Helminth Usus.docx

  • Uploaded by: SaenabAN
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Helminth Usus.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,107
  • Pages: 23
Tugas Kelompok Keperawatan Tropis

ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT TROPIS “HELMINTH USUS”

Disusun Oleh: Kelompok 6 HALMIN

(C051171720)

FADILLAH AMNUR

(C051171709)

RAHMI SYURYANI

(C051171724)

RIZKY ISNAENI NASRI

(C051171703)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN KELAS KERJASAMA FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2018

HELMINTH USUS A. PENGERTIAN Helminths adalah berbagai organisme yang termasuk cacing parasit usus, (cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), atau cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale). Orang yang terinfeksi mengeluarkan telur cacing ke dalam feses mereka, yang kemudian mencemari tanah di daerah dengan sanitasi yang tidak memadai. Orang lain kemudian dapat terinfeksi dengan menelan telur atau larva dalam makanan yang terkontaminasi, atau melalui penetrasi kulit oleh larva infektif di tanah (cacing tambang) (WHO, 2018). Seperti yang di paparkan di Bondless Microbilogy, infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah merupakan infeksi yang paling umum terjadi di seluruh dunia dan mempengaruhi komunitas miskin. Sanitasi yang buruk seperti buang air di sembarang tempat dapat mencemari tanah yang menyebabkan penularan cacing melalui telur yang ada dikotoran manusia. Ada tiga kelompok yang umum dipelajari yaitu Nematodes (cacing bulat/ cacing gelang), Cestodes (cacing pita), Trematodes (cacing daun). B. KLASIFIKASI 1. Nematoda ( cacing bulat/ cacing gelang) a. Cacing tambang (Ankilostomiasis) Banyak menyerang di daerah tropis dan subtropis dengan kelembaban dan suhu yang sesuai bagi perkembangan telur caing dan larva.

Gambar 1. Cacing tambang (Ankilostomiasis)

1) Epidemiologi Manusia merupakan pejamu utama cacing tambang, dengan proporsi lebih banyak pada anak. Diperkirakan 700-900 juta orang di dunia terserang penyakit ini, dengan hilangnya 1 juta liter darah (1 orang = 1 mL darah dihisap cacing). 2) Etiologi Ada tiga spesies cacing tambang yaitu Necator americanus merupakan yang paling banyak ditemukan di Indonesia dan mampu memproduksi 10.000-20.000 telur/ hari, Ancylostoma duodenale dan Ancylostoma ceylonicum banyak ditemukan di Asia dan afrika. Produksi dari ancylostoma duodenale adalah 10.000-25.000 telur/hari. 3) Penularan Usus halus merupakan tempat hidup cacing dewasa dan bertelur tepatnya pada 1/3 atas usus halus dan keluar melalui feses. Pada suhu dan kelembaban yang sesuai, telur berkembang menjadi larva dengan bentuk pertamanya rhabditifor yang selanjutnya menjadi filariform. Waktu yang diperlukan telur menjadi filaform adalah 5-10 hari. Melalui kulit telapak kaki, larva (N.Americanus) masuk ke peredaran darah menuju paru-paru dan naik ke trakea kemudian ke faring dan akan tertelan masuk ke saluran pencernaan. Larva bisa hidup selama 8

tahun di dalam usus dan menghisap darah (1 caing= 0,2 mL/hari). cacing juga bisa menginfeksi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Cacing dewasa yang tertelan tidak akan melewati siklus paru.

Gambar 2. Siklus hidup cacing tambang 4) Manifestasi klinis Gejala yang ada tergantung dari derajat infeksi. Gatal pada kulit merupakan masuknya larva, sedangkan pada paru biasanya tidak menimbulkan gejala. Pada pecernaan seperti kurangnya nafsu makan, diare, mual, muntah, nyeri perut, dan diare akibat adanya cacing dewasa pada usus halus. Anemia didapatkan pada infeksi kronis akibat cacing menghisap darah. Penegakan diagnosis berdasarkan adanya larva, telur atau cacing dewasa pada saat pemeriksaan feses. 5) Pengobatan  Pirantel pamoat dosis tunggal 10 mg/kgBB  Mebendazol 100 mg, 2 x sehari selama 3 hari  Obat lain, albendazol 400 mg sehari selama 5 hari

