II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional 2.1.1
Fisiografi Regional Menurut Ch. Amri,dkk (1976-1979) daerah Sorong termasuk ke dalam fisiografi Bagian Kepala Burung yang terbagi menjadi enam jenis bentang alam sebagai hasil dari proses geologi yang komplek. Keenam jenis bentang alam yang didefinisikan secara luas sebagai fisiografi daerah Sorong, antara lain: 1. Perbukitan Kasar Daerah perbukitan kasar yang berarah timur –timur laut berkembang di bagian pantai utara daratan Papua, Pulau Batanta, dan Pulau Salawati dengan puncak tertinggi di utara Pulau Salawati yaitu setinggi 931 mdpl. Sungai Warsamson yang memiliki lembah yang lebar terbentang sejajar dengan perbukitan kasar tersebut dan memotong di daerah Papua Timur. 2. Lembah Antargunung Lembah antargunung mempunyai dua lembah yang dipengaruhi oleh sesar-sesar di bagian timur laut Papua, yaitu lembah Warsamson dan lembah Dore Hum yang berada disebelah barat Teluk Dore Hum. Lembah Warsamson berdampingan dengan Sistem Sesar Sorong yang membentuknya dan diatasnya ditutupi oleh endapan danau, yaitu lumpur, pasir, kerikil, dan gambut. Lembah Dore Hum dibatasi di utara dan selatan oleh sesar dan bertemu pada ujung barat dan ditutupi oleh rawa. 3. Perbukitan dan Pegunungan Karst Fisiografi ini berkembang pada batugamping yang tersingkap di Pegunungan Morait dan di barat dayanya, Pulau Batanta bagian tengah dan barat, dan di Pulau Mansuar. Daerah itu berbentuk tonjolan dengan lekukan sempit yang memanjang yang merupakan pola khas terumbu
yang terangkat. Puncak tertinggi dengan ketinggian 1183 mdpl berada di Pulau Batanta. 4. Daerah Perbukitan Rendah Fisiografi ini meluas kearah barat meliputi Pulau Salawati. Daerah perbukitan ini menempati jalur yang berarah barat – barat daya yang meliputi bagian tengah dari Papua yaitu di sekitar daerah Klasaman dan lapangan minyak Klamogun, mencakup gugusan Kepulauan Fam dan Pulau Kofiau. Disekitar daerah Klasaman terdiri dari daerah perbukitan yang hampir menyerupai plato dan sejumlah besar perbukitan dengan ketinggian yang tak beraturan menyerupai karst. 5. Dataran Aluvium Fisiografi ini terletak pada elevasi 0-50 mdpl menutup bagian selatan daerah Papua, bagian timur, selatan, dan baratdaya, Pulau Salawati, dan sejumlah Pulau di Selat Sele. 6. Terumbu Koral Terangkat Fisiografi ini membentuk seluruh atau bagian tertentu pulau yang termasuk ke dalam Kepulauan Schildpad, Mainsfield, Boo, Fam, Kofiau, dan Doif.
