun tidak diinisiasi atau dipimpin oleh politisi elit, masih saja didorong oleh krisis dalam wilayah elit. Pada gilirannya, militansi subaltern meskipun tidak sepenuhnya berada di bawah arahan elit, tetap saja memiliki dan menyumbangkan kemandirian untuk bertahan dalam gerakan anti kolonial yang berada di bawah kekuatan dan otoritas kolonial (Sarkar via Arnold, 2000: 38). Hasil yang diperoleh lantas bukan koleksi essai yang mana eksposisi kompleks Gramsci mengenai “subalterno” secara sistematis diterapkan dalam konteks India. Melainkan, gagasan itu menjadi kehendak yang kentara dari penyunting jurnal tersebut. Analisa yang ditawarkan oleh Gramsci, bagaimana pun telah menyediakan kerangka intelektual yang longgar, yang mana menentukan muatannya. Pada tahap ini, lantas hadir suatu kesepakatan intelektual. Ada upaya perbaikan untuk keseimbangan narasi yang sesuai dengan tujuan penyunting dan menghasilkan diskusi yang memadai mengenai tema – tema subatern (Currie, 1995: 233). Hal senada dengan penekanan yang berbeda disebut oleh David Hardiman sebagai berikut: “Dan mereka telah mempertanyakan pula, representasi yang utamanya melalui teori struktural – fungsional atas masyarakat India yang kompleks namun pada intinya harmonis, yang mana konflik tidak pernah begitu fundamental sehingga tidak dapat diselesaikan, terutama melalui struktur Hindusime dan sistem kasta yang mampu mewadahinya. Konflik, dalam pandangan semacam itu, bahkan tampak valid dan menguatkan tatanan sosial dengan mendorong pertumbuhan hubungan vertikal (jaringan patronase, faksi, organisasi politik dll) ketimbang membuka hubungan riskan kelas yang berjejer dalam divisi horizontal.”(Hardiman, 1981: 223) Melalui penemuan empiris dan teorisasi yang lebih umum, para anggota SSG bergerak melampaui Gramsci dalam hal mengidentifikasi cakupan otonomi dan kohersi interal dalam politik kaum tani di India modern. Seperti yang telah dijelaskan di muka, ide – ide Gramsci tidak selamanya

menyediakan penjelasan yang memadai maupun berlaku secara universal dalam penerapannya. Namun, kajian yang dilakukan oleh anggota SSG ini memberi perhatian yang berarti mengenai subordinasi dan kontrol yang sangat relevan bagi siapapun yang ingin memahami subalternitas kaum tani di India (Arnold, 2000: 47 – 48). 2. Bentuk Kekuasaan Secara Horizontal: Prinsip ‘Relasi Kuasa’ Michel Foucault Pengaruh besar kedua dalam SSG adalah gagasan Michel Foucault. Dalam istilahnya sendiri, minat utama Foucault selama dua puluh tahun adalah, “menciptakan sejarah dari moda yang berbeda – beda, yang mana manusia menjadi subjek”. Subjek tidak diabsahkan dalam abstraksi atau isolasi; melainkan ditempatkan dalam jaringan relasi kuasa yang rumit, yang mana praktik kekuasaan menyebar dalam jejaring yang bersifat horizontal dalam keseharian individu. Hal ini dijelaskan oleh Foucault sebagai berikut: “Kekuasaan diterapkan dan dipraktikkan melalui pengorganisiran yang serupa jejaring. Para individu tidak hanya berputar di sekitarnya, tapi mereka selalu dalam posisi dimana kekuasaan dipraktikkan. Mereka bukan sekadar umpan dan target yang patuh; mereka juga merupakan elemen dari artikulasi tersebut. Dengan kata lain, individu tersebut adalah mesin dari kekuasaan, bukan titik yang ditekan.” (Foucault, 1980: 98) Berbeda dengan Hegel dan Marx, Foucault menolak asumsi umum sejarah, yang menyatakan bahwa hubungan dominasi dan subordinasi adalah integral. Foucault membedakan arti dari istilah ‘subjek’ dan menunjukkan keterkaitan moda antar manusia yang berubah menjadi subjek. Istilah subjek lantas menggambarkan: (a) kehendak individu yang memegang kendali dan bergantung pada “yang lain” serta (b) pembatasan dan tekanan yang mana seorang individu dihalangi oleh identitasnya sendiri atau oleh pengetahuan dan asumsinya sendiri (Currie, 1995: 223). Aspek dari dua pemaknaan tersebut tergabung dalam moda mengenai transformasi atau pembentukan subjek. Foucault mengidentifikasi tiga moda: 1) upaya objektifikasi atas subjek produktif (yang termasuk pendisiplinan melalui klasifikasi ‘saintifik’ seperti, pembahasan buruh dalam analisa mengenai kesejahteraan dan ekonomi; 2) upaya objektifikasi atas subjek melalui memilah – milah praktik (semisal, waras dan gila; sakit dan sehat; penyimpangan seksual dan

