Human Communication

  • Uploaded by: Dinda Nurviana
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Human Communication as PDF for free.

More details

  • Words: 3,070
  • Pages: 15
HUMAN COMMUNICATION Makalah dibuat Sebagai Salah Satu Tugas Mata Neurosains Dosen Pengampu: Kamalia Najah, S. Psi, M.A.

Disusun Oleh: Kelas IV B Tarbiyah Kelompok 5 1. Mughni Azizah

(17311820)

2. Alissa Qotrunnada (17311841) 3. Avina Mumtaz (17311845) 4. Dinda Nurviana (17311846)

5. Indah Apriyanti

(17311853)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA T.A 2018/2019

0

BAB II HUMAN COMMUNICATION A. Human Communication (Komunikasi Manusia) Manusia berkomunikasi untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan bahasa sinyal, bicara, tulisan, gerakan, dan penyiaran. Sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh orang lain. Akan tetapi, proses hanya akan efektif apabila pesan yang disampaikan dapat ditafsirkan sama oleh penerima pesan tersebut. Komunikasi secara umum adalah suatu proses pembentukan, penyampaian, penerimaan dan pengolahan pesan yang terjadi di dalam diri seseorang dan atau di antara dua atau lebih dengan tujuan tertentu. B. Penggunaan Neurosains dengan Kerusakan Otak dalam Studi Bahasa dan Konsep Lateralisasi Untuk mengetahui bagaimanakah hubungan bahasa dengan otak melalui sudut pandang neurolinguistik, maka terlebih dahulu dibahas apa itu bahasa. Bahasa adalah satu sistem kognitif manusia (yang diatur oleh rumusrumus) yang unik yang dapat dimanipulasi oleh manusia untuk menghasilkan sejumlah kalimat bahasa linguistik yang tidak terbatas jumlahnya berdasarkan unsur-unsur yang terbatas untuk dipakai oleh manusia sebagai alat berkomunikasi dan mengakumulasi ilmu pengetahuan.1 Salah satu faktor penting dalam penguasaan bahasa adalah faktor neurologis, yakni kaitan antara otak manusia dengan bahasa. Landasan neurologis bahasa inilah yang mampu menjawab bahwa manusia memiliki kemampuan berbahasa, tetapi hewan tidak.2 Konsep lateralisasi adalah satu teori yang dapat ditarik secara jelas bahwa belahan korteks dominan (hemisfer kiri) bertanggung jawab untuk mengatur penyimpanan pemahaman dan produksi bahasa alamiah. Dari 1

Nurilam Harianja, Hubungan Bahasa dengan Otak (Medan: Universitas Negri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni), hal 1 2 Tri Budianingsih, Jurnal: Peran Neurolinguistik Dalam Pengajaran Bahasa, (Jakarta: Universitas AL-AZHAR INDONESIA, Fakultas Sastra, 2015), hal 138.

1

defenisi konsep lateralisasi di atas sudah dapat terjawab dan menarik suatu kesimpulan yang menyatakan adanya spesialisasi atau semacam pembagian kerja pada daerah-daerah otak (korteks) serebrum manusia berdasarkan teori Broca dan Wernicke.3 Ada beberapa ketidakmampuan manusia untuk berbahasa karena kerusakan organ otak. Ketidak mampuan berbahasa disebut patologi bahasa. Ada tiga masalah utama dalam patologi bahasa, yaitu disleksia, afasia, dan bahasa orang tuna rungu. C. Aphasia / Afasia Afasia adalah gangguan komunikasi yang disebabkan oleh kerusakan pada bagian otak yang mengandungbahasa (biasanya di hemisfer serebri kiri otak). Individu yang mengalami kerusakan pada sisi kanan hemisfer serebri kanan otak mungkin memiliki kesulitan tambahan di luar masalah bicara dan bahasa. Afasia dapat menyebabkan kesulitan dalam berbicara, mendengarkan, membaca, dan menulis, tetapi tidak mempengaruhi kecerdasan. Individu dengan afasia mungkin juga memiliki masalah lain, seperti disartria, apraxia, dan masalah menelan. 1. Afasia Broca Area Broca yang merupakan area motorik untuk berbicara. Area Broca terletak diposterior gyrus frontal. Broca’s afasia (afasia anterior, motorik atau afasia ekspresif) ditandai dengan adanya gangguan spontan berbicara, sedangkan pemahaman hanya sedikit terganggu. Pasien berbicara dengan susah payah memproduksi kata kata yang goyah dan tidak lancar. Penamaan, pengulangan, membaca dengan suara keras, dan menulis juga terganggu. a. Gejala klinis afasia Broca : 1) Bicara tidak lancar. 2) Tampak sulit memulai bicara. 3) Kalimatnya pendek. 3

