Hukum Adat-2.docx

  • Uploaded by: Agustina Elfira Ridha
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hukum Adat-2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,405
  • Pages: 21
“HUKUM TANAH ADAT DI JAWA TENGAH” TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL MATA KULIAH HUKUM ADAT TA 2018/2019

Dosen Penguji : Drs. Abdul Halim, M.Hum.

Oleh : Nama : Shofa Auliya Fa'izah NIM : 17103060054 Kelas : A

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2018

KATA PENGANTAR Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga berkat karuniaNya saya dapat menyelesaikan makalah tentang “Hukum Tanah Adat di Jawa Tengah”. Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari Bapak agar saya dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata saya berharap semoga makalah tentang “Hukum Tanah Adat di Jawa Tengah” ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Yogyakarta, 16 Desember 2018

Penyusun,

1

DAFTAR ISI

BAB I PEMBUKAAN .................................................................. 3 A. Latar belakang masalah ............................................................. 3 B. Rumusan masalah ..................................................................... 3 C. Tujuan penulisan makalah ........................................................ 3 BAB II PEMBAHASAN ............................................................... 5 1. Pengertian hak ulayat ................................................................ 5 2. Subyek hak ulayat ...................................................................... 7 3. Obyek hak ulayat ....................................................................... 7 4. Kedudukan tanah dalam hukum adat ........................................ 8 5. Hak-hak atas tanah dalam hukum adat ..................................... 9 6. Hak ulayat dalam perundang-undangan .................................. 11 7. Contoh kasus .............................................................................. 16 BAB III PENUTUP ....................................................................... 18 1. Kesimpulan ................................................................................ 18 Daftar Pustaka .................................................................................. 20

2

BAB I PEMBUKAAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pandangan adat masyarakat kita, tanah mempunyai makna yang sangat penting. Yakni sebagai tempat tinggal, mempertahankan kehidupan, alat pengikat masyarakat dalam suatu persekutuan, sebagai model (aset produksi) utama dalam suatu persekutuan. Masih banyak pandangan mengenai makna tanah sendiri, tidak hanya dari tokoh masyarakat tetapi juga tokoh yang membidangi masalah di dalamnya. Tentunya dari banyak pandangan tersebut terdapat banyak juga perbedaan Dan persilangan pendapat, karena masuk melalui pikiran banyak manusia dan juga perbedaan daerah. Hal tersebutlah yang menyebabkan perlunya pembahasan mengenai hukum yang berlaku dalam tanah adat. Kali ini pembahasan akan lebih merujuk pada wilayah khususnya di Jawa Tengah, karena di daerah tersebut masih banyak ragam adat yang kental akan budaya juga peraturannya. Bagaimana suatu daerah mengatur hukum adatnya sendiri yang lebih khusus mengatur tentang pertanahan. Secara lebih lengkapnya, mungkin dapat kita bahas dalam makalah yang disajikan tersebut. B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan hak ulayat? 2. Apa subyek hak ulayat? 3. Apa obyek hak ulayat? 4. Bagaimana kedudukan tanah dalam hukum adat? 5. Bagaimana hak-hak atas tanah dalam hukum adat? 6. Bagaimana hak ulayat dalam perundang-undangan? 7. Sebutkan salah satu contoh kasus mengenai hukum tanah adat di Jawa Tengah! C. Tujuan Penulisan Makalah 1. Untuk mengetahui apa itu hak ulayat 2. Untuk mengetahui apa itu subyek hak ulayat 3

3. Untuk mengetahui apa itu obyek hak ulayat 4. Untuk menambah pengetahuan mengenai kedudukan tanah dalam hukum adat 5. Untuk menambah wawasan tentang hak-hak atas tanah dalam hukum adat 6. Untuk mengetahui hak ulayat dalam perundang-undangan 7. Untuk menambah wawasan mengenai kejadian asli di dunia nyata dengan adanya contoh kasus

4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hak Ulayat Pengertian terhadap istilah hak ulayat ditegaskan oleh G. Kertasapoetra dan kawan-kawan dalam bukunya Hukum Tanah, Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, menyatakan bahwa : “Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan

hukum

(desa,

suku)

untuk

menjamin

ketertiban

pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan)”.1 Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang sebagai telah diuraikan di atas merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa. Kewenangan dan kewajiban tersebut masuk dalam bidang hukum perdata dan ada yang masuk dalam bidang hukum publik. Kewenangan dan kewajiban dalam bidang hukum perdata berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut. Sedangkan dalam hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya ada pada Kepala Adat/Ketua Adat.

