Ikterus Nenatorum.docx

  • Uploaded by: Jelow
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ikterus Nenatorum.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,034
  • Pages: 26
Ikterus Neonatorum Patologis

Kelompok A9 Blok 17 NIXON IRIANTO SINURAT

102010308

ROSALIA A.J.P KELANIT

102010312

JORDY

102011015

NILA SEPTIANTI

102011101

CHANDRA FRANATA

102011148

MARIA THEODORA DRK

102011264

THESA CHRISTI FOREVERIN

102011298

ANIS ADILAH ‘IZZATI BINTI AZIZAN 102011432

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta

1

Pendahuluan Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.

Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus patologis).

Skenario 10 Seorang bayi yang dilahirkan pada usia kehamilan 38 minggu secara normal pervaginam, tampak kuning setelah 12 jam dilahirkan. Bayi tampak kurang aktif, menangis lemah, dan tidak mau menyusu. Warna kuning mulai tampak di wajah pada usia 12 jam, menjalar cepat ke seluruh tubuh pada usia 24 jam. Pada pemeriksaan fisik didapatkan (+) jaundice pada seluruh tubuh, TTV dalam batas normal.

2

Anamnesis Anamnesis adalah wawancara antara dokter, penderita atau keluarga penderita yang mempunyai hubungan dekat dengan pasien atau warga yang menjadi saksi terhadap apa yang berlaku, mengenai semua data tentang penyakit. Dalam anamnesis, harus diketahui adalah identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang dan dulu, riwayat kesihatan keluarga, riwayat peribadi dan riwayat ekonomi. Anamnesis dapat dibagikan kepada 2 jenis yaitu:1 a.

Alloanamnesis : riwayat penyakit didapat dari orang tua atau sumber lain.

b.

Autoanamnesis: riwayat penyakit yang langsung didapatkan dari pasien.

pasien sendiri yang menemui dokter dan memberitahu sendiri riwayat penyakit dan keluhan yang mereka hadapi. Berdasarkan kasus, anamnesis dilakukan secara alloanamnesis karena pasien masih bayi dah tidak bisa berbicara. Wawancara dilakukan dengan bertanya kepada ibu bayi tersebut yang merupakan orang paling dekat dengan bayi sejak lahir. Anamnesis harus dilakukan secara teliti, teratur, dan lengkap karena sebagian besar data yang diperlukan diperoleh dari anamnesis untuk menegakkan diagnosis. Untuk mengendalikan suatu wawancara hal-hal yang perlu diperhatikan :1 -

Pakailah pernyataan-pertanyaan peralihan untuk mengendalikan pasien yang

berbicara bertele-tele -

Mintalah ijin untuk menyelidiki persoalan-persoalan yang sensitive

-

Berikanlah respons singkat kalau pasien mengungkapkan emosinya

3

-

Hindarilah memberikan pertanyaan yang bertubi-tubi

-

Selidikilah semua petunjuk

-

Bila perlu, lontarkan emosi

Hal-hal yang perlu dipertanyakan dalam anamnesis :1 

Identitas pasien; nama, umur, tanggal lahir, tempat tinggal dan berapa minggu waktu gestasi.



Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal)



Riwayat persalinan dengan tindakan atau komplikasi.



Riwayat ikterus atau terapi sinar atau transfusi tukar pada bayi sebelumnya.



Riwayat inkompatibilitas darah.



Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembeseran hepar dan limpa.



Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.

Pemeriksaan I.

Pemeriksaan Fisik

 Status Generalis i.

Keadaan umum : tampak sakit ringan, sedang atau berat.

ii.

Kesadaran : (compos mentis somnolen dll, kontak aktif/negatif)

iii.

Pemeriksaan tanda vital. - Pemeriksaan ini meliputi pengukuran tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu tubuh, tinggi badan, berat badan.

4

- Pada bayi, normal apabila didapatkan frekuensi pernapasan yang tinggi daripada biasa.1  Data antropometri o Berat badan : dari kasus didapatkan 3.2kg o Panjang badan : dari kasus didapatkan 50 cm o Lingkar kepala  Pemeriksaan Sistematis Kepala : melihat apakah ubun-ubun besar dan ubun-ubun kecil belum menutup dan tidak cekung. Perabaan penutupan Sutur Sagitalis, Lambdoidal, Coronaria. Mata

: Melihat apakah sklera ikterik.