6) Pencegahan Pencegahan dilakukan dengan menjaga perbaikan dan hygiene sanitasi serta membudayakan cuci tangan dan memakai alas kaki bagi masyarakat yang beresiko. b. Cacing gelang/ bulat besar (Askariasis) Jenis cacing ini lebih banyak ditemukan menginfeksi manusia dikarenakan banyaknya telur dan daya tahan telur yang mengandung larva cacing pada keadaan tanah yang kondusif (daerah tropis) dan diperkirakan menginfeksi 1 miliar orang. Manusia terinfeksi dari makanan atau minuman yang tercemar larva cacing atau sayuran mentah. Pupuk kotoran manusia adalah salah satu media penularan. Lalat juga merupakan vector serangga yang dapat menularkan cacing melalui makanan yang tidak disimpan dengan baik (Widoyono,2011). Anak-anak terinfeksi lebih sering daripada orang dewasa, kelompok usia yang paling umum adalah 3-8 tahun. Infeksi cenderung lebih serius jika nutrisi buruk (WHO,2018). 1) Etiologi Cacing ini berwarna merah dengan bentuk silinder. Cacing jantan memiliki ukuran 15-25 cm x 3 mm dan betina 25-35 cm x 4 mm. Telur yang dihasilkan cacing betina sebanyak 26 juta atau 200.000 telur/hari dan bertahan hidup berbulan-bulan sampai 2 tahun. 2) Penularan 

Ingestion, Telur cacing dikeluarkan melalui tinja. Berkembang menjadi embrio dan larva yang infektif dalam telur pada lingkungan yang sesuai (tanah) dan telur terletan oleh manusia



Migration, Larva menetas di dalam usus dan menembus dinding usus halus masuk ke peredaran darah menuju paru dan matang di paru, menembus dinding alveolus masuk ke trakea, faring dan ke esophagus



Maturation, Masuk ke usus halus dan menjadi dewasa



Reproduction, butuh 18 hari di tanah untuk menjadi infektif

Gambar 2. Siklus hidup cacing ascaris 3) Tanda dan gejala 

Paru (batuk, sesak, wheezing)



Usus halus, pada infeksi ringan dan sedang (nyeri perut yang tidak, mual/ muntah, diare dan tinja berdarah), sedangkan pada infeksi yang sangat banyak (nyeri perut yang parah, muntah, kelelahan, berat badan menurun/ malnutrisi, dan ada cacing dimuntahan)

4) Pengobatan  Pirantel pamoat, dosis tunggal 10 mg/kgBB

 Mebendazole 100mg, 2 kali sehari selama 3 hari  Albendazole (anak >2 tahun) 400 mg (2 tablet dosis tunggal 5) Pencegahan 

Biasakan mencuci tangan dengan sabun



Makan makanan yang matang



Tidak menggunakan pupuk tinja sebagai pupuk tanaman terutama sayuran



Perbaikan sanitasi lingkungan dengan membangun jamban sehat

c. Cacing kremi (Enterobiasis) Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dengan konsentrasi pada daerah-daerah dengan faktor perilaku hidup sehat yang rendah dengan angka kesakitan sekitar 200 juta manusia di seluruh dunia (Widoyono,2011). Manusia merupakan satu-satunya spesies yang dapat mentransfer parasite ini dengan penderita terbanyak anak dibawah usia 18 tahun (CDC,2013). 1) Etiologi Enterobius vermicularisatau Oxyuris vermicularus adalah cacing kecil (1 cm) berwarna putih. Produksi dari cacing ini adalah 11.000 butir telur dengan bentuk simetris, eclips di satu sisi dan datar di sisi lainnya berukuran. Larva bertahan hidup dalam telur sampai 20 hari setelah proses pematangan. 2) Penularan 

Cacing dewasa betina akan bermigrasi pada malam hari ke daerah sekitar anus untuk bertelur dan akan disimpan pada area ini



Akan menyebabkan rasa gatal di sekita anus (prurituris ani noktural). Apabila digaruk penularannya bisa dari kuku jari tangan ke mulut (self-

infection). Penularan lainnya ke orang lain bisa melalui pakaian, peralatan tidur, dan juga lingkungan yang sudah terkontaminasi oleh cacing kremi seperti debu rumah. 

Telur menetas di usus halus



Migrasi larva ke daerah sekitar anus sampai dewasa



Bila infeksinya adalah retroinfeksi dari anus, maka telur akan menetas disekitar anus dan larva akan bermigrasi ke kolon asendens, sekum, atau apendiks dan berkembang sampai dewasa.