Nurilam Harianja, Hubungan Bahasa dengan Otak (Medan: Universitas Negri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni), hal 5.

2

4) Repetisi buruk. 5) Kemampuan menamai buruk (anomia). 6) Pemahaman lumayan. 7) Gramatika bahasa kurang dan tidak kompleks. b. Agramatisme Agrammatisme adalah kasus gangguan linguistik yang lebih umum yang dikenal sebagai penyakit Broca afasia. Hal ini dapat diaplikasikan oleh ucapan tidak terstuktur dalam pembicaraannya. Pasien dengan kerusakan otak tertentu serta secara abnormal ("ungrammatical") akan mengalami pembicaraan yang sulit dimengerti. Gangguan ini biasanya hasil dari kerusakan otak seperti trauma atau stroke, karena bahasa adalah hal yang luar biasa sistem yang kompleks. c. Anomia Afasia Anomia (anomic aphasia) adalah salah satu jenis afasia ringan. Gejala penyakit anomia adalah kesulitan mengingat kata dan mengekspresikan diri dengan kata-kata (umumnya kata benda dan kata kerja). Gangguan fungsi otak pada penderita penyakit anomia ketika penderita sulit mengucapkan kata-kata yang terkirim ke sarafnya, sulit mengidentifikasi benda sampai sulit membedakan warna. Anomia disebut juga dengan disnomia, afasia nomina, dan afasia amnesia. d. Gangguan Artikulasi Artikulasi adalah proses pembentukan bunyi-bunyi, suku kata, dan kata-kata. Seseorang memiliki masalah dalam artikulasi apabila ia memproduksi suara-suara, suku kata, dan kata-kata

secara tidak

tepat/tidak benar sehingga pendengar sulit memahami apa yang diucapkannya atau pendengar sulit memahami apa yang diucapkannya atau memerlukan perhatian yang lebih untuk mengerti suara katakatanya. Dengan demikian yang dimaksud dengan gangguan artikulasi adalah kesulitan dalam pembentukan bunyi-bunyi, suku kata, maupun kata-kata, sehingga ucapannya sulit dipahami.

3

2. Afasia Wernicke Area Wernicke dimana pusat pemprosesan kata-kata yang diucapkan terletak di posterior gyrus temporal superior. Afasia Wernicke (afasia posterior, sensorik, atau reseptif aphasia) ditandai dengan penurunan pemahaman yang kronik. Bicara tetap lancar dan normal mondar-mandir, tetapi kata-kata penderita tidak bisa dimengerti. Penamaan, pengulangan kata-kata yang di dengar, membaca, dan menulis juga nyata terganggu. Gejala Klinis Afasia Wernicke: a. Bicara lancar. b. Panjang kalimat normal. c. Repetisi buruk. d. Kemampuan menamai buruk (anomia). e. Komprehensi auditif dan membaca buruk. 3. Afasia Konduksi Afasia konduksi adalah sebuah paradoxical deficit dimana orang dengan gangguan ini dapat bicara dengan mudah, mengetahui nama objek, dan memahami pembicaraan, tapi mereka tidak dapat mengulang katakata. Gejala klinis afasia konduksi: a. Bicara lancar. b. Pemahaman bagus. c. Gangguan berat pada repetisi. 4. Afasia Transkortikal Afasia Transkortikal sering disebut juga sebagai isolation syndrome dimana individu dapat mengulang dan memahami kata dan nama objek tapi tidak dapat berbicara secara spontan, atau mereka tidak dapat memahami kata–kata walaupun mereka dapat mengulangnya. Apashia ini diduga diakibatkan oleh hilangnya area korteks luar bahasa tradisional.

