Ika Adelia Susanti_142311101093 (lp Fraktur Humerus).docx

  • Uploaded by: Intan Dwi
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ika Adelia Susanti_142311101093 (lp Fraktur Humerus).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 10,104
  • Pages: 57
UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR HUMERUS DI INSTALASI BEDAH SENTRAL (IBS) RUMAH SAKIT DAERAH dr. SOEBANDI JEMBER

OLEH: Ika Adelia Susanti, S.Kep. NIM 142311101093

PPROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER MEI, 2018

i

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Fraktur Humerus di Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSD dr. Soebandi Jember telah disetujui dan di sahkan pada Hari, Tanggal : Senin, 28 Mei 2018 Tempat : Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSD dr. Soebandi Jember

Jember, 28 Mei 2018

Pembimbing Akademik Stase Keperawatan Bedah FKep Universitas Jember

Pembimbing Klinik Instalasi Bedah Sentral RSD dr. Soebandi Jember

Ns. Baskoro Setioputro, M. Kep NIP. 19830505 200812 1 004

H. Mustakim, S.Kep. Ns. MMKes. NIP. 19750225 199703 1 003

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur Humerus di Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSD dr. Soebandi Jember telah disetujui dan di sahkan pada Hari, Tanggal : Jumat, 1 Juni 2018 Tempat : Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSD dr. Soebandi Jember

Jember, 1 Juni 2018

Pembimbing Akademik Stase Keperawatan Bedah FKep Universitas Jember

Pembimbing Klinik Instalasi Bedah Sentral RSD dr. Soebandi Jember

Ns. Baskoro Setioputro, M. Kep NIP. 19830505 200812 1 004

H. Mustakim, S.Kep. Ns. MMKes. NIP. 19750225 199703 1 003

iii

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ................................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... ii DAFTAR ISI .............................................................................................. iv LAPORAN PENDAHULUAN ................................................................. 1 A. Anatomi Fisiologi Humerus ................................................................. 1 B. Definisi Fraktur Humerus .................................................................... 9 C. Klasifikasi Fraktur Humerus ................................................................ 9 D. Etiologi Fraktur Humerus .................................................................... 14 E. Manifestasi Klinis Fraktur Humerus .................................................. 16 F. Patofisiologi Fraktur Humerus ........................................................... 16 G. Komplikasi Fraktur Humerus ............................................................. 20 H. Pemeriksaan Penunjang ....................................................................... 21 I. Penatalaksanaan Fraktur Humerus ....................................................... 23 J. Penatalaksanaan Keperawatan Perioperatif ......................................... 26 K. Clinical Pathway .................................................................................. 35 L. Konsep Asuhan Keperawatan .............................................................. 37 a. Pengkajian/Assesment .................................................................... 37 b. Diagnosa Keperawatan .................................................................. 42 c. Intervensi Keperawatan.................................................................. 43 d. Evaluasi Keperawatan .................................................................... 51 e. Discharge Planning ....................................................................... 51 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 52

iv

LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DENGAN FRAKTUR HUMERUS Oleh : Ika Adelia Susanti, S.Kep

A. Anatomi Fisiologi Humerus Humerus atau tulang pangkal lengan merupakan tulang terpanjang dan terbesar pada bagian ekstremitas superior. Humerus bersendi pada bagian proksimal dengan scapula dan pada bagian distal bersendi pada siku lengan dengan dua tulang ulna dan radius. Ujung proksimal humerus memiliki bentuk kepala bulat (caput humeri) yang bersendi dengan kavitas glenoidalis dari skapula untuk membentuk articulatio gleno-humeri. Pada bagian distal dari caput humeri terdapat collumanatomicum yang terlihat sebagai sebuah lekukan oblik. Tuberculum majus merupakan sebuah proyeksi lateral pada bgian distal dari collum anatomicum. Tuberculum majus merupakan penanda tulang bagian paling lateral yang teraba pada regio bahi. Antara tuberculum majus dan tuberculum minus terdapat sebuah lekukan yang disebut sebagai sulcus intertubercularis. Collum chirurgicum merupakan suatu penyempitan humerus pada bagian distal dari kedua tuberculum, dimana caput humeri perlahan berubah menjadi corpus humeri. Bagian tersebut dinamakan collum chirurgicum karena fraktur sering terjadi pada bagian ini (Tortora dan Derrickson, 2009).. Corpus humeri merupakan bagian humerus yang berbentuk seperti silinder pada ujung proksimalnya, tetapi berubah secara perlahan menjadi berbentuk segitiga hingga akhirnya menipis dan melebar pada ujung distalnya. Pada bagian lateralnya, yakni di pertengahan corpus humeri, terdapat daerah berbentuk huruf V dan kasar yang disebut sebagai tuberositas deltoidea. Daerah ini berperan sebagai titik perlekatan tendon musculus deltoideus. Beberapa bagian yang khas merupakan penanda yang terletak pada bagian distal dari humerus. Capitulum humeri merupakan suatu struktur seperti tombol bundar pada sisi lateral humerus, yang bersendi dengan caput radii. Fossa radialis merupakan suatu depresi anterior di atas capitulum humeri, yang bersendi dengan caput radii ketika lengan difleksikan. Trochlea humeri, yang berada pada sisi medial dari capitulum

1

humeri, bersendi dengan ulna. Fossa coronoidea merupakan suatu depresi anterior yang menerima processus coronoideus ulna ketika lengan difleksikan. Fossa olecrani merupakan suatu depresi posterior yang besar yang menerima olecranon ulna ketika lengan diekstensikan. Epicondylus medialis dan epicondylus lateralis merupakan suatu proyeksi kasar pada sisi medial dan lateral dari ujung distal humerus, tempat kebanyakan tendon otot-otot lengan menempel. Nervus ulnaris, suatu saraf yang dapat membuat seseorang merasa sangat nyeri ketika siku lengannya terbentur, dapat dipalpasi menggunakan jari tangan pada permukaan kulit di atas posterior dari epicondylus medialis (Tortora dan Derrickson, 2009). Secara anatomis tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu: 1. Bagian atas humerus/ kaput (ujung atas) Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala yang membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapula dan merupakan bagian dari banguan sendi bahu. Di bawahnya terdapat bagian yang lebih ramping disebut leher anatomik. Di sebelah luar ujung atas di bawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan yaitu tuberositas mayor dan di sebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu tuberositas minor. Di antara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Di bawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur (Pearce, 2009). 2. Corpus humerus (badan humerus) Sebelah atas berbentuk silinder tetetapi semakin ke bawah semakin pipih. Di sebelah lateral batang, tepat di atas pertengahan disebut tuberositas deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis (Pearce, 2009). 3. Bagian bawah humerus/ ujung bawah. Berbentuk lebar dan agak pipih di mana permukaan bawah sendi dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi sebelah dalam

2

berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan di sebelah luar terdapat kapitulum yang bersendi dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce, 2009).

Gambar 1. Tulang humerus Beberapa hal yang perlu diketahui terkait dengan tulang humerus adalah sebagai berikut: 1.

Persendian Kepala bonggol humerus (caput humeri) bersendi dengan cavitas glenoidales dari scapula. Penyambungan ini dikenal dengan sendi bahu yang memiliki jangkauan gerak yang luas. Pada persendian ini terdapat dua bursa yaitu pada bursa subacromialis dan bursa subscapularis. Bursa subacromialis membatasi otot supraspinatus dan otot deltoideus. Bursa subscapularis memisahkan fossa subscapularis dari tendon otot subscapularis. Otot rotator cuff membantu menstabilkan persendian ini. Pada bagian siku, terdapat persendian dengan ulna sehingga memungkinkan gerak fleksi dan ekstensi.

2. Saraf dan Otot pada Humerus Otot yang berhubungan dengan pergerakan dari tulang humerus meliputi:

3

a) M. Latissimus Dorsi, merupakan otot berbentuk segitiga. Batas posterior trigonum lumbal dibentuk oleh m. latissimus dorsi. Otot ini bersama dengan m. teres mayor membentuk plica axillaris posterior, dan membentuk dinding posterior fossa axillaris. Otot ini berorigo pada processi spinosi vertebrae thoracales VII-scrales V dan crista iliaca dan berinsersi pada sulcus intertubercularis humeri. Otot m. Latissimu dorsi berfungsi untuk ekstensi, adduksi dan endorotasi pada artikulasi humeri. b) M.Deltoideus, merupakan otot yang tebal dan letaknya superficial ini berorigo di tepi anterior dan permukaan superior sepertiga bagian lateral clavicula, tepi lateral permukaan superior acromion, dan tepi inferior spina scapula. Insersi pada tuberositas deltoidea humeri. Otot ini diinervasi oleh n.axillaris. M. deltoideus berfungsi untuk abduksi artikulasi humeri, bagian anterior berfungsi untuk fleksi dan endorotasi artikulasi humeri sedangkan pada bagian posterior untuk ekstensi dan eksorotasi artikulasi humeri. c) M. supraspinatus, bagian medial fossa supraspinatus merupakan origo otot ini dan insersi di tuberculum majus humeri. Otot ini mendapat inervasi dari n. suprscapularis. Berfungsi untuk abduksi artikulasi humeri. Otot ini bersama dengan mm. infraspinatus, teres minor et subscapularis membentuk rotator cuff yang berfungsi mempertahankan caput humeri tetap pada tematnya dan mencegahnya tertarik oleh m. deltoideus menuju acromion. d) M. Infraspinatus, origo otot ini di dua pertiga bagian medial fossa infraspinatus dan permukaan inferior spina scapula. Tendo insersinya juga menyatu dengan capsul artikulasi humeri dan berinsersi pada tuberculum majus humeri. Otot ini dinervasi oleh n.suprascapularis dan berfungsi untuk eksorotasi ertikulasi humer. Bagian superior untuk abduksi dan bagian inferior berfungsi untuk adduksi artikulasi humeri. e) M. Subscapularis, membentuk dinding posterior fossa axillaris. Origo pada fossa subscapularis. Tendo insersi di anterior dan melekat pada capsula artikulasi humeri serta tuberculum minor humeri. Otot ini di inervasi oleh n. subscapularis dan berfungsi untuk endorotasi artikulasi humeri.