perilaku seks aman) yang membentuk struktur binaris dan mekanisme kontrol; 3) proses subjektifikasi melalui individual mengubah diri mereka menjadi subjek (O’Hanlon, 1988: 208). Bagi Foucault, konstruksi pengetahuan serta eksplorasi dan upaya menemukan subjek melalui analisis wacana, adalah metodologi alternatif terhadap ‘progres’ dalam trayek pemikiran Barat. Dari narasi Foucault, penggunaan sejarah yang berkesinambungan justru tidak ada. Ia menunjukkan bagaimana praktik wacana seperti “penyembuhan”, “psikiater” dan “ekonomika” adalah pengabsahan bagi pengetahuan dan kekuasaan. Dalam karya – karya akhirnya, khususnya “Discipline and Punish” (1977) ia fokus pada kaitan antara pengetahuan, kuasa, mekanisme kontrol dan dominasi (O’Hanlon, 1988: 224). Foucault percaya bahwa, sementara wacana berada dalam prinsip yang tanpa batas, masyarakat diatur dengan pembatasan untuk mengedarkan gagasan yang hanya boleh dilakukan oleh para pakar, yang menjadi ‘pengawal pengetahuan’. Ini adalah cara suatu wacana dikelola dan batasannya diawasi serta seluruh cakupan dari pengetahuan dikendalikan. Sebagaimana yang telah dikaji oleh para anggota SSG, pengelolaan wacana semacam ini menghalangi akses untuk meneliti masa lalu dan struktur narasi dari sejarah (Dhanagare, 1988: 23). Chatterjee agaknya adalah anggota SSG pertama yang berkomitmen dengan karya – karya Michel Foucault untuk memahami moda kuasa kapitalis dalam konteks India. Chatterjee secara khusus tertarik dalam analisa Foucault mengenai, ‘bentuk kuasa yang bercabang’ dalam masyakart modern, yang mana, ‘menjangkau tiap individu, menyentuh tubuh mereka dan memasukkan (kuasa) ke perilaku, wacana, proses belajar dan keseharian orang – orang. Hal ini disampaikan oleh Vinayak Chaturvedi sebagai berikut: “Karya penting Chatterjee menyiratkan bahwa, pemahaman mengenai moda kekuasaan dalam sejarah India membantu untuk menjelaskan bagaimana elit mendominasi, tapi di saat yang bersamaan, juga menyediakan cara yang kompleks dan beragam di mana kelompok subaltern berkontribusi dalam pembentukan dan merubuhkan moda kuasa tersebut serta menjelaskan kompleksitas masa transisi dari (periode) India kolonial.” (Chaturvedi, 2007: 13) Dipesh Chakrabarty adalah satu dari sekian kontributor dalam tiga edisi awal jurnal yang secara serius melihat persoalan kelas pekerja. Dua artikel mengenai pekerja rami (jute) di Kalkuta pada rentang 1890 dan 1950. Dalam artikel pertama yang berjudul “Conditions for Knowledge of