Gambar 3. Siklus hidup cacing kremi 3) Tanda dan gejala 

Gatal pada daerah anus



ketika infeksi berat, bisa terjadi infeksi bakteri sekunder karena iritasi dan goresan area anus



Insomnia karena gangguan tidur

4) Pengobatan  Mebendazole dosis tunggal 100 mg  Garam piperazin  Tiabendazole  Pirvinum pamoat 5) Pencegahan Perlunya kampanye perilaku hidup sehat seperti mencuci tangan memakai sabun serta perawatan memotong kuku jari anak. d. Cacing cambuk (Trichuriasis) Infeksi cacing ini menyerang hamper 500-900 juta manusia di dunia. Infeksi ini lebih sering terjadi di daerah yang beriklim panas dan sanitasi yang kurang bagus. 1) Etiologi Trichuris trichiura merupakan cacing kecil berbentuk cambuk dengan bagian kepala mengecil dan bagian belakang membesar. Setiap cacing betina menghasilkan 2.000-10.000 butir telur per hari. 2) Penularan Apabila manusia menelan telur yang matang, telur akan menetaskan larva yang akan berpenetrasi pada mukosa usus selama 3-10 hari. selanjutnya larva akan bergerak turun dengn lambat untuk menjadi dewasa di sekum dan kolon asendens. Memerlukan waktu 3 bulan untuk siklus hidup telur menjadi cacing dewasa. Cacing bisa hidup bertahun-tahun di dalam sekum. Cacing akan meletakkan telur pada sekum dan akan keluar bersama dengan tinja.

Gambar 4. Siklus hidup cacing cambuk 3) Tanda dan gejala Biasanya tanpa gejala (asimptomatik), namun pada kasus yang berat bisa menyebabkan anemia ringan dan diare berdarah (bloody) sebagai konsekuensi kehilangan darah akibat penghisapan oleh cacing. 4) Pengobatan  Mebendazole 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari  Albendazole 400 mg  Pirantel pamoat 5) Pencegahan Sebagaimana infeksi cacing lainnya, perbaikan sanitasi dan hygiene pribadi dapat menurunkan prevalensi signifikan.

2. Cestoda / Cacing pita/ Taeniasis a. Cacing pita daging Ada tiga jenis cacing pita daging yaitu Taenia solium (pada babi), Taenia saginata (pada sapi), dan Cysticercus cellulosae (pada babi). Cacing ini terdapat pada daging yang tidak dimasak atau dimasak tapi kurang matang. Kasus tertinggi di Indonesia terjadi di Bali. Cacing ini bersifat hermafrodit, panjangnya bisa mencapai 4-10 m. cacing hidup di usu halus untuk menghisap karbohidrat dari lumen usus dan protein mukosa usus. Hospes perantara T.solium adalah babi dan hospes perantara T.saginata adalah sapi, sedangkan hospes defenitifnya adalah manusia. Siklus hidup dimulai dari cacing dewasa dalam usus halus manusia. Cacing bertelur dan keluar melalui tinja. Apabila telur termakan oleh sapi atau babi, maka telur akan menetas menjadi larva dalam usus. Larva masuk ke pembuluh darah dan menuju ke jaringan otot atau ke dalam daging. Jika daging dimakan oleh manusia, maka larva akan menetap dan dewasa di usus halus.

Gambar 5. Siklus hidup taeniasis

Tanda dan gejalanya adalah gangguan saluran pencernaan karena ada massa cacing. Anemia bisa terjadi pada tingkat keparahan yang besar. Pengobatan yang diberikan pada kasus ini adalah kuinakrin hidroklorida. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah pengobatan dengan memutus rantai penularan dan memasak daging hingga matang juga sanitasi lingkungan yang baik akan menurunkan penyebaran telur pada tanah. b. Cacing pita ikan Penyebabnya adalah Diphyllobothrium latum dengan sumber penularannya adalah manusia dan beruang. Jenis cacing ini sering didapatkan pada ikan yang mentah. Pencegahannya adalah pengawasan terhadap pengolahan ikan, pemasakan ikan dan sanitasi lingkungan. c. Cacing pita tikus Penyebabnya adalah Hymenolepis spp. (H.nana) dan Drepanidotaenia spp. Dengan sumber penularan tersering adalah manusia dan tikus. Cacing dengan jenis ini terdapat pada makanan yang terkontaminasi telur ‘draw worm’. Penyakit ini bisa dicegah dengan hygiene perorangan, pembuangan feses secara aman, penyediaan air bersih, pemberantasan dan pengendalian tikus. 3. Trematoda (cacing daun) a. Schistosoma Mansoni Banyak terdapat di Afrika dan Amerika Selatan dengan sumber penularannya adalah manusia, kera, dan tikus. Ditularkan melalui kontak langsung dengan air tawar seperti danau, sungai atau genangan air yang mengandung larva infektif daric acing schistosoma mansoni. Larva menembus kulit manusia yang sehat (tanpa luka). Siput