1

G. Kartasapoetra, R.G. Kartasapoetra, A.G. Kartasapoetra, A. Setiady, Hukum Tanah, Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm. 88

5

Konsepsi hak ulayat menurut hukum adat terdapat nilai-nilai komunalistikreligius magis yang memberi peluang penguasaan tanah secara individual, serta hak-hak yang bersifat pribadi, namun demikian hak ulayat bukan hak orangseorang. Sehingga dapat dikatakan hak ulayat bersifat komunalistik karena hak itu merupakan hak bersama anggota masyarakat hukum adat atas tanah yang bersangkutan. Sifat magis-religius menunjuk kepada hak ulayat tersebut merupakan tanah milik bersama, yang diyakini sebagai sesuatu yang memiliki sifat gaib dan merupakan peninggalan nenek moyang dan para leluhur pada kelompok masyarakat adat itu sebagai unsur terpenting bagi kehidupan dan penghidupan mereka sepanjang masa dan sepanjang kehidupan itu berlangsung. Jika dilihat dari sistem hukum tanah adat tersebut, maka hak ulayat dapat mempunyai kekuatan berlaku kedalam dan keluar.2 Kedalam berhubungan dengan para warganya, sedang kekuatan berlaku keluar dalam hubungannya dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya, yang disebut “orang asing atau orang luar”. Kewajiban utama penguasa adat yang bersumber pada hak ulayat ialah memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat hukumnya, menjaga jangan sampai timbul perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian tanah dan kalau terjadi sengketa ia wajib menyelesaikan. Sedangkan untuk hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku ke luar hak ulayat dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Orang-orang asing, artinya orang-orang yang bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang bermaksud mengambil hasil hutan, berburu atau membuka tanah, dilarang masuk lingkungan tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat tanpa ijin penguasa adatnya.

2

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2005), hlm. 190

6

B. Subyek Hak Ulayat Menurut Boedi Harsono subyek Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat yang mendiami suatu wilayah tertentu.3 Masyarakat hukum adat terbagi menjadi 2 (dua) yaitu : 1. Masyarakat hukum adat teritorial disebabkan para warganya bertempat tinggal di tempat yang sama. 2. Masyarakat hukum adat geneologik, disebabkan para warganya terikat oleh pertalian darah.

C. Obyek Hak Ulayat Bushar Muhamad mengemukakan obyek Hak Ulayat meliputi:4 1. Tanah (daratan) 2. Air (perairan seperti: kali, danau, pantai, serta perairannya) 3. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan sebagainya). 4. Binatang liar yang hidup bebas didalam hutan.

Dengan demikian hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum (subyek hukum) dan tanah/wilayah tertentu (objek hak).5 Wilayah kekuasaan persekutuan adalah merupakan milik persekutuan yang pada asasnya bersifat tetap namun dalam kenyataannya terdapat pengecualianpengecualian. Pengecualian ini berkaitan dengan kekuatan hak ulayat yang berlaku ke luar. Hak Ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah

3

Ibid. Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 109 5 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), hlm. 56 4

7

masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang belum. Dalam lingkungan Hak Ulayat tidak ada tanah sebagai “res nullius”. Umumnya batas wilayah Hak Ulayat masyarakat hukum adat territorial tidak dapat ditentukan secara pasti. Masyarakat Hukum Adatlah, sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya, yang mempunyai hak ulayat, bukan orang seorang. Masing-masing itu menurut hukum adat mempunyai hukumnya yang khusus. Tanah yang diusahakannya itu dapat dikuasainya dengan hak pakai, tetapi ada juga masyarakat hukum adat yang memungkinkan tanah yang dibuka tersebut dipunyai dengan hak milik. Hal itu tergantung pada kenyataan apakah tanah dikuasai dan diusahakannya secara terus-menerus ataukah hanya sementara saja. Jika seseorang individu warga persekutuan dengan ijin kepala adat atau kepala desa membuka tanah persekutuan maka dengan menggarap tanah itu terjadi hubungan hukum dan sekaligus juga hubungan religiusmagis antara individu warga persekutuan dengan tanah yang dimaksud. Perbuatan hukum ini jelas menimbulkan hak bagi warga yang menggarap tanah atau kemudian hak wenang atas tanah yang bersangkutan.

