Unit 13 Ideologi dan Terjemahan Perubahan Budaya dalam Studi Terjemahan (The Cultural Turn in Translation Studies) Pembahasan kekuatan/kekuasaan dan hubungan perdagangan di dalam dan sekitar terjemahan harafiah dikembangkan oleh André Lefevere. Lefevere bersama Susan Bassnet menerbitkan buku untuk volume Translation, History and Culture (1990), yang merupakan teks kunci karena menandai perpindahan/pengalihan pendekatan linguistic ke terjemahan, yang ditindaklanjuti dalam artikel Snell-Hornby 1990, membentuk kerangka ‘perubahan budaya’ (cultural turn) dalam studi terjemahan. Konsep Perubahan Budaya (The Cultural Turn)
Perubahan Budaya merupakan metafora yang diadopsi dari studi budaya yang berorientasi pada teori terjemahan, berhubungan dengan analisa terjemahan dalam konteks budaya, politik, dan ideologi. ‘Perubahan’ ditandai dengan pengaruh polisistem dan norma-norma terjemahan dalamEven-Zohar dan Toury (e.g. Even-Zohar 1978/2000; Toury 1980) dan dibahas dalam buku untuk volume Manipulation of Literature yang diedit oleh Theo Hermans (Hermans 1985). Sejak 1990, perubahan ini telah memperluas penggabungan keseluruhan susunan pendekatan dari studi budaya dan merupakan indikator antar cabang pengetahuan tentang kebenaran dari studi terjemahan kontemporer secara alamiah. Studi terbaru ini melampaui analisis teks dari pasangan teks sumber dan teks sasaran, meskipun ideologi masih dapat dipelajari dalam bentuk yang dikaji oleh Hatim dan Mason.
1
Konsep Ideologi (Ideology) Bagi Hatim dan Mason, ideologi mencakup ‘asumsi, keyakinan/kepercayaan, dan system nilai tersembunyi yang terbagi secara kelompok/kolektif melalui kelompok sosial’ (1997: 144). Hatim dan Mason membedakan antara ‘ideologi terjemahan’ dan terjemahan ideologi’. Sedangkan, pendahulunya menunjukkan Gender dan Terjemahan (Gender and Translation) orientasi dasar yang dipergunakan untuk aplikasi terjemahan dalam konteks social dan budaya (pilihan, sebagai contoh, pandangan Venuti tentang terjemahan dan foreignizing), terjemahan ideologi menguji tingkat mediasi LES domesticating BELLES INFIDÈLES yang disampaikan oleh penerjemah teks sensitive. ‘Mediasi’ didefinisikan sebagai ‘pencapaian penerjemah mencampuri proses pengalihan/transfer, dengan mencantumkan pengetahuan dan kepercayaan/keyakinan dalam mengolah teks. (Hatim dan Mason 1997: 147). Dalam berbagai cara, mediasi bersifat paralel bagi pemutusan terjemahan dalam teks literal yang dibahas dalam Unit 12. Mediasi memusatkan tidak hanya campur tangan penerjemah dalam proses pengalihan
tetapi
juga
dipengaruhi
oleh
penulis
teks
sumber
dalam
perumusan/penyusunan teks sumber. » Pertimbangan beberapa bentuk teks sensitive (contohnya dokumen agama, politik, atau hukum, atau dokumen yang memang ditujukan untuk membujuk atau menyakinkan). » Refleksi mediasi yang terjadi dalam teks sumber dan teks sasaran dan cara pencapaiannya. Parameter lexicogrammatical tentang pilihan leksikal, kohesi, dan transitif (seperti analisis register dalam Unit 10) digunakan oleh Hatim dan Mason (1997: 15-22) untuk menganalisa terjemahan dalam teks UNESCO Courier tentang sejarah membanggakan masyarakat Meksiko. Hatim dan Mason menunjukkan penerjemah dalam bahasa Inggris kurang menekankan pada peranan penduduk asli, sehingga para penerjemah menjadi lebih aktif dan mengadopsi pandangan negatif; sebagai contoh prolonged efforts menjadi obstinate determination, indigeneous man menjadi pre-Columbian civilization dan selukbeluk bahasa dan budaya penduduk asli diabaikan (1997: 153-9). Bassnet menyatakan bahwa “penerjemah yang menempatkan teks dan mengubah dalam budaya lain perlu mempertimbangkannya secara hati-hati implikasi ideologi dari transposisi/perubahan” (1980/1991: xv). Perubahan budaya (cultural turn) merupakan kegagalan studi terjemahan selama beberapa tahun, mungkin tak terelakan, terlihat dalam perbedaan makna sebenarnya dari ‘budaya’ dan ‘ideologi’ (lihat Fawcett 1998: 106).
2
Perubahan budaya (cultural turn) digunakan sebagai ungkapan kemungkinan bahasa (catch-all expression) bagi studi terjemahan non-linguistik, Sherry Simon menjelaskan cara budaya dan bahasa berinteraksi/dikaitkan dengan pandangan terjemahan: Penerjemah harus merumuskan keputusan secara terus-menerus makna budaya dari pengaruh bahasa, dan mengevaluasi tingkatan dua perbedaan dunia yang mendiami ‘kesamaan’ … Dalam kenyataannya, proses pengalihan makna sedikitnya harus mengatasi/menyelesaikan penemuan (finding) prasasti budaya daripada rekonstruksi (reconstruction) nilai budaya. (Simon 1996: 139, teks asli dicetak miring) Simon mengilustrasikan perbedaan budaya dengan contoh dalam ajaran agama: pada abad 16 Amerika Selatan, majalah bergambar menunjukkan Gereja Katolik menekan penduduk pribumi yang mewakili Ketuhanan Katolik dan bahasa asli untuk konsep agama. Berdasarkan analisis ini, Simon memindahkan di luar jenis pemeriksaan perbedaan sosiolinguistik yang dinyatakan oleh Nida (lihat Unit 6) untuk mencantumkan pertimbangan peranan hubungan kekuatan relatif. Perubahan dalam studi budaya meliputi banyak perluasan, berbagai displin pengetahuan dan bidang permasalahan termasuk diantaranya studi Gender, pascastrukturalis (poststructuralism), postmodern (postmodernism) dan paskakolonialisme (postcolonialism). Gender dan Terjemahan (Gender and Translation) Venuti (1992, 1995) mencela penerjemah yang tak kelihatan secara umum, dengan namanya yang dihilangkan dari halaman utama dari terjemahan dan ketakutan mengkomentari pandangan, jadi para ahli feminis dan penerjemah mencari penampakan wanita melalui pengujian hubungan antara gender dan terjemahan. Chamberlain (1988/2000) menggunakan teori feminis pada terjemahan metaphor tradisional, sebagai cara kepengarangan dan keaslian yang diekspresikan dalam kerangka maskulin dan paternalistic. Sementara itu, terjemahan bersama-sama dengan bentuk ekspresi artistic lain seperti seni pertunjukkan dipertimbangkan menjadi feminine dan teks jadian. Bentuk ini terlihat dalam metaphor ‘les belles infidèlès’ yang merupakan penciptaan pertama dalam abad ketujuh belas.
