Hidangan Penutup Indonesia Raya

  • Uploaded by: Adi Surya (Ucox Unpad)
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hidangan Penutup Indonesia Raya as PDF for free.

More details

  • Words: 1,002
  • Pages: 4
Hidangan Penutup Indonesia Raya

Pertanyaan siapa yang bertanggungjawab tidaklah menjadi hal yang paling utama dalam peristiwa absenya lagu kebangsaan Indonesia Raya di sidang paripurna. Karena hanya akan memunculkan pemakluman-pemakluman yang bernada

“manusiawi”

dan

kemudian

dimaklumi

dan

dilupakan.Kalaupun

diketahui ternyata Ketua DPR atau Sekjen DPR yang menjadi pihak yang bertanggungjawab tetap saja tidak menghilangkan cermin makin lunturnya kesadaran kebangsaan kita.Pihak yang mengetahui kesalahan tetapi tidak memberitahukan juga seharusnya ikut bertanggungjawab.Atau jangan-jangan kita pun sebenarnya juga sering melakukan hal yang serupa,hanya saja tidak terekspose di media.Insiden tersebut bercerita lebih banyak dari sekedar cerita lupa menyanyikan lagu kebangsaan.Melainkan mencerminkan pemaknaan kita akan arti sejarah lahirnya bangsa merdeka.Tentang sebuah bangsa yang mulai pikun akan nasionalismenya. Semua tahu bahwa peristiwa ini sangatlah fatal.Bagaimana bisa lagu kebangsaan terlupakan dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh eksekutif dan legislatif. Padahal ini bukanlah sidang DPR untuk pertama kalinya,bukan pula sidang yang berbeda dengan sidang yang pernah ada.Padahal sesuai dengan UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan dinyatakan bahwa lagu kebangsaan wajib dinyanyikan a.untuk menghormati Presiden dan/atau Wakil Presiden; b.untuk menghormati Bendera Negara pada waktu pengibaran atau penurunan Bendera Negara yang diadakan dalam

upacara;

c.dalam

acara

resmi

yang

diselenggarakan

oleh

pemerintah,d.dalam acara pembukaan sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan

Daerah;

e.untuk

menghormati

kepala

negara

atau

kepala

pemerintahan negara sahabat dalam kunjungan resmi; f. dalam acara atau kegiatan olahraga internasional; dan g.dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan,

teknologi,

dan

seni

internasional

yang

diselenggarakan

di

Indonesia.Bagaimana

bisa

terlupakan,bukankah

undang-undang

itu

baru

disahkan oleh DPR?.Agak kontras ketika anggota dewan tidak pernah lupa jika ada pembagian gaji,insentif ataupun fasilitas-fasilitas yang disediakan melalui uang rakyat. Fenomena tersebut menunjukkan dua hal. Pertama,lemahnya koordinasi atau saling kontrol antara Sekjen DPR,protokol dan DPR.Kedua,menunjukkan sisi yang lebih mengkawatirkan bahwa tanda-tanda semakin lemahnya semangat keindonesiaan tidak hanya hinggap pada rakyat jelata,tetapi juga pada wakil rakyat itu sendiri.Soal lemahnya kordinasi tampak ketika tidak adanya inisiatif dari

protokol

maupun

pimpinan

sidang

paripurna

untuk

saling

mengingatkan.Sangat keterlaluan ketika Sekjen DPR lalai memasukkan acara menyanyikan lagu kebangsaan dalam sebuah acara kenegaraan.Namun,lebih keterlaluan jika tidak ada yang mengingatkannya sejak awal kesalahan itu terjadi. Semangat kebangsaan yang mulai meluntur juga bisa melatarbelakangi peristiwa

tersebut.

nasionalisme

Jamak

kita

ketahui

formalistik,banal,seremonial

bahwa dan

nasionalisme

temporer.Jika

kita

adalah

dahulu,semasa

perjuangan kita menaikkan bendera merah putih artinya kita berani mati demi kemerdekaan.Hari ini ketika menaikkan bendera,kita berani dan siap untuk sekedar ikut lomba.Lagu kebangsaan yang berkumandang,hingar bingar bendera yang menyesaki jalan hanya simbol,tidak lebih. Nasionalisme berhenti sebagai nasionalisme temporer,Artinya,rasa cinta bangsa muncul dan dimunculkan hanya pada

momen

tertentu

saat

kita

membutuhkannya.Lihatlah

pertandingan

olahraga,upacara bendera,acara-acara kebangsaan,hari-hari bersejarah.Setelah itu,nasionalisme hanyut dan tenggelam dalam rutinitas hidup yang semakin pragmatis. Hari ini mengibarkan bendera,bersorak-sorai teriak merdeka,esok hari korupsi jalan lagi,pengundulan hutan aktif lagi,penghisapan manusia atas manusia berputar tak berhenti. Nasionalisme menjelma menjadi cinta pada tanah dan airku sendiri,bukan tanah air kita. Cinta pada kepentingan kelompok kita saja,bukan kepentingan semua.Cinta pada seremonial,bukan substansi.Bagitu pula kita memaknai lagu kebangsaan hanya sekedar seremonial belaka. Padahal lagu itu pernah membuat buku kita merinding.Lagu ciptaan Wage Rudolf Soepratman, pertama kali diperkenalkan oleh sang penciptanya pada Kongres Pemoeda Indonesia, 26-28 Oktober 1928. Lagu yang terdiri atas tiga oktaf/bagian itu bukan hanya seperti

