Hasil Belajar Mandiri Alwan Bronkopneumonia.docx

  • Uploaded by: alwan
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hasil Belajar Mandiri Alwan Bronkopneumonia.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,610
  • Pages: 22
HASIL BELAJAR MANDIRI

KEMAS MUHAMMAD ALWAN DWIPUTRA 04011181520050 KELAS ALPHA 2015

HASIL BELAJAR MANDIRI I.

Bronkopneumonia pada neonatus a. Diagnosis Banding -

Bronkiolitis

-

Aspirasi pneumonia

-

Tb paru primer

b. Algoritma diagnosis 1. Anamnesis Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen disertai muntah.2,3 2. Pemeriksaan Fisik Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel.2 Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi.2,3 3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan Lekositosis hingga > 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi netrofil pada hitung jenis. Lekosit > 30.000/mm3 dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia streptokokus. Trombositosis > 500.000 khas untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah merupakan cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak- anak kecil.2

c. Diagnosis Kerja Ibu Anita 30 tahun, primigravida, melahiran bayi laki-laki, aterm sesuai masa kehamilan diduga mengalami bronkopneumonia e.c. ketuban pecah dini.

d. Definisi Bronkopneumonia

adalah

peradangan

pada

paru

dimana

proses

peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminal.4

e. Epidemiologi Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris.5

f. Etiologi Virus merupakan penyebab tersering pneumonia pada bayi usia 1 bulan sampai 2 tahun, . Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai dengan distribusi umur pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae, Staphylococcus aureus, Streptococcus group B serta kuman atipik Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae. 2 Umur Neonatus

Bakteri Patogen E. Coli, Streptococcus group B, Listeria

monocytogenes Klebsiella sp, Enterobacteriaceae 1-3 bulan

Chlamydia trachomatis

Usia

Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma

prasekolah

pneumoniae Haemophillus influenzae B, Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus

Usia sekolah

Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae Streptococcus pneumoniae9

g. Faktor Resiko PROM 1) Servik inkompeten 2) Overdistensi uterus 3) Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan genetic). 4) Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban (infeksi genitalia, meningkatnya enzim proteolitik). 5) Masa interval sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase laten. Makin panjang fase laten, makin tinggi kemungkinan infeksi. Dan makin muda kehamilan, makin sulit upaya pemecahannya tanpa menimbulkan morbiditas janin, sehingga komplikasi ketuban pecah dini makin meningkat. MAS 1) Kehamilan fullterm-postterm 2) Hipoksia Janin

h. Klasifikasi

WHO memberikan pedoman klasifikasi pneumonia, sebagai berikut : 1. Usia kurang dari 2 bulan a. Pneumonia berat -

Chest indrawing (subcostal retraction) -

Bila ada napas cepat (> 60 x/menit)

b. Pneumonia sangat berat -

tidak bisa minum

-

kejang

-

kesadaran menurun

-

hipertermi / hipotermi

-

napas lambat / tidak teratur

2. Usia 2 bulan-5 tahun a.

Pneumonia -

bila ada napas cepat

b. Pneumonia Berat -

Chest indrawing -

Napas cepat dengan laju napas 

> 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun



> 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun

c. Pneumonia sangat berat -

tidak dapat minum

-

kejang

-

kesadaran menurun

- Malnutrisi. i. Manifestasi Klinis Gejala dan tanda klinis bervariasi tergantung kuman penyebab, usia pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestsi klinis bisa sangat berbeda, bahkan pada neonatus mungkin tanpa gejala. Gejala dan tanda pneumonia meliputi gejala infeksi pada umumnya demam, menggigil, sefalgia, rewel, dan gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau sakit perut. 2

