I’tikaf “Diriwayatkan dari Anas ra ,ia berkata Rasulullah SAW biasa melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan. Kemudian beliau pernah tidak beri’tikaf pada suatu tahun, lalu pada tahun berikutnya beliau beri’tikaf selama dua puluh hari“ (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Bulan Ramadhan adalah bulan ibadah. Umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah jika ibadah itu didasari dengan iman maka Allah SWT akan mengam-puninya. I’tikaf adalah salah satu ibadah yang dilakukan pada bulan Ramadhan. I’tikaf adalah salah satu sistem dalam peribadatan Islam, yaitu dengan berdiam diri di Masjid untuk sementara waktu dengan niat ibadah. I’tikaf biasanya diisi dengan ibadah-ibadah sunah, misalnya memperbanyak shalat sunah, membaca Al Quran dan hadis zikir serta dapat dimanfaatkan pula untuk memperdalam tsaqafah (wawasan) keislaman. Pada hakikatnya, I’tikaf adalah memisahkan diri untuk sementara waktu dan kehidupan masyarakat dan membenamkan diri dalam kehidupan agama yang dilakukan dengan berdiam diri di Masjid. Inti dan i’tikaf adalah meningkatkan ketaqwaan. Apabila ketaqwaan umat Islam sudah lemah atau sirna oleh peristiwa yang menekan atau oleh pukulan jiwa dalam kehidupan masyarakat, maka salah satu solusinya adalah i’tikaf. Oleh karena itu, lamanya waktu i’tikaf tergantung pada pengembalian taqwa itu. Minimal dalam waktu tuma’ninah (waktu selama ruku’ dalam raka’at). Bagaimana Rasulullah beri’tikaf? Siti Aisyah berkata. “Nabi Muhammad SAW. apabila hendak beri’tikaf beliau shalat subuh lalu masuk ke tempat i’tikaf” (Muttafaqunlaih). Rasulullah SAW. tidak pulang pergi ketika beri’tikaf kecuali apabila ada keperluan. Siti Aisyah r.a mengatakan, “Rasulullah SAW. mengulurkan kepalanya kepada saya, sedang beliau berada di masjid, kemudian saya menyisir rambutnya, dan beliau tidak masuk rumah apabila sedang beri’tikaf, kecuali beliau ada keperluan". (HR. Bukhari) Mengenai kapan i’tikaf itu dilaksanakan, sebaiknya diperbanyak pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, ber-dasarkan contoh yang telah diberikan oleh Rasulullah SAW. Dan Aisyah r.a. Ia berkata, “adalah Rasulultah SAW. apabila telah masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dibangunkanlah keluarganya dan senantiasa mengencangkan ikat pinggang" (Muttafaqunalaih). Pada bulan Ramadhan yang penuh berkah ini marilah kita mengunjungi Masjid untuk beri’tikaf. Meluangkan sedikit waktu hidup kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Khaliq. Memuji kebesaran-Nya dan merenungi ke mahakuasaan-Nya. memohon ampunan atas segala aktivitas kita yang telah melalaikan sebagian seruan-seruan-Nya, dan berdo’a agar umat Islam di manapun berada diberi kesabaran, ketabahan, serta kekuatan dalam memecahkan segala permasalahan hidupnya yang sangat kompleks. Menurut para ahli fikih, i’tikaf pada dasarnya dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu berapa lama saja. Bahkan menurut imam Syafi’i, i’tikaf sudah dicapai dengan cara berdiam di Masjid beberapa menit saja asal dengan niat yang suci dan tulus ikhlas karena Allah SWT. Namun demikian Rasulullah SAW. sendiri, seperti telah dikemukakan selalu melakukan i’tikaf itu pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan Ramadhan. Pada waktu itikaf itu, beliau antara lain memperbanyak membaca Al-quran berkontemplasi, serta berdoa kepada Allah SWT. Anjuran i’tikaf ini tampaknya berkaitan erat dengan imformasi datangnya Lailatulqadar yaitu malam kemuliaan atau juga dikenal dengan sebutan malam seribu bulan, karena ibadah pada malam itu dinilai lebih baik dan seribu bulan. Rasulullah saw bersabda: “Carilah (malam qadar) itu pada sepuluh akhir dari bulan Ramadhan" (HR. Ahmad dan Bukhari) Malam itu (malam qadar) tentu saja di tunggu-tunggu kehadirannya oleh setiap muslim yang mendambakan kebaikan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Namun perlu diingat bahwa Lailatulqadar tidak akan datang menemui semua orang. Ia hanya datang mengunjungi orang tetentu dengan tingkat kesucian moralitas dan spritualitas tententu pula. Menunut A Ilyas Ismail. MA Pernyataan ini dapat dipahami setidak-tidaknya dari dua pentimbangan berikut ini: Pertama, dilihat dari waktu datangnya lailatul qadar itu sendiri. Ia datang bukan di awal, melainkan di akhir Ramadhan. Ini dimaksudkan agar umat Islam menjelang berakhirnya puasa Ramadhan itu telah mencapai tingkat kematangan dan kesempurnaan jiwa dengan ibadah puasa yang mereka lakukan. Dengan begitu, mereka memiliki kesiapan mental untuk menerima kehadiran malam kemuliaan yang agung itu. Kedua, dilihat dan tempat penyambutan lailatul qadar itu. Tempat itu adalah Masjid. Di sini, semua ulama berpendapat bahwa i’tikaf yang diasumsikan sebagai kegiatan ibadah dalam rangka menyambut datangnya lailatul qadar itu harus dilakukan di masjid, bukan di tempat-tempat lain. Pertanyaannya, mengapa harus di masjid? Jawabnya cukup jelas, yaitu karena masjid adalah tempat suci dan tempat dilakukannya berbagai kebajikan. Masjid juga tempat di mana kita berusaha untuk melepaskan diri dari berbagai hiruk-pikuk kehidupan dunia yang menyesakkan guna memperoleh pencerahan iman dan rohani kita. Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa sesungguhnya ibadah puasa dengan i’tikaf yang harus diintensifkan pada sepuluh hari dan malam terakhir Ramadhan ini dapat mengantar umat Islam meraih lailatul qadar itu. Makna lailatul qadar menurut pakar tafsir, Abdullah Yusuf Ali, tak lain adalah perubahan hidup yang radikal, dari kehidupan yang penuh kegelapan menuju kehidupan yang terang-benderang di bawah petunjuk Allah SWT.
Yang jelas i’tikaf adalah suatu ibadah yang sangat terpuji dilakukan baik di bulan Ramadhan maupun di hari-hari lainnya. Rasulullah SAW. bersabda: “Siapa yang beri’tikaf sehari demi karena mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala, maka Allah benkenan membuat antara dia dan api (neraka) tiga buah parit, tiap parit lebih jauh dari masyriq dan maghrib" (HR. Thabrani) Semoga dengan melaksanakan i’tikaf apalagi di bulan suci Ramadhan yang agung dan penuh berkah Allah SWT memasukkan kita ke dalam golongan para muttaqien. Amin wallahu a’lam