Hiv Aids.docx

  • Uploaded by: Dewi Apriliani
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hiv Aids.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,332
  • Pages: 12
KASUS HIV/AIDS PAPER UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN HIV/AIDS Yang dibina oleh Rubino Sriadji, M.Psikolog

KELOMPOK 5 Disusun Oleh : 1. Tria Oktaviana Rahajeng (108116045) 2. Nurul Abibah

(108116048)

3. Hendrawan

(108116054)

4. Arizal Setyawan

(108116057)

5. Fidha Fairuz Syafira

(108116062)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN 3B STIKES AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP TAHUN AKADEMIK 2018/2019

A. EPIDEMIOLOGI HIV/AIDS DI DUNIA, INDONESIA, DAN LOKAL/PROVINSI 1. EPIDEMIOLOGI HIV/AIDS DI DUNIA Data terbaru dari negara menunjukkan bahwa pengurangan pada kematian karena penyakit terkait AIDS — sebagian besar didorong oleh peningkatan yang stabil dari terapi antiretroviral lanjutkan, tetapi tidak cukup cepat untuk mencapai Majelis Umum Tonggak sejarah 2020. Jumlah tahunan kematian global dari penyakit terkait AIDS di antara orang yang hidup dengan HIV (semua umur) telah menurun dari puncak 1,9 juta [1,4–2,7 juta] pada 2004 hingga 940.000 [670.000–1 300.000] pada 2017. Sejak 2010, kematian terkait AIDS telah menurun sebesar 34%. Mencapai tonggak sejarah 2020 akan membutuhkan lebih lanjut menurun hampir 150.000 kematian per tahun. Penurunan global dalam kematian akibat penyakit terkait AIDS sebagian besar telah didorong oleh kemajuan di sub-Sahara Afrika, khususnya Afrika timur dan selatan, yang adalah rumah bagi 53% orang di dunia yang hidup dengan HIV. Kematian terkait AIDS menurun 42% dari 2010 menjadi 2017 di Afrika timur dan selatan, mencerminkan cepatnya langkah peningkatan pengobatan di wilayah tersebut. Di barat dan Afrika tengah, penurunan lebih sederhana (24% pengurangan). Selama periode yang sama, penurunan stabil dikematian juga berlanjut di Asia dan Pasifik (39% reduksi), Eropa barat dan tengah dan Utara Amerika (pengurangan 36%) dan Karibia (23% pengurangan). Di Amerika Latin, tempat terapi antiretroviral cakupannya relatif tinggi dan terkait dengan AIDS mortalitas yang relatif rendah selama bertahun-tahun, penurunan pada kematian selama tujuh tahun terakhir adalah 12%. Disitu ada tidak ada pengurangan angka kematian terkait AIDS di bagian timur Eropa dan Asia Tengah sejak 2010, dan kematian akibat Penyakit terkait AIDS meningkat 11% di Timur Tengah dan Afrika Utara. Pengurangan mortalitas tetap lebih tinggi di antara wanita dari pada pria. Kesenjangan gender ini sangat menonjol di Afrika sub-Sahara, tempat 56% orang tinggal bersama HIV adalah perempuan. Meski beban penyakit semakin tinggi di antara perempuan, lebih banyak laki-laki yang hidup dengan HIV sedang sekarat (2, 3). Pada 2017, diperkirakan 300.000 [220.000–410.000] laki-laki di Afrika sub-Sahara meninggal karena penyakit terkait AIDS dibandingkan dengan 270.000 [190.000–390.000] wanita. Ini mencerminkan cakupan pengobatan yang lebih tinggi di antara perempuan: di 2017, diperkirakan 75% pria yang hidup dengan HIV (berusia lanjut) 15 tahun ke atas) di Afrika timur dan selatan tahu

