TUGAS MAKALAH FARMAKOTERAPI II HIPERTENSI
OLEH: Jayanti Pratiwi (1301042) Kelas: SI VIA Dosen: Husnawati., M.Si, Apt
PROGRAM STUDI S1 FARMASI SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas rahmat dan petunjuk-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Farmakoterapi II tentang penyakit “Hipertensi”. Terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Farmakoterapi II ibu Husnawati., M.Si, Apt yang telah memberikan bnyak pelajaran dan terus membimbing kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini, juga terimaksih kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini. Sumber dari makalah ini diambil dari buku-buku dan jurnal serta skripsi yang berhubungan dengan Farmakoterapi. Diantara sumber-sumber tersebut kami susun semua informasi dalam satu makalah sehingga menurut kami makalah ini sudah cukup informatif. Dalam penulisan makalah ini pastilah ada banyak kendala yang kami temui namun kami berhasil menghadapinya dan menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Akhir kata jika ada sesuatu yang tidak berkenan di hati pembaca mohon dimaklumi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Pekanbaru, April 2016
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1.Latar belakang .................................................................................................. 1 1.2.Rumusan masalah............................................................................................. 3 1.3.Tujuan penulisan .............................................................................................. 3 BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 4 2.1. Definisi Hipertensi .......................................................................................... 4 2.2. Klasifikasi Hipertensi ...................................................................................... 4 2.3. Epidemiologi ................................................................................................... 6 2.4. Etiologi .......................................................................................................... 10 2.5. manifestasi klinis........................................................................................... 14 2.6. Faktor resiko ................................................................................................. 15 2.7. Manifestasi Klinik ......................................................................................... 18 2.8. patofisiologi .................................................................................................. 19 2.9. Komplikasi .................................................................................................... 21 2.10. Dioagnosis ................................................................................................... 23 2.11. Penatalaksanaan Terapi ............................................................................... 25 BAB III PENUTUP ............................................................................................. 36 3.1 Kesimpulan .................................................................................................... 36 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 37
2
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang sering disebut silent killer karena pada umumnya pasien tidak mengetahui bahwa mereka menderita penyakit hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Selain itu penderita hipertensi umumnya tidak mengalami suatu tanda atau gejala sebelum terjadi komplikasi (Chobanian dkk., 2004). Penderita hipertensi di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 77,9 juta atau 1 dari 3 penduduk pada tahun 2010. Prevalensi hipertensi pada tahun 2030 diperkirakan meningkat sebanyak 7,2% dari estimasi tahun 2010. Data tahun 2007-2010 menunjukkan bahwa sebanyak 81,5% penderita hipertensi menyadari bahwa bahwa mereka menderita hipertensi, 74,9% menerima pengobatan dengan 52,5% pasien yang tekanan darahnya terkontrol (tekanan darah sistolik <140 mmHg dan diastolik <90 mmHg) dan 47,5% pasien yang tekanan darahnya tidak terkontrol. Persentase pria yang menderita hipertensi lebih tinggi disbanding wanita hingga usia 45 tahun dan sejak usia 45-64 tahun persentasenya sama, kemudian mulai dari 64 tahun ke atas, persentase wanita yang menderita hipertensi lebih tinggi dari pria (Go dkk., 2014). Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko terbesar penyebab morbiditas dan mortalitas pada penyakit kardiovaskular (Kearney dkk., 2005). Sejak tahun 1999 hingga 2009, angka kematian akibat hipertensi meningkat sebanyak 17,1% (Go dkk., 2014) dengan angka kematian akibat komplikasi hipertensi mencapai 9,4 juta per tahunnya (WHO, 2013). Penyakit hipertensi dapat mengakibatkan infark miokard, stroke, gagal ginjal, dan kematian jika tidak dideteksi secara dini dan ditangani dengan tepat (James dkk., 2014). Sekitar 69% pasien serangan jantung, 77% pasien stroke, dan 74% pasien
1
congestive heart failure (CHF) menderita hipertensi dengan tekanan darah >140/90 mmHg (Go dkk., 2014). Hipertensi menyebabkan kematian pada 45% penderita penyakit jantung dan 51% kematian pada penderita penyakit stroke pada tahun 2008 (WHO, 2013). Selain itu, hipertensi juga menelan biaya yang tidak sedikit dengan biaya langsung dan tidak langsung yang dihabiskan pada tahun 2010 sebesar $46,4 milyar (Go dkk., 2014). Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5% pada tahun 2013, tetapi yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan/atau riwayat minum obat hanya sebesar 9,5%. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis dan terjangkau pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2013b). Profil data kesehatan Indonesia tahun 2011 menyebutkan bahwa hipertensi merupakan salah satu dari 10 penyakit dengan kasus rawat inap terbanyak di rumah sakit pada tahun 2010, dengan proporsi kasus 42,38% pria dan 57,62% wanita, serta 4,8% pasien meninggal dunia (Kemenkes RI, 2012). Hipertensi dan penyakit kardiovaskular lainnya pada rumah sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan penyebab kematian tertinggi (Dinkes DIY, 2013). Hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 menempatkan D.I Yogyakarta sebagai urutan ketiga jumlah kasus hipertensi di Indonesia berdasarkan diagnosis dan/atau riwayat minum obat. Hal ini mengalami kenaikan jika dibandingkan dari hasil riset kesehatan dasar pada tahun 2007, dimana D.I Yogyakarta menempati urutan kesepuluh dalam jumlah kasus hipertensi berdasarkan diagnosis dan/atau riwayat minum obat (Kemenkes RI, 2013b). Seiring dengan peningkatan kasus hipertensi dan komplikasi yang dapat terjadi jika hipertensi tidak ditangani dengan tepat, maka penggunaan obat yang rasional pada pasien hipertensi merupakan salah satu elemen penting dalam tercapainya kualitas kesehatan serta perawatan medis bagi pasien sesuai standar yang diharapkan. Penggunaan obat secara tidak rasional dapat menyebabkan timbulnya reaksi obat yang tidak diinginkan, memperparah penyakit, hingga kematian. Selain itu biaya yang dikeluarkan menjadi sangat tinggi (WHO, 2004).
