BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. HIV/AIDS 2.1.1.
Definisi HIV/AIDS
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) merupakan tahap akhir dari infeksi yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Retrovirus yang menyerang sel CD4 yang menyebabkan kerusakan parah pada sistem kekebalan tubuh. Human Immunodeficiency Virus (HIV) termasuk golongan retrovirus diidentifikasi pada tahun 1983 oleh Montagnier di Prancis (Goldsmith) sebagai patogen yang bertanggungjawab atas Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). AIDS ditandai dengan perubahan populasi limfosit T-sel yang memainkan peran kunci dalam sistem pertahanan kekebalan tubuh. Pada individu yang terinfeksi, virus menyebabkan penipisan T-sel, yang disebut "sel T-helper", yang meyebabkan pasien rentan terhadap infeksi oportunistik, dan keganasan tertentu (P. Feorino). Gambar 2.1. Struktur sel HIV/ AIDS
Universitas Sumatera Utara
2.1.2.
Etiologi
Penyebab AIDS adalah virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV( E. L. Palmer). Human Immunodeficiency Virus adalah golongan virus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut. Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak (W. R. McManus).
Universitas Sumatera Utara
2.1.3.
Cara Penularan
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (port’d entrée). Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau serviks dan darah penderita. Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui : a) Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seksdan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV. i.
Homoseksual Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat hubungan homoseksual
menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan sosial. Cara hubungan seksual anogenital merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi pasangan seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini disebabkan oleh mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami perdarahan pada saat berhubungan secara anogenital. ii. Heteroseksual Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan
Universitas Sumatera Utara
heteroseksual dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti. b) Transmisi Non Seksual i.
Transmisi Parenteral Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang
telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang telah dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%. Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%. ii. Transmisi Maternal Penularan dari ibu yang HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan waktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah. (Sudikno, Bona & Siswanto) 2.1.4.
Patogenesis
Sistem kekebalan mempertahankan tubuh terhadap infeksi. Sistem ini terdiri dari banyak jenis sel. Dari sel–sel tersebut sel T–helper sangat krusial karena mengkoordinasi semua sistem kekebalan lainnya. Sel T–helper memiliki protein pada permukaannya yang disebut CD4.HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T– helper dengan melekatkan dirinya pada protein CD4. Saat menginfeksi, RNA virus masuk ke tubuh penderita, kemudian RNA berubah menjadi DNA (deoxyribonucleic acid) dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian dari DNA manusia, yang akan menghasilkan virus-virus lainnya, benda tersebut mulai menghasilkan virus–virus HI. Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus–virus yang baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas dalam aliran
Universitas Sumatera Utara
darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem kekebalan tubuh dan menjadikan tubuh mudah diserang oleh infeksi dan penyakit–penyakit yang lain.Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut dari orang ke orang. Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan sel–sel yang terinfeksi dan mengantikan sel–sel yang telah hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk menghasilkan kembali dirinya. Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800–1200 sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–nya terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik. Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika sistem kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat infeksi–infeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal. Tanpa perawatan, viral load, yang menunjukkan jumlah relatif virus bebas didalam plasma darah, akan meningkat mencapai titik dimana tubuh tidak akan mampu melawannya. Perkembangan dari HIV dapat dibagi dalam 4 fase yaitu infeksi utama (Seroconversion), ketika kebanyakan pengidap HIV tidak menyadari dengan segera bahwa mereka telah terinfeksi. Kemudian, fase asymptomatic, dimana tidak ada gejala yang nampak, tetapi virus tersebut tetap aktif. Seterusnya, fase symptomatic, dimana seseorang mulai merasa kurang sehat dan mengalami infeksi–infeksi oportunistik yang bukan HIV tertentu melainkan disebabkan oleh bakteri dan virus–virus yang berada di sekitar kita dalam segala keseharian kita. AIDS, yang berarti kumpulan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV, adalah fase akhir dan biasanya bercirikan suatu jumlah CD4 kurang dari 200 (Departemen Kesehatan RI Jakarta 1989).
2.1.5.
Gejala Klinis Gejala-gejala dari infeksi akut HIV tidak spesifik, meliputi kelelahan, ruam kulit,
nyeri kepala, mual dan berkeringat di malam hari. AIDS ditandai dengan supresi yang nyata pada sitem imun dan perkembangan infeksi oportunistik berat yang sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum (terutama sarcoma Kaposi).
