Hipertensi Pada Usia Lanju1.docx

  • Uploaded by: Tuti Ratna
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hipertensi Pada Usia Lanju1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,237
  • Pages: 20
HIPERTENSI PADA USIA LANJUT Hipertensi menjadi “silent killer”, jika tidak mendapatkan penanganan secara tepat. Prevalensi hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi hipertensi pada usia lanjut adalah 45,6% pada kelompok umur 55-64 , 58,9% pada kelompok umur 65-74 dan 62,6% pada kelompok umur >75 tahun (Riskesdas, 2013). Menurut WHO, prevalensi tekanan darah tertinggi ada di Afrika. Baik pria maupun wanita di Afrika, memiliki tekanan darah yang meningkat, dengan tingkat prevalensi lebih dari 40%. Prevalensi terendah tekanan darah yang meningkat adalah di Amerika yaitu 35%. Pria di Amerika dan Eropa memiliki prevalensi tekanan darah yang meningkat lebih tinggi dibandingkan perempuan (WHO, 2013). Tabel 1. Prevalensi Hipertensi menurut AHA 2017 SBP/DBP ≥130/80 mmHg Semua kategori Usia-sex disesuaikan

SBP/DBP ≥140/90 mmHg

46%

32%

Pria

Wanita

Pria

Wanita

48%

43%

31%

32%

Berdasar umur 20–44

30%

19%

11%

10%

45–54

50%

44%

33%

27%

55–64

70%

63%

53%

52%

65–74

77%

75%

64%

63%

75+

79%

85%

71%

78%

Berdasar ras Kulit putih

47%

41%

31%

30%

Kulit hitam

59%

56%

42%

46%

Asian

45%

36%

29%

27%

Hispanic 44% 42% 27% 32% Hipertensi sendiri merupakan suatu keadaan ketika tekanan darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh (Riskesdas, 2013). Kematian akibat hipertensi terjadi 80% di negara berkembang. Sekitar 54% penyakit stroke dan 47% penyakit jantung di dunia disebabkan oleh hipertensi, sedangkan lebih dari sepertiga kematian pada negara-negara berpendapatan rendah di Eropa dan Asia disebabkan oleh tekanan darah yang 1

tinggi (Kaplan, 2006). Saat ini terdapat kecenderungan pada masyarakat perkotaan lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan masyarakat pedesaan. Hal ini berhubungan dengan gaya hidup masyarakat kota seperti stres, obesitas (kegemukan), kurangnya olah raga, merokok, alkohol, dan makan-makanan yang tinggi kadar lemaknya sehingga meningkatkan risiko hipertensi (Sugiharto, 2007). Stress psikososial yang lebih besar pada masyarakat perkotaan dibanding pedesaan juga berperan meningkatkan resiko hipertensi (Soenardi, Tuti & Susirah Soetardjo, 2005). Menurut Riskesdas tahun 2013, 5 Provinsi dengan prevalensi hipertensi tertinggi pada penduduk umur >18 tahun adalah Bangka Belitung (30,9%), Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%), Jawa Barat (29,4%), Gorontalo (29,4%) (Riskesdas, 2013). Tabel 2. Klasifikasi hipertensi menurut AHA 2017 Kategori

Tekanan darah sistolik

Tekanan darah diastolik

Normal

<120 mmHg

Dan

<80 mmHg

Meningkat

120-129 mmHg

Dan

<80 mmHg

Hipertensi stage 1

130-139 mmHg

Atau

80-89 mmHg

Hipertensi stage 2

≥140 mmHg

Atau

≥90 mmHg

Tabel 3. Hipertensi urgensi dan emergency Kategori Hipertensi

Tekanan darah sistolik >180 mm Hg

urgensi Hipertensi

>180

emergency

kerusakan target organ

mm

Hg

Dan / atau

Tekanan darah diastolik >120 mm Hg

+ Dan / atau

>120 mm Hg Hg + kerusakan target organ

Patofisiologis hipertensi pada lanjut usia Menurut World Health Organization (WHO), lanjut usia (lansia) dibagi menjadi empat kriteria yaitu usia lanjut usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun.

