MAKALAH IMTAQ dan IPTEK yang Berpengaruh terhadap Alam, Sosial, dan Budaya Dikorelasikan dengan Al-Qur’an Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ilmu Alamiah Dasar
Disusun Oleh: Eka Lusiandani Koncara
Semester 7B
Jurusan Pendidikan Agama Islam
STAI Dr. KHEZ Muttaqien Purwakarta 2009
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya berkat petunjuk-Nya-lah penulis dapat menyelesaikan makalah ini, yang penulis susun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Alamiah Dasar di Program Pendidikan Agama Islam STAI Dr. KHEZ Muttaqien – Purwakarta. Dalam makalah ini, penulis berusaha untuk membahas tentang bagaimana IMTAQ dan IPTEK mempengaruhi alam, sosial, dan budaya, serta bagaimana Al-Qur’an menanggapinya. Dengan segala kerendahan hati, penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada segenap pihak yang telah turut mendukung dalam penyusunan makalah ini. Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, karena itu segala kritik dan saran akan menjadi begitu berharga demi peningkatan kualitas keilmuan kita bersama. Demikian, semoga bermanfaat.
Purwakarta, Januari 2009 Penulis
i
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................
i
DAFTAR ISI ........................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
BAB II
PEMBAHASAN ....................................................................................
2
A.
IMTAQ ................................................................................................
2
B.
IPTEK ..................................................................................................
4
C.
Alam, Sosial, dan Budaya ...................................................................
8
D.
Al-Qur’an Berbicara tentang IMTAQ dan IPTEK yang Berpengaruh terhadap Alam, Sosial, dan Budaya ...................................................
13
BAB III PENUTUP ............................................................................................
19
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
20
ii
BAB I PENDAHULUAN Banyak orang beranggapan, apalagi kalangan sekuler, bahwa iman dan taqwa tidak berpengaruh besar terhadap keadaan dan berbagai alam, sosial, dan budaya. Iman dan taqwa juga tidak berarti apapun dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sungguh merupakan kecelakaan bagi orang memiliki anggapan dan keyakinan semacam itu. IMTAQ dan IPTEK adalah hal yang tidak dapat terpisahkan satu sama lain. Keduanya memiliki andil dan pengaruh yang tidak dapat dielakkan dalam berbagai kejadian alam, lingkungan sosial, dan budaya masyarakat. IMTAQ merupakan dasar dan pedoman dan IPTEK merupakan alat dan media yang sangat mempengaruhi perjalanan dunia ini. Lalu bagaimana Al-Qur’an menyikapinya? Jelas sekali bahwa Al-Qur’an dalam hampir setiap ayatnya, mengulas dan membahas mengenai pengaruh IMTAQ dan IPTEK terhadap alam, sosial, dan budaya. Dalam makalah ini, penulis akan berusaha sedikit mengulas tentang bagaimana IMTAK dan IPTEK mempengaruhi alam, sosial, dan budaya, serta bagaimana
Al-Qur’an
sebagai
pedoman
hidup
manusia
menyikapinya.
1
BAB II PEMBAHASAN A. IMTAQ Secara bahasa iman berarti pembenaran (tashdiq) yang pasti dan tidak terkandung keraguan di dalamnya. Pembenaran yang dimaksud dari iman ini meliputi dua perkara, yaitu membenarkan segala berita, perintah, dan larangan, serta melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan- laranganNya. Adapun secara istilah, Ahlus Sunnah wal Jamaah berpemahaman bahwa iman adalah ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan. Sebagian mereka ada pula yang mendefinisikan iman dengan ‘ucapan dan amalan’ atau ‘ucapan, amalan, dan niat’ namun semua pengertian tentang iman ini tidaklah saling bertentangan. Jadi Iman terdiri dari tiga bagian: Pertama, keyakinan hati dan amalan hati dan Rasul-Nya sebagaimana firman Allah: , yakni keyakinan dan pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah. “Dan
orang
yang
membawa
kebenaran
(Muhammad)
dan
membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. ” (Az-Zumar: 33-34) Adapun amalan hati di antaranya adalah niat yang benar, ikhlas, cinta, tunduk dan semacamnya terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaiman firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 2 atau yang lainnya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. ”
2
Kedua, ikrar lisan dan amalan lisan. Ikrar lisan yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengakui konsekuensi dari keduanya. Rasulullah bersabda yang artinya: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan La Ilaha Illallah dan bahwasanya aku adalah Rasulullah. (Shahih, HR Bukhari dan Muslim) Sedangkan amalan lisan adalah sebuah amalan yang tidak bisa terlaksana kecuali dengan lisan, seperti membaca Al Qur’an, dzikir, tasbih, tahmid, takbir, do’a istighfar, dan lain-lain. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizqi yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (Fathir: 29) Ketiga, amalan anggota badan yaitu sebuah amalan yang tidak terlaksana kecuali dengan anggota badan seperti ruku’, sujud, jihad, haji dan lain-lain. Allah berfirman dalam surat Al-Haj ayat 77-78, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan agar kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenarbenarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” Allah memerintahkan kita supaya menjadi orang-orang yang bertaqwa sehingga untuk itu Allah menjanjikan banyak hal kepada orang-orang bertaqwa. Taqwa adalah sumber bagi segala kekayaan. Memiliki taqwa artinya memiliki segalanya, yakni segala kesenangan lahiriah dan batiniah.