3
LESS BELLES INFIDÈLES (‘unfaithful beauties’) Metafor peradaban mengkaji terjemahan sebagai ‘belles’ (beautiful) dan ‘infidèlès (unfaithful). Kata traduction merupakan bentuk feminine dalam bahasa Perancis, tepat untuk digunakan dalam metaphor yang menekankan feminine dan ketidakpercayaan potensial terjemahan alamiah (wanita) dibandingkan dengan keaslian maskulin dan sifat yang dapat dipercaya dari teks sumber. Metafora berhubungan dengan pembahasan waktu tentang kebebasan (keindahan) atau harafiah (kesetiaan) dalam terjemahan. Chamberlain meninjau metafora sebagai ‘keindahan terjemahan’ (sexualization of translation) (1988/2000: 315) dan menghasilkan contoh selanjutnya yang menunjukkan cara feminine dalam merendahkan dan menurunkan dengan tulisan terjemahan. Chamberlain mengakhiri tulisannya dengan daftar cara para feminis dapat menantang dan menumbangkan dominasi pria dalam wacana. Salah satu contohnya yakni Suzanne Jill Levine, seorang penerjemah novel tentang pengasingan penduduk Kuba di Cabrera Infante, sebagai serangan ideologis terhadap kaum wanita. Chamberlain menunjukkan cara menggantikan penolakan komisi/tujuan
terjemahan
menumbangkan/menyesatkan
(translation teks,
untuk
commission),
Levine
memilih
memainkan/mengalihkan
‘untuk
ketidaksetiaan
melawan ketidaksetiaan, dan melaksanakannya dengan logika parodik teks sampai selesai’ (1988/2000: 326). Chamberlain melaksanakan tahapan pertama melalui pemilihan terjemahan teks dan tahapan kedua melalui keraguan/penolakan pembaca secara linguistik dengan permainan kata-kata baru, memaksa pembaca untuk mempertanyakan status keaslian teks. Levine mendeskripsikannya sebagai berikut: Terjemahan seharusnya menjadi tindakan kritis, yang menimbulkan keraguan, pengajuan pertanyaan bagi para pembaca, penempatan kembali ideology dari teks asli ke dalam konteks. Terjemahan yang baik, sesuai dengan keseluruhan retorik, ditujukan untuk memancarkan kembali pengaruh, untuk membujuk pembaca, dalam perluasan istilah, yakni pertuturan politik (political act). (Levine 1991: 3-4) Dalam Bagian A, penulis feminis memberikan reaksi terhadap pandangan berorientasi pria melalui pengarahan kebenaran dalam proses terjemahan dan melalui pengadopsian strategi terjemahan yang menghasilkan penampakan/kehadiran feminine.
4
Kebanyakan organisasi besar saat ini merupakan kesadaran akan kebutuhan untuk menghindari istilah keindahan dan penanda gender dalam padanan netral jika memungkinkan. Gender-neutral, atau ‘inklusif’ (inclusive), terjemahan disampaikan/diperluas dalam beberapa pekerjaan resmi, seperti Standarisasi versi terbaru dari Injil (1989) yang diusahakan untuk menghindari pemakaian gender maskulin, seperti dalam contoh C13.1: Example C13.1 ‘Let anyone with ears listen!’ (Matthew 11.15) instead of ‘He that hath ears to hear, let him hear!’ (King James Version) And ‘Follow me and I will make you fish for people’ (Mark 1.17) instead of ‘Follow me and I will make you become fishers of men’ (King James Version) Contoh di atas tidak terlalu mengejutkan bahwa strategi terjemahan terbukti kontroversial. Penawaran dan kutipan dalam C13.1 dan C13.2 diambil dari kritik tulisan dari terjemahan baru dan dipublikasikan dalam Jurnal di London berbasis Perkumpulan Pengarang (The Author (Spring 2002) vol. CXIII, no. 1: 38-9). Example C13.2 The English language that we know and love is being inflicted with damage to its most basic resources for the expression of general ideas about the human condition, as well as being rendered much less capable than previously of being used as a medium for close translation from ancient Greek, and equally from Hebrew … Latihan C13.4 Kutipan versi bahasa Inggris dari Universal Declaration of Human Rights disetujui oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Petunjuk politik kemanusiaan, berpendapat bahwa kebanyakan dokumen PBB diterjemahkan dalam berbagai bahasa dunia
dan
tersedia
secara
bebas
dalam
berbagai
bahasa
pada
http://www.unhcr.ch/udhr/index.htm. beberapa penanda gender dalam bahasa Inggris masih ditulis dalam bentuk maskulin, dengan merujuk pada mankind, man, dan ‘a spirit of botherhood’.
5
» Lihatlah secara teliti penanda gender dalam teks bahasa Inggris di bawah. » Bandingkan teks sumber dengan hasil terjemahan dalam bahasa lain yang diketahui. Apakah hasil terjemahan juga mengandung penanda gender secara kuat? » Seberapa penting dan/atau penerimaan dalam budaya sendiri yang anda pikir mengikuti pemutakhiran bahasa? Contoh C13.3 Universal Declaration of Human Rights For the preamble […] Whereas disregard and contempt for human rights have resulted in barbarous acts which have outraged the conscience of mankind, and the advent of a world in which human beings shall enjoy freedom of speech and belief and freedom from fear and want has been proclaimed as the highest aspiration of the common people, […] Whereas it is essential, if man is not to be compelled to have recourse, as a last resort, to rebellion against tyranny and oppression, that human rights should be protected by the rule of law, […] Article 1 All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of botherhood. Translation Project Pada tahun 1990-an, kelompok penerjemah feminis Canada Perancis, termasuk Barbara Godard, Suzanne de Lotbinière-Harwood dan Luise von Flotow, berusaha untuk menantang dominasi wacana dengan kerangka ‘translation project’. Pendekatan pada terjemahan harafiah ditandai dengan penerjemah feminis secara terbuka menganjurkan dan mengimplementasikan strategi (linguistik dan sebaliknya) untuk feminis diletakkan di bagian depan dalam teks terjemahan. Lihat Simon (1996, Bab 1) dan van Flotow (1997).
