Jurnal Hortikultura, Tahun 1997, Volume 7, Nomor (2): 710-721
IDENTIFIKASI KELEMBAGAAN WILAYAH PENGEMBANGAN USAHATANI TANAMAN HIAS Witono Adiyoga, Oemi Koesmawardhani, Rachman Suherman, Thomas Agoes S. Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung 40391
ABSTRAK. Adiyoga, W.; Koesmawardhani, O.; Suherman, R. dan Soetiarso, T. A. 1995. Identifikasi Kelembagaan Wilayah Pengembangan Usahatani Tanaman Hias. Penelitian ini diarahkan untuk mengkaji aspek kelembagaan dalam kaitannya dengan program pengembangan tanaman hias. Metode pengkajian pedesaan secara cepat digunakan untuk menghimpun data dari sentra-sentra produksi tanaman hias yang tersebar di enam propinsi (DKI Jaya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan). Berbagai jenis kelembagaan yang diamati adalah kelembagaan penguasaan lahan, sistim produksi, tenaga kerja, pasar sarana produksi, pasar hasil produksi, permodalan, ketatalaksanaan, penelitian dan penyuluhan, serta kelompok tani dan koperasi. Tingkat perkembangan kelembagaan, ditinjau dari peran dan fungsinya, sangat dipengaruhi oleh status usahatani tanaman hias sebagai cabang usaha yang dapat diandalkan di masing-masing sentra propinsi. Tampaknya terdapat hubungan yang erat antara tingkat teknologi usahatani tanaman hias dengan perkembangan tatanan kelembagaan yang ada. Walaupun tetap masih memerlukan perbaikan dan pembinaan, beberapa indikator menunjukkan bahwa kelembagaan di sentra produksi tanaman hias di Jawa menjanjikan respon dukungan yang lebih baik terhadap program pengembangan, dibandingkan dengan di luar Jawa. Kata kunci:
Kelembagaan, Wilayah pengembangan, Usahatani tanaman hias, Teknologi budidaya, Penguasaan sumberdaya.
ABSTRACT. Adiyoga, W.; Koesmawardhani, O.; Suherman, R. dan Soetiarso, T. A. 1995. Identification of institutions supporting ornamental farming regional development. This study was aimed to examine the roles of institutions and their functions, in relation to ornamental crops development program. Rapid rural appraisal method was used for collecting data from some ornamental production centers scattered over six provinces (DKI Jaya, West Java, Central Java, East Java, North Sumatera, and South Sulawesi). Several types of institutions that had been observed were: land tenure, production system, labor, factor markets, product markets, credit, governing and/or planning, research and extension, and group farming and cooperatives. The results indicate that, the development of institutions, in terms of their roles and functions, is most likely influenced by the extent to which ornamental farming has been practiced as a dependable income-generating source for farmers. There is a close relationship between the existing ornamental farming technology and the demand for institutional development. Even though, they still need improvements, some indicators suggest that supporting institutions in Java seem more reasonably established than those in outer Java in accelerating ornamental crops development program. Key words: Institution, Regional development, Ornamental farming, Cultural practices, Resource endowment.
Tinjauan peranan kelembagaan dalam menunjang keberhasilan perbaikan teknologi usahatani tanaman hias masih belum banyak mendapat perhatian. Sementara itu, kelembagaan atau institusiinstitusi yang ada, sebenarnya tidak hanya berperan dalam menentukan keberadaan sumberdaya, tetapi juga memiliki kapasitas dalam menentukan batas-batas pengunaan sumber daya tersebut (Barkley, 1988). Dengan demikian, setiap perubahan yang terjadi dalam kelembagaan akan berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan perbaikan teknologi. Berdasarkan fungsinya, kelembagaan dapat dikategorikan ke dalam: (1) institusi penguasaan tanah, (2) institusi pasar input, (3) institusi pasar produk, (4) institusi kredit, (5) institusi penyuluhan, (6) institusi penelitian, (7) institusi perencanaan, (8) institusi pemerintahan lokal, dan (9) institusi tradisional lainnya (Blase, 1971). Kesemua institusi tersebut memiliki karakteristik yang sama ditinjau dari potensinya dalam memberikan pelayanan yang diperlukan untuk tranformasi teknologi. Oleh karena itu, secara konsepsional pelayanan dari institusi-institusi yang ada dapat dipandang sebagai input produksi yang akan memberikan nilai produk marjinal yang berbeda-beda. Pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk pertumbuhan yang proses dinamikanya selalu diimbangi oleh perubahan-perubahan kelembagaan (Schultz, 1968). Pola pengembangan usahatani tanaman hias yang efektif dan efisien tidak mungkin tercapai jika hanya mengandalkan perbaikan teknologi saja. Pengkajian kelembagaan menyangkut institusi-institusi yang memiliki potensi strategis dalam menunjang usaha pengembangan merupakan salah satu syarat kecukupan untuk mempercepat adopsi paket-paket teknologi. Berkaitan dengan hal ini, dinamika pengembangan wilayah usahatani tanaman hias juga akan mendorong petani untuk meminta adanya perubahan-perubahan kelembagaan/institusi. Misalnya, petani mungkin akan menghendaki perolehan jumlah kredit yang lebih tinggi serta proses penyalurannya yang lebih lancar atau menghendaki sistim pemasaran yang lebih baik dan terencana. Dengan demikian, keputusan petani untuk menerapkan paket-paket teknologi tidak terlepas dari bentuk, struktur, peranan, dan kesiapan institusi-institusi yang ada. Penelitian ini diarahkan untuk memperoleh: (1) deskripsi kelembagaan (jenis, bentuk, dan peranan) dari institusi-institusi di lokasi yang berpotensi sebagai wilayah pengembangan tanaman hias, dan (2) identifikasi kendala kelembagaan serta alternatif usulan pemecahan masalah sehubungan dengan rencana pengembangan. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan penaksiran pedesaan secara cepat (rapid rural appraisal). Pengumpulan data, khususnya yang menyangkut kelembagaan formal dan informal serta pranata sosial lainnya, dilakukan melalui metoda triangulasi dan diskusi kelompok (Beebe, 1986). Lokasi penelitian mencakup enam propinsi, yaitu Sumatera Utara, DKI Jaya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dari setiap propinsi dipilih dua kabupaten, dua kecamatan, dan minimal dua desa secara sengaja berdasarkan agroekosistem dan potensinya sebagai sentra produksi tanaman hias (bunga potong, tanaman hias taman/pot). Sementara itu, responden (petani, pedagang, dan institusi) dipilih secara sengaja (purposive). Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait, sedangkan data primer dikumpulkan dari responden dan semua institusi/kelembagaan yang terlibat. Pengumpulan data primer ditempuh melalui wawancara semi-berstruktur dengan penggunaan daftar topik pertanyaan singkat (Burgess, 1982). Hasil wawancara juga dikonfirmasi melalui diskusi kelompok dengan petugas pertanian dan responden kunci. Wawancara dan diskusi diarahkan sebagai suatu proses dimana informasi penting yang menyangkut kelembagaan dapat digali berdasarkan topik pembicaraan ringan. Proses ini ditempuh untuk mengarahkan responden agar dapat mengemukakan pendapat dan mendiskusikan persepsinya mengenai topik kelembagaan tertentu (struktur dan bentuk kelembagaan, mekanisme dan peranan kelembagaan, keterkaitan antar kelembagaan, serta mekanisme dan keragaan kelembagaan), bukan hanya terbatas menjawab langsung pertanyaan-pertanyaan baku. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan metoda statistika deskriptif dan analisis isi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kelembagaan penguasaan lahan Kelembagaan penguasaan lahan pada dasarnya merupakan suatu institusi yang terbentuk mengacu kepada legalisasi dan kesepakatan (kontrak) atau kebiasaan, sehingga seseorang mendapatkan kemudahan untuk dapat memanfaatkan kesempatan produktif dari sebidang lahan pertanian. Pada kenyataannya, kelembagaan penguasaan lahan ini dapat menentukan pola distribusi pendapatan di sektor pertanian (Dorner, 1971). Pada usahatani tanaman hias, kelembagaan penguasaan lahan yang umumnya berlaku adalah status milik dan status sewa. Sementara itu, status bagi hasil tampaknya kurang lazim dilakukan dalam pengusahaan komoditas ini. Persentase terbesar petani tanaman hias dengan status lahan sewa terdapat di Jawa Barat, sedangkan persentase penyewa terkecil terdapat di DKI Jaya. Hal ini ternyata bukan merupakan indikasi lebih tingginya tingkat ketersediaan lahan, melainkan semata-mata disebabkan oleh komposisi responden di DKI yang didominasi oleh petani tanaman hias pot/taman (umumnya memanfaatkan halaman rumah milik sendiri). Penelitian intensif mengenai pasar lahan di Jawa (Soentoro, Collier & Kliwon, 1981) mendefinisikan status sewa sebagai pemindahan fungsi pengawasan atas sehamparan lahan dari petani pemilik kepada petani penyewa untuk suatu periode waktu tertentu. Pemilik tidak memberikan input dan tidak menerima hasil panen dari usahatani yang dilakukan oleh penyewa, serta sama sekali tidak dihadapkan pada resiko kegagalan panen. Penelitian di atas menunjukkan adanya kecenderungan bahwa pemindahan penguasaan sementara ini terjadi dari petani miskin atau marjinal ke petani yang lebih kaya. Status penguasaan lahan sewa ini berhubungan erat dengan pasar modal pedesaan (local/rural capital market), karena petani yang memiliki dana menyewa dari petani yang kurang atau persediaan dananya sangat terbatas. Data dari beberapa propinsi (Jabar dan Jatim) menunjukkan bahwa petani penyewa bukan hanya petani yang tidak memiliki lahan, tetapi juga petani pemilik lahan yang melakukan perluasan usaha. Hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa status sewa semakin berkembang di daerah-daerah dimana pengusahaan tanaman hias sudah menjadi cabang usaha yang dapat diandalkan. Tabel 1 Status penguasaan, kisaran luas dan nilai sewa lahan (Land tenure, land-holding size, and land rent value). DKI n=14 (%)
JABAR n=22 (%)
JATENG n=28 (%)
JATIM n=9 (%)
SUMUT n=10 (%)
SULSEL n=9 (%)
• Status penguasaan lahan
o o o o
Milik Sewa Milik dan sewa Bagi hasil
92,9 7,1 -
• Kisaran luas lahan
31,8 63,6 4,6 -
75,0 25,0 -
44,4 44,4 11,2 -
Min. 0,04 ha
• Kisaran nilai sewa (ribu Rupiah)
60,0 30,0 10,0
67,0 33,0 -
Maks. 0,35 ha
750 2.200
500 1.200
600 1.000
600 1.000
300 600
300 500
100,0 -
67,6 13,6 18,8
67,9 32,1 -
22,2 22,2 55,6
70,0 30,0
100,0 -
• Perkembangan luas lahan sewa 3 tahun terakhir
o o o
Tetap Makin luas Makin sempit
Luas penguasaan lahan berkisar antara 0.04-0.35 ha (terkecil di DKI dan terbesar di Sumut). Sementara itu, nilai sewa lahan berkisar antara Rp. 300 000 - Rp. 2 200 000 per hektar per tahun (kisaran terendah di Sumsel dan kisaran tertinggi di DKI). Berdasarkan besaran persentasenya, petani di Sumut, Jatim dan DKI, secara berturut-turut merupakan tiga terbanyak yang menyatakan semakin
sulitnya memperoleh lahan sewa. Hal ini ternyata konsisten dengan pernyataan petani penyewa di Sumut dan Jatim yang memberikan informasi bahwa selama tiga tahun terakhir, luas lahan yang disewa semakin sempit. Ditinjau dari sudut kelembagaan, status penguasaan lahan yang lazim pada pengusahaan tanaman hias (milik dan sewa) tampaknya berjalan dengan baik dan bukan merupakan kendala pengembangan. Walaupun demikian, keterbatasan penguasaan lahan yang juga tercermin dari penelitian ini menyarankan bahwa pendekatan intensifikasi dalam pengembangan tanaman hias masih merupakan alternatif terbaik yang dapat ditempuh. Kelembagaan sistem produksi Pemahaman mendetil mengenai sistem produksi serta pengambilan keputusan usahatani pada setiap wilayah pengembangan sangat diperlukan dalam menentukan kesesuaian, kemudahan dan potensi keberhasilan perubahan teknologi yang direkomendasikan maupun inovasi dibidang pertanian lainnya (Norman, 1977). Sebagian besar responden, kecuali di Sulsel, menyatakan bahwa tanaman hias merupakan usaha pokok. Secara berturut-turut, responden secara konsisten menyebutkan bahwa alasan utama memilih tanaman hias sebagai usaha pokok adalah: (a) tingkat permintaan yang relatif stabil, bahkan cenderung meningkat, sehingga dapat menjamin kontinuitas pendapatan, (b) kemudahan pasar, terutama disebabkan oleh telah terjalinnya hubungan baik dengan konsumen tetap, dan (c) kebiasaan menanam tanaman hias yang sudah turun temurun sehingga pengusahaan tanaman lain dianggap lebih banyak Tabel 2 Kategori sistem produksi dan alasan pemilihannya (Production system category and some reasons for choosing ornamental farming).