Berdasarkan geologi regional lembar Sorong, Irian Jaya daerah penelitian termasuk ke dalam fisiografi Perbukitan dan Pegunungan Karst, dan Lembah antargunung. 2.1.2
Stratigrafi Regional Susunan litologi Kepala Burung periode pra-tumbukan dianggap sebagai bagian dari Benua Indo-Australia, sehingga susunan endapan sedimen periode ini dapat diilustrasikan melalui perkembangan tektonik dan stratigrafi cekungan Benua Indo-Australia bagian utara (Peck dan Soulhol, 1986; dan Henage, 1993). Dua kecenderungan arah cekungan ditemui pada bagian utara kerak benua ini, yaitu cekungan Paleozoikum (600 – 400 juta tahun lalu) dan cekungan Mesozoikum (sekitar 200 juta
tahun lalu). Hal ini menunjukkan adanya dua periode pemekaran (rifting). Pemekaran Paleozoikum, pemekaran ini tidak diikuti oleh suatu break-up, tetapi oleh penurunan umum dan transgresi laut, membentuk pengendapan sistem rift. Pemekaran Mesozoikum ditunjukkan oleh Formasi Tipuma sebagai endapan syn-rift pada Trias-Jura, diikuti oleh break-up benua dan bergesernya benua India serta pembentukan pengendapan lingkungan pasif margin. Daerah Sorong dapat dibedakan menjadi empat mandala geologi utama. Dari selatan ke utara, mandala itu adalah: Bongkah Kemum, Sistem Sesar Sorong, Blok Tamrau, dan Mandala Batanta-Waigeo. Stratigrafi daerah Kepala Burung khususnya daerah Sorong termasuk kedalam empat mandala diatas. Setiap mandala geologi mempunyai stratigrafi yang berbeda. Hal ini diakibatkan karena proses geologi yang terjadi di daerah ini. 1. Blok Kemum (SDk) Batuan dasar Blok Kemum terdiri dari metasedimen Paleozoikum yang diterobos oleh granit Perm. Batuan dasar ini tersingkap di daerah Tinggian Kemum. Sedimen klastik Mesozoikum dan suksesi karbonat Tersier menutupi batuan dasar ini. Formasi Kemum berumur Silur-Devon terdiri dari batusabak, filit greywacke, batupasir dan kuarsit yang mengalami metamorfosa derajat rendah selama Devon atau selama awal atau pertengahan Karbon. Di atas Formasi Kemum diendapkan secara tidak selaras Kelompok Aifam, yang terdiri dari Formasi Aimau, Formasi Aifat, dan Formasi Ainim. Karbonat masif, serpih, batulanau, dan batupasir kuarsitan merupakan ciri endapan Karbon-Perm di daerah Kepala Burung dan sekitarnya. Formasi Aimau diendapkan pada umur Karbon, endapannya berupa batupasir sisipan serpih. Formasi Aifat diendapkan di atas Formasi Aimau, terdiri dari serpih dan napal. Formasi ini memiliki kisaran umur Karbon – Perm. Jenis litologi ini menunjukkan peristiwa transgresi dari laut dangkal menjadi laut dalam, tetapi endapan regeresi ditemukan di bagian atas formasi ini. Formasi Ainim berumur Perm, diendapkan secara
tidak selaras di atas Formasi Aifat dengan batuannya berupa perlapisan serpih hitam dan batu pasir, terdapat pula lapisan batubara. Formasi ini mengindikasikan pengendapan pada lingkungan fluviatil non marin – lakustrin. Formasi Tipuma diendapkan di atas Formasi Ainim pada umur Trias – Jura. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras dengan batuannya meliputi perlapisan antara batupasir dan serpih. Diendapkan pada lingkungan alluvial-kontinental dengan regresi laut. Formasi ini tersingkap di daerah barat Papua, dibatasi oleh tinggian-tinggian tua, dan mengisi graben-graben yang ada. Kelompok Kembelangan diendapkan di atas Formasi Tipuma. Kelompok ini terdiri dari Formasi Kembelangan Bawah dan Formasi Jass. Formasi Kembelangan Bawah diendapkan pada umur Jura – Kapur, berupa endapan pasir laut dangkal yang berlapis dengan serpih. Formasi Jass diendapkan di atas Formasi Kembelangan Bawah pada umur