2

Hipertensi sistolik terisolasi (isolated systolic hypertension) merupakan tipe tersering hipertensi pada usia lanjut dimana terdapat kenaikan tekanan darah sistolik disertai tekanan darah diastolik yang normal atau mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan karena adanya perubahan di dalam struktur pembuluh darah, yang menjadi kurang elastis dan kaku. Pada kondisi ini peningkatan tekanan darah disebabkan oleh kekakuan dinding arteri dan elastisitas aorta yang berkurang. Kekakuan dinding pembuluh darah menyebabkan penyempitan pembuluh darah, sehingga aliran darah yang dialirkan ke jaringan dan organorgan tubuh menjadi berkurang. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan darah sistolik agar aliran darah ke jaringan dan organ-organ tubuh tetap mencukupi (Kaplan, 2006). Pasien hipertensi pada usia lanjut sering mengalami pengurangan elastisitas arteri atau meningkatnya kekakuan arteri (jaringan kolagen menggantikan lapisan elastin pada lamina elastik di pembuluh aorta) yang dialami selama proses penuaan dan terjadi proses sklerosis terutama pada arteri yang besar, hal ini menyebabkan suatu keadaan yang dikenal sebagai hipertensi sistolik terisolasi (Suhardjono, 2014). Disfungsi endotel juga menjadi salah satu kontributor dalam meningkatnya tekanan darah pada usia lanjut. Cedera mekanis maupun karena inflamasi dari arteri yang menua menyebabkan menurunnya ketersediaan vasodilator oksida nitrit (Nitric oxide/NO), yang menyebabkan ketidakseimbangan antara vasodilator (NO) dengan vasokontriktor (endothelin) (Syed, 2014). Peningkatan tekanan darah oleh karena adanya penyebab sekunder perlu dipertimbangkan, seperti adanya stenosis arteri renalis yang diakibatkan oleh lesi aterosklerosis, obstructive sleep apnoe (OSA), meningkatnya curah jantung (Cardiac Output) karena anemia, insufisiensi aorta, fistula arteriovena, aldosteronisme primer, penyakit Paget dan tirotoksikosis. Penyebab kenaikan tekanan darah yang lain adalah gaya hidup berlebihan, kebiasaan minum minuman keras, merokok, konsumsi kafein, obat-obatan AINS ( Anti Inflamasi Non Steroid ), pemakaian steroid, hormon, narkotika, kurang asupan kalsium, vitamin D dan vitamin C (Suhardjono, 2014). Jenis Hipertensi Berdasarkan penyebab: a. Hipertensi Primer/Hipertensi Esensial

3

Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan. Terjadi pada sekitar 90% penderita hipertensi. b. Hipertensi Sekunder/Hipertensi Non Esensial Hipertensi yang diketahui penyebabnya. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB). Berdasarkan bentuk Hipertensi Hipertensi diastolik {diastolic hypertension}, Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi), Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) Gejala Klinis Kebanyakan penderita hipertensi pada usia lanjut tidak memiliki gejala (asimtomatik). Gejala yang biasanya dijumpai pada hipertensi antara lain : pusing, palpitasi (jantung berdebar-debar), atau sakit kepala. Sakit kepala pada pagi hari terutama didaerah oksipital merupakan karakteristik dari hipertensi Stadium II. Kerusakan target organ seperti stroke, penyakit jantung kongestif, atau gagal ginjal mungkin merupakan tanda awal (Syed, 2014). Faktor resiko hipertensi a. Umur Tekanan darah tinggi sangat sering terjadi pada orang berusia lebih dari 60 tahun karena tekanan darah secara alami cenderung meningkat seiring bertambahnya usia (Palmer dkk, 2007). Akibat pertambahan umur dan proses penuaan, serabut kolagen di pembuluh darah dan dinding arteriol bertambah sehingga dinding pembuluh darah mengeras. Dengan berkurangnya elastisitas ini, daerah yang dipengaruhi tekanan sistolik akan menyempit sehingga tekanan darah rata-rata meningkat (Agoes dkk, 2010). b. Jenis kelamin Di kalangan orang dewasa muda dan setengah baya, para pria lebih cenderung terkena tekanan darah tinggi daripada wanita. Hal sebaliknya terjadi setelah berusia kira-kira 50 tahun, kebanyakan wanita telah mencapai menopause, tekanan darah tinggi menjadi lebih umum ditemukan pada wanita daripada pria (Sheldon 2005). c. Riwayat keluarga 4

