HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH DI ERA OTONOMI DAERAH oleh: Riski Febria Nurita
A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kesatuan yang disebut dengan eenheidstaat , yaitu negara merdeka dan berdaulat yang pemerintahannya diatur oleh pemerintah pusat. Sistem pelaksanaan pemerintahan negara dapat dilaksanakan dengan cara sentralisasi. Dimana kedaulatan negara baik kedalam dan keluar, ditangani pemerintah pusat. Dalam konstitusi Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 4 ayat (1) dikatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UndangUndang Dasar , sehingga dalam pasal ini apabila kita tafsirkan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi di negara RI yaitu presiden kekuasaan yang tidak terbagi dan hanya ada satu pemerintah yang berdaulat sehingga jelas negara kita pada dasarnya menganut asas sentralisasi/sentralistik. Namun karena luasnya daerah-daerah di negara kita yang terbagi-bagi atas beberapa provinsi,kabupaten serta kota maka daerah-daerah tersebut memiliki pemerintahan daerah dengan maksud guna mempermudah kinerja pemerintah pusat terhadap daerahnya sehingga digunakanlah suatu asas yang dinamakan asas otonomi sesuai dengan yang diatur dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka dari itu pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya , kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat, sehingga dalam hal ini menimbulkan suatu hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah di daerah.
Hal mengenai Otonomi Daerah di Indonesia merupakan sesuatu yang menarik untuk kita cermati dan kita kaji , karena perjalanan untuk menuju ke arah otonomi daerah di Indonesia penuh dengan lika-liku dari awal kemerdekaan Indonesia hingga masa reformasi di Indonesia. Terhitung Undang-Undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia mengalami 8 kali pergantian dari awal kemerdekaan , masa orde baru hingga saat ini dan satu kali perubahan mengenai pemilihan kepala daerah. Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat kita lihat dalam 3 proses menurut bagir manan disebut dengan proses bukan sebagai asas diantaranya : 1.
Sentralisasi
yang
pada
pemerintahan
daerah
diwujudkan
dalam
lebih
diterapkannya dekonsentrasi dalam pemerintahan daerah dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.[1] 2. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan Republik Indonesia.[2] Pada prinsipnya , kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu , arus dinamika kekuasaan
akan bergerak sebaliknya , yaitu dari pusat ke daerah.[3] Maka otonomi hanya salah satu bentuk desentralisasi. Otonomi juga diartikan sebagai sesuatu yang bermakna kebebasan
atau
kemandirian
(zelfstandigheid)
tetapi
bukan
kemerdekaan
(Onafhankelijkheid). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.[4] Persoalan lain yang muncul dalam otonomi adalah berkaitan dengan urusan daerah yang dapat diatur dan diselenggarakan oleh daerah yang bersangkutan . Artinya urusan daerah yang bagaimanakah yang dapat diatur dan diselenggarakan berdasarkan kepentingan dan aspirasi masyarakat daerah , hal inilah yang menimbulkan lahirnya berbagai jenis otonomi. Dalam kepustakaan terdapat beberapa jenis otonomi yaitu :[5] (1) otonomi materiil, mengandung arti bahwa urusan yang diserahkan menjadi urusan rumah tangga diperinci secara tegas , pasti dan diberi batas-batas (limitative), zakelijk dan dalam praktiknya penyerahan ini dilakukan dalam UU pembentukan Daerah yang bersangkutan. (2) otonomi formal, urusan yang diserahkan tidak dibatasi dan tidak zakelijk. Batasnya ialah, bahwa Daerah tidak boleh mengatur urusan yang telah diatur oleh undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Selain itu , pengaturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum. (3) otonomi riil, merupakan kombinasi atau campuran otonomi materiil dan otonomi formal. Di dalam undang-undang pembentukan Daerah , pemerintah pusat menentukan urusan-urusan yang dijadikan pangkal untuk mengetur dan mengurus rumah tangga Daerah. Penyerahan ini merupakan otonomi riil. Kemudian setiap waktu Daerah dapat meminta tambahan urusan kepada Pemerintah Pusat untuk dijadikan urusan rumah tangganya sesuai dengan kesanggupan dan kemampuan
Daerah. Penambahan urusan pemerintahan kepada daerah dilakukan dengan UU penyerahan masing-masing urusan. 3. Medebewind atau Tugas Pembantuan , adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melakukan tugas tertentu.[6] Pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan dalam satuansatuan
teritorial
yang
lebih
kecil
dapat
diwujudkan
dalam
bentuk-bentuk
dekonsentrasi teritorial,satuan otonomi teritorial, dan federal. Selain bentuk-bentuk utama di atas, ada beberapa cara yang lebih longgar seperti konfederasi atau Uni. Tetapi dua bentuk terakhir ini dapat disebut sebagai suatu pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan karena tidak diikuti dengan pembagian kekuasaan atau wewenang. masing-masing tetap secara penuh menjalankan kekuasaan sebagai negara. Dari bentuk-bentuk utama pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan di atas , akan dijumpai paling kurang tiga bentuk hubungan antara pusat dan daerah. Pertama , hubungan pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial. Kedua, hubungan pusat dan daerah menurut dasar otonomi teritorial. Ketiga, hubungan pusat dan daerah menurut dasar federal. [7] Selain perbedaan, ada persamaan persoalan hubungan-hubungan pusat dan daerah dalam ketiga bentuk tersebut , terutama hubungan pusat dan daerah menurut dasar otonomi teritorial dan hubungan pusat dan daerah menurut dasar federal.
Perbedaanya,dasar
hubungan
pusat
dan
daerah
menurut
dasar
dekonsentrasi teritorial, bukan merupakan hubungan antara dua subjek hukum
(publiek rechtspersoon) yang masing-masing mandiri. Satuan pemerintahan teritorial dekonsentrasi tidak mempunyai wewenang mandiri. Satuan teritorial dekonsentrasi merupakan satu kesatuan wewenang dengan departemen atau kementerian yang bersangkutan. Sifat wewenang satuan pemerintahan teritorial dekonsentrasi adalah delegasi atau mandat. Tidak ada wewenang yang berdasarkan atribusi. [8] Urusan pemerintahan yang dilakukan satuan pemerintahan teritorial dekonsentrasi adalah urusan pusat di daerah. Persamaannya, baik dekonsentrasi maupun
otonomi,
sama-sama
bersifat
administratiefrechtelijk,bukan
staatsrechtelijk.[9] Mengenai hubungan satuan federal dengan negara bagian sangat beraneka ragam. Tergantung sistem federal yang dijalankan. Tetapi ada satu persamaan dasar pada semua negara federal. Hubungan antara satuan federal dengan negara bagian merupakan hubungan kenegaraan. Tidak hanya mengenai fungsi penyelenggaraan administrasi negara. Hubungan itu meliputi juga di bidang kekuasaan kehakiman dan pembentukan undang-undang. Ada pula sistem federal yang menyediakan hal-hal yang terbuka dan dapat diselenggarakan federal atau negara bagian (concurrent power). Sedangkan hubungan pemerintah pusat dan daerah atas dasar otonomi teritorial, dimana otonomi teritorial merupakan konsep dalam negara kesatuan. Satuan otonomi teritorial merupakan suatu satuan mandiri dalam lingkungan negara kesatuan yang berhak melakukan tindakan hukum sebagai subjek hukum untuk mengatur dan mengurus fungsi pemerintahan (administrasi negara) yang menjadi urusan rumah tangganya. Jadi, hubungan pusat dan daerah atas dasar otonomi teritorial memiliki kesamaan dengan hubungan pusat dan daerah atas dasar federal yaitu hubungan antara dua subjek hukm yang masing-masing berdiri sendiri. Perbedaannya, dalam otonomi teritorial , pada dasarnya seluruh fungsi kenegaraan
dan pemerintahan ada dalam lingkungan pemerintah pusat yang kemudian dipencarkan kepada satuan-satuan otonomi . Pemencaran ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :[10] Pertama, undang-undang menetapkan secara tegas berbagai fungsi pemerintahan (administrasi negara) sebagai urusan rumah tangga daerah. Cara-cara ini mirip dengan cara-cara dalam sistem federal yang merinci kekuasaan negara bagian. Kedua, pusat dari waktu ke waktu menyerahkan berbagai urusan baru kepada satuan otonomi. Ketiga, pusat mengakui urusan-urusan pemerintahan tertentu yang “diciptakan” atau yang kemudian diatur dan diurus satuan otonomi baik karena tidak diatur dan diurus pusat maupun atas dasar semacam concurrent power. Keempat, membiarkan suatu urusan yang secara tradisional atau sejak semula dikenali sebagai fungsi pemerintahan yang diatur dan diurus satuan satuan otonomi. Cara-cara penentuan urusan rumah tangga satuan otonomi ini akan menentukan suatu otonomi bersifat luas atau terbatas. Memperhatikan hal tersebut diatas maka perlu kita analisa mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di era otonomi daerah ini , agar kita mengetahui apakah hubungan yang terjadi diantara keduanya merupakan hubungan yang seimbang sesuai pilihan penyelenggaran pemerintahan berdasar atas otonomi ataukah dekonsentrasi. Mengingat di negara Indonesia telah terjadi delapan kali pergantian UU pemerintahan Daerah diantaranya : [11]
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1945 UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1948 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1957 UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1959
UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 1965 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1974 UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004
B. Rumusan Masalah Oleh karena latar belakang tersebut diatas maka penulis dapat menarik beberapa rumusan masalah diantaranya : 1. Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Era Otonomi Daerah serta problematikanya?
