Harimau Dan 3 Ekor Rusa.docx

  • Uploaded by: Ndar Kibim
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Harimau Dan 3 Ekor Rusa.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,506
  • Pages: 22
Harimau dan 3 Ekor Rusa Disebuah hutan hiduplah tiga ekor rusa kecil yang hidup bersama dengan ibunya. Ke3 ekor rusa kecil ini demikian cepat tumbuh besar. Pada suatu hari ibunda mereka memberikan mereka saran untuk bangun tempat tinggal semasing supaya terlepas dari harimau. Harimau ialah binatang yang sangat ditakuti oleh ke-3 ekor rusa ini serta ibundanya. Spontan mereka cemas, mereka yang tetap berlaku seperti rusa yang masih tetap kecil serta manja saat ini mesti hidup mandiri. Tibalah waktu mereka mandiri, saat mereka berjalan bertemulah ke-3 ekor rusa itu dengan seseorang yang membawa jerami. Secara cepat serta tiada fikir panjang, rusa pertama minta jerami itu. Pada akhirnya rusa pertama bangun rumah memiliki bahan jerami. Rusa ke3 semakin putus harapan saat rusa ke-2 berjumpa dengan seorang yang membawa kayu serta kayu itu dikasihkan pada rusa ke-2 dan secara cepat dia bangun rumah itu. Rusa ke-3 dalam keputusasaan tapi dia masih sabar. Pada akhirnya dia terasa suka ketia dia berjumpa dengan seorang yang membawa bata serta memberi bata itu kepadanya. Dalam waktu cepat rumah itu berdiri kuat serta rusa ke-3 meyakini jika harimau tidak akan memangsanya. Permasalahan juga hadir, harimau mendatangi rumah setiap rusa. Dengan sekali tiup saja, rumah rusa pertama serta ke-2 langsung rubuh tidak bersisa termasuk juga beberapa pemiliknya si rusa pertama serta ke-2. Dengan perut yang kenyang harimau mendatangi rumah rusa ke-3, tentunya untuk memangsanya lagi. Ditupnya rumah rusa ke-3 berkali-kali, sampai angin dari tiupannya tidak bisa berhembus lagi. Harimau geram serta kembali terasa lapar. Dengan beberapa akal harimau merayu rusa ke-3. Dari mulai berjumpa di kebun lobak jam empat sore. Tetapi rusa ke-3 tahu jika harimau ingin memangsanya. Rusa ke-3 hadir lebih awal serta isi keranjangnya dengan lobak sampai penuh. Harimau semakin jengkel, dia juga terus-terusan merayu rusa ke-3 tetapi rusa ke-3 makin cerdas. Tiap-tiap penawaran harimau dijawab dalam kata dia, tetapi dia tetap hadir lebih awal serta tinggalkan harimau supaya selamat. Walau dia mesti menggelinding dalam satu tong yang dia beli saat memiliki janji dengan harimau berjumpa di festival. Selanjutnya harimau termakan oleh gagasannya sendiri. Riwayatnya selesai saat dia ingin masuk ke rumah rusa ke-3 melalu cerobong asap. Rusa ke-3 yang benar-benar cerdas, dengan sigap memanaskan air dalam panci tidak bertutup serta ditempatkan pas di atas tungku sampai panas. Lalu, harimau juga jatuh serta tersiram bahkan juga di rebus hidup-hidup dalam panci yang berisi air panas itu. Keseluruhannya, buku narasi dongeng Tiga Rusa Kecil ini mempunyai jalur yang begitu menarik serta anggota beragai ide. Pesan-pesan moralnya sangat banyak serta berguna terpenting untuk anak-anak. Dalam pemaparannya ikut dipakai bahasa yang gampang dimengerti. Akan tetapi, ada satu kekuangan, yakni dalam narasi ini kurang diuraikan perasaan gotong royong serta kekeluargaan dari beberapa tokohnya terpenting tiga ekor rusa kecil. Meskipun mereka ingin bangun rumah sendiri, tapi perasaan gotong royong itu begitu dibutuhkan.