Universitas Sumatera Utara
Gejala yang lebih serius pada orang dewasa seringkali didahului oleh gejala prodormal (diare dan penurunan berat badan) meliputi kelelahan, malaise, demam, napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah (kandidiasis oral) dan limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada saluran pencernaan, dari esophagus sampai kolon merupakan penyebab utama kelemahan. Tanpa pengobatan interval antara infeksi primer oleh HIV dan timbulnya penyakit klinis pertama kali pada orang dewasa biasanya panjang, rata-rata sekitar 10 tahun (Jawet, 2005). WHO menetapkan empat stadium klinik pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS, sebagai berikut : Table 2.1. Stadium Klinik WHO: HIV/AIDS (2011) Stadium klinis 1
Asimtomatik Limfadenopati generalisata persisten
Stadium klinis 2
Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskana Erupsi pruritik papular Infeksi virus wart luas Angular cheilitis
Moluskum kontagiosum luas Ulserasi oral berulang Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan Eritema ginggival lineal Herpes zoster Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis, tonsillitis ) Infeksi kuku oleh fungus
Stadium klinis 3 Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak
berespons secara
Universitas Sumatera Utara
adekuat terhadap terapi standara
Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih ) a Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5o C intermiten atau konstan, > 1 bulan) a Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan) Oral hairy leukoplakia Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut TB kelenjar TB Paru Pneumonia bakterial yang berat dan berulang Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ), neutropenia (<500/mm3) atau trombositopenia (<50 000/ mm3) Stadium klinis 4b
Malnutrisi, wasting
dan stunting berat yang tidak dapat
dijelaskan
dan tidak berespons terhadap terapi standara Pneumonia pneumosistis Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia) Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis di lokasi manapun) TB ekstrapulmonar Sarkoma Kaposi Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru) Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus) Ensefalopati HIV Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain, dengan onset umur > 1bulan Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis) Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea)
Universitas Sumatera Utara
Isosporiasis kronik Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral Progressive multifocal leukoencephalopathy
2.1.6.
Diagnosis
Diagnosis ditujukan kepada dua hal, yaitu keadaan terinfeksi HIV dan AIDS. Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan dua metode: 1. Langsung: yaitu isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan menggunakan mikroskop elektron dan mendeteksi antigen virus. Salah satu cara deteksi antigen virus ialah Polymerase Chain Reaction (PCR). 2. Tidak Langsung: dengan melihat respon zat anti bodi spesifik, misalnya dengan ELISA, immunoflurescent assay (IFA), atau radioimmunoprecipitation assay (RIPA) (Tjokronegoro & Hendra, 2003). Diagnosis HIV, yang lazim dipakai: 1. ELISA: sensitivitas tinggi, 98,1%-100%. Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan sesudah infeksi. Dahulu, hasil positif dikonfirmasi dengan pemeriksaan Western blot. Tetapi sekarang menggunakan tes berulang dengan tingkat spesifisitas. 2. PCR (polymerase chain reaction): Penggunaan PCR antara lain untuk tes HIV pada bayi, menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi, tes pada kelompok risiko tinggi sebelum terjadi serokonversi, tes konfirmasi untuk HIV-2 (sebab ELISA sensitivitasnya rendah untuk HIV-2) (Tjokronegoro & Hendra 2003). Tiap negara memiliki strategi tes HIV yang berbeda. Di Indonesia, skrining dan surveilans menggunakan strategi tes yang sama. Tes ELISA dan Western blot telah digunakan di waktu yang lalu, sekarang di Indonesia menggunakan Dipstik, ELISA 1, dan ELISA 2 untuk skrining dan surveilans (Utomo & Irwanto, 1998). Reagensia yang dipilih untuk dipakai pada pemeriksaan didasarkan pada
Universitas Sumatera Utara
sensitivitas dan spesifisitas tiap jenis reagensia. Untuk diagnosis klien yang asimtomatik harus menggunakan strategi III dengan persyaratan reagensia sebagai
berikut: 1) Sensitivitas reagen pertama > 99% 2) Spesifisitas reagen kedua
> 98%
3) Spesifisitas reagen ketiga
> 99%
4) Preparasi antigen atau prinsip tes dari reagen pertama, kedua, dan ketiga tidak sama. Reagensia yang dipakai pada pemeriksaan kedua atau ketiga mempunyai prinsip pemeriksaan (misalnya EIA, dot blot, immunokromatografi atau aglutinasi) atau jenis antigen (misalnya lisat virus, rekombinan DNA atau peptida sintetik) yang berbeda daripada reagensia yang dipakai pada pemeriksaan pertama. 5) Prosentase hasil kombinasi dua reagensia pertama yang tidak sama (discordant) kurang dari 5%. 6) Pemilihan jenis reagensia (EIA atau simple/rapid) harus didasarkan pada: a. Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil b. Jumlah spesimen yang diperiksa dalam satu kali pengerjaan c. Sarana dan prasarana yang tersedia Untuk tujuan surveilans, reagen pertama harus memiliki sensitivitas >99%, spesifisitas reagen kedua >98%. Keuntungan diagnosis dini: 1. Intervensi pengobatan fase infeksi asimtomatik dapat diperpanjangkan. 2. Menghambat perjalanan penyakit kearah AIDS. 3. Pencegahan infeksi oportunistik 4. Kounseling dan pendidikan untuk kesehatan umum penderita. 5. Penyembuhan (bila mungkin) hanya dapat terjadi bila pengoabatan pada fase dini (Tjokronegoro & Hendra, 2003).
2.1.7.