•
•
DKI n=14 (%)
JABAR n=22 (%)
JATENG n=28 (%)
JATIM n=9 (%)
SUMUT n=10 (%)
SULSEL n=9 (%)
Tanaman hias sebagai mata pencaharian: o Pokok o Sampingan
85.7 14.3
68.2 31.8
57.1 42.9
66.7 33.3
90.0 10.0
10.0 90.0
Alasan memilih tanaman hias: o Permintaan meningkat o Kemudahan pasar o Kebiasaan
57.1 14.3 28.6
63.6 27.3 9.1
46.0 38.0 16.0
40.0 40.0 20.0
50.0 20.0 30.0
57.1 14.3 28.6
mengandung resiko. Sementara itu, petani Sulsel yang kebanyakan menyatakan bahwa tanaman hias merupakan usaha sampingan mengemukakan alasan sebagai berikut: (a) tingkat permintaan yang relatif masih rendah dan tidak stabil sehingga belum dapat menjamin kontinuitas pendapatan, (b) kesulitan pemasaran yang sering menyebabkan ketidakpastian harga jual, dan (c) pilihan usahatani lain (sayuran atau buah) yang lebih menguntungkan. Disamping menanam tanaman hias, kedua kategori petani di atas juga mengusahakan tanaman lain sebagai tanaman rotasi maupun tumpangsari. Sesuai dengan agroekologinya, petani tanaman hias di dataran tinggi juga menanam sayuran, sedangkan petani tanaman hias di dataran rendah juga menanam padi, palawija, sayuran dan buah-buahan. Menarik untuk dicatat bahwa berbagai alasan yang dikemukakan oleh petani berkenaan dengan status usaha tanaman hias (usaha pokok maupun sampingan) pada dasarnya merupakan alasan nonteknis (sosial ekonomi). Pengambilan keputusan sebagian besar petani untuk memilih tanaman hias sebagai usaha pokok ternyata sangat dipengaruhi oleh kelayakan dan prospek ekonomis komoditas tersebut. Sistem produksi yang secara kelembagaan bersifat sebagai usaha pokok dapat mempercepat keberhasilan usaha pengembangan, terutama dikaitkan dengan difusi dan adopsi inovasi.
Kelembagaan tenaga kerja Mengkaji pranata hubungan kerja dalam usahatani berarti menelusuri hubungan antara produsen sebagai pengelola usahatani dengan tenaga kerja luar keluarga yang digunakan. Hal ini menyangkut aturan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam transaksi tenaga kerja. Soentoro (1989) menunjukkan bahwa hubungan kerja di suatu daerah dipengaruhi oleh penyediaan dan permintaan tenaga kerja, pembagian resiko dan tingkat kelangkaan sumberdaya lainnya. Rata-rata di atas 50% responden, kecuali di Sulsel, menggunakan tenaga kerja luar keluarga, baik sebagai pegawai harian maupun bulanan (tetap). Tenaga kerja luar keluarga ini dilibatkan hampir untuk semua jenis/tahapan pekerjaan. Khususnya dalam tahapan pengolahan tanah, tenaga kerja luar keluarga umumnya disewa secara borongan. Upah harian berkisar antara Rp. 1 500 - Rp. 3 500 per hari (untuk tenaga kerja pria), sedangkan upah untuk tenaga tetap berkisar antara Rp. 45 000 - Rp. 125 000 per bulan. Tabel 3 Penggunaan tenaga kerja luar keluarga dan tingkat upah (The use of hired labor and its wage rate) DKI n=14 (%) • Menggunakan tenaga kerja luar keluarga
JABAR n=22 (%)
JATENG n=28 (%)
JATIM n=9 (%)
SUMUT n=10 (%)
SULSEL n=9 (%)
57.1
86.4
67.9
100.0
70.0
44.0
2.5-3.5 45.0-75.0
2.5-3.5 45.0-75.0
2.5-3.0 60.0-100.0
1.5-2.5 75.0-125.0
2.0-3.0 75.0-125.0
1.5-2.5 75.0-125.0
75.0
45.5
21.4
55.6
12.7
18.6
• Kisaran upah (ribuan Rupiah)
o o
Harian Bulanan
• Pernah mengalami kesulitan memperoleh t. kerja
Pranata hubungan kerja sambat sinambat sudah jarang dilakukan oleh petani karena menjadi semakin mahal dan kurang efisien. Seluruh responden menyatakan pernah mengalami kesulitan dalam memperoleh tenaga kerja luar keluarga, terutama di Jatim dan Jabar. Usaha pengembangan tanaman hias akan menghadapi tantangan yang cukup berat seandainya upah tenaga kerja pertanian lebih rendah dibandingkan dengan upah tenaga kerja non-pertanian. Sementara itu, seandainya upah dinaikkan, biaya produksi akan membengkak dan mengurangi profitabilitas usahatani. Implikasi dari dilema ini adalah terciptanya suatu keadaan dimana pengelola usahatani "terpaksa" menyewa tenaga kerja luar keluarga yang produktivitasnya rendah dan keakhliannya (untuk usahatani tanaman hias) sangat terbatas. Kelembagaan pasar sarana produksi Penataan kelembagaan pasar sarana produksi sangat diperlukan dalam pembangunan pertanian karena berkaitan erat dengan ketersediaan input yang dibutuhkan untuk memacu produktivitas usahatani. Dengan demikian, kelembagaan ini secara normatif berfungsi sebagai stimulan dan fasilitator keberhasilan peningkatan produktivitas (Witt, 1971). Toko atau kios sarana produksi merupakan sumber paling dominan bagi petani untuk mendapatkan/membeli sarana produksi. Sementara itu, kontribusi koperasi dalam kepentingan ini ternyata masih relatif rendah. Pertimbangan kemudahan yang mencakup: (a) tidak adanya keterikatan yang berkaitan dengan keanggotaan, (b) ketersediaan sarana produksi yang dibutuhkan dan (c) ketepatan waktu memperoleh saprodi pada saat dibutuhkan, merupakan pertimbangan utama petani untuk membeli sarana produksi di toko/kios. Beberapa kasus bahkan menunjukkan bahwa pembelian sarana produksi dari toko/kios juga memberikan kemungkinan untuk pembayaran kemudian. Perbedaan harga (harga di koperasi sedikit lebih rendah) tampaknya bukan faktor penentu bagi petani untuk memilih koperasi sebagai sumber sarana produksi.