Gadis Kecil dan Dewi Bulan Andini ialah seseorang gadis desa yang miskin. Mukanya cukup suram, karena dia menanggung derita penyakit kulit di mukanya. Beberapa orang desa seringkali takut bila berpapasan denganya. Andini pada akhirnya tetap memakai cadar. Dalam satu malam, Andini punya mimpi berjumpa dengan pangeran Rangga. Putra Raja itu populer dengan keramahannya serta ketampanannya. Andini ingin berteman dengannya. Dia juga semakin seringkali mengimpikan Pangeran Rangga. “Sudahlah, Andini! Buang jauh-jauh mimpimu itu!“ kata Ibu Andini, saat lihat anaknya termangu di muka jendela kamar. “Ibu tidak punya maksud menyakiti hatimu. Kamu bisa suka pada siapapun. Tetapi Ibu tidak mau pada akhirnya kamu sedih,“ papar Ibu Andini lembut. Sebetulnya Andini ikut sadar. Mimpinya sangat tinggi. Beberapa orang desa saja takut memandangnya, ditambah lagi pangeran Rangga. Fikir Andini. Dalam satu malam, Andini lihat panorama alam yang begitu indah. Bulan cemerlang jelas di langit. Cahayanya lembut keemasan. Di sekelilingnya, terlihat bintang-bintang yang berkelap-kelip. Malam itu demikian cerah. “Sungguh cantik!“ gumam Andini. Matanya kagum melihat mengarah bulan. Tidak diduga saja Andini ingat pada suatu dongeng mengenai Dewi Bulan. Dewi itu tinggal di bulan. Dia begitu cantik serta baik hati. Dia seringkali turun ke bumi untuk membantu beberapa orang yang kesulitan. Di desa Andini, tiap-tiap ibu yang ingin memiliki anak wanita, tetap mengharap anaknya seperti Dewi Bulan. Dahulu, saat Andini masih tetap kecil, mukanya juga secantik Dewi Bulan, menurut Ibu Andini. “Aku ingin meminta pada Dewi Bulan supaya saya dapat canti lagi seperti dahulu. Tapi…, ah.., tidak mungkin! Itu tentu cuma dongeng!” Andini selekasnya menghalau harapannya. Sesudah senang memandang bulan, Andini tutup rapat jendela kamarnya. Dia bergerak untuk tidur dengan hati susah. Andini ialah gadis yang baik. Hatinya lembut serta senang membantu orang yang lain. Satu sore, Andini bersiap-siap pergi mengantar makanan untuk seseorang nenek yang tengah sakit. Walau rumah nenek itu cukuplah jauh, Andini ikhlas menjenguknya. Sepulang dari rumah si nenek, Andini kemalaman di dalam perjalanan. Dia bingung sebab kondisi jalan demikian gelap. Tidak tahu dari tempat mana aslinya, tidak diduga, muncul beberapa ratus kunang-kunang. Sinar dari badan mereka demikian jelas. “Terima kasih kunang-kunang. Kalian sudah menerangi jalanku!“ kata Andini lega. Dia berjalan, serta selalu berjalan. Akan tetapi, walau cukup sudah jauh berjalan. Andini tidak ikut sampai di tempat tinggalnya. Andini tidak ikut mememukan tempat tinggalnya. “Kusara saya telah tersesat!“ gumamnya cemas. Nyatanya beberapa kunang-kunang sudah mengarahkannya masuk ke rimba. “Jangan takut, Andini! Kami membawamu ke sini , supaya wajahmu dapat sembuh,“ tutur seekor kunang-kunang. “Kau?Kau dapat bicara?“ Andini memandang heran seekor kunang-kunang yang terbesar. “Kami ialah utusan Dewi Bulan,“ jelas kunang-kunang itu. Andini pada akhirnya datang di pinggir danau. Beberapa kunang-kunang beterbangan ke arah langit. Demikian kunang-kunang menghilang, perlahan awan hitam di langit mengungkap. Keluarlah cahaya bulan purnama yang jelas benderang. “Indah sekali!“ Andini kagum. Kondisi di seputar danau jadi jelas. Andini memerhatikan bayang-bayang bulan diatas air danau. Bayangan purnama itu demikian bundar prima. Selang beberapa saat, pas dari bayangan bulan itu nampaklah figur wanita berparas cantik.

“Si…siapa kau?“ bertanya Andini kaget. “Akulah Dewi Bulan. Saya hadir untuk mengobati wajahmu,“ papar Dewi Bulan lembut. “Selama ini kau sudah mendapatkan ujian. Sebab kebaikan hatimu, kau memiliki hak terima air kecantikan dariku. Usaplah wajahmu dengan air ini!“ lanjut Dewi Bulan sekalian memberi sebotol air. Dengan tangan gemetar Andini menerimanya. Perlahan Dewi Bulan masuk kembali ke bayang-bayang bulan di permukaan air danau. Lalu dia menghilang. Andini selekasnya membersihkan mukanya dengan air pemberian Dewi Bulan. Malam itu, Andini tertidur di pinggir danau. Namun, benar-benar ajaib! Keesokannya. Dia sudah ada di kamarnya sendiri lagi. Saat bercermin, dia begitu senang lihat kilit mukanya sudah halus lembut kembali seperti dahulu. Dia sudah canti kembali. Ibunya heran serta senang. “Bu, Dewi Bulan nyatanya betul-betul ada!“ narasi Andini. Secara cepat kecantikan wajah Andini menyebar kemana saja. Bahkan juga sampai ikut ke telinga Pangeran Rngga. Sebab ingin tahu, Pangeran Rangga juga mecari Andini. Keduaduanya pada akhirnya dapat berjumpa. Andini begitu gembisa dapat berteman dengan pangeran idola hatinya.