2
1.1.Rumusan maslah a. Apakah definisi dari hipertensi? b. Bagaimana epidemiologi dari hipertensi? c. Apa saja etiologi dari hipertensi? d. Bagaiman patofisiologi dari hipertensi? e. Apa sajakah manifestasi klinis dari hipertensi? f. Bagaimanakah diagnosis dari hipertensi? g. Bagaimanakah penatalaksanaan dan pengobatan dari hipertensi?
1.2.Tujuan penulisan a. Menegtahui dan memahami definisi dari hipertensi b. Mengetahui Bagaimana epidemiologi dari hipertensi c. Mengetahui Apa saja etiologi dari hipertensi d. Mengetahui dan memahami Bagaiman patofisiologi dari penyakit tersebut e. Memahami Apa sajakah manifestasi klinis dari hipertensi f. Mengetahui dan memahami Bagaimanakah diagnosis dari hipertensi g. Mampu memahami dan dapat memberikan penatalaksanaan dan pengobatan dari hipertensi
3
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Definisi Hipertensi Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah, terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya (Sustrani,2006). Hipertensi adalah suatu keadaanmdimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang mengakibatkan angka kesakitan atau morbiditas dan angka kematian atau mortalitas. Hipertensi merupakan keadaan ketika seseorangmengalami peningkatan tekanan darah di atas normal atau kronis dalam waktu yang lama( Saraswati,2009). Hipertensi atau darah tinggi adalah penyakit kelainan jantung dan pembuluh darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah. WHO (World Health Organization) memberikan batasan tekanan darah normal adalah 140/90 mmHg. Batasan ini tidak membedakan antara usia dan jenis kelamin (Marliani, 2007). Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya di atas 90 mmHg. Hipertensi populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistoliknya di atas 160 mmHg dan tekanan diastoliknya di atas 90 mmHg (Smeltzer & Bare, 2001).
2.2. Klasifikasi Hipertensi Hipertensi dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu hipertensi sistolik, hipertensi diastolik, dan hipertensi campuran. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik dan umumnya ditemukan pada usia lanjut. Tekanan sistolik
4
berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri apabila jantung berkontraksi (denyut jantung). Tekanan sistolik merupakan tekanan maksimum dalam arteri dan tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik, biasanya ditemukan pada anakanak dan dewasa muda. Hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi di antara dua denyutan. Hipertensi campuran merupakan peningkatan pada tekanan sistolik dan diastolik. Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu: 1) Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 % kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia 2) Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing, feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain. Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII), klasifikasi hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat II
5
2.3. Epidemiologi Perbandingan antara pria dan wanita, ternyata wanita lebih banyak menderita hipertensi. Dari laporan sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka prevalensi 6% dari pria dan 11% pada wanita. Laporan dari Sumatra Barat menunjukan 18,6% pada pria
6
dan 17,4% wanita. Di daerah perkotaan Semarang didapatkan 7,5% pada pria dan 10,9% pada wanita. Sedangkan di daerah perkotaan Jakarta didapatkan 14,6 pada pria dan 13,7% pada wanita (Gunawan, 2001).
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 tahun ke atas tahun 2007 di Indonesia adalah sebesar 31,7%. Menurut provinsi, prevalensi hipertensi tertinggi di Kalimantan Selatan (39,6%) dan terendah di Papua Barat (20,1%). Sedangkan jika dibandingkan dengan tahun 2013 terjadi penurunan sebesar 5,9% (dari 31,7% menjadi 25,8%). Penurunan ini bisa terjadi berbagai macam faktor, seperti alat pengukur tensi yang berbeda, masyarakat yang sudah mulai sadar akan bahaya penyakit hipertensi. Prevalensi tertinggi di Provinsi Bangka Belitung (30,9%), dan Papua yang terendah (16,8)%). Prevalensi hipertensi
7
di Indonesia yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,4 persen, yang didiagnosis tenaga kesehatan atau sedang minum obat sebesar 9,5 persen. Jadi, ada 0,1 persen yang minum obatsendiri./ Selanjutnya gambaran di tahun 2013 dengan menggunakan unit analisis individu menunjukkan bahwa secara nasional 25,8% penduduk Indonesia menderita penyakit hipertensi. Jika saat ini penduduk Indonesia sebesar 252.124.458 jiwa maka terdapat 65.048.110 jiwa yang menderita hipertensi. Suatu kondisi yang cukup mengejutkan. Terdapat 13 provinsi yang persentasenya melebihi angka nasional, dengan tertinggi di Provinsi Bangka Belitung (30,9%) atau secara absolut sebanyak 30,9% x 1.380.762jiwa = 426.655 jiwa. Secara absolut jumlah penderita hipertensi di 5 provinsi dengan prevalensi hipertensi tertinggi berdasarkan Hasil Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut:
8
9
2.4. Etiologi Corwin (2000) menjelaskan bahwa hipertensi tergantung pada kecepatan denyut jantung, volume sekuncup dan Total Peripheral Resistance (TPR). Maka peningkatan salah satu dari ketiga variabel yang tidak dikompensasi dapat menyebabkan hipertensi. Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan abnormal saraf atau hormon pada nodus SA. Peningkatan kecepatan denyut jantung yang berlangsung kronik sering menyertai keadaan hipertiroidisme. Namun, peningkatan kecepatan denyut jantung biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup atau TPR, sehingga tidak meninbulkan hipertensi (Astawan,2002) Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi apabila terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan, akibat gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam yang berlebihan. Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah. Peningkata preload biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik ( Amir,2002) Peningkatan Total Periperial Resistence yang berlangsung lama dapat terjadi pada peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan normal. Kedua hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Pada peningkatan Total Periperial Resistence, jantung harus memompa secara lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk mendorong darah melintas pembuluh darah yang menyempit. Hal ini disebut peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung lama, maka ventrikel kiri mungkin mulai mengalami hipertrifi (membesar). Dengan hipertrofi, kebutuhan ventrikel akan oksigen semakin meningkat
10
sehingga ventrikel harus mampu memompa darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan tesebut. Pada hipertrofi, serat-serat otot jantung juga mulai tegang melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas
dan
volume
sekuncup.(
Hayens,
2003
)
Menurut Sustranim (2004), berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder : A. Hipertensi esensial (hipertensi primer) Hipertensi primer adalah hipertensi yang tidak diketahui dengan pasti penyebabnya. Kurang lebih 90% dari penderita hipertensi digolongkan atau
11
disebabkan oleh hipertensi primer. Menurut Smith (2001) faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi primer adalah: a. Faktor keturunan Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi. b. Ciri perseorangan Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah umur, jenis kelamin, dan ras. Umur yang bertambah akan menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan darah. Tekanan darah pria umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Juga, angka angka statistik di Amerika menunjukkan prevalensi hipertensi pada orang kulit hitam hampir dua kali lebih banyak dibandingkan dengan orang kulit putih. c. Kebiasaan hidup Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah konsumsi garam yang tinggi, kegemukan atau makan yang berlebihan, stress dan pengaruh lain. Faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Konsumsi garam yang tinggi Dari data statistik ternyata dapat diketahui bahwa hipertensi jarang diderita oleh suku bangsa atau penduduk dengan konsumsi garam yang rendah. Dunia kedokteran telah membuktikan bahwa pembatasan konsumsi garam dapat menurunkan tekanan darah dan pengeluaran garam (natrium) oleh obat diuretik akan menurunkan tekanan darah. 2) Kegemukan atau makan yang berlebihan Dari penelitian kesehatan yang banyak dilaksanakan, terbukti bahwa ada hubungan antara kegemukan (obesitas) dan hipertensi. Meskipun mekanisme bagaimana kegemukan menimbulkan hipertensi belum jelas, tetapi sudah terbukti penurunan berat badan dapat menurunkan tekanan darah.