3
Orang bertaqwa, dengan jabatan tinggi yang disandang, dia tidak sombong. Dengan kekayaan yang dimiliki, dia tidak bakhil. Dengan ilmu yang yang tinggi, dia tidak berlagak dan takabur. Kalau dia miskin, dia akan akan terjauh dari sifat dengki. Alangkah hebat dan bijaknya orang yang mengejar ketaqwaan. Karena taqwa mengatasi segala nilai pangkat, derajat, gaji besar, banyak harta dan lainlain. Taqwa adalah satu derajat tertinggi di sisi Allah. Kalau manusia dapat memperolehnya, jadilah dia manusia yang agung dan mulia. Allah berfirman: " Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah kamu yang paling bertaqwa." (Al Hujurat: 13) Cara hidup orang bertaqwa berbeda sekali dengan cara hidup orang yang tidak bertaqwa. Bedanya bagaikan langit dengan bumi. Baik dalam hal hidup dalam rumah tangga, dalam jemaah, dalam negeri atau dalam negara. Bagi orang-orang yang bertaqwa, banyak perkara yang pelik dan keramat yang berlaku. Kalau ada masyarakat dan pemimpin dalam satu negara yang bertaqwa, maka Allah akan datangkan pertolongan ghaib yang luar biasa.
B. IPTEK Ilmu Pengetahuan adalah pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda dan syarat tertentu, yaitu: sistematik, rasional, empiris, umum dan kumulatif. Objek Ilmu Pengetahuan 1. Objek materia: seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu. 2. Objek forma: objek materia yang disoroti oleh suatu ilmu, sehingga membedakan ilmu satu dengan ilmu lainnya, jika berobjek materia sama. Pada garis besarnya, objek ilmu pengetahuan ialah alam dan manusia. Beberapa cabang ilmu pengetahuan yaitu: 1. Ilmu Pengetahuan Alam 2. Ilmu Kemasyarakatan 3. Ilmu Humaniora
4
Sikap ilmiah adalah sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap ilmuwan dalam melakukan tugasnya (memelajari, meneruskan, menolak/menerima serta mengubah/menambah suatu ilmu). Sikap yang seharusnya dimiliki oleh ilmuwan adalah: 1. skeptif (ragu dan sanksi), 2. penasaran (minat, hasrat dan semangat), 3. objektif (menghindari sikap subjektif, emosi, prasangka), 4. jujur intelektual 5. lain-lain (rendah hati, lapang dada, toleran, sabar dsb.). Fungsi ilmu pengetahuan adalah: 1. Deskriptif, 2. Pengembangan, 3. Prediksi, 4. Kontrol. Tegasnya, fungsi ilmu pengetahuan adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia di dalam pelbagai bidangnya. Beberapa metode ilmu pengetahuan yaitu: 1. Koleksi 2. Observasi 3. Seleksi 4. Klasifikasi 5. Interpretasi 6. Generalisasi 7. Perumusan hipotesis 8. Verifikasi/pengujian 9. Evaluasi/penilaian 10. Perumusan teori 11. Perumusan dalil/hukum.
