HUKUM SEPUTAR SHOLAT JAMA’ KETIKA TURUN HUJAN Menjama’ shalat berarti menggabungkan dua shalat di salah satu waktu. Menjama’ shalat ini berlaku pada shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’. Menjama’ shalat ini boleh dilakukan di waktu shalat yang pertama dan disebut jama’ taqdim. Atau boleh pula dilakukan di waktu shalat yang kedua dan disebut jama’ takhir. Adapun sebab diperbolehkannya safar bisa karena keadaan safar dan keadaan mukim (tidak bersafar). Di antara sebab menjama’ yang diperbolehkan ketika keadaan mukim adalah karena hujan yang menyulitkan. Dalil yang Membolehkan Jama’ Ketika Hujan [Dalil Pertama] Dari Ibnu ’Abbas, beliau mengatakan,
ُّ َ بَيْن-صلى هللا عليه وسلم- َِّللا َ غي ِْر خ َْوفٍ َوالَ َم سو ُل ه َ َاء بِ ْال َمدِينَ ِة فِى ط ٍر ِ ب َو ْال ِعش ْ َالظ ْه ِر َو ْالع ُ َج َم َع َر ِ ص ِر َو ْال َم ْغ ِر ”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.” Dalam riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku bertanya pada Ibnu ’Abbas mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya.” Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yang berkata pada Ibnu ’Abbas, ”Apa yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam inginkan dengan melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau ingin tidak memberatkan umatnya.”[1] Syaikh Al Albani mengatakan, ”Perkataan Ibnu ’Abbas ”bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan”, ini pertanda bahwa menjama’ shalat ketika hujan sudah dikenal di masa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Seandainya bukan demikian, lantas apa faedahnya udzur hujan ditiadakan dalam perkataan beliau tersebut sebagaimana udzur-udzur menjama’ shalat lainnya. Renungkanlah!”[2] [Dalil Kedua] Dari Abu Az Zubair, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, beliau berkata,
ُّ سله َم صلهى ه سو ُل ه َ ب َو ْال ِعشَا َء َج ِميعًا ِم ْن س َف ٍر ْ الظ ْه َر َو ْال َع ُ صلهى َر َ ص َر َج ِميعًا َو ْال َم ْغ ِر َ َُّللا َ غي ِْر خ َْوفٍ َو َال َ علَ ْي ِه َو َ َِّللا َ ”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat Dzuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’ secara jama’, bukan dalam keadaan takut maupun safar.”[3] Yang meriwayatkan dari Abu Az Zubair adalah Imam Malik dalam Muwatho’nya. Imam Malik mengatakan, ”Aku menyangka bahwa menjama’ di sini adalah ketika hujan.” Al Baihaqi mengatakan, ”Begitu pula hadits ini diriwayatkan oleh Zuhair bin Mu’awiyah dan Hammad bin Salamah, dari Abu Az Zubair, juga dikatakan, ”(Beliau menjama’) bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena safar. Akan tetapi dalam riwayat tersebut tidak disebutkan shalat Maghrib dan ’Isya dan hanya disebut jama’ tersebut dilakukan di Madinah.” [4] Artinya, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan jama’ ketika mukim (tidak bepergian) dalam kondisi hujan. [Dalil Ketiga] Imam Malik dalam Al Muwatho’ mengatakan dari Nafi’,
َ ب َوال ِعشَاء ِفِي ال َم ط ِر َج َم َع َمعَ ُه ْم ُ َأ َ هن اِبْن ِ ع َم َر َكانَ إِذَا َج َم َع األ ُ َم َرا ُء بَيْنَ ال َم ْغ ِر
”Apabila para amir (imam shalat) menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ ketika hujan, Ibnu ’Umar ikut menjama’ shalat bersama mereka.”[5] Ini berarti Ibnu ’Umar menyetujui perbuatan menjama’ shalat ketika hujan. [Dalil Keempat] Hisam bin Urwah mengatakan bahwa:
َث بْنَ ِهشَام بْنَ ال ُم ِغي َْرة َ ال َم ْخ ُز ْو ِمي َكانُ ْوا يَجْ َمعُ ْون ِ ار ُ ُأ َ هن أَبَاه ع ْب ِد ه َ َهب َوأَبَا بَ ْك ٍر بْن َ سي َ س ِع ْيدَ بْنَ ال ُم َ ع ْر َوة َ َو ِ الرحْ َم ِن بْنَ ال َح َصالَتَي ِْن َوالَ يُ ْن ِك ُر ْونَ ذَلِك ِ ب َوال ِعش َاء فِي الله ْيلَ ِة ال َم ِطي َْرةِ ِإذَا َج َمعُ ْوا بَيْنَ ال ه ِ بَيْنَ ال َم ْغ ِر ”Sesungguhnya ayahnya (Urwah), Sa’id bin Al Musayyib, dan Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Al Harits bin Hisyam bin Al Mughiroh Al Makhzumi biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ pada malam yang hujan apabila imam menjama’nya. Dan mereka tidak mengingkari hal tersebut.”[6] [Dalil Kelima] Dari Musa bin Uqbah,
َ اآلخ َر ِة ِإذَا َكانَ ال َم َع ْر َوة َ ابْن ُ ب َو ِ َاء ِ ب َوال ِعش ُ أ َ هن ِ س ِي ِ ع ْب ِد ال َع ِزي ِْز َكانَ َيجْ َم ُع َبيْنَ ال َم ْغ ِر َ َع َم َر بْن َ س ِع ْيدَ بْنَ ال ُم َ ط ُر َوأ َ هن ُ َ الرحْ َم ِن َو َم َصلُّ ْونَ َم َع ُه ْم َوالَ يُ ْن ِك ُر ْونَ ذَلِك ع ْب ِد ه َ َالز َبي ِْر َوأبَا َب ْك ٍر بْن َ ُان َكانُ ْوا ي ِ ش ْي َخةَ ذَلِكَ الزَ َم ”Sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ ketika hujan. Dan Sa’id bin Al Musayyib, ’Urwah bin Az Zubair, Abu Bakr bin Abdur Rahman, dan para ulama ketika itu, mereka shalat bersama para amir (baca: imam shalat) dan mereka tidak mengingkarinya.”[7] Syaikh Al Albani mengatakan, ”Dua dalil di atas menunjukkan bahwa menjama’ shalat karena hujan sudah sering dilakukan di tengah-tengah para salaf.”[8] Hanya Boleh Menjama’ Shalat, Tanpa Mengqoshor Yang dimaksud mengqoshor shalat adalah meringkas shalat yang jumlahnya empat raka’at (shalat Zhuhur, ’Ashar, dan ’Isya) menjadi dua raka’at. Perlu diperhatikan di sini, bahwa menjama’ shalat ketika hujan adalah hanya menggabungkan dua shalat saja di salah satu waktu, tanpa mengqoshornya. Karena perlu dipahami bahwa menjama’ shalat tidak selamanya digabungkan dengan qoshor. Boleh melakukan jama’ saja tanpa qoshor seperti ketika hujan. Sedangkan ketika safar, boleh menqoshor shalat saja tanpa menjama’. Syaikh ’Abdul Aziz bin ’Abdillah bin Baz rahimahullah mengatakan, ”Tidak boleh mengqoshor shalat dalam keadaan hujan, yang dibolehkan adalah hanya menjama’ saja kalau kondisinya adalah mukim (bukan bersafar). Mengqoshor shalat merupakan hanya keringanan ketika bersafar. Wallahu waliyyut taufiq.”[9]
Jama’ Ketika Hujan Dilakukan dengan Imam di Masjid, Bukan di Rumah Jama’ ketika hujan ini hanya boleh dilakukan di masjid bersama imam masjid. Karena ketika di masjid barulah ada kesulitan. Sedangkan jika seseorang berinisiatif shalat di rumah ketika hujan, maka ia tidak mendapat kesulitan sama sekali. Dalam Fatawal Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) no. 4554 terdapat pertanyaan, . أفيدونا، ما حكم الجمع في البيت في أيام المطر أو أيام البرد إذا كنا جماعة؟ والذي نعرفه أن الجمع في المسجد وليس في البيت:س ”Apa hukum menjama’ shalat di rumah ketika hujan atau cuaca dingin apabila kami adalah jama’ah? Yang kami ketahui bahwa jama’ hanya di masjid bukan di rumah.” Jawab:
وبهذا جاءت األحاديث، ورفقا بالناس، كسبا لثواب الجماعة، كالمطر، المشروع أن يجمع أهل المسجد إذا وجد مسوغ للجمع:ج وعدم وجود العذر المسبب، أما جمع جماعة في بيت واحد من أجل العذر المذكور فال يجوز؛ لعدم وروده في الشرع المطهر.الصحيحة .للجمع ”Yang dibolehkan adalah para jama’ah masjid menjama’ apabila mendapatkan sesuatu yang membolehkan untuk menjama’ (seperti hujan, pen) untuk memperoleh pahala shalat berjama’ah dan untuk memberi kemudahan bagi banyak orang. Hal ini dibolehkan berdasarkan hadits yang shohih. Adapun menjama’ dengan berjama’ah di suatu rumah karena ada udzur yang telah disebutkan maka seperti itu tidak diperbolehkan. Karena tidak adanya dalil dalam syari’at yang suci ini dan tidak adanya udzur yang menyebabkan boleh untuk menjama’ shalat. Wa billahit taufiq wa shollallahu ’ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam.” Fatwa ini ditandatangani oleh ’Abdullah bin Qu’ud dan ’Abdullah bin Ghodyan sebagai anggota, ’Abdur Rozaq ’Afifi sebagai Wakil Ketua, dan ’Abdul ’Aziz bin Baz sebagai Ketua.[10] Bagaimana Jika Sudah Menjama’ Lalu Hujan Reda? Apabila shalat telah dijama’ pada waktu pertama dari dua shalat, lalu hilang udzur (sebab untuk menjama’) seperti shalat ketika hujan kemudian hujan tersebut reda, maka shalatnya tetap sah. Shalat yang telah dijama’ tadi tetap sah dan tidak perlu diulangi. Karena jika shalat yang dijama’ telah selesai ditunaikan dan udzur melakukan jama’ masih ada, maka shalatnya diterima. Dan tidak mengapa apabila udzur sudah tidak ada lagi.[11] Bolehkah Menjama’ Shalat Zhuhur dan Ashar Karena Hujan? Hal ini terdapat perselisihan pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bolehnya menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’ bagi orang mukim (tidak bersafar) ketika hujan. Kecuali Imam Malik, ia hanya membolehkan menjama’ shalat ketika hujan untuk shalat Maghrib dan Isya’ (shalat yang dikerjakan di malam hari) saja, sedangkan shalat Zhuhur dan Ashar tidak dijama’.[12] Lalu manakah pendapat yang kuat? Yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama yang membolehkan jama’ untuk shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya ketika hujan. Dalilnya, dari Abu Az Zubair, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, beliau berkata, ”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat Dzuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’ secara jama’, bukan dalam keadaan takut maupun safar.”[13] Yang meriwayatkan dari Abu Az Zubair adalah Imam Malik dalam Muwatho’nya. Imam Malik mengatakan, ”Aku menyangka bahwa menjama’ di sini adalah ketika hujan.” Berikut penjelasan tambahan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ’Utsamin: Jika ada yang mengatakan, ”Apa dalil yang mengkhususkan menjama’ shalat Maghrib-Isya ketika angin kencang, hujan, atau jalan yang licin?” Beliau rahimahullah lalu mengatakan, ”Dalil yang digunakan oleh ulama yang mengkhususkan jama’ ketika hujan pada shalat Maghrib dan ’Isya saja adalah hadits,
" ٍ َج َم َع بَيْنَ ال ِعشَائَي ِْن فِي لَ ْيلَ ٍة َم ِطي َْرة: سله َم ُ الر أ َ هن ه َ ُصلهى هللا َ علَ ْي ِه َو َ س ْو َل ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ ketika hujan di waktu malam.” Namun hadits ini perlu ditinjau lagi. Hadits ini adalah riwayat An Najad dan bukan riwayat Bukhari.[14] Lalu Syaikh Ibnu ’Utsaimin mengatakan, ”Walaupun dalam hadits itu dikatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjama’ shalat ketika hujan di malam hari (pada saat Maghrib dan Isya’, pen), bukan berarti ini adalah larangan untuk menjama’ shalat di siang hari ketika hujan (pada saat Zhuhur dan Ashar, pen). Karena illah (sebab) dari dilakukan jama’ ketika hujan adalah adanya kesulitan. Maka pendapat yang benar dari permasalahan ini adalah: bolehnya menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar karena sama-sama termasuk udzur (alasan), sebagaimana pula boleh menjama’ shalat Maghrib dan Isya’. Dan illahnya (sebabnya) adalah karena terdapat kesulitan. Maka apabila didapatkan kesulitan baik di malam atau siang hari maka diperbolehkan menjama’ shalat ketika itu.”[15]
