Hiv Pada Ibu Hamil Ngontal.docx

  • Uploaded by: Dian
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hiv Pada Ibu Hamil Ngontal.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,576
  • Pages: 50
TUGAS HIV KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA WANITA DENGAN DIAGNOSA MEDIS HIV POSITIF

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 6 1. Ni Putu Intan Suskandeni

(073STYC13)

2. Novan Cahaya Saputra

(075STYC13)

3. Oksa Suhendi

(077STYC13)

4. Rachman isnaini Fitriadi

(078STYC13)

5. Ramanda Satria Kharismawan (079STYC13) 6. Ramdina Eka Yanti

(080 STYC13)

7. Reza Wahyu Ilhami

(083 STYC13)

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM PROGRAM STUDI KEPERAWATAN JENJANG S1 MATARAM 2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT pantaslah kami panjatkan, karena berkat bantuan dan petunjuk-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Konsep Asuhan Keperawatan Pada Wanita Dengan Diagnosa Medis Hiv Positif ini. Untuk itu kepada berbagai pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kami membuat makalah ini dengan seringkas-ringkasnya dengan bahasa yang jelas agar mudah dipahami. Kami menyadari keterbatasan yang kami miliki, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, agar pembuatan makalah yang berikutnya dapat menjadi lebih baik lagi. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Mataram Mei 2015

Penulis

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .....................................................................................

i

KATA PENGANTAR ...................................................................................

ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................

iii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .....................................................................................

1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................

2

1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................

2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian HIV/AIDS ..........................................................................

3

2.2 Epidemiologi HIV/AIDS pada wanita .................................................

3

2.3 Etiologi HIV/AIDS ..............................................................................

4

2.4 Tahap–tahap infeksi HIV/AIDS ...........................................................

6

2.5 Patofisiologi HIV/AIDS .......................................................................

7

2.6 Gejala–gejala HIV ................................................................................

8

2.7 Komplikasi medis pada wanita positif HIV .........................................

8

2.8 Dukungan sosial spiritual pada wanita dengan HIV/AIDS..................

12

2.9 Pemeriksaan Diagnostik .......................................................................

14

2.10Pencegahan penularan HIV pada usia reproduksi...............................

15

BAB 3 KONSEP ASKEP PADA WANITA POSITIF HIV 3.1 Pengkajian keperawatan ......................................................................

20

3.2 Diagnosa keperawatan .........................................................................

27

3.3 Intervensi keperawatan.........................................................................

35

3.4 Implementasi keperawatan ...................................................................

44

3.5 Evaluasi keperawatan ...........................................................................

44

BAB 4 PENUTUP 4.1 Simpulan .............................................................................................

46

4.2 Saran .....................................................................................................

46

DAFTAR PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Jumlah penderita HIV/AIDS di dunia terus bertambah tidak terkecuali di Indonesia, khususnya pada usia reproduktif. Pada tahun 2000 terjadi peningkatan penyebaran epidemi HIV secara nyata melalui pekerja seks komersial, tetapi ada fenomena baru penyebaran HIV/AIDS melalui pengguna narkoba suntik (injecting Drug User–IDU. Pada tahun 2002 HIV sudah menyebar ke rumah tangga(Depkes RI, 2003), Sejauh ini lebih dari 6,5 juta wanita di Indonesia menjadi populasi rawan tertular HIV. Lebih dari 24.000 wanita usia subur telah terinfeksi HIV dan sedikitnya 9000 wanita hamil terinfeksi HIV positif setiap tahun. Bila tidak ada program pencegahan maka lebih dari 30% diantaranya diperkirakan melahirkan bayi yang tertular HIV. Pada tahun 2015, diperkirakan akan terjadi penularan pada 38.500 anak yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV. Sampai tahun 2006, diprediksi 4.360 anak terkena HIV dan separuh diantaranya meninggal dunia. Saat ini diperkirakan 2320 anak telah terinfeksi HIV. Wanita dengan HIV/AIDS harus mendapatkan dukungan dan perawatan mencakup penyuluhan yang memadai tentang penyakitnya, perawatan, pengobatan serta pencegahan penularan pada anak dan keluarganya. Kebanyakan wanita mengurus keluarga dan anak–anaknya selain mengurus dirinya sendiri, sehingga gangguan kesehatan pada wanita akan mempengaruhi seluruh keluarganya. Wanita dengan HIV/AIDS yang melahirkan anak yang didiagnosis HIV juga akan menyebabkan terjadinya trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. Orang tua harus menghadapi masalah berat dalam perawatan anak, pemberian kasih sayang dan sebagainya sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan mental anak. Orang tua memerlukan waktu untuk mengatasi masalah emosi, syok, kesedihan, penolakan, perasaan berdosa, cemas, marah

dan berbagai perasaan lain. Dukungan nutrisi, pemberian ARV, psikososial dan perawatan paliatif membantu ibu dan anak menghadapi HIV/AIDS.

1.2 Rumusan Masalah 1. Apa pengertian HIV/AIDS? 2. Bagaimana epidemiologi HIV/AIDS pada wanita? 3. Bagaimana etiologi HIV/AIDS? 4. Bagaimana tahap–tahap infeksi HIV? 5. Bagaimana patofisiologi HIV? 6. Bagaimana gejala yang timbul pada penderita HIV? 7. Bagaimana Komplikasi medis pada wanita Positif HIV? 8. Apa saja pemeriksaan diagnostik HIV? 9. Bagaimana pencegahan HIV/AIDS pada usia reproduksi? 10. Bagaimana konsep Asuhan Keperawatan pada wanita dengan positif HIV?

1.3 Tujuan Penulisan 1. Mahasiwa mampu mengetahui pengertian HIV/AIDS 2. Mahasiwa mampu mengetahui epidemiologi HIV/AIDS khusunya pada wanita 3. Mahasiswa mampu mengetahui etiologi penyakit HIV/AIDS 4. Mahasiwa mampu mengetahui tahap–tahap infeksi HIV 5. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi HIV 6. Mahasiswa mampu mengetahui gejala yang timbul pada penderita HIV 7. Mahasiswa mampu mengetahui komplikasi–komplikasi medis yang diakibatkan oleh infeksi penyakit HIV 8. Mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan diagnostik HIV 9. Mahasiswa mampu mengetahui pencegahan HIV/AIDS pada usia reproduksi 10. Mahasiswa mampu mengetahui konsep Asuhan Keperawatan pada wanita dengan positif HIV

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi HIV/AIDS

HIV (Human immunodeficiency Virus) adalah virus pada manusia yang menyerang system kekebalan tubuh manusia dalam jangka waktu yang relatif lama dan dapat menyebabkan AIDS. Sedangkan AIDS sendiri adalah suatu sindroma penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif lama karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV. 1. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan terjadinya defisiensi tersebut sepertii keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya. 2. AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia 3. AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh

2.2 Epidemiologi HIV/AIDS Pada Wanita Epidemi HIV/AIDS merupakan krisis global dan tantangan yang berat bagi pembangunan dan kemajuan sosial (ILO, 2005). Pada tahun 2008,

diseluruh dunia, diperkirakan 33 juta orang hidup dengan HIV. Setiap harinya terdapat 7.400 infeksi baru HIV dengan 96% dari jumlah tersebut berada di negara dengan pendapatan menengah ke bawah. Daerah subsahara di Afrika merupakan daerah dengan prevalens HIV terbesar mencakup 67% dari jumlah keseluruhan orang yang hidup dengan HIV. Daerah Asia Tenggara termasuk di Indonesia dengan kasus HIV dengan jumlah penderita 3,6 juta orang, 37% dari jumlah tersebut merupakan wanita. Indonesia merupakan satu dari lima negara dengan jumlah penderita HIV yang besar selain Thailand, Myanmar, Nepal, dan India . Kasus AIDS pertama pada wanita di Amerika Serikat dilaporkan pada tahun 1981. Wanita merupakan salah satu kelompok dalam masyarakat yang angka insiden infeksinya meningkat sangat cepat. Dilaporkan bahwa dari 100.000 kasus penderita AIDS pertama terdapat 9% wanita, sedangkan pada 100.000 pada kasus AIDS berikutnya terdapat 12% wanita. Selain itu, laporan dari CDC (central of disease control) juga mengatakan bahwa 100.000 kasus penderita AIDS pertama terjadi dalam waktu delapan tahun, sedangkan 100.000 penderita AIDS kedua terjadi hanya dalam waktu dua tahun. AIDS merupakan penyebab kematian utama pada wanita berusia antara 25–34 tahun di New York. Menurut CDC (central of disease control) penyebab terjadinya infeksi HIV pada wanita adalah sebagai berikut: 1. Wanita heteroseksual 2. Pemakaian obat injeksi terlarang 3. Transfusi darah dan 4. Pasangan yang sudah terinfeksi HIV Sekitar 85% dari wanita yang menderita AIDS tersebut berada dalam usia subur, antara 15–44 tahun. Oleh karena itu terdapat risiko untuk menularkan HIV kepada anak selama kehamilan, persalinan dan melalui ASI.