12
3) Stres atau ketegangan jiwa Sudah lama diketahui bahwa stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin yang memacu jantung berdenyut lebih cepat dan kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis, gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag. 4) Pengaruh lain Pengaruh lain yang dapat menyebabkan naiknya tekanan darah adalah sebagai berikut : merokok, karena dapat merangsang sistem adregenik dan meningkatkan tekanan darah, minum alkohol, minum obat-obatan, missal ephedrine, prednisone, epinefrin.
B. Hipertensi sekunder Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain. Penyaki-penyakit yang dapat menyebabkan hipertensi adalah: koarktasio aorta; kelenjar adrenal : pheochromocytoma, tumor cathecolamin yang terus menerus mengeluarkan lendir, penyakit chusing; penyakit ginjal, glomeuronefritis kronis (penyebab yang paling lazim diketahui); toxemia kehamilan; kenaikan tekanan intracranial oleh tumor atau trauma; penyakit kolagen; pengaruh sekunder dari obat tertentu, seperti obat kontrasepsi oral. Beberapa penyebab hipertensi sekunder dapat dilihat pada tabel II.
13
2.5. Manifestasi Klinis Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema pada diskus optikus). Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan azetoma [peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin]. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau gangguan tajam penglihatan (Wijayakusuma,2000 ). Crowin (2000: 359) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa :Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah
14
intrakranial,Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi,Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat,Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus,Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.
Gejala lain yang umumnya
terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah
dari
hidung
secara
tiba-tiba,
tengkuk
terasa
pegal
dan
lain-lain
(Wiryowidagdo,2002). Menurut Karyadi (2006), sebagian besar penderita hipertensi pada umumnya, tidak mempunyai keluhan khusus dan tidak mengetahui dirinya menderita hipertensi. Gejala-gejala umum yang kadang dirasakan sebelumnya antara lain :
Sakit kepala terutama pada waktu bangun tidur dan kemudian hilang sendiri beberapa jam
Kemerahan pada wajah
Cepat capek
Lesu dan impotensi.
Sedangkan gejala yang mungkin timbul akibat adanya penyakit lain yang yang menyebabkan hipertensi adalah sindrom chusing yaitu peningkatan berat badan, emosi yang labil serta gejala lain seperti sering buang air kecil dan ingin minum terus pada kelainan pengaturan kelenjar adrenal di ginjal (Karyadi, 2006).
2.7. Faktor resiko Menurut Elsanti (2009), faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat dan tidak dapat dikontrol, antara lain: a. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol: Jenis kelamin Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan
15
hormone estrogen setelah menopause. (Marliani,2007). Peran hormone estrogen adalah meningkatkan kadar HDL yang merupakan faktor pelindung dalam pencegahan terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan hormone estrogen dianggap sebagai adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause, wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormone estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana terjadi perubahan kuantitas hormone estrogen sesuai dengan umur wanita secara alami. Umumnya, proses ini mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun (Kumar,2005). 2) Umur Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang yang berusia lebih muda.. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai menurun, karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-benar tepat. Tetapi pada kebanyakan kasus , hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut. Pada wanita, hipertensi sering terjadi pada usia diatas 50 tahun. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan hormon sesudah menopause. Kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah produk samping dari keausan arteriosclerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri. Arteri kehilangan elastisitas atau kelenturan serta tekanan darah meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Peningkatan kasus hipertensi akan berkembang pada umur lima puluhan dan enampuluhan. Dengan bertambahnya umur, dapat meningkatkan resiko hipertensi (Elsanti,2009). Prevalensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50 % diatas umur 60 tahun.
16
3) Keturunan (Genetik) Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80%. kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga. Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi (Marliani, 2007). Menurut Rohaendi (2008), mengatakan bahwa Tekanan darah tinggi cenderung diwariskan dalam keluarganya. Jika salah seorang dari orang tua ada yang mengidap tekanan darah tinggi, maka akan mempunyai peluang sebesar 25% untuk mewarisinya selama hidup anda. Jika kedua orang tua mempunyai tekanan darah tingi maka peluang untuk terkena penyakit ini akan meningkat menjadi 60%.