Jama’ Shalat Ketika Hujan Haruskah Jama’ Taqdim atau Jama’ Ta’khir ? Dalam Syarhul Mumthi’ 2/285 dikatakan bahwa apabila seseorang ingin menjama’ maka boleh baginya memilih jama’ taqdim (dikerjakan pada waktu shalat pertama) atau jama’ takhir (dikerjakan pada waktu shalat kedua), tergantung mana yang dianggap paling mudah. Kalau jama’ takhir itu lebih mudah maka shalat jama’nya dilakukan pada waktu shalat kedua. Kalau jama’ taqdim itu lebih mudah maka shalat jama’nya dilakukan pada waktu shalat pertama. Dalilnya adalah sebagai berikut : Pertama, firman Allah Ta’ala,
ي ُِريدُ ه َّللاُ بِ ُك ُم ْاليُس َْر َو َال ي ُِريدُ بِ ُك ُم ْالعُس َْر ”Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185) Kedua, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
إِ هن الدِينَ يُسْر ”Sesungguhnya agama itu mudah.”[16] Ketiga, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bepergian sebelum matahari bergeser ke barat, beliau mengerjakan shalat Zhuhur pada waktu Ashar. Apabila matahari bergeser ke barat beliau shalat Zhuhur dan Ashar (dengan jama’ di waktu Zhuhur), lalu beliau berangkat. Keempat, Jama’ adalah syari’at untuk mempermudah hamba. Maka apa yang paling mudah itulah yang paling afdhol (utama). Kemudian Syaikh Al Utsamin dalam kitab ini mengatakan,”Jika menjama’ ketika hujan, manakah yang lebih utama, dengan jama’ taqdim ataukah takhir?” Syaikh mengatakan,”Yang paling afdhol adalah jama’ taqdim karena itulah yang paling mudah bagi manusia ketika itu. Oleh karena itu, banyak orang yang menjama’ shalat ketika hujan dengan jama’ taqdim.” Bolehkah Menjama’ Shalat Jum’at dan Ashar ? Sebagian ulama memang tidak membolehkan hal ini, sebagaimana pendapat Syaikh Ibnu Baz, yang pernah menjawab sebagai ketua Al Lajnah Ad Da-imah (komisi Fatwa di Saudi Arabia).[17] Namun yang lebih tepat adalah hal ini dibolehkan. Karena shalat Zhuhur dan shalat Jum’at statusnya sama. Jika ada udzur hujan, maka dibolehkan untuk menjama’. Dalam Kifayatul Akhyar, kitab fiqh bermazhab Syafii disebutkan, ”Sebagaimana dibolehkan menjama’ shalat Zhuhur dengan Ashar karena hujan, juga dibolehkan menjama’ shalat Jum’at dengan Ashar”.[18]
Ukuran Hujan yang Memperbolehkan Jama’ Dalam Al Mughni disebutkan, ”Hujan yang membolehkan seseorang menjama’ shalat adalah hujan yang bisa membuat pakaian basah kuyup dan mendapatkan kesulitan jika harus berjalan dalam kondisi hujan semacam itu. Adapun hujan yang rintik-rintik dan tidak begitu deras, maka tidak boleh untuk menjama’ shalat ketika itu.”[19] Dalam Kifayatul Akhyar disebutkan, ”Orang yang tidak bepergian jauh dibolehkan untuk menjama’ shalat pada waktu pertama dari shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ dikarenakan hujan, menurut pendapat yang benar. Meski ada juga yang berpendapat bahwa menjama’ karena hujan hanya berlaku untuk shalat Maghrib dan Isya’ karena kondisi ketika malam itu memang lebih merepotkan.