5
Batas dan relativitas ilmu pengetahuan yaitu: 1. Tidak semua persoalan manusia dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan. 2. Nilai kebenaran ilmu pengetahuan itu positif (sampai saat ini) dan relatif (tidak mutlak). 3. Masalah-masalah yang di luar jangkauan ilmu pengetahuan diserahkan kepada filsafat. Teknologi adalah satu ciri yang mendefinisikan hakikat manusia yaitu bagian dari sejarahnya meliputi keseluruhan sejarah. Teknologi, menurut Djoyohadikusumo (1994, 222) berkaitan erat dengan sains (science) dan perekayasaan (engineering). Dengan kata lain, teknologi mengandung dua dimensi, yaitu science dan engineering yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sains mengacu pada pemahaman kita tentang dunia nyata sekitar kita, artinya mengenai ciri-ciri dasar pada dimensi ruang, tentang materi dan energi dalam interaksinya satu terhadap lainnya. Definisi mengenai sains menurut Sardar (1987, 161) adalah sarana pemecahan masalah mendasar dari setiap peradaban. Tanpa sains, lanjut Sardar (1987, 161) suatu peradaban tidak dapat mempertahankan struktur-struktur politik dan sosialnya atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat dan budayanya. Sebagai perwujudan eksternal suatu epistemologi, sains membentuk lingkungan fisik, intelektual dan budaya serta memajukan cara produksi ekonomis yang dipilih oleh suatu peradaban. Pendeknya, sains, jelas Sardar (1987, 161) adalah sarana yang pada akhirnya mencetak suatu peradaban, dia merupakan ungkapan fisik dari pandangan dunianya. Sedangkan rekayasa, menurut Djoyohadikusumo (1994, 222) menyangkut hal pengetahuan objektif (tentang ruang, materi, energi) yang diterapkan di bidang perancangan (termasuk mengenai peralatan teknisnya). Dengan kata lain, teknologi mencakup teknik dan peralatan untuk menyelenggarakan rancangan yang didasarkan atas hasil sains. Seringkali diadakan pemisahan, bahkan pertentangan antara sains dan penelitian ilmiah yang bersifat mendasar (basic science and fundamental) di satu
6
pihak dan di pihak lain sains terapan dan penelitian terapan (applied science and applied research). Namun, satu sama lain sebenarnya harus dilihat sebagai dua jalur yang bersifat komplementer yang saling melengkapi, bahkan sebagai bejana berhubungan; dapat dibedakan, akan tetapi tidak boleh dipisahkan satu dari yang lainnya (Djoyohadikusumo 1994, 223). Makna Teknologi, menurut Capra (2004, 106) seperti makna ‘sains’, telah mengalami perubahan sepanjang sejarah. Teknologi, berasal dari literatur Yunani, yaitu technologia, yang diperoleh dari asal kata techne, bermakna wacana seni. Ketika istilah itu pertama kali digunakan dalam bahasa Inggris di abad ketujuh belas, maknanya adalah pembahasan sistematis atas ‘seni terapan’ atau pertukangan, dan berangsur-angsur artinya merujuk pada pertukangan itu sendiri. Pada abad ke-20, maknanya diperluas untuk mencakup tidak hanya alatalat dan mesin-mesin, tetapi juga metode dan teknik non-material. Yang berarti suatu aplikasi sistematis pada teknik maupun metode. Sekarang sebagian besar definisi teknologi, lanjut Capra (2004, 107) menekankan hubungannya dengan sains. Ahli sosiologi Manuel Castells seperti dikutip Capra (2004, 107) mendefinisikan teknologi sebagai ‘kumpulan alat, aturan dan prosedur yang merupakan penerapan pengetahuan ilmiah terhadap suatu pekerjaan tertentu dalam cara yang memungkinkan pengulangan. Akan tetapi, dijelaskan oleh Capra (107) teknologi jauh lebih tua daripada sains. Asal-usulnya pada pembuatan alat berada jauh di awal spesies manusia, yaitu ketika bahasa, kesadaran reflektif dan kemampuan membuat alat berevolusi bersamaan. Sesuai dengannya, spesies manusia pertama diberi nama Homo habilis (manusia terampil) untuk menunjukkan kemampuannya membuat alat-alat canggih. Dari perspektif sejarah, seperti digambarkan oleh Toynbee (2004, 35) teknologi merupakan salah satu ciri khusus kemuliaan manusia bahwa dirinya tidak hidup dengan makanan semata. Teknologi merupakan cahaya yang menerangi sebagian sisi non material kehidupan manusia. Teknologi, lanjut Toynbee (2004, 34) merupakan syarat yang memungkinkan konstituen-
7
konstituen non material kehidupan manusia, yaitu perasaan dan pikiran , institusi, ide dan idealnya. Teknologi adalah sebuah manifestasi langsung dari bukti kecerdasan manusia. Dari pandangan semacam itu, kemudian teknologi berkembang lebih jauh dari yang dipahami sebagai susunan pengetahuan untuk mencapai tujuan praktis atau sebagai sesuatu yang dibuat atau diimplementasikan serta metode untuk membuat atau mengimplementasikannya. Dua pengertian di atas telah digantikan oleh interpretasi teknologi sebagai pengendali lingkungan seperti kekuasaan politik di mana kebangkitan teknologi Barat telah menaklukkan dunia dan sekarang telah digunakan di era dunia baru yang lebih ganas. Untuk memperjelas statement tersebut, kita coba menelaah teknologi secara lebih dalam lagi. Melihat substansi teknologi secara lebih komprehensif, yaitu konsepsi teknologi dari kerangka filsafat.
