DEPARTEMEN KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN
BALAI TEKNOLOGI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI Alamat : Jl. Ahmad-Yani Pabelan PO.BOX. 295 Surakarta. 57102
BTPDAS 09 34.5 03 2000 LAPORAN KAJIAN IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI TINGKAT KERUSAKAN LAHAN AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DENGAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI KAWASAN BARAT INDONESIA 1999/2000
KAJIAN IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI TINGKAT KERUSAKAN LAHAN AKIBAT KEBAKARAN DENGAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG Oleh : Beny Harjadi, C.Nugroho, S.P. dan Teguh Setiaji RINGKASAN Lahan bekas kebakaran berakibat kurangnya unsur hara, hilangnya humus atau bahan organik dari tanah serta rusaknya sifat fisik dan kimia tanah bagi pertumbuhan tanaman. Pemanfaatan kembali lahan tersebut sesuai dengan peruntukkan semula diperlukan tenggang waktu lama dan pengolahan tanah yang memadai. Kajian ini dimaksudkan untuk melihat permasalahan lahan dan identifikasi penyebab kebakaran juga tingkat kerusakannya. Lokasi penelitian terletak di Kota Jambi Propinsi Jambi, berdasarkan indeks peta rupa bumi skala 1:25.000 sampai 1:50.000, kota Jambi terletak pada koordinat 103o 30’ 00” BT - 104o 45’ 00” BT dan 1o 15’ 00” LS - 2o 00’ 00” LS. Pada lahan bekas kebakaran dideteksi dengan menggunakan empat citra yaitu 2 dari citra Landsat (Landsat 1,2,3 satu skene dan Landsat TM satu kwadran) serta 2 citra NOAA. Kondisi lokasi Jambi pada kawasan dan diluar kawasan hutan sebagian besar bergambut. Daerah bergambut berjenis tanah Organosol (Histosols) dan Glei humus dengan tebal solum diatas 200 cm. Sedangkan pada tanah an-organik (mineral) sebagian besar berjenis tanah Podsolik Merah Kuning (Ultisols). Fisiografi lahan dengan topografi datar (0-8%) yang berdekatan dengan laut. Sebagian besar daratan bertopografi berombak sampai berbukit (8-25%). Ketinggian tempat antara 0 - 75 m dpl (dari permukaan laut). Curah hujan berkisar antara 2000 2500 mm/th dengan tipe iklim A menurut Schimdt dan Ferguson. Daerah yang terbakar di Jambi seluas 19.306,07 ha, meliputi kawasan hutan 6.673,27 ha dan diluar kawasan hutan 12.632,80 ha. Kawasan hutan yang terbakar termasuk didalamnya hutan lindung (500 ha), hutan produksi (5.417,27 ha), taman nasional (572 ha), dan taman hutan raya (130 ha). Selanjutnya diluar kawasan hutan yang terbakar meliputi Perkebunan (7.211,80 ha), Transmigrasi (1.464 ha), dan Lahan masyarakat (3.457 ha). Asal api kebakaran dimungkinkan dari beberapa sebab, antara lain : Ladang masyarakat, Pembakaran dalam rangka pembersihan badan jalan, Penebangan kayu liar atau perambah hutan, Percikan dari perkebunan yang berbatasan, Menyala tiba-tiba tanpa sebab yang jelas, Bukaan peladang (berpindah), dan Pembakaran disengaja.
ii
Pemantauan atau deteksi kondisi lahan bekas terbakar dengan menggunakan citra satelit akan semakin akurat jika dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut : • menggunakan citra satelit yang terbaru. • menggunakan citra satelit yang pengambilan gambarnya dilakukan pada musim panas (bulan April sampai September). • relatif sedikit distorsi gangguan atmosfer (awan, hujan dll) atau pada batas yang masih dapat ditolerir ( < 10%). Kanal 2 pada Landsat TM tahun 1992 merupakan kanal dinamis yang dapat memantau obyek muka bumi secara sempurna, walaupun masing-masing kanal memiliki kepekaan yang berbeda. Sedangkan citra Landsat TM tahun 1997 untuk kanal 6 dan kanal 3 merupakan kanal yang dinamis untuk memantau daerah rawan terbakar dan penutupan vegetasi. Hasil klasifikasi berbantuan menunjukkan bahwa kondisi Jambi taun 1992 dan 1997 sebagian besar lahan pertanian (25 % dan 38 %) dan selanjutnya hutan sekunder (41,4 % dan 32,7 %). Perbedaan pada kondisi tahun 1992 dan 1997 untuk Hutan primer dan Semak belukar. Dimana semak belukar meningkat atau bertambah dari 15,6 % menjadi 21,3 %. Sedangkan hutan primer dari tahun 1992 ke 1997 menurun dari 17,6 % menjadi 7,9 %. Hal tersebut mengindikasikan adanya penebangan kayu pada hutan primer besar-besaran dan selanjutnya ditinggalkan merana menjadi semak belukar tanpa ada pengelolaan lebih lanjut. Prosentase besarnya lokasi yang terbakar berat yaitu sebesar 19% (79.864 ha), terbakar ringan 38% (159.728 ha), dan tidak terbakar 43% (180.744 ha). Prosentase kerusakan menyebar atau pada daerah yang mengalami kebakaran berat, hanya terjadi pada daerah gambut. Selanjuntnya Kampung, Gambut, Tegal dan Hutan masingmasing telah mengalami kebakaran pada tingkat ringan dan sedang yaitu sebesar : Kampung (22% dan 6%), Gambut (8% dan 14%), Tegal (9% dan 12%) serta Hutan (4% dan 6%).
Kata Kunci : Kebakaran, Citra Landsat, GIS, Gambut, Hutan, Klasifikasi Citra
iii
KATA PENGANTAR Maksud kegiatan kajian berikut untuk Identifikasi lahan dan Klasifikasi tingkat kerusakan dalam rangka inventarisasi potensi lahan yang tersisa serta besarnya kerugian material dan kerusakan lahan. Hal tersebut dimaksudkan pengelolaan rehabilitasi lahan bekas kebakaran agar dapat berfungsi secara lestari dan optimal kembali sesuai dengan peruntukkannya. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka dengan telah selesainya laporan tentang “KAJIAN IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI TINGKAT KERUSAKAN LAHAN AKIBAT KEBAKARAN DENGAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG” kami ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Atasan Langsung Kegiatan Pengkajian dan Penerapan Hasil Penelitian BTPDAS Surakarta, Ir. Djoko Tri Hardjanto beserta Staf yang telah membantu pengalokasian dana dan koordinasinya, sehingga penelitian ini dapat selesai tepat pada waktunya. 2. Seluruh Staf dan Karyawan HPH dan HPHTI di Jambi, Dinas Kehutanan Tingkat I Jambi dan Dinas Perkebunan Tingkat I Jambi, serta Kanwil Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Jambi, BIPHUT dan BRLKT Jambi, atas segala dukungan yang telah diberikan sehingga kegiatan survai dapat terlaksana dengan baik. 3. Tim yang telah menyusun dan menyelesaikan kajian ini, antara lain : Ir. Beny Harjadi, MSc dan Ir. C.Nugroho, S.P., MSc. yang telah menulis laporan ini dan kegiatan lainnya, Teguh Setiaji, S.Hut. dan R.Bambang WMP serta rekan-rekan lain yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung kegiatan di kantor dan juga survai di lapangan. 4. Seluruh Staf BTPDAS yang telah mendukung kelancaran penyelesaian teknis maupun non teknis sehingga kegiatan ini dapat berjalan dengan lancar. Akhirnya laporan berikut tidak terlepas dari segala kekurangannya, sehingga saran dan kritik dalam rangka meningkatkan kualitas penelitian dimasa yang akan datang sangat kami harapkan.
Kepala Balai,nnnnn
Dr.Ir.D.Mulyadhi, MSc. NIP. 080 057 527
iv
DAFTAR ISI
RINGKASAN………………………………………………………………………. KATA PENGANTAR……………………………………………………………… DAFTAR ISI……………………………………………………………………….. DAFTAR TABEL………………………………………………………………….. DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………….. DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………..
Hal ii iv v vi viii ix
I. PENDAHULUAN……………………………………………………………….. A. Latar Belakang…………………………………………………….. B. Maksud dan Tujuan………………………………………………..
1 1 3
II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………… A. Sinyal Radiometri………………………………………………… 1. Distorsi Citra Satelit……………………………………………….. 2. Tampilan Refleksi Permukaan dengan Panjang Gelombang………. 3. Histogram Refleksi Spektral Obyek Muka Bumi………………….. 4. Band Spektral untuk Obyek Tanah dan Vegetasi………………….. B. Analisa Citra Satelit……………………………………………. 1. Histogram Perbaikan Warna Tampilan Citra………………………. 2. Pengkelasan Secara Metrik………………………………………… 3. Klasifikasi Berbantuan dan Tidak Berbantuan…………….
4 4 4 6 8 10 12 12 14 16
III. METODOLOGI………………………………………………………. a. Informasi Sumber Data Dasar……………………… b. Parameter yang diamati…………………………….. c. Survai Lapangan…………………………………… d. Analisa Data………………………………………... e. Pemetaan…………………………………………….. IV. DESKRIPSI LOKASI………………………………………………… A. Lokasi Jambi………………………………………………………. B. Lokasi Kebakaran…………………………………………………. 1. PT.Putra Duta Indah Wood (PDIW)………………… 2. PT. Wirakarya Sakti (WKS)……………………….. 3. PT. Dyera Hutan Lestari (DHL)…………………… 4. PT. Wanakasita Nusantara (WKN) …………………. 5. PT. Rimba Karya Indah (RKI)………………………
17 17 19 19 19 20 22 22 25 33 35 35 37 37
V. PELAKSANAAN KEGIATAN…………………………………………..
38 v
1. Studi Literatur dan Pembuatan RPTP……………… 2. Persiapan dan Inventarisasi Kebutuhan Peta………… 3. Deliniasi Peta………………………………………… 4. Survai Utama dan Pengambilan Sampel…………….. 5. Analisa Citra Satelit dan Aplikasi SIG……………… 6. Analisa Sampel dan Data……………………………. 7. Survai Akhir dan Evaluasi…………………………… 8. Pembuatan Data Base, Pemetaan dan Pelaporan…….
38 38 39 39 40 41 41 41
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………………………….. A. Penyebab Kebakaran dan Penanggulangannya…………………… B. Kerugian Akibat Kebakaran……………………………………… C. Hasil Analisa Citra Landsat TM………………………………….. D. Klasifikasi Tingkat Kerusakan Lahan…………………………….. E. Identifikasi Kerusakan Lahan…………………………………….. F. Klasifikasi Tingkat Kerusakan dan Besarnya Kerugian…………… G. Inventarisasi Kondisi Lahan Bekas Terbakar……………………..
42 42 43 46 51 55 57 61
V. KESIMPULAN……………………………………………………………….. A. Kesimpulan………………………………………………………. B. Saran………………………………………………………………
64 64 65
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….. LAMPIRAN……………………………………………………………………….
66 67
vi
DAFTAR TABEL Hal 1.
Titik-titik Lokasi Kejadian Kebakaran di Jambi Tahun 1997…………
23
2.
Karakteristik Citra Tahun 1992 dan 1997…………………………….
23
3.
Kondisi Lahan Sebelum dan Setelah Kejadian Kebakaran di Jambi….
32
4.
Citra Satelit Landsat 1, 2, 3 Tahun 1992………………………………
48
5.
Citra Satelit Landsat TM Tahun 1997…………………………………
49
6.
Klasifikasi Tak Berbantuan Citra Landsat Tahun 1992 dan 1997…….
53
7.
Hasil Klasifikasi Berbantuan Citra Landsat tahun 1992 dan 1997……
57
8.
Tingkat Kerusakan Lahan dari Hasil Analisis Klasifikasi Berbantuan..
57
9.
Inventarisasi Kondisi Lahan Bekas Terbakar
61
vii
DAFTAR GAMBAR
1.
Distorsi Citra Satelit : Adanya Transmisi, Absorbsi, dan Refleksi Obyek..
Hal 5
2.