status HIV mereka, dibandingkan dengan 83% wanita yang hidup dengan HIV pada usia yang sama. Jumlah infeksi HIV baru secara global berlanjut menurun pada 2017. Perkiraan model menunjukkan bahwa baru infeksi (semua umur) menurun dari puncaknya 3,4 juta [2,6–4,4 juta] pada 1996 menjadi 1,8 juta [1,4–2,4 juta] pada 2017. Namun, kemajuannya jauh lebih lambat dari apa diperlukan untuk mencapai tonggak sejarah 2020 kurang dari 500.000 infeksi baru. Seperti halnya dengan kematian terkait AIDS, pengurangan pada infeksi HIV baru antara 2010 dan 2017 adalah terkuat di sub-Sahara Afrika karena pengurangan tajam di Afrika timur dan selatan (penurunan 30%). Penting kemajuan juga dibuat di Karibia (penurunan 18%), di Asia dan Pasifik (penurunan 14%), barat dan tengah Afrika (penurunan 8%) dan Eropa barat dan tengah dan Amerika Utara (penurunan 8%). Tren itu pada dasarnya stabil di Amerika Latin (penurunan 1%). Di Timur Tengah dan Afrika Utara dan Eropa Timur dan Asia Tengah, jumlah tahunan infeksi HIV baru dua kali lipat kurang dari 20 tahun. Wanita terus memperhitungkan yang tidak proporsional Persentase infeksi HIV baru di antara orang dewasa (usia 15 dan lebih tua) di Afrika subSahara: mereka mewakili 59% dari 980.000 juta [820.000–1.100.000] baru infeksi HIV dewasa pada tahun 2017. Di bagian lain dunia, laki-laki menyumbang 63% dari 650.000 [590.000–750.000] infeksi HIV dewasa baru pada tahun 2017. Secara global, ada hampir 90.000 infeksi HIV baru di antara pria daripada wanita pada 2017.

2. EPIDEMIOLOGI HIV/AIDS DI INDONESIA HIV/AIDS merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus Human Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi

tersebut

menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain. Estimasi dan proyeksi jumlah orang dengan HIV/AIDS pada umur >15 tahun di Indonesia pada tahun 2017 adalah sebanyak 628.492 orang dengan jumlah infeksi baru sebanyak 46.357 orang dan kematian sebanyak 40.468 orang. (Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia tahun 2015-2020, Kemenkes RI). a. Jumlah Kasus HIV Positif dan AIDS Sebelum memasuki fase AIDS, penderita terlebih dulu dinyatakan sebagai HIV positif. Jumlah HIV positif yang ada di masyarakat dapat diketahui melalui Layanan Konseling dan Tes HIV baik secara sukarela (Konseling dan Tes Sukarela/KTS) maupun atas dasar Tes atas Inisiatif Pemberi layanan kesehatan dan Konseling (TIPK). Sedangkan prevalensi HIV pada suatu populasi tertentu dapat diketahui melalui metode sero survey, dan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP). Jumlah kasus baru HIV positif dan AIDS yang dilaporkan sampai dengan tahun 2017 disajikan pada Gambar 6.8.

Jumlah kasus baru HIV positif yang dilaporkan dari tahun ketahun cenderung meningkat dan pada tahun 2017 dilaporkan sebanyak 48.300 kasus. Sedangkan jumlah kasus AIDS terlihat adanya kecenderungan peningkatan penemuan kasus baru sampai tahun 2013 yang kemudian cenderung menurun pada

tahun-tahun berikutnya. Penurunan tersebut diperkirakan terjadi karena jumlah pelaporan kasus AIDS dari daerah masih rendah. Pada tahun 2017 kasus AIDS yang dilaporkan menurun dibandingkan tahun 2016 yaitu sebanyak 9.280. Secara kumulatif, kasus AIDS sampai dengan tahun 2017 sebesar 102.667 kasus. Menurut jenis kelamin, persentase kasus baru HIV positif dan AIDS tahun 2017 pada laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan seperti digambarkan di bawah ini.

Penderita HIV positif pada laki-laki sebesar 63,6% dan pada perempuan sebesar 36,4%. Sedangkan penderita AIDS pada laki-laki sebesar 68,0% dan pada perempuan sebesar 31,9%. Menurut kelompok umur, persentase kasus baru HIV positif dan AIDS tahun 2017 seperti digambarkan di bawah ini.