b. Faktor resiko yang dapat dikontrol: 1).Merokok Fakta otentik menunjukan bahwa merokok dapat menyebabkan tekanan darah tinggi. Kebanyakan efek ini berkaitan dengan kandungan nikotin. Asap rokok (CO) memiliki kemampuan menarik sel darah merah lebih kuat dari kemampuan menarik oksigen, sehingga dapat menurunkan kapasitas sel darah merah pembawa oksigen ke jantung dan jaringan lainnya.Laporan dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa upaya menghentikan kebiasaan merokok dalam jangka waktu 10 tahun dapat menurunkan insiden penyakit jantung koroner (PJK) sekitar 24.4% (Karyadi 2002). Tandra (2003) menyatakan bahwa nikotin mengganggu sistem saraf simpatis yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Selain
17
menyebabkan ketagihan merokok, nikotin juga meningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, dan kebutuhan oksigen jantung, merangsang pelepasan adrenalin, serta menyebabkan gangguan irama jantung. Nikotin juga mengganggu kerja saraf, otak, dan banyak bagian tubuh lainnya. 2).Status Gizi Masalah kekurangan atau kelebihan gizi pada orang dewasa merupakan masalah penting karena selain mempunyai resiko penyakitpenyakit tertentu juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Oleh karena itu, pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu cara adalah dengan mempertahankanberat badan yang ideal atau normal. Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah salah satu cara untuk mengukur status gizi seseorang. Seseorang dikatakan kegemukan atau obesitas jika memiliki nilai IMT≥25.0. Obesitas merupakan faktor risiko munculnya berbagai penyakit degeneratif, seperti hipertensi, penyakit jantung koroner dan diabetes mellitus. Data dari studi Farmingham (AS) yang diacu dalam Khomsan (2004) menunjukkan bahwa kenaikan berat badan sebesar 10% pada pria akan meningkatkan tekanan darah 6.6 mmHg, gula darah 2 mg/dl, dan kolesterol darah 11 mg/dl. Prevalensi hipertensi pada seseorang yang memiliki IMT>30 pada lakilaki sebesar 38% dan wanita 32%, dibanding dengan 18% laki-laki dan 17% perampuan yang memiliki IMT<25 (Krummel 2004). 3). Konsumsi Na (Natrium) Pengaruh asupan garam terhadap terjadinya hipertensi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah. Faktor lain yang ikut berperan yaitu sistem renin angiotensin yang berperan penting dalam pengaturan tekanan darah. Produksi rennin dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain stimulasi saraf simpatis. Renin berperan dalam proses konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II menyebabkan sekresi aldosteron yang mengakibatkan menyimpan garam dalam air. Keadaan ini yang berperan pada timbulnya hipertensi (Susalit dkk,2001).
18
4).Stres Hubungan antara stress dan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikkan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stres yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah yang menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti tetapi angka kejadian masyarakat di perkotaan lebih tinggi dari pada di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stres yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Roehandi, 2008). Menurut Anggraini (2009) mengatakan stres akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis.
2.8. patofisiologi Tekanan darah merupakan suatu sifat kompleks yang ditentukan oleh interaksi berbagai faktor seperti faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi dua variabel hemodinamik yaitu curah jantung dan resistensi perifer total (Robbins dkk., 2007). Curah jantung merupakan faktor yang menentukan nilai tekanan darah sistolik dan resistensi perifer total menentukan nilai tekanan darah diastolik. Kenaikan tekanan darah dapat terjadi akibat kenaikan curah jantung dan/atau kenaikan resistensi perifer total (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Ginjal memiliki peranan dalam mengendalikan tekanan darah melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron. Mekanisme pengaturan tekanan darah oleh ginjal dapat dilihat pada gambar 1.
19
Gambar 1. Mekanisme pengaturan tekanan darah oleh ginjal (Saseen dan Maclaughlin, 2008)
Renin
yang
dihasilkan
oleh
sel
justaglomerulus
ginjal
mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin-1, kemudian angiotensin-1 diubah menjadi angiotensin-2 oleh angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin-2 dapat berikatan dengan reseptor angiotensin-2 tipe 1 (AT1) atau reseptor angiotensin-2 tipe 2 (AT2). Stimulasi reseptor AT1 dapat meningkatkan tekanan darah melalui efek pressor dan volume darah (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Efek pressor angiotensin-2 meliputi vasokonstriksi, stimulasi pelepasan katekolamin dari medula adrenal, dan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Selain itu, angiotensin-2 menstimulasi sintetis aldosteron dari korteks adrenal yang menyebabkan retensi natrium dan air. Retensi natrium dan air ini mengakibatkan kenaikan volume darah, kenaikan resistensi perifer
20
total, dan akhirnya kenaikan tekanan darah (Saseen dan Maclaughlin, 2008; Saseen, 2009) Tekanan darah juga diregulasi oleh sistem saraf adrenergik yang dapat menyebabkan terjadinya kontraksi dan relaksasi pembuluh darah. Stimulasi reseptor α-2 pada sistem saraf simpatik menyebabkan penurunan kerja saraf simpatik yang dapat menurunkan tekanan darah. Stimulasi reseptor α-1 pada perifer menyebabkan terjadinya vasokonstriksi yang dapat meningkatkan tekanan darah. Stimulasi reseptor β-1 pada jantung menyebabkan kenaikan denyut jantung dan kontraktilitas, sedangkan stimulasi reseptor β-2 pada arteri dan vena menyebabkan terjadinya vasodilatasi (Saseen dan Maclaughlin, 2008; Saseen, 2009).
2.9. Komplikasi Kondisi hipertensi yang berkepanjangan sangat berpotensi menyebabkan gangguan pembuluh darah di seluruh organ tubuh. Secara umum kondisi darah tinggi tidak bisa diprediksi secara dini akan menyerang organ bagian mana, tergantung organ mana yang terlebih dahulu merespon tekanan yang abnormal. Angka kematian yang tinggi pada penderita darah tinggi terutama disebabkan oleh gangguan jantung. Tekanan darah yang terus-menerus tinggi dan tidak terkontrol dapat menimbulkan komplikasi pada organ-organ tubuh yaitu sebagai berikut (Padmawinata, 2006) a. Organ Jantung Kompensasi jantung terhadap kerja yang keras akibat hipertensi berupa penebalan pada otot jantung kiri. Kondisi ini akan memperkecil rongga jantung untuk memompa, sehingga jantung akan semakin membutuhkan energi yang besar. Kondisi ini disertai dengan adanya gangguan pembuluh darah jantung sendiri (koroner) akan menimbulkan kekurangan oksigen dari otot jantung dan berakibat rasa nyeri. Apabila kondisi dibiarkan terus menerus akan menyebabkan kegagalan jantung untuk memompa dan menimbulkan kematian.