2.3 Etiologi Penyebab infeksi adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983

sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya disebut HIV. Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu : 1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala. 2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness. 3. Infeksi asimtomatik. 4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, BB menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut. 5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunistik berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologis. 2.3.1 Cara penularan HIV: a. Melakukan seks bebas atau penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi. Kondom adalah satu–satunya cara dimana penularan HIV dapat dicegah. b. Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah, dimana darah tersebut belum dideteksi virusnya atau pengunaan jarum suntik yang tidak steril. c. Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang yang telah terinfeksi. d. Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa kehamilan atau persalinan dan juga melalui menyusui. 2.3.2 Kelompok resiko tinggi Para wanita yang termasuk dalam kategori beresiko tinggi terhadap infeksi HIV mencakup: a. Wanita yang melakukan hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan.

b. Wanita dan atau pasangannya yang berasal dari wilayah geografis dimana HIV merupakan sesuatu yang umum. c. Wanita dan atau pasangannya yang menggunakan obat-obatan yang disuntikkan melalui pembuluh darah. d. Wanita yang menderita STD tetap dan kambuhan. e. Wanita yang menerima tranfusi darah dari pengidap HIV. f. Wanita yang yakin bahwa dirinya mungkin terjangkit HIV. 2.3.3 Penularan secara perinatal a. Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan HIV pada bayi yang dikandungnya. b. Penularan dari ibu terjadi terutama pada saat proses melahirkan, karena pada saat itu terjadi kontak secara lansung antara darah ibu dengan bayi sehingga virus dari ibu dapat menular pada bayi. c. Bayi juga dapat tertular virus HIV dari ibu sewaktu berada dalam kandungan atau juga melalui ASI

2.4 Tahap–Tahap Infeksi HIV Atas dasar interaksi HIV dengan respon imun pejamu, infeksi HIV dibagi menjadi tiga Tahap : 1. Tahap dini, fase akut, ditandai oleh viremia transien, masuk ke dalam jaringan limfoid, terjadi penurunan sementara dari CD4+ sel T diikuti serokonversi dan pengaturan replikasi virus dengan dihasilkannya CD8+ sel T antivirus. Secara klinis merupakan penyakit akut yang sembuh sendiri dengan nyeri tenggorok, mialgia non-spesifik, dan meningitis aseptik. Keseimbangan klinis dan jumlah CD4+ sel T menjadi normal terjadi dalam waktu 6-12 minggu. 2. Tahap menengah, fase kronik, berupa keadaan laten secara klinis dengan replikasi. Virus yang rendah khususnya di jaringan limfoid dan hitungan CD4+ secara perlahan menurun. Penderita dapat mengalami pembesaran kelenjar limfe yang luas tanpa gejala yang jelas. Tahap ini dapat mencapai beberapa tahun. Pada akhir tahap ini terjadi demam, kemerahan kulit, kelelahan, dan viremia. Tahap kronik dapat berakhir antara 7-10 tahun.

3. Tahap akhir, fase krisis, ditandai dengan menurunnya pertahanan tubuh penderita secara cepat berupa rendahnya jumlah CD4+, penurunan berat badan, diare, infeksi oportunistik, dan keganasan sekunder. Tahap ini umumnya dikenal sebagai AIDS. Petunjuk dari CDC di Amerika Serikat menganggap semua orang dengan infeksi HIV dan jumlah sel T CD4+ kurang dari 200 sel/µl sebagai AIDS, meskipun gambaran klinis belum terlihat.

2.5 Patofisiologi HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan melekatkan dirinya pada protein CD4. Sekali ia berada di dalam, materi viral (jumlah virus dalam tubuh penderita) turunan yang disebut RNA (ribonucleic acid) berubah menjadi viral DNA (deoxyribonucleic acid) dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian dari DNA manusia yang menghasilkan lebih banyak sel jenisnya. Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus– virus yang baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas dalam aliran darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem kekebalan tubuh dan meninggalkan tubuh menjadi mudah diserang oleh infeksi dan penyakit–penyakit yang lain. Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut dari orang ke orang. Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan sel–sel yang terinfeksi dan menggantikan sel–sel yang telah hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk menghasilkan kembali dirinya. 1. Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800– 1200 sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–nya terhitung dibawah 200, menyebabkan penderita HIV menjadi semakin mudah diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik. 2. Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika sistem kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat

infeksi–infeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal. HIV/AIDS merupakan model penyakit yang memerlukan dukungan untuk mengatasi masalah fisik, psikis dan sosial. Gangguan fisik yang berat dapat menimbulkan beban psikis dan sosial. Namun stigma masyarakat akan memperberat beban psikososial penderita. Dalam penatalaksanaan AIDS selain penanganan aspek fisik maka aspek psikososial perlu diperhatikan dengan seksama.

2.6 Gejala HIV AIDS 1. Gejala mayor a. BB menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan c. Penurunan kesadaran dan adanya gangguan neurologis d. Demensia / HIV Ensefalopati 2. Gejala minor a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan b. Dermatitis generalist c. Adanya herpes zoster yang berulang d. Kandidiasis orofaringeal e. Herpes simplex kronik progresif f. Limfadenopati generalist g. Infeksi jamur berulang pada kelamin wanita h. Retinitis Cytomegalovirus

2.7 Komplikasi Medis Pada Wanita dengan HIV Esofagitis Candida dan pneumonia pneumocytstis carinii merupakan penyakit–penyakit AIDS yang paling sering terjadi pada wanita yang terinfeksi HIV. Walaupun begitu, ada juga beberapa manifestasi ginekologi pada wanita yang terinfeksi HIV diantaranya:

1. Virus human papilloma dan penyakit serviks Virus Human papilloma (VHP) merupakan salah satu dari penyakit hubungan seksual yang paling sering terjadi. Manifestasi infeksi VHP antara lain kutil anogential (kondiloma akuminata), dysplasia serviks atau karsinoma invasif serviks yang ditemukan melalui pemeriksaan Pap smear. Oleh karena itu pemeriksaan Pap smear yang adekuat perlu dilakukan paling sedikit satu tahun sekali pada wanita yang terinfeksi HIV. Jika pemeriksaan Pap smear tidak adekuat atau menunjukkan hasil yang abnormal, maka perlu dilakukan pemeriksaan kolposkopi. 2. Virus herpes simpleks Herpes genitalis atau virus herpes simpleks dapat terjadi secara tiba–tiba dan menjadi persisten pada wanita yang terinfeksi oleh HIV, menyebar dan dirasakan lebih nyeri bila dibandingkan dengan VHS pada wanita yang tidak terinfeksi HIV. Seperti halnya penyakit gangguan sitem imun lainnya, wanita penderita VHS dan terinfeksi HIV akan lebih sering menyebarkan HIV dari pada wanita yang tidak terinfeksi dan meningkatkan risiko penularan HIV ke pasangan seksualnya. 3. Chancroid Chancroid dimanifestasikan sebagai nyeri akut pada ulkus di genitalia eksternal dan disertai dengan limfadenopati inguinal. Pengobatan dengan dosis tunggal quinolon atau seftriakson biasanya efektif. Jika dengan terapi ini tidak berhasil maka akan diberikan fluoroquinolon selama 3 hari (contohnya, siprofloksasin hidroklorida). Insiden terjadinya kegagalan pengobatan pada wanita meningkat pada mereka yang terinfeksi HIV. 4. Sifilis Pada individu yang terinfeksi oleh HIV, infeksi sifilis tampaknya lebih agresif dan berkembang dengan lebih cepat dari sifilis primer ke sifilis tersier. Pengobatan sifilis primer, sekunder dan tersier pada pasien yang terinfeksi HIV walau sedang hamil harus dijalani dengan memakai penisilin benzatin secara intramuskuler sekali seminggu selama tiga minggu berturut–turut. Pemeriksaaan lanjutan sepeti VDRL dan RPR