Walaupun tanda pulmonal paling berguna, namun mungkin tanda-tanda itu tidak muncul sejak awitan penyakit. Tanda-tanda itu meliputi nafas cuping hidung (neonetus), takipneu, dipsneu, dan apneu. Otot bantu nafas interkosta dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk. Tanda pneumonia berupa retraksi (penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam saat bernafas bersama dengan peningkatan frekuensi nafas), perkusi redup, fremitus melemah, suara nafas melemah dan ronkhi. 1 Frekwensi nafas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau tatalaksana. Pengukuran frekwensi nafas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur. Perkusi thorak tidak bernilai diagnostik karena umumnya kelainan patologisnya menyebar. Suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura. WHO menetapkan kriteria takipneu berdasarkan usia, sebagai berikut : - usia kurang dari 2 bulan - usia 2 bulan -1 tahun - usia 1 – 5 tahun

: ≥ 60 kali per menit : ≥ 50 kali per menit : ≥ 40 kali per menit. 2

Suara nafas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi basah halus khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar pada bayi. Pada bayi dan anak kecil karena kecilnya volume thorak biasanya suara nafas saling berbaur dan sulit diidentifikasi.2 i. Patogenesis dan Patofisiologi Proses terjadinya bronkopneumonia dimulai dari berhasilnya kuman pathogen masuk ke mukus jalan nafas. Kuman tersebut berkembang biak di saluran nafas atau sampai di paru-paru. Bila mekanisme pertahanan seperti sistem transport mukosilia tidak adekuat, maka kuman berkembang biak secara cepat sehingga terjadi peradangan di saluran nafas atas, sebagai respon peradangan akan terjadi hipersekresi mukus dan merangsang batuk. Mikroorganisme berpindah karena adanya gaya tarik bumi dan alveoli menebal. Pengisian cairan alveoli akan melindungi mikroorganisme dari fagosit dan membantu penyebaran organisme ke alveoli lain. Keadaan ini menyebabkan infeksi meluas, aliran darah di paru sebagian meningkat yang diikuti

peradangan

vaskular

dan

penurunan

darah

kapiler.

(Price & Wilson, 2005). Edema karena inflamasi akan mengeraskan paru dan akan mengurangi kapasitas paru, penurunan produksi cairan surfaktan lebih lanjut, menurunkan compliance dan menimbulkan atelektasis serta kolaps alveoli. Sebagai tambahan proses bronkopneumonia menyebabkan gangguan ventilasi okulasi partial pada bronkhi dan alveoli, menurunkan tekanan oksigen arteri, akibatnya darah vena yang menuju atrium kiri banyak yang tidak mengandung oksigen sehingga terjadi hipoksemia arteri. Efek sistemik akibat infeksi, fagosit melepaskan bahan kimia yang disebut endogenus pirogen. Bila zat ini terbawa aliran darah hingga sampai hipotalamus, maka suhu tubuh akan meningkat dan meningkatkan kecepatan metabolisme. Pengaruh dari meningkatnya metabolisme adalah penyebab takhipnea dan takhikardia, tekanan darah menurun sebagai akibat dari vasodilatasi perifer dan penurunan sirkulasi volume darah karena dehidrasi, panas dan takhipnea meningkatkan kehilangan cairan melalui kulit (keringat) dan saluran pernafasan sehingga menyebabkan dehidrasi (Price & Wilson 2005).

j. Tatalaksana 1. Penatalaksanaan antibiotika

Pemberian antibiotik berdasarkan umur 

Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) : -

ampicillin + aminoglikosid

-

amoksisillin-asam klavulanat

-

amoksisillin + aminoglikosid

-

sefalosporin generasi ke-3

2. Penatalaksaan suportif -

Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr

-

Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.

-

Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena 4,2% dengan dosis awal 0,3 x defisit basa x BB (kg). Selanjutnya periksa ulang analisis gas darah setiap 4-6 jam. Bila analisis gas darah tidak bisa dilakukan maka dosis awal bikarbonat 0,5 x 2-3 mEq x BB (kg).

-

Obat penurun panas dan pereda batuk sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibiotik awal. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung.

Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam  ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).5

3. Penatalaksanaan bedah Pada umumnya tidak ada tindakan bedah kecuali bila terjadi komplikasi pneumotoraks atau pneumomediastinum.7

k. Edukasi dan Pencegahan Pencegahan terhadap pneumonia dapat dicegah dengan pemberian imunisasi/vaksinasi. saat ini sudah tersedia banyak vaksin untuk mencegah pneumonia. Setiap vaksin mencegah infeksi bakteri/virus tertentu sesuai jenis vaksinnya. berikut vaksin yang sudah tersedia di Indonesia dan dapat mencegah pneumonia : 1. vaksin PCV (imunisasi IPD) untuk mencegah infeksi pneumokokkus (Invasive Pneumococcal diseases, IPD). vaksin PCV yang sudah tersedia adalah PCV-7 dan PCV-10. PCV 13 belum tersedia di Indonesia 2. vaksin Hib untuk mencegah infeksi Haemophilus Influenzae tipe b

3. vaksin DPT untuk mencegah infeksi difteria dan pertusis 4. vaksin campak dan MMR untuk mencegah campak 5. vaksin influenza untuk mencegah influenza

l. Komplikasi Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi.

m. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam batas normal. Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000 – 40.000/mm3 dengan predominan PMN. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara pasti.

2. C-Reactive Protein (CRP) Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi respons terhadap terapi antibiotik. Pemeriksaan

CRP

dan

prokalsitonin

juga

dapat

menunjang

pemeriksaan radiologi untuk mengetahui spesifikasi pneumonia karena pneumokokus dengan nilai CRP ≥ 120 mg/l dan prokalsitonin ≥ 5 ng/ml.

3. Pemeriksaan Mikrobiologis Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat,dan jarang didapatkan hasil yang positif. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring tidak memiliki nilai yang berarti. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru. 4. Pemeriksaan serologis Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Uji serologik IgM dan IgG antara fase akut dan konvalesen pada anak dengan infeksi pneumonia oleh Chlamydia pneumonia dan Mycoplasma pneumonia memiliki hasil yang memuaskan tetapi tidak bermakna pada keadaan pneumonia berat yang memerlukan penanganan yang cepat. 5. Pemeriksaan Roentgenografi Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar diagnosis utama pneumonia. Tetapi tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat dan timbul gejala klinis berupa takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara pernafasan. Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan diagnosis. Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:



Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular, peribronchial cuffing dan overaeriation. Bila berat terjadi pachy consolidation karena atelektasis.



Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round pneumonia



Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri, atipik, atau virus. Tetapi gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumoni dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.

n. Prognosis Pada era sebelum ada antibiotik, angka mortalitas pada bayi dan anak kecil berkisar dari 20% sampai 50% dan pada anak yang lebih tua dari 3% sampai 5%.13 Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan sampai kurang dari 1%, anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.2

o. SKDI Bronkopneumonia – 3B Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (kasus gawat darurat).

II.

Ketuban pecah dini a. DD Fistula vesiko vaginal pada kehamilan.

b. Algoritma 1.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik Anamnesa pasien dengan KPD merasa basah pada vagina atau mengeluarkan cairan yang banyak berwarna putih jernih, keruh, hijau, atau kecoklatan sedikit-sedikit atau sekaligus banyak, secara tiba-tiba dari jalan lahir. Keluhan tersebut dapat disertai dengan demam jika sudah ada infeksi. Pasien tidak sedang dalam masa persalinan, tidak ada nyeri maupun kontraksi uterus. Riwayat umur kehamilan pasien lebih dari 20 minggu.4 Pada pemeriksaan fisik abdomen, didapatkan uterus lunak dan tidak adanya nyeri tekan. Tinggi fundus harus diukur dan dibandingkan dengan tinggi yang diharapkan menurut hari pertama haid terakhir. Palpasi abdomen memberikan perkiraan ukuran janin dan presentasi.4

2.

Pemeriksaan dengan spekulum Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD untuk mengambil sampel

cairan ketuban di forniks posterior dan mengambil sampel cairan untuk kultur dan pemeriksaan bakteriologis.5 Tiga tanda penting yang berkaitan dengan ketuban pecah dini adalah : 1. Pooling

: Kumpulan cairan amnion pada fornix posterior.