21
b. Sistem Saraf Gangguan dari sistem saraf terjadi pada sistem retina (mata bagian dalam) dan sistem saraf pusat (otak). Didalam retina terdapat pembuluh-pembuluh darah tipis yang akan menjadi lebar saat terjadi hipertensi, dan memungkinkan terjadinya pecah pembuluh darah yang akan menyebabkan gangguan pada organ pengelihatan. c. Sistem Ginjal Hipertensi yang berkepanjangan akan menyebabkan kerusakan dari pembuluh darah pada organ ginjal, sehingga fungsi ginjal sebagai pembuang zat-zat racun bagi tubuh tidak berfungsi dengan baik. Akibat dari gagalnya sistem ginjal akan terjadi penumpukan zat yang berbahaya bagi tubuh yang dapat merusak organ tubuh lain terutama otak. Hipertensi dapat menyebabkan pembuluh darah pada ginjal mengkerut (vasokontriksi) sehingga aliran nutrisi ke ginjal terganggu dan menyebabkan kerusakan sel-sel ginjal yang pada akhirnya terjadi gangguan fungsi ginjal. Apabila tidak segera ditangani dapat menyebabkan gagal ginjal kronik atau bahkan gagal ginjal terminal. Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal dan glomerolus. Kerusakan glomerulus akan mengakibatkan darah mengalir ke unitunit fungsional ginjal, sehingga nefron akan terganggu dan berlanjut menjadi hipoksia dan kematian ginjal d. Komplikasi pada otak Tekanan darah yang terus-menerus tinggi menyebabkan kerusakan pada dinding pembuluh darah yang disebut disfungsi endotel. Hal ini memicu pembentukan plak aterosklerosis dan thrombosis (pembekuan darah yang berlebihan). Akibatnya pembuluh darah tersumbat dan jika penyumbatan terjadi pada pembuluh darah otak dapat menyebabkan stroke.
22
2.10. Dioagnosis Dalam menegakan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan pemeriksaan yang harus dijalani sebelum menentukan terapi atau tatalaksana yang akan diambil. Algoritme diagnosis ini diadaptasi dari Canadian Hypertension Education Program. The Canadian Recommendation for The Management of Hypertension 2014
HBPM : Home Blood Pressure Monitoring ABPM : Ambulatory Blood Pressure Monitoring
23
Diagnosis hipertensi dengan pemeriksaan fisik paling akurat menggunakan sphygmomanometer air raksa. Sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali pengukuran dalam posisi duduk dengan siku lengan menekuk di atas meja dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas dan posisi lengan sebaiknya setinggi jantung. Pengukuran dilakukan dalam keadaan tenang. Pasien diharapkan tidak mengonsumsi makanan dan minuman yang dapat mempengaruhi tekanan darah misalnya kopi, soda, makanan tinggi kolesterol, alkohol dan sebagainya. Pasien yang terdiagnosa hipertensi dapat dilakukan tindakan lebih lanjut yakni: 1) Menentukan sejauh mana penyakit hipertansi yang diderita Tujuan pertama program diagnosis adalah menentukan dengan tepat sejauh mana penyakit ini telah berkembang, apakah hipertensinya ganas atau tidak, apakah arteri dan organ-organ internal terpengaruh, dan lain- lain. 2) Mengisolasi penyebabnya Tujuan kedua dari program diagnosis adalah mengisolasi penyebab spesifiknya. 3) Pencarian faktor risiko tambahan Aspek lain yang penting dalam pemeriksaan, yaitu pencarian faktor-faktor risiko tambahan yang tidak boleh diabaikan. 4) Pemeriksaan dasar Setelah terdiagnosis hipertensi maka akan dilakukan pemeriksaan dasar, seperti kardiologis, radiologis, tes laboratorium, EKG (electrocardiography) dan rontgen. 5) Tes khusus Tes yang dilakukan antara lain adalah : a. X- ray khusus (angiografi) yang mencakup penyuntikan suatu zat warna yang digunakan untuk memvisualisasi jaringan arteri aorta, renal dan adrenal.
24
b. Memeriksa saraf sensoris dan perifer dengan suatu alat electroencefalografi (EEG), alat ini menyerupai electrocardiography (ECG atau EKG).
2.11. Penatalaksanaan Terapi Tujuan utama terapi hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi serta berkaitan dengan kerusakan organ target (seperti kardiovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal). Target tekanan darah adalah <140/90 mmHg untuk hipertensi tanpa komplikasi dan <130/80 mmHg untuk pasien diabetes melitus dan gagal ginjal kronis (Chobanian dkk., 2004). Terapi hipertensi meliputi : a. Terapi non farmakologis Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya melakukan modifikasi gaya hidup seperti menurunkan berat badan jika kelebihan berat badan dengan menjaganya pada kisar body mass index (BMI) yaitu
mengadopsi pola makan Dietary
Approaches to Stop Hypertension (DASH) yang kaya dengan buah, sayur, dan produk susu rendah lemak; mengurangi konsumsi garam yaitu tidak lebih dari 100 meq/L; melakukan aktivitas fisik dengan teratur seperti jalan kaki 30 menit/hari; serta membatasi konsumsi alkohol tidak lebih dari 2 kali/hari pada pria dan 1 kali/hari pada wanita (Chobanian dkk., 2004). Selain itu, pasien juga disarankan untuk menghentikan kebiasaan merokok (Weber dkk., 2014). Modifikasi pola hidupdapat menurunkan tekanan darah, menambah efikasi obat antihipertensi, dan mengurangi resiko komplikasi penyakit kardiovaskular (Chobanian dkk., 2004). Menurut ( PERKI,2015) Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah
25
yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi. Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah : Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari diabetes dan dislipidemia. Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam dan lemak merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak jarang pula pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan cepat saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/ hari Olah raga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/ hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya. Mengurangi konsumsi alcohol. Walaupun konsumsi alcohol belum menjadi pola hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi alcohol semakin hari semakin meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota besar. Konsumsi alcohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau menghentikan konsumsi alcohol sangat membantu dalam penurunan tekanan darah.
