Hukum Lingkungan Kelompok 7.docx

  • Uploaded by: Tiara Limbong
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hukum Lingkungan Kelompok 7.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,105
  • Pages: 21
Jaya hasiholan Limbong A.Pengertian Hukum Lingkungan Keperdataan Hukum lingkungan Keperdataan(Privaatrechtelijk milieurecht) merupakan salah satu aspek dari berbagai aspek hukum lingkungan lainnya.Sebagaimana dikatakan Drupsteen,bahwa hukum lingkungan meliputi Pula aspek hukum administrasi,pidana,perdata,bahkan hukum internasional yang dalam perkembangannya telah menjadi bidang hukum Yang berdiri sendiri. Dari Segi substansinya,secara umum hukum lingkungan keperdataan menurut Munadjad Danusaputro mengandung Ketentuan-ketentuan yang mengatur tatanan masyarakat orang-seorang Berikut Badanbadan Hukum perdata dan hubungan yang melandasi orang-seorang berikut badan-badan hukum perdata satu sama lain,begitu pula yang melandasi hubungan hukum orang-seorang berikut badan-badan hukum perdata berhadapan dengan badan-badan negara ,manakala badan-badan negara tersebut bertindak sebagai badan hukum perdata dalam menyelenggarakan hak dan kewajiban.pendapat ini masih bersifat umum ,karena hanya menekankan pada pengaturan tatanan hubungan keperdataan pada umumnya dan belum di fokuskan pada hubungan keperdataan dalam bidangLingkungan hidup .Hubungan keperdataan dalam bidang lingkungan akan terkait dengan pemenuhan hak dan kewajiban antarindividu atau kelompok mengenai lingkungan hidup yang baik dan sehat .Jika hak salah satu pihak dirugikan,maka ia dapat meminta segera dihentikannya perbuatan yang menimbulkan kerugian itu dan sekaligus menuntut ganti kerugian seta pemulihan hak-hak yang di rugikan. Pendapat lain yang lebih tegas mengenai pengertian hukum lingkungan keperdataan dikemukakan Situ Sundari Rangkuti,bahwa

hukum lingkungan keperdataan terutama mengatur perlindungan hukum bagi korban pencemaran dan/atau perusakan Lingkungan akibat perbuatan pencemar yang menimbulkan kerugian bagi korban dan menyebabkan penderita berhak mengajukan gugatan ganti kerugian Terhadap Pencemaran. Dari pendapat di atas ,Jelaslah Bahwa hukum lingkungan keperdataan secara substansian memuat ketentuan yang berkaitan dengan pemenunuhan hak-hak keperdataan seseorang,kelompok orang dan badan hukum perdata dalam kaitannya dengan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Jika hak-hak keperdataan ini dirugikan oleh satu pihak,misalnya karena terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan,maka dalam upaya perlindungan hukumnya digunakan sarana hukum lingkungan keperdataan. Perlindungan lingkungan bagi korban pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan diberikan dengan cara memberikan hak kepada penggugat untuk mengajukan gugatan ganti kerugian atau tindakan pemulihan lingkungan terhadap pencemaran. Dalam hukum lingkungan modern, ditetapkan ketentuan dan normanorma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasigenerasi mendatang. Hukum Lingkungan modern berorientasi pada lingkungan, sehingga sifat dan waktunya juga mengikuti sifat dan watak dari lingkungan itu sendiri dan dengan demikian lebih banyak berguru kepada ekologi. Dengan orientasi kepada lingkungan ini, maka Hukum Lingkungan Modern memiliki sifat utuh menyeluruh atau komprehensif integral, selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes.