4

D. Alexia Murni Alexia murni terjadi akibat kerusakan pada lobus oksipitalis atau pada jaringan yang berada di medial temporal yang berfungsi untuk mengenali warna. Penderita dapat berbicara normal tetapi tidak mampu melabel warna meskipun dapat mengenali perbedaan antar warna sehingga bukan termasuk buta warna. Dapat menulis secara utuh namun tidak mudah membacanya. Hal ini karena adanya kelainan pada pandangan mata kanan, mata kanan hanya dapat melihat separuh objek, dan hilangnya memori jangka pendek. Meskipun memori ini dapat kembali, namun membutuhkan waktu lama. Selain itu, terjadi gangguan sensorik dan motorik, terkadang penderita bisa merasakan panas atau dingin terkadang tidak bisa. Aleksia murni tidak menghilangkan seluruh kemampuan baca tulisnya.4 E. Disleksia (Kesulitan Membaca) 1. Pengertian Disleksia Anak yang mengalami keterlambatan kemampuan membaca, mengalami kesulitan dalam dalam mengartikan atau mengenali struktur kata-kata dan memahaminya disebut dengan disleksia. Sebagian ahli berpendapat bahwa kesulitan mengenali bunyi-bunyi bahasa (fenom) merupakan dasar bagi keterlambatan kemampuan dalam membaca. Kemampuan ini penting sekali bagi pemahaman hubungan antara bunyi bahasa dan tulisan yang mewakilinya. Disleksia mempengaruhi 5 sampai 10 persen pada anak yang ada. Kondisi ini diketahui pada abad ke-19, ketika itu disebut dengan buta huruf (word blindness). Beberapa peneliti menemukan bahwa disleksia cenderung mempengaruhi anak laki-laki lebih besar dari pada anak perempuan. Sebagai contoh bila Anda menunjukkan gambar buku yang asing pada anak penderita disleksia, ia mungkin akan mengarang-arang cerita berdasarkan gambar yang ia lihat tanpa berdasarkan isi tulisan dari

4

Rohmani Nur Indah, Gangguan Berbahasa (Malang: UIN Press, 2011), hal. 23

5

buku tersebut. Ketika Anda menyuruhnya untuk berfokus kepada katakata, maka kesulitan membaca pada anak tersebut sangat terlihat jelas.5 Komponen utama disleksia adalah ketidakmampuan secara literasi dalam kesulitan belajar, secara khusus kesulitan dalam merekognisi kata, pengejaan dan merekam bunyi bahasa, di mana kemampuan merekam bunyi bahasa merupakan kemampuan untuk menbahasakan dan membuat pola dari bentuk bunyi bahasa (Fuchs & Fuchs, 2006). Menurut Shaywitz & Shaywitz (Nelzon & Ellison, 2009), disleksia merupakan bentuk kesulitan belajar yang spesifik yang berasal dari neurobiologi, yang merupakan karakteristik dari kesulitan terhadap ketepatan atau kelancaran merekognisi kata-kata, serta kekurangan dalam mengeja dan kemampuan mengkode kata. Tipe-tipe kesulitan