D. Kedudukan tanah dalam hukum adat Ada 2 hal yang menyebabkan tanah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, yaitu: 1. Karena sifatnya Tanah merupakan satu-satunya harta kekayaan yang bagaimanapun keadaannya tetap masih seperti dalam keadaan semula. Contoh: jika sebidang tanah itu di bakar, diatasnya dijatuhi bom, tanah tersebut tidak akan menyatu. Setelah api padam pun sebidang tanah pun akan muncul kembali tetap berwujud tanah semula. Kalau dilanda banjir pun, setelah airnya surut tanah itu muncul kembali sebagai sebidang tanah yang lebih subur dari semula. 2. Karena fakta 8

Suatu kenyataan bahwa tanah itu: a. Merupakan tempat tinggal persekutuan b. Memberikan kehidupan kepada persekutuan c. Tempat bagi anggota persekutuan dikuburkan kelak ketika meninggal dunia d. Merupakan tempat tinggal kepada dayang-dayang persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.6

E. Hak-hak atas tanah dalam hukum adat Sehubungan dengan adanya hukum tanah dalam hukum adat kemudian timbullah hak-hak yang berkenaan dengan tanah tersebut yang dalam hukum adat dibagi 2 yaitu: 1. Hak persekutuan atas tanah Hak persekutuan (hak masyarakat hukum) dalam hukum adat terhadap tanah tersebut, misalnya hak untuk menguasai tanah, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuhan yang hidup di atasnya, atau berburu binatang yang hidup diatasnya. 2. Hak perseorangan atas tanah Dengan berlakunya hak ulayat kedalam, maka setiap anggota persekutuan berhak mengadakan hubungan hukum dengan tanah serta dengan semua isi yang ada di atas tanah ulayat tersebut. Apabila anggota-anggota ulayat mengadakan hubungan hukum dengan tanah tersebut atau dengan isi tanah ulayat, maka dengan sendirinya anggota ulayat yang demikian memiliki hubungan tertentu dengan tanah ulayat seperti yang dijelaskan di atas. Adapun hak perseorangan yang diberikan atas tanah ataupun isi tanah ulayat yaitu:

6

Soerjono Soekanto, Taneko Soleman, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali. 2011), hlm. 76

9

a. Hak milik atas tanah Hak yang dimiliki setiap anggota ulayat untuk bertindak atas kekuasaannya atas tanah ataupun isi dari lingkungan atau wilayah ulayat. Dalam suasana hukum adat, hak milik tidaklah bebas sebebasnya, tetapi hak milik ini tetap memiliki fungsi sosial yang artinya apabila ulayat membutuhkan sebidang tanah yang dibebankan kepada hak milik dengan maksud untuk kepentingan kesatuan, maka hak tersebut dapat dicabut. b. Hak menikmati atas tanah Hak yang diberikan kepada seseorang merupakan haknya untuk menikmati hasil tanah berupa memungut hasil panen tidak lebih dari 1 kali saja c. Hak terdahulu Hak yang diberikan kepada seseorang untuk mengusahakan tanah itu dimana orang tersebut didahulukan dari orang lain. d. Hak terdahulu untuk dibeli Hak

dimana

seseorang

memperoleh

hak

sebidang

tanah

dengan

mengesampingkan orang lain e. Hak memungut hasil karena jabatan Bisa terjadi karena seseorang sedang menjadi pengurus masyarakat, dan hak ini ia peroleh selama menduduki jabatan itu, setelah tidak menjabat ia tidak memperolehnya lagi. f. Hak pakai Hak atas tanah yang diberikan pada seseorang atau sekelompok orang untuk menggunakan tanah ataupun memungut hasil dari sawah tersebut g. Hak gadai dan hak sewa Hak yang timbul karena adanya satu ikatan perjanjian antara kedua belah pihak atas tanah tersebut. 10