Tabel 4 Sumber pembelian dan masalah sarana produksi (Source of inputs purchase and some problems perceived by farmers) DKI n=14 (%)
JABAR n=22 (%)
JATENG n=28 (%)
JATIM n=9 (%)
SUMUT n=10 (%)
SULSEL n=9 (%)
90,0 10,0 bibit ppk kandang
77,8 22,2 bibit ppk kandang
• Sumber pembelian sarana produksi
o o o
• Masalah
Kios Koperasi Petani
100,0 bibit
90,9 9,1 bibit
Bandung Bogor Sukabumi Palembang Lampung Jambi
Jakarta Malang
92,9 7,1 bibit ppk kandang
77,8 22,2
• harga sarana produksi yang semakin meningkat • ketersediaan sarana produksi, terutama bibit • kualitas sarana produksi, terutama bibit
Secara umum, kelembagaan pasar sarana produksi yang ada sudah berfungsi dengan baik dalam mendukung program pengembangan. Satu hal esensi yang tampaknya masih perlu mendapat perhatian lebih besar adalah penataan kelembagaan pasar bibit/benih. Kelembagaan pasar hasil produksi Perencanaan efektif dalam pembangunan ekonomi harus memberikan perhatian yang besar terhadap pengembangan kelembagaan pemasaran untuk melengkapi program-program yang berkaitan dengan perluasan produksi fisik (Riley & Weber, 1983). Kelembagaan pemasaran harus dipandang secara lebih luas dan lebih dinamis sebagai salah satu elemen utama dalam pembangunan sektor pertanian serta keselarasannya dengan pertumbuhan dan perkembangan sektor-sektor lainnya. Pengembangan dan perluasan pasar dapat mendorong meningkatkan sensitivitas produsen terhadap harga dan menciptakan tingkat spesialisasi yang lebih tinggi sehingga zona geografis tertentu dapat memiliki suatu keunggulan komparatif (Scarborough dan Kydd, 1992). Secara umum, transaksi jual beli tanaman hias sudah merupakan kegiatan yang melembaga. Walaupun demikian, kelengkapan infrastruktur yang menunjang pengembangan komersialisasi dan spesialisasi usahatani tanaman hias (terutama pasar) tampaknya masih sangat terbatas (kecuali untuk DKI dan propinsi lain di Jawa pada umumnya). Selama tiga tahun terakhir, sebagian besar responden (di atas 60%) menyatakan bahwa permintaan terhadap tanaman hias meningkat dengan harga yang relatif stabil. Terdapat suatu kecenderungan bahwa semakin berkembang usahatani tanaman hias di suatu daerah, semakin lazim pula berlakunya sistim pembayaran kemudian. Melalui sistim pembayaran ini, secara implisit pedagang membebankan sebagian resiko usahanya kepada petani. Sementara itu, pada rantai pemasaran yang ada, peran pedagang perantara (lokal dan antar daerah) tampaknya sangat dominan dalam menjembatani produsen dan konsumen tanaman hias. Walaupun demikian, pengamatan selintas tidak memperlihatkan indikasi adanya pembebanan marjin yang tinggi oleh pedagang perantara. Observasi ini memberikan suatu gambaran bahwa usaha perbaikan
Tabel 5 Pemasaran, sistem pembayaran dan perkembangan harga (Marketing, mode of payments, and price trends)
• Pengamatan petani terhadap permintaan o Meningkat o Stabil o Menurun • Petani menjual kepada o Pedagang perantara o Konsumen o Pedagang besar o Pedagang perantara, toko bunga, o o
konsumen Pedagang perantara, konsumen Toko bunga
• Ranti tataniaga
DKI n=14 (%)
JABAR n=22 (%)
JATENG n=28 (%)
JATIM n=9 (%)
SUMUT n=10 (%)
SULSEL n=9 (%)
78,6 21,4 -
40,9 59,1 -
78,6 21,4 -
66,7 11,1 22,2
60,0 40,0 -
77,8 22,2 -
14,3 21,4 14,3
45,5 18,2
89,3 -
66,7 -
30,3 10,0 -
11,1 22,2 -
35,7 27,2 3,6 22,2 40,0 55,6 14,3 9,1 7,1 11,1 20,0 11,1 • produsen - pengumpul lokal – konsumen • produsen - pengumpul antar daerah - toko bunga – konsumen • produsen - pedagang pengumpul - pedagang besar/menengah - pengecer - konsumen
• Sistem bayar
Tunai Kemudian Tunai dan kemudian • Pengamatan petani terhadap perkemb harga o Meningkat o Menurun o Stabil • Masalah utama o o o
42,8 7,1 50,1
18,2 40,9 40,9
96,4 3,6
66,7 33,3
30,0 20,0 50,0
33,4 33,3 33,3
22,7 39,3 4,6 7,1 72,7 53,6 • fluktuasi harga yang tajam • tidak adanya informasi pasar
22,2 33,3 44,5
30,0 10,0 60,0
11,1 22,2 66,7