C. Alam, Sosial, dan Budaya Alam ialah seluruh zat dan energi, khususnya dalam bentuk esensinya. Dalam skala, "alam" termasuk segala sesuatu dari semesta pada subatom. Ini termasuk seluruh hal binatang, tanaman, dan mineral; seluruh sumber daya alam dan peristiwa (hurrikan, tornado, gempa bumi). Juga termasuk perilaku binatang hidup, dan proses yang dihubungkan dengan benda mati. Sumber Daya Alam (biasa disingkat SDA) adalah segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. SDA dibagi menjadi dua, yaitu,SDA yang dapat diperbaharui dan SDA yang tidak dapat diperbaharui. SDA yang dapat diperbaharui meliputi air, tanah, tumbuhan dan hewan. SDA ini harus kita jaga kelestariannya agar tidak merusak keseimbangan ekosistem. SDA yang tidak dapat diperbaharui itu contohnya barang tambang yang ada di dalam perut bumi seperti minyak bumi, batu bara, timah dan nikel. Kita harus menggunakan SDA ini seefisien mungkin. Sebab, seperti batu bara, baru akan terbentuk kembali setelah jutaan tahun kemudian. SDA juga dapat dibagi menjadi SDA hayati' dan SDA non-hayati.
8
1. SDA hayati adalah SDA yang berasal dari makhluk hidup. Seperti: hasil pertanian, perkebunan, pertambakan dan perikanan. 2. SDA non-hayati adalah SDA yang berasal dari makhluk tak hidup (abiotik). Seperti: air, tanah, barang-barang tambang. Pemanfaatan
SDA:
Tumbuhan
Manfaat
tumbuhan
antara
lain:
Menghasilkan oksigen bagi manusia dan hewan Mengurangi polusi karena dapat menyerap karbondioksida yang dipakai tumbuhan untuk proses fotosintesis Mencegah terjadinya erosi, tanah longsor dan banjir Bahan industri, misalnya kelapa sawit bahan industri minyak goreng Bahan makanan, misalnya padi menjadi beras Bahan minuman, misalnya teh dan jahe Persebaran sumber daya alam tidak selamanya melimpah. ada beberapa sumber daya alam yang terbatas jumlahnya. terkadang dalam proses pembentukannya membutuhkan jangka waktu yang relatif lama dan tidak dapat di tunggu oleh tiga atau empat generasi keturunan manusia. Sosial dapat berarti kemasyarakatan, dengan gejala sebagai berikut: 1. Struktur sosial - urutan derajat kelas sosial dalam masyarakat mulai dari terendah sampai tertinggi. Contoh: kasta. 2. Diferensiasi sosial - suatu sistem kelas sosial dengan sistem linear atau tanpa membeda-bedakan tinggi-rendahnya kelas sosial itu sendiri. Contoh: agama. 3. Integrasi sosial - pembauran dalam masyarakat, bisa berbentuk asimilasi, akulturasi, kerjasama, maupun akomodasi. Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain).