Tampilan Refleksi Permukaan dengan Panjang Gelombang……………..
7
3.
Histogram Refleksi Spektral Obyek Muka Bumi…………………………
9
4.
Band Spektral untuk Obyek Tanah dan Vegetasi…………………………
13
5.
Histogram Perbaikan Warna Tampilan Citra……………………………..
15
6.
Pengkelasan Secara Metrik……………………………………………….
17
7.
Contoh Satelit Pemantau Cuaca dan Pengamatan Sumber Daya Bumi…..
18
8.
Sinyal Reflektan yang Diwujudkan dari Nilai Digital Sebagai Ciri Spesifik Karakter Obyek di Muka Bumi…………………………………..
21
9.
Citra Landsat Seperempat Skene
24
10.
Kebakaran Terbesar di Jambi Tahun 1997 Seluas 19.306,07 Hektar……..
25
11.
Hot Spot Kebakaran Bulan Juli 1997………………………………………
26
12.
Hot Spot Kebakaran Bulan Agustus 1997…………………………………
27
13.
Prosentase Kawasan Hutan Terbakar di Jambi Tahun 1997………………
31
14.
Prosentase Hutan Produksi Terbakar, di Jambi Tahun 1997………………
31
15.
Prosentase Kebakaran diluar Kawasan Hutan, di Jambi Tahun 1997……..
34
16.
Prosentase Kebakaran Lokasi Perkebunan, di Jambi Tahun 1997…………
34
17.
Lokasi Kebakaran Tahun 1997 Milik HPH dan HPHTI di Jambi…………
36
18.
Citra Landsat Beberapa Lokasi Kebakaran Berdasarkan Informasi Hot Spot Citra NOAA………………………………………………………….
44
19.
Gabungan Citra Landsat 1992, Peta HPH dan Citra NOAA 1997 di Jambi.
47
20.
Prosentase Perubahan Penutupan Lahan di Jambi dari Tahun 1992 sampai 1997………………………………………………………………………..
54
21.
Tingkat Kerusakan Lahan Akibat Kebakaran Hutan………………………
56
22.
Prosentase Luas pada Masing-Masing Tingkat Kerusakan Akibat
23.
Kebakaran…………………………………………………………………
58
Citra Landsat Hasil Klasifikasi Berbantuan pada Liputan Kebakaran…….
62
DAFTAR LAMPIRAN
viii
Hal 1.
Prosentase Kebakaran Milik HPHTI, di Jambi Tahun 1997………………
67
2.
Prosentase Kebakaran pada Unit Pemukiman Transmigrasi Tahun 1997…
67
3.
Data Tekstur Tanah dan Sifat Kimia Tanah di PT. WKS (Wana Kasita Nusantara)………………………………………………………………….
68
ix
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kebakaran besar yang melanda kawasan hutan dan sekitarnya meliputi sebagian besar Sumatra, Kalimantan dan Irian Jaya telah menimbulkan kerugian yang amat besar. Disamping itu juga berdampak pada kerusakan lingkungan akibat kabut asap, selanjutnya untuk reklamasi atau penanaman kembali tanaman hutan memerlukan waktu yang lama dalam rangka menciptakan iklim mikro seperti keadaan sebelumnya. Berbeda dengan bencana yang disebabkan oleh hama dan penyakit, kebakaran hutan dapat memusnahkan atau berkurangnya hutan dalam waktu singkat dan satuan luas dengan jumlah kerugian yang besar. Sebagai contoh pada kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1983 telah memusnahkan 3,6 juta hektar di Kalimantan mengakibatkan kerugian negara sebesar US $ 5,6 Milyar sampai 7,4 Milyar (SubDit Kebakaran Hutan Ditjen PHPA, 1998). Kebakaran hutan disamping telah menyebabkan bencana kerugian beribu-ribu hektar dan kehilangan produksi hasil hutan yang tinggi juga terjadi gangguan asap dari bahan terbakar yang akan mengganggu kesehatan penduduk. Kebakaran hutan sejak awal tahun sembilan puluhan terjadi setiap tahun, dimana luas kebakaran hutan terkecil terjadi pada tahun 1996 seluas 6.705,58 hektar dan terluas pada tahun 1997 seluas 201.145,55 hektar (Subdit Kebakaran Hutan Ditjen PHPA, 1998). Kebakaran hutan tidak hanya terjadi pada kawasan hutan saja tetapi telah merembet ke daerah sekitarnya yaitu meliputi : Pertanian lahan kering, Budidaya pertanian, Pertanian transmigran, Penanaman, Pemukiman transmigrasi, Daerah penghutanan kembali, Kebun karet dan Hutan alam.
x
Tahun 1997 merupakan tahun keprihatinan bagi Indonesia, dimana musim kemarau menjadi lebih panjang dan lebih kering dari biasanya sebagai dampak dari gejala cuaca yang lebih dikenal dengan istilah El-Nino. Kemarau panjang dan kering ini mengakibatkan kebakaran lahan (hutan dan non hutan) serta menimbulkan gangguan asap yang meluas kemana-mana bahkan sampai ke negara tetangga. Salah satu propinsi di Indonesia yang menjadi korban El-Nino adalah propinsi Jambi. Berdasarkan laporan para pemegang HPH yang disampaikan kepada Kanwil Dephutbun propinsi Jambi, pada tahun tersebut lahan di Propinsi Jambi yang terbakar seluas 19.305.27 ha meliputi kawasan hutan dan diluar kawasan hutan. Akibat yang ditimbulkan dari lahan bekas kebakaran adalah berkurangnya unsur hara, hilangnya humus atau bahan organik dari tanah serta rusaknya sifat fisik dan kimia tanah bagi pertumbuhan tanaman. Sehingga untuk pemanfaatan kembali lahan tersebut sesuai dengan peruntukkan semula diperlukan tenggang waktu lama dan pengolahan tanah yang memadai. Bertitik tolak dari permasalahan lahan bekas kebakaran maka diperlukan suatu “Kajian Identifikasi dan Klasifikasi Tingkat Kerusakan Lahan Akibat Kebakaran Hutan dengan Teknik Penginderaan Jauh dan SIG”.
Kajian tersebut dimaksudkan untuk
melihat permasalahan lahan dan identifikasi penyebab kebakaran maupun juga tingkat kerusakannya sehingga dapat diklasifikasikan tingkat kemampuan lahan untuk pengelolaan dimasa mendatang. Adapun teknik yang dikembangkan dalam kajian ini adalah memadukan antara hasil analisa gambar dari citra satelit dengan dukungan variasi data lapangan serta aplikasi komponen SIG. B. Maksud dan Tujuan
xi
Maksud kajian ini adalah untuk Identifikasi lahan dan Klasifikasi tingkat kerusakan dalam rangka inventarisasi potensi lahan bekas terbakar serta besarnya kerugian material dan kerusakan lahan.
Hal tersebut dimaksudkan pengelolaan
rehabilitasi lahan bekas kebakaran agar dapat berfungsi secara optimal kembali sesuai dengan peruntukkannya. Tujuan kegiatan kajian ini lebih rinci, antara lain : a) Identifikasi kerusakan lahan b) Klasifikasi tingkat kerusakan dan besarnya kerugian c) Inventarisasi kondisi lahan bekas terbakar.
xii
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sinyal Radiometri 1. Distorsi Citra Satelit Distorsi citra satelit disebabkan oleh kejadian alam khususnya atmosfer yang tidak dapat dihindarkan tapi perlu diperhitungkan dalam melakukan koreksi radiometri setiap citra satelit.
Gangguan atau distorsi oleh atmosfer tersebut adalah adanya
gangguan transmisi, absorbsi, dan refleksi (Gambar 1). Semakin tinggi sinar yang ditransmisi maka akan semakin menurun sinar yang direfleksikan, hal tersebut masih harus dilihat besarnya absorbsi pada setiap panjang gelombang tertentu. Absorbsi sinar terendah pada panjang gelombang sinar sekitar 1000 λnm. Sebaliknya tertinggi pada panjang gelombang sinar 500 λnm. Dengan adanya transmisi, absorbsi dan refleksi oleh atmosfer pada sinar yang dipancarkan matahari dan ditangkap oleh satelit akan menyebabkan distorsi citra satelit yang dihasilkan.
Distorsi yang disebabkan oleh perubahan intensitas sinar yang
tertangkap oleh satelit dilakukan dengan koreksi radiometri. Dengan koreksi radiometri diharapkan sinar pantulan yang dihasilkan pada saat analisa radiometri dapat sesuai dengan pola umum untuk masing-masing obyek setiap kanal. Koreksi radiometri berbeda dengan koreksi geometri yang ditekankan pada pembetulan intensitas pencahayaan yang tertangkap dan didudukkan pada kondisi normal dengan kegiatan normalisasi citra yang dapat dilakukan dengan format yang telah ada atau menggunakan model buatan tertentu (Tejasukmana, 1998).
xiii
2. Tampilan Refleksi Permukaan dengan Panjang Gelombang Refleksi permukaan akan dipantulkan sempurna pada kondisi muka bumi dengan topografi yang relatif datar (Gambar 2). Sebaliknya sinar tidak akan dipantulkan pada kondisi topografi yang sangat bergelombang (kasar). Semakin sempurna pantulan sinar yang tertangkap satelit maka akan semakin mendekati dengan kondisi asli yang sebenarnya di lapangan. Sebaliknya semakin tidak ada pantulan sinar yang direfleksikan dan diterima oleh satelit maka akan menyebabkan kehilangan informasi karena gambar yang tampak adalah gelap (hitam). Perbedaan antara Band X (3-4 cm) dengan Band L (15-30 cm) akan berpengaruh terhadap sinar refleksi yang dikembalikan. Dimana dengan semakin panjangnya panjang gelombang walaupun kondisi lahannya kasar masih dimungkinkan untuk dipantulkan secara sempurna. Sebaliknya semakin rendah panjang gelombang yang rendah sinar refleksi akan dipantulkan secara sempurna untuk daerah yang benar-benar datar. Kondisi yang amat sangat kasar memungkinkan sinar pantulan tidak akan dikembalikan sama sekali untuk sinar dengan panjang gelombang yang relatif panjang (Band L). Sinar yang tidak dikembalikan mengakibatkan gambar yang terekam relatif gelap atau hitam, sehingga obyek membentuk bayangan hitam yang tidak nampak pola maupun teksturnya.
xiv
3. Histogram Refleksi Spektral Obyek Muka Bumi Refleksi spektral sebagai sinyal setiap obyek penutupan lahan atau penggunaan lahan tertentu mencirikan dengan baik perbedaan kenampakan sinar radiometri. Sehingga dengan demikian setiap kenampakan obyek muka bumi yang telah ditunjukkan oleh sinyal tersebut akan mempermudah memilahkan antara penamaan obyek satu dengan obyek lainnya (Gambar 3). Sebagai contoh untuk perbedaan antara tanah dalam keadaan terbuka dengan air dan salju maupun perbedaannya dengan tanah yang ada vegetasinya.
Begitu juga
vegetasi tersebut dapat dibedakan antara vegetasi sehat dengan yang sakit. Pendeteksiaan tersebut akan semakin mudah untuk citra satelit yang memiliki banyak kanal/band untuk satu kali proses perekaman gambar (Girard dan Girard, 1989). Walaupun demikian citra dengan sedikit kanal pun sudah cukup untuk membedakan antara obyek satu dengan obyek lainnya. Sebagai contoh untuk citra satelit SPOT memiliki tiga kanal dengan bentang sinar refleksi pada sinar tampak yaitu untuk kanal 1 (biru), kanal 2 (hijau), dan kanal 3 (merah). Sehingga yang perlu diperhatikan hanya histogram refleksi spektral pada kisaran sinar tampak saja.