4

f) M. Teres Minor, yang berorigo pada tepi lateral fossa infraspinata dan tendo insersinya melekat pada capsula articularis humeri yang kemudian melekat pada tuberculum minor humer. Otot ini diinervasi oleh n. axillaris dan berfungsi untuk eksorotasi artikulasi humeri. g) M. Teres Mayor, berorigo di facies dorsalis scapulae dekat dengan angulus inferior. Berinsersi di labium medial sulcus intertubercularis humeri di inferior dari tempat insersi m. subscapularis. Inervasi otot ini berasal dari n. subscapularis. Otot ini bersama dengan m. latissimus dorsi berfungsi untuk adduksi artikulasi. h) M. Biceps Brachii, berorigo di scapula, memiliki dua caput yaitu caput lonum

et

brevis.

Caput

brevis

berorigo

bersama

dengan

m.

coracobrachialis di processus coracoideus, dan caput longum berorigo di tuberositas supraglenoidalis. Insersi otot ini pada tuberositas radii, sebagian tendo insersi sebagai lacertus fibrous berinsersi di fascia antebrachii dan ulna. Fungsi dari caput longum m. biceps brachii untuk fleksi artikulasi humeri et cubiti, sedangkan caput brevis untuk supinasi artikulasi radioulnaris. i) M. Coracobrachialis, berorigo di processus coracoideus, dan berfungsi untu fleksi dan adduksi artikulasi humeri. j) M. Brachialis, berorigo di dua pertiga distal fascia anteromedial et anterolateral humeri dan insersi pada capsula astikulasi cubiti, processus coronoideus et tuberositas ulna. Otot ini berfungsi untuk fleksi artikulasi cubiti. k) M. Triceps Brachii, berada di region brachii dorsalis dan memiliki tiga caput yang tersusun dalam dua lapisan. Caput longum et lateralis menempati

lapisan

superfacial,

caput

medial

menempati

lapisan

profundus. Caput longum berorigo pada tuberositas infraglenoidalis yang memisahkan hiatus axillaris medialis dari hiatus axillaris lateralis. Origo lateral et medial dipisahkan oleh sulcus n. radialis humeri. Caput lateral berorigo di facies posterior humeri di superior dari sulcus ini, sedang caput medial berorigo di inferiornya. Insersinya di bagian posterior permukaan

5

superior olecranon, fascia antebrachii dan capsula articularis cubiti. Inervasi otot ini berasal dari n. radialis. Fungsi dari caput longum m. triceps brachii untuk ekstensi dan adduksi artikulasi humeri, sedangkan caput lateral et medial untuk ekstensi artikulasi cubiti. Berikut merupakan tabel tentang saraf dan otot yang menggerakkan humerus. No Otot Origo Insertio 1. Otot aksial yang menggerakkan humerus a. M. Clavicula Tuberculum pectoralis sternum, majus dan major cartilago sisi lateral costalis VI, sulcus terkadang intertubercul cartilago aris dari costalis I-VII humerus

b. M. latissimus dorsi

2.

Aksi

Aduksi merotasi lengan pada bahu; clavicula memfleksikan lengan dan kepala sternocostal mengekstensikan lengan yang fleksi tadi ke arah truncus Sulcus Ekstensi, aduksi, intertubercul dan merotasi aris dari medial lengan humerus pada sendi bahu; menarik lengan ke arah inferior dan posterior

Spina T7-L5, vertebrae lumbales, crista sacralis dan crista iliaca, costa IV inferior melalui fascia thoracolumb alis Otot scapula yang menggerakkan humerus a. M. Ekstremitas Tuberositas deltoideus acromialis deltoidea dari dari clavicula, humerus acromion dari scapula (serat lateral), dan spina scapula (serat posterior)

6

Serat mengabduksi lengan pada sendi bahu; serta anterior memfleksikan dan merotasi medial lengan pada sendi bahu, serta posterior mengekstensikan dan merotasi lateral lengan pada sendi bahu

Persarafan N. pectoralis medialis dan lateralis

N. thoracodorsalis

N. axillaris

b. M. subscapula ris c. M. supraspinat us

Fosca subscapularis dari scapula Fossa supraspinata dari scapula

d. M. infraspinat us e. M. teres major

Fossa infraspinata dari scapula Angulus inferior dari scapula

f. M. teres minor

Margo lateralis inferior dari scapula Processus coracoideus dari scapula

g. M. Coracobra chi alis

Tuberculum minus dari humerus Tuberculum majus dari humerus

Merotasi medial lengan pada sendi bahu Membantu deltoideus mengabduksi pada sendi bahu Tuberculum Merotasi lateral majus dari lengan pada humerus sendi bahu Sisi medial Mengekstensikan sulcus lengan pada intertubercul sendi bahu dan aris membantu aduksi dan rotasi medial lengan pada sendi bahu Tuberculum Merotasi lateral majus dari dan ekstensi humerus lengan pada sendi bahu Pertengahan Memfleksikan sisi medial aduksi lengan dari corpus pada sendi bahu humeri

Gambar 2. Otot-otot pada tulang humerus

7

N. subscapularis

N. subrascapularis

N. suprascapularis N. subscapularis

N. axillaris

N. musculocutaneus

Gambar 3 (a) Anterior, (b) Posterior Humerus dan (c) Humerus dengan tiga saraf utama yaitu n. axillaris, n. radialis dan n. ulnaris.

Gambar 4. Anterior dan Posterior Humerus. Tempat insersi otot-otot berhubungan dengan pergerakan humerus.

8

B. Pengertian Fraktur Humerus Fraktur atau patah tulang diartikan sebagai suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang yang diakibatkan oleh trauma lansung atau tidak langsung. Fraktur adalah patah tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya (Smeltzer & Bare 2002). Fraktur juga dapat diartikan sebagai terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa, trauma yang menyebabkan tulang patah, dapat berupa trauma langsung dan tidak langsung (Hoppenfield, 2011). Fraktur humerus adalah fraktur pada tulang humerus yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung ( De Jong, 2010). Menurut Muttaqin (2011), fraktur humerus adalah terputusnya hubungan tulang humerus disertai kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh darah) sehingga memungkinkan untuk terjadinya hubungan antara fragmen tulang yang patah dengan udara luar yang disebabkan oleh cedera dari trauma langsung yang mengenai lengan atas.

C. Klasifikasi Fraktur Humerus Klasifikasi fraktur humerus dapat diklasifikasikan sebagai berikut ( Egol et al, 2010; Thompson, 2010) 1.

Fraktur proksimal humerus Pada fraktur jenis ini, insidensi meningkat pada usia yang lebih tua terkait

dengan osteoporosis. Mekanisme trauma pada orang dewasa tua biasanya dihubungkan dengan kerapuhan tulang (osteoporosis). Pada pasien dewasa muda fraktur dapat terjadi karena high-energy trauma, contohnya kecelakaan lalu lintas sepeda motor. Mekanisme yang jarang terjadi antara lain peningkatan abduksi bahu, trauma langsung, kejang, proses patologis seperti malignansi. Gejala klinis pada fraktur ini adalah nyeri, bengkak, nyeri tekan, nyeri pada saat digerakkan, dan dapat teraba krepitasi. Ekimosis dapat terlihat dinding dada dan pinggang setelah terjadi cedera. Hal ini harus dibedakan dengan cedera toraks.Menurut Neer, proksimal humerus dibentuk oleh 4 segmen tulang antara lain: a)

caput/kepala humerus;

9

b) tuberkulum mayor; c)

tuberkulum minor;

d) diafisis atau shaft. Klasifikasi fraktur proksimal humerus menurut Neer antara lain sebagai berikut: a)

One-part fracture: tidak ada pergeseran fragmen namun terlihat garis fraktur.

b) Two-part fracture: anatomic neck, surgical neck, tuberculum mayor, tuberculum minor. c)

Three-part fracture: surgical neck dengan tuberculum mayor, dan surgical neck dengan tuberculum minor.

d) Four-part fracture. e) Fracture-dislocation. 1) Articular surface fracture.