FADHILA NANA PUTRI B. Tanggung Gugat Lingkungan dan Beban pembuktian Tanggung gugat lingkungan mengandung arti bahwa seseorang atau badan hukum perdata wajib bertanggung gugat untuk membayar ganti rugi atau melakukan tindakan tertentu akibat perbuatan dan kerugian yang mereka lakukan,baik secara sendiri – sendiri maupun secara bersama – sama. 1. Tanggung Gugat Berdasarkan Kesalahan (Schuldaansprakelijkheid,liability Based onFault)Dalam hukum perdata konsep tanggung gugat ini tertuang pasal 1365 KUH.Perdatatentang perbuatan melawan hukum,yang sebenarnya mengandung persamaandengan Pasal 1401 BW Belanda (Artikel 6.3.1.1.NBW).Ketentuan ini telah diadopsi baik dalam UUPLH1997{Pasal 34 ayat(1) maupun UUPPLH-2009 [Pasal 87 ayat (1)].Kelemahan gugatan lingkungan adalah sulitnya membuktikan unsur-unsur perbuatanmelawan hukum tersebut,terutama unsur kesalahan dan hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian yang ditimbulkan.Gugat ganti rugi dengan dasar perbuatan melawan hukum berupa pencemaran dan atau perusakan lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (1) UUPLH-2009 jo. Pasal 1365 KUH.Perdata cenderung gagal di pengadilan. 2. Tanggung Gugat Berdasarkan Kesalahan dengan Beban Pembuktian Terbalik (Schuldaansprakelijkheid met Omkering van de Bewijslast,Shifting the Burden ofProof) Konsep tanggung gugat ini termasuk jenis tanggung gugat yang dipertajam, yaitu dengan membalik kewajiban beban pembuktian. Tanggung gugat ini menekankan kepada beban pembuktian terbalik bagi tergugat (defendant). Sebagaimanadikemukakan Krier: What might be urged upon the court short of a rule of strict liability is one providing

that,once plaintiff has shown by a reduced burden of proof that the defendant’s activity caused broad environtmental damage, the burden of proof shifts to the defendant to show that the highest degree of care was in fact used. Konsep tanggung gugat ini tertuang dalam Pasal 1367 ayat (2) jo. Ayat (5) KUH.Perdata tentang gugat orang tua dan wali, dan Pasal 1368 KUH.Perdata tentang gugat pemilik binatang. 3. Tanggung gugat mutlak (strict liability)mengandung makna bahwa gugat timbul seketika pada saat terjadinya perbuatan,tanpa mempersoalkan kesalahan tergugat. Sejak pertengahan abad ke-19 strict liability ini mulai diperkenalkan di berbagai negara sebagaimana dikatakan Lummert: Since the middle of the nineteenth century, strict liability has been introduced in all counturies, at least for particular types of cases, a large number of which are connected to environmental hazards. Di Prancis, di bawah Code Civil-nya, strict liability diterapkan untuk instalasi yang berbahaya. Demikian halnya di Belanda,Jerman,Switzerland,dan Swedia, konsep strict liability sudah dianut dalam perundang-undangan sebagai prinsip umum untuk kegiatan yang sifatnya berbahaya. Di amerika serikat konsep strict liability dirumuskan dalam pasal 519 ayat (1) (2) dan pasal 520 the restatment (second) of tort.Tanggung gugat tanpa kesalahan atau tanggung gugat mutlak telah diterapkan dalam konvensi paris 1960 tentang kapal nuklir yang mengatakan: “..because of special dangers involved in the activities in the activities within the daya alam memikul tanggung jawab mutlak dan membayar biaya rehabilitas lingkungan laut dan/atau sumber daya alam tersebut dengan segera dan dalam jumlah yang memadai. ( yang mengerjakan nana) Menurut Pasal 11 ayat (2) UU ZEE pencemar dibebaskan dari tanggung jawab