Anak Kurcaci Kecil dan Mangga Ajaib Peter, sang kurcaci penggali sumur mempunyai sebatang pohon mangga ajaib di tempat tinggalnya di dalam rimba Morin. Buahnya berwarna-warni sesuai dengan warna cabangnya. Pohon mangga ini adalah pohon ajaib di kelompok beberapa kurcaci di rimba Morin. Pohonnya bercabang lima seperti jari tangan dengan warna yang berlainan. Tiap-tiap warna memiliki khasiatnya sendiri. Buah merah cabang ibu jari, bermanfaat mengobati penyakit asma. Buah hijau cabang telunjuk, bermanfaat mengobati sakit perut. Buah kuning cabang jari tengah bermanfaat mengobati penyakit mata. Buah putih cabang jari manis bermanfaat percantik muka. Seperti bentuk jari manis yang anggun, mangga putih seringkali dipesan kurcaci wanita untuk percantik muka serta badan, supaya masih fresh serta penuh pesona. Nah, buah biru cabang kelingking, kecil serta cukup ringkih. Buah biru bermanfaat mengobati penyakit lupa. Semua kurcaci yang pelupa di rimba Morin, langsung sembuh ingatannya saat mengonsumsi mangga biru. Intinya nyos deh khasiatnya. Satu hari, Peter, pergi menggali sumur di desa samping rimba Morin. Tidak diduga matanya terserang pecahan batu galian. Wah, bahaya jika tidak cepat diatasi. Peter lantas ambil mangga kuning dari dalam tasnya, lalu dimakannya. Ajaib, saat itu ikut sakit mata Peter kembali sembuh. Saat hari mulai sore, Peter pulang ke rimba. Di dalam perjalanan Peter berjumpa seseorang Ibu tua yang sakit asma. Peter jatuh kasihan, lalu dia ambil mangga merah dari tasnya serta dikasihkan pada Ibu tua itu. Sesudah ibu tua mengkonsumsinya, saat itu ikut sembuhlah penyakit asmanya. Ibu tua lantas mengatakan terima kasih pada Peter. Wis meneruskan perjalanan pulangnya. Kembali Peter berjumpa dengan Kakak beradik yang tengah duduk diatas batu di tepi sungai. “Aduh, sakit perutku, kak!” kata anak lelaki sekalian meringis kesakitan memegang perutnya. “Sakit sekali ya, dek?” bertanya Kakak perempuannya yang jelek rupa. “Iya kak, saya telah tidak tahan lagi,” kata anak lelaki meredam sakit. Peter yang dengar pembicaraan itu menanyakan, “Ada yang dapat saya membantu?” “Oh, iya pak kurcaci, Adikku perlu pertolongan. Dia sakit perut, mungkin kebanyakan makan jambu air,” sang Kakak memberi tahu Peter. Peter ambil mangga hijau dari dalam tasnya serta dikasihkan ke anak lelaki itu. “Nah, makan ini!” kata Peter sekalian menyerahkan mangga itu. Peter memandang Kakak wanita yang jelek rupa lalu jadi iba. Peter lantas ambil mangga putih serta dikasihkan pada sang Kakak. “Saya tidak sakit pak kurcaci,” kata sang Kakak. “Kamu ikut bisa mengkonsumsinya, kelak kamu akan tahu khasiatnya!” jawab Peter. Pada akhirnya ke-2 Kakak beradik itu mengonsumsi buah mangga dari pohon ajaib itu. “Haa? Saya bisa saja cantik? Kulitku jadi putih serta halus!” sorak sang Kakak wanita jelek rupa kagum dengan pergantian yang barusan berlangsung. “Aku juga pulih, kak! Perutku telah tidak mules lagi,” kata si anak lelaki. “Wah, terima kasih ya pak kurcaci. Kami begitu mujur berjumpa kamu ini hari. Terima kasih, terima kasih, terima kasih,” kedua-duanya mengemukakan perasaan terima kasihnya berkalikali. Peter cuma tersenyum dengar perkataan terima kasih itu. Mendekati tempat tinggalnya di rimba, Peter berjumpa dengan seseorang Kakek. Keliatannya sang Kakek tengah kebingungan. Peter mendekati si Kakek serta menanyakan, “Ada apakah, kek? Ada yang dapat saya membantu?” bertanya Peter lembut. “Iya, saya perlu pertolongan. Saya ingin pulang ke rumah saya di tepi rimba tetapi saya lupa jalan pulangnya. Saat ini saya tersesat,” tutur sang Kakek yang pelupa.

“Oh janganlah cemas, kek. Kakek makan saja mangga biru ini!” kata Peter sekalian menyerahkan mangga paling akhir dari dalam tasnya. Sesaat lalu tampaklah reaksinya. Kakek mulai sadar serta sudah tahu arah ke tempat tinggalnya. “Terima kasih, saat ini saya jadi tahu jalan pulang ke rumah!” kata Kakek suka. “Oke, berhati-hati ya, kek!” jawab Peter sopan. Nah, lengkaplah telah pekerjaan Peter hari itu, mengobati lima penyakit dengan buah mangga ajaib. Sehari-hari, Wis si kurcaci serta mangga ajaibnya selalu mengobati siapapun yang memerlukan pertolongan.

~Putih atau Coklat?~ Pagi buta begini, aku sudah bangun. Aku memang sudah terbiasa bangun pagi, terlebih itu karena aku sekolah pagi. Bukan tidak mungkin hal itu yang membuatku bangun sepagi ini. Memang dingin, tetapi apa boleh buat, aku harus melawan rasa dingin ini untuk mandi. Mataku masih sayup, begitupun penglihatanku. Masih kurang jelih, agak buram. Kulihat kearah jam dinding, ‘Baru jam setengah enam, kalo mandi dingin nggak ya?’Benakku. Kekantukan masih melandaku. Aku pun segera melangkahkan kaki kearah kamar mandi. Baru melihat airnya saja aku sudah merinding, apalagi jika air itu mengguyur tubuhku. Pasti dingin… Tidak lama kemudian, aku telah memakai seragam sekolahku. Aku tidak ingin terlalu lama berada dikamar mandi, memegang air yang dingin. “Udah rapi… sip!!” kataku, setelah memakai kerudung. Kini, aku tinggal memakai sepatu. “Tia, tolong bangunkan kak Siska!! Mau kerja, atau tidak?” seru Mama. Aku hanya mengiyakan. Karena kamar Kak Siska tidak berada didalam rumahku, maka mau tidak mau aku harus keluar. Memang masih pagi, tetapi tetap saja gelap. “Kak Siska, bangun…!! Mau kerja nggak?” kataku, sedikit terpekik. Tidak ada balasan. Pasti masih tidur… Benakku. Kucoba kembali pintu kamar Kak Siska, tetapi tidak ada jawaban. Tadinya aku berniat untuk memekik, namun aku urungkan kembali niatku. Aku takut jika pekikanku membuat resah tetangga, apalagi ini masih pagi. “iyyaaa…!!” akhirnya suara Kak Siska terdengar, walaupun terdengar sedikit menggumam. Klek, pintu terbuka. Muka Kak Siska terlihat berantakan, maksudku rambutnya. Mungkin dia bermimpi gatal-gatal, jadi rambutnya agak kusut. Dia memandangku sejenank, namun segera pergi. Seperti biasa, aku selalu mengecek kamarnya, semoga saja ada sesuatu yang baru dari kamar Kak Siska yang sumpek itu. “Wow… berantakan banget!” kataku, meringis. Kamar perawan kok berantakan gitu?Benakku. Aku menggeleng-geleng, sambil berkedip-kedip. Tiba-tiba saja, mataku membelalak ketika melihat sebuah benda aneh. “Apa tuh? Liat ahh..!!” Badanku, kujongkokkan. Karena benda itu tepat berada dibawah kasur. Hewan, putih, dan sangat imut. Aku tidak tahu apa nama hewan ini? Semacam tikus, tetapi putih, dan kecil. Hewan apa tuh? Gumamanku. Tanganku berusaha menggapai kandang hewan itu, tetapi suara seorang membuatku tersentak, “Eh, jangan pegang-pegang!” Ternyata Kak Ika (Kak Siska biasa dipanggil Ika), dia sudah selesai mandi? Benarkah? Perasaan baru tadi Dia keluar kamar. “Ih… siapa yang pegang-pegang? Orang mau liat doang kok!” kataku, mengelak. Aku segera berdiri, “Kak, itu hewan apa?” “Hamster! cepet keluar, Kakak mau pake baju dulu!” katanya, tanpa disuruh pun aku akan keluar. Fikirku. Aku pun segera keluar, dan melanjutkan kegiatan yang tadi sempat kutunda. Memakai sepatu, dan segera berangkat kesekolah. Selama disekolah, aku belajar seperti biasa. Kadang, kami pun bercanda walau ada guru. Ya, begitulah sikap anak kelas V. Seharusnya sudah lebih dewasa, tetapi harus bagaimana lagi? Kami sudah seperti ini. Kegiatan sekolah, membuatku lupa dengan kejadian tadi pagi. Dan aku mengingat kejadian itu, ketika berjalan sepulang sekolah. Langkah pun kulaju dengan agak cepat. Sangat tidak sabar bermain dengan Hamster.