harus dilakukan pada bulan ke 1, 2, 3, 6, 9 dan 12. Jika hasil pemeriksaan tersebut tidak menurun 4 kali lipat atau cenderung meningkat dalam waktu 6 bulan, wanita yang terinfeksi oleh HIV harus diperiksa VDRL pada cairan serebrospinalisnya dan diterapi ulang seperti yang telah dijelaskan. Hasil penelitian menemukan bahwa mereka yang mempunyai riwayat sifilis mempunyai risiko tinggi terhadap infeksi HIV. Oleh karena itu konseling dan pemeriksaan HIV harus dilakukan pada wanita yang sedang menjalani pengobatan sifilis. Demikian pula pada wanita yang menderita HIV harus dilakukan pemeriksaan terhadap adanya sifilis atau tidak. 5. Ulkus genital HIV Selain ulkus yang terjadi pada chancroid, sifilis dan virus herpes simpleks, belakangan ini telah ditemukan suatu keadaan baru yang disebut ulkus genital HIV pada beberapa wanita penderita HIV. Ulkus ini telah dilakukan kultur untuk menemukan adanya virus herpes simpleks dan chancroid serta dilakukan pemeriksaan mikroskop lapangan gelap. Walaupun semua hasil pemeriksaan ini negative, pasien–pasien ini tetap mendapatkan pengobatan untuk VSH, chancroid dan sifilis, tetapi tidak dapat menyembuhkan ulkus. Maka dilakukanlah pengobatan zidovudine (AZT) dan ulkus ternyata menyembuh dengan cepat. Ulkus HIV primer harus dibedakan dengan ulkus genital yang terjadi pada wanita yang terinfeksi oleh HIV. Walaupun begitu ulkus–ulkus ini dapat timbul dibagian tubuh lainnya dimana terdapat membran mukosa 6. Penyakit inflamasi Walaupun organisme yang menyebabkan infeksi ini seperti gonorrhea, Chlamydia serta spesies aerob dan anaerob adalah sama baik pada wanita yang terinfeksi HIV maupun yang tidak. Tetapi pada wanita yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gambaran klasik dari perjalanan infeksi–infeksi tersebut. Abses lebih sering terjadi dan intervensi pembedahan lebih sering dilakukan pada wanita yang terinfeksi HIV.

7. Kandidasi vagina Walaupun kandidasi vagina merupakan infeksi ginekologi yang umum terjadi pada wanita, rekurensi kandidasi vagina lebih sering terjadi pada wanita yang terinfeksi HIV. Oleh karena itu menyebabkan terjadinya kandidasi vagina berulang, lima sampai enam kali setahun. Pengobatan kandidasi vagina dini pada wanita yang terinfeksi HIV adalah dengan memakai obat standar yang telah ditetapkan yaitu obat–obat antijamur topikal seperti klotrimazol. Kandidasi vagina yang rekuren atau resisten diberi pengobatan dengan ketokonazol, 400 mg perhari selama 14 hari yang diikuti dengan pengobatan 5 hari setiap bulannya selama waktu 6 bulan. Selama pengobatan perlu dilakukan pemeriksaan fungsi hati.

2.8 Nutrisi Pada Wanita Dengan HIV/AIDS Wanita biasanya merupakan individu yang memberikan perawatan pada angggota keluarga dan anak–anaknya selain mengurus dirinya sendiri, sehingga nutrisi pada wanita dengan HIV/AIDS memerlukan perhatian khusus. Wanita dengan HIV/AIDS sebaiknya beristirahat cukup, melakukan olahraga secara teratur, lebih dari hanya sekedar jalan kaki, makan–makanan yang sehat dan bergizi, minum obat tepat waktu dan menempatkan kebutuhan diri sendiri pada prioritas tinggi (HRSA,2002). 1. Wanita HIV/AIDS yang hamil dan menyusui Kehamilan memerlukan lebih banyak nutrisi untuk ibu dan bayi, kekurangan nutrisi menyebabkan wanita hamil rentan terhadap infeksi. Pada saat hamil, asupan gizi ditingkatkan: 300 kalori dan 10 gram protein sehari. Sebaiknya berat badan meningkat 25–35 pon selama hamil, 5 pon pada trimester pertama, 10–15 pon pada trimester kedua dan 15 pon pada trimester ketiga. Asupan vitamin ekstra, mineral, ion, cairan serta serat juga diperlukan. 2. Wanita HIV/AIDS saat mengalami menstruasi dan sindrom pramenstruasi HIV/AIDS mungkin dapat mengubah siklus haid dan memperberat sindrom pramenstruasi. Misalnya kekakuan payu dara, mudah marah, depresi, kram dan sebagainya. Dalam keadaan ini, wanita penderita

HIV/AIDS sebaiknya mengkonsumsi makanan rendah gula dan tingggi serat selama fase sebelum menstruasi dan saat menstruasi. Membatasi konsumsi garam dan makanan ringan dapat membantu mengurangi kram dan nyeri payudara. Selain itu sebaiknya wanita tetap melakukan latihan teratur dan istirahat cukup (HRSA,2002) 3. Wanita HIV/AIDS menopause Wanita menopause sebaiknya meningkatkan asupan kandungan kalsium dalam makanan 4–5 kali lebih banyak. Makanan yang bisa dikonsumsi misalnya: susu, keju, yoghurt, jus jeruk, jamur dan sardine serta sumber kalsium lainnya. 4. Wanita HIV/AIDS dengan infeksi dan berat badan Jika wanita mengalami kegemukan, maka berat badan harus diturunkan, sebaliknya jika sangat kurus harus ditingkatkan asupan nutrisinya. Pasien dengan infeksi juga harus makan lebih banyak terutama makanan yang kaya akan protein dan vitamin(HRSA,2002).

2.9 Dukungan Sosial Spiritual Pada Wanita Dengan HIV/AIDS Wanita banyak menerima diskriminasi saat membutuhkan pengobatan HIV, bantuan dari fasilitas rehabilitasi obat dan percobaan riset karena sedang hamil atau sedang dalam masa subur (Richard, et al.,1997). Wanita keturunan Afrika, Amerika dan Hispanik seringkali mengalami siksaaan fisik jika dia menyarankan penggunaan kondom pada pasangannya karena pria hispanik menganggap kondom hanya digunakan untuk wanita yang tidak mempunyai moral yang baik dan bukan pada istri atau pasangan tetapnya. Wanita juga lebih jarang menanyakan kebiasaan seksual pasangannya dibandingkan pria, dan bila mereka bertanya tidak ada jaminan bahwa pasangannya akan mengatakan hal yang sebenarnya (Braun et al. dalam Richard, et al.,1997). Gejala psikiatri yang menyertai penderita HIV/AIDS: A. Fase awal 1. Ansietas , mungkin panik 2. Marah 3. Penurunan harga diri

4. Rasa malu yang kuat 5. Berpikiran kehilangan multiple 6. Depresi 7. Perasaan “sakit” 8. Periode mengingkari atau pikiran penuh harap 9. Kesulitan memberikan informasi kepada pasangan seksual yang berganti – ganti dan teman pengguna jarum suntik yang sama B. Fase pertengahan 1. Munculnya gejala penurunan kesehatan 2. Perubahan penampilan fisik 3. Pengunaan keterampilan koping, hunungan dan keuangan berlebihan 4. Peningkatan ansietas 5. Diperlukan bantuan perawatan diri 6. Rasa tidak menentu 7. Kehilangan kontrol 8. Kesedihan depresi berat 9. Kekuatan keluarga bergerak atau konflik meningkat 10. Berduka adaptif pada keluarga dan teman 11. Memilih persiapan kematian terutama advance C. Fase akhir 1. Penurunan status kesehatan 2. Kehidupan sehari-hari dipengaruhi oleh masalah fisik dan kognetif 3. Stresor berat 4. Melihat kembali kehidupan secara menyeluruh 5. Nyeri dan penderitan 6. Demensia 7. Takut membebani orang lain terutama pengasuh Wanita dengan HIV/AIDS perlu diberikan dukungan terhadap kehilangan dan perubahan mencakup: 1. Memberi dukungan dengan memperbolehkan pasien dan keluarga untuk membicarakan hal–hal tertentu dan mengungkapkan perasaan keluarga

2. Membangkitkan

harga

diri

wanita

dengan

HIV/AIDS

serta

keluarganya dengan melihat keberhasilan hidupnya atau mengenang masa lalu yang indah 3.