Livia Kusumadiani Putri mutlak jika ia dapat membuktikan bahwa pencemaran lingkungan laut dan/atau perusakan sumber daya alam tersebut terjadi karena: a. Akibat dari suatu peristiwa alam yang berada di luar kemampuannya dan b. Kerusakan yang seluruhnya atau sebagian,disebabkan oleh perbuatan atau kelalaian pihak ketiga Pengaturan strict liability dalam undang-undang lingkungan sudah ada sejak UULH-1982 (Pasal 21). Ketentuan ini diatur kembali dalam pasal 35 UUPLH-1997,dan terakhir diatur dalam Pasal 88 UUPPLH2009 yang menentukan: Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.Dari ketentuan CLC, UU ZEE, dan UUPPLH-2009 jelaslah bahwa strict liability diterapkan secara terbatas, yaitu pada kasus tertentu yang berbahaya,seperti pencemaran minyak dilaut, dan/atau perusakan sumber daya alam di wilayah ZEE Indonesia, akibat penggunaan B3, Limbah B3, dan/atau menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan.4. Tanggung Gugat Bersama (Hoofdelijk Aansprakelijkheid, Jointly and Severally Liability) Konsep ini pernah diterapkan pada tahun 1972 di New York dalam kasus perlindungan konsumen Hall v. E.L Dupon De Nemours & Co. Tanggung gugat ini juga dianut di Belanda: Joint and several liability are the ruling Dutch law in the case of liability of multipletortfeasors. The question is whether the defendants will be held jointly and severallyliable if there are multiple polluters and the damages are extensive. Market Share Liability in its pare from has not been used in the Netherlands yet. Dalam UUPPLH-2009 konsep tanggung gugat bersama tidak ditemukanpengaturannya. Dalam hal pencemaran minyak diluar

wilayah, konsep tanggung gugat inidiatur dalam Article IV CLC yang menentukan:When oil has escaped or has been discharged from two or more ships, and pollutiondamage results thereform, the the owners of all the ships concerned, unless exoneratedunder article 111, shall be jontly and severally liable for all such damage which is notreasonably separable.Tanggung gugat bersama juga dianut dalam Pasal 30 (1) UU No. 10 Tahun 1997 tentangKetenaganukliran yang menentukan:“Apabila pertanggungjawaban kerugian nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28melibatkan lebih dari satu pengusaha instalasi nuklir dan tidak mungkin menentukan secara pasti bagian kerugian nuklir yang disebabkan oleh tiap-tiap pengusaha instalasi nuklirtersebut, pengusaha tersebut bertanggung jawab secara bersama-sama.”Jumlah pertanggungjawaban tiap-tiap pengusaha instalasi nuklirnya menurut Pasal 30 ayat(2) jo. Pasal 34 ayat (1) UU Ketenagakerjaan ini dibatasi paling banyak Rp. 900.000.000,00(sembilan ratus miliar rupiah) untuk setiap kecelakaan nuklir, baik untuk setiap instalasinuklir maupun untuk setiap pengangkutan bahan bakar nuklir bekas.5. Tanggung Gugat Berdasarkan Andilnya dalam Pencemaran (vervuilersaandeel Aansprakelijkheid,Pollution Share Liability)Konsep atau teori ini pada awalnya diperkenalkan oleh seorang mahasiswa fakultas hukum dalam tulisannya di Fordham Law Revier (1978). Yang kemudian diadopsi oleh pengadilan negara bagian California tahun 1980 dalam kasus product liabilitysindell v. Abott Laboratories. Putusan Supreme Court of California dalam kasus ini antara lain menetapkan:Each defendant will be held liable for the proportion of the judgment represented by its share of that market, unless it demonstrates that it could not have made the product which caused plaintiff’s injuries.Konsep atau teori mengenai “pollution share liability” ini ternyata juga belum diatur dalam UUPPLH-2009 maupun peraturan perundang-undangan lingkungan lainnya.

ARIS ISKANDAR C. Ganti Rugi, Tindakan Tertentu, dan Pembayaran Uang Paksa

Menurut pasal 87 ayat ( 1 ) UUPLH-2009 ada dua jenis ganti rugi yaitu : (1)ganti rugi kepada orang yang menderita kerugian akibat pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan. (2) ganti rugi kepada linkungan hidup itu sendiri.Selain kewajiban membayar ganti rugi tersebut pencemaran dan/ atau perusak lingkungan dapat kenakan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk : a) Memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan. b) Memulihlkan fumgsi linkungan hidup; dan/atau c) Menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusak lingkungan hidup. Dalam kaitan dengan pembebanan untuk melakukan tindakan hukum tertentu tersebut, dalam pasal 87 ayat (3) dan (4) UUPPLH2009 ditentukan bahwa pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap keterlibatan atas pelaksanaan putusan pengadilan. Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pembayaran uang paksa ini harus melalui pengadilan untuk menjamin agar putusannya dilaksanakan, sehingga berbeda dengan maksaud pembayaran uang paksa ( dwangsom) sebagai sanksi hukum administrasi. Dalam UUPPLH-2009 tidak dinyatakan bagaimana bentuk jenis dan besarnya ganti rugi yang dapat digugat. Untuk itu, sebagai perbandingan menurut yurisprudensi di jepang bahwa bantuan terhadap korban pencemaran tidak hanya terbatas pada biaya