air tawar (fresh water snail) adalah hospes perantaranya. Di Indonesia biasanya dari genus Oncomelania.

Gambar 6. Siklus hidup Trematoda Pencegahannya

dengan

menghindari

kontak

langsung

dengan

air

yang

terkontaminasi oleh larva cacing (pada daerah endemic), pengendalian hospes perantara, sanitasi yang baik dan terapi untuk penderita. Obat yang aman dan efektif yaitu Praziquantel diminum selama 1-2 hari. b. Scisotoma Japonicum Banyak terdapat di Jepang, Cina, Taiwan, Filipina dan Indonesia dengan sumber penularannya adalah manusia, anjing, kucing, sapi, kerbau, kambing, domba, dan hewan liar lainnya. Hospes perantaranya adalah siput air tawar yang terkontaminasi oleh larva infektif cacing ini. Pencegahan yang dilakukan dengan menghindari

kontak langsung dengan air tawar yang terkontaminasi, sanitasi yang baik, pengendalian siput air taear dan pengobatan pada penderita. Table pengobatan pada Trematoda Schistosoma species infection

Praziquantel dose and Duration

Schistosoma mansoni, S. haematobium, S. 40 mg/kg per day orally in two divided intercalatum S. japonicum, S. mekongi

doses for one day 60 mg/kg per day orally in three divided doses for one day

C. PATOFISIOLOGI Cacing usus menyebabkan berbagai perbuahan patologis di mukosa, bebrapa menyebabkan kerusakan fisik dan kimia pada jaringan yang dihasilkan oleh respon imunopatologi. Bentuk kerusakan langsung yang paling jelas adalah yang dihasilkan dari penyumbatan organ internal atau efek tekanan yang diberikan oleh parasit yang tumbuh. Ascaris besar atau cacing pita secara fisik dapat memblokir usus, migrasi ascaris juga dapat memblokir saluran empedu. Granuloma yang terbentuk di sekitar sel telur schistosome dapat menghalangi aliran darah melalui hati, dan ini dapat menyebabkan perubahan patologis pada organ tersebut. Cacing tambang aktif menghisap darah dari kapiler mukosa. Antikoagulan yang disekresikan oleh cacing menyebabkan luka berdarah dalam waktu yang lama yang mengakibatkan banyak kehilangan darah. Infeksi berat yang menyebabkan malnutrisi berhubungan demngan anemia dan kehilangan protein. Gangguan pencernaan dan penyerapan yang tidak normal dari usus dapat memperberat kekurangan gizi. Cacing pita dapat menyebabkan kekurangan vitamin B12 melalui penyerapan langsung. Banyak

helminths melakukan perpindahan dengan merusak jaringan secara langsung. Kulit, paruparu, hati dan usus adalah organ yang paling terpengaruh. Pendarahan, pneumonitis, eosinofilia, urtkaria dan pruritus, organomegali dan lesi granulomatosa adalah tanda saat migrasi. Pada cacing cambuk dapat menyebabkan inflamasi yang mengakibatkan kehilangan darah dan prolaps rektal. D. PENATALAKSANAAN Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu : 1. Pemeriksaan sediaan langsung 2. Teknik pengapungan dengan NaCl jenuh 3. Pemeriksaan tinja menurut Kato 4. Teknik biakan dengan arang 5. Teknik menghitung telur cara stool 6. Teknik pengendapan sederhana 7. Teknik biakan menurut Harada Morn 8. Teknik pengapungan dengan pemusingan dengan ZnSO4 9. Teknik pengapungan dengan gula 10. Ponsel mikroskop