Penemuan Kasus HIV dan AIDS pada usia di bawah 4 tahun menandakan masih ada penularan HIV dari ibu ke anak yang diharapkan akan terus menurun di tahun selanjutnya sebagai upaya mencapai tujuan nasional dan global dalam rangka triple elimination (eliminasi HIV, hepatitis B, dan sifilis) pada bayi. Proporsi terbesar kasus HIV dan AIDS masih pada penduduk usia produktif (15-49 tahun), dimana kemungkinan penularan terjadi pada usia remaja. HIV dapat ditularkan melalui hubungan seks, tranfusi darah, penggunaan jarum suntik bergantian dan penularan dari ibu ke anak (perinatal). Berikut ini disajikan persentase kasus HIV positif dan AIDS menurut faktor risiko penularan yang dilaporkan pada tahun 2017.

Pada gambar di atas terlihat bahwa dari seluruh kasus HIV hampir setengahnya tidak diketahui faktor risiko (43,5%). Faktor risiko tertinggi yaitu LSL sebesar 24,2%, heteroseksual 22,4% dan Penasun sebesar 1,7%. Sedangkan kasus AIDS tertinggi yaitu Heteroseksual sebesar 68,9% dan terendah transfusi sebesar 0,3%. Distribusi kasus AIDS menurut jenis pekerjaan terbanyak pada tenaga non profesional (karyawan) (26,4%), ibu rumah tangga (16,2%) dan wiraswasta (14,3%).

3. EPIDEMIOLOGI HIV/AIDS DI PROVINSI JAWA TENGAH a. Jumlah Kasus HIV Jumlah kasus baru HIV tahun 2017 sebanyak 2.270 kasus, lebih tinggi dibandingkan dengan penemuan kasus HIV tahun 2016 sebanyak 1.867. Penemuan kasus HIV pada laki-laki lebih banyak dibandingkan pada perempuan (56,52 persen). Bila dilihat berdasarkan umur maka penderita HIV dapat menimpa umur dari usia dini hingga umur tua. Perderita HIV terbanyak berturut-turut sebagai berikut : umur 25-49 tahun sebesar 69,34 persen, kemudian umur 20-24 tahun sebesar 14,98 persen dan umur diatas 50 tahun

7,84 persen. Selama lima tahun terakhir diketahui terjadi

peningkatan jumlah kasus

setiap tahunnya. Perkembangan jumlah kasus HIV di

Provinsi Jawa Tengah tahun 2013-2017 disajikan dalam gambar berikut.

b. Jumlah Kasus AIDS Kasus Aquiared Immuno Devisiency Syndrome (AIDS) tahun 2017 sebanyak 1.409 kasus, sedikit lebih banyak dibanding tahun 2016 yaitu 1.402 kasus. Berdasarkan kelompok umur, jumlah kasus terbanyak berturut-turut sebagai berikut : umur 25-49 tahun 72,96 persen, kemudian umur ≥ 50 tahun 16,39 persen dan umur 20-24 tahun 6,53 persen. Berdasarkan jenis kelamin ternyata kasus pada laki-laki lebih banyak dibandingkan kasus pada perempuan yaitu sebesar 66,36 persen.

Kasus tersebut didapatkan dari laporan VCT rumah sakit, laporan rutin AIDS kab/kota serta Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM). Peningkatan kasus AIDS ini dikarenakan upaya penemuan atau pencarian kasus yang semakin intensif melalui VCT

di rumah sakit dan upaya penjangkauan oleh LSM peduli AIDS di kelompok risiko tinggi. Kasus HIV/AIDS merupakan