Kapur, terdiri dari perlapisan batulempung dan serpih lanauan. Formasi Ekmai memiliki umur Kapur endapannya terdiri dari endapan batupasir dan serpih, ditemukan di daerah Badan Burung bagian Central Range. Di atas formasi berumur Kapur ini diendapkan Kelompok Batugamping New Guinea yang terdiri dari Formasi Waripi, Formasi Fumai, Formasi Sirga, dan Formasi Kais. Formasi Faumai diendapkan pada umur Eosen dengan batuannya berupa batugamping. Formasi Sirga memiliki umur Oligosen Akhir – Miosen Awal, formasi ini diendapkan di atas Formasi Fumai. Formasi Sirga terdiri dari endapan batugamping. Formasi Kais terendapkan pada umur Miosen Awal – Miosen Tengah, dengan litologinya berupa batugamping dengan banyak dijumpai pecahan koral. Formasi Klasafet diendapkan di atas Formasi Kais yaitu diendapkan pada umur Miosen Akhir. Formasi Steenkool mulai diendapkan pada umur Pliosen, terdiri dari perlapisan antara serpih dan batupasir. Formasi Sele diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Steenkool pada umur
Pleistosen. Endapan Formasi Sele terdiri dari konglomerat, batupasir, dan batulempung. 2. Sistem Sesar Sorong (SFx) Sistem Sesar Sorong merupakan jalur bancuh yang mencakup fragmen-fragmen batuan sedimen, batuan karbonat, granit, ultramafik dan batuan gunungapi dengan ukuran yang berkisar dari kerakal sampai bongkah dengan panjang beberapa kilometer. Penyebaran fragmenfragmen tersebut dipengaruhi oleh Sesar Sorong antara Miosen Akhir dan Kuarter. Fragmen-fragmen yang terdapat pada sistem sesar sorong terdiri dari fragmen batuan dari Formasi Kemum, Formasi Tamrau, Formasi Waiyaar, Batugamping Faumai, Formasi Klasafet, Formasi Klasaman, Batuan Gunungapi Dore, dan Batugamping Sagewin. Fragmen-fragmen daru Sistem Sesar Sorong yang tidak homogen yang tidak dapat dipetakan disebut sebagai bancuh tak terpisahkan. Konglomerat Asbakin tersusun dari fragmen yang berasal dari bancuh dan diendapkan antara Miosen Akhir dan Plistosen di sekitar daerah Asbakin, Konglomerat Sele di Lembah Warsamson dan endapan aluvial. 3. Blok Tamrau Satuan tertua adalah Formasi Tamrau yang berumur Jura Tengah sampai Kapur Atas yang tersusun oleh batuan metamorf derajat rendah. Diatas satuan ini diendapkan secara tidak selaras oleh Batugamping Formasi Koor. Batugamping Sagewin diendapkan diatas batuan gunungapi Dore yang berumur Miosen. Batuan gunungapi di Pulau Salawati menutupi Formasi Waiyaar yang pembentukannya sama dengan Formasi Tamrau yang tersingkap di sekitar Sistem Sesar Sorong. Endapan sungai, litoral dan pantai Kuarter diendapkan diatas batuan yang lebih tua. 4. Mandala Batanta-Waigeo Mandala ini mencakup pulau-pulau di utara dan barat dari Pulau Salawati dengan batuan dasarnya berupa batuan gunungapi Tersier dan batuan ultramafik sampai mafik yang berumur mesozoikum. Batuan yang berumur Mesozoikum itu berupa batuan ofiolit di Kepulauan Fam. Batuan yang berumur lebih muda termasuk ke dalam Formasi Saranami, batuan
metamorf derajat rendah dan batuan gunungapi andesit. Batuan-batuan tersebut mempunyai batas sesar dengan batuan Gunungapi Batanta. Batuan Gunungapi Batanta mempunyai hubungan menjemari dengan Formasi Yarifi dan batugamping Dayang yang berumur Oligo-Miosen, lalu diatasnya diendapakan secara tak selaras batugamping Formasi Waigeo yang berumur Miosen Atas sampai Pliosen. Batuan sedimen Formasi Marchesa di Batanta Timur yang berumur Plio-Pleistosen diendapkan diatas Formasi yarifi dan batuan Gunungapi Batanta. Batuan yang berumur paling muda adalah terumbu karang yang terangkat dan endapan pantai dan sungai.