Dari gambar
histogram tersebut dapat dilihat bahwa ke tujuh obyek dapat dibedakan secara nyata antara salju, vegetasi tanpa klorofil, vegetasi klorofil, vegetasi sakit, air berputar, air dan tanah. Pola refleksi sinyal spektral berlaku secara umum untuk semua obyek yang ada dimuka bumi. Sedangkan untuk jenis yang lebih spesifik tidak berbeda jauh dengan pola refleksi spektral yang berlaku secara umum.
xv
4. Band Spektral untuk Obyek Tanah dan Vegetasi Setiap satelit akan memiliki kepekaan band/kanal yang berbeda dan skala citra yang berbeda pula. Misalnya untuk Landsat MSS menggunakan kanal 4, 5, 6 dan 7 sedangkan Landsat TM menggunakan kanal 1,2,3,4,5, dan 7 (Gambar 4). Semakin banyak kanal yang dimiliki oleh setiap citra maka akan semakin sempurna deteksi setiap obyek muka bumi. Sebagai contoh untuk citra satelit SPOT yang hanya memiliki kanal 1, 2, dan 3 maka hanya mampu mendeteksi obyek bumi pada sinar tampak. Sedangkan Landsat mampu mendeteksi obyek diluar sinar tampak yaitu menggunakan kanal Infra Merah. Begitu juga untuk NOAA-AVHRR yang hanya memiliki 2 kanal hampir tidak dapat mengidentifikasikan obyek penutupan lahan secara sempurna.
Disamping itu
NOAA juga memiliki skala rendah, tetapi cakupan satu skene cukup luas, dan frekwensi pengambilan setiap hari 2 kali, mengakibatkan NOAA salah satu satelit yang baik untuk memantau perubahan kondisi secara amat sangat cepat khususnya perubahan iklim/cuaca. Perbedaan jendala-jendala panjang gelombang karena kapasitas jumlah kanal yang berbeda untuk masing-masing satelit akan mengakibatkan perbedaan refleksi sinar yang dihasilkan untuk setiap jenis obyek. Dari rentang panjang gelombang dan jumlah kanal yang dimiliki untuk citra satelit Landsat nampaknya memiliki kapasitas yang paling besar, yaitu mampu mendeteksi daerah yang tidak nampak oleh kasat mata karena malam hari atau sebab lain serta dapat memantau daerah yang memiliki potensi untuk terjadinya kebakaran yang ditangkap oleh kanal termik (Soemarsono, 1998).
xvi
B. Analisa Citra Satelit 1. Histogram Perbaikan Warna Tampilan Citra Perbaikan citra satelit sebelum dilakukan analisis dengan komputer dimulai dengan perbaikan penampilan gambar citra satelit dengan berbagai fasilitas yang ada antara lain kejelasan, kontras, dan tingkat keabuan (Gambar 5). Penggambaran dinamik mengandung : histogram, LUT dari penggambaran, dan histogram penggambaran kembali. Selanjutnya karakteristik zone interes terdiri dari : penggambaran dinamik dan binarisasi. Tingkat inisial dan tingkat final memiliki nilai dari 0 sampai 255 yang menunjukkan grid tingkat keabu-abuan gambar tampilan. Dimana selalu membentuk kurva binari yaitu ada satu titik puncak dan dua titik ekstrim rendah (minimal) dan ekstrim tinggi (maksimal). Karakteristik zone interes yang selalu membentuk binarisasi dan menggambarkan pola dinamik merupakan karakter umum untuk setiap histogram pada saat melakukan perbaikan pada pembetulan tampilan warna pada citra satelit. Perbaikan dapat dilakukan satu kanal per kanal atau sekaligus semua kanal bersamaan. Untuk itu perlu juga diketahui bahwa Landsat 1, 2, 3 memiliki kaptor RBV (Return Beam Vidicon) yang memiliki 3 Band (Kanal) dan satu kaptor MSS (Multispectral Scanning System) dengan 4 band spektral yang beresolusi 56 x 79 m. Selanjutnya Landsat 4 dan 5 dengan kaptor yang sama pada MSS dengan band yang sama. Disamping itu ada kaptor TM (Thematic Mapper) dengan 7 band spektral : Band 1 (450-520 nm), Band 2 (530-610 nm), Band 3 (620-690 nm), Band 4 (780-910 nm), Band 5 (1,57-1,78 µm), Band 6 (10,4-12,6 µm), dan Band 7 (2,10-2,35 µm).
xvii
2. Pengkelasan Secara Metrik Pengkalasan secara metrik dapat ditempuh dengan 4 cara, yaitu (Gambar 6): a. Pengkelasan Quadratik Perhitungan menunjukkan kondisi ideal untuk Q = ⎜∑⎜
1/p
.∑
-1
Titik-titik untuk jarak yang sama dalam satu kelas terletak elipsoid memusat pada barisentrik kelas. Sumbu dari elipsoid paralel terhadap arah utama dari kabut untuk tiap-tiap kelas. Fungsi deskriminan pada kasus ini adalah jaraknya sendiri. Aturan keputusan konsisten terhadap tindakan satu titik citra pada kelas dimana jarak tersebut adalah minimum. b. Pengkelasan Elliptik Kondisi sebelumnya ditunjukkan dengan rumus sebagai berikut : qp = 1/σp. (π σp)
1/p
Titik-titik pada jarak yang sama dalam suatu kelas terletak elipsoid memusat pada barisentrik kelas.
Sumbu dari elipsoid
paralel pada sumbu koordinat, dan
panjangnya proporsional pada penyebaran. Aturan keputusan adalah sama dengan sebelumnya. c. Pengkelasan Barisentrik Pada beberapa algoritme kita definisikan untuk setiap kelas pada suatu kombinasi linier untuk distribusi penyebaran nyata yang berbeda atribut. d. Pengkelasan Berdekatan Tetangga Jarak yang digunakan eucludien, tanpa hipotesa pada distribusi atributnya.
Jika
diantara K lebih dekat bertetangga dari X (dalam ruang atribut), berada untuk suatu mayoritas mutlak titik yang terkait dengan contoh kelas Cq, dan titik X ditandai pada kelas Cq. e. Pengkelasan dengan Pendekatan Aritmatik Kelas didefinisikan oleh adanya data digital pada ruang atribut. Definisi domain pada setiap kelas dapat terbentuk oleh beberapa pasangan data digital.
Metode ini
digunakan sebagai tindakan interaktif.
xviii
3. Klasifikasi Berbantuan dan Tidak Berbantuan Mengolah data spektral dan tekstural dalam dimensi n. Kegiatan klasifikasi diawali dengan pemilihan obyek yang diperlukan, misalnya hutan dan berbantuan hutan serta jenis hutan. Klasifikasi terdiri dari dua metode : a) Klasifikasi tak berbantuan (Unsupervised Classification) Manfaat : ⇒ sarana memperoleh gambar piktoral piksel yang belum terklasifikasikan ⇒ estimasi parameter klasifikasi Maximum likelihood/Kesamaan maksimum b) Klasifikasi Berbantuan (Supervised Classification) 1. klasifikasi dengan jarak minimum terhadap nilai rerata (minimum distance to means classification) 2. klasifikasi batas minimum-maksimum (parallelipiped classification) 3. klasifikasi kesesuaian maksimum (maximum-likelihood/gaussian classification).
xix
III. METODOLOGI
a. Informasi Sumber Data Dasar Bahan dan Alat yang diperlukan antara lain : Citra Satelit, Foto Udara, Petapeta, ARC-Info dan Erdas-Imagine. Adapun keperluan data dasar sebagai data sekunder untuk keperluan perencanaan sebelum melakukan identifikasi di lapangan, antara lain berupa citra satelit, beberapa peta, foto udara, dan berbagai sumber laporan. Citra NOAA untuk mendeteksi pada saat kebakaran telah terjadi, sedangkan citra SPOT atau Landsat untuk menganalisa, identifikasi dan klasifikasi kerusakan lahan setelah kebakaran. Perbedaan wahana citra satelit SPOT, Landsat dan NOAA dapat dilihat pada Gambar 7. Mengingat keunikan dan kekomplekan kondisi di Indonesia diperlukan juga beberapa informasi berupa peta-peta lokasi antara lain : Peta kawasan rawan, Peta ketersediaan pemadaman (alam atau buatan), Peta jalur evakuasi, dan Peta lain yang diperlukan sebelum, saat dan setelah kebakaran.
xx
1. Eropa 1977-1984 2. Geostationer 35.800 km 3. Tetap/statis 4. 30 menit sekali 5. Vertikal 6. Lebar 13.000 km 7. Kanal 3 Band 8. Resolusi/piksel 2,5-5 km NOAA 9. 1:2.000.000-1:8.000.000 10. Meteorologi & Agroklimat 1. USA tahun 1972-1984 2. Heliosinkron 700-900 km 3. Keliling 16-18 hari 4. Periode ulang 16-18 hari 5. Vertikal 6. Lebar liputan 180 km 7. Kanal 4 Band 8. Resolusi 79 x 56 m 9. 1:100.000-1:200.000 10. Identifikasi kultur
Meteosat
Landsat 1,2,3,4,5
Landsat 4-5
1. Perancis tahun 1986-1997 2. Orbit Heliosinkron 632 km 3. Keliling 26 hari 4. Periode ulang 26-35 hari 5. Vertikal dan Oblik (Miring) 6. Lebar liputan 60 km 7. 3 Band XS & 1 Band P 8. 20 m XS dan 10 m P 9. 1:50.000-1:200.000 XS 1:25.000-1:100.000 P 10. Bioklimat, Identifikasi kultur, Kartografi tematik, Kartografi topografi
1. USA tahun 1978-1983 2. Orbit Heliosinkron 850 km 3. Keliling 16 hari 4. Berulang 12 jam sekali 5. Vertikal 6. Lebar 3.000 km 7. Kanal 5 Band 8. Resolusi/piksel 1 - 3 km 9. 1:500.000-1:2.000.000 10. Agroklimat & Bioklimat 1. USA tahun 1982-1984 2. Orbit Heliosinkron 700 km 3. Waktu keliling 16 hari 4. Putaran ulang 16 hari 5. Vertikal 6. Lebar liputan 180 km 7. Kanal 7 Band 8. Piksel 30 m & 120 m (Band 6) 9. 1:100.000-1:500.000 10. Identifikasi kultur, Kartografi Tematik
SPOT
WAHANA
1. Asal negara & Tahun pembuatan 2. Orbit dan Altitude (Ketinggian) 3. Waktu tempuh keliling Bumi 4. Pengulangan lokasi yang sama 5. Sudut pandang 6. Luas pandang pengamatan 7. Jumlah band spketral 8. Resolusi (Ukuran Piksel/Elemen) 9. Skala Peta 10. Bidang penggunaan
LANDSAT 180 km NOAA 3.000 km METEOSAT 13.000 km METEOSAT : Meteorologi Satelit LANDSAT : Land satelit NOAA : National Oceanographic and Atmospheric Administration SPOT : Satelit Probatoire Pour l’Observation de la Terre Geostationer : Keliling bumi secara berulang dan tetap Heliosinkron : Keliling selaras dengan sinar matahari
Gambar 7. Contoh Satelit Pemantau Cuaca dan Pengamatan Sumber Daya Bumi xxi
b. Parameter yang diamati Parameter yang diamati meliputi areal yang terbakar dan tingkat kerusakan, meliputi : ⇒ deliniasi areal yang terbakar ⇒ deliniasi tingkat kerusakan ⇒ klasifikasi tingkat kerusakan
c. Survai Lapangan Sebelum Survai lapangan didahului dengan konsultasi ke beberapa instansi yang terkait dan orientasi menyeluruh daerah yang akan dikunjungi dengan citra satelit resolusi tinggi (Landsat atau SPOT). Survai lapangan dimasudkan untuk melengkapi data SIG dengan inventarisasi, identifikasi dan klasifikasi kerusakan dan jumlah kerugian.
d. Analisa Data Analisa data, berupa data citra satelit untuk deteksi bekas kebakaran hutan dan identifikasi serta klasifikasi tingkat kerusakan, selanjutnya analisa data lapangan dengan berbagai informasi tentang inventarisasi potensi lahan dan kesesuaian pengembangan jenis tanaman baru dalam rangka aplikasi SIG.
xxii
Dasar yang dipergunakan untuk analisa berpedoman pada sinyal radiometri masing-masing obyek dimuka bumi (Gambar 8). Data yang dikumpulkan di lapangan meliputi beberapa hal antara lain : 1. Identifikasi kerusakan lahan 2. Pengukuran areal yang terbakar 3. Klasifikasi tingkat kerusakan hutan 4. Menghitung kerugian secara ekonomis 5. Inventarisasi kondisi fisik lahan.
e. Pemetaan Penyajian kajian selain dalam bentuk laporan juga diwujudkan dalam bentuk Peta yang merupakan hasil dari analisa citra satelit dengan aplikasi SIG sebagai pelengkap informasi data lapangan.