Melihat kelainan pada Telinga, Hidung, Mulut, Leher, Thorax, Jantung, Abdomen, Genitalia Eksternal, Ekstremitas, Kelenjar Getah Bening: Tidak ada kelainan. Kulit

: Melihat kuning pada wajah, dahi, badan dan keempat ekstremitas (telapak kaki tidak kuning), menilai turgor dan sianosis pada kulit.1

II.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium -

Kadar bilirubin serum

-

Selain kadar bilirubin serum dapat dilakukan pemeriksaan anjuran lainnya seperti: 

Golongan darah dan Rh pada bayi dan ibu.



Direk Coombs test pada bayi.



Kadar Hb dan Ht.



Kadar albumin serum.



Pengukuran End – Tidal CarbonMonoxide (ETCO) dalam pernafasan. ETCO dapat digunakan sebagai index produksi bilirubin.



Pemeriksaan morfologi eritrosit darah tepi.



Hitung retikulosit.



Test fungsi hati: peningkatan SGOT dan SGPT pada penyakit hepatoselular.



Analisis gas darah: Resiko toksisitas sistem saraf pusat meningkat pada keadaan asidosis, terutama asidosis respiratorium.2

5

Diagnosa Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti yang penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan yang erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.

Diagnosis

Nature of Van den Bergh Reaction

Peak Bilirubin Concentration

Jaundice Appea rs

Disappe ars

mg/dL

Age in Days

Bilirubin Rate of Accumula tion (mg/dL/ day)

Usually relates to degree of maturity

"Physiologic jaundice": Full–term

Remarks

Indirect

2–3 days

4–5 days

10–12

2–3

<5

Indirect

3–4 days

7–9 days

15

6–8

<5

Premature Hyperbilirub i-nemia due to metabolic factors

Metabolic factors: hypoxia, respiratory distress, lack of carbohydrate

Full–term

Indirect

2–3 days

Variable

>2

1st wk

<5

Hormonal influences: cretinism, hormones, Gilbert Syndrome

Premature

Indirect

3–4 days

Variable

>15

1st wk

<5

Hemolytic states and hematoma

Indirect

May appear in 1st 24 hr

Variable

Unlimit ed

Variable

Usually >5

Mixed

Indirect

May

Variable

Unlimit

Variable

Usually

Genetic factors: Crigler–Najjar syndrome, transient familial hyperbilirubinemia Drugs: vitamin K, novobiocin Erythroblastosis: Rh, ABO. Congenital hemolytic states: spherocytic, nonspherocytic Infantile pyknocytosis. Drugs: vitamin K. Enclosed hemorrhage—hematoma Infection: bacterial sepsis,

6

hemolytic and hepatotoxic factors

Hepatocellul ar damage

and direct

appear in 1st 24 hr

Indirect and direct

Usuall y 2–3 days

ed

Variable

Unlimit ed

Variable

>5

pyelonephritis, hepatitis, toxoplasmosis, cytomegalic inclusion disease, rubella Drugs: vitamin K

Variable can be >5

Biliary atresia; galactosemia; hepatitis and infection

Tabel : Tanda-tanda diagnostik berbagai tipe Ikterus Neonatorum3

Diagnosis kerja untuk kasus ini adalah ikterus patologik et causa inkompatibilitas ABO. Diagnosis Banding 1. Sferositosis4,5 Sferositosis Herediter adalah penyakit keturunan dimana sel darah merah berbentuk bulat. Sel darah merah yang bentuknya berubah dan kaku terperangkap dan dihancurkan dalam limpa, menyebabkan anemia dan pembesaran limpa. Anemia biasanya ringan, tetapi bisa semakin berat jika terjadi infeksi. Jika penyakit ini berat, bisa terjadi: - sakit kuning (jaundice) - anemia - pembesaran hati - pembentukan batu empedu. Pada dewasa muda, penyakit ini sering dikelirukan sebagai hepatitis. Bisa terjadi kelainan bentuk tulang, seperti tulang tengkorak yang berbentuk seperti menara dan kelebihan jari tangan dan kaki. Biasanya tidak diperlukan pengobatan, tetapi anemia yang berat