6
Strategi linguistik menggunakan penampakan wanita mencakup penggunaan permainan kata-kata dalam cara kreatif sama halnya dengan yang dilakukan Levine. Penerjemahan Barbara Godard tentang fiksi pertentangan feminis Quebec dari seorang penulis Nicole Brossard dengan menggunakan keragaman makna untuk mengalihkan keaslian subversif. Terjemahan ini mencakup percampuran bahasa Perancis dan Inggris dan mengkombinasikan dalam permainan kata-kata baru yang menyoroti wanita. Sebagai contoh, sebuah judul Amantes (wanita, berkaitan dengan lesbian, pecinta) diterjemahkan sebagai LovHers, dan L’Amer sebagai These Our Mothers. Terjemahan De LotbinièreHarwood tentang Lesbian Perancis yang ditulis oleh Michèle Causse secara tetap menggunakan cetak tebal ‘e’ dalam teks sasaran yang sedang diujicobakan untuk mengalihkan cara Causse secara sengaja menghaluskan kata-kata yang kurang sopan dalam bahasa Perancis. Jadi ‘nulle ne l’ignore’ (‘no one (femine) is unaware’) menjadi ‘no one ignores …’ Di sisi lain, auteure (pengarang wanita) diubah menjadi auther (lebih baik daripada ‘pengarang’) dan amante diterjemahkan menjadi shelove (Simon 1996: 21), memusatkan/menyoroti tentang gender feminisme dalam terjemahan bahasa Inggris. Hal yang perlu diperhatikan yakni keindahan metaphor masih berkaitan dengan ketidaksetiaan wanita/terjemahan bukan merupakan salah satu faktor yang membuktikan adanya kontroversi dalam pandangan feminis. George Steiner, dalam After Babel (1975/1998), merupakan salah satu karya utama pertama dari teori terjemahan modern, dengan menggunakan metafora berikutnya untuk mendeskripsikan empat bagian hermeneutic (interpretative) dalam proses terjemahan: 1. Inisiatif/prakarsa
kepercayaan-penerjemah
menyakini/memperkirakan
teks
sumber berdasarkan kepercayaan adanya makna dalam teks tersebut; 2.
Serangan (atau penembusan)-penerjemah mengambil alih ‘pemahaman’ teks asing.
3. Penggabungan (atau perwujudan)-teks menjadi bagian bahasa terjemahan; 4. Kompensasi/penyesuaian (atau pemulihan)-penerjemah memperbaiki sesuatu pada teks sasaran untuk mengimbangi sesuatu menjadi lebih menarik. (Steiner 1975/1998: 312-455) Chamberlain (1998/2000: 320-1) terutama sekali mengkritisi fokus pria dan jenis kelamin dalam karya Steiner, khususnya perbandingan jenis kelamin yang menyerang
7
kekerasan pria dan penetrasi/penembusan serta gambaran terjemahan sebagai jenis khusus komunikasi di dalam kesalahan dan hubungan bahasa pada setiap pandangan’ (Steiner 1975/1998: 39). Sebaliknya, pertentangan dalam karya terjemahan (translation project) terjadi ketika karya penanda gender diterjemahkan dalam berbagai cara dengan karakteristik pembeda/penjelas yang dihapuskan. Pertentangan ini terkadanga berlangsung dalam terjemahan ‘perkumpulan diskusi/perbincangan’ (camp) kaum gay, ditunjukkan oleh Harvey (1998/2000). Salah satu contohnya ialah terjemahan bahasa Perancis oleh Gore Vidal dalam The City and The Pillars. Leksis gay diterjemahkan secara tetap dengan beberapa cara mengenai pengurangan pandangan kaum gay dan penambahan intonasi peyoratif. Jadi, pansies (negative) dan queen (lebih positif, meskipun ironis) keduanya diterjemahkan sebagai tante (secara harafiah, ‘aunt’); kolokasi penanda gay pada screaming pansies mempengaruhi ces tantes si voyantes (pandangan berlebihan tentang seorang wanita) dan kata gay dalam butch diterjemahkan secara sederhana sebagai keseharian
costoud
(kekuatan/kekasaran)
(Harvey
1998/2000:
458-9).
Harvey
menyarankan pengalihan teks secara ideologis didasarkan: “keinginan Harvey yang menyarankan penerjemah untuk menghasilkan/menciptakan (sebagai salah satu pernyataan
yang
tidak
dapat
dielakkan/dihindari)
teks
yang
diharmonisasikan/diselaraskan dengan pandangan umum dari subjektivitas manusia yang diberlakukan dalam budaya sasaran (1988/2000: 460). Pascakolonialisme dan Studi Terjemahan (Postcolonialism and Translation Studies) Hubungan antara studi kebudayaan dan studi terjemahan terbesar berkembang pada masa paskakolonialisme. Konsep Paskakolonialisme (Postcolonialism) Pendekatan umum budaya dalam studi hubungan kekuatan antara perbedaan kelompok, budaya atau masyarakat, dalam bahasa, kesusasteraan dan terjemahan memainkan peranan penting.