perawatan medik, melainkan meliputi rasa sakit dan penderitaan atau cacat. Bahkan menurut jurisprudensi kasus Nigato dan Komamoto, ganti kerugian yang dituntut dapat berupa jilangnya kesempatan untuk menikah,hilangnya mata pencaharian, dan terhadap keluarga yang ditinggal oleh penderita yang meninggal dunia dapat menuntut ganti kerugian berupa : a) Bantuan kekurangan pada anak yang msih ditanggung b) Suami/istri, orang tua dan anak yang belum dewasa c) Tunjangan anak d) Wanita hamil yang terganggu kehamilannya dsb. Dalam kasus itu padanya umumnya penggugat hanya menggugat hal yang berhubungan dengan derita emosional dan mental serta biaya pengacara. Kemungkinan dapat terjadi gugatan terhadap hilangnya mata pencarian ( loos of income ) karena cacat fisik ( loos of ability to work ). Disamping itu, bentuk ganti kerugian dapat pula menyangkut hilangnya kesempatan untuk menikah ( the loos of opportunity for marriage ).

JHANSEN SIAHAAN D. Gugatan Kelompok (Class Action) Dalam hukum lingkungan keperdataan tidak selalu terdapat sengketa lingkungan antarindividu, tetapi juga atas nama kelompok masyarakat dengan kepentingan yang sama melalui gugatan kelompok (class action) atau yang di Amerika Serikat dikenal dengan “actiopopularis”. Gugatan perdata dalam perkara lingkungan tidak saja menyangkut hak milik atau kerugian, tetapi juga kepentingan lingkungan yang baik dan sehat bagi warga masyarakat. Peranan class action penting dalam kasus pencemaran yang menyangkut a mass of people,di pedesaan, yaitu rakyat biasa yang awam dalam ilmu. Class action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak, misalnya satu atau dua orang) sebagai perwakilan kelas (class represntstives) mewakili kepentingan mereka,sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban.Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan dengan class members. Secara historis, class action pertama kali dipraktikan pada awal abad ke-18 di Inggris. Era modern dari class action ini dimulai ketika diundangkannya supreme court of judicature act pada tahun 1873 di InggrisProsedur gugatan class action ini pertama kali dirumuskan secara komprehensif dalam suatu undang-undang adalah di Amerika Serikat melalui pengaturan dalam US Federal Rule of Civil Procedure (1938), yang kemudian pada tahun 1966 pasal 23 dari federal rule, khusus nyayang terkait tentang prosedur class action diundangkan. Pasal 23 Federal Rule ini

menetapkan persyaratan class action tersebut adalah : numerousity, commonality, typicality,dan class protection/adequacy of representation.Pasal 23 Federal Rule yang merupakan dasar hukum class action memberikan pengaturan terhadap 3 hal, yaitu : 1) Class action dapat merupakan class action sebagai penggugat (plaintif class action). 2) Class action memberi otoritas mengajuka permohonan yang tidak terkait denganganti kerugian uang (injuctive atau declaratory relief). 3) Class action yang memberi dasar tuntutan ganti kerugian uang (“damage” class action). Pasal 23 ini juga mengatur tentang mekanisme penentuan apakah sebuah gugatan dapat dikategorikan class action ataukah gugatan biasa melalui mekanisme “judicial certification”atau “preliminary certification test”.Bagaimana penerapan class action di Indonesia? Gugatan class action tidak mendapat pengaturan dalam UULH-1982. Prosedur ini baru diatur melalui Pasal 37 ayat (1) UUPLH-1997, yang kemudian diatur kembali dalam Pasal 91 UUPLH-2009 yang menentukan: 1. Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingandirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat banyak apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. 2. Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasarhukum, serta jenis tuntutan diantara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.