yang merupakan hasil dari

ketidakmampuan menyerap komponen phonologi dalam bahasa. Hal tersebut sering merupakan suatu yang tidak diharapkan dari kemampuan kognitif dan ketentuan instruksi kelas yang efektif.6 2. Macam-Macam Disleksia a. Disleksia fonologis, terjadi pada penderita kerusakan otak di sekitar jaringan penghubung lobus parietalis, lobus oksipitalis dan lobus temporalis. Akibatnya penderita mengalami kesulitan membaca secara fonetis, artinya dia hanya mampu membaca suku kata yang pernah dikenalinya sebelum kerusakan otak tersebut terjadi. Dia tidak dapat mengenali kata-kata baru. b. Disleksia permukaan, terjadi apabila penderita dapat membaca secara fonetis tetapi mengalami kesulitan membaca kata-kata secara utuh. Suku kata dengan ejaan yang sederhana lebih mudah dibaca daripada suku kata dengan ejaan khusus. Misalnya membaca ri-da akan lebih mudah dari pada membaca rin-dang. c. Disleksia langsung, penderita tidak dapat membaca secara fonetis namun dapat membedakan antara kata dan bukan kata yang tulisannya 5

Ridwan Idris, Mengatasi Kesulitan Belajar dengan Pendekatan Psikologi Kognitif, Lentera Pendidikan, Vol: 12, No. 2, 2009, hlm: 164. 6 Trubus Raharjo, Kesadaran Phonologi Dengan Literasi Membaca Pada Anak Disleksia: Kajian Meta Analisis, 2018 Universitas Muria Kudus Hal: 110.

6

mirip (contoh: leua dan lena). Dalam membaca kata ditangkap secara utuh sehingga menimbulkan kesalahan semantik yang menarik, contohnya kata ‘orchestra’ dibaca nyaring ‘symphony’. Dalam membaca kata dengan imbuhan juga cenderung menghilangkan akhiran karena hambatan visualnya. F.

Pembacaan Fonetik Secara fisiologis, anak yang baru lahir memiliki perbedaan organ bahasa yang amat mencolok dibanding orang dewasa. Berat otaknya hanya 30% dari ukuran orang dewasa. Rongga mulut yang masih sempit itu hampir dipenuhi oleh lidah yang secara komparatif besar, laringnya juga masih tinggi. Bertambahnya umur anak melebarkan rongga mulut dan juga menurunkan laring. Pertumbuhan ini memberikan ruang gerak resonansi yang lebih besar bagi anak untuk menghasilkan bunyi-bunyi bahasa tertentu.7 Isyarat itu mengandung gelombang bunyi yang dapat terjadi berdasarkan frekuensi, amplitudo, dan perubahan waktu. Bunyi bahasa tidak dikenal sebagai bunyi yang diskret. Sebaliknya, bunyi bahasa merupakan paduan gelombang bunyi bersambungan yang kompleks.8 Terbatasnya fungsi dan berat otak, rongga mulut yang sempit, dan lidah yang relatif besar menyebabkan terbatasnya bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan. Menurut Stark (Dardjowidjojo, 1991), sampai umur 8 minggu, anak baru bisa menghasilkan bunyi refleksif dan vegetatif. Baru pada usia 820 minggu, anak mulai dengan prangoceh (cooing) dengan bunyi sejenis konsonan /c/, /g/, /X/, dan A/ yang diikuti oleh vokal depan /i/ dan kemudian dengan vokal belakang /u/ /o/. Bunyi-bunyi itu dapat dihasilkan karena antara lidah dan langit langit berdekatan, dan yang dapat bersentuhan dengan mudah adalah yang bagian belakang. Bunyi-bunyi dasar ini merupakan sebagian dari keuniversalan bahasa. Artinya bunyi-bunyi dimiliki oleh semua bahasa. Misalnya, bahasa Tagalog dan Hawaii yang hanya memiliki tiga vokal, ternyata vokal itu adalah /a/, /i/,

7

Kholid A. Harras, Dasar-Dasar Psikolinguistik, (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Press, 2009), hlm: 64. 8 Kholid A. Harras, Dasar-Dasar Psikolinguistik, hlm: 34.