8
Ketepatan
parameter
postcolonialism
dikenal
sebagai
‘studi
penghubung/subalternatif’ merupakan sesuatu yang sulit dipaksa untuk disetujui dan persyaratannya mempunyai kewajiban pada studi tentang daerah yang pertama kali dikuasai Eropa setelah kemerdekaan. Parameter ini sering digunakan dalam studi terjemahan yang merujuk pada hubungan kekuatan diantara perbedaan kelompok dan budaya yang mencakup studi bahasa, kesusasteraan dan terjemahan. Parameter ini tidak selalu melibatkan pemikiran tradisional dari pemikir pendahulunya. Penegasan
atau
pengikisan
identitas
gender,
dengan
paskakolonialisme
menjelaskan identitas nasional atau etnik sedang dalam keadaan berbahaya. Identitas gender dan paskakolonial tidak perlu dipisahkan satu sama lain seperti ditunjukkan oleh Gayatri Spivak dalam ‘The Politics of Translation’ (Spivak 1993/2000). Spivak mengkritik keredupan ‘translatese’ yang berasal dari penerjemah teks feminisi di dunia ketiga
(third-world/Negara
sedang
berkembang)
yang
menyetujui
sepenuhnya
‘rhetoricity’ dari permasalahan bahasa. Pilihan ketentuan untuk jangkauan atau standarisasi translationese dibahas dalam Unit 2, translatese dipandang oleh Spivak sebagai ‘jenis konstruksi neo-kolonialis dalam kancah/pandangan non-barat.’ Ketentuan ini dikarenakan kelemahan sifat/ciri bahasa Inggris yang hasilnya (bahasa Inggris mendominasi bahasa sasaran) mengikiskan susunan ujaran dan perbedaan jangkauan yang luas dari ‘dunia ketiga’ (third-world) dari pendapat kaum feminis sebagai berikut: ‘kesiapan dalam penerjemahan besar-besaran dalam bahasa Inggris kemungkinan terdapat pengkhianatan terhadap demokrasi yang ideal di dalam hukum tertinggi/terkuat’ (1993/2000: 399-400). Pendapat ini memunculkan kritikan dari Venuti, seorang Anglo Amerika, yang menerbitkan buku pelatihan yang menghasilkan domesticating translation. (Venuti 1995) Bertitik tolak dari pandangan penerjemah (dari Derrida) dan bilingual (bahasa Bengali dan Inggris), karya Spivak sangat meragukan nilai terjemahan antarbahasa dalam perbedaan kedudukan dunia dan asumsi menyenangkan yang mendasari feminis barat (atau beberapa ideology lain) yang menggambarkan ‘dunia ketiga’ (third world). Pilihan post-structuralist dari Spivak ditujukan untuk terjemahan harafiah didukung dengan kekuatan pemahaman tentang ‘kekuatan wilayah’ (tough terrain) yang mendasar dan kesadaran terhadap perbedaan konteks budaya: seorang penerjemah seharusnya mampu
9
menempatkan gagasan/pemikiran yang tampak berlawanan dengan ketentuan (space) bahasa Inggris sebagai reaksi/tanggapan dalam kerangka bahasa asli’ (Spivak 1993/2000: 404). Studi hubungan kekuatan diantara orang-orang yang berbeda merupakan focus utama paskakolonialisme (postcolonialism). Edward Said dalam Orientalism: Western conception of the Orient (1978/1995) merupakan contoh umum dan perintis yang menjelaskan cara pandang dunia barat dan timur sebagai gangguan, kerusakan, kekanakkanakan, perbedaan’ (berlawanan dengan cara pandang orang Eropa yang rasional, berbudi luhur, kedewasaan, dan normal/wajar)’ (p. 40). Pandangan tersebut menyerap/mempengaruhi
pemikiran
barat
sejak
tahun
1800-an,
berasal
dari
kekuatan/kekuasaan politik, membantu untuk menumbuhkan pola pikir imperialis, rasis, dan etnosentris yang berkaitan dengan budaya lain (p. 204). Bagi Said dan para ahli lain, Orientalisme
(orientalism)
merupakan
sejenis
pemikiran
tertinggi
barat
dan
menguasai/mempengaruhi Asia Timur (Orient)’ (p. 95). Orientalisme, dalam beberapa kebijakan mengajarkan pokok perorangan melalui bahasa ibu, dan Anglikan (Anglicism) (kebijakan yang membantu pemelajaran bahasa Inggris). Orientalisme dipertimbangkan oleh Pennycook (1994: 74-80) yang bersatu dengan colonial India, dengan kelompok terdidik minoritas dan diperkirakan menjadi penduduk yang terjajah. Terjemahan, digambarkan oleh Tejaswini Niranjana dalam tulisannya Sitting Translation (1992), menghasilkan dan menguatkan pandangan ketimuran lain (Other) melalui pemutarbalikan dan dinyatakan sebagai pendukung utama dari kekuasaan colonial. Salah satu bagian
analisisnya,
Niranjana
mencantumkan/meminjam
istilah
‘interpelasi’
(interpellation) dari kritik Marxisme, tepatnya Louis Althusser. Tejaswini Niranjana (1992) Sitting Translation: History, post-Structuralism and the colonial context, Los Angeles and Oxford: University of California Press, pp. 1-3 and 8-11 (abridged). Introduction: History in Translation The passion for English knowledge has penetrated the most obscure, and extended to the most remote parts of India. The stem boats, passing up and down the Ganges, are broaded by native boys, begging, not for money, but for books […] Some gentlemen 10
coming to Calcutta were astonished at the eagerness with which they were pressed for books by a troop of boys, who boarded the steamer from an obscure place, called Comercolly. A Plato was lying on the table, and one of the party asked a boy whether that would serve his purpose. ‘Oh yes,’ he exclaimed, ‘give me any book; all I want is a book.’ The gentleman at last hit upon the expedient of cutting up an old Quaterly Review, and disturbing the articles among them. (Charles Trevelyan, On the Education of the People of India) Konsep Interpelasi (Interpellation) Istilah yang dikemukakan Althusser digunakan untuk menjelaskan cara ideologi dalam institusi dan hukum, susunan serta stereotype masyarakat sebagai subjek social yang tertekan. Interpelasi saat ini focus utama yang digunakan untuk mendeskripsikan reformulasi salah satu perspektif atau wacana melalui cara lain (cf. Fairclough 1992). Dalam terjemahan, istilah ini mengacu pada subjektif dari pemberian perorangan melalui wacana kolonialisme yang merumuskan stereotype seseorang sebagai inferior. Terjemahan merupakan alat, terkadang merupakan the tool, dalam proses ini