pemasaran tanaman hias tidak dapat hanya didasarkan pada asumsi keberadaan pedagang perantara sebagai penyebab inefisiensi. Informasi harga juga merupakan salah satu fasilitas yang dirasakan sangat dibutuhkan oleh sebagian besar responden. Seringkali informasi mengenai harga yang berlaku di daerah konsumen justru diperoleh dari pihak pedagang, sehingga memperlemah posisi tawar menawar petani. Disamping itu, fasilitas pasar (kecuali DKI Jaya) yang sangat sederhana, bahkan terkadang bersifat temporer, dirasakan kurang mendukung kemungkinan perluasan usaha baik oleh petani maupun pedagang. Perbaikan infrastruktur (fisik dan non-fisik) tampaknya merupakan kebutuhan yang bersifat vital dan segera agar kelembagaan pasar hasil produksi dapat memberikan kontribusi optimal terhadap pengembangan tanaman hias. Kelembagaan permodalan Permodalan merupakan unsur esensial dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat, khususnya di pedesaan. Keterbatasan modal merupakan kendala ruang gerak aktivitas usaha, sementara itu dana dari luar yang dapat membantu pemecahan masalah ternyata tidak mudah diperoleh (Hamid, 1986). Secara umum, hanya sebagian kecil responden yang memanfaatkan bantuan pinjaman tambahan modal dari luar. Pinjaman ini berasal dari lembaga keuangan formal (bank), koperasi dan pedagang. Responden yang mendapatkan pinjaman dari bank pada umumnya adalah petani tanaman hias taman/pot (Jabar dan Jatim). Sementara itu, dengan jumlah pinjaman yang relatif kecil (maksimal Rp. 300 000), beberapa responden di DKI dan Jateng memperoleh pinjaman dari koperasi (Koperasi Karyawan, Koperasi Pasar). Responden yang memperoleh pinjaman (dapat berupa uang tunai, bibit maupun sarana produksi lainnya) dari pedagang ditemui pada usahatani melati di Jawa Tengah. Salah satu
Tabel 6 Sumber dan persyaratan peminjaman modal produksi (Source and requirements for borrowing capital) DKI n=14 (%) • Sumber pinjaman modal o Koperasi o Bank o Pedagang o
Syarat peminjaman modal
JABAR n=22 (%) 14,3 -
• Anggota koperasi • Simpanan pokok Rp.
20.000 • Simpanan wajib Rp.
5.000 • Pinjaman maksimal
Rp. 300.000 • Bunga 3% per bulan
JATENG n=28 (%)
4,6 9,1 • Keragaman usahatani • Rekomendasi • Agunan • Masa pinjan 1-2 tahun • Jumlah kredit=estimasi
7,1 17,9 • Pengajuan • Legalisasi • Seleksi • Kelayakan • Agunan
• Jual hasil kepada
• Jual hasil kepada
pemberi pinjaman
pemberi pinjaman
kewajiban dari petani peminjam adalah keharusan menjual produknya kepada pedagang pemberi pinjaman. Dalam sistim ini, secara tidak langsung pedagang pemberi kredit terlibat dalam proses produksi, termasuk dalam pembagian resiko dengan petani. Walaupun demikian, pemberi pinjaman memiliki peluang untuk mendapatkan keuntungan dan menanggung resiko lebih kecil karena sangat menentukan dalam proses determinasi harga. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelembagaan permodalan, khususnya lembaga kredit formal di daerah pedesaan dengan berbagai jenis pinjaman yang ditawarkan, belum mencapai sasaran yang diharapkan. Rendahnya minat petani untuk memanfaatkan kredit formal ini terutama disebabkan oleh prosedur yang berbelit-belit, persyaratan administratif yang ketat, serta keharusan untuk memberikan jaminan/agunan. Tingkat bunga yang relatif rendah tampaknya tidak cukup menjadi perangsang bagi masyarakat pedesaan untuk meminjam di lembaga kredit formal. Sementara itu, pihak lembaga keuangan formal sendiri seringkali tidak mampu menjangkau usaha-usaha masyarakat pedesaan (khususnya pertanian) karena secara operasional tidak mampu membayar biaya transaksi untuk memantau kredibilitas usaha (Anwar, 1992). Konsekuensinya, kekosongan segmen pasar keuangan ini seringkali pada akhirnya diisi oleh lembaga permodalan informal. Kontribusi kelembagaan permodalan terhadap pengembangan usahatani akan lebih terasa seandainya mekanisme yang ditempuh tidak hanya terpaku pada aspek efisiensi (perbankan), tetapi juga mempertimbangkan tercapainya efektivitas optimal yang merupakan tujuan dari kredit pedesaan. Kelembagaan ketatalaksanaan Kelembagaan ketatalaksanaan pada penelitian ini dibatasi pada pengamatan kelembagaan perencanaan tingkat propinsi di bidang pertanian, yaitu Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Persentase responden yang mengetahui atau pernah terlibat dalam program pengembangan yang dilaksanakan oleh Dinas masih relatif rendah (maksimal 35%). Pada umumnya, responden menerima bimbingan teknis dan non-teknis usahatani tanaman hias melalui pendekatan kelompok. Disamping itu, petani juga memperoleh bantuan sarana produksi kimiawi dan bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot program pengembangan yang dilakukan oleh Dinas berbeda antar satu propinsi dengan propinsi lainnya, tergantung dari prioritas masing-masing. Sebagai contoh, DKI Jaya memiliki program intensifikasi tanaman hias (terutama anggrek), sedangkan Jawa Timur memiliki program intensifikasi sedap malam dan melati. Masing-masing propinsi lainnya juga memiliki program pengembangan walaupun intensitasnya masih lebih rendah. Sementara itu, kontribusi kelompok-kelompok hobby (PAI, PPT, PPBI, dsb) tampaknya lebih mengarah pada usaha promosi dan pemasyarakatan tanaman hias. Beberapa kendala yang dihadapi oleh pihak Dinas dalam usaha pengembangan tanaman hias adalah: (a) prioritas program yang masih lebih rendah dibandingkan dengan program komoditas lainnya, terutama pangan, sehingga sangat berpengaruh terhadap aspek pendanaan, (b) kesulitan dalam menyediakan bibit/benih tanaman
Tabel 7 Program kegiatan dan kendala pengembangan (Programs and some constraints to development)
• Keterlibatan petani dlm program pengembangan • Kegiatan • Program
• Bantuan • Masukan petani utk perbaikan program o Penyelenggaraan latihan o Pemberian penyuluhan o Pengadaan/ketersediaan bibit • Kendala utama pengembangan
DKI JABAR JATENG JATIM SUMUT n=22 (%) n=28 (%) n=10 (%) n=14 (%) n=9 (%) 35,7 27,3 27,9 33,3 • bimbingan teknis (pembibitan, budidaya) • bimbingan non-teknis (pemasaran, motivasi kelompok) Intensifikasi Intensifikasi tanaman sedap hias malam dan melati Saprotan Saprotan Saprotan Saprotan dan bibit
SULSEL n=9 (%) 22,2
Pembibitan
-
28.6 40.9 33.3 44.4 30.0 35.5 21.4 13.6 16.2 11.1 10.0 12.5 50.0 45.5 50.5 44.5 60.0 52.0 • prioritas pengembangan tanaman hias atau hortikultura masih di bawah padi dan palawija
hias yang berkualitas baik dalam jumlah banyak, dan (c) keterbatasan sumberdaya manusia, terutama penyuluh, yang memiliki pengetahuan memadai mengenai usahatani tanaman hias. Hal ini tampaknya sejalan dengan pendapat Schuh (1971) yang menyatakan bahwa usaha pengembangan yang dilakukan oleh institusi peren-canaan seringkali kurang efektif karena adanya: (a) inkonsistensi penetapan prioritas, (b) keterbatasan sumberdaya manusia yang kompeten dibidangnya, (c) keterbatasan ketersediaan data dasar, (d) keterbatasan yang menyangkut ketersediaan informasi dan hasil penelitian, dan (e) ketidaktepatan penentuan target. Sementara itu, masukan dari petani berkenaan dengan usaha pengembangan tanaman hias yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh Dinas mencakup: (a) penyelenggaraan pelatihan usahatani tanaman hias yang mencakup perbaikan budidaya dan pemasaran (35.36%), (b) pemberian penyuluhan yang terprogram agar dinamika teknis dan non-teknis pengusahaan tanaman hias dapat terus diikuti (14.13%), (c) penyediaan bibit/benih tanaman hias yang berkualitas baik (50.41%). Menarik untuk dicatat bahwa masukan petani yang menyangkut penyediaan bibit/benih menempati urutan teratas. Bagi kelembagaan ketatalaksanaan, khususnya pihak Dinas Pertanian, masukan ini tampaknya perlu diberi penekanan pada saat menyusun perencanaan program pengembangan. Kelembagaan penelitian dan penyuluhan Sebagian kecil responden (hanya di Jawa) menyatakan pernah terlibat dalam kegiatan penelitian yang dilaksanakan oleh Balitbang Pertanian atau Perguruan Tinggi. Keterlibatan tersebut menyangkut penggunaan lahan petani untuk penelitian lapangan atau sebagai responden dalam kegiatan survai, dengan intensitas yang sangat rendah. Kondisi ini terutama disebabkan oleh status balai penelitian yang masih baru dan keberadaan balai pengkajian di setiap propinsi yang belum sepenuhnya berfungsi. Dalam rangka penyusunan program penelitian tanaman hias tahun-tahun mendatang, keterlibatan petani perlu terus ditingkatkan, karena semakin disadari bahwa keberhasilan teknologi baru yang dirancang oleh lembaga penelitian akan lebih terjamin, jika teknologi tersebut mengandung muatan perspektif pengguna yang lebih tinggi. Sementara itu, hanya petani di Jawa yang menyatakan pernah mendapat penyuluhan usahatani tanaman hias. Dalam satu tahun terakhir, petani tersebut bertemu/dikunjungi dengan/oleh penyuluh 1-4 kali. Sumber informasi usahatani tanaman hias bagi petani pada umumnya adalah: (a) petani lain (60.36%), (b) media cetak (28.41%), dan (c) media audio-visual (11.23%). Secara implisit, hal ini menunjukkan bahwa program penyuluhan dengan pendekatan kelompok merupakan cara yang tepat untuk mempercepat difusi teknologi baru. Walaupun demikian, program yang disusun harus bersifat aktual dan inovatif agar dinamika perkembangan usahatani tanaman hias dapat terus diikuti.