23
Σ Kolom = 3365 Citra Liputan Penelitian dipotong dari Skene citra SPOT Multispektral ukuran 60 km x 60 km
Σ Garis = 3001
Σ Piksel = ΣKolom x Σ Garis
Nilai Digital Citra Liputan
Biru
Kanal Biru
234 235 236 237 238 239
Hijau
235
35
35
99
99
99
9
236
35
35
35
99
99
9
237 35
36
36
99
102
238
36
99
102 102
35
Kanal Hijau
Kanal Merah
Merah B (Xi, Yi)
HISTOGRAM WARNA
Piksel/Elemen
Koreksi Tampilan : Kontras Kecerahan Warna
20 cm
99
99
Piksel
Piksel
M (Xi, Yi) XS1 Histogram Radiometri Tiga Kanal
XS3
XS1
XS2
Titik Koordinat Xi,Yi Xi : Absis Yi : Ordinat
Dua Kanal
Garis Linier : Relief Topografi Panjang Garis
XS3
Garis Poligon : Perimeter Luas Poligon
XS3
Setiap Obyek dicirikan oleh sinyal Reflektan yang berbeda Nilai digital merupakan sinar pantulan yang ditangkap satelit
XS2 Gambaran Tiga Dimensi Kontur Relief
XS2
XS1
Gambar 8. Sinyal Reflektan yang Diwujudkan dari Nilai Digital Sebagai Ciri Spesifik Karakter Obyek di Muka Bumi
IV. DESKRIPSI LOKASI
A. Lokasi Jambi Penelitian tentang “Kajian Identifikasi dan Klasifikasi Tingkat Kerusakan Lahan Akibat Kebakaran Hutan dengan Teknik Penginderaan Jauh dan SIG” dilaksanakan di kota Jambi, Propinsi Jambi, Sumatra. Lokasi tersebut mewakili daerah yang terbakar di Sumatra dan terletak pada koordinat lintang dan bujur sebagai berikut : 1o 15’ 00” LS - 2o 00’ 00” LS dan 103o 30’ 00” BT - 104o 45’ 00” BT. Kondisi lokasi Jambi pada kawasan hutan maupun diluar kawasan hutan sebagian besar bergambut dan berdekatan dengan laut selat berhala.
Pada daerah
bergambut, berjenis tanah Organosol dan Glei humus dengan tebal solum diatas 200 cm. Sedangkan pada tanah an-organik (mineral) sebagian besar berjenis tanah Podsolik Merah Kuning (Ultisols). Fisiografi lahan dengan topografi datar (0-8%) berdekatan dengan laut, sedangkan menjorok kearah daratan bertopografi berombak sampai berbukit (8-25%). Ketinggian tempat antara 0-75 m dpl (dari permukaan laut). Curah hujan berkisar antara 2000 - 2500 mm/th dengan tipe iklim A menurut Schimdt dan Ferguson. Kota Jambi dilewati sungai Batanghari, sehingga memiliki wilayah DAS Batanghari dan sekitarnya, selanjutnya sungai tersebut bercabang dua muara menuju ke selat berhala. Kebakaran hutan yang terjadi pada kawasan hutan meliputi hutan produksi, reboisasi dan taman nasional serta alang-alang. Beberapa titik-titik lokasi kebakaran hutan antara lain (Tabel 1) :
xxv
Tabel 1. Titik-titik Lokasi Kejadian Kebakaran di Jambi Tahun 1997 Lokasi Kebakaran Pemilik Koordinat Titik Mercator HPH X Y 1. PT. Putra Duta Indah Wood PT. PDIW -1324511,757 -173791,360 2. PT. Dyera Hutan Lestari
PT. DHL
-1339686,695
-142429,821
3. PT. Wira Karya Sakti
PT. WKS
-1424666,347
-114609,102
4. PT. Wana Kasita Nusantara
PT. WKN
-1408985,578
-162663.072
5. PT. Rimba Karya Indah
PT. RKI
-1345250,839
-205658,730
Penetapan lokasi kebakaran pada kawasan hutan tersebut berdasarkan laporan dari para pemilik HPH maupun HPHTI. Selanjutnya lokasi titik-titik kebakaran tersebut sebagai sampel kejadian kebakaran untuk mendeteksi daerah lain yang belum dilaporkan atau termonitor. Dalam rangka analisa citra satelit pada lokasi bekas kebakaran (Tabel 2) menggunakan citra Landsat tahun 1992 dan 1997 dengan karakter citra sebagai berikut :
Tabel 2. Karakteristik Citra Tahun 1992 dan 1997 Parameter Citra Landsat 1992 Koordinat Mercator 1. Koordinat Sudut X Y
Citra Landsat 1997 Koordinat UTM X Y
•
Kiri Atas
-1470191,161
-59979,325
256.182
0.500
•
Kiri Bawah
-1506105,181
-232467,787
51.636
-2943.500
•
Kanan Atas
-1287586,074
-85776,720
3404.728
-14.110
•
Kanan Bawah
-1324511,757
-258771,012
3222.098
-2958.110
2. Ukuran : Panjang (p) Lebar (l) Perimeter (P) Luas (L) 2. Jumlah Kanal/Band
185 km 185 km 740 km 3.422.500 ha 3
30 km 30 km 120 km 90.000 ha 7
3. Bulan Pengambilan
Juli
Agustus
xxvi
4. Tampalan
1 Skene
1 Kwadran (1/4 Skene)
Disamping itu lokasi kebakaran tahun 1997 juga merambah ke daerah diluar kawasan hutan yaitu didaerah Transmigrasi, Perkebunan dan Lahan Masyarakat. Dari peta liputan Landsat skala 1 : 5.000.000 bahwa lokasi tersebut terletak pada baris 61 dan kolom 125 untuk citra Landsat wilayah yang terkena musibah kebakaran . 1015-11
1015-12
Kuala
Lembur
Mendahara
Luar
1014-51
1014-52
1014-53
1014-54
Kampung
Muara
Nipah
Sungai
Lama
Sabak
Panjang
Lokan
1014-41
1014-42
1014-15
1014-25
Sangeti
Suak
Jebug
Air hitam
Kandis
Laut
1014-13
1014-14
1014-23
1014-24
1014-32
Jambi
Bangsa
Simpang
Benuh
Sungai
Kubu
Kanan
Terusanluar
0914-32
1014-11
1014-12
1014-21
1014-31
Betubang
Tempino
Sungai
Sungai
Teluk
Medak
Merang
Benuang
1013-43
1013-44
1013-53
Bayung
Muara
Muara
Lencir
Mendak
Merang
Gambar 9. Citra Landsat Seperempat Skene dan Peta Topografi Lokasi diatas pada Citra Landsat ¼ Skene (satu Kwadran) atau seperempat bagian dari satu tampalan normal citra Landsat yang berukuran 185 x 185 km. Gambar 9, seperempat bagian skene tersebut dapat ditutupi Peta Topografi skala 1:25.000
xxvii
sebanyak 9 lembar. Dalam hal ini kedudukan citra satelit selalu miring karena mengikuti jalur orbit satelit (Circulaire dan Elliptique).
B. Lokasi Kebakaran Lokasi liputan kebakaran hutan tahun 1997 terbesar di Sumatra yaitu di Jambi dapat dilihat dari citra Landsat (Gambar 10). Titik api kebakaran (hot spot) dari citra NOAA bulan Juli 1997 (Gambar 11) dan Agustus 1997 (Gambar 12). Data kebakaran yang terjadi di kota Jambi tahun 1997 untuk lahan pada kawasan hutan dan diluar kawasan hutan sebesar 19.305,27 hektar dengan perincian sebagai berikut :
xxviii
a. Di dalam kawasan hutan = 6.673,27 ha
: PT Putra Duta Indah Wood
= = =
500,00 ha 5.471,27 ha 2.400,00 ha
: - PT. Wana Perintis
=
100,27 ha
- PT.Dyera Hutan Lestari
=
1.600,00 ha
- PT.Wana Multi Wisesa
=
22,00 ha
- PT.Wira Karya Sakti
=
238,00 ha
- PT.Wana Kasita Nusantara
=
423,00 ha
c. Reboisasi
=
221,00 ha
d.Alang-alang/Semak
=
467,00 ha
=
350,00 ha
= = =
572,00 ha 130,00 ha 6.673,27 ha
= = = = = = = = = = = = = = Total Kebakaran 1+2+3 =
7.211,80 4.026,80 300,00 1.804,00 1.081,00 1.464,00 350,00 44,00 120,00 630,00 40,00 100,00 30,00 3.957,00 12.632,00
1. Hutan Lindung 2. Hutan Produksi a. HPH b. HPHTI
f. HPK (Hutan produksi Konversi) PT. Rimba Karya Indah 3. Taman Nasional 4. Taman Hutan Raya Total Kebakaran 1+2+3+4
b. Di luar kawasan hutan I. A. B. C. D. II. A. B. C. D. E. F. G. III.
Perkebunan Kabupaten Batanghari Kabupaten Tanjung Jabung Kabupaten Sorolangun Bangko Kabupaten Bungo Tebo Transmigrasi Kuamang Kuning SP 7 A Kuamang Kuning Unit 15 Kuamang Kuning Unit 16 Kuamang Kuning Unit 19 Simpan Pandan PT. Ricky Kurniawan KP PT. Agrowiyana Lahan Masyarakat
xxix
Kawasan hutan 36% (6.673,27 ha) dan diluar kawasan hutan 64% (12.632,80 ha). Hutan produksi paling banyak mengalami kebakaran yaitu 5.821,27 ha, diikuti oleh Taman Nasional (572 ha), Hutan Lindung (500 ha) dan Taman Hutan Raya (130 ha), Gambar 13. Kebakaran hutan produksi tahun 1997 terbesar pada wilayah HPH seluas 2400 hektar dan paling sedikit pada daerah reboisasi seluas 221 ha, diantaranya urutan kebakaran yang terbesar adalah HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri) seluas 2.383,27 ha, alang-alang dan semak-semak (467 ha) dan HPK (Hutan Produksi Konversi) seluas 350 hektar (Gambar 14). Kebakaran HPHTI terluas terjadi pada PT.DHL (Dyera Hutan Lestari) seluas 1600 ha dan terendah milik PT.WMW (Wana Multi Wisesa) seluas 22 ha. Perseroan Terbatas (PT) diantaranya adalah dari yang terbesar berurutan milik PT.WKN (Wana Kasita Nusantara) seluas 423 ha, PT.WKS (Wira Karya Sakti) seluas 238 ha, dan PT. WP (Wana Perintis) seluas 100,27 ha (Lampiran 1). Dari kelima HPH yang telah mengalami kebakaran hutan pada tahun 1997, rata-rata telah mengalami perubahan kondisi fisik lahan, yaitu adanya pemadatan tanah sehingga aerasi tidak sempurna akibat terhambatnya permeabilitas dan drainase (Tabel 3).
xxx
Tabel 3. Kondisi Lahan Sebelum dan Setelah Kejadian Kebakaran di Jambi. PERUSAHAAN HPH 1. PT.PDIW
2. PT.WKS
KONDISI SEBELUM KEBAKARAN TAHUN 1992
KONDISI SESUDAH KEBAKARAN TAHUN 1997
Jenis tanah Organosol dan Glei
Bekas kebakaran sulit ditanami
humus dengan kandungan
karena masih banyak C-organik
geologi tanah Aluvium (Resen)
yang belum mengalami
dan tufa volkan, memiliki tebal
pematangan/dekomposisi akibat
solum 200 cm.