Gambar 5. Tampilan klasifikasi fraktur humerus 2. Fraktur shaft humerus Fraktur ini adalah fraktur yang sering terjadi, 60% kasus adalah fraktur sepertiga tengah diafisis, 30% fraktur sepertiga proksimal diafisis dan 10% sepertiga distal diafisis. Mekanisme terjadinya trauma dapat secara langsung maupun tidak langsung. Gejala klinis pada jenis fraktur ini adalah nyeri, bengkak,

10

deformitas dan dapat terjadi pemendekan tulang pada tangan yang fraktur. Pemeriksaan neurovaskuler adalah penting dengan memperhatikan fungsi nervus radialis. Pada kasus yang sangat bengkak, pemeriksaan neurovaskuler sering diindikasikan untuk mengenali tanda-tanda dari sindroma kompartemen. Pada pemeriksaan fisik terdapat krepitasi pada manipulasi lembut. Deskripsi klasifikasi fraktur shaft humerus yaitu: a)

fraktur terbuka atau tertutup;

b) lokasi: sepertiga proksimal, sepertiga tengah, sepertiga distal; c)

derajat: dengan pergeseran atau tanpa pergeseran;

d) karakter: transversal, oblique, spiral, segmental, komunititf; e)

kondisi intrinsik dari tulang;

f)

ekstensi artikular.

Gambar 6. Klasifikasi Fraktur Shaft Humerus 3. Fraktur distal humerus Fraktur ini jarang terjadi pada dewasa. Kejadiannya hanya sekitar 2% untuk semua kejadian fraktur dan hanya sepertiga bagian dari seluruh kejadian fraktur humerus. Mekanisme cedera untuk fraktur ini dapat terjadi karena trauma langsung atau tidak langsung. Trauma langsung contohnya adalah apabila terjatuh

11

atau terpeleset dengan posisi siku tangan menopang tubuh atau bisa juga karena siku tangan terbentur atau dipukuli benda tumpul. Trauma tidak langsung apabila jatuh dalam posisi tangan menopang tubuh namun posisi siku dalam posisi tetap lurus. Hal ini biasa terjadi pada orang dewasa usia pertengahan atau wanita usia tua. Gejala klinis dari fraktur ini antara lain pada daerah siku dapat terlihat bengkak, kemerahan, nyeri, kaku sendi dan biasanya pasien akan mengeluhkan siku lengannya seperti akan lepas. Kemudian dari palpasi terdapat nyeri tekan, krepitasi dan neurovaskuler dalam batas normal. a)

Fraktur suprakondiler Fraktur suprakondiler merupakan salah satu jenis fraktur yang mengenai

daerah siku, dan sering ditemukan pada anak-anak. Fraktur suprakondilus adalah fraktur yang mengenai humerus bagian distal di atas kedua kondilus. Pada fraktur jenis ini dapat dibedakan menjadi fraktur supracondilus extension type (pergeseran posterior) dan flexion type (pergeseran anterior) berdasarkan pada bergesernya fragmen distal dari humerus. Jenis fleksi adalah jenis yang jarang terjadi. Jenis ekstensi terjadi karena trauma langsung pada humerus distal melalui benturan pada siku dan lengan bawah dalam posisi supinasi dan dengan siku dalam posisi ekstensi dengan tangan yang terfiksasi. Fragmen distal humerus akan terdislokasi ke arah posterior terhadap humerus. Fraktur humerus suprakondiler jenis fleksi pada anak biasanya terjadi akibat jatuh pada telapak tangan dan lengan bawah dalam posisi pronasi dan siku dalam posisi sedikit fleksi. Pada pemeriksaan klinis didapati siku yang bengkak dengan sudut jinjing yang berubah. Didapati tanda fraktur dan pada foto rontgen didapati fraktur humerus suprakondiler dengan fragmen distal yang terdislokasi ke posterior. Gambaran klinis, setelah jatuh anak merasa nyeri dan siku mengalami pembengkakan, deformitas pada siku biasanya jelas serta kontur tulang abnormal. Nadi perlu diraba dan sirkulasi perlu diperiksa, serta tangan harus diperiksa untuk mencari ada tidaknya bukti cedera saraf dan gangguan vaskularisasi, sehingga bila tidak diterapi secara cepat dapat terjadi acute volksman ischemic dengan tandatanda pulseless, pale, pain, paresa, dan paralysis.

12

Pada lesi saraf radialis didapati ketidakmampuan untuk ekstensi ibu jari dan ekstensi jari lain pada sendi metacarpofalangeal. Selain itu didapati gangguan sensorik pada bagian dorsal serta metacarpal I. Pada lesi saraf ulnaris didapati ketidakmampuan untuk melakukan gerakan abduksi dan adduksi jari. Gangguan sensorik didapati pada bagian volar jari V. Pada lesi saraf medianus didapati ketidakmampuan untuk gerakan oposisi ibu jari dengan jari lain. Sering didapati lesi pada sebagian saraf medianus, yaitu lesi pada cabangnya yang disebut saraf interoseus anterior. Di sini didapati ketidakmampuan jari I dan II untuk melakukan fleksi. 1) Fraktur suprakondilus extension type Menunjukkan cedera yang luas, dan biasanya akibat jatuh pada tangan yang terekstensi. Humerus patah tepat di atas kondilus. Fragmen distal terdesak ke belakang lengan bawah (biasanya dalam posisi pronasi) terpuntir ke dalam. Ujung fragmen proksimal yang bergerigi mengenai jaringan lunak bagian anterior, kadang mengenai arteri brachialis atau n. medianus. Periosteum posterior utuh, sedangkan periosteum anterior ruptur; terjadi hematom fossa cubiti dalam jumlah yang signifikan. 2) Fraktur suprakondilus flexion type Tipe fleksi terjadi bila penderita jatuh dan terjadi trauma langsung pada sendi siku pada distal humeri.

Gambar 7. Fraktur Suprakondiler

13

b) Fraktur transkondiler Biasanya terjadi pada pasien usia tua dengan tulang osteopenik. c)

Fraktur interkondiler Pada dewasa, jenis fraktur ini adalah tipe paling sering diantara tipe fraktur humerus distal yang lain. Klasifikasi menurut Riseborough and Radin sebagai berikut. 1) Tipe I: fraktur tanpa adanya pergeseran dan hanya ada berupa garis fraktur. 2) Tipe II: terjadi sedikit pergeseran dengan tidak ada rotasi antara fragmen kondilus. 3) Tipe III: pergeseran dengan rotasi. 4) Tipe IV: fraktur komunitif berat dari permukaan artikular

d) Fraktur kondiler Dapat dibagi menjadi fraktur kondilus medial dan fraktur kondilus lateral. Klasifikasi menurut Milch sebagai berikut. 1) Tipe I: penonjolan lateral troklea utuh,tidak terjadi dislokasi radius dan ulna. 2) Tipe II: terjadi dislokasi radius ulna, kerusakan kapsuloligamen.

D. Etiologi Fraktur Humerus Fraktur humerus disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang (Reksoprodjo, 2010). Trauma ada 2 jenis, sebagai berikut. 1. Trauma langsung, yaitu terjadi benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat benturan. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat kominutif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan. 2. Trauma tidak langsung, yaitu terjadi benturan pada tulang dan titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan. Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur. Tekanan pada tulang dapat berupa: a) tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral;

14

b) tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal; c) tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi atau dislokasi; d) kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau memecah; e) trauma oleh karena remuk; f)

trauma karena tarikan pada ligamen atau tendon akan menarik sebagian tulang.

3. Trauma patologis Trauma patologis adalah suatu kondisi rapuhnya tulang karena proses patologis. a) Osteoporosis terjadi karena kecepatan reabsorbsi tulang melebihi kecepatan pembentukan tulang, sehingga akibatnya tulang menjadi 6 keropos secara cepat dan rapuh sehingga mengalami patah tulang, karena trauma minimal. b) Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum sum tulang yang disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal dari focus ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah. c) Ostheoartritis itu disebabkan oleh rusak/ menipisnya bantalan sendi dan tulang rawan (Muttaqin, 2008). Fraktur shaft humerus kebanyakan terjadi akibat trauma langsung , meskipun pada fraktur spiral sepertiga tengah dari shaft kadang disebabkan oleh aktifitas otot-otot yang kuat seperti saat melempar bola. Pada fraktur humerus kontraksi otot, seperti otot rotator cuff, deltoideus, pectoralis mayor, teres mayor, latissimu dorsi, biceps, korakobrakialis dan triceps yang akan mempengaruhi posisi fragmen patahan tulang mengakibatkan fraktur akan mengalami angulasi maupun rotasi. Pada bagian posterior tengah melintas nervur radialis melingkar periostum diafisis humerus dari proksimal ke distal sehingga mudah terganggu akibat patah tulang humerus bagian tengah.