7

dan /u/. Bagi anak, bunyi-bunyi dasar ini lebih dulu dikuasai sebelum bunyibunyi lain. Karena itu, bunyi-bunyi frikatif /f/, /o/, dan /s/ belum akan dikuasai oleh anak sebelum bunyi /p/, /t/, dan /k/. Jangan diharapkan anak dapat mengucapkan kata “santai” dan “surau” sebelum “sate” dan “suruh”. Karena keterbatasan alat ucapnya, anak juga sering mengganti ucapan orang dewasa dengan ucapan berdeviasi. Misalnya, kata ‘hari’ dan ‘Zuhri’ diganti dengan ‘ayi’ dan ‘uyi’. Deviasi ini tidak terjadi secara manasuka, melainkan mengikuti pola tertentu.9 G. Hubungan antara Berbicara dan Menulis Bromley (1992) menyebutkan empat aspek bahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Kemampuan berbahasa berbeda dengan kemampuan berbicara. Bahasa merupakan suatu sistem tata bahasa yang relatif rumit dan bersifat semantik, sedangkan kemampuan berbicara merupakan suatu ungkapan dalam bentuk kata-kata. Bahasa ada yang bersifat reseptif (dimengerti, diterima) maupun ekspresif (dinyatakan). Contoh bahasa reseptif adalah mendengarkan dan membaca suatu informasi, sedangkan contoh bahasa ekspresif adalah berbicara dan menuliskan informasi untuk dikomunikasikan kepada orang lain. Anak menerima dan mengekspresikan bahasa dengan berbagai cara. Keterampilan menyimak dan membaca merupakan keterampilan bahasa reseptif karena dalam keterampilan ini makna bahasa diperoleh dan diproses melalui simbol visual dan verbal. Ketika anak menyimak dan membaca, mereka memahami bahasa berdasarkan konsep pengetahuan dan pengalaman mereka. Dengan demikian, menyimak dan membaca juga merupakan proses pemahaman (comprehending process). Berbicara dan menulis merupakan keterampilan bahasa ekspresif yang melibatkan pemindahan arti melalui simbol visual dan verbal yang diproses dan diekspresikan anak. Ketika anak berbicara dan menulis, mereka menyusun bahasa dan mengkonsep arti.

9

Kholid A. Harras, Dasar-Dasar Psikolinguistik, hlm: 64-65

8

Dengan demikian, berbicara dan menulis adalah proses penyusunan (composing process).10 H. Disgrafia 1. Pengertian Disgrafia Kesulitan

belajar

menulis

sering

disebut

juga

disgrafia

(dysgraphia). Disgrafia adalah kesulitan yang melibatkan proses menggambar simbol-simbol bunyi menjadi simbol huruf atau angka. Kesulitan menulis merupakan salah satu dari tiga jenis kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities). Dua jenis kesulitan belajar lainnya adalah kesulitan membaca (disleksia) dan kesulitan matematika/berhitung (diskalkulia). Kesulitan menulis terjadi pada beberapa tahap aktivitas menulis, yaitu: a. Mengeja, yaitu aktivitas memproduksi urutan huruf yang tepat dalam ucapan atau tulisan dari suku kata/ kata. b. Menulis permulaan (menulis cetak dan menulis sambung) yaitu aktivitas membuat gambar simbol tertulis. Kesulitan yang kerap muncul dalam proses menulis permulaan antara lain: 1) 2) 3) 4)

Ketidak konsistenan bentuk/ukuran/proporsi huruf . Ketiadaan jarak tulisan antarkata. Ketidakjelasan bentuk huruf. Ketidakkonsistenan posisi huruf pada garis. Dalam disgrafia terdapat bentuk-bentuk kesulitan yang juga

terjadi pada kesulitan membaca, seperti: 1) Penambahan huruf/suku kata. 2) Penghilangan huruf/suku kata. 3) Pembalikan huruf ke kanan-kiri. 4) Pembalikan huruf ke atas-bawah. 5) Penggantian huruf/suku kata. c. Menulis Lanjutan/Ekspresif/Komposisi merupakan aktivitas menulis yang bertujuan mengungkapkan pikiran atau perasaan dalam bentuk 10

Nurbiana Dhieni, Hakikat Perkembangan Bahasa Anak, PAUD4106/MODUL 1, Hlm: 1.14.