7

mungkin memerlukan tindakan pengangkatan limpa. Tindakan ini tidak memperbaiki bentuk sel darah merah, tetapi mengurangi jumlah sel yang dihancurkan dan karena itu memperbaiki anemia. 2. Infeksi intra-uterine (TORCH)5 TORCH adalah istilah untuk menggambarkan gabungan dari empat jenis penyakit infeksi yaitu TOxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakti infeksi ini, sama-sama berbahaya bagi janin bila infeksi diderita oleh ibu hamil. Kini, diagnosis untuk penyakit infeksi telah berkembang antar lain ke arah pemeriksaan secara imunologis. Prinsip dari pemeriksaan ini adalah deteksi adanya zat anti (antibodi) yang spesifik taerhadap kuman penyebab infeksi tersebut sebagai respon tubuh terhadap adanya benda asing (kuman. Antibodi yang terburuk dapat berupa Imunoglobulin M (IgM) dan Imunoglobulin G (IgG) TOXOPLASMA Infeksi Toxoplasma disebabkan oleh parasit yang disebut Toxoplasma gondi. Pada umumnya, infeksi Toxoplasma terjadi tanpa disertai gejala yang spesipik. Kira-kira hanya 1020% kasus infeksi. Toxoplasma yang disertai gejala ringan, mirip gejala influenza, bisa timbul rasa lelah, malaise, demam, dan umumnya tidak menimbulkan masalah. Infeksi Toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu sedang hamil atau pada orang dengan sistem kekebalan tubuh terganggu (misalnya penderita AIDS, pasien transpalasi organ yang mendapatkan obat penekan respon imun). Jika wanita hamil terinfeksi Toxoplasma maka akibat yang dapat terjadi adalah abortus spontan atau keguguran (4%), lahir mati (3%) atau bayi menderita Toxoplasmosis bawaan.

8

pada Toxoplasmosis bawaan, gejala dapat muncul setelah dewasa, misalnya kelinan mata dan atelinga, retardasi mental, kejang-kejang dn ensefalitis. Diagnosis Toxoplasmosis secara klinis sukar ditentukan karena gejala-gejalanya tidak spesifik atau bahkan tidak menunjukkan gejala (sub klinik). Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium mutlak diperlukan untuk mendapatkan diagnosis yang tepat. Pemeriksaan yang lazim dilakukan adalah Anti-Toxoplasma IgG, IgM dan IgA, serta Aviditas Anti-Toxoplasma IgG. Pemeriksaan tersebut perlu dilakukan pada orang yang diduga terinfeksi Toxoplasma, ibu-ibu sebelum atau selama masa hamil (bila hasilnya negatif pelu diulang sebulan sekali khususnya pada trimester pertma, selanjutnya tiap trimeter), serta bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi Toxoplasma. RUBELLA Infeksi Rubella ditandai dengan demam akut, ruam pada kulit dan pembesaran kelenjar getah bening. Infeksi ini disebabkan oleh virus Rubella, dapat menyerang anak-anak dan dewasa muda. Infeksi Rubella berbahaya bila tejadi pada wanita hamil muda, karena dapat menyebabkan kelainan pada bayinya. Jika infeksi terjadi pada bulan pertama kehamilan maka risiko terjadinya kelainan adalah 50%, sedangkan jika infeksi tejadi trimester pertama maka risikonya menjadi 25% (menurut America College of Obstatrician and Gynecologists, 1981). Tanda tanda dan gejala infeksi Rubella sangat bervariasi untuk tiap individu, bahkan pada beberapa pasien tidak dikenali, terutama apabila ruam merah tidak tampak. Oleh Karena itu, diagnosis infeksi Rubella yang tepat perlu ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan Anti-Rubella IgG dana IgM. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dapat digunakan untuk mendeteksi adanya