yang kita kenal sekarang, melainkan ada dua bagian bait lagu yang berisi jayalah bangsaku dan juga doa bagi negeri tercinta ini. Kongres yang menghasilkan Soempah Pemoeda itu bukan hanya sepakat atas tiga hal: mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia; bertanah air satu, tanah air Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, melainkan juga menjadikan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan bagi negeri yang akan merdeka itu.Sekali lagi,Indonesia Raya bukan hanya sebuah lagu,tapi juga saksi bahwa kita pernah punya memori kolektif tentang semangat persatuan dan kebangsaan. Sejenak kita keluar dari sidang paripurna.Melihat bagaimana generasi muda

kita

lupa

akan

lagu

kebangsaannya

dan

lebih

hafal

lagu-lagu

mancanegara.Indonesia Raya tercerabut dari akar sejarahnya dengan menjadi “lipstik” dari acara-acara formal.Nuansa formalistik dan seremonial terlihat dari penghayatan “yang penting ikut nyanyi” membuat kekhususan lagu kebangsaan tidak mendapat tempat yang berarti.Indonesia Raya kini tersandera dalam susunan acara-acara kenegaraan.Seolah-olah lagu itu hanya boleh dinyanyikan dalam

acara

yang

khusus.

Sudah

jarang

kita

mendengar

lagu

tersebut

dinyanyikan di ruang-ruang informal.Hal ini pula yang kemudian membuat Indonesia Raya semakin lekat dengan prosedural,formalistik dan seremonial. Melihat semua ini sudah sepantasnya kita tiap-tiap orang bercermin dengan bingkai kejujuran.Rasa cinta tanah air ada dalam sanubari tiap-tiap individu yang harus dipertanyakan ulang oleh masing-masing dari kita.Siapapun itu,apakah Sekjen DPR,ketua DPR,atau mungkin kita secara personal selayaknya mengajukan pertanyaan pada diri,sudahkah saya ber-nasionalisme.Proses bertanya itu akan menghasilkan refleksi dan aksi.Tiap orang pernah melakukan kesalahan memang tak dapat dipungkiri.Tetapi hal itu tidak semata-mata menjadi tameng dan pembenaran untuk menutup diri dan menghindar dari evaluasi diri.Cermin tidak pernah

berbohong,kecuali

kita

mengingkarinya.Bopeng-bopeng

wajah

pragmatisme,sukuisme,promordialisme tidaklah elok rupanya walau ditambal “bedak kepalsuan”. Bercermin juga sekaligus menggugat diri,ajang evaluasi apa yang

seharusnya

membutuhkan

dengan

apa

yang

pembuktian,aktualisasi

telah dan

dilakukan. tentunya

Nasionalisme

otomatis

selalu

mengandung

evaluasi. Bagi kita rakyat jelata,pudarnya nasionalisme juga tidak bisa diletakkan di luar diri kita. Bahwa memudarnya nasionalisme adalah karena faktor luar yang

tidak berkaitan dengan diri kita.Cinta pada tanah air adalah juga tanggung jawab tiap-tiap orang di republik. Nasionalisme indonesia terbentuk dan dibentuk oleh interaksi kita sebagai komunitas terbayang (imagine community).Soal bagaimana memaknai primordialisme, globalisasi,arus konsumerisme,disintegrasi.Jangan kita terus menuduh nasionalisme hilang karena penjajah sudah pergi sembari lupa pada musuh yang ada dalam diri sendiri. Artinya,pudarnya rasa kebangsaan juga adalah tanggung jawab kita bersama. Jika kita sebagai rakyat jelata yang terus menerus dituduh tidak punya rasa kebangsaan,justru kita sekarang menggugat elit-elit politik yang tidak lebih baik dari kita.Padahal salah satu cara meningkatkan nasionalisme dengan tata masyarakat yang berciri patronase,adalah teladan dari para pemimpin.Kita masyarakat

dipaksa

untuk

membayar

pajak,sementara

para

pejabat

dan

pengusaha lupa bahwa tunggakan pajaknya lebih besar dibanding seorang pedagang asongan.Kita dituntut mengamalkan pancasila,sembari pejabat lupa akan

baik

lima

anarki,sementara

sila-nya.

Kita

pemandangan

dituduh baku

sebagai hantam

kumpulan di

ruang

massa

yang

DPR

lebih

mencekam.Nasionalisme bukan soal mencari siapa yang bertanggungjawab,tetapi soal diri kita masing-masing.

Adi Surya Ketua DPC GMNI Sumedang Bidang Hukum dan HAM DPD KNPI Mahasiswa Kesejahteraan Sosial Fisip Unpad

Related Documents


More Documents from ""