Pengobatan
Universitas Sumatera Utara
Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orangyang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan: 1.Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan pencegahan proteinreverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC). 2.Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva). 3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan. 2.2. Memulai terapi ARV dengan salah satu panduan di bawah ini AZT + 3TC + NVP
(Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine)
ATAU
AZT + 3TC + EFV
(Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz) (Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Nevirapine)
ATAU
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
ATAU
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV (Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Efavirenz) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011
Universitas Sumatera Utara
2.3. Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum pernah mendapat terapi ARV (treatment-naïve)
Populasi Target Dewasa dan anak
Pilihan yang direkomendasikan AZT atau TDF + 3TC (atau FTC) + EFV atau NVP
Catatan
Merupakan pilihan paduan yang sesuai untuk sebagian besar pasien Gunakan FDC jika tersedia Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV atau Tidak boleh NVP menggunakan EFV pada trimester pertama TDF bisa merupakan pilihan Ko-infeksi HIV/TB AZT atau TDF + 3TC Mulai terapi ARV segera (FTC) + EFV setelah terapi TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu hingga 8 minggu) Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV tidak dapat digunakan Ko-infeksi HIV/Hepatitis TDF + 3TC (FTC) + Pertimbangkan B kronik aktif EFV atau NVP pemeriksaan HBsAg terutama bila TDF merupakan paduan lini pertama. Diperlukan penggunaan 2 ARV yang memiliki aktivitas anti-HBV Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011 2.1.8.
Pencegahan
Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang mengidap HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Jika tanpa pencegahan, kemungkinan bayi dari seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak.
Universitas Sumatera Utara
Obat–obatan tersebut adalah: 1.
Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14–28 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC).
2.
Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari. Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
Post–exposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk mencegah seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun terinfeksi occupational.Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP, maka suatu pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang yang bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk memungkinkan orang tersebut mengerti obat–obatan, keperluan untuk mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena infeksi yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya selama 72 jam, sekalipun terdapat bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan, maka keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak merekomendasikan proses terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut dapat memberikan efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak aman(Family Health International).
Universitas Sumatera Utara
2.2. Hepatitis B 2.2.1.
Definisi
Menurut World Health Organization (2012) Hepatitis B adalah infeksi hati yang berpotensi mengancam nyawa yang disebabkan oleh virus hepatitis B. Ini adalah masalah kesehatan global utama dan jenis yang paling serius dari hepatitis virus. Hal ini dapat menyebabkan penyakit hati kronis dan menempatkan orang pada risiko tinggi kematian akibat sirosis hati dan kanker hati. 2.2. Skema virus Hepatitis B
Di seluruh dunia, diperkirakan dua miliar orang telah terinfeksi virus hepatitis B dan lebih dari 240 juta memiliki infeksi (jangka panjang) hati kronis. Sekitar 600 000 orang meninggal setiap tahun karena konsekuensi akut atau kronis hepatitis B. Vaksin hepatitis B telah tersedia sejak 1982. Vaksin hepatitis B adalah 95% efektif dalam mencegah infeksi dan vaksin pertama melawan kanker manusia. 2.2.2. Klasifikasi a) Genom Genom HBV adalah terbuat dari DNA melingkar, tetapi tidak biasa karenaDNA tidak sepenuhnya beruntai ganda. Salah satu ujung untai panjang penuh ini terkait dengan polimerase DNA virus. Genom 3020-3320 nukleotida panjang (untuk untai panjang penuh) dan 1700-2800 nukleotida panjang (untuk jangka pendek-untai panjang). Arti negatif-, (non-coding), adalah melengkapi mRNA virus. DNA virus
Universitas Sumatera Utara
ditemukan dalam inti segera setelah infeksi sel. Sebagian DNA beruntai ganda yang diberikan penuh beruntai ganda dengan selesainya untai sense (+) dan penghapusan sebuah molekul protein dari (-) akal dan urutan untai pendek RNA dari untai sense (+). Basis non-coding dihapus dari ujung (-) untai sense dan ujung-ujungnya bergabung. Ada empat gen yang dikode oleh genom dikenal, yang disebut C, X, P, dan S. protein inti adalah dikodekan oleh gen C (HBcAg), dan kodon start adalah didahului dengan hulu di-frame Agustus kodon mulai dari mana protein pra-inti diproduksi. HBeAg dihasilkan oleh proses proteolitik dari protein pra-inti. Polimerase DNA dikodekan oleh gen P. Gene S adalah gen yang mengkode antigen permukaan (HBsAg). Gen HBsAg satu frame membaca panjang terbuka tetapi berisi tiga dalam bingkai "mulai" (ATG) kodon gen yang membagi menjadi tiga bagian, pra-S1, pra-S2, dan S. Karena kodon mulai beberapa, polipeptida dari tiga ukuran yang berbeda yang disebut besar, menengah, dan kecil (pra-S1-S2 + pra + S, pra-S2 + S, atau S) yang dihasilkan. Fungsi dari protein dikodekan oleh gen X adalah tidak sepenuhnya dipahami(Chu SJ, Keeffe EB, Han SH, et al 2003). b) Replikasi Siklus hidup dari virus hepatitis B adalah kompleks. Hepatitis B adalah salah satu dari beberapa yang dikenal non-retroviral virus yang menggunakan reverse transkripsi sebagai bagian dari proses replikasi. Virus keuntungan masuk ke sel dengan mengikat ke reseptor yang tidak diketahui pada permukaan sel dan masuk dengan endositosis. Karena virus mengalikan melalui RNA dibuat oleh enzim inang, DNA genom virus harus ditransfer ke inti sel dengan protein inang yang disebut pendamping. DNA beruntai virus sebagian ganda ini kemudian dibuat sepenuhnya double stranded dan diubah menjadi DNA sirkular kovalen tertutup (cccDNA) yang berfungsi sebagai template untuk transkripsi mRNA virus empat. MRNA terbesar, (yang lebih panjang dari genom virus), digunakan untuk membuat salinan baru dari genom dan untuk membuat protein inti kapsid dan DNA polimerase virus. Keempat transkrip virus mengalami pengolahan tambahan dan pergi untuk membentuk virion progeni yang dilepaskan dari sel atau kembali ke inti dan didaur ulang untuk menghasilkan salinan bahkan lebih. MRNA panjang kemudian diangkut kembali ke sitoplasma mana protein virion P mensintesis DNA melalui aktivitas reverse transcriptasenya(Mohanty SR, Kupfer SS, Khiani V 2006).