PANDU Gugatan Class Action ini terdapat dalam UU PPLH 2009, UU Perlindungan Konsumen, UU Kehutanan dan tersumbernya dari Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dalam Pasal 1 huruf a ditentukan bahwa :“Gugatan Perwakilan Kelompok (class action), merupakan tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud” Model gugatan ini sudah lama digunakan di negara-negara dengan sistem Anglo Saxon, yaitu dimulai pada 1873 di Inggris dengan diundangkannya Supreme Court of Judicature Act, dan prosedur gugatannya secara komphensif dirumuskan dalam suatu undangundang di Amerika Serikat melalui US Federal Rule of Civil Procedure yaitu pada tahun 1938. Dengan demikian Class Action bukanlah sesuatu yang baru, hanya saja penerapannya dalam kasus lingkungan yang agak baru. Gugatan Class Action memopunyai manfaat yang cukup besar ketika pengadilan harus menghadapi penggugat dengan jumlah yang cukup besar, sementara memiliki kepentingan yang sama. Misalnya dalam kasus Lapindo, jumlah korban yang sangat banyak, sehingga tidaklah praktis jika gugatan diajukan satu per satu atau sekaligus dalam gugatan. Suatu gugatan class action tidak sama dengan hak gugat organisasi lingkungan (legal standing organisasi lingkungan) karena konsep penerapan class action lebih banyak berkembang

di negara-negara penganut sistem anglo-saxon, maka di Indonesia class action merupakan konsep yang sangat baru dan belum banyak dipahami oleh para penegak hukum maupun praktisi hukum publik di negara ini, dan oleh karenanya tidak sedikit pengertian class action dicampur dengan konsep hak gugat oraganisasi lingkungan.

IMADE BAGAS ADHITYA E. Kewenangan Mengugat (ius standi) oranisasi lingkungan Gugatan terhadap perkara lingkungan tidak saja menyangkut hak milik atau kerugian, tetapi juga kepentingan lingkungan yang baik dan sehat bagi warga masyarakat . dalamrangka gugatan untuk kepentingan lingkungan inilah diperlukan adanya kewenangan menggugat (ius standi/legal standing/standing to sue)dari organisasi lingkungan. Namundemikan penerepan legal standing organisasi lingkungan ini tidaklah mudah , karna adadoktrin hukum perdata tradisional yang menganut asas "tiada gugatan tanpa kepentingan hukum" yang hanya memungkinkan kewenangan mengugat atas dasar kepentingan dan hubungan hukum dengan tergugat serta menimbulkan kerugian.pentingan legal standing organisasi lingkungan ini dikemukan Christoper D. Stone berikut ini : "...ancanaman yang menimpa kelestarian satwa langka atau hutan lindung misalnya akibat ulah manusia memerlukan "kuasa" untuk berperkara demi kepentingan ekologis

dan kepentingan publik. gajah , harimau , pohon pohon langka , benda cagar budaya , tidak dapat maju mengugat di pengadilan menghadapi situasi seperti inilah peranan lembaga swadaya masyarakat yang secara nyata bergerak di bidang lingkungan hidup sangat penting terhadapat gugatan konservasi"Pernyataan stone tersebut memberikan hak hukum (legal right) kepada objek-objek alam dan untuk itu kuasa atau walinya dapat bertindak mewakili kepentingan hukum mereka. dalam hal ini Organisasi lingkungan dapat bertindak sebagai wali (guardian) dari lingkungan . masih menurut stone organisasi lingkungan yang dapat menjadi wali adalah oraganisasi lingkungan kegiatan bakal merusak lingkungan, sebagai wali , pengadilan memberikan hak kepada organisasi tersebut untuk melakukan pengawasan maupun pengurusan terhadap objek alam dimaksud, selanjutnya apabila terhadap objek tersebut terdapat indikasi pelanggaran atas hak hukumnya (misalnya perusakan atau pencemaran ) organisasi tersebut untuk dan atas nama objek alam yang berada dibawah perwaliannya mengajukan gugatan dalam rangka ini , organisasi lingkungan atau lembaga swadaya masyarakat ( LSM ) perlu memiliki hak STANDING , bertindak sebagai "wali" atas nama lingkungan. Diterima pengembangan teori dan penerapan hak standing ini setidak- tidaknya didasrkan pada dua hal yaitu a. Faktor kepentingan masyrakat luas banyaknya kasus-kasus publik yang muncul telah mendorong tumbuhnya organisasi - organisasi advokasi , seperti Sierra Club Defense fund di amerika, pullotion probe di Kanada, dan Wahana lingkungan hidup (WALHI) di indonesia, dalam memperjuangkan kepentingan masyrakat luas , selain itu, organisasi tersebut sangat efektif dalam mendorong pembaruan

