Ibu-ibu Yang Menangis

  • Uploaded by: Indonesiana
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ibu-ibu Yang Menangis as PDF for free.

More details

  • Words: 664
  • Pages: 2
Ibu-ibu yang Menangis AGAR engkau mengerti betapa masih penting kemerdekaan bagi suatu negara, datanglah ke kampungku, khususnya ketika final bulutangkis RW tiba. Dua RT unggulan siap berlaga. Selepas Isya, suporter dari dua kubu telah berdatangan. Kaleng-kaleng rombeng telah disiapkan, perkusi dapur, bas drum dari botol-botol mineral telah gaduh ditabuh, bahkan jauh sebelum datang waktu pertandingan. Riuh, gaduh, asyik, tegang! Tapi RT-ku adalah kawasan unggulan. Pemegang supremasi bulutangkis, cabang lomba paling bergengsi di kawasan ini. Tiga tahun berturutturut tanpa kalah. Bahkan ketika salah seorang anggota tim single kami absen, semangat supremasi ini masih bergelora. Begitu suporter musuh mengancam kami dengan lautan keributan perkusi mereka, salah seorang tetangga kami langsung mengeluarkan mobil pick up bututnya. Bukan butut sembarang butut, tapi butut berpengeras suara. Demi pertandingan ini, sang tetangga rela tidak berjualan celana kolor seperti biasanya tapi langsung parkir dan menembakkan corongnya ke tengah lapangan. Perang suporter usai sudah. Karena hanya dengan satu celetukan, seantero lapangan langsung pekak oleh suara sang penjual celana. Pertandingan belum dimulai, tapi peperangan telah dimenangkan. Terus soal anggota tim yang kosong itu, yang dengan berat hati harus ke luar kota menengok mertuanya yang sakit itu? "Itu urusan remeh," kata ofisial kami. "Asal sampean mau jadi ganti," katanya. "Sampean hanya untuk pajangan. Sampean tidak akan main. Sumpah! Tiga dari lima partai kita sudah dipastikan menang. Sampean didaftarkan hanya agar kelompok kita tidak kalah WO," pekik sang ofisial. "Jika sampean menolak main, final ini batal. Keadaan akan kacau balau!" Kaget juga aku. Ini tentu permintaan berbahaya. Mengayun raket, bagiku hanya bisa terjadi dalam dunia senda gurau. Maka menjadi pemain kagetan apalagi di sebuah pertandingan yang begini menentukan adalah hal tak terbayangkan. Tapi sudahlah, toh cuma setor nama. Apalah artinya sebuah nama dibanding kepentingan bangsa dan negara. Toh tiga partai kami, kuat sepenuhnya. Menang tanpa bermain itulah jaminan yang membuatku tenang. Tapi sejarah mana yang bisa didikte. Kemenangan di atas kertas itu benar-benar cuma di atas kertas. Di atas lapangan, semua berjalan di luar dugaan. Setelah dua partai pertama menang mudah dan kami sudah dilanda kegembiraan meluap-luap sebagai calon juara, kami terjungkal di babak ketiga, partai yang diperkirakan juga menang mudah tapi dikalahkan meski dengan susah payah. Aku pun mulai gemetaran, karena partai keempat kabur kekuatannya. Dan semua menjadi jelas setelah pertandingan berjalan. Lagi-lagi kami kalah. Skor 2-2, imbang, dan partaiku harus menjadi penentu. Maka lemaslah sendi-sendi tulangku. Aku masuk lapangan dengan iringan sorak riuh rendah. Sorak dari pihak musuh yang telah yakin bahwa aku akan kalah. Benarlah, karena pertandingan yang kumainkan ini tak lebih dari pertunjukkan aniaya. Sehebat apapun aku pontang-panting hanya makin membuat musuh gembira. Makin keras aku berusaha, makin keras pula sorak-sorai mereka. Ya sudah, aku menyerah. Pertandingan ini terpaksa kunikmati sebagai kegembiraan semata. Sebagai ongkos kemerdekaan, kekalahan ini kecil belaka. Tapi persoalannya tidak sesederhana itu di mata tetangga, saudara dan keluargaku. Wilayahku sudah harus butuh menang. Kekalahan kepalang menjadi aib. Maka ketegangan bertebaran di mana-mana. Bahkan sejak belum rampung set pertama,

istriku telah memilih pulang sambil mengamankan anak-anaknya. Seluruh tubuhnya dingin dan air matanya meleleh. Ia sulit menerima kenyataan bahwa suaminya yang ringkih itu, yang tidak pernah kenal olah raga itu, harus dipermainkan begitu rupa. Sepulang dari medan laga, masih kudapati istriku telungkup sambil memeluk si balita. Sementara si sulung tertunduk lesu di sisi ranjang sambil mempermainkan kuku. Tak cuma keluargaku. Di luar, banyak ibu-ibu bengong dan membisu. Beberapa di antaranya mojok dan terisak tanpa suara. Beberapa yang lain gagal untuk tidak menangis secara terbuka. Seorang ibu yang lain lagi malah sudah terlibat perang mulut dengan suporter musuh. Aku dengan raket pinjaman masih di tanganku, cuma bisa termangu. Keadaan telah berkembang menjadi begini serius. Aku sendiri kemudian sulit untuk menghindar dari rasa cengeng dan haru. Bukan cuma karena melihat begitu banyak orang-orang dekat menangis. Tapi juga karena tiba-tiba teringat tentang duit ratusan milyar yang dihabiskan cuma untuk proyek lawatan pejabat negara. Tentang penyelewengan bantuan pendidikan yang bisa terjadi di tingkat kabupaten dan kecamatan. Peringatan kemerdekaan bisa begini penuh tangisan. Tapi kelakuan kita sehari-hari tetap saja seperti manusia tanpa perasaan. (03) (PrieGS/)

Related Documents


More Documents from "syimacom"

Teman Masa Kecilku
November 2019 40
Diplomasi Kopiah
November 2019 37
Buatan Indonesia
November 2019 53
Nasihat Dari Cd Porno
November 2019 40
Andai Aku Engkau Percayai
November 2019 43