Riwayat keluarga yang menunjukkan adanya tekanan darah yang meninggi merupakan faktor risiko paling kuat bagi seseorang untuk menderita hipertensi. Tekanan darah tinggi cenderung diwariskan di dalam keluarga. Jika salah seorang dari orangtua mengidap tekanan darah tinggi, maka seseorang akan mempunyai peluang sebesar 25% untuk mewarisinya. Jika ibu dan ayah mempunyai tekanan darah tinggi, maka peluang untuk tekena penyakit ini meningkat menjadi 60% (Sheldon 2005). d. Obesitas Obesitas (kegemukan) adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan lemak tubuh yang berlebih, sehingga berat badan seseorang jauh di atas normal dan dapat membahayakan kesehatan (Irwan, 2016). Obesitas berisiko terhadap munculnya berbagai penyakit jantung dan pembuluh darah. Disebut obesitas apabila melebihi Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT). Body Mass Indeks (BMI) dapat diketahui dengan membagi berat badan dengan tinggi badan (Marliani, L dkk, 2007). Semakin besar massa tubuh yang dimiliki, semakin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan nutrisi kepada jaringan tubuh. Itu berarti bahwa volume darah yang diedarkan melalui pembuluh darah meningkat, menciptakan kekuatan tambahan pada dinding-dinding arteri (Sheldon 2005). e. Pola makan Makanan merupakan faktor penting yang menentukan tekanan darah. Menerapkan pola makan yang rendah lemak jenuh, kolesterol, dan total lemak serta kaya akan buah, sayur, serta produk susu rendah lemak telah terbukti secara klinis dapat menurunkan tekanan darah (Palmer dkk, 2007). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Adria dkk (2016), konsumsi makanan tinggi natrium dapat mempengaruhi kenaikan tekanan darah. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian WHO (2000) bahwa konsumsi garam berlebih memiliki efek langsung terhadap tekanan darah. Peningkatan tekanan darah akibat mengkonsumsi terlalu banyak garam atau natrium secara terus menerus dapat berakibat fatal untuk arteri (Adria dkk, 2016). f. Aktivitas fisik Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung juga harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Semakin keras dan sering jantung memompa, semakin besar pula kekuatan yang mendesak arteri (Sheldon, 2005). Orang yang bergaya hidup tidak aktif akan lebih rentan terhadap tekanan darah tinggi. Melakukan olahraga secara teratur dapat menurunan tekanan darah. Jenis latihan yang dapat mengontrol tekanan darah adalah berjalan kaki, bersepeda, berenang, aerobik (Palmer dkk, 2007). Penanganan hipertensi pada usia lanjut 5

Penatalaksanaan hipertensi stadium satu tanpa compelling indication dimulai dengan perubahan / modifikasi gaya hidup yang dilakukan selama tiga bulan. Beberapa modifikasi gaya hidup seperti tindakan penghentian merokok, pengendalian berat badan, mengurangi stres mental, pembatasan konsumsi garam, alkohol, meningkatkan aktivitas fisik kesemuanya dapat mengurangi tekanan darah. Diet rendah garam Panduan dari kanada (CHEP, 2011) menganjurkan asupan Na dalam makanan untuk usia dewasa < 50 tahun: 1500 mg, usia 51-70 tahun: 1300 mg dan usia > 70 tahun: 1200 mg. Namun pembatasan diet rendah garam pada kelompok usia tua yang rapuh (frailty) bisa menyebabkan atau bahkan memperburuk anoreksia, malnutrisi, sarkopenia dan hipotensi ortostatik. Bila tekanan darah tidak terkontrol dengan terapi ini maka modifikasi gaya hidup dilanjutkan dengan penambahan terapi farmakologi. Prinsip pengobatan hipertensi pada usia lanjut adalah selalu mulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai mencapai target, “start low and go slow”.