Universitas Sumatera Utara
c) Serotipe Virus ini dibagi menjadi empat serotipe utama (adr, adw, ayr, ayw) epitop antigenik berdasarkan disajikan pada protein amplop, dan menjadi delapan genotipe (AH) menurut variasi urutan nukleotida keseluruhan genom. Genotipe memiliki distribusi geografis yang berbeda dan digunakan dalam melacak evolusi dan penularan virus. Perbedaan antara genotipe mempengaruhi keparahan penyakit, kursus dan kemungkinan komplikasi, dan respon terhadap pengobatan dan kemungkinan vaksinasi. 2.2.3.
Etiologi
HBV adalah diselimuti, noncytopathic, hepatotrophic, dan DNA virus yang sangat menular yang termasuk dalam golongan hepadnaviruses(Lee WM 1997). Luar amplop virus berisi 3 antigen permukaan terkait (HBsAg), yang paling melimpah yang merupakan protein S. Perkembangan imunitas seluler dan humoral terhadap HBsAg adalah pelindung. Di dalam amplop adalah nukleokapsid virus, atau inti, yang berisi sebagian beruntai ganda melingkar DNA (HBcAg). Peptida HBcAg yang diturunkan menginduksi respon imun seluler inang krusial melawan HBV. HBeAg berfungsi sebagai penanda untuk replikasi aktif, tapi fungsinya tidak diketahui. Protein X (HBX) mungkin memainkan peran dalam perkembangan karsinoma hepatoseluler. DNA polimerase memiliki fungsi reverse transcriptase untuk sintesis kedua untai negatif dan positif dari HBV DNA(Ganem D, Prince AM 2004). 2.2.4.
Gejala Klinis Akut infeksi virus hepatitis b dikaitkan dengan akut virus hepatitis. Penyakit
yang dimulai dengan umum sakit, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, tubuh sakit, demam ringan, urine gelap, dan kemudian akan pengembangan penyakit kuning. Telah dicatat bahwa kulit gatal telah indikasi sebagai gejala mungkin semua jenis virus hepatitis. Penyakit berlangsung selama beberapa minggu dan kemudian secara bertahap meningkatkan di orang-orang yang paling terpengaruh. Beberapa pasien mungkin lebih parah penyakit hati (fulminant hepatic kegagalan), dan mungkin mati sebagai akibat dari itu. Infeksi mungkin sepenuhnya asimtomatik dan mungkin pergi tidak diakui. Kronis infeksi virus hepatitis b dapat
Universitas Sumatera Utara
asimtomatik atau mungkin dikaitkan dengan peradangan kronis hati (hepatitis kronis), menuju sirosis selama beberapa tahun. Jenis infeksi secara dramatis meningkatkan insiden dunia akibat Hepatoma (kanker hati). Operator kronis didorong untuk menghindari mengkonsumsi alkohol dan meningkatkan risiko untuk kanker hati sirosis dan virus hepatitis b telah dikaitkan dengan perkembangan membran glomerulonefritis (MGN). 2.2.5.
Cara Penularan
Infeksi hepattis B kornik sedikitnya diderita oleh 300 juta orang di seluruh dunia. Di Eropa dan Amerika 15-25% penderita hepatitis B kronik akan meninggal karena proses hati dan kanaker primer. Penelitian yang dilakukan di Taiwan pada 3.654 pria Cina yagn HBsAg positif bahkan mendapatkan angka yang lebih besar, yaitu antara 40-50%. Penyakit hepatits B ini dapat menular bahkan bahaya tingkat penularannya 100 kali lebih cepat dibanding dengan virus HIV. Ada dua golongan cara penularan infeksi VHB, yaitu penularan horinzontal dan penularan vertikal. Cara penularan horinzontal terjadi dari seorang pengidap infeksi VHB kepada individu yang masih rentan di sekelilinginya. Penularan horinzontal dapat terjadi melalui kulit atau melalui selaput lendir, sedangkan penularan vertikal terjadi dari seorang pengidap yang hamil kepada bayi yang dilahirkannya(Bond WW, Favero MS, Petersen Nj, et al 1981). a) Penularan melalui kulit Penularan ini terjadi jika bahan yang mengandung partikel virus hepatitis B (HBsAg) masuk ke dalam kulit. Contohnya, kasus penularan terjadi akibat transfusi darah yang mengandung HBsAg positif, hemodialisis (cuci darah) pada penderita gagal ginjal kronik, seta melalui alat suntik yang tidak steril, sperti penggunaan jarum suntik bekas, jarum akupuntur yang tidak steril, alat tato, alat cukur dan yang saat ini merupakan cara penularan terbanyak adalah melalui penyuntikan narkoba secara bergantian. Virus hepatitis B tidak bisa menembus pori-pori kulit, dapat masuk melalui kulit yang terluka dan mengalami kelainan dermatologik(Wasley A, Miller JT 2005).