Working Class Conditions: Employers, Government and the Jute Workers of Calcutta, 1890 – 1940” (Edisi II, 1983) menggambarkan gagasan Marx dan Foucault dalam rangka menjelaskan keadaan subordinasi para pekerja dalam sistem produksi kapitalis. Analisa Chakrabarty dibantu dengan pembahasan dari karya Marx, “Capital I” yang didasarkan pada laporan pengawas pabrik dalam mengatur waktu kerja (Currie, 1995: 230). Bagi Marx, buruh dalam divisi kapitalisme memproduksi kesinambungan, keseragaman dan keteraturan. Semisal, divisi kapitalis yang mengatur disiplin buruh. Disiplin, dalam analisa Marx memiliki dua komponen: subordinasi teknis atas para pekerja yang menjadi instrumen terhadap para buruh; dan supervisi yang ditautkan dengan otoritas dari kapital. Bagi Chakrabarty, ide Marxian mengenai supervisi diulang oleh Foucault dalam menjelaskan selubung kapitalisme mengenai “batang tubuh pengetahuan” atas subjeknya. Chakrabarty, dalam upaya mengkonstruksi sejarah mengenai kondisi para pekerja rami berdasarkan dokumen milik negara dan pemilik modal yang mawas terhadap pembatasan sumber pengetahuan (Currie, 1995: 231). Pengaruh Foucault juga terdapat dalam artikel bernas milik David Arnold yang berjudul “Touching the Body: Perspectives on the India Plague, 1896 – 1900” (Edisi V, 1987). Dalam analisisnya, penyakit sampar mempertunjukkan tubuh yang terjajah sebagai, “ranah konflik antara kuasa kolonial dan politik pribumi”, yang mana dipaparkan melalui “teropong” dari sistem kesehatan Barat dan sentuhan fisiknya yang menularkan wabah. “Beranjak dari analogi Foucauldian mengenai penjara dan rumah sakit, Arnold menunjukkan perbedaan antara persepsi kolonial mengenai pemisahan, pembersihan dan lingkungan yang sehat di rumah sakit dengan persepsi pribumi mengenai, “tempat yang penuh polusi, bercampur darah dan kotoran, tak sesuai dengan kasta dan agama Pemberantasan awal terhadap wabah sampar disebut Arnold, menunjukkan “pembatasan praktik” terhadap kekuasaan dan “untuk memperpanjang sistem tata kelola yang tidak terlalu absolut dan satu dimensi” adalah apa yang telah diasumsikan oleh Foucault.” (Currie, 1995: 237) Dalam edisi VI yang terbit pada tahun 1989 memuat tulisan Sumit Sarkar, “The Kalki – Avatar of Bikrampur: A Village Scandal in Early Twentieth Century Bengal” dan Gautam Bhadra, “The Mentality of Subalternity: Kantanama or Rajdharma” yang sama – sama menggunakan metode analisis teks. Pemaparan Foucauldian yang dilakukan Sarkar fokus pada persepsi mengenai