C. Pembahasan C.1 Pemerintahan Daerah Dalam UUD Republik Indonesia Tahun 1945 Terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam pasal 18 UUD 1945 telah diatur pembagian wilayah negara kesatuan RI menjadi daerah provinsi yang kemudian dibagi lagi menjadi daerah kabupaten/kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Ketentuan tersebut merupakan amandemen kedua yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Sebelum amandemen ketentuan pasal 18 UUD 1945 sangat simple , yakni berbunyi : “ Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil , dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang , dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratn dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.[12] Ketika MPR melakukan amandemen Pasal 18 UUD 1945 dilakukan pengaturan secara komprehensif , yakni disamping mengubah redaksi pasal juga dilakukan
penambahan
ayat-ayat
dan
pasal-pasal
baru
berkaitan
dengan
pemerintahan daerah . Pasal 18 ditambah dengan 6 ayat baru sehingga menjadi 7 ayat yang antara lain mengatur masalah otonomi daerah dan tugas pembantuan , pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah yang dilakukan secara demokratis dan langsung oleh rakyat, serta kewenangan pemerintah daerah dalam membuat peraturan daerah dan peraturan lain dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Sedang penambahan pasal baru dilakukan dengan membuat pasal 18 A yang mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di bidang pemerintahan , keuangan , pelayanan umum dan pemanfaatan sumber daya alam. Sedang penambahan pasal 18 B isinya mengakui adanya satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa , serta mengakui eksistensi masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya. Kendati penambahan ayat dan pasal baru dalam Amandemen Pasal 18 UUD RI 1945 terkesan lebih teknis , tapi kiranya amandemen tersebut dapat dijadikan pedoman dan dasar peletakkan bagi reformasi pemerintahan daerah di Indonesia. Berdasarkan amandemen Pasal 18 UUD RI 1945 maka dilakukan reformasi terhadap sistem pemerintahan daerah di Indonesia , yakni dengan memberikan keleluasaan yang sangat besar kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri.[13] C.2 Pemerintahan Daerah Pada Orde Lama
Undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah pada era Orde Lama diantaranya : a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Merupakan undang-undang pertama RI yang mengatur sistem Desentralisasi , yang di dalamnya mengatur tiga jenis daerah di Indonesia , yaitu Karesidenan, Kabupaten dan Kota yang masing-masing berhak mengatur dan mengurus daerahnya sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 18 UUD RI 1945 .Namun undang-undang ini hanya diberlakukan dalam jangka waktu tiga tahun , karena undang-undang ini masih sangat sederhana dan banyak ahal-hal yang belum diatur secara rinci. Salah satunya banyak DPRD yang merupakan kelanjutan dari BPRD tidak
mengetahui
tugas
dan
wewenangnya
sehingga
menggangu
kinerja
pemerintahan di daerah. b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Membagi daerah di Indonesia menjadi tiga daerah otonom , yaitu Provinsi, Kabupaten (Kota Besar) dan Desa (Kota Kecil) . Sedangkan Karesidenan meskipun mempunyai DPRD tidak ditetapkan sebagai daerah otonom. Hal ini berbeda dari undang-undang sebelumnya. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 juga lebih detail dalam mengatur pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 2 Undang-Undang nomor 22 Tahun 1948 yang menyatakan bahwa : a. Pemerintah Daerah terdiri dari DPRD dan DPD b. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari Anggota DPRD c. Kepala Daerah menjabat Ketua dan Anggota DPD Dengan demikian maka yang memegang kekuasaan tertinggi di daerah adalah DPR dan DPD. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah menurut UU ini dijalankan berdasar pada hak otonomi dan hak pembantuan Ketika Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1948 diberlakukan terjadi penggantian UUD RI 1945 terkait perubahan bentuk pemerintahan , yaitu diganti dengan konstitusi RIS 1949 dan kemudian diubah lagi dengan UUD sementara 1950. Guna menyelesaikan dengan ketentuan yang baru tersebut maka undang-undang tentang Pemerintah Daerah pun kemudian diganti kembali. c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 Pembagian daerah-daerah oleh undang-undang ini dilakukan dengan menyebut tingkatannya , yaitu tingkat I dan tingkat II. Demikian pula penyebutan lembaga daerahnya (DPRD dan DPD) jika diikuti dengan tingkatan hal itu berrati mengacu pada tingkat daerah tersebut , yaitu daerah tingkat I meliputi daerah Provinsi , termasuk daerah Istimewa. Sedang daerah tingkat II adalah merupakan daerah kabupaten atau kotamadya. Apabila tidak disebutkan tingkatannya berarti daerah tersebut adalah daerah swatantra atau daerah istimewa. Beberapa karakteristik sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 adalah :[14] Pertama, otonomi yang diberikan bersifat otonomi riil. Artinya, banyak sedikitnya fungsi atau urusan yang diserahkan kepada daerah otonom didasarkan pada kepentingan dan kemampuan daerah bersangkutan. Kedua, pembagian daerah-daerah dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 agak berbelit-belit mengingat istilah daerah yang digunakan sebagai suatu istilah teknis yang berarti satuan organisasi yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Adapun pembagian daerah menurut Undang-Undang ini adalah Daerah Tingkat I setingkat Provinsi termasuk Kotapraja Jakarta Raya; Daerah Tingkat II setingkat kabupaten termasuk kotapraja; dan daerah tingkat III.
Ketiga, hubungan daerah dengan pusat atau hubungan antar daerah diatur sedemikian rupa sehingga tetap dalam kerangka Negara Kesatuan RI, yakni tidak boleh mengakibatkan rusaknya hubungan antara Negara dengan daerah atau antara daerah yang satu dengan lainnya. Keempat, organisasi pemerintah daerah tetap terdiri atas dua lembaga , yaitu DPRD selaku lembaga eksekutif , dan DPD. Hal menarik yang diatur dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1957 adalah kepala daerah dipilih oleh DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD. Kelima, kekuasaan , tugas dan wewenang DPRD dalam Undang-Undang ini semakin besar dan luas. Namun dengan kembalinya konstitusi RI pada UUD 1945 maka peraturan perundang-undangan sebelumnya yang mendasarkan pada konstitusi yang lama jelas tidak sesuai lagi. d. Penpres Nomor 6 Tahun 1959 Penpres ini menentukan bahwa kepala daerah adalah alat pemerintah pusat dan alat pemerintah daerah. Sebagai alat pemerintah pusat maka kepala daerah bertugas mengurus ketertiban dan keamanan umum di daerah;mengkoordinasikan antara jawatan pemerintah pusat di daerah dengan pemerintah daerah; melakukan pengawasan jalannya pemerintahan daerah; dan menjalankan kewenangan umum lainnya yang terletak dalam bidang urusan pemerintah pusat. Diatur pula dalam Penpres ini bahwa kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD , sehingga kepala daerah tidak diberhentikan oleh DPRD. Dengan demikian maka sistem pemerintahan daerah masih bersifat sentralistis karena semua masih diatur oleh pemerintah pusat. Hal agak menyimpang adalah bahwa kepala daerah karena jabatannya menjabat sebagai ketua DPRD , namun bukan sebagai Anggota.
Berbagai problematika penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut penpres ini kemudian dilakukan penyempurnaan dengan menerbitkan UndangUndang Nomor 18 Tahun 1965.
e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Beberapa hal baru mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, yaitu :[15] Pertama, pembagian daerah Indonesia dilakukan dalam tiga tingkatan , yaitu daerah Provinsi dan/atau Kota Raya sebagai daerah tingkat I ; daerah Kabupaten dan atau kotamadya sebagai daerah tingkat II ; dan daerah kecamatan dan/kotapraja sebagai daerah tingkat III. Ketiga kegiatan daerah tersebut berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kedua,
Dalam
undang-undang
mempertanggungjawabkan
pelaksanaan
ini
pimpinan
tugasnya
kepada
DPRD kepala
dalam daerah.
Ketentuan demikian jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan pembagian kekuasaan , dimana antara DPRD dan kepala daerah kedudukannya sederajad. Ketiga, Hampir semua kekuasaan, tugas dan kewajiban DPRD dilimpahkan kepada kepala daerah. C.3 Pemerintahan Daerah Pada Era Orde Baru – Saat ini a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Kebijakan pelaksanaan otonomi daerah selama pelaksanaan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah berjalan dengan dimensi yang amat berbeda dibandingkan dengan era sebelumnya.
Secara kontekstual , selama penerapan undang-undang tersebut, diperkenalkan dimensi baru menyangkut otonomi daerah , yaitu otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Sebagai undang-undang produk era baru , yang pada prinsipnya mengutamakan pembangunan ekonomi. Dimensi perundangan ini tidak bisa terlepas dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berasaskan trilogy pembangunan, yaitu : stabilitas yang makin mantap,pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya.[16] Pengaruh yang cukup signifikan dari trilogi pembangunan tersebut adalah pelaksanaan otonomi yang diarahkan untuk terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah, yang cirri-cirinya meliputi :[17] a. Konsentrasi kekuasaan ada di lembaga eksekutif (kepala daerah) b. Ditutupnya akses parpol dalam pemerintahan daerah, dihapusnya BPH (Badan Pemerintahan Harian) sebagai perwakilan parpol di dalam pemerintahan daerah (versi UU No.1 Tahun 1957). c. Tidak dilakukannya hak equate (angket) DPRD yang dapat mengganggu keutuhan kepala daerah. d. Kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD , tetapi secara hierarki kepada presiden. e. Kepala daerah hanya memberikan keterangan kepada DPRD tentag pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan 1 (satu) tahun sekali. Upaya lain yang dilakukan Pemerintah Orde Baru untuk memperkuat posisi kekuasaannya adalah memberikan peran dan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif di daerah (dalam hal ini kepala daerah) . Hal itu
ditandai dengan pemberian sebutan kepala daerah sebagai “penguasa tunggal” di daerah. Tidak mengherankan jika kedudukan kepala daerah pada waktu itu sangat sentral dan dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kepala daerah merupakan boneka atau kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat (Presiden) untuk mengamankan setiap kebijakan pemerintah di daerah.[18] Selama pelaksanaan undang-undang tersebut , berkembangnya tuntutan otonomi daerah secara nyata tidak terlepas dari kenyataan ketimpangan antar daerah yang telah berlangsung lama , setidaknya terdapat lima kesenjangan yang kronis :[19]
1. Kesenjangan pendapatan antar daerah yang besar 2. Kesenjangan investasi daerah yang besar 3. Pemusatan industri akibat dari kebijakan investasi dan birokrasi serta infrastruktur yang terpusat 4. Pendapatan daerah dikuasai pusat 5. Net Negative Transfer yang besar .Salah satu yang mendorong melebarnya kesenjangan regional adanya ketimpangan alokasi kredit. Implikasi dari dominasi kekuasaan lebih berat pada Pemerintah pusat dan kepemimpinan di daerah yang berorientasi ke atas (pusat) menyebabkan rakyat berada pada posisi yang lemah (strong state and weak society), di mana nilai-nilai kedaulatan rakyat mengalami pengikisaan akibat kuatnya kekuasaan pemerintah yang tercermin dalam struktur kekuasaan dan garis kepemimpinan sampai ke daerah .
Dengan konsep otonomi yang demikian , Pemerintah Daerah pada dasarnya bukan sebuah “institusi otonom” yang bisa menjadi saluran bagi aspirasi rakyat, melainkan wakil Pemerintah Pusat di daerah. Penggabungan konsep desentralisasi bersama-sama dengan konsep dekonsentrasi yang lebih menonjol , menjadikan otonomi yang dikembangkan adalah manipulasi demokrasi, atau sentralisme yang terbungkus demokrasi atau sentralisme yang dikemas dengan dekonsentrasi.[20] b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
KONSEP DASAR UU NOMOR 22 TAHUN 1999[21] 1. Membesarnya kewenangan dan tanggungjawab daerah otonom 2. Keleluasan daerah untuk mengatur/mengurus kewenangan semua bidang pemerintahan kecuali enam kewenangan 3. Kewenangan yang utuh dalam perencanaan,pelaksanaan,pengawasan,dan pengendalian 4.