mt6 ooa0a0 ir fi agt geh yt, h ddBB pP
dd

a

a

s

k

i

i uu

Diuretik, β-blocker, Calcium Channel Blocker (CCB), Angiotensin Converting Enzyme – Inhibitor (ACE-Inhibitor), Angiotensin Reseptor Blocker (ARB), dan golongan Direct Renin Inhibitor (DRI) telah terbukti dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas pada pasien hipertensi. Menurut NICE, hipertensi pada lansia lebih dianjurkan untuk memakai CCB seperti amlodipin. Diuretik tidak disarankan karena akan meningkatkan resiko jatuh dan dapat digunakan jika lansia ada indikasi retensi cairan. Sedangkan β-blocker tidak 6

dianjurkan mengingat banyaknya kasus penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) pada usia lanjut. Berikut ini adalah golongan obat anti hipertensi yang bisa digunakan pada pasien usia lanjut:2,3,6,8,10,13,15,16 a. Diuretik Diuretik yang sering dipakai pada usia lanjut terutama golongan tiazid, antagonis aldosteron. Diuretik loop suatu diuretik yang sangat kuat diberikan apabila ada gagal jantung atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK). Golongan diuretik non-tiazid seperti indapamid adalah turunan dari sulfonamid, dapat mengurangi morbiditas kardiovaskular atau stroke pada usia > 80 tahun. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah kenaikan kadar gula darah. b. Calcium Channel Blocker ( CCB) CCB dianjurkan apabila terdapat penyakit komorbid kardiovaskular. Obat yang diberikan adalah yang memilki waktu kerja yang panjang. Penelitian ACCOMPLISH menunjukkan bahwa penggunaan amlodipin (CCB golongan dyhidropiridine) lebih efektif dibandingkan dengan tiazid dalam menurunkan kejadian kardiovaskular pada pasien dengan risiko tinggi, termasuk diabetes dan merupakan pilihan alternatif yang baik untuk pengobatan hipertensi dengan diabetes. c. Angiotensin Converting Enzyme – Inhibitor & Receptor Blocker Angiotensin Converting Enzyme – Inhibitor (ACE-Inhibitor) dan Angiotensin Receptor Blocker ( ARB ) adalah obat yang bekerja dengan menghambat sistem renin – angiotensin. Pada hipertensi dengan risiko kardiovaskular yang tinggi, obat golongan

ini

mampu

memperbaiki

atau

menghambat

kelainan

organ

target yang terjadi. Dikarenakan memiliki efek renoprotektif dari obat golongan ACEInhibitor dan ARB pada penderita DM tipe 2, maka pedoman penatalaksanaan / guideline anti hipertensi terbaru menyarankan penggunaan salah satu dari obat ini sebagai terapi inisial pada hipertensi usia lanjut dengan diabetes mellitus. Efek samping golongan ACE-Inhibitor yang sering terjadi adalah batuk kering yang disebabkan oleh bradikinin, bila ini terjadi sebaiknya ACE-Inhibitor dihentikan dan diganti dengan golongan Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) seperti