26
Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti berefek langsung dapat menurunkan tekanan darah, tetapi merokok merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular, dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok.
b. Terapi farmakologis Pemilihan obat pada penatalaksanaan hipertensi tergantung pada tingkat tekanan darah dan keberadaan penyakit penyulit. Obat-obat antihipertensi seperti diuretik, beta blocker (BB), angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI), angiotensin receptor blocker (ARB), dan calcium channel blocker (CCB) merupakan agen primer yang dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Obat-obat antihipertensi seperti α-1 blocker, α-2 agonis central, dan vasodilator merupakan alternatif yang digunakan penderita setelah mendapatkan obat pilihan pertama (Chobanian dkk., 2004). Jenis obat yang sering digunakan dalam terapi hipertensi :
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) menghambat secara
langsung angiotensin converting enzyme (ACE) dan menghalangi konversi angiotensin-1 menjadi angiotensin-2. Aksi ini mengurangi angiotensin-2 yang dapat menimbulkan vasokonstriksi dan sekresi aldosteron. Adanya jalur lain yang menghasilkan angiotensin-2 mengakibatkan ACEI tidak menghalangi secara penuh produksi angiotensin-2 sehingga ACEI tidak menyebabkan efek pada metabolisme.
Bradikinin
terakumulasi
pada
sebagian
pasien
karena
penghambatan ACE mencegah kerusakan dan inaktivasi bradikinin. Bradikinin dapat mengakibatkan vasodilatasi dengan mengeluarkan nitro oksida, tetapi bradikinin juga dapat menimbulkan terjadinya batuk. Contoh obat golongan ACEI adalah kaptopril, enalapril, dan lisinopril (Saseen, 2009). Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) harus dihindari pada pasien dengan arteri stenosis ginjal karena beresiko menimbulkan gagal ginjal akut.
27
Selain itu, ACEI juga dikontraindikasikan pada pasien angioedema dan wanita hamil (Barranger dkk., 2006; BPOM RI, 2008; WHO, 2009). Efek samping ACEI yang paling sering yaitu batuk kering, ruam, dan pusing. Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal atau diabetes (Barranger dkk., 2006).
Angiotensin receptor blocker (ARB) Angiotensin-2 dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim yaitu RAAS
(renin angiotensin aldosterone system) yang melibatkan ACE dan jalur alternatif yang menggunakan enzim kimase (Carter dkk., 2003). Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) hanya menghambat efek angiotensin yang dihasilkan melalui RAAS, sedangkan ARB menghambat angiotensin-2 dari semua jalur. Angiotensin receptor blocker (ARB) menghambat secara langsung reseptor angiotensin-2 tipe 1 (AT1) yang memediasi efek angiotensin-2 yaitu vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi saraf simpatik, pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi arteriol eferen dari glomerulus. Angiotensin receptor blocker (ARB) tidak memblok reseptor angiotensin-2 tipe 2 (AT2). Hal ini menyebabkan efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel tetap utuh dengan penggunaan ARB (Depkes RI, 2006). Contoh ARB yaitu valsartan, kandesartan, irbesartan, dan losartan (Chobanian dkk., 2004). Penggunaan ARB biasanya dapat ditoleransi dengan baik, karena tidak menyebabkan batuk dan jarang menyebabkan angioedema (Weber dkk., 2014). Angiotensin receptor blocker (ARB) harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan kerusakan hati dan ginjal serta dikontraindikasikan pada kehamilan. Efek samping ARB meliputi pusing, kelelahan, diare, rasa sakit, dan infeksi (Barranger dkk., 2006).
Diuretik
Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan mengosongkan simpanan natrium dalam tubuh. Diuretik menurunkan tekanan darah dengan mengurangi
28
volume darah dan curah jantung, tetapi setelah 6-8 minggu maka curah jantung kembali normal sedangkan resistensi vaskular menurun. Natrium diperkirakan berperan dalam resistensi vaskular dengan meningkatkan kekakuan pembuluh darah dan reaktivasi saraf. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan peningkatan pertukaran natrium-kalsium yang menghasilkan suatu peningkatan kalsium intraselular (Benowitz, 2009). Empat subkelas diuretik yang digunakan untuk mengobati hipertensi yaitu tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Diuretik terutama golongan tiazid merupakan lini pertama pada pasien hipertensi. Diuretik penahan kalium memiliki efek yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek aditif bila dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop. Antagonis aldosteron memiliki efekyang lebih poten dengan mula kerja yang lambat (Depkes RI, 2006). Contoh diuretik tiazid yaitu hidroklorotiazid, klortalidon, dan indapamid. Diuretik loop yaitu bumetanid, torsemid, dan furosemid. Diuretik penahan kalium yaitu amilorid dan triamteren. Antagonis aldosteron yaitu eplerenon dan spironolakton (Chobanian dkk., 2004). Diuretik khususnya diuretik tiazid dikontraindikasikan pada hipersensitivitas terhadap tiazid atau sulfonilurea, anuria, kehamilan, hiponatremia, hiperurisemia simptomatik, gout, hipokalemia yang persisten, hiperkalsemia, penyakit Addison, gangguan hati berat, dan gangguan ginjal berat (kreatinin klirens <30 ml/menit) sedangkan golongan diuretik loop yaitu furosemid dikontraindikasikan pada hipersensitivitas terhadap diuretik loop atau sulfonilurea, gout, anuria, dan pasien koma hepatik akibat sirosis (NFKDOQI, 2004; Lacy dkk., 2006; BPOM RI, 2008; WHO, 2009). Diuretik penahan kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau diabetes dan pada pasien yang menggunakan ACEI, ARB, NSAID, atau suplemen kalium. Antagonis aldosteron dapat menimbulkan hiperkalemia (Depkes RI, 2006).