15

E. Manifestasi Klinis Fraktur Humerus Tanda dan gejala dari fraktur humerus adalah sebagai berikut (Smeltzer & Bare (2001) 1.

Nyeri, yang terjadi secara terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

2.

Deformitas, terjadi akibat pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai. Deformitas dapat diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas yang normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.

3.

Krepitus, saat ekstremitas diperiksa, terasa adanya derik tulang dinamakan krepitus yang terasa akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.

4.

Pembengkakan dan perubahan warna, terjadi akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera

5.

Berkurangnya gerakan tangan yang sakit

6.

Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf, di mana syaraf ini terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.

7.

Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan tulang.

8.

Pergerakan abnormal.

F. Patofisiologi Fraktur Humerus Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur terjadi karena kelebihan beban mekanis pada suatu tulang, yaitu saat tekanan yang diberikan pada tulang terlalu banyak dibandingkan yang mampu ditanggungnya. Jumlah gaya pasti yang diperlukan untuk menimbulkan suatu fraktur dapat bervariasi, sebagian bergantung pada karakteristik tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di

16

rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya. 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur sebagai berikut: a) Faktor ekstrinsik Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur. b) Faktor intrinsik Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang. 2. Proses penyembuhan tulang Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu: a) Stadium satu (pembentukan hematoma) Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin untuk melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24-48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.

Gambar 8. Proses Penyembuhan Tulang Fase Hematoma

17

b) Stadium dua (proliferasi seluler) Terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum, endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuk tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.

Gambar 9. Proses Penyembuhan Tulang Fase Proliferasi Sel c) Stadium tiga (pembentukan kallus) Sel yang berkembang memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik, jika diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.

Gambar 10. Proses Penyembuhan Tulang Fase Pembentukan Kalus

18

d) Stadium empat (konsolidasi) Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.

Gambar 11. Proses Penyembuhan Tulang Fase Konsolidasi e)

Stadium lima (remodelling) Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.

Gambar 12. Proses Penyembuhan Tulang Fase Remodelling

Gambar 13. Proses Penyembuhan Tulang

19

G. Komplikasi Fraktur Humerus Komplikasi fraktur humerus adalah sebagai berikut (Reksoprodjo, 2009). 1. Malunion: tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. 2. Delayed union: kegagalan fraktur berkonsolidasi (bergabung) sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. 3. Non union: kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. 4. Kekakuan sendi bahu (ankilosis). Lesi pada nervus sirkumfleksi aksilaris menyebabkan paralisis muskulus deltoid 5. Kompartment sindrom, merupakan komplikasi yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat. Tanda-tanda sindrom kompartemen dikenal dengan 5P yaitu Pain (nyeri lokal), Pallor (pucat bagian distal), Pulsussness (tidak ada denyu nadi, perubahan nadi, perfusi yang tidak baik dan CRT > 3 detik pada bagian distal kaki), Paraestesia (tidak ada sensasi), Paralysis (kelumpuhan tungkai). 6. Malunion cubiti varus (carrying angle berubah) dimana siku berbentuk O, secara fungsi baik tapi secara kosmetik kurang baik maka dari itu perlu dilakukan koreksi dengan operasi meluruskan siku dengan teknik french osteotomy. 7. Cedera vakuler, jika ada tanda dengan insufisiensi vaskuler pada ekstremitas, kerusakan

arteri

brakhialis

harus

disingkirkan.

Angiografi

akan

memperlihatkan tingkat cedera. Cedera vaskuler merupakan kegawatdaruratan yang membutuhkan eksplorasi dan perbaikan langsung atau cangkok (grafting) vaskuler. 8. Cedera Saraf, radial nerve palsy dapat terjadi pada fraktur shaft humerus terutama pada fraktur oblik sepertiga tengah dan distal humerus. Pergelangan tangan dan telapak tangan harus secara teratur digerakkan dari pergerakan pasif putaran penuh hingga mempertahankan pergerakan sendi sampai saraf kembali pulih.

20

9. Infeksi, Infeksi terjadi karena sistem pertahanan tubuh yang rusak akibat adanya trauma pada jaringan. Pada trauma osthopedic infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat. Infeksi paska trauma sering menyebabkan osteitis kronik. Osteitis tidak mencegah fraktur mengalami union, namun union akan berjalan lambat dan kejadian fraktur berulang akan meningkat.

H. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada klien dengan fraktur humerus adalah sebagai berikut: 1.

Pemeriksaan Radiologi Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”

menggunakan sinar rontgen (X-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Pada rontgen dapat dilihat gambaran fraktur (tempat fraktur, garis fraktur (transversa, spiral atau kominutif) dan pergeseran lainnya dapat terbaca jelas). Radiografi humerus AP dan lateral harus dilakukan. Sendi bahu dan siku harus terlihat dalam foto. Radiografi humerus kontralateral dapat membantu pada perencanaan preoperative. Hal yang harus dibaca pada X-ray: a)

bayangan jaringan lunak;

b) tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi; c)

trobukulasi ada tidaknya rare fraction;

d) sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

21

Gambar 14. Fraktur leher humerus (tanda panah) 2. Tomografi Pemeriksaan ini menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya. 3. Arthrografi Pemeriksaan ini menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa. 4. Computed Tomography-Scan (CT-Scan) Pemeriksaan ini menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak. 5. Pemeriksaan Laboratorium a)

Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

b) Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. c)

Enzim otot seperti kreatinin kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

I. Penatalaksanaan Fraktur Humerus

22

Penatalaksanaan

fraktur

humerus

secara

umum

sebagai

berikut

(Purwadianto, 2000): 1. Bila terjadi trauma, dilakukan primary survey terlebih dahulu. 2. Sebelum penderita dibawa ke rumah sakit, pasang bidai untuk mengurangi nyeri, mencegah bertambahnya kerusakan jaringan lunak dan makin buruknya kedudukan fraktur. Bila tidak terdapat bahan untuk bidai, maka bila lesi di anggota gerak bagian atas untuk sementara anggota yang sakit dibebatkan ke badan penderita. Pilihan adalah terapi konservatif atau operatif. Pilihan harus mengingat tujuan pengobatan fraktur yaitu mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin. 1. Reduksi fraktur berarti pengembalian fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode yang digunakan dalam reduksi adalah reduksi tertutup, traksi dan reduksi terbuka, yang masing-masing di pilih bergantung sifat fraktur. a) Reduksi tertutup, dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujung saling behubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. b) Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. c) Reduksi terbuka, dengan pendekatan pembedahan, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. 2. Imobilisasi fraktur Setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus di imobilisasi

atau di

pertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal atau internal. Fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinui, pin dan teknik gips atau fiksator eksternal. Fiksasi internal dapat dilakukan dengan memasang

23

implan logam yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur 3. Mempertahankan

dan mengembalikan fungsi, upaya

diarahkan pada

penyembuhan tulang dan jaringan lunak, yaitu: a) mempertahankan reduksi dan imobilisasi; b) meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan; c) memantau status neurologi; d) mengontrol kecemasan dan nyeri; e) latihan isometrik dan setting otot; f)

berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari;

g) kembali ke aktivitas sehari-hari secara bertahap. Penatalaksanaan fraktur humerus sesusai dengan jenis fraktur humerus (Egol et al, 2010; Reksoprodjo, 2009). 1.

Fraktur proksimal humerus Pada fraktur impaksi tidak diperlukan tindakan reposisi. Lengan yang cedera diistirahatkan dengan memakai gendongan (sling) selama 6 minggu. Selama waktu itu penderita dilatih untuk menggerakkan sendi bahu berputar sambil membongkokkan badan meniru gerakan bandul (pendulum exercise). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kekakuan sendi. Pada penderita dewasa bila terjadi dislokasi abduksi dilakukan reposisi dan dimobilisasi dengan gips spica, posisi lengan dalam abduksi (shoulder spica).

2. Fraktur shaft humerus Pada fraktur humerus dengan garis patah transversal, apabila terjadi dislokasi kedua fragmennya dapat dilakukan reposisi tertutup dalam narkose. Bila kedudukan sudah cukup baik, dilakukan imobilisasi dengan gips berupa U slab (sugar tong splint). Immobilisasi dipertahankan selama 6 minggu. Teknik pemasangan gips yang lain yaitu dengan hanging cast. Hanging cast terutama dipakai pada pnderita yang dapat berjalan dengan posisi fragmen distal dan proksimal terjadi contractionum (pemendekan). Apabila pada fraktur humerus ini disertai komplikasi cedera nervus radialis, harus dilakukan open reduksi dan internal fiksasi dengan plate-screw untuk

24

humerus disertai eksplorasi nervus radialis. Bila ditemukan nervus radialis putus (neurotmesis) dilakukan penyambungan kembali dengan teknik bedah mikro. Kalau ditemukan hanya neuropraksia atau aksonotmesis cukup dengan konservatif akan baik kembali dalam waktu beberapa minggu hingga 3 bulan. 3.