F. Hak ulayat dalam perundang-undangan 1. Kedudukan Hak Ulayat Dalam Undang-undang Pokok Agraria Kedudukan hak ulayat dalam UUPA ditentukan dalam Pasal 3 yaitu: Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi. Eksistensi hak ulayat ini menunjukkan bahwa hak ulayat mendapat tempat dan pengakuan dari Negara sepanjang menurut kenyataan masih ada. Pada aspek pelaksanaannya, maka implementasinya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional bangsa dan negara serta peraturan perundang-undangan lainnya yang tingkatannya lebih tinggi. Dalam hal ini kepentingan suatu masyarakat adat harus tunduk pada kepentingan umum, bangsa dan negara yang lebih tinggi dan luas. Oleh sebab itu tidak dapat dibenarkan jika dalam suasana berbangsa dan bernegara sekarang ini ada suatu masyarakat hukum adat yang masih mempertahankan isi pelaksanaan hak ulayat secara mutlak.

11

2. Kedudukan Hak Ulayat Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 Kedudukan Hak Ulayat dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu: Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenagan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakayt hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahirian dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Realisasi dari pengaturan tersebut, dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang bersangkutan. Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria. Kebijaksanaan tersebut meliputi :7 1. Penyamaan persepsi mengenai hak ulayat 2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat 3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya Hal lain yang diatur dalam PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 antara lain Pasal 2 ayat (1):

7

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, (Jakarta: Djambatan. 2004), hlm. 57

12

“Pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakathukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat stempat.”

Ketentuan tersebut mengatur tentang pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyrakat hukum adat menurut ketentuan hukum adat setempat. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa; Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila : 1. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukm adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu,

yang

mengakui

dan

menerapkan

ketentuan-ketentuan

persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, 2. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan 3. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Ketiga unsur tersebut pada kenyataannya harus masih ada secara kumulatif. Penelitian mengenai unsur hak ulayat akan ditugaskan kepada Pemerintah Kabupaten, yang dalam pelaksanaannya mengikutsertakan para pakar hukum adat dan para tetua adat setempat. Namun dalam Pasal 3 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 terdapat pengecualiannya yaitu ditentukan bahwa:

13

Pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 tidak dapat lagi dilakukan terhada bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah sebagaiman dimaksud Pasal 6 : 1. sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria; 2. merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah dan, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku.

Pasal tersebut menentukan bahwa pelaksanaan hak ulayat tersebut tidak dapat dilakukan lagi terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 6 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999. Lebih lanjut dalam Pasal 4 PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 ditentukan bahwa: 1. Penguasaan

bidang-bidang

tanah

yang

termasuk

tanah

ulayat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan bahan hukum dapat dilakukan : a) Oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak

penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria. b) Oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan

warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku. 2. Penglepasan tanah ulayat sebagaiman dimaksud pada ayat 1 huruf b 14

3. untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakuakn oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan Pasal 2. 4. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat 2 Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang diberikan oleh Negara dan perpanjangan serta pembaharuannya tidak boleh melebihi jangka waktu penggunaan tanah yang diperoleh dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Ketentuan pasal tersebut mengatur tentang penguasaan bidang- bidang tanah yang termasuk hak ulayat oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan oleh warga masyarakat hukum adat, instansi pemerintah atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan UUPA setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum ada.

15

G. Contoh kasus di Jawa Tengah Pengertian Tanah Urut Sewu Urut Sewu merupakan sebutan untuk daerah yang membentang di pesisir selatan Pulau Jawa. Di Kabupaten Kebumen, yang termasuk wilayah Urut Sewu meliputi Kecamatan Klirong, Petanahan, Puring, Buluspesatren, Ambal dan Mirit. Secara akademis dapat dikemukakan bahwa penyebab terjadinya konflik di bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai makna penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Ini baik secara vertikal maupun secara horizontal peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan tanah, praktek-praktek manipulasi dalam perolehan tanah pada masa lalu dan di era reformasi muncul kembali gugatan, dualisme kewenangan (pusat-daerah) tentang urusan pertanahan serta ketidakjelasan mengenai kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adat dalam sistem perundangundangan agraria. Sebagaimana diketahui