kebijakan dan mengubah sujao serta prilaku birokrasi serta kalangan pengusaha melalui tekanan-tekanan (pressures) yang dilakukan dalam kerangka hukum (rule of law) adalah melalui gugatan di pengadilan.

Muhammad Rivaldo Lyani b. Faktor penguasaan SDA oleh negara Penguasaan SDA oleh negara mengandung konsekuensi bahwa sifat berkelanjutan SDA lebih banyak ditentukan dan bergantung pada konsekuensi, aktivisme , dan keberanian pemerintah sebagai aperatur negara, Akan tetapi , dalam peraktiknya sering kali pemerintah mengabaikan kewajibannya untuk menjaga keberlanjutan sumber daya alam dimaksud.Keadaan semacam ini menuntut kelompok-kelompok melalui jalur hukum. Agar tindakan korektif, dalam hal ini efektif, maka diperlukan penyediaan akses mereka ke pengadilan melalui rumus standing.Dalam kasus perusakan hutan pinus pencemeran Sungai Asahan, melalui PN Jakarta Selatan Walhi mengajukan gugatan terhadap Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pusat sebagai tergugat 1, Departemen Dalam Negri cq. Gubernur Sumatera Utara sebagai tergugat 2, Menteri Perindustrian sebagai tergugat 3, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan hidup sebagai tergugat 4, Menteri Kehutanan sebagai tergugat 5 dan PT . inti indorayon Utama sebagai tergugat 6, Dalam putusannya No. 820/PDT.G/1998 PN.JKT.PST tanggal 14 agustus 1989 PN Jakarta Selatan memutuskan gugatan tidak terbukti dan ditolak untuk seluruhnya, Namun demikian, Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili kasus ini

mengakui legal standing LSM (WALHI) yang bertindak sebagai penggugat untuk kepentingan lingkungan sebagaimana dapat dilihat dari pertimbangan hakim menyatakan "...menimbang, bahwa atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang dapat terurai diatas , Majelis berpendapat bahwa dalam kasus ini Yayasan WALHI dapat bertindak sebagai penggugat untuk melindungi kepentingan setiap orang dalam pengelolaan lingkungan hidup yang ketentuan pokoknya tertual dalam pasal 5 undang undang No. 4 tahun 1984...."Dalam kasus dana reboisasi, WALHI menggugat Presiden karna mengeluarkan Kepres No, 42 Tahun 1994 tentang Bantuan Pinjaman kepada Persero PT Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah ) yang diambil dari hasil bunga / jasa giro dana reboisasi . Merasa kepentingannya dirugikan, maka pada tanggal 25 agustus 1994 WALHI mengajukan gugatan ke PTUN jakarta . Dalam Putusan PTUN Jakarta No. 088/G/1994/ Piutang /PTUN. JKT tertanggal 18juli 1995. Walaupun dalam putusan ini secara teoritik dari segi hukum administrasi banyak kejanggalan, misalnya mengenai pernyataan Kepres No. 42 tahun 1994 tidak sah atau batal demi PTUN tidak berwenan menyelesaikan sengketa ini, dan dalam pokok perkara menyatakan gugatan tidak dapat diterima , tetapi kewenangan LSM untuk menggugat tidak dipersoalkan.Pengakuan secara tegas mengenai legal standing organisasi lingkungan semulaterdapat dalam pasal 38 UUPLH-1997 . Ketentuan ini diatur kembali dalam pasal 92UUPPLH-2009 yang menentukan(1) Dalam rangka

pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup , Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkugan hidup (2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi , kecuali biaya pengeluaran riil.(3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhipersyaratan a. berbentuk badan hukum b. menegaskan didalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup: dan c. telah melaksanakan nyata sesuai anggaran dasarnya paling singkat (dua)tahun.