Aku segera mengganti baju, dan segera kekamar Kak Ika. Wow, hewan itu masih ada disitu. Mulutku tersenyum lebar. Aku segera membuka pintu kandang, dan memegang hewan itu. Lebut sekali, seperti belaian tangan Mama. “Lucu banget!” kataku. “Wey!” suara yang mengagetkanku. “Yi, itu apa?” tanyanya. Pandanganku mengarah kepada orang itu. Fahmi, ternyata Dia yang berbicara. “Hamster! Punya Kak Ika…!!” kataku. Fahmi menghampiriku, dia memerhatikan Hamster yang imut-imut itu. Mukanya ikut berseri sepertiku. Kami memang baru pertama kalinya melihat Hamster sedekat ini, bahkan memegang. Sebelumnya kami tidak tahu dan mungkin tidak akan pernah tahu. “Mi, kalo Hamster makannya apa sih?” “Mmm… itu ada wortel! Makanannya wortel kali..!!” katanya, tetapi aku tidak yakin. Ya, memang wortel itu ada di kandang hamster, tetapi apakah iya Hamster makan wortel? Aku berfikir sejenak, “Iya kali ya? Ya udah, kasih makan aja…!!” “Iya..!!” jawabnya girang. Kami pun larut dalam keasyikan bermain hamster. Melihat hamster-hamster itu berputar diroda, aku terkagum-kagum. Mereka bisa, kenapa aku tidak bisa? Tetapi, suatu masalah datang. Ketika aku berniat untuk mengeluarkan hamster dari kandangnya, hamster itu malah memberontak. Dia mengeluarkan suara asing, yang membuatku takut. Malah, hamster itu hamper menggigit tangan Fahmi yang hendak memegang badan hamster itu. “Dishh… hamsternya galak Ya,” gerutu Fahmi. Kata ‘Ya’ adalah kependekan dari Tia. Diambil belakangnya, menjadi ‘Ya’. “Dishh .. iya, mending gak usah dikeluarin lah..!!” saranku. Fahmi menggeleng, dia bersikeras untuk mengeluarkan hamster itu. “Aku coba lagi buat keluarin deh..!!” tekatnya. Aku mengangguk mantap. “Ya udah..!!”. Sekali, tidak berhasil. Kedua, ketiga, sampai beberapa kali gagal. “Mi, sedikit lagi tuh..!! cepet keluarin..!!” “Susah Ya..!!” katanya mengeluh. Aku pun hanya bisa menyaksikan. Aku tidak berani, karena aku takut di gigit. Kami pun mengurungkan untuk mengeluarkan hamster itu. “Ahaaa… mending di goyang-goyangin aja kandangnya! Nantikan hamsternya keluar!!” Aku menepuk jidat, “Oh iyaa.. Duh … bodoh banget sih aku!” kataku. Fahmi segera menggoyang-goyangkan kandang hamster, “Tuh kan, keluar…!!” Mulutku berseri, “Hahaha… iya! Mi, awas nanti kabur..!! jangan sampe masuk kekolong kasur..!!” saranku. Fahmi hanya mengiyakan. Tetapi tak menerapkan, buktinya hamster itu hamper mendekat kebawah ranjang. “Tuh kan, apa aku bilang..!!” “Nggak bakal kok!” “Cepet tangkep, dan masukin deh! Nanti ada Kak Ika, diomelin lhoo!!” kataku, sedikit menakut-nakuti. Muka Fahmi terlihat ketakutan, dia pun segera memasukkan hamster itu. “Adawwww….!!!” Pekikannya. Kali ini Fahmi tergigit oleh hamster itu. Tuh kan, apa aku bilang? “Hahaha… mangkanya hati-hati…!!!” aku tertawa puas. Sorenya, daerahku mati lampu. Pertamanya aku bersyukur karena ini masih sore, tetapi mati lampu itu bertahan sampai malam. Bahkan, ketika shalat magrib pun aku tanpa cahaya. Seperti biasa, aku selalu shalat berjamaah bersama Bapak. Suara Bapak yang merdu sangat enak didengar. Tetapi, ditengah shalat, aku melihat putih-putih melintas melewati