Tabel 8 Intensitas penyuluhan dan sumber informasi lain (Extension intensity and other sources of information) DKI n=14 (%)
JABAR n=22 (%)
JATENG n=28 (%)
42,5
9,1
7,1
• Mendapatkan penyuluhan • Frekuensi
1x per bulan
1-3 x per tahun
JATIM n=9 (%)
SUMUT n=10 (%)
SULSEL n=9 (%)
3-4 x per tahun
• Sumber informasi lain o o o
Petani Media cetak Media elektronik
64.3 28.6 7.1
45.5 36.4 18.1
64,3 25,0 10,7
55,6 33,3 11,1
60.0 30.0 10.0
77,8 11,1 11,
Kelembagaan kelompok tani dan koperasi Proporsi responden yang menjadi anggota kelompok tani sangat bervariasi dan berkisar antara 11.2%-80.0%. Sebagian diantaranya sebenarnya tergabung dalam kelompok tani tanaman pangan, bukan khusus kelompok tani tanaman hias. Kelompok tani khusus tanaman hias pada umumnya terbentuk di daerah sentra yang sudah cukup berkembang (DKI Jaya, Jabar, Jateng, Jatim dan Sumut), walaupun beberapa diantaranya belum berfungsi optimal. Kelompok-kelompok ini umumnya terdiri dari para petani yang mengusahakan tanaman hias bunga potong, sedangkan kelompok tani tanaman hias taman/pot masih jarang dijumpai. Kegiatan kelompok pada umumnya mencakup: (a) kegiatan kolektif usahatani tanaman hias, (b) kegiatan simpan pinjam, dan (c) kegiatan sosial. Selama satu tahun terakhir, intensitas kehadiran responden dalam pertemuan kelompok berkisar antara 2 - 10 kali. Kelembagaan kelompok tani ini bahkan ada yang mampu mendorong petani secara bersama memasarkan hasil produksinya (Jabar) dan melakukan pengaturan produksi (jenis dan luasan) secara bergiliran diantara anggota kelompok (Sumut). Penelitian mengenai kelompok tani di Asia menunjukkan bahwa tidak ada "single blueprint" yang dapat digunakan untuk menjamin keberhasilan kelompok tani. Walaupun demikian, pengalaman di Taiwan dan Korea Selatan menunjukkan bahwa keberhasilan pembinaan kelompok tani di dua negara tersebut ditunjang oleh keberadaan infrastruktur di daerah pedesaan yang mantap dan kesuksesan pelaksanaan reformasi lahan (Wong, 1979). Meskipun pengalaman sukses di atas tidak selalu sepenuhnya dapat ditransfer ke negara lain, minimal kasus-kasus tersebut dapat memberikan gambaran bahwa pembinaan kelembagaan kelompok tani harus diarahkan pada terciptanya suasana kondusif yang dapat memberikan keyakinan bagi petani bahwa keterlibatannya dalam kelompok dapat memperbaiki kesejahteraan ekonomi dan meningkatkan kemandirian kolektif. Tabel 9 Kegiatan kelompok tani dan koperasi (Group farming ctivities and farmers cooperative) DKI n=14 (%)
JABAR n=22 (%)
JATENG n=28 (%)
57.1
22.7
21.4
• Keanggotaan kelompok tani (%) • Kegiatan kelompok tani
• Intensitas kehadiran per tahun • Keanggotaan koperasi (%)
• • • •
JATIM n=9 (%)
SUMUT n=10 (%)
SULSEL n=9 (%)
44.4
80.0
11.2
aktivitas usahatani (pengaturan produksi) aktivitas non usahatani (gotong royong) aktivitas sosial simpan pinjam 4x
4x
3x
4x
6x
-
57.1
54.6
14.3
22.2
40.0
11.2
• Kegiatan koperasi
• usaha simpan pinjam • usaha sarana produksi • penampungan hasil
• Masalah koperasi
• kemampuan pemupukan modal yang terbatas • sistem pengelolaan yang masih lemah • belum mampu menyediakan jasa pemasaran hasil
Keterlibatan responden dalam kelembagaan koperasi cukup bervariasi antar propinsi dan berkisar antara 11.20% - 57.14%. Dengan segala keterbatasannya, beberapa koperasi bunga telah berjalan dengan baik (DKI dan Jabar). Kegiatan koperasi-koperasi tersebut mencakup: (a) penyediaan sarana produksi, (b) kegiatan simpan pinjam, dan (c) kegiatan bersama yang menyangkut usahatani dan kegiatan sosial lainnya. Dua masalah utama kelembagaan koperasi yang terungkap dalam penelitian ini adalah: (a) keterbatasan modal kerja - kemudahan untuk memperoleh pinjaman dari lembaga keuangan formal cukup terbuka, tetapi tingkat resiko yang masih tinggi menyebabkan koperasi lebih cenderung mengandalkan sumber dana dari anggota, dan (b) kapasitas manajerial yang terbatas - kemampuan pengelolaan yang belum optimal, seringkali disertai pula dengan komitmen pengurus yang kurang kuat. Faktor lain yang secara sepintas terlihat berpengaruh terhadap keberhasilan kelembagaan koperasi menjalankan fungsinya adalah asal mula pembentukannya. Koperasi yang terbentuk atas inisiatif dari bawah/kelompok tani (Jawa Barat) ternyata berfungsi lebih baik dibandingkan dengan koperasi yang dibentuk dari atas (Jateng). Saran dari Lamming (1980) yang tampaknya masih sangat relevan terhadap pengembangan kelembagaan koperasi di Indonesia agar menjadi tulang punggung kegiatan perekonomi-an di sektor pertanian adalah: (a) perbaikan aspek keorganisasian, (b) pembinaan berkelanjutan terhadap kemampuan manajerial, (c) pengembangan kepemimpinan, dan (d) peningkatan partisipasi petani terutama dalam proses pengambilan keputusan. KESIMPULAN 1. Tingkat perkembangan setiap jenis kelembagaan penunjang usahatani ditinjau dari peran dan fungsinya, sangat dipengaruhi oleh status komoditas bersangkutan, baik secara teknis dan nonteknis, sebagai cabang usaha (income-generating source) yang dapat diandalkan. Kondisi usahatani tanaman hias yang semakin berkembang di suatu lokasi akan diimbangi dengan semakin berfungsinya kelembagaan-kelembagaan penunjang yang ada. Hal ini tercermin dari relatif lebih baiknya fungsi dan kontribusi kelembagaan di sentra-sentra produksi tanaman hias di Jawa dibandingkan dengan di luar Jawa. 2. Pergeseran permintaan kelembagaan terjadi karena adanya perubahan kepemilikan sumberdaya dan perubahan teknologi. Sementara itu, penawaran kelembagaan sangat dipengaruhi oleh perkembangan pengetahuan (teknis, sosial dan ekonomi) serta perubahan kebiasaan (cultural endowment). Dengan demikian, program pengembangan tanaman hias di wilayah tertentu, harus menempatkan kelayakan dari komponen-komponen teknologi yang dirancang (technically feasibleeconomically profitable-socially acceptable) sebagai pertimbangan utama. Sepanjang perbaikan teknologi yang disarankan dapat diterima oleh petani secara teknis, sosial dan ekonomis, kelembagaan yang pada awalnya belum berfungsi optimal akan terdorong untuk terus memperbaiki diri sebagai cerminan dari realisasi pilihan sosial (social choice) dan tindakan kolektif (collective action) masyarakat/petani. 