sebagian jasad renik mati
Bentuk lahan Dataran dan
Penanaman kembali tumbuh
Aluvium dengan jenis tanah
agak lambat karena Top soil
Ultisol, regolit dalam, tesktur
hilang tererosi dan terjadinya
silty clay loam warna kecoklatan pemadatan lahan berbukit 3. PT. DHL
Sebagian lahan merupakan
Kebakaran terbesar di Jambi
tanah gambut (Histosol) dan
menyebabkan rusaknya plasma
sebagian tanah mineral (Ultisol), nutfah dan struktur tanah besar dengan bencana kebakaran
serta adanya pemadatan tanah
terbesar. 4. PT.WKN
5. PT. RKI
Lahan berbukit dengan batuan
Kebakaran relatif kecil namun
beku yang telah melapuk ada
tanah kehilangan top soil dan
erosi permukaan, tanah masam,
permeabilitas lambat karena
tekstur lempung liat berdebu.
pemadatan
Tanah gambut (Histosol) dengan Bekas lahan gambut yang solum lebih dari 200 cm, dengan terbakar sulit untuk ditanami tingkat kematangan Fibrist.
kembali, apalagi pada saat lahan
Seresah mudah terbakar.
tergenang.
xxxi
Kejadian kebakaran diluar kawasan hutan adalah di Perkebunan seluas 7.211,8 ha dan diikuti lahan masyarakat (3.957 ha) dan Transmigrasi (1.464 ha), Gambar 15. Kebakaran terbesar di Perkebunan tahun 1997 terjadi pada Kabupaten Batanghari seluas 4.026 ha, dan diikuti Kabupaten Sorolangun Bangko (1.864 ha), Kabupaten Bungo Tebo (1.081 ha) dan paling sedikit terkena musibah kebakaran adalah Kabupaten Tanjung Jabung (300 ha), Gambar 16. Kebakaran lokasi Transmigrasi terluas terjadi pada UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi) di Kuamang Kuning unit 19 (630 ha) dan yang terendah adalah PT. Agrowiyana (30 ha).
Berturut-turut dari yang terbesar kebakaran terjadi pada UPT
Kuamang Kuning SP 7A (350 ha), Kuamang Kuning unit 15 (194 ha), Kuamang Kuning unit 16 (120 ha), dan PT.Ricky Kurniawan KP (100 ha) dan Simpan Pindan (40 ha), Lampiran 2.
1. PT.Putra Duta Indah Wood (PDIW) Terletak di BKPH Tanjung, KPH. Batanghari, Kec. Kumpeh, Kab. Batanghari, Prop. Jambi. PT. PDIW memiliki areal berhutan 49.150 hektar dan yang tidak berhutan seluas 11.850 hektar. Fisiografi lahan terletak pada ketinggian tempat 0 -10 m dpl dan topografi datar (0-8%) seluas 61.000 hektar. Curah hujan 2.071 mm/th, tipe iklim A (Schimdt dan Ferguson) dengan penyebaran merata pada DAS Batanghari meliputi Sub DAS Kumpeh dan Sub DAS Air hitam laut. Debit air sungai Air hitam laut, sungai kumpeh dan sungai Benu berkisar dari 1,33 sampai 18 m3/detik. Geologi tanah mengandung batuan tufa volkan seluas 451.750 hektar dan Aluvium (Resen) seluas 15.250 hektar. Jenis tanah Organosol dan Glei
xxxii
humus dengan tebal solum rata-rata 200 cm. Dari keseluruhan HPH milik PT. PDIW tercatat areal bekas tebangan (ABT) = 4630 hektar dan virgine = 4220 hektar, dengan luas kawasan hutan yang terbakar = 2750 hektar.
2. PT. Wirakarya Sakti (WKS) Terletak di Kabupaten Tanjung Jabung, kabupaten Batanghari, total luas 251.228 hektar. Tanaman yang terbakar Acasia mangium yang berjarak tanam 2 ½ x 3 m umur 2 tahun dengan kerugian ditaksir Rp. 7.500.000,-/hektar. Lahan bekas terbakar memiliki kondisi fisik lahan sebagai berikut : Bentuk lahan Dataran dan AlluviumColluvium, batuan beku telah mengalami pelapukan lanjut, jenis tanah Ultisols, memiliki kelerengan A sampai B (0-8%), tidak ada erosi dan tidak ada bangunan konservasi tanah, kemasaman tanah sangat masam, lapisan sub-soil kelihatan, dan kedalaman regolit sangat dalam, tekstur tanah Silty Clay Loam, warna tanah merah kecoklatan, dengan struktur tanah Blocky dan Granuler besar. (A36/P, Iw, Ult, A/B, 0, 0, pH =4, Sub Soil, R > 200 cm, SiCl, Merah coklat, Sb/g, Gb). Lampiran 3, Data Tekstur Tanah dan Sifat Kimia Tanah di PT. WKS (Wira Karya Sakti) dan Gambar 17, lokasi kebakaran milik HPH di Jambi.
3. PT. Dyera Hutan Lestari (DHL) Wilayah HPH PT. Dyera Hutan Lestari seluas 2103 hektar dengan tanaman utama jelutung. Luas kebakaran 1769 hektar termasuk tanaman umur 2 tahun seluas 600 hektar, sedangkan tanaman yang dapat diselamatkan seluas 244 hektar. Sumber api
xxxiii
kebakaran berasal dari : penyadap jelutung yang bermalam dan membuat api serta pembakaran lahan penduduk dipinggir sungai Batanghari yang berbatasan dengan PT. DHL.
4. PT. Wanakasita Nusantara (WKN) Luas wilayah WKN 8.873 hektar, yang terbakar seluas 423 hektar dengan tanaman pokok Sengon, Gmelina, Jati dan Alang-alang. Kondisi tanah pada daerah terbakar dan tidak terbakar adalah sebagai berikut : •
Terbakar I : Bentuk lahan berbukit, batuan beku telah melapuk lanjut, dengan kelerengan sedang (15-25%), erosi permukaan, tidak ada teras, ditumbuhi alangalang, KPL kelas III, tekstur lempung liat berdebu.
•
Terbakar II : bentuk lahan berbukit, batuan beku melapuk lanjut, lereng agak miring (8-15%), erosi permukaan, tidak berteras, tanah masam, Ultisol dengan tekstur lempung liat berdebu.
•
Tidak terbakar : bentuk lahan berbukit, batuan beku lapuk lanjut, Ultisol, lereng agak datar (4-8%), tanpa teras, masam, dan tekstur lempung liat berdebu.
5. PT. Rimba Karya Indah (RKI) Terletak di Rengas Sumpung seluas 78.000 hektar dengan tanaman jenis Dipterocarpaceae antara lain : Jelutung, Rengas, Meranti, Ramin dll. Kebakaran seluas 350 hektar pada lahan gambut Fibrist dengan kedalaman solum > 200 cm.
xxxiv
V. PELAKSANAAN KEGIATAN
1. Studi Literatur dan Pembuatan RPTP Studi literatur dengan mengumpulkan bahan bacaan dalam bentuk literatur, tulisan ilmiah, berbagai informasi terbaru yang terkait dengan teknik penginderaan jauh (Remote Sensing) dan sistem informasi geografi (Geographic Information System). Tulisan-tulisan tersebut tetap harus ada relevansinya dengan judul penelitian untuk menjaga kesinambungan ilmu dari satu periode ke periode berikutnya. Proposal yang telah dibuat ditambah dengan informasi terbaru dari berbagai media : buku, internet, elektronik, media massa dll, kemudian disusun RPTP (Rencana Penelitian Tingkat Peneliti). Dalam RPTP dijelaskan secara detil kegiatan satu kaitannya dengan kegiatan lainnya,
sehingga semua Peneliti dan Teknisi dapat melaksanakan
kegiatan penelitian dengan berpedoman pada RPTP.
2. Persiapan Inventarisasi Kebutuhan Peta Persiapan yang dilakukan sebelum penelitian dimulai adalah menyiapakan bahan dan alat serta personil yang akan terlibat dalam kegiatan dan pemilihan lokasi. Disamping itu juga dalam kegiatan persiapan melakukan inventarisasi kebutuhan perlengkapan yang sudah maupun yang belum dimiliki serta menginventarisir kebutuhan peta. Peta-peta yang diperlukan antara lain Peta : Peta Adminstrasi, Peta Topografi, Peta Tanah, Peta Geologi, Peta Situasi, dll.
3. Deliniasi Peta
xxxv
Kegiatan pertama delineasi peta adalah membatasi daerah yang menjadi wilayah penelitian, dan membatasi daerah sesuai dengan penggunaan lahan atau penutupan lahan. Dalam penelitian ini dibatasi juga pada citra satelit untuk daerah yang terkena kebakaran dengan informasi hot spot dari citra NOAA yang menggambarkan titik-titik kebakaran dan penyebarannya. Deliniasi pada citra satelit juga dapat dilakukan untuk keperluan pembatasan Catcment Area (DAS), klasifikasi penutupan lahan dll. Dari batas-batas yang telah dibuat disesuaikan dengan tujuannya pada citra satelit dapat disimpan dalam file tersendiri dengan tambahan AOI (Area of Interest). File AOI tersebut dapat diterapkan pada citra atau peta yang lain jika diperlukan.
4. Survai dan Pengambilan Sampel Sebelum survai seharusnya ada kegiatan orientasi yaitu untuk melihat ketersediaan sarana dan prasarana yang ada di lokasi dan mendata daerah yang mudah dan sulit dijangkau. Namun dalam kegiatan penelitian ini langsung diadakan survai yaitu setelah konsultasi dengan berbagai pihak yang terkait baik yang berkedudukan di Pusat, Perwakilan maupun di Daerah. Survei lapangan dilakukan dengan bantuan tenaga setempat sebagai pemandu. Pada lokasi yang terlalu jauh atau sulit dijangkau maka harus tinggal di lokasi/lapangan, sebaliknya untuk daerah yang mudah dijangkau dapat dicapai dari Kota Propinsi ke Lokasi.
5. Analisa Citra Satelit dan Aplikasi SIG
xxxvi
Analisa citra satelit diawali dengan perbaikan penampilan citra satelit yang meliputi pembetulan dalam hal warna, kejelasan, dan kontras. Setelah itu baru dilakukan beberapa koreksi untuk menyamakkan georeferensi dan mengeliminir atau manganulir distorsi. Kegiatan koreksi citra satelit meliputi dua hal, yaitu : a. Koreksi Geometri : dengan peta baku atau citra satelit yang sudah georeferensi b. Koreksi Radiometri : dengan menghilangkan gangguan band atau garis. Aplikasi SIG dengan menerapkan sistem informasi geografi kedalam citra satelit.
Kegiatan tersebut meliputi kegiatan deliniasi (digitasi peta), transformasi,
komposisi, dan ploting peta. Dalam hal ini untuk digitasi peta HPH atau peta topografi untuk memperjelas jalan atau sungai yang tidak nampak pada citra satelit karena lebarnya kurang dari 30 m (batas minimal ukuran piksel untuk citra Landsat adalah 30 x 30 m).
6. Analisa Sampel dan Data Analisa sampel yang sudah terkumpul dari pengamatan langsung di lapangan dipadukan untuk membantu dalam kegiatan klasifikasi citra satelit berbantuan. Dimana dengan klasifikasi berbantuan ditetapkan sampel lapangan yang telah didatangi sebagai sampel dalam klasifikasi, yang nantinya akan diterapkan untuk seluruh kenampakkan penutupan lahan pada citra satelit. Data dimaksud dapat berupa numerik atau deskriptif, yang meliputi data sekunder (dari instansi atau perusahaan hutan) dan data primer (pengumpulan langsung di lapangan).
7. Survai Akhir dan Evaluasi
xxxvii
Survai akhir dalam rangka melengkapi survai terdahulu jika ada hal-hal yang belum diselesaikan atau masih ada sebagian data yang masih perlu dilengkapi. Bersamaan dengan survai akhir atau pada kesempatan lain dilakukan evaluasi untuk melihat tingkat akurasi data yang telah terkumpul dengan data sebenarnya di lapangan, menganalisis metode, dan memperbaikinya dikemudian hari jika masih banyak kelemahan. Disamping itu juga tujuan dari evaluasi adalah untuk menciptakan kegiatan yang jauh lebih baik dan tidak mengulangi kesalahan atau kekurangan yang pernah dialami sebelumnya.