Menerima perasaan marah, sedih atau emosi dan reksi lainnya

4. Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat mengendalikan diri dan tidak menyalahkan diri sendiri atau orang lain (Nursalam, et al.,2005) Selain itu perlu diberikan perawatan paliatif dan terminal yang mencakup empat hal yaitu: pemberian kenyamanan, pengelolaan nyeri serta menyiapkan pasien menghadapi kematian. Perawatan kenyamanan mencakup tindakan relaksasi dan distraksi, menjaga pasien tetap bersih dan kering, penggantian posisi secara teratur, memberi toleransi maksimal terhadap permintaan pasien dan keluarga serta menghormati kebutuhan untuk mandiri (Nursalam, et al.,2005). Pengelolaan nyeri bisa dilakukan dengan teknik relaksasi,

pemijatan,

distraksi,

meditasi

maupun

pengobatan

anti

nyeri.Persiapan menjelang kematian meliputi penjelasan yang memadai tentang

keadaan

pasien,

bantuan

mempersiapkan

pemakaman

serta

pengurusan jenazah sesuai dengan budaya pasien.

2.10

Pemeriksaan Diagnostik A. Pemeriksaan Awal Untuk Wanita dengan HIV Pusat

Pencegahan

dan

Pengendalian

Penyakit

(CDC)

menganjurkan agar semua wanita yang berusia subur dan mempunyai perilaku yang beresiko tinggi harus menjalani konsultasi dan pemeriksaan HIV. Ulkus merupakan jalan masuk bagi virus dan penyakit hubungan seksual lainnya. Selain itu wanita yang menderita lesi ulseratif pada genetalia harus menjalani konsultasi dan pemeriksaan terhadap HIV. Pemeriksaan yang perlu dilakukan pada wanita yang terdiagnosa HIV meliputi 1. Pengambilan riwayat ginekologi lengkap, termasuk riwayat menstruasi, obsteri, kontrasepsi, dan aktivitas sesual

2. Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan payudara dan pelvis 3. Pemeriksaan: pas smear, kultur serviks untuk mencari adanya Chlamydia dan gonorrhea, VDRL dan tes kehamilan (jika ada indikasi) 4. Mammogram untuk wanita yang berusia antara 35 sampai 39 tahun, dua tuhan sekali sampai berusia 49 tahun dan kemudian setiap tahun untuk wanita yang berusia 50 atau lebih 5. Kolposkopi (merupakan pilihan, tetapi dengan adanya data baru pemeriksaan ini sangat dianjurkan) B. Tes untuk diagnosa infeksi HIV : 1. ELISA 2. Western blot 3. P24 antigen test 4. Kultur HIV C. Tes untuk deteksi gangguan system imun. a. Hematokrit. b. LED c. CD4 limfosit d. Rasio CD4/CD limfosit e. Serum mikroglobulin B2 f. Hemoglobulin

2.11

Pencegahan Penularan HIV/AIDS Pada Wanita Usia Reproduksi Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV pada anak adalah dengan mencegah penularan HIV pada perempuan usia reproduksi 15-49 tahun (pencegahan primer). Pencegahan primer bertujuan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak secara dini, yaitu baik sebelum terjadinya perilaku hubungan seksual berisiko atau bila terjadi perilaku seksual berisiko maka penularan masih bisa dicegah, termasuk mencegah ibu dan ibu hamil agar tidak tertular oleh pasangannya yang terinfeksi HIV.

Upaya

pencegahan

ini

tentunya

harus

dilakukan

dengan

penyuluhan dan penjelasan yang benar terkait penyakit HIV-AIDS, dan penyakit IMS dan didalam koridor kesehatan reproduksi. Isi pesan yang disampaikan tentunya harus memperhatikan usia, norma, dan adat istiadat setempat, sehingga proses edukasi termasuk peningkatan pengetahuan komprehensif terkait HIV-AIDS dikalangan remaja semakin baik. Untuk menghindari

perilaku

seksual

yang

berisiko

upaya

mencegah

penularan HIV menggunakan strategi “ABCDE”, yaitu: 1. A (Abstinence),

artinya Absen

seks

atau

tidak

melakukan

hubungan seks bagi orang yang belum menikah; 2. B (Be

Faithful),

artinya Bersikap

saling

setia

kepada

satu

pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan); 3. C (Condom), artinya cegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan menggunakan kondom; 4. D (Drug No), artinya Dilarang menggunakan narkoba. 5. E (Save Equipment) Kegiatan yang dapat dilakukan pada pencegahan primer antara lain: a. Menyebarluaskan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) tentang HIV-AIDS dan Kesehatan Reproduksi, baik secara individu maupun kelompok, untuk: 1) Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang cara menghindari penularan HIV dan IMS. 2) Menjelaskan manfaat mengetahui status atau tes HIV sedini mungkin 3) Meningkatkan

pengetahuan

petugas

kesehatan

tentang

tatalaksana ODHA perempuan 4) Meningkatkan keterlibatan aktif keluarga dan komunitas untuk meningkatkan pengetahuan komprehensif HIV dan IMS Sebaiknya, pesan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak juga disampaikan kepada remaja, sehingga mereka mengetahui cara agar tidak terinfeksi HIV. Informasi tentang pencegahan penularan HIV

dari ibu ke anak juga penting disampaikan kepada masyarakat luas sehingga dukungan masyarakat kepada ibu dengan HIV dan keluarganya semakin kuat. b. Mobilisasi masyarakat 1) Melibatkan petugas lapangan (seperti kader kesehatan/PKK, PLKB,

atau posyandu)

sebagai

pemberi

informasi

pencegahan HIV dan IMS kepada masyarakat dan untuk membantu klien mendapatkan akses layanan kesehatan. 2) Menjelaskan tentang cara pengurangan risiko penularan HIV dan IMS, termasuk melalui penggunaan kondom dan alat suntik steril. 3) Melibatkan komunitas, kelompok dukungan sebaya, tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam menghilangkan stigma dan diskriminasi. c. Layanan tes HIV Konseling dan tes HIV dilakukan melalui pendekatan Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan (KTIP) dan Konseling

dan

Tes

Sukarela

(KTS),

yang merupakan

komponen penting dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Cara untuk mengetahui status HIV seseorang adalah melalui tes darah.Prosedur dilakukan

dengan

pelaksanaan

tes

darah

memperhatikan 3 c yaitu: Counselling,

Confidentiality,dan informed consent. Jika status HIV ibu sudah diketahui, 1) HIV positif: lakukan intervensi PPIA komprehensif agar ibu tidak menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya. 2) HIV negatif: lakukan konseling tentang cara menjaga agar tetap HIV negative Layanan konseling dan tes HIV diintegrasikan dengan pelayanan KIA sesuai dengan strategi layanan komprehensif berkesinambungan dengan tujuan:

1) Konseling dan tes HIV dapat ditawarkan kepada semua ibu hamil dalam paket pelayanan ANC terpadu, sehingga akan mengurangi stigma terhadap HIVAIDS. 2) Layanan konseling dan tes HIV di layanan KIA akan menjangkau banyak ibu hamil, sehingga pencegahan penularan ibu ke anaknya dapat dilakukan lebih awal dan sedini mungkin. 3) Penyampaian informasi dan tes HIV dapat dilakukan oleh semua petugas di fasilitas pelayanan kesehatan kepada semua ibu hamil dalam paket pelayanan Ancterpadu, sehingga akan mengurangi stigma terhadap HIV-AIDS. 4) Pelaksanaan konseling dan tes HIV mengikuti Pedoman Konseling dan Tes HIV, petugas wajib menawarkan tes hIV dan

melakukan

pemeriksaan

Ims, termasuk

tes

sifilis,

kepada semua ibu hamil mulai kunjungan antenatal pertama bersama dengan pemeriksaan laboratorium lain untuk ibu hamil (inklusif dalam paket pelayanan ANC terpadu). 5) Tes

HIV

ditawarkan

juga

bagi

pasangan

laki-laki

perempuan dan ibu hamil yang dites (couple conselling); 6) Di setiap jenjang layanan kesehatan yang memberikan layanan PPIA dalam paket pelayanan KIA, harus ada petugas yang mampu melakukan konseling dan tes HIV 7) Di layanan KIA, konseling pasca tes bagi perempuan HIV negatif difokuskan pada informasi dan bimbingan agar klien tetap HIV negatif selama kehamilan, menyusui dan seterusnya; 8) Konseling penyampaian hasil tes bagi perempuan atau ibu hamil yang HIV positif juga memberikan kesempatan untuk dilakukan konseling berpasangandan penawaran tes HIV bagi pasangan laki-laki. 9) Pada setiap jenjang pelayanan kesehatan, aspek kerahasiaan ibu hamil ketika mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah tes HIV harus terjamin.