Universitas Sumatera Utara
b) Penularan melalui selaput lendir Penularan dapat terjadi melalui mulut (per oral) yaitu jika bahan yang mengandung virus mengenai selaput lendir mulut yang terluka, misalnya karena peradangan mulut atau sesudah mencabut gigi dan bisa juga melalui ciuman. Selain itu, penularan virus hepatits B dapat melalui selaput lendir alat kelamin (seksual) akibat berhubungan seksual dengan pasangan yang mengandung HBsAg positif yang bersifat infeksius, baik dengan pasangan heteroseksual maupun homoseksual(Lee WM 1997). c) Penularan vertika (penularan perinatal) Penularan perinatal merupakan VHB dari ibu yang menderita hepatits B akut atau pengidap hepatits B kronis kepada bayinya pada saat dalam kandungan (masa kehamilan) atau sewaktu persalinan. Jika infeksi hepatits akut terjadi pada masa kehamilan trisemester partama dan kedua, umumnya penularan jarang terjadi. Namun, jika hepatits akut terjadi pada masa kehamilan trisemester ketiga maka penularan lebih sering terjadi. Penularan dari ibu pengidap hepatits B kronis kepada bayinya mengidap hepatits B kronis, bayi yang terinfeksi tersebut mungkin menderita hepatitis akut atau lebih sering terjadi adalah akan berkembang menjadi infeksi yang menetap dan menjadi kronik( Ghendom 1987). 2.2.6.
Diagnosis
Diagnosis penyakit Hepatits B surface antigen (HBsAg) merupakan petanda infeksi VHB yang dapat dideteksi 2 minggu-2 bulan sebelum ada gejala klinik. Umumnya HBsAg ini bertahan selama 2-3 bulan dan sifatnya menular. Bila HBsAg positif menandakan adanya infeksi VH"B aktif, akut atau kronik. Adanya HBsAg dalam darah diikuti dengan peningkatan aktifitas SGPT kemudian SGOT. Penurunan aktifitas enzim ini diikuti dengan penurunan titer HBsAG. Selain HBsAg juga dapat dijumpai DNA polimerase. Akhir-akhir ini dikembangkan pemeriksaan HBsAg secara kuantitatif yang dipergunakan untuk monitoring pasien dengan hepatitis kronik dlam pengobatan maupun tanpa pengobatan. Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi carrier ini aktif dan sebaiknya dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan polymerase chain
Universitas Sumatera Utara
reaction (PCR). Infeksi dengan virus hepatits B umunya akan menimbulkan HBsAg dan anti-HBe, HBeAg terdeteksi setelah timbul HBsAg. Titer HBsAg meningkatkan tajam pada saat infeksi akut yang menunjukkan replikasi virus. Serokonversi HBeAg menjadi anti-HBe merupakan petanda infeksi teratasi dan menunjukkan daya infeksi yang berkurang. HBeAg dapat dijumpai bersamaan dengan HBsAg dan biasanya disertai dengan DNA VHB dan DNA polimerase.(Mast EE, Weinbaum CM, Fiore AE, et al 2006). Anti HBc Pasca infeksi virus hepatits B didapatkan antiHBe merupakan antibodi terhadap pada sel hati. Dekenal dua macam antiHBe yaitu HBe lgM dan anti HBc total. Waktu antara hilangnya HBsAg dengan terbentuknya antiHBs disebut window period (perode jendela). Window period ini bisa terjadi beberapa minggu, bulan atau tahun dan pada keadaan ini anti-HBe lgM positif. Untuk mengetahui adanya infeksi virus hepatits B bila HBsAg dan anti-HBs negatif, perlu dilakukan pemeriksaan anti HBc lgM untuk memetikan apakah individu tersebut telah terpapar VHB. Pada pasien tidak mempunyai informasi bahwa dia terpapar VHB dapt diketahui dengan memriksa anti-HBc total, bila positif berarti terdapat dua kemungkinan yaitu penderita dalam keadaan infeksi aktif atau imun/sembuh. Anti HBs Anti HBs adalah antibodi golongan lgG terhadap HBsAg yang timbul setelah terpapar virus hepatits B yang bersifat protektif. Antibiotik yang timbul terhadap determinata dari VHB adalah subtipe d, y, w1-w4, r dan q. Pada pasien yang mendapatkan vaksinasi hepatits perlu pemeriksaan anti HBs untuk mengetahui keberhasilan vaksinasi (kekebalan). Pada vaksinasi bila kadar anti-HBs <20mIU/ml dianggap non reaktif sedangkan kadar anti-Hbs >10mIU/ml dianggap reaktif (Mast EE, Weinbaum CM, Fiore AE, et al 2006). 2.2.5.1. Pemeriksaan Berbagai ragam bentuk perjalanan klinis infeksi hepatits yaitu bisa berupa hepatits akut, sembuh atau berlanjut menjadi hepatits B carries inaktif, hepatits B kronis inaktif, atau berlanjut menjadi kanker hati atau sirosis hati. Untuk memestikan adanya infeksi VHB dan sejauh mana bentuk klinis infeksi hepatits tersebut,