kegilaan dan makna berlapis yang berangkat dari tujuh puluh lima gugatan di pengadilan (termasuk deposisi terdakwa dan bukti dari saksi) dalam kejadian di kampung Doyhata (Distrik Dacca) pada Desember 1904. Salah satu pembunuh yang berasal dari kasta untouchable dan korban yang berasal dari kasta yang lebih tinggi sekaligus bagian dari kelas menengah (bhadralok). Hal ini disampaikan oleh Currie sebagai berikut: “..Gautam Bhadra menerapkan analisis Foucauldian dalam menafsirkan puisi yang ditulis seorang kepala desa mengenai tuan tanah setempat pada pertengahan abad ke – 19. Menurut Bhadra, puisi tersebut menyiratkan, “momen ironi, ketakutan, perlawanan dan kepasrahan,” yang tampak pada keterkaitan idiom dominasi, subordinasi dan pemberontakan.” (Currie, 1995:238) Tulisan Ranajit Guha yang berjudul “Chandra’s Death” dan Shahid Amin, “Approver’s Testimony, Judicial Discourse: The Case of Chauri Chaura” (Edisi V, 1987) menggunakan pendekatan pada kegiatan tertentu (pada judul yang pertama, contohnya adalah kematian seorang perempuan karena kehamilan; sementara judul kedua adalah studi kasus pada kerusuhan di kota Chaura tahun 1922) melalui analisis konstruksi narasi dokumen. Dengan demikian, keduanya mengikuti teknik yang terinspirasi dari tulisan Foucault, “I, Pierre Riviere”, sebuah investigasi atas apa yang menyebabkan seseorang dianggap pembunuh (O’Hanlon, 1988: 191). Gagasan mengenai kemandirian dan kedaulatan individu, muncul dalam kesadaran yang seperti dinyatakan oleh Foucault, terjadi pada masa pencerahan Eropa di abad ke – 18. Periode tersebut juga menyaksikan proses krusial lain dalam proses evolusi negara modern: pemilahan antara negara dan masyarakat sipil. Ini adalah ranah kepentingan privat yang umum: keluarga, gereja, lembaga pembelajaran, serikat dagang, media dan kehidupan budaya, lembaga sipil; dimana individu mempraktikkan hak dan kebebasannya, terlepas dari perintah kekuasaan negara: suatu otoritas yang memperoleh legitimasinya dari hormat dan perlindungan terhadap hak dan kebebasan (Dhanagare, 1988: 18 – 19). Foucault telah mengkonstruksi kritik yang paling ampuh, tidak hanya mengenai ‘Manusia’ sebagai kategori yang universal, namun juga dalam melihat bagaimana masyarakat modern diatur populasi dan hidupnya melalui penciptaan wacana dan pengetahuan mengenai manusia, yang menentukan norma berpikir dan berpikir yang mengabaikan sisi subjektif manusia dan hukum keberadaannya.

Lebih dari siapapun, Foucault telah mendokumentasikan tindakan represif yang diacu sebagai ‘normalitas’. Dengan moda analitik semacam ini, adalah umum untuk merujuk pada rangkaian fenomena yang mirip dan diproses secara konvensional di bawah langgam ideologi tertentu. Konsep Foucault memberi kemudahan dalam melihat bentuk material dan institusional dimana wacana disemai, namun lemah pada konsep mengenai aparatus. Nyaris semua pembahasan kontemporer menyinggung tentang wujud kuasa yang menyebabkan keadaan tertentu. Kuasa kolonial lantas menggerakkan kekuatannya melalui dua sumber: dari kemampuan material untuk memaksa, yang dilakukan dengan pasukan bersenjata, dan dari wacana Orientalist yang dilakukan oleh ‘pasukan’ berpendidikan seperti akademisi, linguis, sejarawan, antropolog dan lainnya (O’Hanlon, 1988: 199 – 200). Kurangnya penjelajahan atas tema – tema pemberontakan yang penting untuk kritisisme seringkali berpihak pada anggapan Foucault pula: bahwa, tidak ada ruang dan kemungkinan untuk tema perlawanan dalam praktik pengetahuan yang telah disiplinkan agar mengamankan kekuasaan. Dengan fokus pada struktur kuasa dan metode objektifikasi manusia, Foucault membongkar kekuasan secara nyata pada tiap praktik yang dilakukan. Hal ini berbeda dengan fokus Gramsci pada hegemoni yang berdiri di atas ketidakseimbangan yang dibangun oleh aliansi kekuasaan yang dinamis dan pembuatan kesepakatan dari kelompok subordinat yang mana, menciptakan ruang konseptual untuk perlawanan, yang mana tidak ditemukan dalam kerangka teoritik yang ditawarkan Foucault (Currie, 1995: 239). Karya – karyanya seringkali dirujuk dalam tiga kata kunci: feminisme, Marxisme dan dekonstruksi. Meskipun demikian, ia sendiri menolak dilabelkan sebagai “pemadu” tiga bidang tersebut. Ia skeptis terhadap setiap ideologi “totalisasi”, karena ia melihat hal itu sangat ditandai oleh pengaruh kolonial (Spivak 1990: 15 via Kinnvall). Sebagai kritikus feminis pascakolonial, Spivak terus menantang pemikiran Barat kontemporer dengan menunjukkan wacana, praktik dan budaya dominan yang melembaga secara konsisten meminggirkan kaum jelata, khususnya perempuan. Pada tahun 1988, tulisan Spivak yang berjudul, ‘Can the Subaltern Speak’ dalam buku suntingan Gary Nelson dan Lawrence Grossberg yang berjudul Marxism and The Interpretation of Culture, menjadi esai yang membawa isu jender ke hadapan proyek Subaltern Studies. Tulisan Gayatri yang berjudul ‘Subaltern Studies: Deconstruction Historiography’ yang dimuat dalam