10) Menjalankan konseling dan tes HIV di klinik KIA berarti mengintegrasikan juga program HIV-AIDS dengan layanan lainnya, seperti pemeriksaan rutin untuk IMS, pengobatan IMS,

layanan

kesehatan

reproduksi,

pemberian

gizi

tambahan, dan keluarga berencana. 11) Upaya pengobatan IMS menjadi satu paket dengan pemberian kondom sebagai bagian dari upaya pencegahan. d. Dukungan untuk perempuan yang HIV negative

BAB 3 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA WANITA DENGAN HIV POSITIF

Proses keperawatan adalah suatu metode dimana suatu konsep diterapkan dalam prktik keperawatan. Hal ini bisa disebut sebagai suatu pendekatan problemsolving yang memerlukan ilmu, teknik, dan keterampilan intrapersonal dan ditujukan utuk memenuhi kebutuhan klien/keluarga. Asuhan keperawatan adalah factor penting dalam survival pasien dan dalam aspek-aspek, rehabilitasi, dan preventif perawat kesehatan. (Marilynn E. Doenges, 1999). Langkah-langkah

dalam

penerapan

asuhan

keperawatan

meliputi:

pengkajian, diagnose keperawatan, rencana tindakan keperawatan, tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.

3.1 Pengkajian Pengkajian merupakan tahap dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Langkah-langkah dalam pengkajian meliputi pengumpulan data. Ada 2 tipe data pada pengkajian: a. Data Subyektif Data subyektif adalah data yang didapatkan dari klien sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian. Informasi tersebut tidak dapat ditentukan oleh perawat secara independen tetapi melalui suatu interaksi atau komunkasi. b. Data obyektif Data obyektif adalah data yang dapat diobservasi dan diukur. Informasi tersebut biasanya diperoleh melalui “ senses “: 2S (sight,smell) dan HT (hearing dan touch atau taste) selama pemeriksaan fisik.

Pengumpulan data pasien baik subyektif maupun obyektif adalah sebagai berikut: 1. Identitas a. Identitas Klien: nama, umur, jenis kelamin, agama/suku bangsa, status perkawinan, pendidikan, bahasa yang digunakan, alamat, pekerjaan, golongan darah, penghasilan. b. Identitas penanggung Jawab: nama, umur, jenis kelamin, agama/suku bangsa, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien. 2. Keluhan Utama Umumnya keluhan utama saat klien dirawat/masuk rumah sakit adalah diare terus menerus, anoreksia, cemas dan gelisah P (paliatif) : Apa yang menjadi hal-hal yang meringankan dan memperberat. Q (quantitas): Seberapa berat keluhan, bagaimana rasanya ? seberapa sering terjadinya ? R (radiasi)

: Dimanakah lokasi keluhan ?, bagaimana penyebarannya.

S (skala)

: Dengan menggunakan GCS untuk gangguan kesadaran, skala nyeri untuk keluhan nyeri.

T (timing)

: Kapan keluhan itu terasa ?, seberapa sering keluhan itu terasa.

3. Riwayat Kesehatan a. Riwayat penyakit dahulu Tanyakan pada pasien atau keluarga pasien apakah pasien pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya sampai terjadi penurunan berat badan, nafsu makan

berkurang. Apakah pasien sering

mengkonsumsi zat-zat narkoba atau melakukan hubungan seks bebas tanpa menggunakan pengaman. b. Riwayat penyakit keluarga Apakah penyakit yang saat ini diderita pasien pernah dialami oleh anggota keluarga yang lain

c. Pemeriksaan fisik Pada dasarnya dalam pemeriksaan fisik menggunakan pendekatan secara sistematik yaitu : inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi. 1) Keadaan Umum Meliputi tanda-tanda vital, BB/TB, 2) Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Subyektif) a) Aktifitas / Istirahat Gejala

: Mudah lelah, intoleran activity, progresi, malaise, perubahan pola tidur.

Tanda

: Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktifitas (Perubahan TD, frekuensi jantung dan pernapasan).

b) Sirkulasi Gejala

: Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada cedera.

Tanda

: Perubahan TD postural, menurunnya volume nadi perifer, pucat/sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.

c) Integritas dan Ego Gejala

: Stress berhubungan dengan kehilangan, mengkhawatirkan penampilan, mengingkari diagnosa, putus asa dan sebagainya.

Tanda

: Mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah.

d) Eliminasi Gejala

: Diare intermitten, terus menerus, sering dengan atau tanpa kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi

Tanda

: Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, sering diare, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal, perianal, perubahan jumlah, warna dan karakteristik urine.

e) Makanan / Cairan Gejala

: Anoreksia, mual muntah, disfagia

Tanda

: Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi yang buruk, edema

f) Hygiene Gejala

: Tidak dapat menyelesaikan AKS

Tanda

: Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.

g) Neurosensori Gejala

: Pusing, sakit kepala, perubahan status mental, kerusakan status indera, kelemahan otot, tremor, perubahan penglihatan.

Tanda

: Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak normal, tremor, kejang, hemiparesis, kejang.

h) Nyeri Gejala

: Nyeri umum/local, rasa terbakar, sakit kepala,nyeri dada pleuritis.

Tanda

: Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan, penurunan rentan gerak, pincang.

i) Pernapasan Gejala

: ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk, sesak pada dada.

Tanda

: Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya sputum.

j) Keamanan Gejala

: Riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka, transfuse darah, penyakit defisiensi imun, demam berulang, berkeringat malam.

Tanda

: Perubahan integritas kulit,luka perianal/abses, timbulnya nodul, pelebaran kelenjar limfe, menurunya kekuatan umum, tekanan umum.

k) Seksualitas Gejala

: Riwayat berprilaku seks dengan resiko tinggi, menurunnya libido, penggunaan pil pencegah kehamilan.

Tanda

: Kehamilan,herpes genetalia.

l) Interaksi Sosial Gejala

: Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian, adanya trauma AIDS.

Tanda

: Perubahan interaksi.

d. Data Psikologis 1) Status Emosi Kaji emosi pasien apakah stabil/tidak, apakah pasien aktif menjawab pertanyaan yang diberikan, tidak mudah tersinggung, efek mimik muka sesuai keadaan atau tidak. 2) Kecemasan Bagaimana ekspresi wajah pasien mengetahui tentang penyakitnya. Apakah tampak cemas dan gelisah. 3) Pola Koping Koping pasien dalam mengatasi masalah yang dihadapi, efektif atau inefektif. 4) Gaya Komunikasi Pada saat pasien berkomunikasi apakah cenderung diam, vokal jelas atau tidak, menggunakan bahasa yang baik atau dengan marah penuh emosi serta sebaliknya e. Konsep Diri 1) Gambaran diri Penerimaan pasien dalam menyukai bentuk seluruh tubuhnya setelah menderita penyakit. 2) Harga Diri Apakah ada perasaan bersalah atas perbuatannya selama ini, dan malu dengan keadaan dirinya yang diduga mengidap HIV

3) Peran Diri Bagaimana peran pasien dalam keluarga dan masyarakat. 4) Identitas Diri Kaji tentang status pasien, sifat dan prilakunya. 5) Ideal Diri f. Data Sosial Bagaimana hubungan pasien dengan keluarga serta saudaranya dan masyarakat. Pasien dapat menjalin kerja sama dengan petugas dan sesama pasien di ruang perawatan atau tidak. Kooperatif atau sebaliknya g. Data Spiritual Agama yang dianut pasien. Pada saat sakit masih tetap menjalankan ibadah, jarang atau tidak pernah. 4. Pemeriksaan Diagnostik a. Tes Laboratorium Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV) 1) Serologis a) Tes antibody serum Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes positif, tapi bukan merupakan diagnosa b) Tes blot western Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV) c) Sel T limfosit Penurunan jumlah total d) Sel T4 helper e) T8 ( sel supresor sitopatik )

Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun. f) P24 ( Protein pembungkus HIV) Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi g) Kadar Ig Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau mendekati normal h) Reaksi rantai polimerase Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler. i) Tes PHS Kapsul hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin positif 2) Neurologis a) EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf) b) Tes Lainnya c) Sinar X dada d) Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau adanya komplikasi lain e) Tes Fungsi Pulmonal f) Deteksi awal pneumonia interstisial g) Skan Gallium Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya. h) Biopsis i) Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi j) Bronkoskopi / pencucian trakeobronkial Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru 3) Tes Antibodi Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka system imun akan bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk dalam 3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan.Hal ini

menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan hasil tes positif.Tapi antibody ternyata tidak efektif,

kemampuan

mendeteksi

antibody

Human

Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah memungkinkan skrining produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostic. Pada tahun 1985 Food and Drug Administration (FDA) memberi lisensi tentang uji kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) bagi semua pendonor darah atau plasma. Tes tersebut, yaitu : a) Tes Enzym – Linked Immunosorbent Assay ( ELISA) Mengidentifikasi

antibody

yang

secara

spesifik

ditujukan kepada virus Human Immunodeficiency Virus (HIV).ELISA tidak menegakan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).Orang yang dalam darahnya terdapat antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) disebut seropositif. b) Western Blot Assay Mengenali antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV)

dan

memastikan

seropositifitas

Human

Immunodeficiency Virus (HIV) c) Indirect Immunoflouresence Pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan seropositifitas. d) Radio Immuno Precipitation Assay ( RIPA ) Mendeteksi protein dari pada antibody.