8. Pembuatan Data Base, Pemetaan dan Pelaporan Dari data yang terkumpul dilakukan pemasukan kedalam data base untuk keperluan analisis GIS maupun citra satelit. Pemetaan dilakukan jika semua kegiatan diatas telah dilakukan dengan baik khususnya dalam persiapan pembuatan peta dari digitasi, koreksi, analisis, data base, komposisi dan lain sebagainya. Setelah semua data dan gambar terkumpul kemudian disajikan dalam bentuk laporan yang memuat tentang metodologi, hasil dan pembahasan serta kesimpulan dan saran
xxxviii
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penyebab Kebakaran dan Penanggulangannya Sumber api penyebab terjadinya kebakaran dimungkinkan berasal dari : 1. Ladang masyarakat 2. Pembakaran dalam rangka pembersihan badan jalan 3. Penebang kayu liar dan perambah 4. Percikan api dari perkebunan yang berbatasan 5. Menyala tiba-tiba 6. Bukaan peladang (berpindah) 7. Pembakaran disengaja Pada dasarnya kebakaran hutan disebabkan 3 faktor yaitu kesengajaan, kelalaian dan pengaruh alam. Kesengajaan yaitu pada saat orang membuka ladang, perkebunan, membakar ilalang untuk perburuan dan seterusnya.
Kelalaian terjadi secara tidak
disengaja seperti oleh puntung rokok, obor, api anggun, api dapur dan sebagainya. Kejadian-kejadian tersebut timbul dan berkembang menjadi kebakaran hutan biasanya terjadi pada saat kemarau panjang dan kering, dimana bahan bakar untuk terjadinya api telah tersedia dalam jumlah teramat besar dan luas jangkauannya. Sumber api dapat berasal dari tempat-tempat yang mempunyai tingkat interaksi dengan aktivitas manusia cukup tinggi, juga dapat berasal dari gejala alam yang timbul seperti petir/kilat. Oleh karena itu dalam upaya pencegahannya perlu pendekatan kepada masyarakat dengan pendidikan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat guna mencegah terjadinya kebakaran hutan khususnya bagi
xxxix
masyarakat yang bermukim disekitar hutan maupun perikehidupannya berkaitan erat dengan hutan, disamping pendekatan-pendekatan lain secara kebijakan dan kelembagaan. Lebih penting dari hal tersebut adalah perlunya dilakukan pendekatan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar hutan.
B. Kerugian Akibat Kebakaran Secara umum dampak kebakaran dapat memberikan keuntungan maupun kerugian. Kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran ini, meskipun secara teoritis ada juga keuntungannya, sangatlah besar, baik secara sosial, ekonomi maupun ekologi. Bahkan karena besarnya dampak tersebut, kebakaran hutan sudah dianggap sebagai bencana nasional, baik akibat oleh api secara langsung maupun gangguan tidak langsung oleh asap yang ditimbulkannya (Gambar 18). Kerugian yang ditimbulkan secara ekonomi (finansial) mungkin bisa dihitung oleh perusahaan-perusahaan sebagai mana telah dilaporkan oleh PT. Dyera Hutan Lestari bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran diperkirakan telah mencapai 4,7 milyar rupiah (berdasarkan akumulasi biaya). Sementara PT.Wira Karya Sakti diperkirakan mencapai 2,26 milyar rupiah dan PT. Putra Duta Indah Wood untuk keluasan 2.750 ha yang dilaporkan, kerugian yang diderita dalam invesatasi sebesar 475 juta rupiah. Secara ekonomi kerugian timbul dari akibat terhentinya proses/kegiatan produksi, musnahnya investasi serta nilai tegakan hutan (stumpage value) itu sendiri. Sementara itu secara sosial maupun secara ekologi kerugian tersebut tidak terhitung lagi, seperti hilangnya fungsi hutan, khususnya hutan alam, sebagai sumber daya alam dan sumber daya hayati.
xl
Terbakarnya hutan berarti musnah pula sumber plasma nutfah yang menurut perhitungan S.R.Aiken dan C.H.Leigh dalam Yatim, W. dalam Lubis (1992), mencakup 40-50% dari sekitar 10 juta spesies makhluk bumi. Selain itu juga berakibat pada rusaknya lingkungan hidup serta sistem-sistem penyangga kehidupan seperti sistem hidro-orologis, filtrasi udara serta permasalahan-permasalahan lingkungan lainnya. Belum lagi dampak ikutan yang timbul seperti polusi udara (asap), erosi tanah terus menerus, perusakan sifat fisik tanah, dan hilangnya sebagian unsur kimia tanah serta peningkatan sedimentasi aliran sungai. Secara ekologis kebakaran hutan juga memberikan arti positif bagi kehidupan dan telah menjadi suatu bagian dari berbagai ekosistem alamiah. Pada tingkat komunitas, kebakaran juga memainkan berbagai fungsi untuk memelihara proses ekologi seperti misalnya mempengaruhi penganeka ragaman jenis, kelas umur, tipe vegetasi, serta komunitas tanaman.
Disamping itu juga membantu dalam mendaur ulang zat hara
dengan peningkatan kadar C-Organik serta mempercepat proses dekomposisi. Dari sudut pandang sosial-ekonomi, kebakaran hutan dalam skala kecil selama ini telah dimanfaatkan manusia dalam mempermudah upaya pembukaan lahan, khususnya untuk kepentingan perladangan maupun perkebunan. Cara ini bahkan menjadi cara yang paling mudah, murah dan cepat bila, dibandingkan dengan sistem/cara lainnya misalnya pembukaan/pembersihan lahan secara mekanis bisa mencapai 6-8 juta/hektar (untuk perkebunan).
C. Hasil Analisa Citra Landsat TM
xli
Deteksi daerah rawan kebakaran menggunakan empat citra yaitu 2 dari citra Landsat (Landsat 1,2,3 satu skene dan Landsat TM satu kwadran) serta 2 citra NOAA, dimana (lihat Gambar 19): 1. Landsat 1,2,3 bulan Juli tahun 1992 dengan 3 kanal, menunjukkan kondisi lahan sebelum terbakar 2. Landsat TM bulan Agustus tahun 1997 dengan 7 kanal, menampakkan kondisi lahan setelah terbakar 3. Citra NOAA bulan Juli dan Agustus tahun 1997, menginformasikan hot spot (titik api) puncak kebakaran yang terjadi pada bulan Agustus 1997. Citra Landsat TM memiliki resolusi 30 x 30 m untuk semua kanal, kecuali kanal 6 dengan resolusi 120 x 120 m. Sedangkan citra NOAA memiliki resolusi rendah dengan ukuran piksel 1,1 - 1,4 km. Citra satelit tersebut dalam format gambar raster 2 buah citra Landsat dan 2 buah citra NOAA. Disamping itu juga didukung oleh data gambar vektor untuk melengkapi informasi wilayah penguasaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri). Kedua format tersebut dapat saling dipindahkan dari raster ke vektor atau sebaliknya, namun demikian masih dalam keadaan format yang berbeda pun dapat juga saling ditumpang-tindihkan setelah dilakukan transformasi dengan kedudukan georeferensi yang sama. Sedangkan untuk operasi matematika antara 2 gambar perlu disamakan formatnya terlebih dahulu.
xlii
Data citra Landsat tahun 1992 kondisi awal citra sebelum dilakukan analisis antara citra Landsat 1, 2, 3 dengan ukuran 7706 garis x 6795 piksel dan citra Landsat TM tahun 1997 dengan ukuran 3500 garis x 2944 piksel (Tabel 4) :
Tabel 4. Citra Satelit Landsat 1,2,3 Tahun 1992
Minimum Median Maximum Mode Rerata Standard Deviasi
Kanal 1
Kanal 2
Kanal 3
1 53 255 45 55,85 29,20
9 77 255 69 74,33 26,48
6 26 255 25 29,78 13,58
Titik tengah antara 1 sampai 255 adalah 128, yaitu merupakan kondisi ideal dengan semua wilayah tergambar secara jelas, ditunjang lagi dengan standard deviasi yang semakin kecil akan mengurangi bias dari obyek yang ditampilkan.
Pernyataan
tersebut dapat disimpulkan bahwa kanal 2 merupakan kanal dinamis yang dapat memantau obyek muka bumi secara sempurna, walaupun masing-masing kanal memiliki kepekaan yang berbeda.
Misalnya kanal 1 diperuntukan dalam menganalisa tanah
keadaan bera, kanal 2 untuk menganalisis vegetasi dan kanal 3 untuk pengamatan badan air (sungai, waduk dll). Citra Landsat TM tahun 1997 untuk kanal 6 dan kanal 3 merupakan kanal dinamis, memantau daerah rawan terbakar dan penutupan vegetasi (Tabel 5).
xliii
Tabel 5. Citra Satelit Landsat TM Tahun 1997 Band 1 Band 2 Band 3 Band 4 Minimum Median Maximum Mode Rerata Std.Deviasi
99 132 255 131 131,27 12,73
35 49 113 50 49,41 5,71
33 50 143 54 50,06 7,43
40 79 140 75 80,73 9,53
Band 5
Band 6
Band 7
14 60 255 44 63,59 19,66
1 27 187 26 27,51 2,97
1 17 255 12 19,93 10,75
Hasil klasifikasi tak berbantuan menunjukkan bahwa ada sebagian yang belum dapat dikelaskan, sedangkan untuk jenis penutupan lahan lainnya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Klasifikasi Tak Berbantuan Citra Landsat Tahun 1992 dan 1997 No
0.
Citra Landsat 1,2,3 Tahun 1992 Citra Landsat TM Tahun 1997 1 Skene = 4 Kuadran 1 Kuadran = ¼ Skene Penutupan Jumlah Luas Penutupan Jumlah Luas Lahan Piksel (ha) Lahan Piksel (ha) Non kelas 16374247 1.473.682 Non Kelas 1000960 90.086
1.
Badan air
3963464
356.712 Badan air
1596979
143.728
2.
Semak belukar
5176701
465.903 Hutan gambut
1652691
148.742
3.
Hutan gambut
9638621
867.476 Tegalan
1731814
155.863
4.
Hutan kering
9104260
819.383 Semak Belukar
1506642
135.598
5.
Non hutan
7281006
655.291 Hutan kering
1754790
157.931
6.
Awan
823971
74.157 Non Hutan
1060124
95.411
Setiap piksel citra Landsat memiliki ukuran 30 x 30 m, sehingga luasan terkecil per piksel sama dengan 900 m2 atau 0,09 hektar.
xliv
Citra satelit dari dua tahun pengambilan gambar tidak terletak pada daerah yang sama, karena pada saat kebakaran tahun 1997 hanya tinggal ¼ skene (satu kwadran) yang masih nampak jelas tanpa gangguan awan.
Sebagian besar kota Jambi pada bulan
Agustus tahun 1997 saat puncak terjadinya kebakaran masih banyak tertutup awan dan asap kebakaran hutan.
Namun demikian kedua citra satelit tersebut dapat
diperbandingkan untuk keadaan lahan yang tidak terbakar (tahun 1992) dengan yang terbakar (tahun 1997) secara umum, yaitu perihal : luas dan tingkat kerusakan lahan, penurunan sifat fisik tanah, dan menurunnya plasma nutfah. Daerah kebakaran tidak selamanya dapat dipantau dengan citra satelit dengan resolusi tinggi seperti citra SPOT atau citra Landsat untuk beberapa alasan, antara lain : 1. Pada saat kejadian kebakaran, sehingga masih banyak kabut dan awan 2. Sudah melewati satu musim sehingga sudah mulai ditumbuhi semak belukar 3. Citra satelit dengan beda waktu yang terlalu lama dengan saat kejadian kebakaran sudah mengalami banyak perubahan. Dengan demikian citra satelit resolusi tinggi yang sesuai untuk pengamatan daerah bekas kebakaran mencakup : a. citra satelit memiliki banyak kanal termasuk didalamnya kanal infra merah yaitu untuk citra Landsat TM (Thematic Mapper). b. diambil setelah kejadian kebakaran berlangsung, tetapi gangguan kabut atau awan sudah tidak ada lagi c. tidak terjadi pada saat musim hujan karena intensitas cahaya matahari rendah dan gangguan awan masih banyak (> 25%).
xlv
Analisa citra satelit sebaiknya menggunakan citra Landsat atau SPOT untuk tahun yang terbaru, hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari perbedaan yang terlalu jauh antara saat kebakaran dengan kondisi lapangan yang telah mengalami banyak perubahan.