Universitas Sumatera Utara
diperlukan beberapa pemeriksaan berikut: a) Anamnesis dan pemeriksaan fisik Hepatitis B secara awam lazim disebut sebagai penyakit kuning, tidak selalu menampakkan warna kunig di matanya (konjungtiva). Pada penyakit hepatits B, mata kuning dijumpai pada sepertiga kasus. Untuk lebih mengarah pada diagnosis hepatits B, perlu digali mengenai riwayat transfusi darah, hemodialisis, apakah ibu dan anak pernah menderita hepatits B dan juga mempertanyakan kebiasaan-kebiasaan seperti hubungan seks bebas dan pemakaian suntik narkoba sebelumnya. Didukungkan dengan pemeriksaan fisik yang teliti untuk melihat kemungkinan tanda klinis seperti mata kuning, penemuan adanya pembesaran hati, pembengkakkan perut dan kaki(Mast EE, Weinbaum CM, Fiore AE, et al 2006). b) Pemeriksaan fungsi hati Organ hati mengemban berbagai macam tugas, seperti fungsi sintesis, ekskresi, detoksifikasi dan penyimpan cadangan energi. Gangguan organ hati mungkin disebabkan oleh penyakit apapun termasuk infeksi hepatitis B dengan sendirinya akan mempengaruh fungsi hati(Mast EE, Weinbaum CM, Fiore AE, et al 2006). c) Pemeriksaan Serologi Tidak semua pemeriksaan serologi mutlak diterapkan pada seseorang yang dicurigai menderita hepatitis B. Manfaat pemeriksaan ini adalah untuk mendiagnosis adanya infeksi VHB dan memastikan sejauh mana infeksi VHB berada pada keadaan infeksi akut, kronis atau telah sembuh. Berikut jenis pemeriksaan serologi pada infeksi VHB. Pemeriksaan HBsAg, pemeriksaan ini memastikan apakah seseorang menderita hepatits B atau tidak. Hasil pemeriksaan hepatits B positif memestikan bahwa seseorang menderita infeksi VHB. Pemeriksaan HBsAg positif yang menetap lebih dari enam bulan disebut sebagai VHB kronis. Anti HBs, meningkatnya kadar anti HBs memperlihatkan bahwa seseorang memiliki kekebalan alami atau pernah mendapatkan vaksinasi hepatits B. Pemeriksaan ini sebaiknya dilalukan bersama-sama dengan HBsAg ketika seseorang perlu atau tidak mendapatkan vaksin hepatits B. Seseorang dengan hasil HBsAg
Universitas Sumatera Utara
negatif dan tidak ada kadar HBs (atau titer kurang dari 10 UI/ml), memberikan arti bahwa orang tersebut tidak sedang menderita infeksi VHB dan tidak memiliki perlindungan terhadap VHB sehingga ia perlu mendapatkan vaksin hepatitis B. Namun, bila seseorang telah memiliki kadar anti HBs tinggi lebih dari 100 UI/ml, ia tidak perlu mendapatkan aksinasi hepatitis B(Mast EE, Weinbaum CM, Fiore AE, et al 2006). d) Pemeriksaan DNA virus Pemeriksaan DNA HBV dilakukan dengan metoda molekuler yaitu metode PCR. Hasil pemeriksaan dapat dilaporkan secara kuantitatif maupun kualitatif. Dikenal dua macam cara pencegahan yaitu dengan hepatitis B immune globin (HBIG) dan hepatitis B vaksin. Penggunaan HBig adalah untuk mencegah infeksi VHB secara aktif dan mendapatkan imunitas dalam jangka waktu yang lama. Hubungi dokter anda untuk pencegahan infeksi VHB. 2.2.7.
Patogenesis
Virus tidak langsung membunuh hepatosit. Respon kekebalan host terhadap antigen virus diduga menjadi penyebab cedera hati pada infeksi HBV. (Ganem D, Prince AM 2004) Respon imun seluler, daripada respon imun humoral, tampaknya terutama terlibat dalam patogenesis penyakit. (Guidotti LG, Rochford R, Chung J, et al 1999) Induksi respon T-limfosit antigen-spesifik diperkirakan terjadi ketika tuan rumah limfosit T disajikan dengan epitop virus dengan sel antigen-presenting dalam organ limfoid. Sel-sel T antigen-spesifik matang dan berkembang dan kemudian bermigrasi ke hati. Pada infeksi HBV akut, sebagian HBV DNA dibersihkan dari hepatosit melalui efek noncytocidal produk sampingan inflamasi CD8 + T limfosit, dirangsang oleh CD4 + limfosit T, terutama interferon-gamma dan tumor necrosis factor-alfa. Ini menyebabkan downregulation replikasi virus, dan lisis langsung memicu hepatosit yang terinfeksi oleh sel T HBV-spesifik CD8 + sitotoksik. (Guidotti LG, Ishikawa, Hobbs MV et al 1996) Sebaliknya, orang dengan infeksi HBV kronis menampilkan lemah, jarang, dan respons sel-T yang difokuskan secara sempit HBV-spesifik, dan sebagian besar sel mononuklear dalam hati kronis terinfeksi HBV orang nonantigen-spesifik.