Salah satu contoh Niranjana dalam karya Sir William Jones, seorang polyglot yang tergabung dalam profesi hukum (Dia merupakan anggota Mahkamah Agung di Calcuta dari tahun 1783 sampai akhir hidupnya tahun 1794) yang menerjemahkan kesusasteraan dalam bahasa Arab, Persia, dan Sansekerta serta hukum purbakala Sansekerta. Motivasi yang melandasi karya Jones dan penerjemah lain adalah adanya keterlibatan bangsa Inggris untuk menerjemahkan hukum India dan kurang mempercayai kecenderungan interpretasi dari penulis lokal. Penerjemah-penjajahan harus berperan sebagai pembawa ‘kebenaran’ (true) makna dari terjemahan hukum, dengan menempatkan asumsi posisi tertinggi. Niranjana didasarkan perspektif Marxis dan paskastrukturalis (post-structuralist), yang meruntuhkan perspektif liberal-humanis dari retorik-kolonialisme melalui beberapa asumsi dasar yang tidak mempermasalahkan teori dan pelatihan terjemahan sebelumnya. Perspektif ini memandang bahwa makna asli dapat dipadukan dan diterjemahkan. Karya terpenting Niranjana adalah menghimbau strategi perlawanan terhadap kekuatan/daya penjajahan bahasa. Pada bab terakhir (1992: 173-86) Niranjana membahas terjemahan bahasa Inggris dari sari terpendek a vacuna, puisi keagamaan abad kedua belas dari India Selatan, ditulis di Kanada. Niranjana mengkritik penerjemah awal, termasuk teoritis
11
terjemahan terkenal A.K. Ramanujan yang dipengaruhi oleh pemikiran Barat dan penyederhanaan teks ‘terhadap tradisi Inggris dan Judeo-Kristen’ dan untuk melukiskan kembali puisi dalam batasan bahasa Protestan Pilgrim’s Progress (1992: 180). Ramanujan, misalnya, digambarkan sebagai post-Romanticist dengan karyanya berupa bacaan yang kompleks dan puisi ‘kegoyahan/ketidakstabilan’ yang tergantung pada kejelasan pengulangan metaphor yang menyarankan transparansi khayalan dalam teks sumber
(1992:
184).
Niranjana
merumuskan
terjemahan
puisi
berdasarkan
pemahamannya. Berdasarkan pandangan paskastrukturalis (poststructuralist) dan meminjam istilah Walter Benjamin (1923/1969) konsep terjemahan harafiah mengikuti batasan terjemahan teks asli. Parameter Niranjana diterjemahkan lebih harafiah dan terkadang menggunakan kata dalam bahasa Inggris. Parameter ini mencakup istilah filosofis linga (dicetak miring oleh Niranjana, diterjemahkan sebagai light oleh Ramanujan), mengacu pada bentuk yang tersusun teratur god Śiva, dan Guhēśvara, sebagai pujian terhadap Tuhan (Ramanujan menyebutnya sebagai Lord of the Caves). Pelatihan terjemahan, atau terjemahan kembali (re-translation) yang dijelaskan oleh Niranjana sebagai ‘spekulatif, sementara, dan penghalang’ (p. 173). Contoh C 13.4 Apart from demonstrating that Ramanujan actually used a slightly different ST to the one analysed by Niranjana, Dharwadker sheds important light on the way Ramanujan viewed his two languages, quaoting the translator himself: English and my disciplines (linguistics, anthropology) give me my ‘outer’ forms – linguistic, metrical, logical and other such ways of shaping experience; and my first thirty years in India, my frequent visits and fieldtrips, my personal and professional preoccupation with Kannada, Tamil, the classics and folklore gave me my substance, my ‘inner’ forms, images and symbols. They are continous with each other, and I no longer can tell what comes from where. (quated in Dharwadker 1999: 118) Konsep Perlawanan terhadap Terjemahan Kembali (Resistance through Retranslation) Pelatihan terjemahankembali kembali postcolonialism ditujukan untuk Tujuan strategi terjemahan adalah menyoroti perbedaan budaya, merumuskan mengacaukan/mengganggu pertahanan pandangan ortodoks dan untuk menumbangkan mitos dan kesatuan yang dibuat pada masa kolonialisme melalui wacana terjemahan Barat 12
Penampakan dasar dengan menggunakan bahasa penjajah sendiri dan untuk menumbangkan struktur kekuatan linguistik dan politik. Ahli teoritis postcolonial yang terkenal, Homi Bhabha, menjauhi dan memandang budaya sebagai seuatu yang tidak dapat diterjemahkan dalam makna konvensional. Sebagai kumpulan pengetahuan, budaya ditampilkan atau diucapkan (enunciated) sedangkan terjemahan merupakan aspek kreatif utama dalam proses tersebut. Kepentingan utama Bhabha terletak pada ‘turunan’ (hibridity) dan dunia ketiga (Third Space) dari ketidakharmonisan lintas budaya dan selalu memicu/menimbulkan migrant yang berada ‘diantara’ (in-between) bahasa dan manusia dan selalu berbeda/terasing dalam beberapa cara, selalu lain (Other). Kerangka ‘perantara’ (in-between) ruang, dari pengoperasian terjemahan, diartikan sebagai ‘pengaruh pokok makna budaya’ (Bhabha 1994: 38). Konsep ‘Perantaraan’ (In-betweenness) (atau turunan/hibridity, Dunia Ketiga/the Third Space) Konsep ini menjelaskan geografis, keagamaan, etnis, budaya dan lingkungan linguistik secara dinamis dari migran/pendatang atau komunitas perbatasan, mencakup interaksi dan sorotoan terhadap perbedaan budaya dan identitas penanya yang saling melengkapi. Konsep ini selanjutnya menumbangkan pertimbangan hubungan dan makna yang bersifat tetap, mencakup konsep tradisional tentang penjajah konvensional dari konsep persepsi (orang Eropa).