fenomena gunung es, artinya kasus yang

dilaporkan hanya sebagian kecil yang ada di masyarakat. Jumlah kematian AIDS tahun 2017 sebanyak 166 kasus, menurun dibandingkan kematian tahun 2016 sebanyak 167 kasus, dengan kasus kematian AIDS tertinggi pada umur 25-49 tahun (134 kasus). Sejak bulan januari hingga September 2018 ini, penderita HIV/AIDS di Cilacap mencapai 1.200 orang. Kasus ini ditemukan diberbagai kalangan, dari tenaga pendidik, mahasiswa, pelajar, karyawan swasta bahkan lebih miris ditemukan pada kalangan ibu rumah tangga dengan sebaran di 24 kecamatan. Angka kasus yang ada saat ini, membuat Cilacap menempati urutan ke-7 dari 35 kabupaten/kota se-Jateng. Meski diklaim grafiknya menurun dibandingkan daerah lain di Jateng, tetapi penyebaran HIV/ AIDS ini membutuhkan peran dari banyak pihak untuk menangani dan menekannya. Data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut ada 48.300 kasus HIV positif yang ditemukan pada tahun 2017. Dari jumlah tersebut, 9.280 di antaranya juga positif AIDS. Untuk tahun 2018, hingga triwulan II sudah ditemukan 21.336 kasus HIV, dengan 6.162 di antaranya positif AIDS. Sedangkan data kumulatif dari pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 hingga Juni 2018, menyebut ada 301.959 kasus HIV, dengan 108.829 kasus AIDS. Dari segi usia, populasi pengidap HIV-AIDS paling banyak ditemukan pada kelompok umur 25-49 tahun, dan 20-24 tahun. Adapun provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta (55.099), diikuti Jawa Timur (43.399), Jawa Barat (31.293), Papua (30.699), dan Jawa Tengah (24.757).

B. STUDI KASUS TENTANG PERAWATAN, DUKUNGAN, DAN PENGOBATAN HIV/AIDS Perawat merupakan faktor yang mempunyai peran penting pada pengelolaan stres khususnya dalam memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien yang konstruktif agar pasien dapat beradaptasi dengan sakitnya dan pemberian dukungan sosial, berupa dukungan emosional, informasi, dan material (Batuman, 1990; Bear, 1996; Folkman & Lazarus, 1988).

Salah satu metode yang digunakan dalam penerapan teknologi ini adalah menerapkan model Asuhan Keperawatan. Pendekatan yang digunakan adalah strategi koping dan dukungan sosial yang bertujuan untuk mempercepat respons adaptif pada pasien terinfeksi HIV, meliputi modulasi respons imun (Ader, 1991; Setyawan, 1996; Putra, 1999; ) respons psikologis; dan respons sosial (Steward, 1997). Dengan demikian penelitian bidang imunologi dengan 4 variabel dapat membuka nuansa baru untuk bidang ilmu keperawatan dalam mengembangkan model pendekatan asuhan keperawatan yang berdasar pada paradigma psikoneuroimunologi terhadap pasien terinfeksi HIV (Nursalam, 2005). Intervensi yang diberikan pada ODHA meliputi: pemeliharaan kebutuhan dasar, dukungan perawatan dan pemeliharaan kesehatan, pembinaan fisik, psikis, spiritual, social, dan ketrampilan serta resosialisasi dan konseling. Dukungan sosial yang diberikan antara lain: dukungan emosional, pasien merasa nyaman; dihargai; dicintai; dan diperhatikan, dukungan informasi, meningkatnya pengetahuan dan penerimaan pasien terhadap sakitnya, dan dukungan material, bantuan / kemudahan akses dalam pelayanan kesehatan pasien. Dukungan sosial sangat diperlukan terutama pada PHIV yang kondisinya sudah sangat parah. Individu yang termasuk dalam memberikan dukungan sosial meliputi pasangan (suami/istri), orang tua, anak, sanak keluarga, teman, tim kesehatan, atasan, dan konselor. Beberapa pendapat mengatakan dukungan sosial terutama dalam konteks hubungan yang akrab atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga barangkali merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting (Rodin & Salovey, 1989 dikutip Smet, 1994). Hubungan Dukungan Sosial dengan kesehatan menurut Gottilieb, 1983 dikutip Smet, 1994 terdapat pengaruh dukungan sosial terhadap kesehatan tetapi bagaimana hal itu terjadi? Penelitian terutama memusatkan pengaruh dukungan sosial pada stres sebagai variabel penengah dalam perilaku kesehatan dan hasil kesehatan. Dua teori pokok diusulkan, hipotesis penyangga (Buffer Hypothesis) dan hipotesis efek langsung (direct effect hypothesis). Menurut hipotesis penyangga dukungan sosial mempengaruhi kesehatan dan melindungi orang itu terhadap efek negatif dari stres berat. Fungsi yang bersifat melindungi ini hanya atau terutama efektif kalau orang itu menjumpai stres yang kuat. Dalam stres yang rendah terjadi sedikit atau tidak ada penyangga bekerja dengan dua orang. Orang-orang dengan dukungan sosial tinggi mungkin akan kurang menilai situasi penuh stres (mereka akan tahu bahwa mungkin akan ada seseorang yang dapat membantu mereka). Orangorang dengan dukungan sosial tinggi akan