Subaltern Studies IV yang terbit tahun 1985 mendahului tulisan ‘Can the Subaltern Speak?’; bagaimana pun, tulisan yang belakangan membuka rongga besar dalam proyek ini, seperti yang diungkapkan oleh Leela Gandhi: “Interogasi Spivak yang terkemuka mengenai resiko dan imbalan yang menghantui tiap akademisi yang berupaya (berbicara) tentang subalternitas lantas menunjukkan adanya hubungan yang rumit antara penyelidik dan yang (tidak tahu) tengah diselidiki dalam sejarah subaltern. Bagaimana, gugatnya, ‘cara kita menyentuh kesadaran rakyat, bahkan jika kita menyelidiki (sikap) politiknya? Dengan suara-kesadaran semacam apa para subaltern berbicara?’ Melalui pertanyaan ini, Spivak mendudukkan kita pada wilayah yang penuh masalah namun familiar terkait ‘perwakilan’ dan ‘keterwakilan’. Bagaimana seorang sejarawan atau penyelidik mampu menghindari resiko dari menghadirkan dirinya sebagai perwakilan otoritatif dari kesadaran subaltern? Haruskah para intelektual ‘absen dari perwakilan’ tersebut? Intelektual mana yang boleh mewakili kelompok subaltern yang mana? Adakah, kelompok subaltern yang tidak terwakili dan bisa mengetahui serta berbicara untuk dirinya sendiri?’ Dan akhirnya, siapa –jika ada— yang ‘benar’ dan ‘cukup mewakili’ sejarah subaltern itu sendiri, terutama dalam kerangka yang telah disediakan oleh proyek penjajah?” (Gandhi, 1998: 2) Spivak adalah salah satu dari yang pertama mengartikulasikan teori pascakolonial melalui lensa dekonstruktif. Dia juga berpengaruh dalam mengupayakan dekonstruksi untuk bekerja di luar batas-batas disipliner kritik sastra dan filsafat, dan dalam membawa dekonstruksi dari etika ke politik. Pertanyaan tentang bagaimana merepresentasikan others (pihak lain) mempersyaratkan tanggung jawab. Pembacaan dan penafsiran Spivak atas “Of Grammatology” dalam banyak cara mengurai masa depan kajian ontologi, epistemologi dan metodologi yang dekonstruktif. Bagi Spivak, dekonstruksi membuka gagasan anti – esensialis atas asal usul identitas sebagaimana yang difokuskan untuk mengkaji proses naturalisasi sejarah personal dan keinginan terhadap kebenaran umum. Salah satu aspek yang lebih kompleks dari tulisan – tulisan Spivak adalah upayanya yang terus menerus menghubungkan pengalaman – pengalaman dari individu – individu dan kelompok– kelompok sosial yang secara historis telah dijajah dan dieksploitasi oleh kolonialisme Eropa. Satu keprihatinan utamanya adalah menunjukkan bagaimana kategori universal, yang oleh Derrida