Begitu juga untuk informasi dari citra NOAA disesuaikan dengan bulan
kejadian kebakaran dan ketersediaan citra satelit Landsat atau SPOT, kalau bisa pada bulan dan tahun yang sama saat kebakaran terjadi.
D. Klasifikasi Tingkat Kerusakan Lahan Lokasi kebakaran pada saat kejadian hanya dapat dilihat penyebaran dan luasannya dengan pemantauan citra satelit NOAA. Sedangkan citra Landsat tidak dapat menangkap karena gangguan oleh kabut sudah melebihi 25%, sehingga tidak dimungkinkan untuk diamati lagi. Pengamatan lokasi kebakaran dengan citra Landsat dilakukan pada saat sebelum dan setelah terjadinya kebakaran untuk membandingkan dua keadaan tentang : •
tingkat kerusakan lahan
•
penyebaran daerah kebakaran
•
tingkat penurunan kesuburan tanah
Setelah kebakaran ditunjukkan oleh daerah yang relatif terbakar pada pengamatan Landsat bulan Agustus tahun 1997. Sementara pada bulan Agustus setelah terjadinya puncak kebakaran masih banyak yang mengeluarkan asap untuk wilayah yang mengalami bencana kebakaran besar-besaran.
Sehingga citra tahun 1997 seluas 1
kwadran hanya mampu menangkap daerah terbakar yang tidak terlalu luas yaitu pada daerah pemukiman penduduk dan perkebunan kelapa sawit serta lokasi transmigrasi.
xlvi
Selanjutnya dari pengamatan lapangan diperoleh perbedaan yang nyata antara daerah bekas terbakar dari pengamatan fisik lapangan adalah sebagai berikut : •
terjadinya pemadatan tanah
•
struktur tanah membongkah besar-besar
•
berkurangnya pori-pori mikro
•
aerasi dan drainase terhambat.
Pada kurun waktu satu tahun kondisi tersebut pulih kembali, sehingga bahaya akibat kebakaran yang dikatakan akan berpengaruh terhadap sifat fisik tanah, namun yang jauh lebih penting adalah berpengaruh terhadap bahaya pencemaran lingkungan dan kerugian lainnya, yaitu : @ polusi asap yang menyebabkan gangguan udara dan pernafasan @ iklim mikro setempat @ kerugian material dan non material @ kerusakan plasma nutfah. Hasil klasifikasi berbantuan untuk citra Landsat tahun 1992 dan 1997 (Tabel 7), lokasi tersebut tidak tepat sama karena sebagian besar wilayah Jambi tahun 1997 tertutup kabut, sehingga yang nampak jelas tinggal ¼ skene (1 kwadran).
xlvii
Tabel 7. Hasil Klasifikasi Berbantuan Citra Landsat Tahun 1992 dan 1997 Penggunaan Citra Landsat Tahun 1992 Citra Landsat Tahun 1997 Lahan Smpl % Total Luas Smpl % Total Luas Piksel Klasf Piksel (Ha) Piksel Klasf Piksel (Ha) Laut Dalam 125192 100.00 1168808 105192.7 Laut Dangkal
97824
100.00
2355145
211963.1
-
-
Lahan Pertanian
41166
96.72
8193837
737445.3
36500
99.88
Hutan Primer
84625
92.99
5703228
513290.5
21516
99.65
739735
66576.15
Hutan Sekunder
38420
89.24
13410551
1206950
7758
100.00
3047085
274237.7
Semak Belukar
110448
94.73
5056454
455080.9
20881
99.69
1978227
178040.4
35888023
3229922
JUMLAH
-
3537993 318419.4
9303040 837273.6
Hasil klasifikasi berbantuan menunjukkan bahwa kondisi Jambi sebagian besar lahan pertanian (25 % dan 38 %) dan selanjutnya hutan sekunder (41,4 % dan 32,7 %). Perbedaan pada kondisi tahun 1992 dan 1997 untuk Hutan primer dan Semak belukar. Dimana semak belukar meningkat atau bertambah dari 15,6 % menjadi 21,3 %. Sedangkan hutan primer dari tahun 1992 ke 1997 menurun dari 17,6 % menjadi 7,9 % (Gambar 20).
-
Hal tersebut mengindikasikan adanya penebangan kayu pada hutan
primer besar-besaran dan selanjutnya ditinggalkan merana menjadi semak belukar tanpa ada pengelolaan. Analisis citra satelit, deteksi daerah kebakaran lebih mudah diamati dengan menggunakan kanal infra merah dibandingkan dengan kanal pada sinar tampak. Kanal infra merah tersebut meliputi Infra Merah Dekat (IMD/Kanal 4), Infra Merah Tengah (IMT/Kanal 5) dan Infra Merah Panas (IMP/Kanal 6). IMP mampu mengamati daerah bekas (baru saja) terbakar selama tidak ada gangguan asap karena produksi dari bara api kebakaran hutan.
xlviii
E. Identifikasi Kerusakan Lahan Dalam mengidentifikasi kondisi lahan pada lokasi bekas terbakar tahun 1997, tidak dimungkinkan untuk mengamati seluruh wilayah Jambi.
Hal tersebut
disebabkan hanya terdapat wilayah ¼ skene yang terlihat dengan jelas bekas terjadinya kebakaran tanpa ada gangguan asap dan kabut serta awan. Seperempat skene atau satu kwadran citra Landsat tahun 1997 yang masih nampak dengan jelas tanpa ada gangguan yang berarti. Dari hasil analisa klasifikasi berbantuan, maka dapat ditampilkan pada Gambar 21, yaitu berupa grafik daerah yang terbakar (ringan dan berat) serta daerah yang tidak terbakar (gangguan asap). Identifikasi kerusakan lahan disini ada 3 kategori yaitu : •
Kerusakan sedikit, untuk lahan yang tidak mengalami kebakaran
•
Kerusakan sedang, untuk lahan yang mengalami kebakaran ringan
•
Kerusakan menyebar, untuk lahan yang mengalami kebakaran berat.
Prosentase besarnya lokasi yang terbakar berat yaitu sebesar 19% (79.864 ha), terbakar ringan 38% (159.728 ha), dan tidak terbakar 43% (180.744 ha). Prosentase kerusakan menyebar atau pada daerah yang mengalami kebakaran berat, hanya terjadi pada daerah gambut. Dimana pada saat kebakaran yang terjadi pada tahun 1997, lahan tersebut berlangsung lama dan sulit dicegah, sehingga kebakaran merembetnya pada daerah sekitarnya.
Akibat kebakaran yang berlangsung lama tersebut maka lahan
mengalami kerusakan total, antara lain ditunjukkan sulitnya ditanami kembali karena sifat fisik dan kimia tanah berubah menjadi tidak menguntungkan bagi tanaman.
xlix
43
45
38
40
35
30
25
19
20
15
10
5
0
S1 T ida k T e r ba k a r T e r ba k a r R in ga n T e r ba k a r B e r a t
Gambar 21. Tingkat Kerusakan Lahan Akibat Kebakaran Hutan
56
F. Klasifikasi Tingkat Kerusakan dan Besarnya Kerugian Hasil kalsifikasi berbantuan citra satelit Landsat tahun 1997 secara keseluruhan ditampilkan pada Tabel 8.
Dari tabel tersebut dapat dilihat tingkat
kerusakan lahan yang terkait dengan luasan wilayah daerah yang terbakar. Tabel 8. Tingkat Kerusakan Lahan dari Hasil Analisis Klasifikasi Berbantuan Kondisi Kebakaran 1. Tidak ada 43 %
2. Ringan 38 %
3. Berat
Tingkat Kerusakan Sedikit 180744 ha
Penutupan Lahan Kampung
Lokasi Kebakaran Jumlah Luas Piksel (Ha) 1038459 93461
Prosen (%) 22
Gambut
386001
34740
8
Tegal
427127
38441
9
Hutan
179442
16150
4
Kampung
282297
25407
6
Gambut
663411
59707
14
Tegal
544415
48997
12
Hutan
276550
24890
6
Gambut
872698
78543
19
4670400
420336
100
Sedang 159728 ha
Menyebar
19 %
79864 ha
JUMLAH
Kondisi kerusakan lahan dapat dilihat pada Gambar 22, yaitu untuk Kampung meliputi wilayah perkotaan paling banyak tidak mengalami kebakaran yaitu 22% atau mengalami kebakaran dengan tingkat ringan pada wilayah Transmigrasi sebesar 6%. Sebaliknya daerah yang mengalami kebakaran terluas dengan tingkat kerusakan menyebar hampir keseluruh wilayah hanya terjadi pada daerah gambut.
25
22 20
19 14
15
12 9
10
8 6
6
5
4
0 K a m p un g (B0 )
Ga m but (B0 )
K a m p un g (B1 )
Ga m but (B2 )
T e ga l (B0 )
Ga m but (B1 )
T e ga l (B1 )
Gambar 22. Prosentase Luas pada Masing-masing Tingkat Kerusakan Akibat Kebakaran
H ut a n (B1 )
H ut a n (B0 )
Hal tersebut dapat dimaklumi karena pada kondisi di lapangan pada saat terjadinya kebakaran maka lahan gambut sulit dipadamkan. Api yang nampak pada permukaan gambut sudah tidak kelihatan, ternyata bara api masih selalu membara terus pada bawah permukaan lahan. Sehingga kebakaran pada lahan gambut berlangsung paling lama dan menyebar keberbagai wilayah. Keadaan tersebut menyebabkan lahan gambut yang mengalami kebakaran akan mengalami kerugian yang berat dan menyebar. Kerusakan tersebut tidak hanya pada rusaknya plasma nutfah, tetapi juga kondisi sifat fisik dan kimia tanah yang mengakibatkan dekomposisi lahan gambut semakin terhambat. Keadaan yang terlihat di lapangan, bahwa pada lahan bekas kebakaran didaerah gambut, sulit ditanami kembali. Dimana setiap dilakukan penanaman kembali maka pada saat air pasang tanaman akan mati dan tidak bisa tumbuh kembali. Namun demikian pada lahan gambut juga dimungkinkan ada kerusakan hanya tingkat sedang karena kejadian kebakaran relatif ringan, hal tersebut ditandai masih adanya tanaman yang tumbuh setelah kebakaran berlangsung, yaitu sebesar 14%. Penutupan lahan untuk kategori Tegal disini meliputi lahan pertanian dan pekarangan, sebagian tidak mengalami kebakaran (9%) sedangkan yang mengalami kebakaran ringan sebesar 12%.
Lahan mineral lainnya yang ada penutupan lahan
dimaksukkan pada lahan hutan yaitu relatif sedikit mengalami kebakaran ringan yaitu sebesar 6% dan tidak mengalami kebakaran 4%.
Sehingga pada lahan hutan yang
meliputi lahan perkebunan pada tanah mineral relatif mengalami kerusakan ringan. Sehingga bekas lahan kebakaran pun masih dimungkinkan untuk ditanami kembali, tanpa mengalmi hambatan yang berarti, karena penurunan kondisi tanah hanya pada sifat fisik
lahan yang sedikit mengalami perubahan, antara lain : struktur menggumpal, drainase terhambat dan permeabilitas lambat, pori mikro dan makro berkurang sehingga aerasi tidak berjalan dengan sempurna.