7

valsartan ataupun losartan. JNC -8 melalui rekomendasi 9 tidak memperbolehkan penggunaan ACE-Inhibitor dan ARB secara bersamaan pada satu paien. d. Beta Blocker Golongan Penyekat beta ( Beta Blocker ) seperti propranolol, bisoprolol, atenolol, dan lain- lain tidak lagi dianjurkan sebagai terapi inisial pada pengobatan hipertensi usia lanjut dikarenakan efek sampingnya yang besar terutama pada saluran pernafasan, kecuali pada gagal jantung, penyakit jantung koroner, migrain dan tremor senilis. Pada hipertensi obat golongan ini biasanya diberikan sebagai kombinasi dengan diuretik. e. Alfa Blocker Golongan seletif alfa adrenergic antagonist seperti terazosin dan doxazosin bermanfaat untuk pengobatan hipertensi yang disertai dengan benign prostatic hypertrophy (BPH). Efek samping utama dari obat golongan alfa bloker ini adalah hipotensi orthostatik, refleks takikardi dan sakit kepala juga peningkatan risiko stroke, kejadian kardio vaskular dan peningkatan risiko penyakit jantung kongestif. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan golongan alfa antagonis sebaiknya dihindari sebagai penggunaan lini pertama obat anti hipertensi. f. Aldosterone Antagonist Golongan antagonis aldosteron seperti spironolakton biasanya digunakan pada hipertensi yang resisten yang disebabkan oleh hiperaldosteronisme primer dan obstructive sleep apnoe (OSA). Hipertensi dengan diabetes melitus Pada populasi umum yang tidak berkulit hitam, pilihan terapi inisial obat anti hipertensi adalah golongan diuretic tiazid, antagonis kalsium (Calcium Channel Blocker/CCB), ACE-Inhibitor dan Angiotensin Receptor Blocker (ARB). Pada populasi berkulit hitam dengan diabetes mellitus pilihan utama obat antihipertensi adalah diuretik golongan tiazid ataupun anti hipertensi golongan antagonis kalsium. Hipertensi dengan penyakit ginjal kronik Pilihan obat anti hipertensi inisial untuk memperbaiki fungsi ginjal adalah golongan ACE-Inhibitor dan Angiotensin Receptor Blocker (ARB). ACE-Inhibitor maupun Angiotensin Receptor Blocker (ARB) direkomendasikan bila dijumpai 8

adanya proteinuria >300 mg/hari ataupun bersamaan dengan gagal jantung (JNC 8; Syed, 2014). Hipertensi dengan Gagal Jantung Kelompok usia lanjut dengan hipertensi dan gagal jantung sistolik (Systolic Heart Failure/SHF) sebaiknya diobati dengan anti hipertensi golongan diuretik, Beta blocker, ACE-Inhibitor dan antagonis aldosteron bila tidak dijumpai adanya hiperkalemia maupun gangguan fungsi ginjal yang signifikan. Penderita hipertensi dengan disfungsi ventrikel kiri yang asimtomatik (asymptomatic left ventricle dysfunction) sebaiknya menggunakan golongan beta blocker dan ACE-Inhibitor (JNC 8; Syed, 2014). Komplikasi Hipertensi

Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endotel arteri dan mempercepat aterosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor resiko kardiovaskular lain, maka

akan

meningkatkan

mortalitas

dan

morbiditas

akibat

gangguan

kardiovaskularnya tersebut (Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, 2006). Beberapa komplikasi yang bisa terjadi akibat hipertensi antara lain: A. Stroke Stroke dapat terjadi akibat perdarahan di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh darah non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan penebalan sehingga aliran darah ke daerahdaerah yang

diperdarahinya

ateroskelosis

dapat

berkurang. melemah

Arteri-arteri dan

otak

kehilangan

yang elastisitas

mengalami sehingga

meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma. B. Infark miokardium Penyakit ini dapat terjadi apabila arteri koroner yang aterosklerotik tidak dapat menyuplai darah yang cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui arteri koroner. Karena 9

hipertensi

kronik

dan

hipertrofi

ventrikel,

maka

kebutuhan

oksigen

miokardium mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang

menyebabkan

perubahan-perubahan

infark. waktu

Hipertrofi hantaran

ventrikel

listrik

dapat

melintasi

menimbulkan

ventrikel

sehingga

terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan pembentukan pembekuan darah. C. Gagal ginjal Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan yang tinggi

pada

kapiler-kapiler

ginjal,

yaitu

glomerulus.

Dengan

rusaknya

glomerulus, aliran darah ke unit-unit fungsional ginjal terganggu, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia serta kematian. Dengan rusaknya membrane glomerulus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik. D. Enselopati (kerusakan otak) Enselopati dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang interstitium di seluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron di sekitarnya kolaps dan terjadi koma serta kematian mendadak.