bahwa tanah, khususnya bagi

masyarakat

mempunyai kedudukan sentral, baik sebagai sumber daya produksi maupun sebagai tempat pemukiman.Oleh karena itu masalah tanah selalu mendapat perhatian dan penanganan yang khusus pula. Lebih-lebih lagi dalam era pembangunan ini, bahwa pembangunan menjangkau berbagai macam aktifitas dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya, yang sedikit atau banyak akan berkaitan dengan bidang tanah. Kasus Tanah Urut Sewu Kasus sengketa tanah Urut Sewu merupakan kasus rumit yang melibatkan banyak pihak. Penyelesaiannya sebaiknya dilakukan melalui jalur hukum yang

16

dilandasi keadilan dan akal sehat untuk mencapai win-win solution, bukan dengan saling menyalahkan secara emosional. Kasus pertanahan memiliki banyak dimensi sosial yang dipertentangkan, mulai dari hubungan sosial, religi, ketidakberlanjutan komunitas masyarakat dan harga diri serta martabat manusia (dignity) yang penyelesaiannya membutuhkan itikad baik dari pihak bersengketa agar tidak menimbulkan gejolak kemasyarakatan.8

8

minesrikandimasadepan.blogspot.com/2018/06/hokum-tanah-adat-di-diy-dan-jawatengah.html?m=1. Diakses pada tanggal 7 November 2018 pukul 14:28

17

BAB III PENUTUP KESIMPULAN A. Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan

hukum

(desa,

suku)

untuk

menjamin

ketertiban

pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan) B. Subyek Hak Ulayat Menurut Boedi Harsono subyek Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat yang mendiami suatu wilayah tertentu. Masyarakat hukum adat terbagi menjadi 2 (dua) yaitu : 1. Masyarakat hukum adat teritorial disebabkan para warganya bertempat tinggal di tempat yang sama. 2. Masyarakat hukum adat geneologik, disebabkan para warganya terikat oleh pertalian darah. C. Obyek Hak Ulayat Bushar Muhamad mengemukakan obyek Hak Ulayat meliputi: 1. Tanah (daratan) 2. Air (perairan seperti: kali, danau, pantai, serta perairannya) 3. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan sebagainya). 4. Binatang liar yang hidup bebas didalam hutan. D. Kedudukan tanah dalam hukum adat 1. Karena sifatnya 2. Karena fakta E. Hak-hak atas tanah dalam hukum adat 1. Hak persekutuan atas tanah

18

2. Hak perorangan F. Hak ulayat dalam perundang-undangan 1. Kedudukan Hak Ulayat Dalam Undang-undang Pokok Agraria 2. Kedudukan Hak Ulayat Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 G. Contoh kasus di Jawa Tengah Tanah Urut Sewu

19

DAFTAR PUSTAKA 1. G.Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra, AG.Kartasapoetra, A. Setiady. 1985. Hukum Tanah, Jaminan Undang- Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah. Jakarta: Bina aksara. 2. Boedi

Harsono.

Pembentukan

2005.

Hukum Agraria

Undang-Undang

Pokok

Indonesia Agraria

Sejarah Isi

dan

Pelaksanaannya.. Jakarta: Djambatan. 3.

Bushar Muhammad. 1983. Pokok-Pokok Hukum Adat. Jakarta:Pradnya Paramita.

4. Maria S.W. Sumardjono. 2001. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi, Penerbit Buku Kompas. Jakarta: Juni. 5. Soerjono Soekanto, Taneko soleman. 2011. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali. 6. Boedi Harsono. 2004. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta : Djambatan. 7. minesrikandimasadepan.blogspot.com/2018/06/hukum-tanah-adat-di-diydan-jawa-tengah.html?m=1

20

Related Documents

Hukum
June 2020 34
Hukum
November 2019 62
Hukum
June 2020 29
Hukum
April 2020 41
Hukum
December 2019 42
Hukum
November 2019 50

More Documents from ""

Tugas Statistik.docx
November 2019 20
Bab Vi.docx
November 2019 29
Lampiran Fbaru Coba.docx
November 2019 35
Bab 4.docx
June 2020 25
Hukum Adat-2.docx
November 2019 34