9

kekebalan pada saat sebelum hamil. Jika ternyata belum memiliki kekebalan, dianjurkan untuk divaksinasi. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dan IgM terutama sangat berguna untuk diagnosis infeksi akut pada kehamilan < 18 minggu dan risiko infeksi rubella bawaan. CYTOMEGALOVIRUS (CMV) Infeksi CMV disebabkan oleh virus Cytomegalo, dan virus ini temasuk golongan virus keluarga Herpes. Seperti halnya keluarga herpes lainnya, virus CMV dapat tinggal secara laten dalam tubuh dan CMV merupakan salah satu penyebab infeksi yang berbahaya bagi janin bila infeksi yang berbahaya bagi janin bila infeksi terjadi saat ibu sedang hamil. Jika ibu hamil terinfeksi. maka janin yang dikandung mempunyai risiko tertular sehingga mengalami gangguan misalnya pembesaran hati, kuning, ekapuran otak, ketulian, retardasi mental, dan lain-lain. Pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat untuk mengetahui infeksi akut atau infeski berulang, dimana infeksi akut mempunyai risiko yang lebih tinggi. Pemeriksaan laboratorium yang silakukan meliputi Anti CMV IgG dan IgM, serta Aviditas Anti-CMV IgG. HERPES SIMPLEKS TIPE II Infeksi herpes pada alat genital (kelamin) disebabkan oleh Virus Herpes Simpleks tipe II (HSV II). Virus ini dapat berada dalam bentuk laten, menjalar melalui serabut syaraf sensorik dan berdiam diganglion sistem syaraf otonom. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HSV II biasanya memperlihatkan lepuh pada kuli, tetapi hal ini tidak selalu muncul sehingga mungkin tidak diketahui. Infeksi HSV II pada bayi yang baru lahir dapat berakibat fatal (Pada lebih dari 50 kasus)

10

Pemeriksaan laboratorium, yaitu Anti-HSV II IgG dan Igm sangat penting untuk mendeteksi secara dini terhadap kemungkinan terjadinya infeksi oleh HSV II dan mencaegah bahaya lebih lanjut pada bayi bila infeksi terjadi pada saat kehamilan. Infeksi TORCH yang terjadi pada ibu hamil dapt membahayakan janin yang dikandungnya. Pada infeksi TORCH, gejala klinis yang ada searing sulit dibedakan dari penyakit lain karena gejalanya tidak spesifik. Walaupun ada yang memberi gejala ini tidak muncul sehingga menyulitkan dokter untuk melakukan diagnosis. Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan untuk membantu mengetahui infeksi TORCH agar dokter dapat memberikan penanganan atau terapi yang tepat. 3. Anemia haemolitik4,5 Golongan penyakit ini dapat menimbulkan gambaran klinik yang menyerupai erytrhoblasthosis foetalis akibat isoimunisasi. Pada penyakit ini coombs test biasanya negatif. Beberapa penyakit lain yang dapat disebut ialah sperositosis kongenital, anemia sel sabit (sickle – cell anemia ), dan elyptocytosis herediter. 4. Defisiensi enzim glukosa-6-fosfat-dehidrogenase (G6PD)4,5 Defisiensi G6PD merupakan penyakit dengan gangguan herediter pada aktivitas eritrosit (seldarah merah), di mana terdapat kekurangan enzim glukosa-6-fosfat-dehidrogenase (G6PD).Enzim G6PD ini berperan pada perlindungan eritrosit dari reaksi oksidatif. Karena kurangnya enzim ini, eritrosit jadi lebih mudah mengalami penghancuran (hemolisis). Terjadinya hemolisis ditandai dengan demam yang disertai jaundice (kuning) dan pucat di seluruh tubuhdan mukosa. Urin juga berubah warna menjadi jingga-kecoklatan; ditemukan tanda syok (nadi cepat dan lemah, frekuensi pernapasan meningkat), dan tanda kelelahan umum.  Anamnesis : Dilakukan bertujuan untuk mendeteksi adakah anggota lain yang turut mengalami kondisi yang sama berikutan penyakit ini bersifat herediter.

11

 Pemeriksaan fisik : ditemukan gejala seperti pucat, jaundice, mudah letih, sesak napas, jantung berdebar-debar atau hemoglobinuria.  Pemeriksaan laboratorium: -

Sampel darah : menunjukkan kandungan haemoglobin yang kurang dan bilirubin yang tinggi di dalam darah.