Fraktur suprakondiler humerus Jika terjadi pembengkakan tak hebat dapat dilakukan reposisi dalam anasthesia umum. Setelah tereposisi, posisi siku dibuat fleksi diteruskan sampai arteri radialis mulai tak teraba. Kemudian diekstensi siku sedikit untuk memastikan arteri radialis teraba lagi. Dalam posisi fleksi maksimal ini dilakukan imobilisasi dengan gips spal. Posisi fleksi maksimal dipindahkan karena penting untuk menegangkan otot trisep yang berfungsi sebagai internal splint. Jika dalam pengontrolan dengan radiologi hasilnya sangat baik gips dapat dipertahankan dalam waktu 3-6 minggu. Kalau dalam pengontrolan pasca reposisi ditemukan tanda Volkmann’s iskemik secepatnya posisi siku diletakkan dalam ekstensi, untuk immobilisasinya diganti dengan skin traksi dengan sistem Dunlop. Pada penderita dewasa kebanyakan patah di daerah suprakondiler garis patahnya berbentuk T atau Y, yang membelah sendi untuk menanggulangi hal ini lebih baik dilakukan tindakan operasi dengan pemasangan internal fiksasi.

4.

Fraktur transkondiler humerus Terapi konservatif diindikasikan pada fraktur dengan dislokasi minimal atau tanpa dislokasi. Tindakan yang paling baik dengan melakukan operasi reposisi terbuka dan dipasang fiksasi interna dengan plate-screw.

5.

Fraktur interkondiler humerus Bila dilakukan tindakan konservatif berupa reposisi dengan immobilisasi dengan gips sirkuler akan timbul komplikasi berupa kekakuan sendi (ankilosis). Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan tindakan operasi reduksi dengan pemasangan internal fiksasi dengan plate-screw.

6.

Fraktur kondilus lateral dan medial humerus

25

Bila frakturnya tertutup dapat dicoba dulu dengan melakukan reposisi tertutup, kemudian dilakukan imbolisasi dengan gips sirkular. Bila hasilnya kurang baik, perlu dilakukan tindakan operasi reposisi terbuka dan dipasang fiksasi interna dengan plate-screw. Jika lukanya terbuka dilakukan debridement dan dilakukan fiksasi luar.

J. Penatalaksanaan Keperawatan Perioperatif 1. Preoperatif Tindakan keperawatan pre operatif merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam rangka mempersiapkan pasien sebelum dilakukan tindakan pembedahan dengan tujuan menjamin keselamatan pasien saat dalam fase intraoperative. Peran perawat dalam tahap ini ada dua yaitu: a) Fase Pengkajian dan Persiapan Pasien, fase ini dilakukan untuk tindakan pengkajian, perencanaan dan evaluasi persiapan pasien untuk melakukan operasi tindakan yang dilakukan meliputi pengkajian riwayat pasien, manajemen alergi pada pasien, manajemen pengobatan,riwayat keluarga, lingkungan sosial pasien, pengkajian fisik, pemeriksaan laboratorium, informed consent dan health education. Pendidikan kesehatan yang perlu perawat berikan untuk klien adalah sebagai berikut. 1) Teknik mengurangi kecemasan dan mengurangi nyeri setelah operasi, teknik yang dapat diajarkan pada pasien adalah relaksasi nafas dalam, guide imagery, teknik distraksi, dan terapi musik. Pasien diajarkan untuk melakukan nafas dalam untuk mengurangi kecemasan yang dialami pasien sebelum operasi. Teknik relaksasi nafas dalam juga berguna untuk mengurangi nyeri post operasi yang dialami pasien. Teknik ini dilakukan dengan cara menarik nafas dari hidung kemudian ditahan selama 2-3 detik lalu hembuskan melalui mulut, dapat juga dilakukan latihan batuk efektif untuk membantu pasien dalam mengatasi efek anastesi yang mungkindialami pasien setelah operasi.

26

2) Persiapan operasi, sebelum operasi pasien diminta untuk berpuasa 6-8 jam sebelum operasi. Pasien juga diminta untuk tidak makan makanan yang dapat meningkatkan sekresi asam lambung seperti permen dan permen karet 6-8 jam sebelum operasi. Meminta pasien untuk menghentikan merokok. Membersihkan bagian tubuh yang akan dilakukan operasi, membantu pasien memakai baju operasi, menjaga keselamatan pasien saat tranportasi ke ruang OK dengan memasang side rail, memasang kateter jika diperlukan, dan menjelaskan kepada keluarga pasien terkait tindakan operasi dan fasilitas yang dapat digunakan keluarga. 3) Fase Presurgical Clearance, memastikan identitas pasien, prosedur operasi, bagian tubuh yang akan dioperasi dan check list persiapan pasien. 2. Intra Operative a) Mempersiapkan pasien untuk dilakukan operasi yaitu dengan mengecek prosedur pre operative telah dilaksanakan dan anastesi b) Memposisikan pasien untuk tindakan operasi c) Berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk mengoptimalkan hasil dari tindakan operasi d) Mempersiapkan skin preparation e) Mengontrol pendarahan selama tindakan operasi 3. Post Operative Perawatan post operatif pada klien dengan fraktur humerus dibagi menjadi 3 yaitu

a) Rehabilitasi fraktur humerus proksimal Rehabilitasi fraktur humerus proksimal sangat penting karena pergerakan yang adekuat sangat dibutuhkan untuk mengembalikan pada fungsi yang optimal. Rehabilitasi fraktur humerus prosimal dibagi mejadi 3 fase (Hughes and Neer). Ketiga fase ini bertujuan untuk meningkatkan latihan peregangan dan kekuatan.

27

Aplikasi latihan ini sangat bervariasi dan tergantung pada tipe fraktur atau penyembuhan fraktur dan kemampuan pasien dalam memahami program latihan. Latihan dilakukan 3-4 kali per hari selama 20-30 menit. 1) Fase 1 Passive-Assistive Exercise Fase ini dimulai setelah post operasi. Jika fraktur telah dilakukan penyembuhan dengan reduksi tertutup dan kondisinya stabil, latihan ini dimulai pada hari ke 7-10 setelah fraktur. Latihan pertama yang dilakukan adalah Pendulum exercise (Codman) yaitu merotasi lengan ke luar dan ke dalam seperti membentuk lingkaran kecil. Gerakannya dapat dilihat seperti gambar di bawah ini.

Gambar 15. Passive Pendulum Exercise

Gambar 16. Active Pendulum Exercise Latihan kedua adalah supine external rotation with stick. Latihan ini sangat penting untuk mendukung siku dan humerus distal dilakukan seperti melipat handuk atau baju karena akan membuat rasa aman bagi pasien.Sedikit abduksi kurang lebih 15-20 derajat akan membantu latihan ini.

28

Gambar 17. supine external rotation with stick Tiga minggu setelah fraktur, klien dibantu untuk melakukan forward elevation dan pulley exercises dapat ditambahkan. Setelahnya dapat ditambahkan sedikit. Isometric exercise umumnya dimulai pada minggu ke 4. Setelah perbaikan operasi mulai sembuh, latihan ini dapat dimulai dalam 24-48 jam. Perawat harus memulai melakukan fleksi dan ekstensi pada siku dan bantu pasien untuk melakukan pendulum exercise. Supine eksternal rotation dan bantu untuk forward elevation baik dengan duduk atau tidur perlu dilakukan. Antara 3-5 hari post operasi, latihan formal dimulai yaitu pendulum exercise, pulley supine, external rotation with stick, supine forward flexion, and extension with a stick. Latihan isometrik dapat dimulai setelah 3 minggu.

Gambar 18. Forward elevation

Gambar 19. Pulley exercise

29

Gambar 20. isometric exercise 2) Fase 2 active and early resistive Latihan pada fase 2 ini mulai aktif, memberikan hambatan dan latihan peregangan. Latihan pertama adalah supine active forward elevation

.

Gambar 21. supine active forward elevation Forward elevation dapat dikembangkan menjadi tegak lurus. Penggunaan tongkat pada tangan yang sakit dapat membantu dalam melakukan forward elevasi. Penggunaan tongkat tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 22. forward elevation with stick Seiring dengan penguatan lengan, elevasi tegal lurus dapat dilakukan tanpa menggunakan bantuan, tetatpi enting untuk menjaga siku ditekuk dan lengan tertutup pada garis tengah. Penggunaan karet elastis (therabands) dapat berguna untuk meningkatkan kekuatan rotator internal, rotator external, dan deltoid depan, tengah serta belakang.

30

Gambar 23. Latihan dengan therabands Pengulangan sebanyak 10-15 kali setiap latihan sangat dianjurkan. Latihan elevasi ke depan ke atas pintu atau tembok dapat dilakukan untuk eksternal rotasi seperti pada gambar berikut.

Gambar 24. Latihan dengan elevasi ke depan pada tembok Latihan dilakukan juga dengan menaikkan kedua tangan ke atas kepala dengan tangan saling menjabat, kemudian tagan diletakkan di belakag kepala dan lengan dirotasi eksternal serta abduksi.