29
Beta blocker (penyekat beta) Reseptor beta terdiri dari reseptor beta-1 dan reseptor beta-2. Reseptor beta-1
yang terdapat di jantung dan ginjal berfungsi dalam mengatur denyut jantung, pelepasan renin, dan kontraktilitas jantung. Reseptor beta-2 yang terdapat di paruparu, hati, pankreas, dan otot polos arteri berfungsi dalam mengatur bronkodilatasi dan vasodilatasi. Penyekat beta menurunkan tekanan darah dengan mengurangi curah jantung dan mengurangi pelepasan renin dari ginjal (Barranger dkk., 2006; Weber dkk., 2014). Penyekat beta yang berikatan dengan reseptor beta-1 bersifat kardioselektif karena
tidak
menghambat
reseptor
beta-2
dan
tidak
menstimulasi
bronkokonstriksi. Obat-obat yang termasuk dalam penyekat beta-1 seperti metoprolol, betaksolol, atenolol, asebutolol, dan bisoprolol lebih aman pada pasien asma, penyakit paru-paru obstruksi kronis, dan penyakit vaskular. Pada dosis tinggi, penyekat beta selektif kehilangan kardioselektifitasnya (Barranger dkk., 2006). Beberapa penyekat betamempunyai aktivitas simpatomimetik intrinsik (ISA). Asebutolol, karteolol, penbutolol, dan pindolol adalah penyekat beta ISA yang bekerja secara agonis pada beta reseptor parsial (Depkes RI, 2006). Penyekat beta ISA dapat menstimulasi reseptor beta tetapi dengan aksi yang lebih lemah dari agonis beta sebenarnya. Jika diberikan pada pasien dengan denyut jantung yang lemah, maka penyekat beta ISA dapat meningkatkan denyut jantung. Hal yang sebaliknya terjadi pada pasien dalam keadaan istirahat atau melakukan aktivitas yang dapat menyebabkan takikardi, dimana pada pasienpasien ini penyekat beta ISA dapat menurunkan denyut jantung karena adanya dominasi sifat penyekat beta (Saseen, 2009). Penyekat beta harus dihindari pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap BB, hipotensi, kehamilan, bradikardi, blok AV derajat 2 dan 3, edema paru-paru, syok kardiogenik, serta gagal jantung dekompensasi kecuali pada penggunaan karvedilol, metoprolol extended release, dan bisoprolol (NFKDOQI, 2004; Barranger dkk., 2006; Lacy dkk., 2006). Efek
30
samping paling sering dari penyekat beta adalah kelelahan, mengantuk, pusing, bronkospasme, mual, dan muntah (Barranger dkk., 2006).
Calcium channel blocker (CCB) Calcium channel blocker (CCB) menurunkan tekanan darah dengan
menghambat aliran ion kalsium melalui kanal L pada sel otot polos arteri. Ada dua jenis CCB yaitu dihidropiridin seperti amlodipin dan nifedipin yang bekerja mendilatasi arteri, serta nondihidropiridin seperti dilitiazem dan verapamil yang bekerja mendilatasi arteri dengan efek yang lebih lemah dari dihidropiridin, tetapi memiliki efek mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas. Generasi pertama CCB seperti verapamil dan dilitiazem dapat mempercepat progresifitas congestive heart failure pada pasien dengan kelainan fungsi jantung. Penggunaan CCB generasi pertama harus dihindari kecuali untuk terapi pada pasien angina, hipertensi, atau aritmia (Barranger dkk., 2006; Weber dkk., 2014). Dilitiazem dan verapamil harus dihindari pada pasien dengan blok AV derajat 2 dan 3, gagal jantung kongesif karena disfungsi sitolik, hipotensi, bradikardi, dan arterial fibrilasi (NFKDOQI, 2004; Barranger dkk., 2006; BPOM RI, 2008; WHO, 2009). Nifedipin aksi pendek harus dihindari pada pasien hipertensi atau hipertensi emergensi karena menyebabkan tekanan darah diastolik tidak teratur dan takikardi (Barranger dkk., 2006). Efek samping utama CCB yaitu menyebabkan edema perifer yang biasa terjadi pada dosis tinggi. Efek samping ini dapat dikurangi dengan mengkombinasikan CCB bersama ACEI atau ARB. Calcium channel blocker (CCB) dihidropiridin menunjukkan efek yang menguntungkan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dan stroke. Calcium channel blocker (CCB) nondihidropiridin tidak direkomendasikan pada pasien gagal jantung, tetapi lebih dipilih pada pasien dengan detak jantung yang cepat dan untuk mengontrol detak jantung pada pasien atrial fibrillation yang tidak dapat mentoleransipenyekat beta. Calcium channel blocker (CCB) nondihidropiridin juga dapat mengurangi proteinuria. Calcium channel blocker (CCB) memiliki
31
efek menurunkan tekanan darah yang besar ketika dikombinasi dengan ACEI atau ARB (Weber dkk., 2014).
Penyekat alfa-1 Penyekat alfa-1 bekerja pada pembuluh darah perifer dan menghambat
pengambilan katekolamin pada sel otot halus, menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah (ALLHAT, 2003) tanpa menyebabkan penurunan curah jantung dan takikardi (Cross, 2006). Contoh penyekat alfa-1 yaitu prazosin, doksazosin, dan terazosin (Chobanian dkk., 2004). Penyekat alfa-1 harus dihindari pada pasien dengan penyakit kardiovaskular karena dapat meningkatkan resiko kematian (Barranger dkk., 2006). Efek samping yang tidak disukai dari penyekat alfa-1 adalah fenomena dosis pertama yang ditandai dengan pusing sementara atau pingsan, palpitasi, dan sinkop 1-3 jam setelah dosis pertama. Hipotensi ortostatik dan pusing dapat berlanjut dengan pemberian terus menerus. Penggunaannya harus hati hati pada pasien lanjut usia. Penyekat alfa melewati hambatan otak-darah dan dapat menyebabkan efek samping pada sistem saraf pusat seperti kehilangan tenaga, letih, dan depresi (Depkes RI,2006).
Agonis alfa-2 sentral Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan
merangsang reseptor alfa-2 adrenergik di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatik dari pusat vasomotor di otak, curah jantung, dan tahanan perifer (Barranger dkk., 2006). Penggunaan agonis alfa-2 sentral secara kronis menyebabkan retensi natrium dan air, terutama pada penggunaan metildopa. Klonidin dosis rendah dapat digunakan untuk mengobati hipertensi tanpa penambahan diuretik. Metildopa harus diberikan bersama diuretik untuk mencegah timbulnya efek antihipertensi yang terjadi dengan penggunaan jangka panjang, kecuali pada kehamilan (Depkes RI, 2006). Penghentian penggunaan agonis alfa-2 sentral secara tiba-tiba dapat menyebabkan rebound hypertension. Efek ini diduga disebabkan oleh
32
meningkatnya pelepasan norepinefrin. Metildopa dapat menyebabkan hepatitis atau anemia hemolitik, tetapi efek ini jarang terjadi. Metildopa harus dihentikan segera apabila terjadi kenaikan serum transaminase atau alkalin fosfatase liver yang menetap (Oparil dkk., 2003).