9
Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan. Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada: masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis, masyarakat bercocoktanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional. Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapat masyarakat band, suku, chiefdom, dan masyarakat negara. Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama. Diferensiasi sosial merupakan perbedaan seseorang dilihat dari suku bangsa, ras, agama, klan, dan sebagainya. Pada intinya hal-hal yang terdapat dalam diferensiasi itu tidak terdapat tingkatan-tingkatan, namun yang membedakan satu individu dengan individu yang lainnya adalah sesuatu yang biasanya telah ia bawa sejak lahir. contohnya saja, suku sunda dan suku batak memiliki kelebihan masing-masing. jadi seseorang tidak bisa menganggap suku bangsanya lebih baik, karena itu akan menimbulkan etnosentrisme dalam masyarakat. diferensiasi merupakan perbedaan yang dapat kita lihat dan kita rasakan dalam masyarakat, bukan untuk menjadikan kita berbeda tingkat sosialnya seperti yang terjadi di Afrika Selatan.
10
Integrasi sosial memiliki 2 pengertian, yaitu : 1. Pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu 2. Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu Sedangkan yang disebut integrasi sosial adalah jika yang dikendalikan, disatukan, atau dikaitkan satu sama lain itu adalah unsur-unsur sosial atau kemasyarakatan. Suatu integrasi sosial di perlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya. Menurut pandangan para penganut fungsionalisme struktur sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas dua landasan berikut : 1. Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus (kesepakatan) di antara sebagian besar anggota masyarakat tentang nilainilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental (mendasar) 2. Masyarakat terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliation). Setiap konflik yang terjadi di antara kesatuan sosial dengan kesatuan sosial lainnya akan segera dinetralkan oleh adanya loyalitas ganda (crosscutting loyalities) dari anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial. Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar masyarakat memiliki kesepakatan tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata sosial Bentuk integrasi sosial: 1. Asimilasi, yaitu pembauran kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli. 2. Akulturasi, yaitu penerimaan sebagian unsur-unsur asing tanpa menghilangkan kebudayaan
11
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yang mana akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan
12
lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
D. Al-Qur’an Berbicara tentang IMTAQ dan IPTEK yang Berpengaruh terhadap Alam, Sosial, dan Budaya Al-Quran Al-Karim, yang terdiri atas 6.666 ayat itu, menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam raya dan fenomenanya. Uraian-uraian sekitar persoalan tersebut sering disebut ayat-ayat kawniyyah. Tidak kurang dari 750 ayat yang secara tegas menguraikan hal-hal di atas. Jumlah ini tidak termasuk ayat-ayat yang menyinggungnya secara tersirat. Tetapi, kendatipun terdapat sekian banyak ayat tersebut, bukan berarti bahwa Al-Quran sama dengan Kitab Ilmu Pengetahuan, atau bertujuan untuk menguraikan hakikat-hakikat ilmiah. Ketika Al-Quran memperkenalkan dirinya sebagai tibyanan likulli syay'i (QS 16:89), bukan maksudnya menegaskan bahwa ia mengandung segala sesuatu, tetapi bahwa dalam Al-Quran terdapat segala pokok petunjuk menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Al-Ghazali dinilai sangat berlebihan ketika berpendapat bahwa "segala macam ilmu pengetahuan baik yang telah, sedang dan akan ada, kesemuanya terdapat dalam Al-Quran". Dasar pendapatnya ini antara lain adalah ayat yang berbunyi, Pengetahuan Tuhan kami mencakup segala sesuatu (QS 7:89). Dan bila aku sakit Dialah Yang Menyembuhkan aku (QS 26:80). Tuhan tidak mungkin dapat mengobati kalau Dia tidak tahu penyakit dan obatnya. Dari ayat ini disimpulkan bahwa pasti Al-Quran, yang merupakan Kalam/Firman Allah, juga mengandung misalnya disiplin ilmu kedokteran. Demikian pendapat Al-Ghazali dalam Jawahir Al-Qur'an. Di sini, dia mempersamakan antara ilmu dan kalam, dua hal yang pada hakikatnya tidak selalu seiring. Bukankah tidak semua apa yang diketahui dan diucapkan?! Bukankah ucapan tidak selalu menggambarkan (seluruh) pengetahuan? Al-Syathibi, yang bertolak belakang dengan Al-Ghazali, juga melampaui batas kewajaran ketika berpendapat bahwa "Para sahabat tentu lebih