Gambar 25. Latihan rotasi eksternal dan abduksi Latihan tersebut sangat penting untuk mengevaluasi abduksi dan rotasi eksternal. Internal rotasi dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan tangan yang normal seperti gambar di bawah ini.

31

Gambar 26. Latihan rotasi eksternal dan internal 3) Fase 3 Maintenance program Fase ini umumnya dimulai setelah 3 bulan. Penguatan lengan dapat dilakukan dengan peregangan forward elevation sambil tengkurap. Angkat beban dapat dilakukan setelah tiga bulan. Angkat beban dapat dimulai dengan berat awal sebesar 1 pound dan terus meningkat hingga maksimal 5 pound. Apabila saat latihan dirasakan nyeri maka berat beban harus dikurangi. Rehabilitasi yang yabaik sangat berguna untuk mensukseskan pengobatan fraktur. Hasil operasi dan reduksi fraktur yang baik tidak akantercapai tanpa latihan yag cukup. b) Rehabilitasi Humerus Distal Fractur Rehabilitasi yang tepat dan tepat waktu pada cedera siku dapat mengurangi nyeri dan kontraktur. Meskipun respon inflamasi pada trauma di sike berbeda di awal fase dari sendi utama lainnya, namun jarang terjadi pembengkakan dan kekakuan yang parah pada fraktur minimal. Pada kasus yang lebih berat seperti dislokasi posterior atau fraktur humerus distal memerlukan terapi yang lebih untuk mendapatkan penyembuhan yang optimal. Mobilisasi program harus mencegah kerusakan struktur dan nyeri yang minimal. Pada fase akut (1-6 minggu) pasien diharapkan memulai active motion exercise, baik fleksi, ekstensi, pronasi, dan supinasi. Pada kasus operasi perlu dipertimbangkan untuk menunggu melakukan range of motion sampai terjadi penyembuhan seperti pada posterior dislocations.Active motion exercise perlu menekankan pada latihan ekstensi untuk minggu pertama setelah injuri. Jika pasien tidak menunjukkan perkembangan perlu dilakukan dynamic splinting program.

c)

Rehabilitasi Shaft Humerus Fracture Rehabilitasi fracture shaft humerus dengan fiksasi internal dibagi menjadi

5 fase yaitu (Lake Cook Orthophedics, Tanpa tahun): 1) Fase 1 (0-4 minggu) Imobilisasi dengan sling imobilizer dengan sudut 15 derajat abduksi selama 4 minggu dan digunakan seterusnya kecuali saat terapi. Hindari rotasi dan

32

pergangan berlebih. Lakukan latihan berupa latihan menggenggam, latihan siku, pendulum exercise, ROM pergelangan tangan dan jari, ROM pada bahu namun harus dilakukan dengan hati-hati dan disesuaikan dengan toleransi. 2) Fase 2 (4-8 minggu) Tidak diperlukan imobilisasi, lakukan peregangan sesuai dengan batas toleransi klien, meningkatkan latihan ROM 3) Fase 3 (8-12 minggu) Perlu dilakukan pembatasan gerakan abduksi 20 derajat, eksternal rotasi 20 derajat, latihan dilanjutkan untuk ROM pada sendi bahu, pada 10 minggu lakukan latihan resistensi bahu. 4) Fase 4 (12- 26 minggu) Tidak ada pembatasan gerakan, ROM harus 85% normal atau lebih, peningkatan kekuatan ekstremitas atas akanterlihat setelah minggu ke 16, lakukan latihan plyometric training 5) Fase 5 (26 minggu lebih) Fungsi lengan dan bahu harus optimal, tidak ada pembatasan gerakan, dan motivasi klien untuk terus meningkatkan kekuatan otot. Perawat juga berperan dalam meningkatkan penyembuhan luka akibat operasi yang dialami klien yaitu dengan cara: 1) Memonitor kondisi klien post operasi dengan manajemen cairan, nutrisi, manajemen anastesi untuk memastikan kondisi klien 2) Monitoring penyembuhan dan perawatan luka operasi klien 3) Pendidikan kesehatan terkait nutrisi klien Nutrisi merupakan salah satu aspek yang sering dilupakan pada proses penatalaksanaan fraktur, karena sebagian besar terfokus pada penggunaan obat, penggantian balutan dan gips, serta fisioterapi saja (Situmorang, 2012). Asupan nutrisi yang baik seperti cukupnya vit A, vit D, kalsium, vitamin C, fosfor, magnesium, dll dapat membantu pertumbuhan dan pembentukan tulang yang kuat dan sempurna (Smeltzer & Bare, 2002). Vitamin

A

sangat

diperlukan

untuk

pertumbuhan

sel,

termasuk

perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam

33

pertumbuhan gigi, demikian halnya pada pasien fraktur. Sedangkan fosfor digunakan sebagai mineral yang memperkuat struktur tulang bersama dengan kalsium. Buah-buahan merupakan sumber vitamin A yang baik untuk tulang. Fosfor terdapat di dalam semua makanan terutama makanan kaya protein seperti daging, ayam, ikan, telur, susu, dan hasilnya, kacang-kacangan dan hasilnya, serta serealia (Almatsier, 2001).

34

K. Clinical Pathway Trauma Langsung

Trauma Tidak Langsung

Kondisi Patologis

Prosedur pembedahan

Fraktur Humerus

Nyeri akut Diskontinuitas Tulang

Pergeseran Frakmen Tulang

Perubahan Jaringan Sekitar

Pre Operasi

Kerusakan Frakmen Tulang Spasme Otot Laserasi Kulit

Pergeseran fragmen tulang

Deformitas

Kurang terpaparnya informasi

Putus vena/arteri Kerusakan Intergritas Kulit

Peningkatan Tekan Kapiler

Defisiensi Pengetahuan

Krisis Situasional

Ansietas Pelepasan Histamin Perdarahan

Gangguan Fungsi

Tekanan Sumsum tulang > tinggi dari kapiler

Ancaman kematian

Kehilangan Vol. Cairan

Protein Plasma hilang

Reaksi Stres Klien

Pelepasan Katekolamin

Memobilisasi asam Lemak

Bergabung dengan trombosit

Edema Hambatan Mobilitas Fisik

Risiko Sindrom Disuse

Syok Hipovolemik

Penekanan Pemb. 35 Darah

Gangguan Perfusi Jaringan

Menyumbat Pembuluh darah

Emboli

Intra Operasi Tindakan infasif

Post Operasi

Tindakan Konservatif

Luka post operasi

Post Anastesi

Bidai, Gips, Traksi

Luka Insisi Penurunan kerja medulla oblongata Perdarahan Kehilangan banyak cairan Risiko Syok Hipovolemik

Port de entry Resiko Infeksi

Penurunan refleksi batuk

Jaringan terputus

Penurunan kerja pons Penurunan kerja otot eliminasi

Akumulasi sekret Penurunan peristaltik usus Ketidak efektifan bersihan jalan nafas

Gangguan eliminasi BAB, Konstipasi

36

Jaringan terbuka

Merangsang area sensorik

Proteksi kurang

Nyeri Akut

Invasi Bakteri Resiko Tinggi Infeksi

Gangguan Mobilitas Fisik

Keterbatasan Pergerakan fisik

Defisist Perawatan Diri

L. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a) Identitas Pasien Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien. b) Keluhan utama Keluhan yang membuat pasien datang ke rumah sakit. Pada kasus-kasus fraktur biasanya keluhan utama yang dirasakan yaitu sakit yang sangat pada daerah terjadinya fraktur. 1) Mulai timbulnya keluhan atau waktu terjadinya fraktur 2) Sifat keluhan, biasanya pasien mengeluh sakit yang sangat parah di daerah lokasi fraktur dan bahkan pasien tidak dapat berjalan sendiri 3) Lokasi fraktur atau nyeri yang dirasakan pasien 4) Keluhan lain yang menyertai, apabila terjadi perdarahan hebat biasanya pasien merasa pusing atau bahkan pingsan 5) Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan seperti dibawa ke tukang pijit atau diberikan obat-obatan analgesic untuk mengatasi nyeri sementara. c) Riwayat Kesehatan 1) Riwayat penyakit sekarang Klien biasanya nyeri pada bagian yang mengalami fraktur di area humerus. Nyeri dimulai ketika fraktur terjadi, fraktur biasanya terjadi karena trauma langsung seperti kecelakaan ataupun karena trauma tidak langsung seperti osteoporosis. 2) Riwayat kesehatan dahulu Menentukan penyebab fraktur dan memberi petunjuk tentang lamanya tulang untuk menyambung. Penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit

paget’s

menyebabkan

fraktur

patologis

sulit

untuk

menyambung. Diabetes dapat menghambat proses penyembuhan tulang

37

3) Riwayat kesehatan keluarga Bukan merupakan penyakit yang degenerative. Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur seperti diabetes, osteoporosis dan kanker tulang. d) Alergi Lakukan pengkajian adanya riwayat alergi terutama terhadap obat-obatan atau makanan. Kemudian tanyakan pula reaksi yang ditimbulkan apabila terjadi alergi, dan tindakan apa yang dilakukan pasien saat terjadi alergi. e) Kebiasaan Tanyakan kebiasaan pasien sehari-hari, serta tanyakan berapa lama kebiasaan tersebut dilakukan. 1) Merokok (berapa batang /bungkus sehari) 2) Minum alkohol 3) Minum kopi 4) Minum obat-obatan f) Pengkajian keperawatan 1) persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan, meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang mengganggu metabolism kalsium, mengkonsumsi alcohol yang bisa mengganggu keseimbangan dan kebiasaan klien melakukan olahraga. 2) pola nutrisi/metabolik terdiri dari antropometri, biomedical sign, clinical sign, diet pattern. Klien dengan fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebih kebutuhan sehari-hari, seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan. Evaluasi pola nutrisi klien membantu menentukan penyebab masalah muskuloskletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama pada kalsium atau protein. 3) pola eliminasi: BAB dan BAK (frekuensi, jumlah, warna, konsistensi, bau, karakter)