Pemberdayaan
masyarakat,tumbuhnya
prakarsa,inisiatif,meningkatnya peran masyarakat dan legislatif
Banyak hal baru yang diakomodasi oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, salah satunya adalah pemisahan antara lembaga legislatif dan eksekutif di daerah dalam bentuk susunan pemerinthan daerah. Sebelumnya kedua lembaga tersebut merupakan satu kesatuan yang disebut pemerintah daerah. Menyertai pemisahan kedua lembaga tersebut maka kepada DPRD diberikan tugas, hak dan wewenang yang sangat luas dan bernuansa parlementarian. Misalnya, hak DPRD untuk meminta pertanggungjawaban kepala daerah atas suatu kasus. Di samping itu kepada kepala daerah diberi kewajiban untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran. Ketentuan tersebut membuka peluang
terjadinya penolakan oleh DPRD yang dapat berujung pada upaya pemberhentian (empeachtment) terhadap kepala daerah.[22] Mengenai kewenangan daerah otonom menurut pasal 7 ayat 1 dan 2 Bab IV UU Nomor 22 Tahun 1999, mencakup urusan dalam seluruh bidang Pemerintahan , kecuali urusan yang telah ditetapkan sebagai urusan negara, yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, yaitu urusan : a. Bidang politik luar negeri; b. Bidang pertahanan keamanan; c. Bidang Peradilan; d. Bidang moneter dan fiskal; e. Bidang agama; f. Kewenangan (urusan) bidang lain. Kewenangan /urusan yang disebutkan setelah kata kecuali dan kewenangan / urusan bidang lain , tersebut di atas merupakan kewenangan / urusan negara yang tidak dibagikan kepada daerah otonom , dan tetap diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, namun pelaksanaannya bisa dilimpahkan kepada Gubernur Provinsi , yang merupakan wakil Pemerintah Pusat di wilayah Administrasi Provinsi. Ketentuan tentang urusan daerah (otonom) tersebut berbeda dengan ketentuan urusan daerah (otonom) menurut undang-undang sebelumnya , yang disebut nyata dan bertanggungjawab, karena dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa urusan daerah disebut dengan katagori otonomi daerah secraa utuh pada daerah kabupaten dan daerah kota , dan otonomi terbatas pada daerah provinsi, tetapi dengan sebutan yang sama yaitu otonomi yang luas,nyata, dan bertanggungjawab. c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Ternyata Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,menimbulkan dampak negatif,yakni munculnya arogansi beberapa dearah , sehingga terkesan terjdi “pembangkangan” di beberapa daerah. Demikian pula dominasi peran DPRD atas kepala daerah yang mempunyai kewenangan memberhentikan kepala daerah dengan alasan pertanggungjawaban tahunannya tida diterima oleh DPRD menjadikan hubungan antara kepala daerah dengan DPRD di beberapa daerah menjadi tidak harmonis. Berikut perbedaan antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 :[23]
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 -
DPRD
Berkedudukan
sejajar
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
dan - DPRD berkedudukan sebagai unsur
menjadi
penyelenggara pemerintahan daerah
mitra Pemerintah Daerah
- Pemerintahan Daerah terdiri dari
- Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah
Provinsi,Kepala
Kabupaten,Kepala
Daerah
Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD
Daerah Provinsi, Pemerintahan Kab/Kota terdiri Kota
dan dari Pemerintah dan DPRD Kab/Kota
perangkat daerah lainnya
- Desentralisasi dilaksanakan bersamaan
- Desentralisasi merupakan titik berat
dengan tugas pembantuan
otonomi daerah -
Otonomi
luas,nyata
Titik
berat
adalah
dan
Titik
berat
otonomi
pada
daerah kabupaten/kota
kabupaten/kota - Substansinya telah mengatur tentang pemerintahan daerah/desa
- Mengatur Pemerintahan Desa (ada pengakuan tentang otonomi desa) - DPRD berkedudukan sebagai unsur
- DPRD berkedudukan sebagai Lembaga penyelenggara Legislatif Daerah - Pemilihan kepala daerah melalui perwakilan (DPRD).
luas,nyata
dan bertanggungjawab
bertanggungjawab -
Otonomi
pemerintahan
daerah,
dan mitra pemerintah daerah - Pemilihan Kepala Daerah Langsung oleh
rakyat.
PERBANDINGAN ANTARA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004[24] NO .
DIMENSI PERBANDINGAN
UU NO. 22 TAHUN 1999
UU NO. 32 TAHUN 2004
1
Dasar Filosofis
Keanekaragaman dalam kesatuan
Keanekaragaman dalam kesatuan
2
Pembagian satuan pemerintahan
Pendekatan besaran dan isi otonomi (size and content approach), ada daerah besar dan daerah kecil yang masing-masing mandiri, ada daerah dengan otonomi terbatas dan ada yang otonominya luas
Pendekatan besaran dan isi otonomi (size and content approach), dengan menekankan pada pembagian urusan yang berkeseimbangan berdasarkan asas eksternalitas,akuntabilitas,efisi ensi.
3
Fungsi utama pemerintahan daerah
Pemberi pelayanan masyarakat
Pemberi masyarakat
4
Penggunaan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah
Desentralisasi terbatas pada daerah provinsi, dan luas pada daerah kabupaten/kota;Dekonsen trasi terbatas pada kabupaten/kota dan luas pada provinsi;Tugas pembantuan yang berimbang pada semua tingkatan pemerintahan
Desentralisasi diatur berkeseimbangan antara daerah provinsi,kabupaten/kota; Dekonsentrasi terbatas pada kabupaten/kota dan luas pada provinsi; Tugas pembantuan yang berimbang pada semua tingkatan pemerintahan.
5
Pola otonomi
A-simetris
A-simetris
6
Model organisasi pemerintahan daerah
Local Democratic Model
Perpaduan antara Local Democratic Model dengan Structural Efficiency Model
pelayanan
7
Unsur pemerintah daerah
Kepala daerah dan Perangkat daerah
Kepala daerah dan Perangkat daerah
8
Mekanisme transfer kewenangan
Pengaturan dilakukan dengan pengakuan kewenangan ,isi kewenangan pemerintah pusat dan provinsi sebagai daerah otonom terbatas , sedang isi kewenangan daerah kabupaten/kota luas (General Competence Principle)
Tidak menggunakan pendekatan kewenangan melainkan pendekatan urusan yang didalamnya terkandung adanya aktivitas , hak, wewenang, kewajiban dan tanggung jawab.( General Competence Principle)
9
Unsur pemda Badan Legislatif Daerah yang memegang (Legislative Heavy) peranan dominan
Menggunakan prinsip check and balances antara pemda dengan DPRD
10
Pola pemberian dana/anggaran
Uang mengikuti fungsi (money follow function)
Uang mengikuti fungsi (money follow function)
11
Sistem kepegawaian
Sistem terpisah Mixed system, dengan (separated system) memadukan antara integrated system dengan separated system
12
Sistem pertanggung jawaban pemerintahan
Ke samping DPRD
13
Sistem Dikelola secara terpisah Dikelola secara terpisah untuk pengelolaan untuk masing-masing masing-masing asas keuangan antar asas asas pemerintahan
14
Kedudukan kecamatan
Sebagai lingkungan kerja Sebagai lingkungan perangkat daerah perangkat daerah
15
Kedudukan Camat
Sebagai daerah
16
Kedudukan desa
Relatif mandiri
17
Pertanggungjawa ban kepala desa
Kepada BPD
kepada Kepada konstituen : Pusat Laporan DPRD Keterangan Rakyat Informasi
kerja
perangkat Sebagai perangkat daerah
rakyat
Relatif mandiri melalui Tidak diatur secara khusus dalam UU, diatur dalam perda berdasarkan PP
C.2 Hubungan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah di Era Otonomi Daerah Hubungan antara pusat dan daerah merupakan sesuatu yang banyak diperbincangkan, karena masalah tersebut dalam prakteknya sering menimbulkan upaya tarik-menarik kepentingan (spanning of interest) antara kedua satuan pemerintahan . Terlebih dalam negara kesatuan, upaya pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan pemerintahan sangat jelas sekali. Alasan menjaga kesatuan dan integritas negara merupakan salah satu alasan pemerintah pusat untuk senantiasa mendominasi pelaksanaan urusan pemerintahan dengan mengesampingkan peran dan hak pemerintah daerah untuk ikut terlibat langsung dan mandiri dalam rangka mengelola serta memperjuangkan kepentingan daerahnya. Dominasi pemerintah pusat atas urusan-urusan pemerintahan telah mengakibatkan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam negara kesatuan (eenheidstaat) menjadi tidak harmonis atau bahkan berada pada titik yang mengkhawatirkan sehingga timbul gagasan untuk mengubah negara kesatuan menjadi negara federal. Dengan perktaan lain, gagasan negara federal atau negara serikat dapat dipicu oleh sentralisasi pemerintahan yang dianggap berlebihan (a highly centralized government), di samping terdapat sebab lain seperti hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang dianggap kurang adil (soal prosentase) yng merugikan daerah.[25] Di dalam hubungan antara pusat dan daerah paling tidak ada empat faktor yang menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi yaitu hubungan kewenangan, hubungan keuangan,hubungan pengawasan,dan hubungan yang timbul dari susunan organisasi pemerintahan di daerah. a. Hubungan Kewenangan
Kewenangan berasal dari kata dasar “wewenang” yang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.Atau kekuasaan adalah kemampuan untuk melaksanakan kehendak. Dalam hukum, wewenang sekaligus hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitannya dengan otonomi daerah,hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (selfregelen) dan mengelola sendiri (self besturen). Sedangkan kewajiban mempunyai dua pengertian yakni horizontal dan vertikal. Secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Dan wewenang dalam pengertian vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan pemerintah negara secara keseluruhan.[26] Desentralisasi yang dianut dalam konsep negara kesatuan pada akhirnya juga akan mempengaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah , khususnya yang berkaitan dengan distribusi kewenangan pengaturan atas urusanurusan pemerintahan. Oleh karena itu, adanya satuan pemerintahan yang berlapislapis maupun bertingkat tujuannya antara lain adalah untuk mencegah dominasi kewenangan pemerintah yang lebih tinggi.[27] Dalam negara kesatuan , semua kekuasaan pemerintahan ada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat dapat mendelegasikan kekuasaannya kepada unit-unit konstituen tetapi apa yang didelegasikan itu mungkin juga ditarik kembali. Sejalan dengan pendapat tersebut, wolhof juga menyatakan bahwa dalam negara kesatuan pada asasnya kekuasaan seluruhnya dimiliki oleh pemerintah pusat. Artinya, peraturan-peraturan pemerintah pusatlah yang menentukan bentuk dan susunan pemerintahan daerah otonom, termasuk macam dan luasnya otonomi menurut inisiatifnya sendiri. Daerah otonom juga turut mengatur dan mengurus hal-
hal sentral (medebewind) ,pemerintah pusat tetap mengendalikan kekuasaan pengawasan terhadap daerah-daerah otonom tersebut. Pendapat lain dikemukakan oleh Clarke dan Stewart , mereka melihat bahwa terdapat tiga model hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yaitu model otonomi relatif, model agen, model interaksi. Model relatif, model ini memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah , dan pada saat yang sama tidak mengingkari realitas negara bangsa. Penekanannya adalah dengan memberikan kebebasan bertindak pada pemerintah daerah dalam kerangka kerja kekuasaan dan kewajiban yang telah ditentukan. Hubungan pemerintah pusat dan
pemerintah
daerah
oleh
karenannya
ditentukan
oleh
perundang-
undangan.Pengawasan dibatasi. Pemerintah daerah meningkatkan kebanyakan dari penghasilannya melalui pajak langsung. Dalam model otonomi relatif pemerintah daerah dapat membuat kebijakan yang dibagi dengan pemerintah pusat atau yang berada dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Model Agensi, ini adalah model pemerintahan daerah yang dilihat terutama sebagai agen pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat. Hal ini diyakinkan melalui spesifikasi
yang
terperinci
dalam
peraturan,perkembangan
peraturan
dan
pengawasan. Model Interaksi, dalam model ini sulit ditentukan ruang lingkup kegiatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah , karena mereka terlibat dalam pola hubungan
yang
rumit,
yang
penekanannya
ada
pada
pengaruh
yang
menguntungkan saja. Hubungan kewenangan, antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menetukan urusan rumah tangga daerah. Cara penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau
otonomi luas. Dapat digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila: Pertama; urusan-urusan
rumah
tangga
daerah
ditentukan
secara
katagoris
dan
pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula. Kedua; apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa , sehingga daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.Ketiga; sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.[28] Berikut kewenangan/urusan daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah : Pasal 7 ayat (1) : (1)
Kewenangan
daerah
mencakup
kewenangan
dalam
seluruh
bidang
pemerintahan, kecuali
kewenangan
dalam
bidang
politik
luar
negeri,pertahanan
keamanan,peradilan,moneter dan fiskal,agama, serta kewenangan bidang lain.