13
mengetahui tentang kandungan Al-Quran" tetapi dalam kenyataan tidak seorang pun di antara mereka yang berpendapat seperti di atas. "Kita," kata Al-Syathibi lebih jauh, "tidak boleh memahami Al-Quran kecuali sebagaimana dipahami oleh para sahabat dan setingkat dengan pengetahuan mereka." Ulama ini seakanakan lupa bahwa perintah Al-Quran untuk memikirkan ayat-ayatnya tidak hanya tertuju kepada para sahabat, tetapi juga kepada generasi-generasi sesudahnya yang tentunya harus berpikir sesuai dengan perkembangan pemikiran pada masanya masing-masing. Seperti dikemukakan di atas bahwa Al-Quran berbicara tentang alam dan fenomenanya. Paling sedikit ada tiga hal yang dapat dikemukakan menyangkut hal tersebut: 1. Al-Quran memerintahkan atau menganjurkan kepada manusia untuk memperhatikan dan mempelajari alam raya dalam rangka memperoleh manfaat dan kemudahan-kemudahan bagi kehidupannya, serta untuk mengantarkannya kepada kesadaran akan Keesaan dan Kemahakuasaan Allah SWT. 2. Alam dan segala isinya beserta hukum-hukum yang mengaturnya, diciptakan, dimiliki, dan di bawah kekuasaan Allah SWT serta diatur dengan sangat teliti. 3. Redaksi ayat-ayat kawniyyah bersifat ringkas, teliti lagi padat, sehingga pemahaman atau penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut dapat menjadi sangat bervariasi, sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing penafsir. Dalam kaitan dengan butir ketiga di atas, perlu digarisbawahi beberapa prinsip dasar yang dapat, atau bahkan seharusnya, diperhatikan dalam usaha memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang mengambil corak ilmiah. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah 1. Setiap Muslim, bahkan setiap orang, berkewajiban untuk mempelajari dan memahami Kitab Suci yang dipercayainya, walaupun hal ini bukan berarti
bahwa
setiap
orang
bebas
untuk
menafsirkan
atau
14
menyebarluaskan pendapat-pendapatnya tanpa memenuhi seperangkat syarat-syarat tertentu. 2. Al-Quran diturunkan bukan hanya khusus ditujukan untuk orang-orang Arab ummiyyin yang hidup pada masa Rasul saw. dan tidak pula hanya untuk masyarakat abad ke-20, tetapi untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran serta dituntut menggunakan akalnya dalam rangka memahami petunjuk-petunjuk-Nya. Dan kalau disadari bahwa akal manusia dan hasil penalarannya dapat berbeda-beda
akibat
latar
belakang
pendidikan,
kebudayaan,
pengalaman, kondisi sosial, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka adalah wajar apabila pemahaman atau penafsiran seseorang dengan yang lainnya, baik dalam satu generasi atau tidak, berbeda-beda pula. 3. Berpikir secara kontemporer sesuai dengan perkembangan zaman dan iptek dalam kaitannya dengan pemahaman Al-Quran tidak berarti menafsirkan Al-Quran secara spekulatif atau terlepas dari kaidah-kaidah penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli yang memiliki otoritas dalam bidang ini. 4. Salah satu sebab pokok kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan AlQuran adalah keterbatasan pengetahuan seseorang menyangkut subjek bahasan ayat-ayat Al-Quran. Seorang mufasir mungkin sekali terjerumus kedalam kesalahan apabila ia menafsirkan ayat-ayat kawniyyah tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang astronomi, demikian pula dengan pokok-pokok bahasan ayat yang lain. Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pokok di atas, ulama-ulama tafsir memperingatkan perlunya para mufasir untuk menyadari sepenuhnya sifat penemuan-penemuan ilmiah, serta memperhatikan secara khusus bahasa dan konteks ayat-ayat Al-Quran. Disepakati oleh semua pihak bahwa penemuan-penemuan ilmiah, di samping ada yang telah menjadi hakikat-hakikat ilmiah yang dapat dinilai telah