Berdasarkan geologi regional lembar Sorong, Irian Jaya daerah penelitian termasuk ke dalam 3 mandala yang terkait, yaitu: Blok Kemum, Sistem Sesar Sorong, dan Blok Tamrau. 2.1.3
Tatanan Tektonik dan Struktur Regional Geologi Papua dipengaruhi dua elemen tektonik besar yang saling bertumbukan dan serentak aktif. Pada saat ini, Lempeng Samudera PasifikCaroline bergerak ke barat-baratdaya dengan kecepatan 7,5 cm/th, sedangkan Lempeng Benua Indo-Australia bergerak ke utara dengan kecepatan 10,5 cm/th. Tumbukan yang sudah aktif sejak Eosen ini membentuk suatu tatanan struktur kompleks terhadap Papua Barat (Papua), yang sebagian besar dilandasi kerak Benua Indo-Australia. Kompresi ini hasil dari interaksi yang bersifat konvergen miring (oblique convergence) antara Lempeng Benua Indo-Australia dan Lempeng Samudera Pasifik-Caroline (Dow dan Sukamto, 1984) (Gambar 2.4).. Konvergensi tersebut diikuti oleh peristiwa tumbukan yang bersifat kolisi akibat interaksi pergerakan antara busur kepulauan dengan lempeng benua yang terjadi selama Zaman Kenozoikum (Dewey & Bird, 1970; Abers & McCafferey, 1988 dalam Sapiie, 1998). Interaksi kolisi ini pergerakannya hampir membentuk sudut 2460 terhadap Lempeng Australia (Quarles van Ufford, 1996 dalam Sapiie, 1998).
Gambar 2.1 Kondisi tektonik Pulau Papua (Nillandaroe dan Barraclough, 2003).
Tektonik Papua, secara umum dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu Badan Burung atau Papua bagian timur dan Kepala Burung atau Papua bagian barat. Kedua bagian ini menunjukkan pola kelurusan barat-timur yang ditunjukan oleh Tinggian Kemum di Kepala Burung dan Central Range di Badan Burung, kedua pola ini dipisahkan oleh Jalur Lipatan Anjakan Lengguru berarah baratdaya-tenggara di daerah Leher Burung dan juga oleh Teluk Cenderawasih. Para ahli berpendapat mengenai kejadian utama kolisi yang terjadi berdasarkan data-data penentuan umur kelompok batuan. Visser dan Hermes (1966) berpendapat bahwa kejadian kolisi terjadi pada Oligosen setelah
pengendapan
sedimen
karbonat
yang
berubah
menjadi
pengendapan sedimen klastik akibat proses pengangkatan. Batuan metamorf yang hadir di kawasan ini memberikan umur proses kolisi terjadi pada Miosen (Pigram dkk., 1989 dalam Darman dan Sidi, 2000). Dari kedua fakta terjadinya umur batuan tersebut, maka Dow dkk (1988 dalam Darman dan Sidi, 2000) menyimpulkan bahwa Irian Jaya dan Papua Nugini merupakan produk dari dua kolisi utama yang terjadi pada Kala
Oligosen (Orogenesa Peninsula) dan diikuti oleh proses kolisi yang terjadi pada Miosen (Orogenesa Melanesia). Daerah Kepala Burung mengalami kompresi ke selatan sejak Oligosen sampai Resen. Elemen-elemen struktur utama adalah Sesar Sorong, Blok Kemum – Plateu Ayamaru di utara, Sesar Ransiki, Jalur Lipatan-Anjakan Lengguru dan Cekungan Bintuni dan Salawati di timur dan Sesar Tarera-Aiduna, Antiklin Misool-Onin-Kumawa dan Cekungan Berau di selatan dan baratdaya. Cekungan-cekungan Bintuni, Berau dan Salawati diketahui sebagai cekungan-cekungan Tersier. Sistem Sesar Sorong memanjang dari daratan Irian Jaya bagian utara yang mengikuti garis pantai melewati Selat Sele dan bagian utara Pulau Salawati. Lebarnya sampai 10 km dan berarah barat-baratdaya. Sistem sesar itu berkembang sebagai hasil proses yang sangat rumit. Strike-slip dan sesar normal berkembang di sepanjang bidang sesar yang terputus-putus. Sungai Warsamson yang berarah timur-barat dan perbukitan sempit yang memanjang di utaranya dipengaruhi oleh sesar dan merupakan batas selatan struktur tersebut. Sistem Sesar Sorong merupakan strike-slip bergerak mengiri sebagai hasil interaksi antara Lempeng Australia-India di selatan dan lempeng-lempeng di sebelah utara (Visser & Hermes, 