kami yang sedang shalat. Kecil. Tetapi menakutkan. Pandangaku terus melirik kearah putihputih itu. Apa itu? Benakku. Bahkan saking herannya dengan benda itu, pendengaranku menjadi buyar. Dan mengakibatkan lupa berkata ‘Amin’ ketika Bapak membaca Al-Fatihah. Tetapi, untuk rakaat yang kedua, aku tidak lupa. Dan tetap saja, fikiranku tertuju kepada benda putih tadi. Selesai shalat, aku segara bersalaman kepada Bapak, dan berujar “Pak, tadi Dede liat putih-putih lewat disitu pak.. itu apa sih?” seraya menunjuk tempat yang dilewati benda tadi. “Ohh.. apa jangan-jangan….” “Jangan-jangan apa?” Tanya Bapak, tetapi aku sudah terlanju berlari mencarihandphone Bapak. Kutemukan handphone Bapak diatas lemari. Lalu kunyalakan lampu dihandphone Bapakku. “Kak Ika… hamsternya kaburrrrr….!!!” Pekikkanku. “Tia… bantuin nangkep dong!!” pinta kak Ika. Mataku mebelalak, tadi siang hanya melihat saja aku takut, apalagi nyuruh nangkep!! Hih… benakku. Aku meringis ketakutan. “Nggak mau ah…!! Aku nggak berani, Kakak aja!” kataku, seraya mengawasi hamster yang hampir kabur lagi. “Ya udah, jagain dulu! Kakak mau ngambil kandangnya!” ujar kak Ika, lalu berjalan kearah kamarnya. Aku harus menjaga seperti Pak Satpam, bahkan seperti Polisi menjaga teroris. Aahhh… ada-ada saja nih, hamster Kak Ika. Aku sudah kaget, aku kira mataku salah melihat, eh ternyata itu adalah hamster. Huh, aku hampir merinding. Kalau saja itu adalah hal lain, itu akan menjadi sejarah, karena aku belum pernah melihat putih-putih. Hihhh… seram… Keesokan harinya, seperti biasa aku bangun pagi. Memasuki dapur, yang menghubungkan kamar mandi. Ya Tuhan.. baru semalam aku mengalami kejadian lucu, tapi membuat bulu romaku merinding..!! sekarang apalagi? Benakku. Aku menghela nafas. Tahukah apa yang kulihat? Aku melihat seekor hewan, masuk kedalam toples minyak goreng. Lagi? Hamster lagi? Astagfirallahal’azim…!!! Aku meringis ketika melihat hamster yang berusaha keluar dari toples itu. Hamster itu berusaha keluar dari toples itu, tetapi dinding toples itu licin. Sulit sekali, untuk keluar. Hamster yang unik, sejujurnya saat itu aku bingung mengenali hamster itu. Karena bulunya yang berubah menjadi coklat, bukan lagi putih.

KOTAK PEMBERIAN NENEK Waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 WIB ketika bus Ekonomi AC jurusan Jogja sampai di kota Solo. Di tempat duduk paling belakang bus tersebut, duduk seorang perempuan paruh baya yang diketahui bernama Sri. Wajahnya terlihat lelah namun ada kebahagiaan tercermin dari tatapan matanya. Sri tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya dan bergegas mengampiri kondektur bus yang berada di samping supir. Suasana di bus sepi karena semua penumpang masih terlelap. “Pak sepertinya saya mencium bau kabel terbakar dari bus ini. Apa Bapak juga menciumnya?” Tanpa pikir panjang sang kondektur langsung menjawab “tidak” meskipun sangat terlihat keraguan dari nada bicara laki-laki itu. “Tapi Pak, saya yakin mencium bau kabel terbakar dari bus ini?” “Saya bilang tidak ya tidak. Jika ibu tidak percaya silahkan ibu boleh keluar dari bus ini. Saya akan kembalikan uang ibu setengahnya.” Dengan kasarnya sang kondektur menyerahkan uang yang dijanjikannya kepada Sri. Hampir semua penumpang terbangun karena suara kerasnya. Sri berjalan agak pelan menuju tempat duduknya. Ketika sampai di baris kursi ketiga, ia berhenti. Ia melihat seorang ibu yang membawa tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Melihat itu, Sri teringat dengan kedua anaknya yang ia titipkan di rumah ibunya. “Ibu mau ikut saya tidak?” “Aduh gimana ya? Masalahnya saya baru sekali ini pergi ke Jogja dan saya tidak tahu daerah sini. Suami saya juga sudah jemput di terminal Jogja.” “Ibu tenang saja. Insya Allah saya antar Ibu sampai ke terminal Jogja. Tapi mungkin baru ada bus jam 05.00. Bagaimana Bu?” “Ya udah saya ikut.” Keduanya kemudian berjalan bersama menuju kursi yang tadinya diduduki oleh Sri. Tepat di baris kursi kelima, Sri kembali berhenti. Kali ini ia melihat perempuan yang sudah renta duduk disana. Ia jadi teringat dengan sosok perempuan yang sudah lama ia rindukan yaitu ibunya. “Ibu juga mau ikut dengan saya?” “Aduh Nak, apa tidak merepotkanmu jika saya ikut?” “Tentu tidak Bu. Saya justru sangat senang jika bisa mengantarkan ibu ke tempat tujuan Ibu.” “Kalau begitu saya ikut, Nak.” Nenek itu tersenyum kepada Sri. Setelah mengambil tas bawaannya, Sri, nenek, serta sang ibu dan ketiga anaknya turun dari bus itu. Baru beberapa menit keluar dari bus yang ditumpangi mereka, terdengar suara ledakan keras tak jauh dari tempat mereka istirahat. Ketika Sri berjalan untuk melihat ternyata suara ledakan itu berasal dari bus yang baru saja ia tinggalkan. Sang nenek dan ibu tiga anak itu segara sujud, bersyukur atas keselamatan yang diberikan kepada mereka semua. Setelah mengantar sang ibu dan ketiga anaknya ke terminal Jogja, Sri memutuskan untuk pergi mengantar nenek ke rumahnya terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan, mereka berbincang-bincang mengenai berbagai hal hingga sampailah mereka pada topik kehidupan pribadi masing-masing. “Nak, kalau boleh tahu apa yang menyebabkanmu pergi sejauh ini dan menitipkan kedua anakmu yang masih kecil kepada ibumu?” Tanya nenek dengan suara lembut. “Sebenarnya saya sendiri tidak tega meninggalkan mereka tapi keadaan yang memaksa saya melakukan hal itu. Suami saya meninggal ketika anak saya masih berusia 1 dan 2 tahun. Saya harus memikirkan masa depan mereka makanya saya akhirnya pergi sejauh ini, yah untuk sekedar mencari sesuap nasi, Bu. Ini saja baru pertama kalinya saya pulang semenjak 1 tahun