38

4) pola aktivitas & latihan: Activity Daily Living,status oksigenasi, fungsi kardiovaskuler, terapi oksigen. Timbulnya nyeri, keterbatasan gerak menyebabkan semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan klien membutuhkan bantuan orang lain. Aktivitas klien sebelumnya juga perlu dikaji terutama pekerjaan klien, karena ada beberapa jenis pekerjaan berisiko untuk menyebabkan terjadinya fraktur. 5) Pola tidur & istirahat : durasi, gangguan tidur, keadaan bangun tidur. Klien fraktur akan mengalami nyeri, keterbatasan gerak sehingga menggangu waktu tidur dan istirahat klien. 6) Pola kognitif & perceptual : fungsi kognitif dan memori, fungsi dan keadaan indera. Biasanya klien akan mengalami gangguan pada indra peraba terutama pada bagian distal fraktur. 7) Pola persepsi diri : gambaran diri, identitas diri, harga diri, ideal diri, dan peran diri. Dampak yang timbul pada klien yang mengalami fraktur yaitu ketakutan

akan

kecacatan

akibat

fraktur,

rasa

cemas,

rasa

ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan akan dirinya yang salah. 8) Pola seksualitas & reproduksi : pola seksual dan fungsi reproduksi. Klien tidak dapat melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta nyeri yang dialami. 9) Pola peran & hubungan, klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap. 10) Pola manajemen & koping stress. Mekanisme koping yang dialami klien dapat menjadi tidak efektif akibat ketakutan klien akan kecacatan yang dapat timbul pada dirinya. 11) Sistem nilai dan keyakinan : oleh pasien maupun masyarakat. Klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama terhadap frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah akibat nyeri dan keterbatasan gerak.

39

g) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui keadaan fraktur yang dialami pasien secara lebih jelas. Pemeriksaan fisik meliputi primary survey (dilakukan dengan mengetahui keadaan umum pasien) dan secondary survey (untuk mengetahui gerakan pasien apakah masih dianggap normal atau tidak). 1) Keadaan umum, tanda vital 2) Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi): kepala, mata, telinga, hidung, mulut, leher, dada, abdomen, urogenital, ekstremitas, kulit dan kuku, dan keadaan lokal. 3) Pemeriksaan fraktur (a) Look/inspeksi (1) Bandingkan dengan bagian yang sehat (2) Perhatikan posisi anggota gerak secara keseluruhan (3) Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan (4) Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur tertutup atau terbuka (5) Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan pemendekan (6) Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain (7) Keadaan vaskularisasi (b) Feel/palpasi Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan: (1) Nyeri tekan (2) Krepitasi (3) Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma (4) Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai

40

(c) Move/gerakan (1) Periksa

pergerakan

dengan

mengajak

penderita

untuk

menggerakkan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma (2) Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf (3) Move untuk melihat apakah ada krepitasi bila fraktur digerakkan, tetapi ini bukan cara yang baik dan kurang halus. Krepitasi timbul oleh pergeseran atau beradunya ujung-ujung tulangkortikal. Pada tulang spongiosa atau tulang rawan epifisis tidak terasa krepitasi. (4) Memeriksa seberapa jauh gangguan fungsi, gerakan-gerakan yang tidak mampu dilakukan, range of motion dan kekuatan serta kita melakukan pemeriksaan untuk melihat apakah ada gerakan tidak normal atau tidak. Gerakan tidak normal merupakan gerakan yang tidak terjadi pada sendi, misalnya pertengahan femur dapat digerakkan. Ini adalah bukti paling penting adanya fraktur yang membuktikan adanya putusnya kontinuitas tulang sesuaidefinisi fraktur. Hal ini penting untuk membuat visum, misalnya bila tidak ada fasilitas pemeriksaan rontgen. h) Pemeriksaan penunjang 1) Foto rongten digunakan untuk mengetahui lokasi dan garis fraktur. 2) X ray digunakan untuk menentukan jenis fraktur dan mekanisme terjadinya trauma. Umumnya menggunakan proyeksi anteroposterior dan lateral. 3) CT scan dapat digunakan untuk menggambarkan anatomi tulang khusunya pada cedera plafon. 4) MRI digunakan untuk mengkaji adanya cedera pada tulang rawan, ligament dan tendon.

41

b. Diagnosa Keperawatan 1) Pre Operatif a) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik dan kerusakan jaringan: pergeseran fragmen tulang akibat fraktur. b) Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan mengenai kondisi fisik, prosedur pemberdahan c) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi terkait prosedur operasi 2) Intra Operatif a) Risiko infeksi, faktor resiko prosedur invasive b) Risiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan 3) Post Operatif a) Nyeri akut berhubungan dengan proses penyembuhan luka, prosedur operasi b) Resiko infeksi berhubungan dengan faktor resiko prosedur invasive c) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi muskuloskletal d) Risiko sindrom disuse berhubungan dengan efek pembedahan: resiko infeksi, gg. eliminasi, pemasangan traksi, hambatan mobilitas fisik.

42

c. Intervensi Keperawatan No. 1.

Masalah Keperawatan Pre Operatif Nyeri akut (00132)

Tujuan & Kriteria Hasil (NOC)

Intervensi (NIC)

NOC Kontrol nyeri (1605) Tingkat nyeri (2102) Kepuasan klien: manajemen nyeri (3016) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri akut pada pasien dapat berkurang, dengan kriteria hasil: 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) 2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri 3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

NIC Manajemen nyeri (1400) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri) 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri 3. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat 4. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan Terapi relaksasi (6040) 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti nafas dalam dan musik 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman Pemberian analgesik (2210) 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan keparahan nyeri sebelum mengobati pasien 8. Cek adanya riwayat alergi obat 9. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi obat analgesik yang diresepkan

43

2.

Ansietas (00146)

3.

Defisiensi (00126)

NOC Tingkat Kecemasan (1211) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam, ansietas pada pasien dapat teratasi, dengan kriteria hasil: 1. Pasien dapat menyampaikan rasa takut secara lisan 2. Tidak ada peningkatan tekanan darah pasien 3. Tidak ada Peningkatan frekuensi nadi pasien 4. Tidak ada Peningkatan frekuensi pernafasan pasien

NIC Pengurangan kecemasan (5820) 1. Gunakan pendekatan yang tenang dan menyakinkan 2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap perilaku klien 3. Jelaskan semua prosedur termasuk sesuai yang akan dirasakan yang mungkin akan alami klien selama prosedur 4. Berikan informasi faktual terkait diagnosis, perawatan dan prognosis 5. Berada di sisi klien untuk meningkatkan rasa aman dan mengurangi ketakutan 6. dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan ketakutan 7. dukung penggunaan mekanisme koping yang sesuai 8. instruksikan klien untuk menggunakan teknik relaksasi 9. kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan pengetahuan NOC NIC Pengetahuan : Prosedur penanganan Pengajaran: Perioperatif (5610) (1814) 1. informasikan kepada pasien dan keluarga untuk Setelah dilakukan tindakan keperawatan jadwal tanggal, waktu dan lokasi operasi.

44

selama 1x24 jam, defisiensi pengetahuan pada pasien dapat teratasi, dengan kriteria hasil: 1. Pasien memahami prosedur penanganan, tujuan prosedur, langkah-langkah prosedur 2. Klien mengetahui efek samping penanganan 3. Klien mengetahui kontraindikasi penanganan

45

2. Informasikan kepada pasien dan keluarga perkiraan lama operasi 3. Kaji riwayat operasi sebelumnya, latar belakang, budaya dan tingkat pengetahuan terkait operasi 4. Fasilitasi kecemasan pasien dan keluarga terkait kecemasannya 5. Berikan kesemapatan untuk pasien bertanya 6. Jelaskan prosedur persiapan pre-operasi (misalnya jenis anestesi, diit yang sesuai, pengosongan saluran cerna, pemeriksaan lab yang dibutuhkan, perisapan area operasi, terapi intravena, pakaian operasi, ruang tunggu keluarga, transportasi menuju ruang operasi dan lain-lain. 7. Berikan umpan balik terhadap kepercayaan pasien kepada semua pihak yang terlibat dalam proses operasi 8. Diskusikan kemungkinan nyeri yang dirasakan 9. Intruksikan pasien mengenai teknik mobilisasi, batuk dan nafas dalam Evaluasi kemampuan pasien dan dokumentasi

No. 1.

