Hutan Sebagai Penyerap Karbon

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hutan Sebagai Penyerap Karbon as PDF for free.

More details

  • Words: 564
  • Pages: 2
Hutan Sebagai Wisnu Rusmantoro

Penyerap

Karbon

Banyak pihak yang beranggapan bahwa melakukan mitigasi secara permanen melalui penghematan pemanfaatan bahan bakar fosil, teknologi bersih, dan penggunaan energi terbarukan, lebih penting daripada melalui 'carbon sink'. Hal ini dikarenakan hutan hanya menyimpan karbon untuk waktu yang terbatas (stock). Ketika terjadi penebangan hutan, kebakaran atau perubahan tata guna lahan, karbon tersebut akan dilepaskan kembali ke atmosfer. Carbon sink adalah istilah yang kerap digunakan di bidang perubahan iklim. Istilah ini berkaitan dengan fungsi hutan sebagai penyerap (sink) dan penyimpan (reservoir) karbon. Emisi karbon ini umumnya dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil pada sektor industri, transportasi dan rumah tangga. Indonesia dengan luas hutan terbesar ketiga di dunia, bisa berperan penting untuk mengurangi emisi dunia melalui kegiatan carbon sink. Hal ini bisa terjadi jika hutan yang ada dijaga kelestariannya dan melakukan penanaman (afforestasi) pada kawasan bukan hutan (degraded land). Serta melakukan perbaikan kawasan hutan yang rusak (degraded forest) dengan cara penghutanan kembali (reforestasi). Isu afforestasi dan reforestasi (A&R) di dalam Kyoto Protokol terdapat pada artikel 3.3. Disitu tertulis bahwa afforestasi bisa dilakukan di kawasan yang bukan merupakan hutan sejak (base year) 50 tahun lalu sedangkan reforestasi pada kawasan hutan yang dikategorikan rusak hingga 31 Desember 1989 (atau sejak tahun 1990). Kegiatan A&R dilakukan melalui Clean Development Mechanism (CDM) kehutanan. CDM itu sendiri adalah mekanisme dimana negara maju (Annex I) dapat mengembangkan sebuah proyek yang dapat menurunkan emisi gas rumah kaca di negara berkembang (non-Annex I). Termasuk didalamnya penurunan emisi melalui kegiatan carbon sink sebesar 1% dari total emisi negara Annex I pada tahun 1990. Sebagian besar LSM dan beberapa negara, menolak carbon sink masuk CDM. Menurut mereka lebih penting untuk mengurangi emisi secara permanen melalui kegiatan seperti pengurangan pemanfaatan bahan bakar fosil, & teknologi bersih, penggunaan energi terbarukan, dll. Sementara hutan hanya menyimpan karbon untuk waktu terbatas (stock). Karbon tersebut akan dilepaskan kembali ke atmosfer ketika terjadi kegiatan penebangan hutan, kebakaran atau tindakan perusakan hutan lainnya. Pada pertemuan COP (The Conference of the Parties) 8 di New Delhi, 2002, Delegasi Indonesia mengusulkan perubahan base year untuk reforestasi dari tahun 1990 menjadi 2000. Dalam usulan tersebut Indonesia berharap kawasan hutan yang sudah rusak sebelum tahun 2000 -terutama akibat kebakaran hutan tahun 1998- bisa direhabilitasi. Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Indonesia sehubungan dengan CDM di sektor kehutanan, yaitu:

1. Makin banyaknya hutan yang rusak berarti potensi reforestasi makin tinggi. Sehingga tawaran yang harus diberikan (supply) untuk proyek CDM di sektor kehutanan akan naik. Sementara jumlah investornya (demand) sendiri terbatas, hanya 1% dari total emisi Annex I tahun 1990 atau sekitar 140 juta ton CO2. 2. Over supply untuk proyek CDM di sektor kehutanan mengakibatkan turunnya harga CER yang berarti akan menguntungkan negara Annex I sebagai investor. Namun pada saat yang bersamaan merugikan negara berkembang 3. Banyaknya masalah perusakan hutan yang belum teratasi, seperti: penebangan liar (illegal logging), perambahan hutan, perubahan fungsi hutan (konversi), dan lainlain. Dan CDM bukanlah jalan keluar untuk masalah-masalah tersebut. 4. Proyek CDM memerlukan komitmen dan konsistensi yang tinggi. Hal ini menuntut sumber daya manusia yang handal, birokrasi yang transparan dan lenyapnya praktik-praktik KKN. Banyak pendapat dan data yang menyatakan bahwa kerusakan hutan antara lain disebabkan oleh tingginya permintaan kayu (overdemand), tata guna lahan (land use), konflik kepemilikan lahan (tenurial), konflik peraturan, dan pemerintahan yang korup. Semua ini yang seharusnya dimengerti oleh berbagai pihak, sebelum melawan arus untuk merubah base year dari tahun 1990 menjadi 2000.[s]

Related Documents

Hutan
July 2020 41
Hutan
April 2020 53
Karbon Polimer.docx
June 2020 14