15
memiliki kemapanan, ada pula yang masih sangat relatif atau diperselisihkan sehingga tidak dapat dijamin kebenarannya. Atas dasar larangan menafsirkan Al-Quran secara spekulatif, maka sementara
ulama
Al-Quran
tidak
membenarkan
penafsiran
ayat-ayat
berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah yang sifatnya belum mapan. Seorang ulama berpendapat bahwa "Kita tidak ingin terulang apa yang terjadi atas Perjanjian Lama ketika gereja menafsirkannya dengan penafsiran yang kemudian ternyata bertentangan dengan penemuan para ilmuwan." Ada Pula yang berpendapat bahwa "Kita berkewajiban menjelaskan Al-Quran secara ilmiah dan biarlah generasi berikut membuka tabir kesalahan kita dan mengumumkannya." Abbas Mahmud Al-Aqqad memberikan jalan tengah. Seseorang hendaknya jangan mengatasnamakan Al-Quran dalam pendapat-pendapatnya, apalagi dalam perincian penemuan-penemuan ilmiah yang tidak dikandung oleh redaksi ayat-ayat Al-Quran. Dalam hal ini, AlAqqad memberikan contoh menyangkut ayat 30 Surah Al-Anbiya' yang oleh sementara ilmuwan Muslim dipahami sebagai berbicara tentang kejadian alam raya, yang pada satu ketika merupakan satu gumpalan kemudian dipisahkan Tuhan. Setiap orang bebas memahami kapan dan bagaimana terjadinya pemisahan itu, tetapi ia tidak dibenarkan mengatasnamakan Al-Quran menyangkut pendapatnya, karena Al-Quran tidak menguraikannya. Setiap Muslim berkewajiban mempercayai segala sesuatu yang dikandung oleh Al-Quran, sehingga bila seseorang mengatasnamakan Al-Quran untuk membenarkan satu penemuan atau hakikat ilmiah yang tidak dicakup oleh kandungan redaksi ayat-ayat Al-Quran, maka hal ini dapat berarti bahwa ia mewajibkan setiap Muslim untuk mempercayai apa yang dibenarkannya itu, sedangkan hal tersebut belum tentu demikian. Pendapat yang disimpulkan dari uraian Al-Aqqad di atas, bukan berarti bahwa ulama dan cendekiawan Mesir terkemuka ini menghalangi pemahaman suatu ayat berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan. Tidak! Sebab, menurut Al-Aqqad lebih lanjut, "Dahulu ada ulama yang memahami arti 'tujuh
16
langit' sebagai tujuh planet yang mengitari tata surya sesuai dengan perkembangan pengetahuan ketika itu. Pemahaman semacam ini merupakan ijtihad yang baik sebagai pemahamannya (selama) ia tidak mewajibkan atas dirinya untuk mempercayainya sebagai akidah dan atau mewajibkan yang demikian itu terhadap orang lain." Bint Al-Syathi' dalam bukunya, Al-Qur'an wa Al-Qadhaya Al-Washirah, secara tegas membedakan antara pemahaman dan penafsiran. Sedangkan AlThabathaba'i, mufasir besar Syi'ah kontemporer, lebih senang menamai penjelasan makna ayat-ayat Al-Quran secara ilmiah dengan nama tathbiq (penerapan). Pendapat-pendapat di atas agaknya semata-mata bertujuan untuk menghindari jangan sampai Al-Quran dipersalahkan bila di kemudian hari terbukti teori atau penemuan ilmiah tersebut keliru. Seperti yang telah dikemukakan di atas, para mufasir mengingatkan agar dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran seseorang dituntut untuk memperhatikan segi-segi bahasa Al-Quran serta korelasi antar ayat. Sebelum menetapkan bahwa ayat 88 Surah Al-Naml (yang berbunyi, Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan), ini menginformasikan pergerakan gununggunung, atau peredaran bumi, terlebih dahulu harus dipahami kaitan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya. Apakah ia berbicara tentang keadaan gunung dalam kehidupan duniawi kita dewasa ini atau keadaannya kelak di hari kemudian. Karena, seperti diketahui, penyusunan ayat-ayat Al-Quran tidak didasarkan pada kronologis masa turunnya, tetapi pada korelasi makna ayatayatnya, sehingga kandungan ayat terdahulu selalu berkaitan dengan kandungan ayat kemudian. Demikian pula halnya dengan segi kebahasaan. Ada sementara orang yang berusaha memberikan legitimasi dari ayat-ayat Al-Quran terhadap penemuan-penemuan ilmiah dengan mengabaikan kaidah kebahasaan. Ayat 22 Surah Al-Hijr, diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama dengan, "Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-