Tinjauan Pascakolonialisme (Postcolonialism Reviewed) Konsep pascakolonial meninjau pandangan terjemahan sebagai instrumen yang membahayakan bagi penjajah yang menentukan bahasa masa tersebut dan penggunaan terjemahan untuk merumuskan/menyusun penyimpangan pandangan dari penduduk yang merasa tertekan yang dipergunakan untuk memperkuat tingkatan struktur koloni. Kritik teori terjemahan paskakolonialis (postcolonialist), Robinson (1997: 105) menghasilkan pandangan terpenting bahwa pandangan terjemahan semata-mata merupakan ‘pelengkap (alat kerajaan) yang bersifat membahayakan dan merusak’ sehingga menjadi tidak akurat. Sebagai
contoh,
Vicente
Rafael
(1993)
menuliskan
tentang
mencengangkan antara penjajah Spanyol dan Tagalog di Filipina.
serangan
yang
Vicente juga
13
menjelaskan keikutsertaan Tagalog kompleks dalam proses dan usaha untuk ‘menerjemahkan kembali’ dengan menempatkan lapisan pandangan Tagalog dalam terminologi Katolik Spanyol. Kebanyakan karya/tulisan paskakolonialisme dalam unit ini telah dituliskan oleh bangsa Asia, khususnya, dalam perspektif bangsa India. Karya tersebut memiliki kebenaran/keabsahan yang sama dengan pandangan bangsa Eropa. Michael Cronin dalam Translating Ireland (1996), salah satunya menjelaskan tentang penindasan bahasa Irlandia oleh penjajah Inggris dan seiringan dengan perpindahan penduduk pedalaman bangsa Irlandia. Masalah tingkat persamaan dikembangkan dengan hubungan penegasan identitas melalui bahasa Spanyol post-franco, melalui Basque, Catalan dan Galician yang memiliki kedudukan resmi bersama-sama dengan keanekaragaman yang dominan, Castilian Spanyol. Pencampuran kemiripan linguistik banyak terdapat pada negaranegara Eropa Timur dan Eropa Tengah, dan Rusia sebelumnya menguasai/mendominasi penduduk Uni Soviet sebelum masa kejatuhan Tembok Berlin. Pada akhirnya, perpindahan penduduk secara besar-besaran dari wilayah pedalaman ke perkotaan pada negara-negara sedang berkembang, dan perpindahan penduduk dari benua termiskin (Afrika) ke Eropa dan AS, telah menambah ‘perantaraan’ (in-betweenness) yang digambarkan oleh Bhabha. Perpindahan dari kawasan selatan menyebabkan jumlah pengujar berbahasa Spanyol yang tinggal di AS sekarang diperkirakan mencapai 50 juta penduduk, yang membentuk kelompok minoritas terbesar, dalam negara yang memiliki kekuasaan terbesar,terjadi karena kolonialisasi dan perpindahan. Di Eropa, imigrasi saat ini merupakan topic politik terpenting dan menghasilkan budaya turunan yang lebih banyak dari sebelumnya. Konteks Terjemahan (Situating Translation) Pada konteks paskakolonial, masalah terjemahan menjadi tempat yang signifikan untuk membahas tentang gambaran, kekuasaan, dan sejarah. Konteks ini merupakan salah satu pertandingan, cerita perjuangan yang mencoba untuk menerangkan, menceritakan, asimetri dan perbedaan hubungan antarmanusia, ras, bahasa. Pokok persoalan/subjektifikasi termasuk dalam upaya colonial tidak hanya dalam mesin penekan dari kejayaan sebuah negara tetapi juga melalui wacana filsafat, sejarah,
14
antropologi, filologi, linguistik dan interpretasi kesusasteraan tentang ‘ketundukan’ terhadap penjajahan – disusun melalui teknologi atau latihan kekuasaaan/pengetahuan – yang disatukan dalam berbagai wacana dan bentuk. Salah satu bentuknya ialah terjemahan. Terjemahan sebagai bentuk latihan, dan ditempatkan dalam hubungan kekuasaan secara asimetris yang berlangsung pada masa penjajahan. Faktor yang membahayakan ialah gambaran penjajahan terwujud dalam bentuk kelakuan/tata karma untuk membenarkan adanya dominasi penjajah, dan dicantumkan dalam buku berbahasa Inggris. Dalam konteks penjajahan, konseptual ekonomi khusus dibuat melalui seperangkat keterkaitan masalah yang menjadi pokok terjemahan. Terjemahan biasanya bergantung pada pemikiran filsafat Barat tentang realitas, gambaran/perwakilan, dan pengetahuan. Realitas dipandang sebagai sesuatu yang tidak mempermasalahkan ‘di luar kerangka’; pengetahuan mencakup gambaran realitas; gambaran langsung; bukan akses penengah dalam realitas yang transparan. Refleksi Bagian 1 Niranjana memandang terjemahan sebagai bagian ‘penguasaan kolonial’ dari subjektifikasi penduduk asli. Hubungan antarkekuasaan digambarkan dan dibahas sebagai pelaku kekuatan (agent of power) dalam Bagian B, Unit 12. Konsep barat tentang realitas dan gambaran diselidiki sampai ke asal karya/tulisan Yunani dan Romawi (lihat Kelly 1979 dan Robinson 1997). Kegagalan terjemahan yang tidak dikomunikasikan dan bersifat transparan dibahas dalam Bagian A dari Unit ini.