DAFTAR PUSTAKA American Heart Association, 2017. Hypertension Guidelines Programming. California: AHA Andria, K.M., 2013. Hubungan Antara Perilaku Olahraga, Stress dan Pola Makan dengan Tingkat Hipertensi pada Lanjut Usia di Posyandu Lansia Kelurahan Gebang Putih Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya. Vol 1. No. 2, hal: 111–117 Irwan., 2016. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Deepublish: Yogy Kaplan, N.M., 2006. Clinical Hypertension, Cetakan Kesembilan. Jakarta: Lippincott Williams & Wilkins. Marliani, L dan Tantan S., 2007. 100 Question & Answer Hipertensi. Jakarta:PT Elex Media Komputindo,

10

Palmer A dan Bryan W, 2007. Simple Guide Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: Erlangga. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Riskesdas 2013. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 2013 Sugiharto, A. 2007. Faktor-faktor Risiko Hipertensi Grade II pada Masyarakat. Universitas Dipenegoro, Semarang Suhardjono, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Geriatri dan gerontology; Hipertensi pada Usia Lanjut, Edisi ke-6, Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, Cetakan pertama, 2014; Bab 40.519;3855-58. Agoes, A., 2009. Penyakit di Usia Tua. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Syed Q, Barbara M-R, Current Diagnosis & Treatment 2nd Edition: Geriatrics: Hypertension, Mc. Graw Hill Education, North America: Internationaledition, 2014, Chapter 30: 20212 The American Academy of Family Physicians Practice Guideline: JNC 8 Guidelines for The Management of Hypertension in Adults. Am. Fam Physician, 2014;90(7):503-04 WHO, 2013. A Global Brief on Hypertension diakses di http://www.who.int/cardiovascular_diseases/publications/global_brief_hypertension/en/

DIABETES MELITUS PADA USIA LANJUT Kriteria Diagnosis DM Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam. Atau Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. Atau Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik. Atau Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).

11

Kategori fungsional usia lanjut dengan DM 1. Fungsional independent : bisa melakukan ADL (activities of daily living) tanpa bantuan 2. Fungsional dependent : usia lanjut yang mengalami gangguan ADL ini dibagi menjadi subkategori frail dan demensia 3. End of life care : kategori ini adalah usia lanjut yang menderita DM dengan keganasan dan memiliki harapan hidup kurang dari 1 tahun. Klasifikasi DM Klasifikasi diabetes berdasar etiologi

Gejala klinis DM Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Penilaian dan evaluasi DM pada usia lanjut Tabel penilaian pada DM usia lanjut

12

Patogenesis DM Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut : 1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor. 2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis. 3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan

13

transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion. 4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion. 5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfaglukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa. 6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP4 inhibitor dan amylin. 7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose coTransporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan

14

dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya. 8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin. Penatalaksanaan 1. Edukasi Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik 2. Terapi Nutrisi Medis (TNM) TNM merupakan bagian

penting

dari

penatalaksanaan

DMT2

secara

komprehensif(A). Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang DM (A). Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri. 3. Latihan fisik jasmani Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Penderita DM pada usia lanjut harus didorong untuk aktif menjaga kesehatan dan status

fungsional

mereka.

Penilaian

risiko

merekomendasikan

program

kegiatan.

Waktu

harus dan

dilakukan jenis

kegiatan

sebelum harus

dipertimbangkan dengan obat penurun glukosa terutama yang berisiko hipoglikemia Tabel penatalaksanaan DM pada usia lanjut 15

Independent

Dependent

Nutrisi Menjaga berat badan ideal, jumlah karbohidrat yang konsisten

Aktifitas fisik Lakukan aktifitas fisik secara rutin 3-4x/minggu dengan durasi 3045 menit seperti jogging dan bersepeda

Penilaiaan malnutrisi dan atau kehilangan berat badan diperlukan, asupan protein tinggi untuk frail dan pengasuhan makan untuk demensia

Latihan dengan intensitas rendah untuk mempertahankan ADL dan mobilitas. Berikan pelatihan ketahanan dan keseimbangan untuk meningkatkan kinerja fisik dan kekuatan ekstremitas bawah pada frail