(2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan,sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. Sedangkan kewenangan/urusandaerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah :
Pasal 10 ayat (1) : (1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusn pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. politik luar negeri ; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi ; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam melakukan pendistribusian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah, membedakan urusan yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilakukan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dengan demikian, setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada provinsi dan juga ada urusan pemerintahan yang diserahkan kepada kabupaten/kota.
b. Hubungan Pengawasan Pengertian
pengawasan
oleh
Bagir
Manan
yaitu
“Pengawasan
(toezicht,supervision) adalah suatu bentuk hubungan dengan legal entity yang mandiri, bukan hubungan internal dari entitas yang sama. Bentuk dan isi
pengawasan dilakukan semata-mata menurut atau berdasarkan ketentuan undangundang. Hubungan pengawasan hanya dilakukan terhadap hal yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang . Pengawasan tidak berlaku atau tidak diterapkan terhadap hal yang tidak ditentukan atau berdasarkan undang-undang.[29] Sistem pengawasan juga menentukan kemandirian satuan otonomi. Untuk menghindari
agar
pengawasan
pengawasan
ditentukan
secara
tidak
melemahkan
spesifik
baik
otonomi,
lingkup
maka
maupun
tata
sistem cara
pelaksanaannya. Karena itu hal-hal seperti memberlakukan prinsip “pengawasan umum” pada satuan otonomi dapat mempengaruhi dan membatasi kemandirian daerah. Makin banyak dan intensif pengawasan makin sempit kemandirian makin terbatas otonom. Sebaliknya,tidak boleh ada sistem otonomi yang sama sekali meniadakan pengawasan. Kebebasan berotonomi dan pengawasan merupakan dua sisi dari satu lembaran
dalam
berotonomi
untuk
menjaga
keseimbangan
bandul
antara
kecenderungan desentralisasi dan sentralisasi yang dapat berayun berlebihan. [30] Macam atau jenis pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sungguh sangat beragam, tergantung sudut pandang mana yang digunakan. Demikian halnya, lembaga atau institusi yang melakukan pengawasan, maka tidak mustahil akan terjadi tumpang tindih atau tidak berkaburan dalam peran dan fungsi pengawasan di lapangan. Berikut ini klasifikasi macam ruang lingkup pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah : 1. Pengawasan dari segi Institusi (Lembaga) Ada dua macam pengawasan pada segi ini, yaitu pengawasan internal dan pengawasan eksternal. Pengawasan internal adalah pengawasan yang dilakukan
oleh aparat dalam organisasi pemerintah itu sendiri. Contoh : Inspektorat Wilayah Propinsi, Inspektorat Wilayah Kabupaten, Inspektorat Wilayah Kota. Pengawasan eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengawas yang sama sekali berada di luar organisasi atau birokrasi pemerintah. Contoh : Pengawasan aspek politik oleh DPR-DPRD, Pengawasan aspek keuangan oleh BPK, Pengawasan aspek hukum oleh lembaga Peradilan, Pengawasan aspek sosial oleh Institusi Pers,Organisasi kemasyarakatan,LSM dll, Pengawasan aspek etik oleh Komisi Ombudsman Nasional. 2. Pengawasan dari segi substansi atau objek yang diawasi Dari segi substansi maupun objeknya , pengawasan dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan secara pribadi
oleh
pemimpin
atau
pengawas
dengan
mengamati,meneliti,memeriksa,mengecek sendiri secara “on the spot” ditempat pekerjaan terhadap objek yang diawasi. Jenis pengawasan semacam ini sering disebut pula dengan sidak. Sedang pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari laporan-laporan yang diterima baik lisan maupun tertulis, mempelajari masukan masyarakat dan sebagainya tanpa terjun langsung di lapang. Objek yang diawasi dalam jenis pengawasan ini adalah pengawasan terhadap semua urusan pemerintahan (daerah) yang telah menjadi kewenangannya. Misal berdasar UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah pengawasan pada bidang lingkungan
hidup,pariwisata,pendidikan,kesehatan,pemerintahan
dsb.
Sifat
pengawasannya bisa menyangkut soal administratifnya, dari segi legalitas hukumnya, maupun dari pertimbangan kemanfaatannya. 3. Pengawasan dari Segi Waktu
Pengawasan dari segi waktu dapat dibedakan ke dalam pengawasan preventif
(kontrol
a-priori)
dan
pengawasan
represif
(kontrol
a-posteriori).
Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum pelaksanaan (masih bersifat rencana) atau sebelum dikeluarkannya kebijakan pemerintah (baik berupa peraturan maupun ketetapan). Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan dilaksanakan atau setelah peraturan atau ketetapan pemerintah dikeluarkan. 4. Pengawasan Lintas Sektoral Pengawasan Lintas sektoral adalah pengawasan yang dilakukan secara bersama-sama oleh dua atau lebih perangkat pengawasan terhadap programprogram dan kegiatan pembangunan yang bersifat multi sektoral yang menjadi tanggungjawab semua departemen atau lembaga yang terlibat dalam program atau kegiatan tersebut. c. Hubungan Keuangan Hubungan keuangan pusat dan daerah dilakukan sejalan dengan prinsip Perimbangan
keuangan
antara
pemerintah
pusat
dan
pemerintah
daerah
sebagaimana yang telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah merupakan subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara pemerintah dan pemerintah daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah merupakan bagian pengaturan yang tidak terpisahkan dari sistem keuangan negara dan dimaksudkan untuk mengatur sistem pendanaan atas kewenangan pemerintahan yang diserahkan, dilimpahkan,dan ditugasbantukan kepada daerah.[31]
Hubungan keuangan pusat dan daerah dalam rangka otonomi daerah dilakukan dengan memberikan kebebasan kepada daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan. UU Nomor 33 Tahun 2004 telah menetapkan dasar-dasar pendanaan pemerintahan daerah sebagai berikut. Sesuai dengan pasal 4 UU Nomor 33 Tahun 2004, penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didanai APBD. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi didanai APBN. Berikut beberapa hal yang diatur dalam Perimbangan keuangan pusat dan daerah : 1. Pajak Daerah Adalah, iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. 2. Retribusi Daerah Adalah, pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disesiakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. 3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Adalah, pajak yang dikenakan atas bumi dan atau bangunan. Pembagian hasilnya dibagi dengan imbalan 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk daerah. Dibagi dengan rincian sebagai berikut : 1. 16,2% untuk daerah provinsi yang bersangkutan 2. 64,8% untuk kabupaten/kota yang bersangkutan
3. 9% untuk biaya pemungutan Selanjutnya 10% penerimaan PBB sebagai bagian pemerintah pusat. Alokasi untuk kabupaten dan kota sebesar 10% bagian pemerintah pusat di atas dibagi dengan rincian sebagai berikut. 1. 6,5% dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota. Pembagian ini dimaksudkan dalam rangka pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. 2. 3,5% dibagikan secara intensif kepada kabupaten/kota 4. Dana Alokasi Umum (DAU) Adalah,dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU dialokasikan untuk
provinsi,kabupaten/kota.