Wacana filsafat klasik, tidak menimbulkan/menyebabkan hasil terjemahan secara sederhana ditujukan untuk dominasi penjajahan/colonial: hal ini bertentangan bahwa terjemahan dalam konteks colonial menghasilkan dan mendukung konseptual ekonomi yang dicantumkan dalam wacana filsafat Barat yang berfungsi sebagai philosopheme (unit dasar dari konseptualisasi filsafat). Jacques Derrida menyatakan konsep metafisik tidak terbatas atau semata-mata hanya menghasilkan ‘bidang’ filsafat. Para ahli filsafat mengeluarkan atau mensirkulasikan melalui berbagai wacana dalam beberapa register, berdasarkan ‘susunan konseptual dalam filsafat itself yang telah dibahas sebelumnya’. Pembentukan subjek khusus, keseluruhan versi penjajahan dalam terjemahan terwujud
15
konsep tertinggi realitas dan penggambaran. Konsep ini mengasumsikan kekejaman yang menyertai tingkatan pendudukan penjajah/kolonial. Terjemahan menghasilkan strategi penahanan. Penggunaan model khusus dari penggambaran lain – terwujud/memunculkan – terjemahan diperkuat dengan versi penjajahan hegemoni, dan membantu untuk memperoleh kedudukan perwakilan seperti yang telah disebutkan oleh Edward Said, atau bukan ditujukan untuk sejarah. Fakta mendesak/menggunakan kekuatan sejarah dalam sebuah koloni:
kesaksian Thomas
Babington Macaulay tahun 1835 tentang pembelajaran pembebasan penduduk pribumi Indian yang sudah kadaluarsa dan tidak relevan, yang dipakai sebagai cara memperkenalkan pendidikan Inggris. Teks yang koheren dan transparan beserta permasalahannya, mendorong terjemahan – dalam tingkatan wacana – pada perpaduan budaya penjajahan, menjadi tampak statis dan tak berubah-ubah dibandingkan dengan susunan historis. Fungsi terjemahan dianggap sebagai penyajian sesuatu yang telah ada secara transparan, meskipun ‘keaslian’ (original) diwujudkan dalam terjemahan. Terjemahan juga tersimpan dalam ‘sejarah’ penjajahan.Gmbaran sejarah Hegelian menyatakan bahwa terjemahan muncul dalam pengesahan ajaran teologi, model hirarki peradaban berdasarkan ‘kesadaran akhir’ dari ‘semangat’; yang mewakili peristiwa budaya non-Barat yang dianggap tidak bersesuaian dan tidak terencana. Terjemahan menyebarkan perbedaan jenis wacana – filsafat, penulisan sejarah (historygraphy), pendidikan, karya perutusan (missionary writings), cerita perjalanan – memperbaharui dan mengabadikan dominasi colonial. Refleksi Bagian 2 Karya Jacquest Derrida merupakan pusat teori terjemahan yang berasal dari sudut paskastrukturalis (post-structuralist). Derrida menerapkan konsep dekonstruksi (concept of deconstruction) (pertanyaan dan penghapusan perkembangan gagasan bahasa dan penggambarannya) terjemahan dalam beberapa artikel, sebagai contoh ‘Des Tours de Babel’ (1985). Pembahasan selanjutnya yakni kebijakan Inggris berkaitan dengan bahasa dalam kolonial India, dan Malaysia, terlihat dalam Pennycook (1994, Bab 3). Niranjana menyebutkan beberapa perbedaan tipe penulisan yang disesuaikan dengan terjemahan. Studi menarik tentang pandangan penjajahan digambarkan […]melalui cerita perjalanan (tidak semua bagian diterjemahkan), dapat ditemukan dalam Pratt (1992). 16
Paskakolonial/postcolonial (subjek, gagasan, konteks) masih dibuat dalam kolonialisme yang tidak pernah ada. Dalam bidang ekonomi dan politik, bekas koloni/penjajahan berlanjut menjadi bergantung pada diluar batas wilayahnya atau pada ‘Barat’ (west). Bidang budaya (penggunaan budaya tidak hanya mencakup seni dan kesusasteraan tetapi juga penerapan subjektifikasi), namun menekankan retorika nasionalis, dekolonialisasi dalam menanamkan pengaruh yang kuat. Daya/kekuatan pertahanan dari wacana penjajahan/colonial harus dipahami dengan lebih baik sehingga tidak tumbang/runtuh sebagai pertimbangan dalam terjemahan. Penggunaan kata dalam terjemahan tidak hanya mengidentifikasikan proses interlingual tetapi juga memahami segala permasalahannya. Seperangkat masalah tersebut menjadi ‘bidang; mencakup keseluruhan kerangka yang digunakan, termasuk dalam wacana terjemahan tradisional, untuk menjelaskan permasalahan, dan memaknai terjemahan.
Translatio
(bahasa
Latin)
dan
metapherein
(bahasa
Yunani)
menyarankan/menjelaskan tentang perpindahan, gangguan, penggantian. Penjelasan ini juga terdapat pada Übersetzung (bahasa Jerman). Bahasa Perancis traducteur membagi antara interprète dan truchement, yakni sebuah indikasi dari karya translative yang dipengaruhi oleh interpretasi/pandangan dan bacaan, menghadirkan kekuatan yang mengacaukan secara berlebihan kedua indikasi tersebut. Tujuan penggantian terlihat dalam kerangka bahasa Latin lain seperti transponere, transferre, reddere, vertere. Dalam pandangan Derrida, terjemahan (translation) mengacu pada (a) masalah terjemahan yang mengesahkan dan disahkan berdasarkan pendapat klasik khusus dari gambaran dan realitas: dan (b) masalah terjemahan diungkap/dirintis pertama kali oleh kritikan paskastrukturalis/poststructuralist, sehingga membuat terjemahan menjadi tampak ‘berlebihan’ (more); atau berupa tambahan (supplement). Kegandaan makna dari tambahan (supplement) – menjelaskan kedua masalah dari sesuatu yang dikatakan ‘berlebihan’ (extra) – yang dikomentari/diterjemahkan Derrida sebagai berikut: The overabundance dari tanda dengan karakter tambahan (supplementary character) sebagai hasil finitude (the result of a finitude), yang dikatakan sebagai kekosongan hasil yang harus ditambahkan/disuplementasikan. Dalam hal ini, pendekatan khusus memanfaatkan terjemahan.