3.2 Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan, mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respon terhadap masalah aktual dan resiko tinggi (Marilynn E. Doenges, 1999). Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu

atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan menurunkan, membatasi, mencegah, dan merubah . NANDA menyatakan bahwa diagnose keperawatan adalah “keputusan klinik tentang respon individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan actual atau potensial, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat”. A. Analisa Data No

Data

1.

Batasan karakteristik Resiko Infeksi a. Penyakit kronis b. Penekanan system imun

Etiologi

Masalah

HIV Menginfeksi limfosit CD4+ Resiko tinggi destruksi sel infeksi  Memburuknya sistem imun secara progresif  Tubuh rentan terhadap infeksi  Resiko tinggi infeksi

c. Ketidakadekuat imunitas dapatan d. Malnutrisi e. Prosedur invasive f.

Pertahanan primer tidak adekuat

2.

Batasan karakteristik kekurangan volume cairan a. Subjektif 1) Mengungkapka n rasa haus b. Objektif 1) Perubahan status mental 2) Penurunan turgor kulit

Memudahkan Invasi MO melalui Makanan & minuman  Melepaskan enterotoxin  Reaksi imflamasi 

Virus HIV (Rotavirus)  Menurunkan jmlh & fungsi CD-4

Kekurangan volume cairan tubuh berlebih

3) Penurunan haluaran urine

Peningkatan motilitas salcerna

4) Kulit dan membran mukosa kering 5) Hemotoktit

Diare tiap hari  Kehilangan cairan yang berlebihan  Kekurangan volume cairan tubuh berlebih

meningkat 6) Peningkatan frekuensi nadi, penurunan tekanan darah 7) Konsentrasi urine meningkat 8) Kelemahan

3.

Batasan karakteristik nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Infeksi Virus HIV  Aktivasi Sitokin (IL1+TNF)

Invasi MO

a. Objektif 1) Kram/nyeri abdomen 2) Menolak makan 3) Persepsi ketidakmampua

Penetrasi Demam Hipotala kedalam  mus usus Hiperme   tabolik Anoreksia Merusak   vili-vili usus Pemecahan Asupan  Protein nutrisi Malabsor Dan Otot kurang psi

n untuk mencerna makanan b. Subjektif 1) Pembulu kapiler rapuh 2) Diare atau steatore

Kehilangan len body mass  Perubahan kebutuhan nutrisi

Perubahan kebutuhan nutrisi; kurang dari kebutuhan

3) Kekurangan makanan 4) Bising usus hiperaktif 5) Hb menurun 6) Kurangnya minat terhadap makanan 7) Memberan mukosa pucat

4.

Batasan karakteristik hipertermi a. Subjektif 1) Mengungkapka n keluhan demam 2) Ungkapan dehidrasi b. Objektif 1) Kulit merah 2) Suhu tubuh meningkat

Invasi MO Saluran cerna  Masuk komponen dinding sel  Reaksi inflamasi  Peningkatan metabolisme sel  Peningkatan suhu tubuh  Hipertermi

Virus HIV  Aktivasi Sitokin (IL1+TNF)  Demam

Gangguan termoregulasi: Hipertermi

diatas batas normal 3) Kejang atau konvulsi 4) Kulit teraba hangat 5.

Batasan karakteristik nsietas (Cemas) a. Subjektif 1) Mengungkapka n perasaan

Didiagnosa HIV/AIDS  Kurang pengetahuan tentang penyakit  Gelisah  Cemas

Cemas

kekhawatiran akibat perubahan dalam peristiwa hidup 2) Mengungkapka n sulit untuk tidur b. Objektif 1) Gelisah 2) Memandang sekilas 3) Kontak mata buruk 4) Gerakan yang tidak relevan 5) Resah 6) Kesedihan yang mendalam 7) Distress 8) Ketakutan 9) Perasaan tidak adekuat 10) Focus pada hidup sendiri 11) Iritalibitas 12) Gugup 13) Peningkatan keringat 14) Peningkatan ketegangan 15) Terguncang

6.

Batasan karakteristik harga diri rendah a. Subjektif 1) Evaluasi diri

HIV/AIDS  Infeksi opportunistik  Gangguan citra tubuh  Harga diri rendah

Harga diri

Didiagnosa AIDS  Persepsi AIDS Penyakit Aib  Persepsi tidak diterima dalam masyarakat  Isolasi sosial

Isolasi sosial

rendah

bahwa ia tidak sanggup menghadapi situasi atau peristiwa 2) Melaporkan secara verbal tantangan situasional saat ini terhadap harga diri b. Objektif 1) Gangguan citra tubuh 2) Kurang kontak mata 3) Perilaku bimbang dan tidak asertif 4) Perkataan peniadaan diri 7.

Batasan karakteristik isolasi sosial a. Subjektif 1) Mengungkapka n perasaan kesendirian yang

disebabkan oleh orang lain 2) Mengungkapka n perasaan berbeda dari orang lain 3) Mengungkapka n perasaan penolakan 4) Minat yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan 5) Ketidakmampu an memenuhi harapan orang lain 6) Merasa tidak aman dalam bermasyarakat 7) Mengungkapka n nilai yang tidak diterima bagi kelompok budaya dominan b. Objektif 1) Ketidakadaan orang terdekat yang member dukungan (misalnya keluarga,

teman dan kelompok) 2) Perilaku yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan 3) Adanya cacat fisik atau mental 4) Termasuk golongan budaya non dominan 5) Tindakan tidak terarah 6) Tidak ada kontak mata 7) Asik dengan pikiran sendiri 8) Menunjukkan sikap bermusuhan (melalui suara maupun perilaku) 9) Tindakan berulang 10) Afek sedih

11) Memilih untuk sendiri 12) Tidak komunikatif 13) Menarik diri

B. Adapun diagnosa keperawatan yang sering muncul antara lain : 1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang beresiko. 2. Kekurangan volume cairan tubuh berlebih berhubungan dengan diare setiap hari 3. Perubahan kebutuhan nutrisi; kurang dari kebutuhan

tubuh

berhubungan dengan asupan nutisi ysng tidak adekuat 4. Gangguan termoregulasi: hipertermi berhubungan dengan invansi MO saluran cerna dan infeksi virus HIV 5. Ansietas/cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya yang ditandai dengan pasien tampak gelisah, menangisi keadaannya seperti sekarang 6. Harga diri rendah (kronik, situasional) berhubungan dengan prognosis penyakit, gangguan citra tubuh. 7. Isolasi sosial berhubungan dengan persepsi tidak diterima dalam masyaraka

3.3 Intervensi Keperawatan Rencana tindakan keperawatan adalah desain spesifik intervensi untuk membantu dalam mencapai kreteria hasil. Rencana tindakan dilaksanakan berdasarkan komponen penyebab dari diagnose keperawatan. Oleh karena itu rencana mendefinisikan suatu aktifitas yang diperlukan untuk membatasi fakto-faktor pendukung terhadap suatu permasalahan. Rencana tindakan keperawatan adalah preskripsi untuk prilaku spesifik yang diharapkan dari pasien dan atau tindakan yang harus di lakukan oleh perawat.(Maritynn E. Doenges, 1999).

No 1.

Diagnosa

Tujuan dan

Keperawatan

kriteria hasil

Intervensi

Resiko tinggi

Tujuan : Setelah

infeksi

dilakukan

sebelum dan

berhubungan

tindakan

sesudah

dengan

keperawatan

kontak dengan

imunosupresi,

selama 3 x 24

pasien.

malnutrisi dan

jam diharapkan

Anjurkan

pola hidup yang

perluasan infeksi

pasien/orang

beresiko.

atau sepsis tidak

terdekatnya

terjadi dengan

cuci tangan

kriteria hasil :

setelah kontak

1. Pasien dan

dengan pasien

keluarga mau

1. Cuci tangan

2.