Hukum ini disyaratkan jika shalat dikerjakan di suatu tempat yang seandainya orang itu berangkat ke sana akan kehujanan sehingga pakaiannya menjadi basah. Demikian persyaratannya menurut Ar Rafii dan An Nawawi. Namun yang benar meski hujan tidak terlalu deras asalkan membasahi pakaian. Sedangkan Qodhi Husain memberi syarat tambahan yaitu alas kaki juga menjadi basah sebagaimana pakaian. Al Mutawalli juga menyebutkan hal yang serupa dalam kitab At Tatimmah.[20] Jika Masih Terlihat Mendung, Bolehkah Menjama’ Shalat? Syaikh Muhammad bin Sholih Al ’Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, ”Apabila langit mendung namun hujan belum turun, jalan-jalan juga tidak berlumpur, akan tetapi hujan diperkirakan akan terjadi, bolehkah menjama’ shalat?” Syaikh rahimahullah menjawab, ”Tidak boleh menjama’ shalat dalam kondisi seperti itu karena sesuatu yang hanya perkiraan adalah sesuatu yang belum pasti terjadi. Dan betapa banyak perkiraan manusia akan terjadi hujan dengan semakin tebalnya awan, ternyata awan menghilang dan hujan pun tidak turun sama sekali.”[21] Perhatian: Tidak Boleh Bermudah-mudahan dalam Menjama’ Shalat Ketika Hujan Dalam khutbah Jum’at pada tanggal 13/7/1412 H, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, ”Tidak boleh seorang muslim mengerjakan shalat sebelum waktunya berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Barangsiapa yang melakukan demikian dengan sengaja, maka dia telah berdosa dan shalatnya tidak sah. Barangsiapa yang melakukan demikian karena tidak tahu (jahil), maka dia tidak berdosa. Akan tetapi, ia harus mengulangi shalatnya karena shalat yang ia lakukan sebelum waktunya hanya termasuk shalat nafilah (sunnah) saja. Termasuk mengerjakan shalat sebelum waktunya adalah menjama’ shalat Ashar di waktu Zhuhur atau shalat Isya di waktu Maghrib tanpa udzur (alasan) syar’i yang memperbolehkan untuk menjama’ shalat. Perbuatan seperti ini termasuk melanggar aturan Allah dan menentang hukum-Nya karena hal ini berarti telah meremehkan perkara yang wajib yang merupakan bagian dari rukun Islam. Perbuatan semacam ini termasuk dosa besar. Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ’anhu telah menyatakan,
ف ِ ْ َوال ِف َر ِار ِمنَ الزَ ح،ب ُ ص هالتَي ِْن ِإ هال ِم ْن ِ َوالنه ْه،ع ْذ ٍر َ َ ال َج ْم ُع َبيْن:ث َ َالث ِمنَ ال َك َبا ِئ ِر ”Tiga perkara yang termasuk dosa besar : [1] Menjama’ dua shalat tanpa ada udzur (alasan), [2] Merampok, dan [3] Lari dari pertempuran.” ... Dan sebagian orang menganggap remeh masalah ini, mereka malah menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta shalat Maghrib dan Isya tanpa ada udzur sama sekali. Imam Muslim berkata dalam kitab shohihnya (dari Ibnu Abbas, pen), ”Sesungguhnya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena hujan atau bukan dalam keadaan takut.” Lalu ada yang mengatakan (pada Ibnu Abbas, pen), ”Apa yang Rasulullah inginkan dari hal ini?” Beliau berkata, ”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tidak ingin menyulitkan umatnya.” Jika kita betul-betul memperhatikan hadits ini akan jelas bahwa apabila hanya sekedar hujan, maka itu bukan merupakan alasan untuk menjama’ shalat, bahkan ini tidak termasuk udzur (alasan) sampai seseorang mendapatkan kesulitan bila tidak menjama’. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan mengenai hadits Ibnu Abbas tadi, ”Jama’ yang Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lakukan adalah untuk menghilangkan kesulitan dari umatnya. Jama’ diperbolehkan apabila ketika tidak menjama’ akan mendapatkan kesulitan. Padahal Allah ingin menghilangkan kesulitan dari umat-Nya.” Berdasarkan penjelasan Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma dan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, maka jelaslah bahwa tidak boleh seseorang menjama’ shalat hingga mendapatkan kesulitan kalau tidak menjama’nya.” Dalam lanjutan khutbah di atas, Syaikh Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, ”Dan telah dijelaskan oleh para ulama rahimahullah bahwa hujan yang membolehkan seseorang menjama’ dan
meninggalkan shalat jama’ah adalah hujan yang menimbulkan kesulitan. Dikatakan Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni, 2/375,”Hujan yang dibolehkan seseorang menjama’ shalat adalah yang membasahi pakaian dan menimbulkan kesulitan ketika keluar pada saat hujan. Adapun hujan gerimis (rintik-rintik) yang tidak membasahi pakaian maka tidak dibolehkan untuk menjama’ shalat. Adapun semata-mata jalan yang berlumpur (karena sebelumnya telah turun hujan), maka terdapat perselisihan dalam ulama mazhab (Hambali) dan di antara murid-murid Imam Ahmad, apakah termasuk alasan yang bisa dibenarkan untuk menjama’ shalat ataukah bukan? Yang benar kondisi seperti ini termasuk alasan yang dibenarkan ketika memang menimbulkan kesulitan.”[22] Bersambung insya Allah pada pembahasan Keringanan Menjama' Shalat Ketika Mukim.
Kami harap pembaca dapat membaca pula tiga artikel sebelumnya: 1. Beberapa amalan ketika turun hujan. 2. Fenomena Kilatan Petir dan Geledek. 3. Keringanan Ketika Hujan: Dibolehkan Meninggalkan Shalat Jama'ah. Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel http://rumaysho.com
[1] HR. Muslim no. 705. [2] Lihat Irwa’ul Gholil fii Takhrij Ahadits Manaris Sabil, Muhammad Nashiruddin Al Albani, 3/4o, Al Maktab Al Islamiy, Beirut, cetakan kedua, tahun 1405 H. [3] HR. An Nasa-i no. 601. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. [4] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 24/73. [5] HR. Malik dalam Al Muwatho’ (1/145). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Irwa’ul Gholil no. 583. [6] HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro (3/169). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat Irwa’ul Gholil no. 583. [7] HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro (3/169). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat Irwa’ul Gholil no. 583. [8] Lihat Irwa’ul Gholil fii Takhrij Ahadits Manaris Sabil, 3/4o. [9] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 12/292, Mawqi’ Al Ifta’. [10] Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Iftaa’, 8/135, Darul Ifta’. [11] Lihat Al Jami’ Liahkamish Sholah, Mahmud ‘Abdul Latif ‘Uwaidhoh, 2/ 497-499, Daruk Wadhoh, ‘Amman, Yordania, cetakan ketiga, tahun 2004. [12] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 1/493, Maktabah At Taufiqiyah. [13] HR. An Nasa-i no. 601, shahih. [14] Hadits ini diriwayatkan oleh An Najad dengan sanadnya. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if jiddan (sangat lemah sekali). (Lihat Irwa’ul Gholil no. 581, 3/39)