lalu meninggalkan anak-anak saya. Kalau Ibu kenapa Ibu pergi sejauh ini sendiri. Dimana anak Ibu?” Sang nenek tersenyum kemudian melanjutkan berbicara. “Saya tidak punya anak, Nak. Makanya ketika nak Sri nawarin untuk ikut saya langsung mau karena saya tahu nak Sri itu orang yang baik. Sebenarnya saya pernah menikah tapi kemudian saya bercerai karena sesuatu hal yang sangat pribadi.” “Maaf ya Bu jika saya ada salah kata.” “Tidak apa-apa Nak. Oh ya kita sudah sampai di rumah saya.” Sri sangat terkejut melihat rumah sang nenek yang begitu besar dan indah. Untuk sejenak Sri terdiam. Kemudian sang nenek menyuruhnya masuk ke dalam rumah. “Nak Sri tunggu di sini sebentar ya.” Sri kemudian duduk di sofa ruang tamu. Sesaat kemudian sang nenek datang dengan sebuah kotak di tangannya. “Nak Sri terimalah ini. Jangan kamu tolak karena akan sangat menyakitkan jika kamu menolak pemberianku. Gunakan itu sebaik-baiknya. Jika kamu sudah sampai di rumah, sampaikan salamku pada ibu dan kedua anakmu. Katakan juga bahwa mereka sangat beruntung memilikimu.” Sang nenek memeluk Sri. Air mata mengalir dari kedua mata orang yang sedang berpelukan itu. “Terima kasih ya Bu. Insya Allah jika saya ada rejeki, saya akan mengajak ibu dan anak saya main ke rumah Ibu. Saya pamit pulang dulu ya Bu. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam.” Perjalanan ke rumah Sri hanya 1 jam dari Jogja. Selama di perjalanan, Sri tidak berani membuka kotak pemberian nenek itu. Hingga akhirnya ia sampai di rumahnya. Ibu dan kedua anaknya sudah menyambutnya di halaman depan rumah. Dipeluknya ibu dan kedua anaknya yang sudah lama ia rindukan. Air mata mengalir tak terbendung dari mata Sri. Berkali-kali ia ucapkan syukur karena Allah masih memberinya umur panjang dan bertemu dengan ibu dan kedua anaknya. Sri kemudian ingat dengan kotak pemberian nenek tadi. Ia pun segera membuka kotak itu di depan ibu dan anaknya. Sri sangat terkejut ketika melihat ada banyak emas di dalam kotak itu. Ia langsung bersimpuh dalam sujud dan bersyukur atas rejeki yang bagitu besar yang Allah berikan kepada keluarganya itu.