Universitas Sumatera Utara
Disebabkan adanya HBV di situs ekstrahepatik, serta kehadiran DNA sirkular kovalen tertutup (cccDNA) dalam hepatosit, pemberantasan virus merupakan tujuan realistis berdasarkan obat yang tersedia saat ini. DNA sirkular kovalen tertutup berfungsi sebagai cetakan untuk transkripsi pregenomic RNA, langkah awal yang penting dalam replikasi HBV(Chisari FV, Ferrari C, 1995). Keberadaan rombongan cccDNA dalam hepatosit dianggap sebagai penanda persistensi virus, Malangnya terapi saat ini belum efektif dalam memberantas cccDNA dan hanya mampu menurunkan tingkat(Tuttleman JS, Pourcel C, Summer J 1986). Persistensi bahkan tingkat rendah cccDNA dalam inti hepatosit telah terbukti berkorelasi dengan peningkatan viral load setelah penghentian terapi. Selain itu, integrasi HBV DNA ke inti hepatosit selama proses replikasi bisa menjelaskan peningkatan risiko karsinoma hepatoseluler(Zoulim F, 2005). 2.2.8.
Pengobatan
Akut infeksi hepatitis B biasanya tidak memerlukan pengobatan karena orang dewasa yang paling jelas infeksi tersebut secara spontan. Pengobatan antivirus awal hanya mungkin diperlukan dalam kurang dari 1% dari pasien, infeksi yang mengambil
kursus
sangat
agresif
(hepatitis
fulminan)
atau
yang
immunocompromised. Di sisi lain, pengobatan infeksi kronis mungkin diperlukan untuk mengurangi risiko sirosis dan kanker hati. Individu yang terinfeksi kronis dengan serum alanine aminotransferase meningkat terus menerus, penanda kerusakan hati, dan DNA HBV tingkat adalah kandidat untuk terapi. Meskipun tidak ada obat yang tersedia dapat menghapus infeksi, mereka dapat menghentikan virus dari replikasi, sehingga meminimalkan kerusakan hati. Saat ini, ada tujuh obat berlisensi untuk pengobatan infeksi hepatitis B di Amerika Serikat. Ini termasuk obat antivirus lamivudine (Epivir), adefovir (Hepsera), tenofovir (tenofovir), telbivudine (Tyzeka) dan entecavir (Baraclude) dan dua modulator sistem kekebalan interferon alfa-2a dan pegylated interferon alfa-2a (Pegasys). Penggunaan interferon, yang membutuhkan suntikan harian atau tiga kali seminggu, telah digantikan oleh long-acting pegylated interferon yang disuntikkan hanya sekali seminggu.
Universitas Sumatera Utara
Bayi lahir dari ibu yang diketahui membawa hepatitis B dapat diobati dengan antibodi terhadap virus hepatitis B (hepatitis B immune globulin atau HBIG). Ketika diberikan dengan vaksin dalam waktu dua belas jam setelah kelahiran, risiko tertular hepatitis B adalah berkurang 90%. Perawatan ini memungkinkan seorang ibu untuk menyusui anaknya aman. Pada bulan Juli 2005, peneliti dari A STAR * dan National University of Singapore mengidentifikasi hubungan antara protein pengikat DNA milik kelas protein heterogen ribonucleoprotein K nuklir (hnRNP K) dan replikasi HBV pada pasien. Mengontrol tingkat hnRNP K dapat bertindak sebagai pengobatan yang mungkin untuk HBV. 2.2.9.
Pencegahan
Beberapa vaksin telah dikembangkan untuk pencegahan infeksi virus hepatitis B. Ini bergantung pada penggunaan salah satu protein amplop virus (antigen permukaan hepatitis B atau HBsAg). Vaksin ini awalnya dibuat dari plasma yang diperoleh dari pasien yang mengalami infeksi virus hepatitis B lama. Namun, saat ini, ini lebih sering dibuat dengan menggunakan teknologi DNA rekombinan, meskipun vaksin plasma yang diturunkan terus digunakan, dua jenis vaksin yang sama efektif dan aman. Setelah vaksinasi, hepatitis B surface antigen dapat dideteksi dalam serum selama beberapa hari, ini dikenal sebagai antigenaemia vaksin. Vaksin ini diberikan baik dalam dua-, tiga, atau empat jadwal dosis ke bayi dan orang dewasa, yang memberikan perlindungan bagi 85-90% dari individu. Perlindungan telah diamati 12 tahun terakhir pada individu yang menunjukkan respon awal yang memadai untuk program utama vaksinasi, dan kekebalan yang diprediksi bertahan setidaknya 25 tahun. Berbeda dengan hepatitis A, hepatitis B umumnya tidak menyebar melalui air dan makanan. Sebaliknya, ditularkan melalui cairan tubuh. Pencegahan demikian menghindari penularan tersebut dan kontak seksual tanpa pelindung.