disebut catachresis, telah digunakan untuk mewakili kelompok yang lebih atau kurang telah dibagi secara internal, semisal: perempuan, pekerja dan penjajah. Ekspansi kolonial adalah tentang pelabelan tempat – tempat dalam cara – cara yang mereka menjadi terjalin dengan ide -ide tentang others; native. Di sini, Spivak membahas bagaimana imajiner kultural mempengaruhi penalaran kita, dengan demikian imajiner terletak di atas biner yang diterima. Spivak menuturkan pada perempuan subaltern di Asia Selatan dan sejarah sati (janda yang membakar diri demi wujud kesetiaan pada suaminya yang baru meninggal) untuk menunjukkan bagaimana perempuan subaltern dibangun dan dikendalikan secara paradoksal oleh otoritas patriarkal tradisional dan oleh kolonialisme Inggris. Dalam teks, ia berpendapat bahwa representasi kolonial Inggris tentang sati mengecualikan suara dan tubuh perempuan Hindu. Bukannya mendukung agen perempuan, penjajah Inggris justru menggunakan tubuh janda sebagai medan pertempuran ideologis bagi kekuasaan kolonial, dengan demikian membenarkan eksploitasi sistematis terhadap wilayah itu sebagai misi peradaban (sati sebelumnya dianggap tak beradab). Akan tetapi, teks itu juga fokus pada kemampuan intelektual Barat untuk berbicara atas nama subaltern. Sasaran etis Spivak adalah membuat kaum perempuan subaltern terdengar. D. Perkembangannya DI Indonesia Penulis tidak berhasil menemukan sebauh komunitas sejarawan yang menggunakan pisau analisis dari SSG. Namun, Penulis melihat ada corak yang hamper sama dengan proyek yang dibangun oleh SSG di dalam karya-karya Sejarawan UI Peranakan Tionghoa yaitu Onghokham. Dalam corak historiografinya Ong berusaha untuk membuka sebuah pandangan baru yang berasal dari bawah. Dalam proyek historiografinya Ong sering meneliti hal-hal yang luput dari para sejarawan dimasanya. Dia berusaha mengangkat sejarah-sejarah kecil yang ada pada masa kolonial sampai pasca-kemerdekaan. Mulai dari Tempe, Tuyul, Glandangan, Gay, Ristafel dll (Onghokham, 2002: bab2- bab3) Misalnya, pada konteks sejarah ekonomi Ong pernah menulis tentang posisi tempe dalam sejarah Indonesia. Ong melihat tempe sebagai suatu unit usaha non-pertanian yang sangat berperan saat kebanyakan warga pribumi kekurangan asupan protein. Tempe adalah modifikasi historis yang dilahirkan penduduk pribumi untuk mengatasi kelangkaan sumber protein pada masa penjajahan.

Guna memberikan penjelasan pada persoalan penetrasi ekonomi kapitalis di pedesaan Jawa, Ong menulis artikel tentang posisi tuyul dalam masyarakat Jawa (Onghokham, 2002: 79-83). Ong menyebut soal Tuyulisme untuk menunjukkan bahwa ketika elite lokal bersekutu dengan ekonomi kolonial dan sebab itu warga lokal menanjak pesat kekayaanya. Sosok tuyul akan digunakan untuk mempojokkan pribumi tersebut, karena telah dengan cara kapitalis keluar dari struktur ekonomi mayoritas pribumi miskin. Masyarakat akan berkata bahwa kekayaan elite itu adalah hasil memelihara tuyul. Lewat cara itu kapitalisme elite lokal di pedesaan Jawa tidak akan pernah mencapai bentuknya yang sempurna sebagaimana kapitalisme di Barat yang melahirkan zaman industrial. Tuyulisme adalah resistensi pribumi menanggapi persekongkolan elite lokal dengan ekonomi kolonial (Onghokham, 2002:179-181). Daftar pustaka -