KUMPULAN CERITA FIKSI DAN NON FIKSI

ALFATH SURYA BHUANA HARTANTO KELAS IV B

KUMPULAN CERITA FIKSI DAN NON FIKSI

ALDA FAJAR KELAS IV B

NYAMUK PENYELAMAT Pak Dirjo adalah seorang petani. Ia tinggal di sebuah rumah di lereng gunung. Ia tinggal seorang diri. Istrinya sudah lama meninggal dan ia tidak memiliki seorang anak. Tinggal sendirian membuat ia merasa kesepian. Karena itulah ia sering menggerutu dan selalu mengeluh. Musim hujan membuat Pak Dirjo semakin sering menggerutu. Rumah tuanya sudah bocor di sana-sini. Sementara untuk memperbaikinya, ia tidak punya uang. Lagipula menurutnya percuma saja diperbaiki. Umurnya paling sudah tidak lama lagi. Siapa yang akan menempati rumahnya nanti bila ia mati. Demikian menurutnya. Selain itu hujan membuat rumahnya sering kebanjiran. Belum lagi banyak nyamuk. Pak Dirjo benar-benar merasa kesal. Suatu malam, Pak Dirjo kembali menggerutu. Ia tidak bisa tidur karena banyak nyamuk di rumahnya. Ia merasa sangat terganggu dengan kehadiran nyamuk-nyamuk itu. " Huh, mengapa Tuhan menciptakan binatang yang bisanya cuma mengganggu ini? Huh, bisa habis darahku dihisapnya. Dasar binatang pangganggu, " gerutu Pak Dirjo. Pak Dirjo lalu mengeluarkan sepeda tuanya dan pergi ke warung untuk membeli obat pembasmi nyamuk. Letak warung itu agak jauh dari rumahnya. Makanya ia pergi dengan naik sepeda. Sepanjang perjalanan ia terus menggerutu. Ketika Pak Dirjo kembali ke rumahnya, ia heran karena banyak tetangganya yang berkumpul di depan rumahnya sambil memanggil-manggil namanya. " Ada apa ini?" tanya Pak Dirjo heran. Tetangganya menoleh dan serempak mereka mengucapkan syukur saat melihat kehadiran Pak Dirjo. " Syukurlah, Pak. Bapak tidak apa-apa. Kami sangat cemas saat mendengar tebing dibelakang rumah Bapak longsor. Kami takut Bapak kenapa-napa," jawab Pak Ahmad, tetangga Pak Dirjo. " Ha, longsor?" Pak Dirjo baru sadar jika sebagian rumahnya roboh terkena longsoran tebing. Ia lemas seketika karena rumahnya kini hancur. Namun ia merasa sangat bersyukur karena selamat dari bahaya. " Untung aku tadi ke warung membeli obat pembasmi nyamuk. Kalau tidak, pasti aku sudah celaka, " gumamnya. Tiba-tiba Pak Dirjo sadar, kalau kepergiannya ke warung tadi telah menyelamatkan dirinya dari malapetaka. Dengan kata lain, ia telah diselamatkan oleh nyamuk yang telah mengganggunya. Jika tadi ia tidak terganggu oleh gigitan nyanuk, pasti ia sudah tidur dan bisa jadi ia menjadi korban longsoran tebing yang menghancurkan rumahnya. " Oh, Tuhan. Ampunilah kesalahanku. Aku sudah menghina ciptaanMu. Bagaimanapun juga segala makhluk yang Kau ciptakan pasti memiliki manfaat. Dan nyamuk yang selama ini aku anggap sebagai binatang pengganggu dan tak bermanfaat justru telah menyelamatkan aku dari bahaya. Ampuni aku, Ya Tuhan," kata Pak Dirjo dalam hati. " Pak, sebaiknya mulai sekarang Bapak tinggal di rumahku saja. Bapak kan tidak punya saudara. Lagipula aku juga tinggal sendiri," kata Ujang menawarkan bantuan. Pak Dirjo tersenyum. " Terima kasih, Jang. Tapi apa aku tidak merepotkanmu?" Tanya Pak Dirjo ragu. " Tidak, Pak. Aku malah senang kalau Bapak mau tinggal bersamaku. Aku kan sudah tidak punya orang tua. Jadi Bapak bisa sebagai pengganti ayahku. Bagaimana, Pak?" tawar Ujang.

" Baiklah, Jang. Aku akan tinggal bersamamu," kata Pak Dirjo kemudian. Sejak saat itu, Pak Dirjo tinggal bersama Ujang. Dan ia kini tidak pernah lagi mengeluh apalagi menggerutu karena ia kini tidak kesepian lagi. Mereka pun hidup dengan tenteram dan bahagia.

Penjaga Gunung Kelud yang Setia Langit yang biru, matahari terbit di sebelah timur, burung-burung berkicau. Jutaan butiran-butiran embun di atas daun pisang terlihat menyegarkan. Membasahi daun-daunan di alam. Rerumputan menari bersama selir angin yang sejuk. Para belalang melompat-lompat di atas rumput yang asri. Kupu-kupu dan capung berterbangan di udara dengan indahnya, ragam warna di sana. Bunga-bunga semua bermekaran terlihat cantik dan menawan. Tinggal di desa sungguh mempesona, sejuk, alami, menyegarkan dan menyehatkan. Alangkah indahnya jika negeri ini tetap menjaga alam untuk masa depan. Di ujung pagar bambu yang tinggi seekor ayam jago mengeluarkan suaranya yang sangat kencang “Kuukuuruyuuukkk……!!??!?!!!!”, ayam yang gagah dan pemberani itu tinggal di sebuah kandang milik Pak Pardi. Pak Pardi adalah seorang tani tinggal di sebuah gubuk yang telah lapuk. Dengan adanya tempat tinggal pak Pardi merasa sangat bersyukur, pak Pardi hidup sebatang kara akan tetapi memiliki usaha yang sangat banyak. Layaknya pengusaha, tetapi beliau bukan pengusaha hanya seorang tani dan memiliki peternakan ayam untuk kebutuhannya sehari-hari. Pak Pardi memiliki keluarga, juga memiliki cucu. Keluarganya hidup di luar negeri, mereka menjenguk pak Pardi hanya dua tahun sekali. Itu pun, jika anak anaknya tidak memiliki kesibukan pekerjaannya. Pak Pardi sudah terbiasa hidup sendiri di daerah pegunungan yang jauh dengan tetangga. Pak Pardi kehilangan istrinya yang telah pergi 5 tahun yang lalu meninggalkan lebih dahulu dari usia tuanya. Beliau memang sangat merindukan keluarganya, ia hanya memiliki satu kenangan dari istrinya yakni seekor ayam jago. Beliau memberikan nama Kardi, sesuai nama istrinya dengan dirinya. Kardi gabungan dari nama Kartini dan Pardi, mereka adalah pasangan sangat setia. Usia pernikahan mereka telah 60 tahun lamanya setelah bu Kartini tiada. Pak Pardi sangat menyayangi ayamnya itu. Pak Pardi menghabiskan masa tuanya dengan begitu keras tanpa dibantu tetangganya. Setiap Kardi bersuara di pagi hari, pak Pardi mencari alat perkakas tani di kandang ayam. Dan pergi ke sawah dengan ayamnya. Pak Pardi bekerja, mencangkul, menebar bibit, menimbun, menyiram, memupuk dengan riangnya. “Desa.. ku yang ku cinta.. pujaan hatiku…” pak Pardi selalu menyanyikan desaku dengan senyuman tuanya. Ayamnya menari mengelilingi sebuah cangkul dengan lucunya. Pak Pardi sangat menikmati sejuknya udara persawahan. Selesai bertani, pak Pardi memberi makanan ke kandang ayam. Ratusan ayam yang sehat dan gemuk membuat pak Pardi selalu tertawa “hahahaha, kalian ini sudah gemuk tidak bosan apa makan terus. Jalan kalian nanti tidak secepat kuda. buk!buk!buk! (meniru lari seekor kuda) hahahahaha.. yasudah makanlah yang kenyang ayam-ayam ku, kalian jangan sakit. Bernyanyilah sesuka hati” kata pak Pardi sambil menuangkan makanan ayam ke sebuah kotak besar dan menuangkan minuman ke wadah.