2.

Masalah Keperawatan Intra Operatif Risiko infeksi (00004)

Risiko syok hipovolemik (00205)

Tujuan & Kriteria Hasil (NOC)

Intervensi (NIC)

NOC NIC Kontrol resiko: proses infeksi (1924) Kontrol infeksi: Intraperioperatif (6545) Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Bersihkan debu dan permukaan mendatar dengan selama 1x24 jam, resiko infeksi pada pencehayaan diruang operasi pasien dapat teratasi, dengan kriteria 2. Monitor dan jaga suhu ruangan antara 200 dan hasil: 240 1. Mengetahui konsekuensi terkait 3. Monitor dan jaga kelembaban relatif antara 20% infeksi dan 60% 2. Mengetahui perilaku yang 4. Monitor dan jaga aliran udara yang terlapis berhubungan dengan risiko infeksi 5. Batasi dan kontrol lalu lalang pengunjung 3. Memonitor faktor lingkungan yang 6. Verifikasi bahwa antibiotic profilaksis telah berhubungan dengan risiko diberikan dengan tepat 4. Mempertahankan lingkungan yang 7. Lakukan tindakan pencegahan pencegahan bersih universal 5. Memonitpr perubahan status 8. Pastikan bahwa personil yang akan melakukan kesehatan tindakan operasi mengenakan pakaian yang sesuai 9. Monitor teknik isolasi yang sesuai 10. Verifikasi keutuhan kemasan steril dan indikator indikator sterilisasi NOC NIC Pencegahan syok Pencegahan syok (4260)

46

Management syok Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, resiko infeksi pada pasien dapat teratasi, dengan kriteria hasil: 1. Irama jantung dalam batas yang diharapkan 2. Frekuensi nafas daam batas yang diharapkan 3. Irama pernafasan dalam batas yang diharapkan No. 1.

Masalah Keperawatan Post Operatif Nyeri akut (00132)

1. Monitor status sirkulasi (tekanan darah, warna kulit, suhu kulit, denyut jantung, ritme, nadi perifer, dan CRT) 2. Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan 3. Monitor input dan output 4. Monitor tanda awal syok Kolaborasi pemberian cairan IV dengan tepat

Tujuan & Kriteria Hasil (NOC)

Intervensi (NIC)

NOC Kontrol nyeri (1605) Tingkat nyeri (2102) Kepuasan klien: manajemen nyeri (3016) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri akut pada pasien dapat berkurang, dengan kriteria hasil: 5. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu

NIC Manajemen nyeri (1400) 10. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri) 11. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri 12. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat 13. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan Terapi relaksasi (6040) 14. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti nafas dalam dan musik

47

2.

Resiko infeksi (00004)

menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) 6. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri 7. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 8. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang NOC Keparahan infeksi (0703) Kontrol resiko (1902) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, tidak terjadi infeksi pada pasien dengan kriteria hasil: 1. Luka tidak berbau busuk 2. Pasien tidak demam (suhu stabil) 3. Tidak terdapat nanah pada luka 4. Pasien dapat mengidentifikasi faktor resiko 5. Mengenali faktor resiko individu

48

15. Dorong pasien mengambil posisi nyaman Pemberian analgesik (2210) 16. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan keparahan nyeri sebelum mengobati pasien 17. Cek adanya riwayat alergi obat 18. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi obat analgesik yang diresepkan

NIC Kontrol infeksi (6540) 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah dipakai setiap pasien 2. Ganti perawatan peralatan setiap pasien sesuai SOP rumah sakit 3. Batasi jumlah pengunjung 4. Ajarkan cara mencuci tangan Perlindungan infeksi (6550) 5. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi 6. Berikan perawatan kulit yang tepat Manajemen nutrisi (1100) 7. Tentukan status gizi pasien 8. Identifikasi adanya alergi Identifikasi resiko (6610) 9. Kaji ulang riwayat kesehatan masa lalu 10. Identifikasi strategi koping yang digunakan

3.

Hambatan mobilitas fisik NOC (00085) Koordinasi pergerakan (0212) setelah dilakukan perwatan selama 1x24 jam mobilitas fisik pasien membaik dengan kriteria hasil: 1. Dapat mengontrol kontraksi pergerakkan 2. Dapat melakukan kemantapan pergerakkan 3. Dapat menahan keseimbangan pergerakkan

49

NIC Peningkatan Mekanika Tubuh (0140) 1. Berikan informasi tentang kemungkinan posisi penyebab nyeri otot atau sendi 2. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam mengembangkan peningkatan mekanika tubuh sesuai indiksi Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan (0201) 4. Sediakan informasi mengenai fungi otot, latihan fisiologis, dan konsekuensi dari penyalahgunaannya 5. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan untuk terlibat dalam latihan otot progresif 6. Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah pengulangan, jumlah set, dan frekuensi dari sesi latihan menurut lefel kebugaran dan ada atau tidaknya faktor resiko 7. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap selesai satu set jika dipelukan 8. Bantu klien untuk menyampaikan atau mempraktekan pola gerakan yan dianjurkan tanpa beban terlebih dahulu sampai gerakan yang benar sudah di pelajari Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (0224)

4.

Risiko sindrom disuse (00040)

NOC Koordinasi pergerakan (0212) Pergerakan sendi (0206) Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1x24 jam, klien dapat melakukan aktivitas secara bertahap sesuai dengan batas kemampuannya. 1. Terjadi peningkatan kontraksi otot pada klien 2. Klien mampu melakukan pergerakan halus 3. Klien mampu menggerakkan persendiannya

50

9. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya terhadap fungsi sendi 10. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam mengembangkan dan menerapan sebuah program latihan 11. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang teraktur dan terencana 12. Instruksikan pasien atau keluarga cara melakukan latihan ROM pasif, dan aktif 13. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM 14. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan latihan NIC Terapi latihan: mobilitas sendi (0224) 1. Gunakan pakaian yang tidak ketat pada pasien 2. Dampingin pasien untuk mengoptimalkan posisi tubuh untuk latihan pergerakan sendi baik aktif maupun pasif 3. Tunjukkan cara melakukan ROM aktif maupun pasif 4. Dampingi pasien untuk membuat jadwal latihan ROM aktif Nilai kemajuan yang dicapai

d. Evaluasi Keperawatan Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan. Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP, yaitu: 1. S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan. 2. O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan tindakan keperawatan. 3. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi, teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru 4. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau dimodifikasi

e. Discharge Planning Berdasarkan Nurafif dan Kusuma (2015) discharge planning untuk pasien fraktur sebagai berikut: 1. Meningkatkan masukan cairan 2. Dianjurkan untuk diet lunak terlebih dahulu 3. Dianjurkan untuk istirahat yang adekuat 4. Kontrol sesuai jadwal 5. Mimun obat sesuai dengan yang diresepkan dan segera periksa jika ada keluhan 6. Menjaga masukan nutrisi yang seimbang 7. Hindari trauma ulang.

51

DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta: Widya Medika. Black, J.M, et al. 1995. Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing ProcessApproach, 4 th Edition. New York: W.B. Saunder Company. Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing Interventions Classification (NIC). Edisi 6. Jakarta: EGC. Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing Outcomes Classification (NOC). Edisi 6. Jakarta: EGC. De Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. Egol, K.A., Koval, K.J., Zuckerman, J.D. 2010. Handbook of Fractures. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Hoppenfield, Stanley. 2011. Treatment and Rehabilitation of Fractures. Jakarta: EGC Lake Cook Orthophedics. Tanpa tahun. Humerus Mid-Shaft Fracture: s/p Open Treatment with Internal Fixation: Post-Operative Rehabilitation Protocol. http://lakecookortho.com/wpcontent/uploads/2012/11/Humerus_Fracture_Post_Repair.pdf [diakses 22 Oktober 2017] Mansjoer, Arif, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Jakarta: Medika Aesculapius FK UI. Moorhead., Johnson., Maas., & Swanson. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). fifth Edition. USA: Mosby. Morrison, M.J. 2003. Manajemen Luka alih bahasa Tyasmono A. F. Jakarta: EGC. Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan. Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika. Nanda Internasional 2015. Diagnosis Keperawatan 2015-2017. Oxford: Willey Backwell. Nurafif, A.H. dan K. Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC. Edisi 1. Yogyakarta: Mediaction.

52

Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia. Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone. Reksoprodjo, S. 2009. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher. Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth.Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.

53

Related Documents


More Documents from ""