17
tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit ..." Terjemahan ini, di samping mengabaikan arti huruf fa; juga menambahkan kata tumbuh-tumbuhan sebagai penjelasan sehingga terjemahan tersebut menginformasikan bahwa angin berfungsi mengawinkan tumbuh-tumbuhan. Hemat penulis, terjemahan dan pandangan di atas tidak didukung oleh fa anzalna min al-sama' ma'a yang seharusnya diterjemahkan dengan maka kami turunkan hujan. Huruf fa' yang berarti "maka" menunjukkan adanya kaitan sebab dan akibat antara fungsi angin dan turunnya hujan, atau perurutan logis antara keduanya sehingga tidak tepat huruf tersebut diterjemahkan dengan dan sebagaimana tidak tepat penyisipan kata tumbuh-tumbuhan dalam terjemahan tersebut. Bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa menterjemahkan lawaqiha dengan meniupkan juga kurang tepat. Kamus-kamus bahasa mengisyaratkan bahwa kata tersebut digunakan antara lain untuk menggambarkan inseminasi. Sehingga, atas dasar ini, Hanafi Ahmad menjadikan ayat tersebut sebagai informasi tentang fungsi angin dalam menghasilkan atau mengantarkan turunnya hujan, semakna dengan Firman Allah dalam surah Al-Nur ayat 43: Tidakkah kamu lihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)-nya, kemudian dijadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya. Memang, seperti yang dikemukakan di atas, sebab-sebab kekeliruan dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran antara lain adalah kelemahan dalam bidang bahasa Al-Quran, serta kedangkalan pengetahuan menyangkut objek bahasan ayat. Karena itu, walaupun sudah terlambat, kita masih tetap menganjurkan kerja sama antar disiplin ilmu demi mencapai pemahaman atau penafsiran yang tepat dari ayat-ayat Al-Quran dan demi membuktikan bahwa Kitab Suci tersebut benar-benar bersumber dari Allah Yang Maha Mengetahui lagi Mahaesa itu.
18
BAB III PENUTUP Dari ulasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Iman adalah ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan. 2. Taqwa adalah melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi laranganNya, karena itu kehidupan orang bertaqwa senantiasa membawa pengaruh dalam seluruh aspek kehidupannya dan lingkungan sekitarnya. 3. Ilmu Pengetahuan adalah pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda dan syarat tertentu, yaitu: sistematik, rasional, empiris, umum dan kumulatif. 4. Teknologi adalah satu ciri yang mendefinisikan hakikat manusia, yaitu bagian dari sejarahnya meliputi keseluruhan sejarah. Teknologi berkaitan erat dengan sains, yang merupakan sarana pemecahan masalah mendasar dari setiap peradaban. 5. Alam ialah seluruh zat dan energi, khususnya dalam bentuk esensinya. Alam termasuk segala sesuatu dari semesta pada subatom, yaitu seluruh hal binatang, tanaman, mineral, dan peristiwa (hurrikan, tornado, gempa bumi). 6. Sosial dapat berarti kemasyarakatan, dimana masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup, dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. 7. Budaya atau kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. 8. Al-Quran Al-Karim, yang terdiri atas 6.666 ayat itu, menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam raya dan fenomenanya. 9. Dalam hal ini, jelas sekali bahwa iman dan taqwa seseorang sangat mempengaruhi alam, sosial, dan budaya, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi
menjadi
jalan
dan
alat
utama
dalam
implementasinya.
19
DAFTAR PUSTAKA • Aji, 2008, Teknologi, http://ajidedim.wordpress.com/ • Al-Atsari, Abu Hamzah Yusuf, 2007, Hakikat iman syariah, http://asysyariah.com/ • Muhammad, Ashaari, 2007, Taqwa Adalah Kemuliaan, http://kawansejati.ee.itb.ac.id •
Shihab, Quraish, 1996, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan
• Zakaria, Mumuh M., 2008, ILMU PENGETAHUAN, http://blogs.unpad.ac.id/mumuhmz • http://id.wikipedia.org
20