RISKA ALMIRA Hak gugat organisasi lingkungan merupakan salah satu bagian dari hukum standing(standing law) yang berkembang banyak dibelahan dunia LEGAL STANDING (Hak Gugat Organisasi Lingkungan) ini adalah bahan materi yang disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara yang di prakarsai oleh Elsam. Pokok pembahasan yang disampaikan dalam materi ini adalah : Gambaran Umum Legal Standing, Legal Standing di Indonesia, Prosudure Pengajuan dan beracara Legal Standing, Perbedaan antara Legal Standing, Class Action dan Citizen Lawsuit.HAK GUGAT LSM (NGO’S LEGAL STANDING) Hak

gugat organisasi lingkungan hidup diatur dalam pasal 92 UU No.32 Tahun 2009, dan merupakan salah satu jenis standing selain citizen suit. Dalam legal standing, kecakapan LSM tampil dimuka pengadilan didasarkan pada suatu asumsi bahwa LSM sebagai wali (guardian) dari lingkungan. Pendapat ini berangkat dari teori yang dikemukakan oleh Professor Christoper Stone, dimana dalam artikelnya yang dikenal luas di Amerika Utara yang berjudul Sholud Tress Have Standing. Dalam teori ini memberikan hak hukum (legal right) kepada objek‐objek alam (natural objects) dan menurut Stone hutan, laut, atau sungai sebagai objek alam layak memiliki hak hukum dan adalah tidak bijaksana jika dianggap sebaliknya hanya karena sifatnya yang inanimatif(tidak dapat berbicara). Sehingga LSM bertindak untuk mewakili ekologi sebagai subjeknya. Legal standing ini pertama kali dikenal dalam praktek peradilan di Indonesia tahun 1988 yaitu ketika PN Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Yayasan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) terhadap lima instansi pemerintah dan PT IIU. Urgensi adanya standing ini didasari oleh dua factor, yaitu Faktor kepentingan masyarakat luas dan factor penguasaan sumber daya alam oleh Negara. Sebelum adanya hukum positif yang mengatur legal standing di Indonesia, terdapat beberapa kasus legal standing yang menarik seperti Kasus Walhi vs PT Indorayon Utama, Kasus Walhi vs Kejaksaan Negeri Mojokerto, dan Kasus Walhi vs Presiden RI. Perbedaan antara legal standing dengan gugatan class action adalah : 1) organisasi tersebut tidak mengalami kerugian langsung, kerugian dalam konteks gugatan organisasi (legal standing) lebih dilandasi suatu pengertian kerugian yang bersifat public, 2) tuntutan organisasi (legalstanding) tidak dapat berupa ganti kerugian berupa uang, kecuali ganti kerugian yang telah dikeluarkan organisasi untuk penanggulangannya objek yang dipermasalahkannya dan tuntutannya hanya berupa permintaan pemulihan (remedy) atau

tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang bersifat deklaratif.

RICO REFLIANSYAH F.Gugatan Pemerintah dan pemerintah daerah. dalam upayah melindungi kepentingan lingkungan yang semankin terancam oleh berbagai aktifias pembangunan. Perkembangan baru di bidang hukum lingkungan, bahwa sekarang gugatan lingkungan dapatdi ajukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Ketentuan mengenai hal ini terdapat dalam pasal90 UUPPLH-2009 yang menentukan : 1. Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidanglingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentuterhadap usaha dan/ atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/ ataukerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. 2. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup sebagaimana dimaksudpada ayat (1) diatur dengan peraturan mentri.Pengakuan legal standing instansi pemerintah dan pemerintah daerah dalam kasus lingkungan hidup sangat penting untuk melindungi kepentingan lingkungan. Perlindungan kepentingan lingkungan inilah yang menjadi politik hukum adanya pengakuan kewarganegaraan gugat instansi pemerintah dan pemerintah daerah. Esensi dari perlindungan kepentingan lingkungan.karena adakalanya pencemaraan dan / atau kerusakan lingkunganmenimbulkan kerugian lingkungan yang bukan hanya