1962; Hamilton, 1979; Dow & Sukamto, 1984; Pieters dkk, 1983). Pergerakan Sesar Sorong ditunjukkan oleh kehadiran struktur yang relatif tegak dan menyamping dan jenis batuan yang memiliki sejarah geologi yang berbeda-beda. Pergerakan Sesar Sorong yang terjadi di sepanjang Sistem Sesar Sorong itu kemungkinan berlangsung dari Miosen Akhir sampai Pliosen dan setelah itu terjadi pensesaran disertai pengangkatan wilayah bagian utara dan timur Kepala Burung pada kala Pliosen dan Kuarter. Blok Kemum adalah bagian dari tinggian batuan dasar, dibatasi oleh Sesar Sorong di utara dan Sesar Ransiki di timur. Dicirikan oleh batuan metamorf, pada beberapa tempat diintrusi oleh granit Permo-Trias. Batas selatannya dicirikan oleh kehadiran sedimen klastik tidak
termetamorfosakan berumur Paleozoikum-Mesozoikum dan batugampingbatugamping Tersier (Pigram dan Sukanta, 1981; Pieters dkk., 1983). Blok Kemum terangkat pada masa Kenozoikum Akhir dan merupakan daerah sumber sedimentasi utama pengisian sedimen klastik di utara Cekungan Bintuni. Cekungan Bintuni merupakan cekungan Tersier di selatan Blok Kemum, di bagian timurnya dibatasi oleh Jalur Lipatan Anjakan Lengguru. Cekungan ini dipisahkan dari Cekungan Salawati oleh Paparan Ayamaru dan dari Cekungan Berau oleh Perbukitan Sekak. Plateu Ayamaru dan Pematang Sekak merupakan tinggian di tengah Kepala Burung, dicirikan oleh sedimen tipis berumur Mesozoikum dan Tersier. Kedua tinggian ini memisahkan Cekungan Bintuni dan Salawati (Visser and Hermes, 1962; Pigram and Sukanta, 1981). Antiklin Misol-Onin-Kumawa merupakan bagian antiklinorium bawah laut yang memanjang dari Peninsula Kumawa sampai ke Pulau Misool (Pigram dkk., 1982). Jalur
Lipatan
Anjakan
Lengguru
berarah
baratdaya-tenggara
diperlihatkan oleh suatu seri bentukan ramps dan thrust. Di bagian selatannya, jalur ini terpotong oleh Zona Sesar Tarera-Aiduna (Hobson, 1997).
Gambar 2.2 Elemen Tektonik Kepala Burung (dimodifikasi dari Pigram dkk., 1982)
Tanjung Wandaman pada arah selatan-tenggara, merupakan jalur sesar yang dibatasi oleh batuan metamorf. Daerah ini dapat dibagi menjadi zona metamorfisme derajat tinggi di utara dan derajat rendah di selatan (Pigram dkk., 1982). Zona Sesar Tarera-Aiduna merupakan zona sesar mendatar mengiri di daerah selatan Leher Burung. Jalur Lipatan Anjakan Lengguru secara tiba-tiba berakhir di zona berarah barat-timur ini. Sesar ini digambarkan (Hamilton, 1979 dalam Pigram dkk., 1982) memotong Palung Aru dan semakin ke barat menjadi satu dengan zona subduksi di Palung Seram.
2.2 Dasar Teori 2.2.1
Pengertian Rock Mass Rating (RMR) Rock Mass Rating (RMR) atau juga dikenal dengan Geomechanichs Classification dikembangkan oleh Bieniawski pada tahun 1972-1973. Metode rating dipergunakan pada klasifikasi ini. Besaran rating tersebut didasarkan pada pengalaman Bieniawski dalam mengerjakan proyekproyek terowongan dangkal. Metode ini telah dikenal luas dan banyak diaplikasikan pada keadaan dan lokasi yang berbeda-beda seperti tambang pada batuan kuat, terowongan, tambang batubara, kestabilan lereng, dan kestabilan jalan. Metode ini dikembangkan selama bertahun-tahun seiring dengan berkembangnya studi kasus yang tersedia dan disesuaikan dengan standar dan prosedur yang berlaku secara internasional (Bieniawski, 1979). Metode klasifikasi RMR merupakan metode yang sederhana dalam penggunaannya, dan parameter-parameter yang digunakan dalam metode ini dapat diperoleh baik dari data lubang bor maupun dari pemetaan struktur bawah tanah. Metode ini dapat diaplikasikan dan disesuaikan untuk situasi yang berbeda-beda seperti tambang batubara, tambang pada batuan kuat (hard rock) kestabilan lereng, kestabilan pondasi, dan untuk kasus terowongan.