Vasodilator arteri langsung. Efek antihipertensi dari hidralazin dan minoksidil disebabkan oleh relaksasi
langsung otot polos arteriolar tetapi tidak menyebabkan vasodilasi ke pembuluh darah vena. Kedua obat juga menyebabkan penurunan tekanan perfusi kuat yang mengaktifkan refleks baroreseptor. Pengaktifan baroreseptor menyebabkan meningkatnya aliran simpatik, sehingga meningkatkan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan renin (Depkes RI, 2006). Vasodilator arteri langsung dapat menyebabkan retensi cairan dan takikardia sehingga penggunaannya harus dikombinasi dengan diuretik dan penyekat beta atau obat lainnya (klonidin, dilitiazem, atau verapamil) yang dapat mengurangi denyut jantung (Barranger dkk.,2006). Hidralazin dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit arteri koroner dan mitral valvular rhemautic heart disease. Minoksidil dikontraindikasikan pada pasien dengan pheochromocytoma, acute myocardial infraction, dan dissecting aortic aneurysm. Efek samping dari hidralazin yaitu terjadinya sindrom seperti lupus (dosis >300mg/hari), dermatitis, demam, dan neuropati perifer. Minoksidil dapat menyebabkan hirsutism (Barranger dkk., 2006). Obat antihipertensi oral yang biasa digunakan menurut Chobanian dkk. (2004) dicantumkan pada tabel III.
33
34
35
Algoritme penatalaksanaan hipertensi dengan atau tanpa penyakit penyerta
36
( PERKI, 2015)
37
BAB III KESIMPULAN
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah, terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya (Sustrani,2006). Hipertensi adalah suatu keadaanmdimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang mengakibatkan angka kesakitan atau morbiditas dan angka kematian atau mortalitas. Hipertensi merupakan keadaan ketika seseorangmengalami peningkatan tekanan darah di atas normal atau kronis dalam waktu yang lama( Saraswati,2009). Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 % kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia kemudian ada Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing, feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain. Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII), klasifikasi hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat II Pemilihan obat pada penatalaksanaan hipertensi tergantung pada tingkat tekanan darah dan keberadaan penyakit penyulit. Obat-obat antihipertensi seperti diuretik, beta blocker (BB), angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI), angiotensin
38
receptor blocker (ARB), dan calcium channel blocker (CCB) merupakan agen primer yang dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Obat-obat antihipertensi seperti α1 blocker, α-2 agonis central, dan vasodilator merupakan alternatif yang digunakan penderita setelah mendapatkan obat pilihan pertama
39
DAFTAR PUSTAKA Amir,N.(2002).Diagnosis dan pelaksanaan depresi pasca stroke. Dibuka pada website http:/www.A:/%20 20 news % 20 % Energi % 20 chi % 20 % 20 defenisi % document?e?.
Aram V. Chobanian, M.D. 2004. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. U . S . Department Of Health And Human Services, NIH Publication No. 04-5230, Astawan, B. (2002). Hubungan pengetahuan dan sikap keluarga terhadap praktek perawatan penderita hipertensi di RS Wira Bakti Tamtama.Semarang: Stikes Karya Husada Corwin, Elizabeths J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Terjemahan Brahman U. Jakarta: EGC.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Profil Kesehatan 2005. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta.
Gunawan,L,(2001). Hipertensi : Tekanan darah tinngi. Yogyakarta : Percetakan Kanisus. Hayens,B,dkk. (2003). Buku pintar menaklukkan Hipertensi. Jakarta : Ladang Pustaka. Handayani,
Wiwik
Keperawatan
dan
Andi pada
Sulistyo Klien
Haribowo.2008.Buku dengan
Ajar
Gangguan
Asuhan Sistem
Hematologi.SalembaMedika: Jakarta.
40
JNC, 2003, The Seventh Of Joint National Comitte. Diakses tanggal 19 Januari 2012; Repository.ipb.ac.id. Karyadi, E. 2006. Hidup Bersama Penyakit Hipertensi, Asam Urat, Jantung Koroner. Jakarta: PT.Intisari Mediatama. Krummel, D.A., 2004, Medical Nutrition Therapy in Cardiovascular Disease. In: Mahan, L.K. & Escott-Stump, S., ed. Krause’s Food, Nutrition, & Diet Therapy 11th Edition. USA: Elseveir, Kumar, Vinay et al. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins (ed: 7; Vol.2). Jakarta Larasati, K., 2009, Pilihan Tepat Aku tidak suka merokok, http://bandung.Ian/go.id/, (diakses 16 April 2016) Marliani dan Tantan, S, 2007, 100 Question & Answer Hipertensi, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. Suyono, 2001, Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II, FKUI, Balai Pustaka, Jakarta Sustrani L., 2006. Hipertensi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Profil
Kesehatan
Provinsi
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
Tahun
2008.
www.depkes.go.id/downloads/profil/prov%20diy%202008.pdf Saseen, J.J., & Maclaughlin, E.J., 2008,Cardiovaskuler disorder: Hipertension, Editor: Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L. M., Pharmacotherapy A Pathophysiological Approach , Seventh Edition, New York: Mcgraw-Hill Medical Publishing Division. Saraswati, Sylvia. 2009. Diet Sehat untuk Penyakit Asam Urat, Diabetes, Hipertensi dan Stroke. Jogjakarta: A plus Book.
41
Subekti, Imam. 1999. Apakah Diabetes Mellitus; Patofisiologi Susalit E, Kapojos EJ, Lubis HR. Hipertensi Primer Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi III, Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Sustrani,Lanny,dkk.2006.Hipertensi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, Wijayakusuma, S. (2000). Gaya Hidup Sehat Penderita Hipertensi. Bogor: CV. Graha Setya.
42
43