Berikan

Rasional 1. Mengurangi resiko/kontaminasi silang

2. Mengurangi patogen pada

berpartisipasi

lingkungan

sistem imun dan

dalam

yang bersih

mengurangi kemungkinan

perilaku

dan

pasien mengalami infeksi

mengurangi

berventilasi

nasokomial

resiko infeksi

baik

2. Luka/lesi

3. Monitor

pulih

tanda-tanda

3. Demam tidak ada

3. Memberikan informasi data dasar.

vital 4. Terapkan

4. Tidak ada

4. Penggunaan masker,

standar

skort dan sarung tangan

cairan atau

precaution

dilakukan untuk kontak

secret yang

dalam seluruh

langsung dengan cairan

purulen dari

kegiatan

tubuh

tubuh.

perawatan

5. Jumlah leukosit normal

pasien 5.

Terapkan pembatasan

5. Mengurangi infeksi nasokomial

pengunjung pada pasien 6. Kolaborasi pemeriksaan

6. Mengidentifikasi proses adanya infeksi.

laboratorium 7. Kolaborasi pemberian

7. Menghambat proses infeksi.

antibiotic

2.

Kekurangan

Tujuan:

volume cairan

Jangka Panjang :

pasien untuk

keseimbangan cairan,

tubuh berlebih

Volume cairan

minum

mengurangi rasa haus dan

berhubungan

tubuh normal

sedikitnya

melembabkan membran

dengan diare tiap

dipertahankan

2500 ml/hari

mukosa.

hari

Jangka Pendek : Setelah dilakukan tindakan selama

1. Anjurkan

2. Ukur intake dan out put 3. Kaji turgor

3 x 24 jam

kulit,

diharapkan

membran

tercapai rehidrasi

mukosa, dan

dengan kriteria

rasa haus

hasil : 1. Frekuensi

4. Observasi tanda-tanda

BAB

vital dan

berkurang

timbang BB.

2. Konsistensi lembek 3. Turgor kulit baik 4. Membran

5. Kaji konsistensi

dan status cairan 3. Indikator tidak langsung dari status cairan

4. Indikator dari volume cairan sirkulasi

5. Mendeteksi adanya darah dalam feses

feses dan adanya darah. 6. Auskultasi

lembab

bunyi usus

stabil

2. Menunjukan perfusi ginjal

dan frekuensi

mukosa

5. Tanda vital

1. Memepertahankan

7. Kolaborasi

6. Hipermotiliti umumnya dengan diare 7. Diperlukan untuk

pemberian

mendukung/memperbesar

cairan

volume sirkulasi dan jika

parenteral

mual atau muntah terus menerus

8. Berikan anti spasmodik dan

8. Mengurangi kejang usus dan peristaltik

terapi lain sesuai order

3.

Perubahan

Tujuan:

1. Kaji

kebutuhan nutrisi;

Perbaikan status

kemampuan

pencernaan dan toleransi

kurang dari

nutrisi

klien untuk

klien terhadap nutrisi

kebutuhan tubuh

Setelah dilakukan

mendapatkan

yang di berikan

berhubungan

tindakan

nutrisi yang

dengan asupan

keperawatan

dibutuhkan

tidak adekuat

selama 3 x 24

2. Monitor

1. Meningkatkan proses

2. Meskipun proses

jam diharapkan

lingkungan

pemulihan klien

berat badan dapat

selama makan

memerlukan bantuan

dipertahankan

makanan atau

dengan kriteria

menggunakan alat bantu,

hasil:

sosialisasi waktu makan

1. Berat badan

dengan orang terdekat

tetap

atau teman dapat

2. Nafsu makan

meningkatakan

membaik 3. Tidak mual saat makan 4. Porsi makan habis

pemasukan 3. Anjurkan

3. Makanan yang

klien untuk

mendatangkan mual

batasi

menyebabkan klien

makanan yang

enggan untuk makan

menyebabkan mual dan muntah 4. Monitor kadar

4. Mengidentifikasi

albumin, total

defesiensi nutrisi, fungsi

protein, Hb

organ, dan respon terhadap nutrisi tersebut

5. Timbang BB sesuai indikasi

5. jantung/masalah metabolism

6. Catat perubahan BB

6. Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi

7. Kolaborasi

7. Merupakan sumber yang

dengan ahli

efektif untuk

gizi untuk

mengidentifikasi

memenuhi

kebutuhan kalori/nutrisi

jumlah kalori

tergantung pada usia, BB,

dan nutrisi

ukuran penyakit sekarang

yang

(trauma, penyakit)

dibutuhkan klien 4.

Gangguan

Tujuan:

termoregulasi:

termoregulasi

tanda vital

merupakan aluan untuk

hipertermi

tidak terjadi.

terutama suhu

mengetahui keadaan

berhubungan

Setelah dilakukan

umum pasien terutama

dengan invansi

tindakan

suhu tubuhnya

MO saluran cerna

keperawatan

dan infeksi virus

selama 3 x 24

HIV

jam diharapkan suhu badan klien

1. Pantau tanda-

2. Berikan kompr es panas

1. Tanda-tanda vital

2. Dapat membantu dalam proses penurunan panas yang dialami pasien

3. Beri pasien

3. Dengan minum banyak air

turun dengan

banyak minum

diharapkan cairan yang

kriteria hasil:

air (1500-2000

hilang dapat diganti

1. Klien

cc/hari)

mengatakan

4. Anjurkan klien

4. Karena kondisi tubuh yang

“Badan tidak

untuk

lembab memicu

panas”

menggunakan

pertumbuhan jamur

baju yang dapat

sehingga beresiko

tidak teraba

menyerap

menimbulkan komplikasi

panas

keringat

2. Badan klien

3. Bibir dan mulut lembab

5. Monitoring vit al sign

4. Tanda tanda vital dalam keadaan

5. Sebagai indikator untuk mengetahui perkembangan hipertermi

6. Kolaborasi dalam

6. Pemberian obat antibiotik unuk mencegah infeksi

normal

pemberian obat

pemberian obat antipiretik

antipiretik dan

untuk penurunan panas

antibiotik

5.

Ansietas

Tujuan :

1. Jamin pasien

berhubungan

mengurangi

tentang

penentraman hati lebih

dengan kurangnya

kecemasan pasien

kerahasiaan

lanjut dan memberi

pengetahuan

Setelah dilakukan

dalam batasan

kesempatan bagi pasien

tentang

tindakan

situasi

untuk memecahkan

penyakitnya yang

keperawatan 3 x

tertentu.

masalah pada situasi yang

ditandai dengan

24 jam

pasien tampak

diharapkan cemas 2. Pertahankan

gelisah, menangisi

pasien berkurang

hubungan

tidak akan sendiri serta

keadaannya

dengan kriteria

yang sering

menunjukan rasa

seperti sekarang

hasil :

dengan pasien,

menghargai dan

1. Pasien akan

batasi

menerimanya

diantisipasi.

menyatakan

penggunaan

kesadaran

alat pelindung

tentang

dan masker.

perasaan dan

1. Memberikan

3. Beri informasi

2. Menjamin bahwa pasien

3. Mengurangi ansietas dan

cara sehat

yang akurat

ketidak mampuan pasien

untuk

dan konsisten

untuk membuat

menghadapin

mengenai

keputusan berdasarkan

ya

progresi

realita.

2. Menunjukan rentang

penyakit. 4. Waspada

4. Pasien mungkin akan

normal dari

terhadap

menggunakan mekanisme

perasaan dan

tanda-tanda

bertahan dengan

berkurangnya

penolakan/dep

penolakan yang terus

rasa ansietas

resi.

berharap bahwa

3. Menunjukan kemampuan

diagnosanya tidak akurat. 5. Beri

5. Membantu pasien untuk

untuk

lingkungan

merasa diterima pada

mengatasi

terbuka

kondisi sekarang tanpa

masalah,

dimana pasien

perasaan dihakimi

menggunaka

akan merasa

n sumber-

bebas untuk

sumber

mendiskusika

dengan

n perasaan.

efektif

6. Kolaborasi

6. Diperlukan bantuan lebih

rujuk pada

lanjut dalam berhadapan

konseling

dengan diagnosa tertentu

psikiatri.

terutama jika timbul pikiran bunuh diri

6.