Dalam menerapkan sistem ini, massa batuan dibagi menjadi seksiseksi menurut struktur geologi dan masing-masing seksi diklasifikasikan secara terpisah. Batas-batas seksi umumnya struktur geologi mayor seperti patahan atau perubahan jenis batuan. Perubahan signifikan dalam spasi atau karakteristik bidang diskontinu mungkin menyebabkan jenis massa batuan yang sama dibagi juga menjadi seksi-seksi yang berbeda. Tujuan dari sistem RMR adalah untuk mengklasifikasikan kualitas massa batuan dengan menggunakan data permukaan, dalam rangka untuk memandu metode penggalian dan juga untuk memberikan rekomendasi pertambangan mendukung serta rentang yang tidak didukung dan stand-up time. Selain itu, menurut metode RMR, yang tergantung pada kondisi massa batuan di daerah penelitian, penelitian ini juga mencoba untuk mencari tahu risiko rekayasa potensi yang mungkin terjadi selama konstruksi pertambangan dan berusaha untuk menunjukkan metode yang tepat untuk mengendalikan dan mencegah seperti risiko-risiko potensial.
2.2.2
Klasifikasi massa batuan metode Rock Mass Rating (RMR) Dalam
mengklasifikasikan
massa
batuan
berdasarkan
sistem
Klasifikasi RMR, Bieniawski menggunakan lima parameter utama yang dijumlahkan untuk memperoleh nilai total RMR, yaitu : 1. Uniaxial Compressive Strength (UCS) 2. Rock Quality Designation (RQD) 3. Jarak antar (spasi) kekar (Spacing of discontinuities) 4. Kondisi kekar (Condition of discontinuities) 5. Kondisi air tanah (Groundwater conditions) Berikut ini sekilas penjelasan mengenai kelima parameter yang dipakai dalam sistem klasifikasi RMR : 1. Uniaxial Compressive Strength (UCS) Uniaxial Compressive Strength (UCS) adalah kekuatan dari batuan utuh (intact rock) yang diperoleh dari hasil uji UCS. Uji UCS menggunakan mesin tekan untuk menekan sampel batuan dari satu
arah (uniaxial). Nilai UCS merupakan besar tekanan yang harus diberikan sehingga membuat batuan pecah. Sedangkan point load index merupakankekuatan batuan batuan lainnya yang didapatkan dari uji point load. Jika UCS memberikan tekanan pada permukaan sampel, pada uji point load, sampel ditekan pada satu titik. Untuk sampel dengan ukuran 50 mm, Bieniawski mengusulkan hubungan antara nilai point load strength index (Is) dengan UCS adalah UCS = 23 Is. Pada umumnya satuan yang dipakai untuk UCS dan Is adalah MPa. Pada perhitungan nilai RMR, parameter kekuatan batuan utuh diberi bobot berdasarkan nilai UCS atau nilai PLI-nya seperti tertera pada tabel dibawah ini. Table 2.1 Tabel kekuatan material batuan utuh (Bienawski, 1989)
2. Rock Quality Designation (RQD) RQD didefinisikan sebagai presentase panjang core utuh yang lebih dari 10 cm terhadap panjang total core run. Diameter core yang dipakai dalam pengukuran minimal 54.7 mm. Dan harus dibor
dengan
double-tube
core
barrel.