ASUHAN KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN 1. Aktivitas dan istirahat : insomnia, tidak bisa tidur karena diare dan gatal 2. Sirkulasi : anemia 3. Pernapasan : batuk, wheezing, bronkhi, sesak 4. Nutrisi / cairan : mual, muntah dan anoreksia, BB menurun 5. Eliminasi : Diare 6. Nyeri : nyeri abdomen, iritasi disekitar anus 7. Integritas ego : anxietas B. DIAGNOSA 1. Nyeri akut 2. Diare 3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh 4. Gangguan rasa nyaman : gatal 5. Keletihan 6. Gangguan pertukaran gas 7. Bersihan jalan napas tidak efektif C. INTERVENSI No

NANDA

NOC

NIC

1.

Nyeri akut

Setelah dilakukan perawatan

Manajemen nyeri

selama 1x 24 jam nyeri

 Lakukan pengkajian nyeri

terkontrol dengan kriteria

komprehensif yang meliputI

hasil:

lokasi, karakteristik, durasi,

 Mampu mengontrol nyeri

frekuensi,kualitas dan

 Melaporkan bahwa nyeri berkurang  Mampu mengenali nyeri( skala,intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)  Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

intensitas nyeri serta faktor pencetus.  Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan  Berikan informasi mengenai nyeri  Kurangi faktor yang dapat mencetuskan atau meningkatkan nyeri  Pilih dan implementasikan tindakan farmakologi dan nonfarmakologi (relaksasi) untuk memfasilitasi penurunan nyeri  Evaluasi keefektifan control nyeri Pemberian analgesic  Tentukan pilihan obat analgesic berdasarkan tipe dan keparahan penyakit  Kolaborasikan dengan dokter.

2.

Diare

Setelah dilakukan perawatan

Manajemen diare

selama 2x24 jam eliminasi

 Tentukan riwayat diare

usus normal kriteria hasil:

 Monitor tanda dan gejala

 Pola eliminasi tidak terganggu  Warna feses normal  Suara bising usus normal  Tidak ada diare

diare  Identifikasi faktor yang menyebabkan diare  Ambil tinja untuk pemeriksaan

Tidak nyeri saat BAB

 Amati turgor kulit  Ukur diare/ output pencernaan  Instruksikan pasien/anggota keluarga untuk mencatat warna volume dan frekuensi tinja  Ajari pasien penggunaan obat anti diare secara tepat.

4.Ketidak seimbangan Setelah perawatan 1 x 24 jam nutrisi kurang dari nutrisi terpenuhi dengan kebutuhan tubuh

Manajemen gangguan makan 

Kembangkan hubungan

kriteria hasil yang diharapkan:

yang mendukung dengan



Asupan kalori adekuat

klien



Asupan zat besi adekuat



Berat badan tidak mengalami penurunan



Monitor intake asupan cairan



Monitor asupan kalori harian bangun harapan terhadap perilaku makan yang baik



Monitor perilaku klien yang berhubungan dengan pola makan,penambahan dan kehilangan berat badan

Manajemen nutrisi  Tentukan status gizi pasien dan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan gizi  Ciptakan lingkungan yang optimal pada saat makan

 Anjurkan makan porsi sedikit tapi sering  Atur diet yang diperlukan. 5.Gangguan

rasa

Manajemen pruritus  Tentukan

nyaman : gatal

penyebab

terjadinya pruritus  Identifikasi kerusakan kulit  Instruksikan pasien untuk mempertahankan potongan kuku : pendek  Instruksikan pasien un tuk menggunakan

telapak

tangan ketika menggosok area kulit  Berikan obat anti pruritik 6.Keletihan

Setelah dilakukan perawatan

Manajemen energy

selama 2x 24 jam kelelahan

 Kaji status fisiologi pasien

berkurang dengan kriteria

yang menyebabkan

hasil :

kelelahan



Malaise ringan



Peningkatan energy

mengurangi kelelahan baik



Motivasi meningkat

farmakologis maupun non



Keseimbangan antara

farmakologis.

istirahat dan aktivitas 

Fungsi imun meningkat

 Pilih intervensi untuk

 Monitor asupan nutrisi untuk mengetahui sumber energy yang adekuat  Tingkatkan tirah baring Kurangi ketidak nyamanan fisik yang dialami oleh pasien