9

tulisan. Aktivitas ini membutuhkan kemampuan (1) berbahasa ujaran; (2) membaca; (3) mengeja; dan (4) menulis permulaan. Kesulitan belajar menulis atau disgrafia bukan disebabkan karena tingkat inteligensi yang rendah, kemalasan, atau keterlambatan proses visual motoriknya. Anak dengan gangguan disgrafia mengalami kesulitan dalam mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak tangannya ketika menuliskan angka atau huruf. Kesulitan ini dapat menghambat proses belajar anak, terutama ketika anak berada di bangku SD. Mereka sulit menuliskan kata-kata yang diucapkan guru atau saat pelajaran mendikte.11 2. Macam-Macam Disgrafia Kendell dan Stefanyshyn (2012), membedakan jenis-jenis disgrafia menjadi 5, yaitu: a. Disleksia dysgraphia adalah bentuk disgrafia yang ditandai dengan tulisan tangan anak tak terbaca, huruf, dan tanda baca yang dibuat anak salah. b. Motor dysgraphia adalah anak yang kekurangan keterampilan motorik halus, tidak tangkas, otot kaku, sehingga gerakan tangannya tampak “kikuk”. Jika diminta untuk menulis memerlukan tenaga ekstra, bentuk tulisan sering miring karena memegang objek penulisan salah, tetapi pemahamannya tentang ejaan tidak terganggu. c. Dysgraphia

spasial

adalah

anak

mengalami

gangguan

dalam

pemahaman ruang. tulisan anak terbaca, anak bisa menyalin, pemahaman ejaan normal, tetapi tulisannya sering berada di atas garis atau di bawah garis, jarak antarkata juga tidak konsisten. d. Fonologi dysgraphia anak mengalami gangguan fonologi, jenis ini umumnya di derita pada anak yang berbahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa barat lainnya yang di dalamnya terdapat perbedaan antara ejaan dan bunyi. 11

Dwi Prasetya, Pembelajaran Berbantuan Komputer Untuk Anak Kesulitan Menulis (Disgrafia), Vol : 14, 2010, Hal: 1-2.

10

e. leksikal dysgraphia sama dengan disgraphia fonologi, tetapi lebih terjadi pada kata-kata yang tidak sama antara ejaan dan lafalnya, seperti pada bahasa Inggris dan Perancis.12 3. Gejala-gejala Disgrafia Gejala-gejala yang sering muncul pada anak-anak disgrafia pada saat proses menulis oleh Julie Kendell dan Deanna Stefanyshyn (2012), dibedakan menjadi 10, yaitu: a. Kemampuan verbal kuat tapi keterampilan menulis miskin. b. Banyak kesalahan tanda baca atau malah tidak menggunakan tanda baca sama sekali. c. Banyak melakukan kesalahan ejaan atau bisa juga terjadi tulisan terbalik. d. Terdapat inkonsistensi dalam penggunaan huruf besar dan huruf kecil. e. Ukuran huruf tidak teratur, bentuk berubah-ubah, besar kecil, tegak dan miring. f. Terjadi unfinished (penghilangan huruf atau kata). g. Terjadi ketidakkonsistenan dalam penggunaan halaman, spasi (antara kata), antara huruf, dan penggunaan margin. h. Ada kesalahan dalam memegang pensil. i. Berbicara dengan diri sendiri saat menulis. j. Ketika menulis atau menyalin sangat lambat. Jika terdapat satu atau beberapa gejala di atas pada anak, maka guru harus segera curiga “barangkali anak menderita disgrafia. Guru perlu mengidentifikasi secara cermat atas semua gejala yang muncul pada anak. Dari identifikasi kegaja tersebut guru dapat mempelajari, memilih, dan menetapkan strategi yang tepat untuk membantu anak dalam belajar menulis. Penangan anak disgrafia secara dini akan lebih dapat anak belajar menulis dan anak menjadi tidak frustasi.13 12

Suhartono, Pembelajaran Menulis Untuk Anak Disgrafia di Sekolah Dasar, UPBJJ-UT Semarang, Vol. 12 , No. 1, 2016, Hlm: 113. 13

Suhartono, Pembelajaran Menulis Untuk Anak Disgrafia di Sekolah Dasar,... Hlm: 112.