Perhitungan
RQD
mengabaikan mechanical fracture yaitu fracture yang dibuat secara sengaja atau tidak selama kegiatan pengeboran atau pengukuran (Hoek, dkk. 1995). Kondisi air tanah Groundwater conditions. Table 2.2 Rock Quality Designation (RQD) (Bieniawski, 1989)
3. Jarak antar (spasi) kekar (Spacing of discontinuities) Jarak antar (spasi) kekar didefinisikan sebagai jarak tegak lurus antara dua kekar berurutan sepanjang garis pengukuran yang dibuat sembarang. Sementara Sen dan Eissa (1991) mendefinisikan spasi kekar sebagai suatu panjang utuh pada suatu selang pengamatan. Menurut ISRM, jarak antar (spasi) kekar adalah jarak tegak lurus antara bidang kekar yang berdekatan dalam satu set kekar. Pada perhitungan nilai RMR, parameter jarak antar (spasi) kekar diberi bobot berdasarkan nilai spasi kekar-nya seperti tertera pada tabel dibawah ini. Tabel 2.3 Jarak antar (spasi) kekar (Bieniawski, 1989)
4. Kondisi kekar (Condition of discontinuities) Ada lima karakteristik kekar yang masuk dalam pengertian kondisi kekar, meliputi kemenerusan (persistence), jarak antar permukaan kekar atau celah (separation/aperture), kekasaran kekar (roughness), material pengisi (infilling/gouge), dan tingkat kelapukan (weathering). karakteristik tersebut adalah sebagai berikut: a. Roughness Roughness atau kekasaran permukaan bidang diskontinu merupakan parameter yang penting untuk menentukan kondisi bidang diskontinu. Suatu permukaan yang kasar akan dapat mencegah terjadinya pergeseran antara kedua permukaan bidang diskontinu.
Table 2.4 Penggolongan dan pembobotan kekasaran menurut Bienawski (1976).
b. Separation Merupakan
jarak
antara
kedua
permukaan
bidang
diskontinu. Jarak ini biasanya diisi oleh material lainya (filling material ) atau bisa juga diisi oleh air. Makin besar jarak ini, semakin lemah bidang diskontinu tersebut. c. Continuity Continuity merupakan kemenerusan dari sebuah bidang diskontinu, atau juga merupakan panjang dari suatu bidang diskontinu. d. Weathering Weathering
menunjukkan
derajat
kelapukan
permukaan
diskontinu. Tabel 2.5 Tingkat pelapukan batuan (Bieniawski, 1976
e. Infilling (gouge) Filling atau material pengisi antara dua permukaan bidang diskontinu
mempengaruhi
stabilitas
bidang
diskontinu
dipengaruhi oleh ketebalan, konsisten atau tidaknya dan sifat material pengisi tersebut. Filling yang lebih tebal dan memiliki sifat mengembang bila terkena air dan berbutir sangat halus akan menyebabkan bidang diskontinu menjadi lemah.
Dalam perhitungan RMR, parameter-parameter diatas diberi bobot masing- masing dan kemudian dijumlahkan sebagai bobot total kondisi kekar. Pemberian bobot berdasarkan pada tabel dibawah ini. Tabel 2.6 Panduan Klasifikasi Kondisi Kekar (Bieniawski, 1989).
5. Kondisi Air Tanah Debit aliran air tanah atau tekanan air tanah akan mempengaruhi kekuatan massa batuan. Oleh sebab itu perlu diperhitungkan dalam klasifikasi massa batuan. Pengamatan terhadap kondisi air tanah ini dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu :
a. Inflow per 10 m tunnel length : menunjukkan banyak aliran air yang teramati setiap 10 m panjang terowongan. Semakin banyak aliran air mengalir maka nilai yangdihasilkan untuk RMR akan semakin kecil. b. Joint Water Pressure : semakin besar nilai tekanan air yang terjebak dalam kekar (bidang diskontinu) maka nilai yang dihasilkan untuk RMR akan semakin kecil. c. General condition : mengamati atap dan dinding terowongan secara visual, sehingga secara umum dapat dinyatakan dengan keadaaan umum dari permukaan seperti kering,lembab, menetes atau mengalir. Untuk penelitian ini, cara ketiga ini yang digunakan.
Kondisi air tanah yang ditemukan pada pengukuran kekar diidentifikasikan sebagai salah satu kondisi berikut : kering (completely dry), lembab (damp), basah (wet), terdapat tetesan air (dripping), atau terdapat aliran air (flowing). Pada perhitungan nilai RMR, parameter kondisi air tanah (groundwater conditions) diberi bobot berdasarkan tabel dibawah ini.