-

Peripheral blood smear/blood film menunjukkan wujudnya blister cells.

-

Uji spesifik paras enzim G6PD menunjukkan kandungan enzim yang rendah di dalam darah. Walau bagaimanapun semasa fasa akut, paras enzim di dalam darah mungkin normalatau hampir normal kerana sel yang terbabit semuanya dimusnahkan meninggalkan sel darah merah muda yang mempunyai paras normal enzim G6PD.1

Oleh kerana keadaan ini adalah diwarisi daripada ibu yang merupakan pembawa gen tersebut,darah ibu pesakit akan menunjukkan paras enzim G6PD yang rendah daripada normal ataupun sedikit rendah daripada normal. Ini menguatkan lagi diagnosis kekurangan enzim G6PD pesakit.  Etiologi : Punca utama kepada berlakunya masalah kekurangan enzim G6PD ialah mutasi di dalam gen G6PD yang mengeluarkan arahan pembentukan enzim G6PD yang penting dalam melindungi sel-sel darah merah daripada molekul berbahaya yang dipanggil molekul oksigen reaktif (hasil kumuhan sel). Sekiranya mutasi di dalam gen G6PD mengurangkan kuantiti enzim G6PD atau menukarkanstrukturnya, enzim ini tidak lagi dapat memainkan peranannya sebagai pelindung sel darahmerah sekaligus menyebabkan pengumpulan molekul oksigen reaktif yang membawa kerosakan kepada sel darah merah. Hemolisis yang diinduksi obat dapat berat berat pada pasien dan hemolisis intravascular ini dapat sembuh dengan sendirinya dan dapat kembali normal jika obat menghemolisis tidak diberikan lagi.1,7,8

12

 Epidemiologi: Dianggarkan seramai 400 juta manusia seluruh dunia menghadapi masalah kekurangan enzimG6PD. Keadaan ini selalunya berlaku di bahagianbahagian tertentu Afrika, Asia danMediterranean.Kawasan yang biasanya berlaku malaria juga mempunyai kes kekurangan enzim G6PD yangtinggi.4  Patofisiologi : Masalah kekurangan enzim G6PD ditentukan oleh kromosom resessif X dan hal ini menunjukkan bahawa ramai antara pesakit adalah lelaki.4,6,7  Manifestasi klinis : - Bagi kebanyakan pesakit yang menghadapi masalah kekurangan enzim G6PD, hemolitik anemia adalah tidak ketara sehinggalah 48-96 jam selepas pesakit mengambil bahan-bahan yang boleh menyebabkan pengoksidaan seperti aspirin, sulfonamid, ubat malaria(seperti primaquin), naftalin dan kacang parang (fava beans). - Selain daripada yang tersebut di atas, jangkitan bakteria atau virus juga boleh menyebabkan hemolitik anemia kepada pesakit kekurangan enzim G6PD ini. - Gejala-gejala hemolisis yang akut termasuklah kepucatan, jaundis,mudah letih, sesak nafas, jantung berdebar-debar dan hemoglobinuria (hemoglobin dalam air kencing). - Bagi BBL, kekurangan enzim G6PD boleh menyebabkan jaundis (kekuningan) yang patologik. - Walaupun ramai yang mempunyai masalah kekurangan enzim G6PD ini, tetapi ramai yang tidak pernah menghadapi gejala-gejala atau tanda-tanda seperti di atas.  Penatalaksanaan:

13

Pengobatan mempunyai tujuan : a. Menghilangkan anemia b. Menghilangkan antibody maternal dan eritrosit teresensitisasi c. Meningkatkan badan serum albumin d. Menurunkan serum bilirubin Metode terapi hiperbilirubinemia meliputi : fototerapi, transfuse pangganti, infusealbumin dan therapi obat.  Prognosis : Bonam

Etiologi Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi : a.

Produksi yang berlebihan : Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.8

b.

Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom crigglerNajjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.9

c.

Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

d.