2. Nitrazine Test 3. Ferning

: Kertas nitrazin merah akan jadi biru. : Cairan dari fornix posterior di tempatkan pada objek glass dan

didiamkan dan cairan amnion tersebut akan memberikan gambaran seperti daun pakis. Pemeriksaan spekulum pertama kali dilakukan untuk memeriksa adanya cairan amnion dalam vagina. Perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari ostium uteri eksternum apakah ada bagian selaput ketuban yang sudah pecah. Gunakan kertas lakmus. Bila menjadi biru (basa) adalah air ketuban, bila merah adalah urin. Karena cairan alkali amnion mengubah pH asam normal vagina. Kertas nitrazine menjadi biru bila terdapat cairan alkali amnion. Bila diagnosa tidak pasti, adanya lanugo atau bentuk kristal daun pakis cairan amnion kering (ferning) dapat membantu. Bila kehamilan

belum

cukup

bulan

penentuan

rasio

lesitin-sfingomielin

dan

fosfatidilgliserol membantu dalam evaluasi kematangan paru janin. Bila kecurigaan infeksi, apusan diambil dari kanalis servikalis untuk pemeriksaan kultur serviks terhadap Streptokokus beta group B, Clamidia trachomatis dan Neisseria gonorea. 3.

Pemeriksaan dalam Pemeriksaan dalam dilakukan untuk menentukan penipisan dan dilatasi serviks. Pemeriksaan vagina juga mengindentifikasikan bagian presentasi janin dan menyingkirkan kemungkinan prolaps tali pusat. Periksa dalam harus dihindari kecuali jika pasien jelas berada dalam masa persalinan atau telah ada keputusan untuk melahirkan.

c. DK Ibu Anita 30 tahun, primigravida, melahiran bayi laki-laki, aterm sesuai masa kehamilan diduga mengalami bronkopneumonia e.c. ketuban pecah dini.

d. Definisi Ketuban pecah dini atau spontaneus/early/premature rupture of membrans (PROM) merupakan pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum menunjukkan tanda-tanda persalinan / inpartu (keadaan inpartu didefinisikan sebagai kontraksi uterus teratur dan menimbulkan nyeri yang menyebabkan terjadinya efficement atau dilatasi serviks) atau bila satu jam kemudian tidak timbul tanda-tanda awal persalinan atau secara klinis bila ditemukan pembukaan kurang dari 3 cm pada primigravida dan kurang dari 5 cm pada multigravida. Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi kapan saja baik pada kehamilan aterm maupun preterm. Saat aterm sering disebut dengan aterm prematur rupture of membrans atau ketuban pecah dini aterm. Bila terjadi sebelum umur kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini preterm / preterm prematur rupture of membran (PPROM) dan bila terjadi lebih dari 12 jam maka disebut prolonged PROM.

e. Etiologi Sampai saat ini penyebab KPD belum diketahui secara pasti, tetapi ditemukan beberapa faktor predisposisi yang berperan pada terjadinya ketuban pecah dini, antara lain:

1. Infeksi Adanya infeksi pada selaput ketuban (korioamnionitis lokal) sudah cukup untuk melemahkan selaput ketuban di tempat tersebut. Bila terdapat bakteri patogen di dalam vagina maka frekuensi amnionitis, endometritis, infeksi neonatal akan meningkat 10 kali. Ketuban pecah dini sebelum kehamilan preterm sering diakibatkan oleh adanya infeksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang terikat pada membran melepaskan substrat seperti protease yang menyebabkan melemahnya membran. Penelitian terakhir menyebutkan bahwa matriks metalloproteinase merupakan enzim spesifik yang terlibat dalam pecahnya ketuban oleh karena infeksi.2 2. Defisiensi vitamin C Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan kolagen. Selaput ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan mempunyai elastisitas yang berbeda tergantung kadar vitamin C dalam darah ibu.2 3. Faktor selaput ketuban Pecahnya ketuban dapat terjadi akibat peregangan uterus yang berlebihan atau terjadi peningkatan tekanan yang mendadak di dalam kavum amnion, di samping juga ada kelainan selaput ketuban itu sendiri. Hal ini terjadi seperti pada sindroma EhlersDanlos, dimana terjadi gangguan pada jaringan ikat oleh karena defek pada sintesa dan struktur kolagen dengan gejala berupa hiperelastisitas pada kulit dan sendi, termasuk pada selaput ketuban yang komponen utamanya adalah kolagen. Dimana 72 % penderita dengan sindroma Ehlers-Danlos ini akan mengalami persalinan preterm setelah sebelumnya mengalami ketuban pecah dini preterm. 4. Faktor umur dan paritas Semakin tinggi paritas ibu akan makin mudah terjadi infeksi cairan amnion akibat rusaknya struktur serviks akibat persalinan sebelumnya. 5. Faktor tingkat sosio-ekonomi Sosio-ekonomi yang rendah, status gizi yang kurang akan meningkatkan insiden KPD, lebih-lebih disertai dengan jumlah persalinan yang banyak, serta jarak kelahiran yang dekat. 6. Faktor-faktor lain Inkompetensi serviks atau serviks yang terbuka akan menyebabkan pecahnya selaput ketuban lebih awal karena mendapat tekanan yang langsung dari kavum uteri. Beberapa prosedur pemeriksaan, seperti amniosintesis dapat meningkatkan risiko terjadinya ketuban pecah dini. Pada perokok, secara tidak langsung dapat

menyebabkan ketuban pecah dini terutama pada kehamilan prematur. Kelainan letak dan kesempitan panggul lebih sering disertai dengan KPD, namun mekanismenya belum diketahui dengan pasti. Faktor-faktor lain, seperti : hidramnion, gamelli, koitus, perdarahan antepartum, bakteriuria, pH vagina di atas 4,5, stres psikologis, serta flora vagina abnormal akan mempermudah terjadinya ketuban pecah dini.2 Berdasarkan sumber yang berbeda, penyebab ketuban pecah dini mempunyai dimensi multifaktorial yang dapat dijabarkan sebagai berikut : 

Serviks inkompeten.



Ketegangan rahim yang berlebihan : kehamilan ganda, hidramnion.



Kelainan letak janin dalam rahim : letak sungsang, letak lintang.



Kemungkinan kesempitan panggul : perut gantung, bagian terendah belum masuk pintu atas panggul, disproporsi sefalopelvik.



Kelainan bawaan dari selaput ketuban.



Infeksi yang menyebabkan terjadi proses biomekanik pada selaput ketuban dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah.5

f. Epidemiologi Prevalensi KPD berkisar antara 3-18% dari seluruh kehamilan. Saat aterm, 810 % wanita hamil datang dengan KPD dan 30-40% dari kasus KPD merupakan kehamilan preterm atau sekitar 1,7% dari seluruh kehamilan. KPD diduga dapat berulang pada kehamilan berikutnya, menurut Naeye pada tahun 1982 diperkirakan 21% rasio berulang, sedangkan penelitian lain yang lebih baru menduga rasio berulangnya sampai 32%. Hal ini juga berkaitan dengan meningkatnya risiko morbiditas pada ibu atau pun janin. Komplikasi seperti : korioamnionitis dapat terjadi sampai 30% dari kasus KPD, sedangkan solusio plasenta berkisar antara 4-7%. Komplikasi pada janin berhubungan dengan kejadian prematuritas dimana 80% kasus KPD preterm akan bersalin dalam waktu kurang dari 7 hari. Risiko infeksi meningkat baik pada ibu maupun bayi. Insiden korioamnionitis 0,5-1,5% dari seluruh kehamilan, 3-15% pada KPD prolonged, 15-25% pada KPD preterm dan mencapai 40% pada ketuban pecah dini dengan usia kehamilan kurang dari 24 minggu. Sedangkan insiden sepsis neonatus 1 dari 500 bayi dan 2-4% pada KPD lebih daripada 24 jam. Proporsi KPD di Rumah Sakit Sanglah periode 1 Januari 2005 sampai 31 Oktober 2005 dari 2113 persalinan, proporsi kasus KPD adalah sebanyak 12,92%.