Tabel 2.7 Kondisi air tanah (Bieniawski, 1989).
2.2.3
Orientasi Kekar (Orientation of discontinuities) Parameter ini merupakan penambahan terhadap kelima parameter sebelumnya. Bobot yang diberikan untuk parameter ini sangat tergantung pada hubungan antara orientasi kekar-kekar yang ada dengan metode penggalian yang dilakukan. Oleh karena itu dalam perhitungan, bobot parameter ini biasanya diperlakukan terpisah dari lima parameter lainnya. Lima parameter pertama mewakili parameter dasar dari sistem klasifikasi ini. Nilai RMR yang dihitung dari lima parameter dasar tadi disebut RMR basic. Hubungan antara RMRbasic dengan RMR ditunjukkan pada persamaan dibawah ini.
RMR = RMRbasic + penyesuaian terhadap orientasi kekar dimana : RMRbasic = Σ parameter (a+b+c+d+e)
2.2.4
Penggunaan Rock Mass Rating (RMR) Setelah nilai bobot masing-masing parameter-parameter diatas diperoleh, maka jumlah keseluruhan bobot tersebut menjadi nilai total RMR. Nilai RMR ini dapat dipergunakan untuk mengetahui kelas dari massa batuan, memperkirakan kohesi dan sudut geser dalam untuk tiap kelas massa batuan seperti terlihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.8 Tabel Kelas massa batuan, kohesi dan sudut geser dalam berdasarkan nilai RMR (Bieniawski, 1989).
Kondisi massa batuan dievaluasi untuk setiap setiap bidang diskontinu yang ada (Bieniawski,1989). Dengan menjumlahkan semua rating dari lima parameter akan diperoleh nilai RMR dasar yang belum memperhitungkan orientasi bidang diskontinu. Adjusment terhadap orientasi bidang diskontinu ini dipisahkan dalam perhitungan nilai RMR karena pengaruh dari bidang diskontinu tersebut tergantung pada aplikasi engineering-nya, seperti terowongan, chamber, lereng atau fondasi (Edelbro, 2003). Arah umum dari bidang diskontinu berupa strike dan dip, akan mempengaruhi kestabilan lubang bukaan. Hal ini ditentukan oleh sumbu dari lubang bukaan tersebut, apakah tegak lurus strike atau sejajar strike, penggalian lubang bukaan tersebut, apakah searah dip atau berlawanan arah dengan dip dari bidang diskontinu. RMR dapat digunakan sebagai panduan memilih penyangga terowongan. Panduan ini tergantung pada beberapa faktor seperti kedalaman lubang bukaan dari permukaan, ukuran dan bentuk terowongan serta metode penggalian yang dipakai (Bieniawski,1989). Sedangkan untuk menentukan kestabilan lubang bukaan dapat ditentukan melalui stand-up time dari nilai RMR menggunakan grafik span terhadap stand-up time. Keakuratan dari stand-up time ini menjadi diragukan karena nilai stand-up time sangat dipengaruhi oleh metode penggalian, ketahanan terhadap pelapukan (durability), dan kondisi tegangan in situ yang merupakan parameter-parameter penting yang tidak tercakup dalam metode klasifikasi RMR. Oleh karena itu, sebaiknya grafik ini digunakan hanya untuk tujuan perbandingan semata.
2.2.5
Rock Mass Rating basic (RMRbasic) RMRbasic adalah nilai RMR dengan tidak memasukkan parameter orientasi
kekar
dalam
perhitungannya.
Untuk
keperluan
analisis
kemantapan suatu lereng, Bieniawski (1989) merekomendasikan untuk memakai sistem Slope Mass Rating (SMR) sebagai metode koreksi untuk parameter orientasi kekar.
Sedangkan RMRbasic adalah nilai RMRbasic dengan parameter kondisi air diasumsikan kering. RMRbasic bertujuan untuk melihat kondisi batuan secara alami tanpa adanya pengaruh air. Tabel 2.9 Kelebihan Dan Kelemahan Metode RMR Bieniawski (Swart, A. H., 2004).