2.3. Hepatitis B pada Pasien HIV/AIDS
Universitas Sumatera Utara
Koinfeksi dengan virus hepatitis B umum terjadi, dengan 70-90% penderita HIV di Amerika Serikat juga terinfeksi oleh virus hepatitis B. 90% penderita HIV yang menggunakan jarum suntik tidak steril juga terpapar oleh hepatitis B (anti-HBc positif) dan 60% memiliki riwayat infeksi dengan adanya antibodi permukaan hepatitis B (antiHBs) (Rodriguez- Mendez ML 2000). Sindrom klinis pada infeksi hepatitis virus akut umumnya tidak spesifik dan disertai gejala gastrointestinal, seperti malaise, anoreksia, mual dan muntah. Selain itu juga didapatkan gejala-gejala flu, faringitis, batuk, sakit kepala, mialgia dan lain-lain. Orang yang terinfeksi HIV juga memiliki gejala-gejala seperti fatigue, malaise, dannausea, sehingga terkadang infeksi campuran oleh virus hepatitis tidak nampak(CDC 2005). Koinfeksi HIV oleh virus hepatitis tidak mempengaruhi penyakit oleh HIV tersebut maupun perkembangannya menjadi AIDS, tetapi HIV mempengaruhi hepatitis B dengan meningkatnya progresifitas menjadi sirosis hati serta gagal hati(Levin J 2005).Akan tetapi, sebuah studi terbaru yang dilakukan di Virginia menunjukkan bahwa progresifitas terjadinya fibrosis pada pasien koinfeksi dan monoinfeksi adalah sama berdasarkan pemeriksaan biopsi hati(Bradford D 2008). Virus hepatitis B (HBV) dan human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus yang ditularkan melalui darah yaitu melalui hubungan seksual dan penggunaan narkoba suntikan. Karena mode ini bersama penularan, proporsi tinggi orang dewasa berisiko terinfeksi HIV juga berisiko untuk infeksi HBV. Orang HIV-positif yang terinfeksi virus Hepatitis B (HBV) berada pada peningkatan resiko untuk mengembangkan infeksi HBV kronis dan harus diuji. Selain itu, orang-orang yang koinfeksi dengan HIV dan HBV dapat memiliki komplikasi medis yang serius, termasuk peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas terkait hati. Untuk mencegah infeksi HBV pada orang yang terinfeksi HIV, Komite Penasehat Praktek Imunisasi merekomendasikan yang universal Hepatitis B vaksinasi pasien rentan dengan HIV / AIDS.
2.4. Terapi ARV untuk koinfeksi Hepatitis B
Universitas Sumatera Utara
Hepatitis B dan HIV mempunyai beberapa kemiripan karakter, di antaranya adalah merupakan blood-borne disease, membutuhkan pengobatan seumur hidup, mudah terjadi resisten terutama jika digunakan monoterapi dan menggunakan obat yang sama yaitu Tenofovir, lamivudine dan emtricitabine. Entecavir, obat anti hepatits B mempunyai efek anti retroviral pada HIV juga akan tetapi tidak digunakan dalam pengobatan HIV. Perlu diwaspadai timbulnya flare pada pasien ko-infeksi HIV- Hep B jika pengobatan HIV yang menggunakan TDF/3TC dihentikan karena alasan apapun.Mulai ART pada semua individu dengan ko-infeksi HIV/HBV yang memerlukan terapi untuk infeksi HBV-nya (hepatitis kronik aktif), tanpa memandang jumlah CD4 atau stadium klinisnya. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) merekomendasikan memulai terapi hepatitis B pada infeksi hepatitis B kronik aktif jika terdapat peningkatan SGOT/SGPT lebih dari 2 kali selama 6 bulan dengan HBeAg positif atau HBV DNA positif. Adanya rekomendasi tersebut mendorong untuk dilakukan diagnosis HBV pada HIV dan terapi yang efektif untuk ko-infeksi HIV/HBV. Gunakan paduan antiretroviral yang mengandung aktivitas terhadap HBV dan HIV, yaitu TDF + 3TC atau FTC untuk peningkatan respon VL HBV dan penurunan perkembangan HBV yang resistensi obat. Pada pengobatan ARV untuk koinfeksi hepatitis B perlu diwaspadai munculnya hepatic flare dari hepatitis B. Penampilan flare khas sebagai kenaikan tidak terduga dari SGPT/SGOT dan munculnya gejala klinis hepatitis (lemah, mual, nyeri abdomen, dan ikterus) dalam 6-12 minggu pemberian ART. Flares sulit dibedakan dari reaksi toksik pada hati yang dipicu oleh ARV atau obat hepatotoksik lainnya seperti kotrimoksasol, OAT, atau sindrom pulih imun hepatitis B. Obat anti Hepatitis B harus diteruskan selama gejala klinis yang diduga flares terjadi. Bila tidak dapat membedakan antara kekambuhan hepatitis B yang berat dengan gejala toksisitas ARV derajat 4, maka terapi ARV perlu dihentikan hingga pasien dapat distabilkan. Penghentian TDF, 3TC, atau FTC juga dapat menyebabkan hepatic flare (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011).
Universitas Sumatera Utara