Misal:
Pendidikan,Kesehatan,Irigasi,Jalan
dan
prasarana umum,Pertanian,Kelautan dll. 5. Dana Alokasi Khusus Adalah, dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.Misal: Bidang kesehatan,Bidang Pendidikan,Bidang Infrastruktur. d. Hubungan Pusat dan Daerah Serta Susunan Organisasi Pemerintahan di Daerah Banyaknya kantor-kantor pusat di daerah sangat mempengaruhi kemandirian otonomi. Pembentukan kantor pusat di daerah (Kanwil/Kandep) berkembang pesat selama UU Nomor 5 Tahun 1974 berlaku. Kantor-kantor ini menimbulkan dualism pemerintahan di daerah. Selain itu pemerintahan menjadi tidak efisien karena trelalu banyak koordinasi yang harus dilakukan. Apalagi diadakan pula urusan pusat dalam
lingkungan satuan pemerintahan otonomi,seperti direktorat sosial politik di propinsi,kabupaten,dan kota. Kepala daerah merangkap sebagai kepala wilayah. Untuk lebih menjamin kemandirian daerah,kantor-kantor pusat di daerah dapat di serahkan pelaksanaannya kepada satuan pemerintahan otonomi melalui tugas pembantuan.[32] Namun pada saat itu dengan lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 penghapusan Kanwil/Kandep merupakan suatu kemestian,karena semua fungsinya menjadi urusan rumah tangga daerah. Tetapi tidak berarti setiap Kanwil atau Kandep akan menjadi dinas daerah. Pada tingkat propinsi,pada dasarnya Kanwil mesti dibubarkan mengingat berbagai urusan tersebut menjadi urusan kabupaten atau kota, bukan urusan propinsi. Di tingkat kabupaten atau kota, mungkin dibentuk dinas baru , digabung atau dihapus. Semuanya diukur dari efisiensi dan produktifitas organisasi agar fungsi pelayanan terhadap masyarakat dapat terlaksana dengan baik. C.3 Problematika Hubungan Pusat dan Daerah di Era Otonomi Daerah Pelaksanaan otonomi daerah bukannya meningkatkannya kesejahteraan masyarakat dari segi ekonomi (finansal) dan pelayanan publik tapi sebaliknya wabah korupsi yang merajai hampir sebagian besar pemerintah daerah. Korupsi menjadi sisi gelap dari pelaksanaan otonomi daerah selama beberapa tahun perjalanannya . Hebatnya korupsi di daerah dilakukan secara serentak dan bersama-sama yang melibatkan hampir semua elit local dengan menggerogoti APBD,DAU,DAK. Korupsi telah menghancurkan ekspektasi masyarakat yang begitu besar terhadap otonomi daerah yang bisa melahirkan berkah bukan musibah. Sepanjang pelaksanaan otonomi daerah sampai penghujung tahun 2010 kasus-kasus korupsi serentak mewarnai perjalanan otonomi daerah . Dalam Tahun
2004-2010 ada sebanyak 147 kepala daerah tersangkut kasus korupsi , 18 gubernur,17 walikota, 84 Bupati,1 Wakil Gubernur , 19 wakil bupati. Dengan estimasi total kerugian negara mencapai Rp.4.814.248.597.729.[33] Hal ini membuktikan lemahnya fungsi pengawasan dan etika dari para elit di daerah. Demikian juga dengan daerah pemekaran sebagai buah dari otonomi daerah tidak mampu mensejahterakan masyarakat. Hampir semua daerah pemekaran boleh dikatakan stagnan dalam menjalankan roda pemerintahan. Tidak ada sesuatu yang berubah pasca pemekaran. Bahkan ada daerah pemekaran yang telah berusia lebih lima tahun tidak mampu berdiri sendiri dan masih terus disusui pemerintah pusat lewat APBN. Ironinya kondisi pengawasan daerah saat ini masih adanya tumpang-tindih pelaksanaan pengawasan dari unsur internal maupun eksternal. Selain itu akses terhadap pengawasan sosial terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah , belum memiliki prosedur baku, dikaitkan dengan sistem kerahasiaan dokumen negara. Selain itu, tindak lanjut pengawasan oleh pemerintah daerah yang belum transparan, termasuk belum terdapatnya , pengaturan terhadap pemberian sanksi kepada pemerintahan daerah melakukan kesalahan terhadap masyarakat dalam melakukan pelayanan publik. Apalagi sistem koordinasi pengawasan antara aparatur , pengawasan,belum sepenuhnya sejalan dengan kebutuhan pengawasan yang dikehendaki masyarakat. Dengan melihat permasalahan dan sasaran pengawasan yang ingin dibangun maka diperlukan
strategi
penyusunan
sistem
perencanaan
pengawasan
yang
terintegrasikan antara pengawasan eksternal dan internal , penegakan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran penyelenggaraan pemerintahan, penyusunan regulasi
pengawasan
instansi
pemerintahan
daerah
,penyusunan
regulasi
tentang
memperoleh informasi pemerintahan oleh publik. D. KESIMPULAN 1. Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat kita lihat dalam 3 proses menurut bagir
manan
disebut
dengan
proses
bukan
sebagai
asas
diantaranya
sentralisasi,desentralisasi,tugas pembantuan, kaitannya dengan otonomi dalam kepustakaan dibagi menjadi 3 yaitu otonomi formil, otonomi materiil dan otonomi riil. 2.
Dari
bentuk-bentuk
utama
pemencaran
penyelenggaraan
negara
dan
pemerintahan, akan dijumpai paling kurang tiga bentuk hubungan antara pusat dan daerah. Pertama , hubungan pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial. Kedua, hubungan pusat dan daerah menurut dasar otonomi teritorial. Ketiga, hubungan pusat dan daerah menurut dasar federal. 3. Di dalam hubungan antara pusat dan daerah paling tidak ada empat faktor yang menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi yaitu hubungan kewenangan, hubungan keuangan,hubungan pengawasan,dan hubungan yang timbul dari susunan organisasi pemerintahan di daerah. 4. Pelaksanaan otonomi daerah bukannya meningkatkannya kesejahteraan masyarakat dari segi ekonomi (finansal) dan pelayanan publik tapi sebaliknya wabah korupsi yang merajai hampir sebagian besar pemerintah daerah. Korupsi menjadi sisi gelap dari pelaksanaan otonomi daerah selama beberapa tahun perjalanannya . Hebatnya korupsi di daerah dilakukan secara serentak dan bersama-sama yang melibatkan hampir semua elit local dengan menggerogoti APBD,DAU,DAK. Korupsi telah
menghancurkan ekspektasi masyarakat yang begitu besar terhadap otonomi daerah yang bisa melahirkan berkah bukan musibah.
DAFTAR PUSTAKA Buku : 1. Jimly Asshidiqie,Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI,2004 2. Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan Keuangan
Antara Pusat dan Daerah ,Yogyakarta:UII Press,2006 3. Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah , Yogyakarta: Pusat Studi hukum Fakultas Hukum UII,2004 4. J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah suatu solusi dalam menjawab kebutuhan lokal dan tantangan global, Jakarta:Rineka Cipta,2007 5. Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah sejak kemerdekaan sampai era reformasi, Laksbang Mediatama,2008 6. I Gde Pantja Astawa,Problematika Hukum Otonomi Daerah Di Indonesia, Bandung: PT Alumni,2008 7. Jazim Hamidi,Mustafa Lutfi, Dekonstruksi Hukum Pengawasan Pemerintahan Daerah, Malang:UB Press,2011 8. Ahmad Yani,Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah di Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo Persada,2008
Peraturan Perundang-undangan :
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemnerintahan Daerah
[1] Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah [2] Pasal 1 angka (7) , Ibid [3] Jimly Asshidiqie,Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,(Jakarta:Mahkamah
Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI,2004) hlm218 [4] Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah , (Yogyakarta:UII Press,2006) hlm65 [5] Muhammad Fauzan,ibid,hlm 68-69 [6] Pasal 1 angka (9), Ibid [7] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah , (Yogyakarta: Pusat Studi hukum Fakultas Hukum UII,2004), hlm 32-33 [8] Bagir Manan,Ibid,hlm 33 [9] Ibid,hlm 33 [10] Bagir Manan,Ibid,hlm 35 [11] J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah suatu solusi dalam menjawab kebutuhan lokal dan tantangan global,(Jakarta:Rineka Cipta,2007),hlm 2 [12] Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah sejak kemerdekaan sampai era reformasi,(Laksbang Mediatama,2008), hlm 30 [13] Sudono Syueb,Ibid, hlm 31 [14] Sudono Syueb,Ibid, hlm 41
[15] Sudono Syueb,Dinamika Hukum…..,op cit , hlm 47-50 [16] J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah suatu solusi
dalam menjawab kebutuhan….,loc cit,hlm 27 [17] J.Kaloh, Ibid, hlm 27 [18] Sudono Syueb,Ibid,hlm 53 [19] J.Kaloh,ibid,hlm 27 [20] J.Kaloh,ibid,hlm 31 [21] J.Kaloh,Ibid,hlm 61 [22] Sudono Syueb,op cit,hlm 73 [23] J.Kaloh,op cit,hlm 80 [24] I Gde Pantja Astawa,Problematika Hukum Otonomi Daerah Di Indonesia,(Bandung: PT Alumni,2008),hlm 50- 51 [25] Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan….,loc cit,hlm 76 [26] Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan…., Ibid,hlm 80 [27] Ibid,hlm 80 [28] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,loc cit, hlm 37 [29] Jazim Hamidi,Mustafa Lutfi, Dekonstruksi Hukum Pengawasan Pemerintahan Daerah,(Malang:UB Press,2011),hlm 42 [30] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,op cit, hlm 39 [31] Ahmad Yani,Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah di Indonesia,(Jakarta:RajaGrafindo Persada,2008),hlm 40 [32] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,loc cit, hlm 45 [33] Jazim Hamidi,Mustafa Lutfi, Dekonstruksi Hukum Pengawasan Pemerintahan Daerah,loc cit,hlm 93
Makalah Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Dalam era otonomi daerah sesuai dengan ketentuan dalam UU No 22 Tentang Pemerintahan Daerah, maka kewenangan daerah akan sedemikian kuat dan luas sehingga diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang ketat untuk menghindari ketidakteraturan dalam menyusun kebijakan dalam bidang lingkungan hidup terutama dalam masalah penanganan penegakan hukum lingkungan dalam era otonomi daerah. Kewenangan pemerintah Daerah menurut UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sangatlah besar sehingga tuntutan untuk meningkatkan kinerja dan penerapan kebijakan dalam bidang lingkungan hidup sangatlah dibutuhkan. Sistem Pemerintahan Daerah otonom sebelum UU No 22 tahun 1999 terbagi dalam Sistem Pemerintahan Administratif dan Otonomi, dalam Sistem Pemerintahan Administratif Pemerintah Daerah berperan sebagai pembantu dari penyelenggaraan pemerintah pusat yang dikenal sebagai azas dekosentrasi dalam UU No 54 tahun 1970 tentang Pemerintah Daerah, hal ini diaplikasikan dalam Pemerintahan Daerah Tingkat I dan Pemerintahan Daerah tingkat II. Sedangkan dalam Sistem Pemerintahan Otonomi Pemerintahan Daerah adalah mandiri dalam menjalankan urusan rumah tanganya. Pemerintahan Daerah memerlukan alat-alat perlengkapannya sendiri sebagai pegawai/pejabat –pejabat daerah dan bukan pegawai/pejabat pusat. Memberikan wewenang untuk menyelenggarakan rumah tangga sendiri berarti pula membiarkan bagi daerah untuk berinisiatif sendiri dan untuk merealisir itu, daerah memerlukan sumber keuangan sendiri dan pendapatan-pendapatan yang diperoleh dari sumber keuangan sendiri memerlukan pengaturan yang tegas agar di kemudian hari tidak terjadi perselisihan antara pusat dan daerah mengenai hal – hal tersebut diatas. Tetapi dalam UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka terjadi perubahan besar dalam kewenangan Pemerintahan Daerah. Pengelolaan lingkungan hidup sangatlah penting untuk dilihat dalam era otonomi daerah sekarang ini karena lingkungan hidup sudah menjadi isu internasional yang mempengaruhi perekonomian suatu negara.