terdapat milik pribadi atau badan hukum, tetapi lingkungan publik. Melalui standing ini pemerintah dan pemerintah daerah dapat mengajukan gugatan ganti rugi dan/ tindakan tertentu untuk melindungi lingkungan publik, baik yang sifatnya pencegahan, penanggulangan,maupun pemulihan lingkungan.Eksistensi legal standing instansi pemerintah ternyata telah diakui dalam praktik peradilan sebelum keluarnya UUPPLH-2009. Sebagai contoh adalah diterima, diperiksa dan diadilinya kasus gugatan pemerintah yang diwakili KLH terhadap PT Selatnastik Idokwarsa atas kasus penambangan pasir kwarsa di selat ansik, belitung timur, bangka belitung. Gugatan ini diajukan pada tahun 2008 PN jakarta utara. Dala putusan PN jakarta utara, gugatan KLH di kabulkan, meskipun pada tingkat kasasi KLH dikalahkan. Sementara itu, rapik gugatan oleh pemerintah sejak keluarnya UU PPLH-2009, antara lain adalah gugatan pemerintah yang diwakili KLH dan kejaksaan agung tehadap PT kalistaalam, sebuah perusahhan yang bergerak di bidang perkebunan sawit dirawat tripika, aceh. Diteria dan diperiksanya kedua gugatan ini membuktikan bahwa lembaga peradilan semakin memiliki komitmen yang kuat untuk mengakui legal standing pemerintah untuk mengajukan gugatan perdata.Pengakuan ini penting untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi pemerintah.

KESIMPULAN Hukum lingkungan Keperdataan(Privaatrechtelijk milieurecht) merupakan salah satu aspek dari berbagai aspek hukum lingkungan lainnya.Sebagaimana dikatakan Drupsteen,bahwa hukum lingkungan meliputi Pula aspek hukum administrasi,pidana,perdata,bahkan hukum internasional yang dalam perkembangannya telah menjadi bidang hukum Yang berdiri sendiri. Dari Segi substansinya,secara umum hukum lingkungan keperdataan menurut Munadjad Danusaputro mengandung Ketentuan-ketentuan yang mengatur tatanan masyarakat orang-seorang Berikut Badanbadan Hukum perdata dan hubungan yang melandasi orang-seorang berikut badan-badan hukum perdata satu sama lain Gugatan dalam Hukum Lingkungan keperdataan bisa di lakukan di luar atau di pengadilan. Jika memnuhi unsur-unsur adanya kesalahan dan pihak yang di rugiakan oleh tergugat. Maka pemenuhan unsurunsur tersebut merupakan dasar berlakunya gugatan dalam sengketa lingkungan hidup. Pemberlakuan sengketa lingkungan hidup bisa di tempuh dengan tanggung gugat dan kemauan dari pihak penggugat. Baik meminta Ganti rugi atau permintaan lain yang tujuannya untuk menegakan hukum perdata dalm hukum lingkungan. Tetapi kebanyakan di lakukan ganti rugi baik di pengadialan yang penggugatnya individu, LSM, maupun pemerintah, dan juga di luar pengadilan berlaku ganti rugi juga sebelum melakukan gugatan harus bisa membuktikan dengan adanya derita kerugian dari si penggugat. Dari aktivitas yang di lakukan oleh tergugat baik ekosistem abiotik dan biotik. Meski pembuktiannya sangat sulit karena obyek suatu dari gugatan yaitu lingkungan yang rusak dan kompleknya sifat-sifat kimia dan zat lain yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Meski menggunakan

tanggung gugat secara mutlak. Tanggung gugat adalah sama seperti tanggung jawab. Yang berlaku di hukum perdata yang memiliki mekanisme seperti gugatan.

DAFTAR PUSTAKA Prof.Dr.Muhammad Akib,S.H.,M.HUM. “HUKUM LINGKUNGAN”

Related Documents


More Documents from ""