Gangguan dalam ekskresi

14

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain Epidemiologi Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama. Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.9 Faktor risiko untuk tibilnya ikterus neonatorum A. Faktor Maternal 

Ras atau kelompok etnik tertentu ( Asia, Native, American, Yunani)



Komplikasi kehamilan ( DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)



Penggunaan infuks okstosin dalam larutan hipotonik.



ASI

B. Faktor perinatal 

Trauma lahir ( sefalohematom, ekimosis)



Infeksi ( bakteri, virus, protozoa)

C. Faktor neonatus 

Prematuritas



Faktor genetik

15



Polistemia



Obat ( streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxasol)



Rendahnya asupan ASI



Hipoglikemia



Hipoalbuminemia

Patofisiologi Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.

16

Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia. Manifestasi Klinis 1. Stadium pre-ikterus (prodromal), 4-7 hari. Pada stadium ini gejala-gejalanya masih umum, terdiri dari demam, nyeri kepala, lemah, anorexia, nausea, muntah. Kadangkadang disertai nyeri pada perut kanan atas atau upper respiratory tract infection. Obstipasi atau diarrhoea dapat menyertainya. Satu sampai tiga hari sebelum ikterus tampak urine bewarna lebih tua ( urobilin ++ , bilirubin ++ ) 2. Stadium ikterus, 3 minggu. Pada stadium ini mulai tampak ikterus, pertama-tama pada sklera dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh, bergantung kepada imunitas penderita dan virulensi virus. Suhu tubuh biasanya turun dan keluhan-keluhan lain berkurang. Keadaan umum lebih baik. Anorexia dan muntah masih ada. Hati biasanya besar dan nyeri pada tekanan. Limpa kadang-kadang juga dapat teraba. Tinja untuk beberapa waktu dapat berwarna seperti dempul. Percobaan fungsi hati menunjukkan kelainan. 3. Stadium post-ikterus ( rekonvalesensi ). Pada anak stadium ini lebih pendek daripada orang dewasa. Umumnya pada anak penyembuhan terjadi sempurna pada akhir bulan kedua, hanya sedikit saja yang masih tetap menunjukkan kelainan fungsi hati. Ikterus meraba, warna urine dan tinja menjadi biasa lagi. Faktor Resiko Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:

17



Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.



Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.



Polisitemia.



Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.



Ibu diabetes.



Asidosis.



Hipoksia/asfiksia.



Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

FAKTOR RESIKO NEONATAL HIPERBILIRUBINEMIA J aundice yang terlihat pada hari pertama kehidupan. A da saudara kandung dengan neonatal hiperbilirubinemia atau anemia. U nrecognized hemolysis (ABO, Rh, inkompatibilitas golongan darah lainnya); UDPglucuronyl transferase deficiency (Crigler-Najjar, Gilber disease). N onoptimal feeding (formula atau ASI). D efisiensi glukosa-6-fosfat-dehidrogenase. I nfeksi (virus, bakteri). Infant dari ibu diabetes melitus. Imaturitas (prematuritas). C ephalohematoma atau lebam. Central hematocrit > 65% (polisitemia). E ast Asian, Mediterranean, Native American.

18



Geografi: Insidens lebih tinggi pada populasi yang tinggal di daerah tinggi. Orang Yunani yang tinggal di Yunani mempunyai insidens yang lebih tinggi dibanding dengan orang Yunani yang tidak tinggal di Yunani.



Nutrisi: Insidens lebih tinggi pada neonatus yang diberi ASI.

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum: a.

Faktor Maternal 

Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)



Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)



Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.



ASI

b Faktor Perinatal

c.



Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)



Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

Faktor Neonatus 

Prematuritas



Faktor genetik



Polisitemia



Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)



Rendahnya asupan ASI



Hipoglikemia



Hipoalbuminemia

19

Penatalaksanaan Tujuan

utama

dalam

penatalaksanaan

neonatal

hiperbilirubinemia

adalah

untuk

mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus serta mengobati penyebab langsung ikterus tadi. I.