3. Hampir semua jenis kelembagaan yang ada masih menunjukkan kelemahan ditinjau dari fungsi dan potensi kontribusinya terhadap program pengembangan tanaman hias. Beberapa contoh yang tampaknya memerlukan prioritas pembinaan diantaranya adalah kelembagaan pasar sarana produksi (khususnya untuk bibit/benih) dan kelembagaan pasar hasil produksi (baik di Jawa dan luar Jawa). Pembinaan kelembagaan tersebut harus berawal dari rencana dan prioritas pengembangan tanaman hias di masing-masing sentra produksi (wilayah pengembangan). Rencana pengembangan ini perlu disusun berdasarkan pertimbangan yang mengacu pada keberimbangan tinjauan antara sisi penawaran (supply side) dan sisi permintaan (demand side) dari komoditas bersangkutan. 4. Fungsi dan kontribusi kelembagaan, walaupun untuk jenis kelembagaan yang serupa, seringkali sangat spesifik untuk setiap sentra produksi. Oleh karena itu, rekomendasi konklusif untuk perbaikan peranan kelembagaan harus didasarkan pada hasil penelitian spesifik untuk setiap jenis kelembagaan. Ditinjau dari perannya yang dapat dipandang sebagai salah satu input produksi,
kebutuhan terhadap kelembagaan yang berfungsi optimal tidak berbeda dengan dengan kebutuhan terhadap input-input produksi lainnya. Dengan demikian, program pengembangan tanaman hias, misalnya melalui program intensifikasi, harus pula diikuti dengan intensifikasi pembinaan kelembagaan.
PUSTAKA Anwar, A. 1992. Memahami sistem pasar keuangan di wilayah pedesaan. Bahan ceramah Sistem Keuangan Pedesaan di Fakultas Pertanian, UNPAD, Bandung. Barkley, P. W. (1988). Institusions, institusionalism and agricultural economics in the twenty-first century. Dalam R.J. Hildreth (Ed). Agriculture and rural areas approaching the twenty-first century. The Iowa State University Press, Ames, Iowa. Beebe, J. 1986. Information collection: Rapid appraisal and related methodologies. Dalam CGPRT Center. Socio-economic research in food legumes and coarse grains: Methodological issues. CGPRT No. 4, Bogor, Indonesia. Blase, M.G (1971). Role of institusions in agricultural development. The Iowa State University Press, Ames, Iowa. Burgess, R. 1982. The unstructured interview as a conversation. Dalam R. Burgess (Ed.). Field research: A sourcebook and field manual. George Allen & Unwin, London. Cabang Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Semarang. 1994. Pengembangan wilayah komoditas. Ungaran. Cabang Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Semarang. 1994. Program dan proyek tanaman pangan 1994/1995. Ungaran. Dinas Pertanian Tanaman Pangan DKI Jaya. 1993. Rencana kerja lima tahunan 1994/1995 - 1998/1999. Jakarta. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab. Bandung. 1994. Program kegiatan Sub Seksi Tanaman Hias 1993/1994. Bandung. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab. Bandung. 1994. Capita selecta: Perkembangan tanaman hias di sentra Cihideung. Bandung. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Tengah. 1993. Laporan tahunan. Ungaran. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Malang. 1994. Laporan Tahunan. Malang. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Sumatera Utara. 1993. Pengembangan hortikultura di Sumatera Utara. Medan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Sumatera Utara. 1992. Pengembangan pola kemitraan hortikultura di Sumatera Utara. Medan. Dorner, P. 1971. Land tenure institutions. Dalam M. G. Blase (Ed.). Role of institusions in agricultural development. The Iowa State University Press, Ames, Iowa. Hamid, E. S. 1986. Pendahuluan: Rekaman dari seminar. Dalam Mubyarto dan E. S. Hamid. (Penyunting). Kredit pedesaan di Indonesia. BPFE, Yogyakarta. Lamming, G. N. 1980. Promotion of small farmers' cooperatives in Asia. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.
Muslimin. 1989. Persepsi masyarakat terhadap taman dan lingkungan hidup. Sripsi Sarjana Pertanian. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. Norman, D. W. 1977. Economic rationality of traditional Hausa dryland farmers in the North Nigeria. Dalam R. D. Stevens (Ed.). Tradition and dynamics in small farm agriculture. The Iowa State University Press. Ames, USA Riley, H. M. and Weber, M. T. 1983. Marketing in developing countries. Dalam P. L. Farris (Ed.). Agricultural Marketing Research. The Iowa State Univ. Press, Ames, USA. Scarborough, V. & Kydd, J. 1992. Economic analysis of agricultural markets: A manual. Marketing Series Volume 5. Natural Resource Institute, ODA, Great Britain. Schuh, G. E. 1971. Planning institutions: Discussion. Dalam M. G. Blase (Ed.). Role of institusions in agricultural development. The ISU Press, Ames, Iowa. Schultz, T. W. (1968). Institusions in the rising economic value of man. American Journal of Agricultural Economics, 50, no. 5: 1113-1122. Soentoro. 1989. Keragaan hubungan kerja dan penguasaan tanah pada pasca adopsi teknologi: Kasus di Sulawesi Selatan. Dalam E. Pasandaran, M. Gunawan, A. Pakpahan, Soentoro & A. Djauhari (Penyunting). Evolusi kelembagaan pedesaan di tengah perkembangan teknologi pertanian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Bogor. Suku Dinas Pertanian Kotamadya Jakarta Barat. 1994. Laporan tahunan 1993/1994. Jakarta. Witt, L. 1971. Factor markets. In M. G. Blase (Ed.). Role of institusions in agricultural development. The Iowa State University Press, Ames, Iowa. Wong, J. 1979. Group farming in Asia: Experiences and potentials. Singapore University Press, Singapore.