Pemerintahan Daerah diberikan kekuasaan yang sangat besar dalam mengelola daerahnya terutama sekali Pemerintahan Kota atau Kabupaten. Dalam makalah ini akan dibahas masalah lingkungan hidup di era otonomi daerah dan bagaimana Kewenangan daerah terhadap lingkungan hidup juga akibat kewenangan yang besar tersebut. B. Alasan Penulisan Judul Tujuan dari penulisan makalah yang berjudul Kewenangan Pemerintah Pusat dan daerah dalam pengelolaan lingkungan, adalah “memberikan penjelasan tentang kewenangan Pemerintah Pusat dan daerah serta dampaknya di bidang lingkungan hidup” C. Maksud dan Tujuan Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah memberikan masukan dan informasi yang jelas kepada mahasiswa dan pelajar tentang bagaimana kewenangan dan dampak dari kewenangan yang dijalankan oleh Pemerintahan Daerah di bidang Lingkungan Hidup.
BAB II Permasalahan
A. Bagaimana Kewenangan Pemerintah Daerah dijalankan dalam bidang lingkungan hidup? B. Apa dampak dari Kewenangan tersebut terhadap lingkungan hidup? C. Bagaimana Pelaksanaan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melakukan pengelolaan lingkungan hidup? D. Bagaimana Menganalisa Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah?
BAB III Pembahasan
A.
Pemerintah Kewenangan Pusat dan daerah dalam UU No 22 tahun 1999. Dalam bidang lingkungan hidup kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah sangat
menentukan akan tetapi dengan adanya UU No 22 tentang Otonomi daerah maka kewenangan pengelolaan lingkungan hidup menjadi terbagi dua hal ini dapat dicermati dalam pasal 7 UU NO 22 tahun 1999, yaitu: (1) Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintah, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. (2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat(1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional. Dalam UU nomor 22 tahun 1999 memperlihatkan kewenangan pemetrintah pusat yang ingin dibagi kepada daerah akan tetapi jika dilihat dari pasal 7 ayat 2 sangat terlihat pembatasan kewenangan pemerintahan daerah, sebenarnya pasal 7 ayat 2 harus diperjelas lagi apa yang dimaksud dengan kewenangan bidang lain yang diatur oleh UU No 22 tahun 1999. Kalau dilihat dari ayat 2 maka akan terlihat kewenangan pemerintah pusat yang masih besar. B. Penjelasan Kewenangan dalam Sistem Pemerintahan setelah UU No 22 tahun 1999 Untuk mengantisipasi berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tim kerja Menko Wasbangpan dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/Bapedal telah mencoba merumuskan interpretasi kewenangan pengelolaan lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Secara umum, kewenangan pengelolaan lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi : · Kewenangan Pusat · Kewenangan Propinsi · Kewenangan Kabupaten/Kota. Kewenangan Pusat terdiri dari kebijakan tentang : · Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro;
·Dana perimbangan keuangan seperti menetapkan dan alokasi khusus untuk mengelola lingkungan hidup; ·Sistem administrasi negara seperti menetapkan sistem informasi dan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup; ·Lembaga perekonomian negara seperti menetapkan kebijakan usaha di bidang lingkungan hidup; ·Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia; ·Teknologi tinggi strategi seperti menetapkan kebijakan dalam pemanfaatan teknologi strategi tinggi yang menimbulkan dampak; ·Konservasi seperti menetapkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup kawasan konservasi antar propinsi dan antar negara; ·Standarisasi nasional; ·Pelaksanaan kewenangan tertentu seperti pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya alam lintas batas propinsi dan negara, rekomendasi laboratorium lingkungan dsb. Kewenangan Propinsi terdiri dari : · Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota; · Kewenangan dalam bidang tertentu, seperti perencanaan pengendalian pembangunan regional secara makro, penentuan baku mutu lingkungan propinsi, yang harus sama atau lebih ketat dari baku mutu lingkungan nasional, menetapkan pedoman teknis untuk menjamin keseimbangan lingkungan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang propinsi dan sebagainya. · Kewenangan dekonsentrasi seperti pembinaan AMDAL untuk usaha atau dan kegiatan di luar kewenangan pusat. Kewenangan Kabupaten/Kota terdiri dari : · Perencanaan pengelolaan lingkungan hidup; · Pengendalian pengelolaan lingkungan hidup; · Pemantauan dan evaluasi kualitas lingkungan; · Konservasi seperti pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung dan konservasi, rehabilitasi lahan dsb.
· Penegakan hukum lingkungan hidup · Pengembangan SDM pengelolaan lingkungan hidup. C. Pelaksanaan Kewenangan Pemerintah Pusat dan daerah dalam melakukan pengelolaan lingkungan hidup. Pemerintah Pusat dalam melakukan kewenangannya di bidang pengelolaan lingkungan hidup harus mengikuti kebijakan yang telah diterapkan oleh Menko Wasbangpan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jangan sampai pengurangan kewenangan pemerintah Pusat di bidang lingkungan hidup tidak bisa mencegah kesalahan pengelolaan lingkungan hidup demi mengejar Pemasukan APBD khususnya dalam pos Pendapatan Asli Daerah. Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup Sonny Keraf, bahwa desentralisasi adalah mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemda dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif. Dalam penerapan desentralisasi itu, menurut Sonny harus tercakup pula pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga dan lestari. Dengan demikian, kendati desentralisasi ala Indonesia tersebut pada awalnya merupakan reaksi politik untuk mempertahankan stabilitas dan integritas teritorial, namun paradigma otonomi demi kesejahteraan masyarakat lokal tetap bisa diwujudkan tanpa merusak kualitas lingkungan hidup setempat. Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah sekarang adalah Pemerintahan daerah harus meningkatkan Pendapatan Asli Daerah mereka untuk memenuhi target APBD (Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah) sehingga jalan termudah untuk memenuhi itu semua adalah mengeksploitasi kembali lingkungan hidup karena cara tersebut adalah cara yang biasa dilakukan pemerintah pusat untuk memenuhi APBN, dan cara ini akan terus dilakukan oleh Pemerintah daerah dengan baik. Sehingga jika waktu yang lalu pemusatan eksploitasi lingkungan hidup hanya di daerahdaerah tertentu seperti Daerah Istimewa Aceh, Riau, Irian Jaya/ Papua, Kalimantan dan sebagian Proponsi di Pulau Jawa maka sekarang semua Pemerintah daerah di Indonesia akan mengekspoitasi lingkungan hidup sebesar-besarnya untuk memenuhi target APBD untuk daerah-daerah yang mempunyai sumber kekayaan lingkungan hidup yang besar, sehingga akan dapat terbayang semua daerah kota dan kabupaten di Indonesia akan melakukan eksploitasi lingkungan hidup secara besarbesaran.
Karena desentralisasi dalam UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dipunyai oleh daerah kota dan kabupaten. Permasalahan yang timbul adalah antisipasi dari pemerintah pusat sebagai pemegan kewenangan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Karena seperti kita ketahui kewenangan Pemerintah Pusat adalah: · Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro; · Dana perimbangan keuangan seperti menetapkan dan alokasi khusus untuk mengelola lingkungan hidup; · Sistem administrasi negara seperti menetapkan sistem informasi dan peraturan perundangundangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup; · Lembaga perekonomian negara seperti menetapkan kebijakan usaha di bidang lingkungan hidup; · Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia; · Teknologi tinggi strategi seperti menetapkan kebijakan dalam pemanfaatan teknologi strategi tinggi yang menimbulkan dampak; · Konservasi seperti menetapkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup kawasan konservasi antar propinsi dan antar negara; · Standarisasi nasional; ·Pelaksanaan kewenangan tertentu seperti pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya alam lintas batas propinsi dan negara, rekomendasi laboratorium lingkungan dsb. Seperti dijelaskan diatas maka kewenangan pemerintah pusat dalam melaksanakan otonomi daerah sangatlah penting dalam lingkungan hidup. Sehingga jika terjadi berbagai permaslahan yang timbul pemerintahan pusat harus menanganinya secara baik karena pemrintah pusat masih mempunyai kewenangan untuk mengadakan berbagi evaluasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah dapat menjalankan kewenanganya secara proporsional dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup.
D. Menganalisa Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah Kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan tidak bisa dijadikan suatu kesempatan untuk mengeksploitasi lingkungan sehingga
lingkungan menjadi rusak dan tidak bisa dipergunakan lagi bagi kelangsungan bangsa ini dan hal ini dilakukan hanya untuk mengejar Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Daerah sehingga hanya untuk hal yang jangka pendek investasi jangka panjang dikuras habis. Jika dilihat Kewenangan Pemerintah Pusat juga besar dalam hal ini sehingga perlu diberdayakan peran pemerintah dalam pengelolaan lingkungan dan juga fungsi dari pemerintah sebagai suatu instansi pengawas jika terjadi pengelolaan lingkungan yang tidak baik pad pemerintah daerah. Dalam hal ini perlu dikaji kembali berbagai kebijakan yang ada pada pemerintah Daerah sehingga tidak ada kebijkan-kebijakan yang berupa peraturan daerah yang merugikan lingkungan dan tidak memperhatikan keadaan masyarakat. Oppenheim mengatkan dalam Nederlands Gemeenterecht bahwa: “ Kebebasan bagian-bagin Negara sama sekali tidak boleh berakhir dengan kehancuran hubungan negara. Di dalam pengawasan tertinggi letaknya jaminan, bahwa selalu terdapat keserasian anatara pelaksanaan bebas dari tugas Pemerintah Daerah dan kebebasan pelaksanaan tugas Tugas Negara oleh Penguasa negara itu. Van Kempen juga menulis dalam “Inleiding tot het Nederlandsch Indisch Gemeenterecht” bahwa otonomi mempunyai arti lain daripada kedaulatan( souvereniteit), yang merupakan atribut dari negara, akan tetapi tidak pernah merupakan atribut dari bagian- bagiannya seperti Gemeente, Provincie dan sebagainya, yang hanya dapat memiliki hak-hak yang berasal dari negara, bagaianbagaian mana justru sebagai bagian-bagian dapat berdiri sendiri( zelfstandig) akan tetapi tidak mungkin dapat dianggap merdeka( onafhnjelijk), lepas dari, ataupun sejajar dengan negara. Dapatlah ditambahkan, bahwa pengawasan itu dimaksudkan pula agar daerah selalu melakukan kebijkannya dengan sebaik-baiknya sehingga produk kebijakan berupa peraturan daerah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada diatasnya. Hal ini juga memerlukan peran penting dan koordinasi yang baik antara Meteri NegaraLingkungan Hidup denga aparat Pemerintahan Daerah sehinggdapat terjalinnya kerjasama yang baik antara pusat dan daerah dalam pengelolaan lingkungan. Pengawasan oleh Pemerintah Pusat dapat dibenarkan untuk membangun negara Indonesia karena Pemerintah Pusat yang bertanggung jawab secara keseluruhan terhadap penyelenggaraan Pemerintah Negara dan Daerah.