Medika mentosa

1. Albumin : Pemberian albumin dapat mengikat bilirubin indirek. Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15 – 20 ml/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. 2. Immunoglobulin intravena : digunakan pada bayi dengan Rh yang berat dan inkompatibilitas ABO untuk menekan isoimun dan menurunkan transfuse ganti.2

3. Phenobarbital : Phenobarbital telah memperlihatkan efek yang lebih efektif, dengan merangsang aktifitas dan konsentrasi UPGDT dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin. Phenobarbital dapat meningkatkan proses konjugasi dan ekskresi dan bilirubin. Pemberian phenobarbital bisa saat prenatal pada ibu atau post natal pada bayi. Tetapi karena efek metabolisme bilirubin biasanya baru tampak pada beberapa hari setelah pemberian phenobarbital, karena kurang efektif dibanding fototerapi dan karena mempunyai

efek

sedatif

maka

pemberian

phenobarbital

secara

rutin

pada

hiperbilirubinemia tidak direkomendasikan.2

20

4. Metalloprotoporphyrin : merupakan zat sebagai pencegahan hiperalbuminemia, merupakan analog sintesis heme. Zat ini efektif sebagai inhibitor kompetitif dri heme oksigenase, yang diperlukan untuk katabolisme heme menjadi biliverdin.1

5. Sn-protoporphyrin dan Tin-mesoprotoporphyrin : Pemberian Sn-protoporphyrin juga dapat menurunkan kadar bilirubin. Hal ini karena Snprotoporphyrin dapat menghambat enzim heme oksigenase. Efek pemberian Snprotoporphyrin jangka panjang belum diketahui sehingga diperlukan evaluasi klinis yang lebih lanjut.

6. Inhibitor β –glukoronidase : pemberian inhibitor β –glukoronidase pada bayi sehat NCB yang mendapat ASI dapat meningkatkan pengeluaran feses dan ikterus menjadi berkurang.1 II.

Non- medika mentosa

1. Terapi Sinar Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer tahun 1958. Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerasisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresikan oleh hati ke dalam saluran empedu. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM terapi sinar dilakukan pada semua penderita dengan kadar bilirubin indirek lebih dari 10 mg/dl dan pada bayi dengan proses

21

hemolisis yang ditandai oleh adanya ikterus pada hari pertama kelahiran. Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar dilakukan pula sebelum dan sesudah transfusi tukar. Pada saat penyinaran diusahaka agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi diubah-ubah setiap 6 – 8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata dan gonad bayi ditutup dengan bahan yang dapat memantulkan cahaya. Selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi dipantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar biirubin menurun kurang dari 10 mg/dl. Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam. Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek samping terapi siar. Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan antara lain: enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.2,3 2. Transfusi Tukar Bahaya

dari

hiperbilirubinemia

adalah

terjadinya

kernikterus

yang

dapat

menimbulkan kelainan menetap pada bayi. Keadaan ini perlu dihindarkan dan transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan cepat bilirubin inditek dalam tubuh. Tujuan transfusi tukar selain menurunkan kadar bilirubin indirek, juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit yang telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis. Tindakan transfusi tukar hanya dilakukan apabila pada suatu saat dijumpai kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Beberapa keadaan lain yang memerlukan transfusi tukar adalah kadar bilirubin tali pusat lebih dari 4 mg/dl dan kadar hemoglobin kurang dari 10 g/dl atau apabila terdapat peninggian bilirubin yang terlalu cepat (1mg/dl tiap jam). Pada bayi yang menderita asfiksia, sindrom gawat nafat, asidosis

22

metaboik, tanda kelainan susunan saraf pusat dan bayi dengan berat badan kurang dari 1500 gram dapat pula dipertimbangkan untuk dilakukan transfusi tukar walaupun kadar bilirubin belum mencapai 20 mg.dl. Hal ini dilakukan karena keadaan tersebut bilirubin mudah melalui sawar otak.1,2 Pencegahan I.

Pencegahan Primer o Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya sekurangnya 8-12 kali sehari untuk beberapa hari pertama o Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dextrosaatau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

II.

Pencegahan Sekunder Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa. o Jika golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negative, dilakukan pemeriksaan antibody direk (Tes Coombs), golongan darah dan tipe Rh darah tali pusat bayi. o Jika golongan darah ibu , Rh positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan darah dan Tes Coombs, tetapi hal itu tidak diperlukan jika dilakukan pengawasan, penilaian terhadap resiko sebelum keluar RS dan tindakan lanjut yang memadai. Selain itu, harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam.