mengubah respon mereka terhadap sumber stres misalnya pergi ke seorang teman untuk membicarakan masalahnya. Hipotesis efek langsung berpendapat bahwa dukungan sosial itu bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan tidak peduli banyaknya stres yang dialami orang-orang menurut hipotesis ini efek dukungan sosial yang positif sebanding dibawah intensitas stes tinggi dan rendah. Contohnya orang-orang dengan dukungan sosial tinggi dapat memiliki penghargaan diri yang lebih tinggi yang membuat mereka tidak begitu mudah diserang stres. Manfaat penggunaan obat dalam bentuk kombinasi adalah: memperoleh khasiat yang lebih lama untuk memperkecil kemungkinan terjadinya resistensi, meningkatkan efektifitas dan lebih menekan aktivitas virus. Bila timbul efek samping, bisa diganti obat lainnya dan bila virus mulai resisten terhadap obat yang sedang digunakan, bisa memakai kombinasi lain. Adapun efektivitas obat ARV kombinasi: ARV kombinasi lebih efektif karena mempunyai khasiat ARV yang lebih tinggi dan menurunkan viral load lebih tinggi dibanding penggunaan satu jenis obat saja, kemungkinan terjadinya resistensi virus kecil, akan tetapi bila pasien lupa minum obat dapat menimbulkan terjadinya resistensi, kombinasi menyebabkan dosis masingmasing obat lebih kecil, sehingga kemungkinan efek samping lebih kecil. Saat memulai menggunakan ARV menurut WHO tahun 2002, ARV bisa dimulai pada orang dewasa berdasarkan kriteria sebagai berikut: 1. Bila pemeriksaan CD4 bisa dilakukan Pasien stadium IV (menurut WHO), tanpa memperhatikan hasil tes CD4. Pasien stadium I, II, III (menurut WHO) dengan hasil perhitungan limfosit total < 200 / l Yayasan Kerti Praja, 1992). 2. Bila pemeriksaan CD4 tidak dapat dilakukan: Pasien stadium IV (menurut WHO), tanpa memperhatikan hasil hitung limfosit total. Pasien stadium I, II, III (menurut WHO) dengan hasil perhitungan limfosit total < 1000 – 1200/ 3. Limfosit total < 1000 – 1200/

dapat diganti dengan CD4 dan dijumpai tanda-tanda HIV.

Hal ini kurang penting pada pasien tanpa gejala (stadium I menurut WHO) hendaknya jangan dilakukan pengobatan karena belum ada petunjuk tentang beratnya penyakit 4. Pengobatan juga dianjurkan untuk pasien stadium III yang lanjut, termasuk kambuh, luka pada mulut yang sukar sembuh dan infeksi pada mulut yang berulang dengan tidak memperhatikan hasil pemeriksaan CD4 dan limfosit total (Depkes, 2003).

SUMBER : Nasronudin, 2007. Konseling, Perawatan, dukungan dan Masyarakat Universitas Pengobatan ODHA. Surabaya : Airlangga University Press. Nursalam. 2005. Model Asuhan Keperawatan pada pasien HIV/AIDS. Disertasi. Program Pasca Sarjana Unair. Surabaya. http://www.pusdatin.kemkes.go.id/article.view/17020100001/situasi-penyakit-hiv-aids-diindonesia.html http://www.healththefoundation.eu/blobs/hiv/epidemiology_and_prevention_methods_in_indone sian

Related Documents

Hiv
June 2020 36
Hiv
November 2019 66
Hiv
May 2020 37
Hiv
November 2019 51
Hiv
May 2020 33
Hiv
November 2019 46

More Documents from ""