Arnold, David. 2000, ‘Gramsci and Peasant Subalternity in India’ dalam Mapping Subaltern Studies and the Postcolonial, Verso, London

-

Bakker, Anton & Zubair, A.C. 1990, Metode Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta

-

Castells, Manuel. 2010, The Rise of the Network Society, Wiley Blackwell, Oxford

-

Chaturvedi, Vinayak. (ed) 2000, ‘A Critical Theory of Subalternity: Rethinking Class in Indian Historiography’ dalam Mapping The Subaltern Studies and the Postcolonial, Verso, London

-

Chibber, Vivek. 2013, Postcolonial Theory and The Spectre of Capital, Verso, London

-

Foucault, Michel. 1980, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, Pantheon Books

-

Gramsci, Antonio. 2000, Sejarah dan Budaya, terj. Ira Puspitarini dkk, Pustaka Promethea, Surabaya

-

Guha, Ranajit. 1987, ‘On Some Aspect Of The Historiography Of Colonial India’ dalam Selected Subaltern Studies, Oxford University Press, New York – Oxford

-

___________. 1997, Dominance Without Hegemony: History and Power in Colonial India, Harvard University Press, London

-

Hardiman, David. 1981, Peasant Nationalist of Gujarat: Kheda District 1917 – 1934, Oxford University Press, New Delhi

-

Llyod, Christopher. 2009, ‘Historiographic Schools’ dalam A Companion to the Philosophy of History and Historiography, eds Avizier Tucker, Blackwell

Publishing

Loomba,

Ania.

2003,

Kolonialisme/Pascakolonialisme, Bentang, Yogyakarta -

Ludden, David. (ed) 2001. ‘Introduction’ dalam Reading Subaltern Studies: Critical History, Contested Meaning and the Globalization of South Asia, Anthem Press, London

-

Chakrabarty, Dipesh, 2000, ‘Subaltern Studies and Postcolonial Historiography’ Neplanta: Views from South vol. 1, Issue 1 hal. 9 – 32

-

Chaturvedi, Vinayak 2007, ‘A Critical Theory of Subalternity: Rethinking Class in Indian Historiography’, Left History edisi 12/1

-

Chandavarkar, Rajnarayan. 1997, ‘The Making of the Working Class: E.P. Thompson and Indian History’, History and Workshop Jurnal, No. 43, hal. 177 – 196

-

Chatterjee, Partha. 2012, ‘After Subaltern Studies’, Economic and Political Weekly, Vol. XLVII, No. 35, hal. 44 – 49

-

Currie, Kate. 1995, ‘The Challenge to Orientalist, Elitist and Western Historiography: Notes on the “Subaltern Project” 1982 – 1989’, Dialectical Anthropology, vol. 20, No. 2, hal. 219 – 246

-

Dhanagare, D.N., 1988, ‘Subaltern Consciousness and Populism: Two Approaches in the Study of Social Movement in India’, Social Scientist, Vol. 16, No. 11, hal. 18 – 35

-

Onghokham. 2012. Runtuhnya Hindia Belanda. Bandung: Komunitas Bambu. Onghokhan. 1984. "Bentuk Negara Indonesia dan Aspek Interasionalisasi." Prisma (Maka) 19-33.

Related Documents

Ilmu-ilmu
August 2019 66
Ilmu
June 2020 33
Ilmu
May 2020 40
Ilmu-ilmu Kauniah
May 2020 29
Ilmu Kalam.docx
May 2020 2
Kode Ilmu
June 2020 4

More Documents from ""

Sospolpp_diska.docx
November 2019 10
Ilmu Sosial.docx
November 2019 24
Lan On Windows
May 2020 18
Peneltian Fundamental
April 2020 22