Manajemen kadar darah First line therapy Metformin sebagai pilihan utama dengan kontraindikasi gangguan ginjal. Titrasi untuk mengurangi intoleransi saluran cerna. Sulfonilurea seperti glyburide/glibenclamide dapa digunakan jika kontraindikasi metformin. DPP-4 inhibitor juga dapat dipertimbangkan. Glinid digunakan untuk lansia dengan postprandial hyperglycaemia dan kebiasaan makan yang tidak teratur Second line therapy Tambahkan sulfonylurea (dengan risiko rendah hipoglikemia) ke metformin jika target glikemik tidak tercapai atau tambahkan DPP-4 inhibitor Jika kontraindikasi atau tidak tolerir obat oral, insulin kerja panjang adalah pilihan alternatif Prinsip adalah untuk tindakan pencegahan tambahan diperlukan. Ketika meresepkan agen menurunkan glukosa oral, pilih satu dengan potensi rendah untuk hipoglikemia. Gunakan rejimen insulin yang sederhana dengan risiko hipoglikemik rendah. Hindari rejimen yang kompleks dan beban pengobatan tinggi untuk mengurangi risiko kesalahan pengobatan. Frail : Hindari atau hentikan agen yang mungkin menyebabkan mual atau gangguan gastrointestinal atau penurunan berat badan berlebih (misalnya metformin atau GLP-1 RA). Insulin dapat memberikan manfaat anabolik. Demensia : edukasi perawat dan keluarga tentang tanda hipoglikemia

End of life Parental dan Lakukan aktifitas care dukungan dengan fisioterapi keluarga diperlukan 4. Farmakologis Target glukosa pada DM usia lanjut

16

Logaritma pengobatan DM pada usia lanjut

Pengobatan

A1C reduction

% Hresiko

Terbatas untuk usia lanjut

hipoglikemik

17

Inisial terapi (monotherapy)

Biguanide

1-2

negligible

- hati-hati untuk penurunan fingsi ginjal (gunakan sub-mak dosis untuk eGFR<45 ml/min, hentikan jika <30 ml/min) - efek samping pada saluran cerna - menurunkan berat badan

Penambahan obat kedua (Two-drug Therapy)

Sulfonylurea

1-1.5

Moderate/

-hipoglikemia

high

- hati-hati untuk penurunan fingsi ginjal (tidak

puasa

untuk

eGFR<30

ml/min)

-hindari glyburide

Meglitinide

0.5-1.5

Moderate

-Complexity: penghitungan dosis dan karbohidrat - hipoglikemia

Thiazolidinedione 0.5-1.4

Negligible

- Edema: kontraindikasi pada NYHA Class

III

or

IV

heart

failure

- meningkatkan fraktur

DPP-4 Inhibitor

0.5-0.8

Negligible

-meningkat pancreatitis - penyesuaian dosis untuk kelainan ginjal - harga mahal

GLP1

receptor 0.5-1.5

Negligible

(as - efek samping pada saluran cerna 18

agonist

monotherapy)

(pancreatitis-rare) -Injectable -penurunan

berat

badan

- harga mahal

SGLT-2 Inhibitors 0.4-1.16

Negligible

-Hypovolemia -Acute -Urinary

Kidney tract

Injury infection

- Genital candidiasis

Basal Insulin

Variable

High

-Injectable

(requires

training)

- penambahan berat badan

DAFTAR PUSTAKA American Diabetes Association, 2018. Diabetes Care 2018: Standards Of Medical Care In Diabetes 2018, vol 41 suplement 1. USA:ADA IDF, 2013. Managing Older People With Type 2 Diabetes Global Guideline. www.idf.org Milanesi A dan Weinreb J, 2017. Diabetes in the Elderly diakses di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279147/ PERKENI 2015. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia 2015. Jakarta: PB Perkeni

19

TUGAS REFRAT BLOK GERIATRI

TUTI RATNASARI G0014232

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2018

20

Related Documents


More Documents from "Yogo Prasetya"