Pengawasan terhadap segala tindakan Pemerintah Daerah termasuk juga Keputusan-keputusan Kepala Daerah terutama Peraturan-peraturan Daerah yang ada dapat diawasi, jika menilik sifatnya bentuk pengawasan bisa dibagi dalam:
1. Pengawasan preventif 2. Pengawasan represif 3. Pengawasan umum Dan pemerintah Pusat juga harus diawasi oleh lembaga negara yang lain terutama lembaga perwakilan yang fungsinya berupa pengawasan, karena Pemrintah Pusat juga mempunyai kebijakan yang menyangkut pengelolaan lingkungan.
BAB IV
PENUTUP
A Kesimpulan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengelolaan lingkungan sangatlah besar sehingga perlu adanya pembatasan yang jelas dalam pengelolaan lingkungan tersebut. Dan dalam melaksanakan hal tersebut telah diatur beberapa batasan yang jelas dalam Keputusan Bersama Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Menko Wasbangpan. Yang perlu dicermati adalah kewenangan Pemerintah Daerah yang sangat besar sehingga perlu adanya bentuk pengawasan yang baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat sehingga janagn sampai terjadi berbagai kebijakan yang merusak lingkungan yang terjadi di setiap kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Pemerintah Pusat harus aktif dalam melakukan pengawasan sehingga pembangunan yang berwawasan lingkungan dapat dijalankan dengan baik oleh Pemerintah Indonesia baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan - kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya. Daftar Pustaka M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI dan CV Sinar Bakti , 1988,h.256 op.cit, h. 257 UU NO 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah http://www.bapedal.go.id/media/serasi/00okt/lu1.html Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1983 http://hidayatwawan.blogspot.com/2012/03/makalah-hubungan-pemerintah-pusat-dan.html
DAFTAR ISI
A. B. C. D. A. B. C. D. E. A. B.
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii DAFTAR ISI............................................................................................................. iii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang............................................................................................... 1 Rumusan Masalah.......................................................................................... 1 Tujuan............................................................................................................ 2 Manfaat.......................................................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN Hubungan dalam Bidang Kewenangan......................................................... 3 Hubungan dalam Bentuk Pembinaan dan Pengawasan................................. 5 Hubungan dalam Bidang Keuangan.............................................................. 7 Hubungan dalam Bidang Pelayanan Umum.................................................. 8 Hubungan dalam Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Lainnya. BAB III PENUTUP Kesimpulan.................................................................................................... 11 Saran.............................................................................................................. 11 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 12
9
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak Negara Republik Indonesia diproklamasikan, para pendiri negara (the founding father) berkeinginan bahwa negara Indonesia ini merupakan Negara Kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “Negara Indonesia ialah negara Kesatuan yang berbentuk Republik.” Sejak Konstitusi Indonesia ditetapkan sampai terjadinya amandemen pasal-pasal dalam Konstitusi RI (UUD 1945), pasal tersebut tidak termasuk ke dalam pasal yang diamandemen. Hal ini membuktikan bahwa sejak diproklamasikannya negara ini hingga sekarang, Indonesia tetap berprinsip pada bentuk negaranya sebagai Negara Kesatuan. Bahkan menurut Pasal 37 ayat (5) UUD 1945, hasil amandemen UUD 1945 menetapkan bahwa khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. Menurut Syafrudin (1993), ciri yang melekat dari negara kesatuan yaitu adanya Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah yang keduanya saling berhubungan erat dan saling menentukan. Artinya, Pemerintah Pusat tidak akan mampu menjalankan tugas dan kewajiban dalam organisasi kekuasaan negara yang sangat luas tanpa bantuan Pemerintah Daerah. Di sisi lain, Pemerintahan Daerah tidak akan mendapat kekuasaan (power) yang berbentuk kewenangan (authority) untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya apabila tidak diberi wewenang oleh Pemerintah Pusat yang diatur melalui peraturan perundangundangan. Dengan demikian, hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah di negara kesatuan sangat menentukan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang baik, perlu adanya pembinaan dan pengawasan terhadap setiap tindakan daerah otonom. Selain dalam hal kewenangan dan
pembinaan serta pengawasan, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga mencakup hubungan dalam bidang keuangan, hubungan dalam bidang pelayanan umum dan hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis membatasi rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang kewenangan? 2. Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bentuk pembinaan dan pengawasan? 3. Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang keuangan? 4. Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang pelayanan umum? 5. Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya? C. Tujuan Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain: 1. Untuk memberikan pemahaman mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang kewenangan. 2. Untuk memberikan pemahaman mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bentuk pembinaan dan pengawasan. 3. Untuk memberikan pemahaman mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerntah Daerah dalam bidang Keuangan. 4. Untuk memberikan pemahaman mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang pelayanan umum. 5. Untuk memberikan pemahaman mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. D. Manfaat Manfaat dari penulisan makalah ini ialah: 1. Secara teoritis dapat menambah wawasan keilmuan kita mengenai otonomi daerah, khususnya mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 2. Secara praktis, makalah ini dapat dijadikan sebagai sumber rujukan bagi kita dalam mengkaji setiap bentuk kesenjangan dalam hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang terjadi di Indonesia. BAB II PEMBAHASAN A. Hubungan dalam Bidang Kewenengangan Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang kewenengan berkaitan dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah. Cara penentuan ini mencerminkan bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Menurut Manan (2002), suatu daerah dapat digolongkan sebagai otonomi luas apabila memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Urusan-urusan rumah tangga daerah secara kategori dan pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula.
2.
3.
1.
2.
3.
4. 5.
6.
Apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa sehingga daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah. Dalam penyelenggaraan otonomi luas, urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah jauh lebih banyak apabila dibandingkan dengan urusan pemerintahan yang tetap menjadi wewenang pemerintahan pusat. Otonomi luas bisa bertolak dari prinsip, semua urusan pemerintahan pada dasarnya menjadi urusan rumah tangga daerah, kecuali hal-hal yang ditentukan sebagai urusan pusat sebagai mana diatur dalam pasal 10 ayat (3) UndangUndang Nomor 32 tahun 2004, yaitu: Politik luar negeri, yaitu seperti urusan pengangkatan pejabat diplomatik dan menunjuk keluarga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri dan sebagainya. Pertahanan, misalnya mendirikan atau membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara, dan sebagainya. Keamanan, misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak kelompok atau organisasi yang melanggar hukum negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya menggangu keamanan negara dan sebagainya. Moneter dan fiskal nasional, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter/fiskal, mengendalikan peredaran uang dan sebagainya. Yustisi, misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hukum dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang peraturan pemerintah, dan peraturan lain yang berlaku secara nasional. Agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberi hak pengakuan terhadap suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya.. Selain keenam urusan pemerintah tersebut, selebihnya menjadi wewenang Pemerintah Daerah. Dengan demikian, urusan yang dimiliki pemerintah daerah tidak terbatas. Daerah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dianggap mampu dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan memiliki potensi untuk dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Abdullah, 2000). Dalam pembagian urusan pemerintahan, terdapat bagian urusan pemerintahan yang bersifat concurrent, yaitu urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu, dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian, pada setiap urusan yang bersifat concurrent, ada bagian urusan yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat dan ada bagian yang diserahkan pada kabupaten/kota. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent ini, secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan sebagai suatu sistem antara hubungan kewenangan pemerintah, kewenangan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis.
a)
Eksternalitas, yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. b) Akuntabilitas, yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin. c) Efisiensi, yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdayaguna dan berhasil guna bila ditangani oleh Pemerintah Pusat maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah Pusat. Untuk itu pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan hasilguna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko yang harus dihadapi. Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian hubungan yakni bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (inter-koneksi), saling tergantung (inter-dependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan. B. Hubungan dalam Bentuk Pembinaan dan Pengawasan Pembinaan dan pengawasan sebagaimana diatur dalam Bab XII 12 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dan diatur lebih terperinci dalam peraturan pemerintah Nomor 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilakukan oleh Pemerintah (pusat) untuk menjaga keutuhan NKRI. Hal ini karena tidak menutup kemungkinan dengan diberikannya keleluasaan dan kewenengan untuk menjalankan roda pemerintahannya (desentralisasi), daerah dengan kewenangannya sendiri meneyelenggarakan pemerintahan tanpa memperhatikan keperluan (keutuhan) NKRI (Pemerintah Pusat) sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintah daerah merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan/atau gubernur selaku wakil pemerintah pusat yang ada di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah meliputi : a. koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan; b. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan; c. pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; d. pendidikan dan pelatihan bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, kepala desa, anggota badan permusyawaratan desa, dan masyarakat secara umum; e. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan.
1. 2.
1.
2.
a. b. c. d. 3.