III.

Evaluasi laboratorium o Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikteris dalam 24 jam pertama setelah lahir. o Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan jika tampak ikterus yang berlebihan.

23

o Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai umur bayi dalam jam. IV.

Penyebab kuning o Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk harus dilakukan analisis dan kultur urin. o Bayi sakit dan ikterus pada ≥3 minggu harus dilakukan pmeriksaan bilirubin total dan direk untuk mengidentifikasi adanya kolestatis. o Pemeriksaan G6PD dianjurkan untuk bayi ikteris yang mendapat fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau emis/asal geografis yang menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD atau bayi dengan respon fototerapi buruk.

V.

Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan o Setiap bayi harus dinilai terhadap resiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat.

VI.

Kebijakan dan prosedur rumah sakit o RS harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orang tua mengenai kuning, perlunya monitor terhadap kuning, dan anjuran bagaimana monitoring harus dilakukan.

VII.

Pengelolaan bayi dengan ikterus yang mendapat ASI o Observasi semua fase awal bayi, pertimbangkan untuk merangsang pengeluaran jika fese keluar dalam waktu 24 jam. o Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin.

Komplikasi  Kernicterus Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar ventrikel IV. Secara klinis pada awalnya tidak jelas, dapat berupa mata berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap, malas

24

minum, tonus otot meningkat, leher kaku, dan opistotonus. Bila berlanjut dapat terjadi spasme otot, opistotonus, kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot. Dapat ditemukan ketulian pada nada tinggi, gangguan bicara dan retardasi mental.

Prognosis Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, latergi dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan epistotonus. Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan motorik, ataupun perkembangan mental serta ketajaman pendengarannya.

Kesimpulan Ikterus sendiri sebenarnya adalah perubahan warna kuning akibat deposisi bilirubin berlebihan pada jaringan; misalkan yang tersering terlihat adalah pada kulit dan konjungtiva mata. Sedangkan definisi ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir dengan keadaan meningginya kadar bilirubun di dalam jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning. Ikterus juga disebut sebagai keadaan hiperbilirubinemia (kadar bilirubin dalam darah lebih dari 12 mg/dl). Keadaan hiperbilirubinemia merupakan salah satu kegawatan pada BBL karena bilirubin

25

bersifat toksik pada semua jaringan terutama otak yang menyebabkan penyakit kern icterus (ensefalopati bilirubin) yang pada akhirnya dapat mengganggu tumbuh kembang bayi.

Daftar Pustaka 1. Bickley L.S. Anamnesis. Bates’ Guide to physical examination and history taking. International edition. 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins. Wolters Kluwer Health; 2009. Pg 30-5. 2. CJ Elizabeth , Keadaan penyakit atau cedera dalam Buku saku patofisiologi Corwin, Ed 3, Pen. buku kedokteran EGC, 2007, hal 661-3 3. Nelson W. E., Jaundice and Hyperbilirubinemia on the Newborn, Nelson Textbook of Pediatrics, 17th edition, W. B. Saunders Company, United States of America, 2004, page 592 – 598. 4. Markum A. H., Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Neonatus, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 1, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal 313 – 317. 5. Akinbi H, Ikterus pada bayi baru lahir, dalam buku pedoman klinis pediatric, Pen. buku kedokteran EGC, 2005 , hal 473-90 6. David H, Derek IJ Penyakit hati dalam Dasar-dasar pediatric Ed 3, Pen. Buku kedokteran EGC, 2008, hal 163-70 7. Sankaran K, Pearlman, Neonatal jaundice in Residents handbook of neonatology, 3rd ed, BC decker inc, 2007, page 220-39 8. Salem L. Rh incompatibility, 2001. Diunduh dari : http:// www. Neonatology.org. June, 18th, 2011. 9. Hall and Guyton, Bilirubin formation and excretion, Textbook of medical physiology, 11th ed . Jakarta : CV EGC, 2008, page 473-477

26

Related Documents


More Documents from "Ramdita Amalia"