11

I. Mekanisme otak yang mendasari kemampuan kita untuk memahami makna kata-kata. Orang sudah lama sekali berbicara tentang otak dan bahasa. Aristotle pada tahun 384-322 sebelum Masehi telah berbicara soal hati yang melakukan hal-hal yang kini kita ketahui dilakukan oleh otak begitu pula pelukis terkenal Leonardo Da Vinci pada tahun 1500-an, tolak yang umum dipakai adalah setelah penemuanpenemuan yang dilakukan oleh Brocha dan Wernicke pada tahun 1860-an. Dalam otak manusia, apabila input yang masuk adalah dalam bentuk lisan maka bunyi-bunyi itu ditanggapi di lowbat temporal khususnya oleh korteks primer pendengaran disini input tadi diolah secara rinci sekali misalnya Apakah bunyi sebelum bunyi yang didengar itu memiliki 4 + 60 mili detik + 20 mili detik atau diantara kedua angka ini. Setelah diterima, dicerna dan diolah seperti ini maka bunyi-bunyi bahasa tadi “dikirim” ke daerah Wernicke untuk di interpretasikan. Di daerah ini bunyi-bunyi itu dipilah-pilah menjadi suku kata, kata, frasa, klausa dan akhirnya kalimat. Setelah diberi makna dan dipahami isinya, maka ada 2 jalur kemungkinan. Bila masukan tadi hanya sekedar informasi yang tidak perlu ditanggapi, maka masukan tadi cukup disimpan saja dalam memori suatu saat nanti mungkin informasi itu diperlukan. Bila masukan tadi perlu ditanggapi secara verbal, maka interpretasi itu dikirim ke daerah Brocha melalui fasikulus arkuat. Di daerah Brocha proses penangkapan dimulai. Setelah diputuskan tanggapan verbal itu bunyinya seperti apa maka daerah Brocha “memerintahkan” motor korteks untuk melaksanakannya. Proses pelaksanaan di korteks motor juga tidak sederhana. Untuk suatu ujaran ada minimal 100 otot dan140.000 rentetan neuro muskuler yang terlibat. Motor kortes juga harus mempertimbangkan tidak hanya urutan kata dan urutan bunyi, tetapi juga urutan dari fitur-fitur pada tiap bunyi yang harus diucapkan.

12

DAFTAR PUSTAKA

Dardjowidjojo, Soenjono. 2016. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Anggota IKAPI DKI Jakarta.

13

Dhieni, Nurbiana. Hakikat Perkembangan Bahasa Anak. PAUD4106/MODUL 1. Harianja, Nurilam. Hubungan Bahasa dengan Otak. (Medan: Universitas Negri Medan Fakultas Bahasa dan Seni). Harras, Kholid A. 2009. Dasar-Dasar Psikolinguistik. (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Press). Idris, Ridwan. 2009. Mengatasi Kesulitan Belajar dengan Pendekatan Psikologi Kognitif. Lentera Pendidikan. Vol: 12. No. 2. Indah, Rohmani Nur. Gangguan Berbahasa (Malang: UIN Press, 2011), Prasetya, Dwi. Pembelajaran Berbantuan Komputer Untuk Anak Kesulitan Menulis (Disgrafia). Vol : 14,. 2010. Suhartono, Pembelajaran Menulis Untuk Anak Disgrafia di Sekolah Dasar, UPBJJ-UT Semarang, Vol. 12 , No. 1, 2016 Tri Budianingsih, Jurnal: Peran Neurolinguistik Dalam Pengajaran Bahasa, (Jakarta: Universitas AL-AZHAR INDONESIA, Fakultas Sastra, 2015), Trubus Raharjo, Kesadaran Phonologi Dengan Literasi Membaca Pada Anak Disleksia: Kajian Meta Analisis, 2018 Universitas Muria Kudus.

14

Related Documents

Human Communication
October 2019 24
Human
April 2020 30
Human
November 2019 41
Human
May 2020 16

More Documents from ""