Sedangkan proporsi kasus KPD preterm dari 328 kasus ketuban pecah dini baik yang melakukan persalinan maupun dirawat secara konservatif sebanyak 16,77% sedangkan sisanya adalah KPD dengan kehamilan aterm. Kontribusi KPD ini lebih besar pada sosial ekonomi rendah dibandingkan sosial ekonomi menengah ke atas.

g. Faktor risiko Faktor risiko ketuban pecah dini persalinan preterm 1. kehamilan multipel : kembar dua (50%), kembar tiga (90%) 2. riwayat persalinan preterm sebelumnya 3. perdarahan pervaginam 4. pH vagina di atas 4.5 5. Kelainan atau kerusakan selaput ketuban. 6. flora vagina abnormal 7. fibronectin > 50 ng/ml 8. kadar CRH (corticotropin releasing hormone) maternal tinggi misalnya pada stress psikologis, dsb, dapat menjadi stimulasi persalinan preterm 9. Inkompetensi serviks (leher rahim) 10. Polihidramnion (cairan ketuban berlebih) 11. Riwayat KPD sebelumya 12. Trauma 13. servix tipis / kurang dari 39 mm, Serviks (leher rahim) yang pendek (<25mm) pada usia kehamilan 23 minggu 14. Infeksi pada kehamilan seperti bakterial vaginosis faktor-faktor yang dihubungkan dengan partus preterm 1. iatrogenik : hygiene kurang (terutama), tindakan traumatik 2. maternal : penyakit sistemik, patologi organ reproduksi atau pelvis, pre-eklampsia, trauma, konsumsi alkohol atau obat2 terlarang, infeksi intraamnion subklinik, korioamnionitis klinik, inkompetensia serviks, servisitis/vaginitis akut, Ketuban Pecah pada usia kehamilan preterm. 3. fetal : malformasi janin, kehamilan multipel, hidrops fetalis, pertumbuhan janin terhambat, gawat janin, kematian janin. 4. cairan amnion : oligohidramnion dengan selaput ketuban utuh, ketuban pecah pada preterm, infeksi intraamnion, korioamnionitis klinik.

5. placenta : solutio placenta, placenta praevia (kehamilan 35 minggu atau lebih), sinus maginalis, chorioangioma, vasa praevia. 6. uterus : malformasi uterus, overdistensi akut, mioma besar, desiduositis, aktifitas uterus idiopatik

h. Manifestasi klinis Tanda dan gejala pada kehamilan yang mengalami KPD adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina. Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksisampai kelahiran. Tetapi bila anda duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya mengganjal atau menyumbat kebocoran untuk sementara. Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.

i. Patofisiologi dan pathogenesis Banyak teori, mulai dari defect kromosom, kelainan kolagen, sampai infeksi. Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai 65%). High virulensi berupa Bacteroides dan low virulensi berupa Lactobacillus Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblast, jaringan retikuler korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh system aktifitas dan inhibisi interleukin - 1 (iL-1) dan prostaglandin. Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas iL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi depolimerasi kolagen pada selaput korion/ amnion, menyebabkan ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan. 

Patofisiologi Pada infeksi intrapartum : 1) ascending infection, pecahnya ketuban menyebabkan ada hubungan langsung antara ruang intraamnion dengan dunia luar. 2) infeksi intraamnion bisa terjadi langsung pada ruang amnion, atau dengan penjalaran infeksi melalui dinding uterus, selaput janin, kemudian ke ruang intraamnion.

3) mungkin juga jika ibu mengalami infeksi sistemik, infeksi intrauterin menjalar melalui plasenta (sirkulasi fetomaternal). 4) tindakan iatrogenik traumatik atau higiene buruk, misalnya pemeriksaan dalam yang terlalu sering, dan sebagainya, predisposisi infeksi.

j. Tatalaksana Konservatif 

Rawat di rumah sakit.



Berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau eritromisin bila tidak tahan dengan ampisilin dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari).



Jika umur kehamilan < 32 – 34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.



Jika umur kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa negatif : beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi dan kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu.



Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah in partu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam.



Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi.



Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin).



Pada usia kehamilan 32-34 minggu, berikan steroid untuk memacu kematangan paru janin dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason i.m 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.7 Aktif



Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal pikirkan seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.



Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan diakhiri jika : a. Bila skor pelvik < 5, lakukanlah pematangan serviks, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea. b. Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam.

Tabel. 3.2 Penatalaksanaan ketuban pecah dini.7

Gambar. 3.3 Alur penatalaksanaan ketuban pecah dini.

k. Edukasi dan pencegahan Pencegahan KPD diutamakan dengan menghindari faktor risikonya, seperti: - Pemeriksaan kehamilan yang teratur - Kebiasaan hidup sehat, seperti mengonsumsi makanan yang sehat, minum cukup, olahraga teratur dan berhenti merokok. - Membiasakan diri membersihkan daerah kemaluan dengan benar, yakni dari depan ke belakang, terutama setelah berkemih atau buang air besar. - Memeriksakan diri ke dokter bila ada sesuatu yang tidak normal di aderah kemaluan, misalnya keputihan yang berbau atau berwarna tidak seperti biasanya. - Untuk sementara waktu, berhenti melakukan hubungan seksual bila ada indikasi yang menyebabkan ketuban pecah dini, seperti mulut rahim yang lemah. - Mengonsumsi 100 mg vitamin C secara teratur saat usia kehamilan lebih dari 20 minggu

l. Komplikasi Persalinan Prematur Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi di dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.8 Infeksi Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia, omfalitis. Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada ketuban pecah dini prematur, infeksi lebih sering daripada aterm. Secara umum, insiden infeksi sekunder pada ketuban pecah dini meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.8 Hipoksia dan Asfiksia Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya

gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.8 Sindroma deformitas janin Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, serta hipoplasia pulmonal.8

m. Pemeriksaan penunjang  Dengan tes lakmus, cairan amnion akan mengubah kertas lakmus merah menjadi biru.  Pemeriksaan leukosit darah, bila meningkat > 15.000 /mm3 kemungkinan ada infeksi.  USG untuk menentukan indeks cairan amnion, usia kehamilan, letak janin, letak plasenta, gradasi plasenta serta jumlah air ketuban.  Kardiotokografi untuk menentukan ada tidaknya kegawatan janin secara dini atau memantau kesejahteraan janin. Jika ada infeksi intrauterin atau peningkatan suhu, denyut jantung janin akan meningkat.  Amniosintesis digunakan untuk mengetahui rasio lesitin - sfingomielin dan fosfatidilsterol yang berguna untuk mengevaluasi kematangan paru janin.

n. Prognosis Quo ad vitam: dubia ad bonam Quo ad fungsionam: dubia ad bonam Quo ad sanationam: dubia ad bonam

DAFTAR PUSTAKA 1.

Alberta Medical Association. 2001. Guideline for The Diagnosa and Management of Community Acquired Pneumonia Pediatric. http:/www.albertadoctor.org.

2.

Alsagaff, Hood dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru dan Saluran Napas FK Unair : Surabaya.

3.

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006. Pedoman Diagnosis dan

Terapi.

Surabaya. 4.

Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 6, Penerbit EGC, Jakarta: 2005, hal: 804.

5.

Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2010.

6.

Pedoman Diagnosis dan Terapi Kesehatan Anak, UNPAD, Bandung: 2005.

7.

Saifudin A.B. 2006. Ketuban Pecah Dini, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal : 218-220.

8.

Soewarto, S. 2009. Ketuban Pecah Dini. Dalam: Winkjosastro H., Saifuddin A.B., dan Rachimhadhi T. (Editor). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal. 677-680.

9.

Prawirohardjo, Sarwono. 2016. Ilmu Kebidananan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: P.T Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Related Documents


More Documents from "arief"