Harga diri

Tujuan: pasien

rendah (kronik,

memiliki konsep

hubungan

kemampuan pasien

situasional)

diri yang positif

saling percaya

seperti menilai realitas,

berhubungan

Setelah dilakukan

dengan

kontrol diri atau

tindakan

mengungkapk

keperawatan

an prinsip

selama 3 x 24

komunikasi

jam diharapkan

terapetik

1. Pasien dapat

dengan cara

membina

sapa pasien

hubungan

dengan ramah

saling

baik verbal

percaya

dan nonverbal.

dengan prognosis penyakit, gangguan citra tubuh.

dengan perawat 2. Pasien dapat

1. Bina

2. Diskusikan

2. Integritas ego diperlukan

kemampuan

sebagai dasar asuhan

dan aspek

keperawatan.

mengidentifi

positif yang

kasi

dimiliki

kemampuan

pasien.

dan aspek

1. Diskusikan tingkat

3. Hindarkan

3. Reinforcement positif

positif yang

dari memberi

akan meningkatkan harga

dimiliki.

penilaian

diri pasien

3. Pasien dapat

negatif setiap

menilai

bertemu

kemampuan

pasien

yang digunakan. 4. Pasien dapat

4. Rencanakan bersama

aktivitas mandiri sesuai

pasien

kemampuannya

merencanaka

aktifitas yang

n kegiatan

dapat

yang sesuai

dilakukan

dengan

setiap hari

kemampuan

sesuai

yang

kemampuan

dimiliki.

4. Pasien dapat melakukan

5. Beri

5. Mendorong keluarga

pendidikan

untuk mampu merawat

kesehatan

pasien secara mandiri

pada keluarga

dirumah.

tentang cara merawat pasien dengan harga diri rendah 6. Bantu kelurga

6. Meningkatkan peran serta

menyiapkan

keluarga dalam merawat

lingkungan di

pasien di rumah.

rumah 7.

Isolasi sosial

Tujuan : Persepsi

berhubungan

tidak diterima

penggunaan

pasien akan isolasi fisik

dengan persepsi

dalam

masker, baju

dan menciptakan

tidak diterima

masyarakat

dan sarung

hubungan sosial yang

dalam masyarakat

hilang.

tangan, jika

positif.

Setelah dilakukan

memungkinka

tindakan

n.

keperawatan

1. Batasi/hindari 1. Mengurangi perasaan

2. Tentukan

2. Isolasi sebagian dapat

selama 3 x 24

persepsi klien

mempengaruhi diri, saat

jam diharapkan

tentang

pasien takut penolakan /

klien menunjukan

situasi.

reaksi orang lain.

peningkatan perasaan harga

3. Berikan waktu 3. Pasien akan mengalami untuk bicara

isolasi fisik

diri, dengan

dengan klien

kriteria hasil:

selama dan

1. Klien dapat

diantara

berinteraksi

aktivitas

aktif dan

perawatan,

terbuka

tetap memberi

dengan

dukungan,

petugas

perlakukan

2. Klien tampak tidak murung 3. Klien mau

dengan penuh penghargaan dan

bersosialisasi

menghormati

dengan

perasaan klien

lingkunganny a

4. Dorong

4. Membantu memantapkan

adanya

partisipasi pada hubungan

hubungan

sosial.

yang aktif dengan orang terdekat 5. Waspadai

5. Indikasi bahwa putus asa

gejala-gejala

dan ide untuk bunuh diri

verbal/nonver

sering muncul, ketika

bal, misal:

tanda-tanda ini diketahui

menarik diri,

oleh pemberi perawatan,

putus asa

pasien pada umumnya

perasaan

ingin berbicara mengenai

kesepian.

perasaan bunuh diri,

Tanyakan

terisolasi dan putus asa.

kepasien: apakah pernah berfikir untuk bunuh diri ?

3.4 Implementasi Keperawatan Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik, tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan diharapkan pada Nursing aders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan yang mencangkup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan mempalisitai koping. Ada tiga tahap dalam tindakan keperawatan yaitu : Persiapan, intervensi, dan dokumentasi. (Nursalam, 2001)

3.5 Evaluasi Keperawatan Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Melalui evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor “ kealpaan “ yang terjadi selama tahap pengkajian, analisa, perencanaan, dan pelaksanaan tindakan. Adapun komponen tahap evaluasi adalah pertama pencapaian kreteria hasil, kedua keefektifan tahap-tahap keperawatn, ketiga revisi atau terminasi keperawatn. Evaluasi perencanaan kreteria hasil tulis pada catatan perkembangan dalam bentuk SOAPIER : S (Subyektif)

: Keluhan-keluhan klien

O (Obyektif)

: Apa yang dilihat, dicium, diraba dan dapat diukur oleh perawat.

A (Analisa)

:

P (Plan of care) :

Kesimpulan tentang keadaan klien Rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi diagnosa/masalah keperawatan klien.

I (Intervensi)

:

Tindakan yang dilakukan perawat untuk kebutuhan klien

E (Evaluasi)

:

R (Ressesment) :

Respon klien terhadap tindakan perawat Mengubah diperlukan.

rencana

tindakan

keperawatan

yang

Tujuan evaluasi ini adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan. Hal ini bias dilaksanakan dengan mengadakan hubungan dengan klien berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang diberikan, sehingga perawat dapat mengambil keputusan: a. Mengakhiri rencana tindakan keperawatan (klien telah mencapai tujuan yang ditetapkan). b. Memodifikasi rencana tindakan keperawatan (klien mengalami kesulitan untuk mencapai tujuan) c. Meneruskan rencana tindakan keperawatan yang lebih lama untuk mencapai tujuan)

(kilen memerlukan waktu

BAB 4 PENUTUP

4.1 Simpulan HIV (Human immunodeficiency Virus) adalah virus pada manusia yang menyerang system kekebalan tubuh manusia dalam jangka waktu yang relatif lama dan dapat menyebabkan AIDS. Sedangkan AIDS sendiri adalah suatu sindroma penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif lama karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV. Para wanita yang termasuk dalam kategori beresiko tinggi terhadap infeksi HIV mencakup: 1. Wanita yang melakukan hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan. 2. Wanita dan atau pasangannya yang berasal dari wilayah geografis dimana HIV merupakan sesuatu yang umum. 3. Wanita dan atau pasangannya yang menggunakan obat-obatan yang disuntikkan melalui pembuluh darah. 4. Wanita yang menderita STD tetap dan kambuhan. 5. Wanita yang menerima tranfusi darah dari pengidap HIV. 6. Wanita yang yakin bahwa dirinya mungkin terjangkit HIV. HIV/AIDS merupakan model penyakit yang memerlukan dukungan untuk mengatasi masalah fisik, psikis dan sosial. Gangguan fisik yang berat dapat menimbulkan beban psikis dan sosial. Namun stigma masyarakat akan memperberat beban psikososial penderita. Dalam penatalaksanaan AIDS selain penanganan aspek fisik maka aspek psikososial perlu diperhatikan dengan seksama.

4.2 Saran Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan nantinya akan memberikan manfaat bagi para pembaca terutama pemahaman yang berhubungan dengan bagaimana melakukan sebuah proses asuhan keperawatan terutama pada penderita khususnya wanita dengan diagnosa medis HIV positif.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes R.I. (2003). Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi ODHA. Buku Pedoman Untuk Petugas Kesehatan dan Petugas lainnya. Jakarta: Dirtjen PPm dan PL Depkes. FAO–World Health Organization. (2002). Living Well with HIV/AIDS. A Manual Nutritions Care and Support for People Living with HIV/AIDS. Rome. HRSA (Health Resources and Scienses Administration). (2002). Health Care and HIV: Nutrition Guide for Providers and Clients. HIV/AIDS Bureau Lily, V.L. (2004). Transmisi HIV dari Ibu ke Anak. Majalah Kedokteran Indonesia. p.54 Mariliyn E. Doenges. (1999 ). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC Nanda. (2010). Diagnosa Keperawatan. Jakarata: EGC Nursalam. (2005). Asuhan Keperawatan bayi dan anak (untuk perawat dan bidan). Jakarta: Salemba Medika PELKESI. (1995). Pendekatan perencenaan program pencegahan PMS dan AIDS di Masyarakat. Jakarta: PELKESI Richar D Muma et al. (1997). Diterjemahkan oleh Shinta P. HIV Manual Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: EGC

Related Documents


More Documents from "Fitha"

Servik.docx
June 2020 46
Cover Inter.docx
May 2020 67
Grafik Modul 1.docx
June 2020 57
Etb12-labfaskes.xlsx
November 2019 77
Kasus 7.docx
October 2019 36