Konsultasi dilaksanakan secara berkala pada tingkat nasional, regional, atau provinsi. Pemberian pedoman dan standar mencangkup aspek perencanaan, pelaksanaan, tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian, dan pengawasan. Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi dilaksanakan secara berkala dan/ atau sewaktu-waktu, baik secara menyeluruh kepada seluruh daerah maupu kepala daerah tertntu sesuai dengan kebutuhan. Pendidikan dan pelatihan dilaksanakan secara berkala bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, dan kepala desa. Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi dilaksanakan secara berkala ataupun sewaktu-waktu dengan memperhatikan susunan pemerintahan. Pelaksanaan ketentuan tersebut dapat dilakukan secara kerja sama dengan perguruan tinggi dan/atau lembaga penelitian. Dalam hal pengawasan Pemerintah Pusat terhadap setiap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, diatur dalam BAB XII pasal 218 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Maksud pengawasaan ini ialah menjaga pelaksanaan otonomi oleh daerah-daerah agar diselenggarakan dan tidak bertindak melebihi wewenangnya sehingga daerah dengan wewenangnya yang luas, nyata dan bertanggung jawab ini menyelenggarakan pemerintahan tanpa memperhatikan keutuhan NKRI. Fungsi pengawasan ini dalam rangka menjamin terlaksananya kebijaksanaan pemerintah dan rencana pembangunan pada umumnya. Dalam organisasi pemerintahan, pengawasan bertujuan menjamin: keserasian antara penyelenggaraan tugas pemerintah oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan kelancaran penyelenggaraan pemerintah secara berdaya guna dan berhasil guna. Pengawasan Pemerintah Pusat atas penyelenggaraan pemerintah daerah ini tentunya telah mengalami pergeseran sejak adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, dikenal dengan adanya pengawasan umum, pengawasan preventif, dan pengawasan represif. Pengawasan Umum Menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, pengawasan umum ialah pengawasan Pemerintah Pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan tugas dan wewenang yang telah diberikan oleh Pemerintah Pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan tugas dan wewenang yang telah diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Pengawasan umum ini meliputi bidang pemerintahan, kepegawaian, keuangan dan peralatan, pembangunan, perumahan daerah, serta bidang yayasan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Pengawasan Preventif Pengawasan preventif mengharuskan setiap peraturan daerah dan keputusan kepala daerah mengenai pokok tertentu berlaku sesudah mendapatkan pengesahan dari Menteri Dalam Negeri bagi peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tingkat II. Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang memerlukan pengesahan itu adalah hal-hal yang menyangkut sebagai berikut: Menetapkan ketentuan ketentuan yang menyangkut rakyat dan mengandung perintah, larangan, keharusan berbuat sesuatu yang ditujukan langsung kepada rakyat. Mengadakan ancaman pidana berupa denda atau hukuman kurungan atas pelanggaran tertentu. Memberikan bahan kepada rakyat (pajak, retribusi daerah). Mengadakan utang piutang, menanggung pinjaman, mengadakan perusahaan daerah, menetapkan dan mengubah apbd, mengatur gaji pegawai dan lain-lain. Pengawasan Represif
Pengawasan represif adalah menyangkut penangguhan atau pembatalan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundangan yang tingkatnya lebih tinggi. Pengawasan represif dapat dilakukan oleh pejabat yang berwenang terhadap semua peraturan daerah dan keputusan kepala daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 218, pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilakukan melalui: 1. Pengawasan atas penyelenggaraan urusan pemerintah didaerah dilaksanakan oleh pemerintah yang meliputi; a. Pengawasan atas pelaksanaan dan urusan pemerintahan didaerah; b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dasn peraturan kepala daerah. 2. Pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh aparat pengawas intern pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan. Untuk mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, pemerintah memberi penghargaan pada pemerintah daerah, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, perangkat desa, anggota badan permusyawaratan desa berdasarkan hasil penilaian terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan daerah yang menunjukan prestasi tertentu. Sebaliknya, pemerintah juga memberikan sanksi apabila ditemukan adanyan pemyimpangan dan pelanggaran. C. Hubungan dalam Bidang Keuangan Dalam alokasi sumber keuangan daerah, yang menjadi pokok permasalahan ialah perimbangan antara keuangan pusat dan keuangan daerah. Perimbangan adalah memperbesar pendapatan asli daerah sehingga lumbung keuangan daerah dapat berisi lebih banyak. Permasalahan yang sering terjadi saat ini ialah minimnya jumlah uang yang dimiliki daerah dibandingkan dengan uang yang dimiliki pusat. Beberapa hal yang perlu dicatat mengenai hubungan keuangan antara pusat dan daerah ialah sebagai berikut: 1. Meskipun pendapatan asli daerah tidak banyak, tidak berarti lumbung keuangan daerah tidak berisi banyak. Lumbung keuangaan daerah tidak bersumber dari pendapatan sendiri, tetapi dari uang yang diserahkan pusat kepada daerah seperti subsidi dan lainya. Tidak berarti pula lumbung keuangan daerah yang terbatas itu menyebabkan rakyatnya menikmati kesejahteraan karena usaha kesejahteraan ikut diselenggarakan pusat. 2. Meskipun ada skema hukum perimbangan keuangan, dalam kenyataan perimbangan keuangan pusat dan daerah hanya ilusi karena dalam keadaan apapun, keuangan pusat akan selalu lebih kuat dari pada keuangan daerah. 3. Meskipun sumber lumbung keuangan daerah diperbesar, tidak akan ada daerah yang mampu membelanjai secara penuh rumah tangganya sendiri. Berdasarkan ketentuan Pasal 15 Undang-undang nomor 32 tahun 2004, hubungan di bidang keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (vertikal) meliputi sebagai berikut: 1. Pemberian sumber-sumber keuangan, untuk meneyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. 2. Pengalokasian dana perimbangan kepadada pemerintah daerah. 3. Pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintah daerah Sementara itu, hubungan dalam bidang keuangan antar pemerintah daerah (horizontal) meliputi sebagai berikut: 1. Bagi hasil pajak dan non pajak antara pemerintah ke daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/ kota. 2. Pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama.
3. Pembiayaan bersama atas kerja sama daerah. 4. Pinjaman dan/ atau hibah antar pemerintah daerah. D. Hubungan dalam Bidang Pelayanan Umum Mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (vertikal) dalam bidang pelayanan umum, diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 16 ayat (1) yaitu meliputi: 1. Kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal; 2. Pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; 3. Fasilitasi pelaksanaan kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum. Sementara itu, pada ayat (2) diatur mengenai hubungan antar pemerintah daerah (horisontal) dalam bidang pelayanan umum yaitu: 1. Pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; 2. Kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelengaraan pelayanan umum; dan 3. Pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum. Bidang pelayanan umum menjadi sorotan yang cukup penting dalam kajian otonomi. Masih sering ditemukan pelayanan umum di daerah yang tidak memenuhi standar minimal pelayanan. Hal ini entah dikarenakan daerah yang tidak peduli ataukah tidak mampu (keterbatasan kemampuan) dalam menyediakan pelayanan umum yang maksimal. Bila diambil contoh yaitu dalam penyediaan pelayanan umum berupa rumah sakit, dimana terdapat fasilitas rumah sakit yang berbeda-beda, ada rumah sakit dengan fasilitas minim (di bawah standar), adapula yang lengkap. Selain bidang kesehatan, pelayanan umum bidang transportasi juga perlu diperhatikan seperti penyediaan halte, penyediaan akses jalan alternatif agar memudahkan seseorang menuju daerah itu. Seharusnya pemerintah pusat memperhatikan hal-hal ini dan memfasilitasi serta turut mendanai penyelenggaraan pelayanan umum di daerah-daerah yang memerlukan penyediaan pelayanan umum agar lebih maksimal, efektif, dan menjamin kenyamanan masyarakat yang menikmatinya. Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan. Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain: kurang responsif, kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, birokratis, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat, dan inefisien. Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empati dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat. Sedangkan apabila dilihat dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien. E. Hubungan dalam Bidang Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Lainnya
1. 2. 3.
1. 2. 3.
a. b. c. d. e. f.
Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi: Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan Penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan. Dari yang telah disebutkan diatas, nampak jelas bahwa daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam, dalam hal kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian melibatkan pula pemerintah pusat. Dan juga daerah mendapatkan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya bersama dengan pemerintah pusat karena kedua pemerintah ini ikut andil dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam. Sementara itu, pada ayat berikutnya diatur mengenai hubungan pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya secara horizontal (antar pemerintah daerah) yaitu sebagai berikut: Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah; Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam. dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah; dan Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut meliputi: eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; pengaturan administratif; pengaturan tata ruang; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya. Di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 10 ayat (3), Ada enam hal yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang tidak menjadi kewenangan Pemerintah Daerah yaitu mengenai politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi dan persoalan agama. Selain keenam hal tersebut, selebihnya menjadi urusan daerah.
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Pusat mengadakan pembinaan dan pengawasan terhadap setiap kewenangan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Pembinaan atas penyelenggaraan tersebut meliputi koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan; pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan; pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; pendidikan dan pelatihan bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, kepala desa, anggota badan permusyawaratan desa, dan masyarakat secara umum; serta perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan. Dalam hal pengawasan Pemerintah Pusat atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah dikenal adanya tiga jenis pengawasan yaitu pengawasan umum, pengawasan preventif, dan pengawasan represif. Dalam hal hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di bidang keuangan, pelayanan umum serta pengelolaan sumber daya diatur dalam pasal 15 sampai pasal 17 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dimana disana diatur mengenai hubungan secara vertikal (antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) dan hubungan secara horizontal (antar pemerintah daerah) mengenai ketiga bidang tersebut. B. Saran Pelaksanaan otonomi daerah di era globalisasi saat ini perlulah ditingkatkan lagi. Peran Pemerintah Pusat sangatlah penting dalam membantu pembangunan di daerah-daerah. Dalam hal pengelolaan keuangan daerah, sangatlah perlu adanya peningkatan dalam manajemen pengelolaannya. Dalam hal pelayanan umum di daerah, kita masih sering menemukan ketidakpuasan dari masyarakat. Beberapa rekomendasi terkait hal tersebut bisa dilakukan melalui penetapan standar pelayanan, pengembangan Standard Operating Procedures (SOP), pengembangan survey kepuasan pelanggan, dan pengembangan sistem pengelolaan pengaduan. Selain itu perlu adanya reformasi birokrasi yang serius dalam mengatasi kelemahan-kelemahan pelayanan di daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rozali. 2000. Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme sebagai Suatu Alternatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada. http://dhyazjopi.blogspot.co.id/2013/05/hubungan-pemerintah-pusat-dan-daerah.html diakses pada 15 November 2015 pukul 06.30 WIB http://nurfaradilaa.blogspot.co.id/2013/04/hubungan-pemerintah-pusat-dengan_24.html diakses pada 12 November 2015 pukul 11.54 WIB Manan, Bagir. 2002. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII. Rosidin, Utang. 2015. Otonomi Daerah dan Desentralisasi. Bandung: Pustaka Setia. Safrudin, Ateng. 1993. Pengaturan Koordinasi Pemerintah di Daerah. Bandung: Citra Aditya.