7.Gangguan

Setelah dilakukan perawatan

Monitor pernafasan

pertukaran gas

selama 2x24 jam status



Monitor kecepatan,

pernafasan ditingkatkan

kedalan, irama dan

dengan kriteria hasil :

kesulitan bernapas



Frekuensi dan irama



pernapasan normal  

Suara auskultasi nafas

Monitor suara napas tambahan



Catat pergerakan dada,

normal

ketidaksimetrisan dan

Tidak ada suara napas

penggunaan otot-otot bantu

tambahan

pernapasan



Tidak ada batuk



Auskultasi suara napas



Kepatenan jalan napas



Posisikan pasien miring kesamping

Terapi oksigen 

Pertahankan kepatenan jalan napas



Kolaborasi pemberian oksigen



Monitor aliran dan efektivitas terapi oksigen

3.

Ketidakefektifan

Setelah dilakukan perawatan Manajemen jalan nafas

bersihan jalan nafas

selama 2x24 jam jalan nafas  Monitor status pernafasan efektif dengan kriteria hasil:  Frekuensi

pernapasan  Auskultasi suara nafas, catat

dalam batas normal  Irama pernafasan dalam batas normal

menurun atau tidak ada dan

tambahan.  Posisikan pasien untuk

tambahan ada

area yang ventilasinya

adanya suara nafas

 Tidak ada suara nafas  Tidak

dan oksigenasi

penggunaan

otot bantu pernafasan

memaksimalkan ventilasi  Buang secret dengan

 Batuk ringan  Tidak

ada

memotivasi pasien batuk akumulasi  Instruksikan bagaimana agar bisa melakukan batuk

sputum

efektif  Posisikan untuk meringankan sesak nafas 4.

Kerusakan integritas Setelah dilakukan perawatan Perawatan kulit kulit

selama 2x24 jam kondisi kulit  Jangan menggunakan alas membaik

dengan

kriteria

hasil:  Suhu kulit normal

kasur bertekstur kasar  Pakaikan

pasien

pakaian

yang longgar

 Integritas kulit baik

 Jaga alas kasur tetap bersih

 Lesi ringan pada kulit

 Berikan pembersih topical pada daerah yang terkena dengan tepat  Periksa kulit setiap hari

DAFTAR PUSTAKA WHO. (2018). Water sanitation Hygiene : Diseases Ascariasis. Diakses pada 4 September 2018 di http://www.who.int/water_sanitation_health/diseases-risks/diseases/ascariasis/en/ Widoyono. (2011). PENYAKIT TROPIS : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya Edisi kedua. Erlangga : Jakarta Mayo clinic. (2018). Patient Care & Health Information Diseases & Conditions : Ascariasis. Diakses pada 4 September 2018 di https://www.mayoclinic.org/diseasesconditions/ascariasis/symptoms-causes/syc-20369593 Global Health- Division of Parasitic Diseases. (2013). Parasites- Ascariasis. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Diakses pada 4 September 2018 di https://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/biology.html Global Health- Division of Parasitic Diseases. (2013). Parasites - Enterobiasis (also known as Pinworm Infection). Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Diakses pada 4 September 2018 di https://www.cdc.gov/parasites/pinworm/biology.html Global Health- Division of Parasitic Diseases. (2013). Parasites - Taeniasis. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Diakses pada 4 September 2018 di https://www.cdc.gov/parasites/taeniasis/biology.html Global Health- Division of Parasitic Diseases. (2017). DPDx - Laboratory Identification of Parasites of Public Health Concern- Schistosomiasis Infection. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Diakses pada 4 September 2018 di https://www.cdc.gov/dpdx/schistosomiasis/index.html

Baroon.S. (1996). Medical Microbiology, 4th edition. University of Texas Medical Branch at Galveston : Galveston, Texas diakses pada 4 September 2018 Herman, T.H (2015). Nursing diagnoses definitions and classification 2015-2017.Jakarta : EGC Morhead, S dkk (2013). Nursing Outcomes Classification Edisi Bahasa Indonesia Ed 5 Mosby: Elsevier Bluechek, G.M, dkk. (2013). Nursing Intervention Classification Edisi Bahasa Indonesia Ed 5. Mosby : Elsevier. J.Owen dkk. (1985). Veterinary Parasitology : Pathogenesis of helminths in equines. Elsevier : Science Direct dikases pada 8 Agustus 2018 di https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/0304401785900639

Related Documents


More Documents from "karkikedardr"