17
Refleksi Bagian 3
Gangguan dan pergantian dipakai dalam terjemahan sebagai pandangan khusus bagi Niranjana. Masalah tersebut menjelaskan cara ‘perantaraan’ (inbetweenness) dalam kajian budaya yang dibahas oleh para teoritis seperti Bhabha (Bagian A, Unit 13). Terjemahan merupakan pelekatan elemen geografis, budaya, dan tingkatan budaya yang sebenarnya. Gagasan ini menyokong penambahan (supplement) yang dihubungkan dan dijelaskan oleh Walter Benjamin dalam karyanya yang terkenal ‘The Task of the Translator’ (Benjamin 1923/1969). Terjemahan dinyatakan memiliki kekuatan yang memberikan perubahan baru (revitalisasi). Berdasarkan pandangan Benjamin, penambahan/suplemen dapat disempurnakan dengan lebih baik melalui terjemahan diantara baris-baris (interlinear translation), setengah caranya berlangsung diantara teks sumber dan teks sasaran, dengan mengikuti bahasa asli untuk ‘menimbulkan kesan/perhatian’ (shine through) daripada menghapus bekas/kesan dari bahasa sumber dan memasukkan/menambahkan unsur budaya dalam bahasa sasaran. Dalam penjelasan selanjutnya, focus Niranjana berkaitan dengan perbedaan diantara dua budaya. Pada pembahasan terakhir, menggunakan bentuk terjemahan yang menyerupai pandangan Benjamin, yakni menggunakan terjemahan pinjaman dari leksis teks sumber dan memungkinkan elemen budaya sumber dimasukkan dalam bahasa sasaran. Proses ini yang disebut dengan foreignization. (Venuti 1995, 1998)
Studi terjemahan tidak dapat menyelesaikan dilemma/masalah yang dialami penerjemah. Studi ini tidak mengusulkan/mengajukan cara lain untuk merumuskan terjemahan dengan ‘metode’ yang sangat mudah dari ‘kedekatan perbedaan’ antarbudaya. Studi ini lebih menekankan perbedaan untuk membahas/menggali ‘peranan gangguan’ (the positioning of the obsessions) dan ‘tujuan terjemahan’ (desires of translation), serta untuk menggambarkan ekonomi dalam penanda/petunjuk terjemahan yang disirkulsikan. Pusat perhatian studi ini adalah membuktikan ketiadaan (absence), kekosongan (lack), atau tekanan terhadap kesadaran asimetris dan histories dalam berbagai jenis terjemahan tertulis. […] Ketidakpercayaan paskakolonial/postcolonial terhadap perkembangan retorika liberal-humanis dan induk cerita yang mendunia/umum, mengandung persamaan dengan paskastrukturalisme (poststructuralism) yang jelas. Kritik Derrida digambarkan dengan
18
mempertanyakan gagasan tentang representasi dan oleh karenanya dasar atau keaslian gagasan tersebut perlu direpresentasikan. Derrida menyetujui bahwa ‘keaslian’ (origin) pandangan
tersebut
menjadi
kabur
dan
‘identitas’
menjadi
meragukan.
Representasi/perwakilan ini tidak menunjukkan ‘keaslian’ tetapi lebih mengambarkan sesuatu yang terepresentasi. Gagasan ini dapat ditelaah
dengan melepaskan
hegemoni/kejayaan dari ‘perwakilan’ (representation) ‘Hindus’, seperti dikemukan oleh W.F. Hegel dan James Mill. […] Pusat perhatian W. F. Hegel dan James Mill tidak menyatakan kesalahan pemahaman tentang ‘Hindus’. Pandangan mereka mencoba untuk membahas penghentian tindakan balasan (the withholding of reciprocity) dan memanfaatkan ‘perbedaan’ (Johannes Fabian menyebutnya sebagai penyangkalan sejaman/denial coevalness) yang memperkenalkan susunan stereotipikal (stereotypical). Bhabha menyatakan: stereotype bukan merupakan penyederhanaan dikarenakan kegagalan penggambaran realitas yang sudah ada. Pandangan ini merupakan penyederhanaan karena tertahan, berkenaan dengan bentuk penggambaran, yang mengabaikan permainan perbedaan (dinegasikan dalam bentuk lain). Pandangan ini mengangkat masalah penggambaran subjek dalam signifikasi fisik dan hubungan sosial. ‘Kebebasan penerimaan / dukungan’ (free acceptance) secara subjektif dipastikan menjadi bagian dari hasil teks hegemoni tentang peradaban penjajahan yang ditulis oleh seorang filusuf seperti Hegel, atau ahli sejarah seperti Mill, pengikut Orientalist seperti Sir Willian Jones. Wacana ilmiah dari terjemahan harafiah dilambangkan secara konseptual, membantu untuk mempertahankan dominasi ketentuan penjajahan/colonial yang ditetapkan melalui interpelasi ‘subjek’. Subjek penjajahan/colonial dirumuskan melalui proses ‘lain’ (othering) yang mencakup gagasan sejarah teologi. Subjek ini memandang pengetahuan dan pola hidup sebagai bentuk penyimpangan dan belum matang yang dapat ditemukan secara ‘normal’ dalam masyarakat Barat. Pengetahuan dari orientalis Barat yang menyediakan ‘kekuatan untuk merepresentasikan Oriental, untuk menerjemahkan dan menjelaskan pemikiran dan perbuatan tidak hanya berlaku bagi masyarakat di Eropa dan Amerika tetapi juga pengikut Oriental.
19
Terjemahan dan Perantara Budaya (Translation and Cultural In-Betweenness) Pandangan terjemahan dan budaya dirancang oleh para teoritis budaya yang didasarkan pandangan ideologis, seperti feminis, gay, marxis, paskastrukturalis, anti colonial, paskakolonial atau pandangan lainnya. Pernyataan Spivak tentang feminis Barat menyebutkan bahwa ‘jika kaum feminis Barat tertarik pada bidang lain, dan mengklaim/mengakui bidang lain, maka kaum feminis Barat perlu mempelajari bahasa lain’ (Spivak 1993/2000: 190). Pandangan ini dapat dipahami dari perspektif Spivak tetapi berpotensi menghasut jika diterapkan dalam perbatasan budaya, dengan bahasa minoritas yang memperjuangkan identitas dan pendapatnya yang digunakan sebagai terjemahan larangan atau penggunaan bahasa minoritas, seperti terdapat pada perundangundangan dalam bahasa Inggris yang diberlakukan dalam dua puluh Negara bagian di Amerika Serikat. Kesimpulan Unit ini membahas beberapa konsep terjemahan yang berkaitan dengan studi budaya. Tantangan terberat berasal dari terjemahan ortodoks. Segi studi Gender, mencakup tantangan tentang penilaian subjektif wanita atau gay yang terjadi dalam terjemahan metafora, serta strategi terjemahan dikaitkan dengan identitas khusus karakteristik linguistik yang menjadi tidak jelas. Masa paskakolonialisme/postcolonialism dicapai peranan terjemahan yang berupaya membuka penilaian penduduk terjajah,dan tantangan proses ini memakai strategi terjemahan kembali, merumuskan bentuk asli, serta melalui perayaan budaya turunan. Unit ini juga menekankan perubahan budaya (cultural turn) dalam studi.kajian terjemahan dengan menguji seperangkat pendekatan dikaitkan dengan theme hubungan kekuasaan/kekuatan antarbahasa dan antarbudaya yang ditampilkan dalam terjemahan. Perubahan tersebut mendorong diskusi tentang konteks terjemahan di luar kerangka linguistik atau konteks teks, sehingga memunculkan perkembangan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan studi budaya.
20