Besarnya kerugian yang telah terjadi pada daerah
kebakaran dapat dikalsifikasikan menjadi tiga bagian : 1. Kerusakan ringan, yaitu yang tidak mengalami kebakaran tetapi mengalami gangguan intensitas pencahayaan matahari, sehingga fotosintesa tanaman agak terganggu sehingga sebagian tanaman kekurangan klorofil dan sebagian lagi mati karena tidak cukup menyediakan sari makanan bagi tumbuhan tersebut. Kerugian secara rupiah relatif kecil sehingga tidak dapat dihitung secara finansial, namun banyak kerugian lain yang diderita antara lain menyangkut gangguan lingkungan yaitu adanya asap dan kabut yang menyebabkan penduduk susah bernafas dan sesak nafas, inipun juga tidak dapat dihitung secara nominal. 2. Kerugian sedang, yaitu telah mengalami kebakaran tetapi tidak meluas karena pada tingkat kebakaran ringan, terjadi pada lahan mineral baik pada hutan, tegal maupun perkampungan, dengan besarnya kerugian ditaksir dari banyaknya investasi yang telah ditanamankan per hektar, maka telah mengalami kerugian sebesar Rp. 15 juta rupiah. 3. Kerugian menyebar, yaitu telah mengalami kebakaran berat pada hampir seluruh lahan dan berlangsung lama, sehingga sulit untuk diperbaiki kembali. Sehingga kerugian yang terjadi tidak hanya investasi yang telah ditanamkan tapi juga biaya untuk reklamasi kembali, serta prasarana Lory dan Rel kereta pada daerah gambut. Sehingga kerugian yang diderita untuk memulihkan kembali pada kondisi semula diperkirakan perlu biaya sebesar Rp 45 juta.
lx
G. Inventarisasi Kondisi Lahan Bekas Terbakar Inventarisasi kondisi lahan bekas terbakar, pada 4 kelas penutupan lahan yaitu Kampung, Gambut, Tegal dan Hutan masing telah mengalami kebakaran pada tingkat ringan dan sedang yaitu sebesar : Kampung (22% dan 6%), Gambut (8% dan 14%), Tegal (9% dan 12%) serta Hutan (4% dan 6%).
Kebakaran berat hanya terjadi pada
lahan gambut yaitu sebesar 19% (Tabel 9 dan Gambar 23). Tabel 9. Inventarisasi Kondisi Lahan Bekas Terbakar Tingkat Kebakaran 1. Tidak Ada
Kondisi Lahan Terbakar Tanah Mineral, sebagian
Tingkat Kerusakan Sedikit, tidak langsung
besar ordo Ultisol,
terbakar tetapi kena dampak
mengalami penurunan
dari kebakaran berupa asap
fotosintesa akibat
dan kabut
Luas (Ha) Kerusakan 180.744
berkurnagnya intensitas cahaya matahari. 2. Ringan
3. Berat
Tanah Mineral dan sedikit
Sedang, terkena kebakaran
Tanah Gambut dengan
tetapi relatif tidak menyebar
kondisi kerusakan lahan
dan mudah dideteksi sumber
tetapi dimungkinkan dapat
api kebakaran, sehingga api
diperbaiki lagi
dapat segera dipadamkan
Tanah Gambut, pada
Menyebar, merembet secara
Kawasan hutan gambut
sporadis dan sulit dideteksi
dengan ordo tanah
perpindahan api penyebab
Histosol
kebakaran, karena merembes
159.728
79.864
dibawah permukaan lahan gambut
lxi
Gambar 23.
Citra Landsat Hasil Klasifikasi Berbantuan Pada Liputan Kebakaran
Masing-masing kondisi lahan bekas terbakar dapat diinventarisir seperti pada, dimana kerusakan lahan ada tiga kategori yaitu kerusakan ringan, sedang dan menyebar dan identik dengan tingkat kebakaran ringan, sedang dan berat. Lahan yang mengalami kerusakan ringan akan mengalami pemulihan kembali secara berangsur-angsur dengan berhentinya api penyebab kebakaran dan hilangnya asap atau kabut yang menyelimuti wilayah Jambi dan sekitarnya. Kerusakan sedang dengan tingkat kebakaran ringan mengalami penyebaran yang tidak terlalu luas, dan api penyebab kebakaran dapat dideteksi perkembangan apinya sehingga mudah dalam melakukan pemadaman maupun pencegahan agar tidak menjalar kemana-mana. Selanjutnya untuk kerusakan menyebar pada tingkat kebakaran berat, sulit dilakukan pencegahan dan pemadaman, sehingga langkah yang dilakukan hanya membuat sekat-sekat bakar dengan membuat sumur-sumur untuk menampung air dan menghentikan menjalarnya api. Upaya pemadaman hampir tidak berarti sama sekali, karena setiap kali api penyebab kebakaran mati dipermukaan lahan gambut, tapi dibawah lahan tersebut selalu masih ada api yang menjalar ke wilayah sebelahnya. Jika semua usaha tidak dapat lagi dilakukan, maka tinggal menunggu waktu hujan yang berlangsung lama dan menggenangi lahan gambut pada waktu lama. Jika hujan hanya memiliki jumlah dan intensitas rendah dan berlangsung sebentar, maka api dibawah lahan gambut masih dapat hidup kembali.
lxii
VII. KESIMPULAN A. Kesimpulan Data kebakaran yang terjadi di kota Jambi tahun 1997 untuk lahan pada kawasan hutan dan diluar kawasan hutan sebesar 19.305,27 hektar. Kawasan hutan 36% (6.673,27 ha) dan diluar kawasan hutan 64% (12.632,80 ha). Akibat dari kejadian kebakaran hutan disamping kerugian material yang jauh lebih penting adalah bahaya pencemaran lingkungan dan kerugian lainnya, yaitu : @ polusi asap yang menyebabkan gangguan udara dan pernafasan @ iklim mikro setempat @ kerugian material dan non material @ kerusakan plasma nutfah. Deteksi daerah kebakaran pada analisis citra satelit lebih mudah diamati dengan menggunakan kanal infra merah dibandingkan dengan kanal pada sinar tampak. Kanal infra merah tersebut meliputi Infra Merah Dekat (IMD/Kanal 4), Infra Merah Tengah (IMT/Kanal 5) dan Infra Merah Panas (IMP/Kanal 6). Prosentase besarnya lokasi yang terbakar berat yaitu sebesar 19% (79.864 ha), terbakar ringan 38% (159.728 ha), dan tidak terbakar 43% (180.744 ha). Prosentase kerusakan menyebar atau pada daerah yang mengalami kebakaran berat, hanya terjadi pada daerah gambut. Selanjuntnya Kampung, Gambut, Tegal dan Hutan masing-masing telah mengalami kebakaran pada tingkat ringan dan sedang yaitu sebesar : Kampung (22% dan 6%), Gambut (8% dan 14%), Tegal (9% dan 12%) serta Hutan (4% dan 6%).
lxiii
B. Saran Pemantauan (deteksi) kondisi lahan bekas terbakar akan semakin akurat jika dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut : A.
menggunakan citra satelit Landsat yang terbaru
B.
menggunakan citra satelit yang pengambilan gambarnya dilakukan pada musim kemarau/panas (bulan April sampai September).
C.
relatif sedikit distorsi gangguan atmosfer (awan, hujan dll) pada batas yang masih dapat ditolerir ( < 10%) Kendala yang menghambat atau kurang sempurnanya penyelesaian kajian
tersebut, agar dihindari dikemudian hari adalah : •
Kesulitan menjangkau masuk ke lokasi pada daerah yang masih terjadi kebakaran, karena suhu udara yang meningkat cukup tinggi.
•
Lokasi bekas kebakaran sudah mengalami banyak perubahan, karena selang waktu kebakaran dengan survai yang dilakukan terlalu lama.
lxiv
DAFTAR PUSTAKA
CEMAGREF dan ENGREF, 1995. Traitement d’images “Support de Cours”, Laboratoire Commun de Télédétection. Montpellier, Perancis. Departemen Kehutanan, 1997. Buku Pintar Penyuluhan Kehutanan. Penyuluhan Kehutanan. Balitbanghut. Bogor.
Pusat
Departemen Kehutanan, 1997. Materi Penyuluhan Kehutanan I. Balitbanghut. Bogor. Girard M.C., dan C.M. Girard, 1989. Télédétection Appliquée Zones Tempérées et Intertropicales. Collection Sciences Agronomiques, Masson, Paris. Perancis. LAPAN,
1997. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering di Indonesia. Kumpulan Informasi. Jakarta. Indonesia.
Soemarsono, 1998. Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan. Seminar CEGIS Jakarta. SubDit Kebakaran Hutan Ditjen PHPA, 1998. Laporan Kebakaran Hutan Sampai Tahun 1997. Departemen Kehutanan. Jakarta. Tejasukmana B., 1998. Pemanfaatan Otimal Remote Sensing untuk Penanggulangan Kebakaran Hutan. Dikaitkan dengan Managemen Konservasi Lahan. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Seminar CEGIS, Jakarta. Wasrin, U.R., 1998. Potential Utilization of GIS and Remote Sensing for Early Detection and Monitoring of Biomass Burning in Indonesia. Paper presented in the seminar “Open Day” CEGIS, 31 Maret 1998, Jakarta.
lxv
LAMPIRAN
lxvi
BIODATA BENY HARJADI Data Diri : Nama : Ir. Beny Harjadi, MSc. Tempat/Tanggal Lahir: Surakarta, 17 Maret 1961 NIP/Karpeg : 19610317.199002.1.001/ E.896711 NPWP : 58.678.096.7-532.000 Pangkat/Golongan Jabatan
b
: Pembina / IV : Peneliti Madya
Riwayat Pendidikan : TK : TK Aisyiyah Premulung, Surakarta (1967) SD : SD Negeri 94 Premulung, Surakarta (1973) SMP : SMP Negeri IX Jegon Pajang, Surakarta (1976) SMA : SMA Muhammadiyah I, Surakarta (1980) S1 : IPB (Institut Pertanian Bogor), Jurusan Tanah/Fak.Pertanian,BOGOR (1987) Kursus LRI (Land Resources Inventory) kerjasama dengan New Zealand selama 9 bulan untuk Inventarisasi Sumber Daya Lahan (1992), INDONESIA-NEW ZEALAND S2 : ENGREF (École Nationale du Génie Rural, des Eaux et des Forêst), Jurusan Penginderaan Jauh Satelit/ Fak.Kehutanan, Montpellier, PERANCIS (1996) PGD : Post Graduate Diplome Penginderaan Jauh, di IIRS (Indian Institute of Remote Sensing) di danai dari CSSTEAP (Centre for Space Science & Technology Education in Asia and The Pasific) Affiliated to the United Nations (UN/PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa), Dehradun – INDIA (2005).
Riwayat Pekerjaan : 1. 2. 3. 4. 5.
Staf Balai Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), Surakarta (1989). Ajun Peneliti Madya Bidang Konservasi Tanah dan Air pada BTPDAS-WIB (Balai Teknologi Pengelolaan DAS – Wilayah Indonesia Bagian Barat), 1998. Peneliti Muda Bidang Konservasi Tanah dan Air pada BTPDAS-WIB (Balai Teknologi Pengelolaan DAS – Wilayah Indonesia Bagian Barat), 2001. Peneliti Madya Bidang Konservasi Tanah dan Air pada BP2TPDAS-IBB (Balai Litbang Teknologi Pengelolaan DAS - Indonesia Bagian Barat), 2005. Peneliti Madya Bidang Pedologi dan Penginderaan Jauh pada BPK (Balai Penelitian Kehutanan) Solo, 2006
Riwayat Organisasi : 1. 2. 3.
Menwa Mahawarman, Jawa Barat (1980 – 1985) HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), (1980 – 1983) Ketua ROHIS BP2TPDAS-IBB, 2 periode (2000-2006)
Penghargaan : 1.
Satya Lancana Karya Satya 10 tahun, No. 064/TK/Tahun 2004
Alamat Penulis : 1. 2.
Kantor : BPK SOLO, d/a Jl.Ahmad Yani Pabelan, Po.Box.295, Surakarta. Jawa Tengah, Telp/Fax : 0271–716709, 715969. E-mail:
[email protected] Rumah : Perumahan Joho Baru, Jl.Gemak II, Blok T.10, Rt 04/ Rw VIII, Kel.Joho, Sukoharjo, Jawa Tengah. Telp : 0271- 591268. HP : 081.22686657 E-mail :
[email protected]
lxvii