Tiba saatnya pak Pardi sarapan pagi, pak Pardi menyimpan beberapa jagung untuk dimakan hari ini. Karena telah lama jarang makan jagung, dia akan memasak jagungnya. Ia menyiapkan api dan arang untuk membakar jagung sarapannya. Lapar yang terasa ia tergesagesa lari menuju tumpukan batu tempat yang ia simpan jagung-jagung manisnya. Tiba-tiba pak Pardi jatuh dan sedih melihat jagung-jagungnya habis dilalap Kardi, beliau merintih kelaparan, air matanya yang mengalir dari ujung mata turun ke ujung hidungnya yang mungil, membuat beliau habis kesabaran. Jagung yang ia korbankan dari perjalanan yang cukup jauh, menuruni perbukitan yang curam, melalui hujan lebat, dengan membawa beras sekarung yang besar untuk ditukarkan beberapa jagung manis. Perjuangannya cukup membuat ia putus asa dan naik darah kepada Kardi. Ia memukul Kardi dengan sebuah bambu. Kardi lari terpingkal-pingkal dan berteriak “petok!! petok!”, sesungguhnya mulut Kardi ingin mengeluarkan suaranya layak manusia biasa. Tetapi belum waktunya, Kardi membuka rahasianya. Pak Pardi mengusir Kardi dari rumah “pergi ayam malas! Aku makan apa? Tidakkah kau tahu bahwa aku juga belum makan? Pergi! Dan jangan kembali! Hus! Syoh!”. Beliau sangat sedih dan kebingungan, apa yang ia makan hari ini. Ia melihat sekarung beras untuk dijual ke pedesaan. “Beras itu, untuk para warga. Tapi aku sangat lapar” rintihan pak Pardi. Ia mengambil sedikit beras untuk dirinya dan memulai memasak. “Aku pergi kemana? Aku sendirian. Aku ayam serakah. Ayah sangat kelaparan, tetapi aku menghabiskan jagungnya. Setidaknya aku bisa makan berdua dengannya. Pasti ia tidak membenci ku hari ini. Maafkan aku ayah, maafkan aku. Aku tidak akan kembali, jika ini yang ayah inginkan” gumam si ayam. Api yang membara menyelimuti ranting-ranting kayu, mematangkan masakan pak Pardi. Beliau menunggu dengan melihat api, ia teringat ayamnya, terlihat sepintas ia mematikan api dan pergi mencari Kardi. Ia mencari di seluruh tempat tinggalnya yang kecil dan lahannya yang luas. Tetapi tidak ditemukannya Kardi. Pikirnya, mungkin di sore hari Kardi pasti kembali, “Kardi adalah ayamku yang pintar. Aku akan menunggunya dan menyisakan makanan untuknya”. Pak Pardi mengangkat nasinya dari perapian, beliau sedikit demi sedikit memasukkan makanannya ke dalam mulut. Ia melamun lagi, ia tak kuasa hidup sendiri tanpa seekor ayam pemberian istrinya. Ia semakin tidak nafsu makan, ia hanya memikirkan Kardi, dimanakah ia sekarang. Panen padi telah tiba, hingga empat bulan pak Parditidak pernah mendengar suara Kardi di atas pagar, Kardi belum kembali. Pak Pardi menggali tanah dengan lemas, wajah yang tua terlihat sangat pucat, dan tidak bersemangat. Ia sendiri, tidak ada teman untuk mengobrol, terasa sunyi dan hening. “ayam ku, pulanglah sayang. Maafkan ayah telah kasar kepada mu. Kamu belum kenal wilayah luar, kamu apa kabar nak? Istri ku, maafkan aku yang lemah ini, aku tidak bisa menjaganya dengan baik. Aku egois kepadanya, aku mengusirnya.

Kita kehilangan Kardi, aku sangat kesepian” tetesan air mata pak Pardi tergelincir dengan tetesan keringatnya di bawah terik matahari. Hasil dari kerja keras bersama si Kardi seekor ayam untuk membangunkan pak Pardi setiap pagi hari. Hasilnya lebih dari hasil biasanya hingga dua kali lipatnya, warna beras putih dan bersih menandakan hasilnya sangat memuaskan. Begitu pula peternakannya, para ayam betina menghasilkan telur 10 butir. Dengan rezeki yang berlimpah itu, pak Pardi tetap merasa sedih. Raut wajahnya tidak memperlihatkan senyuman tuanya. Pak Pardi pergi ke sebuah desa dengan sangat gelisah dan melamun. “Huh, aku ingin ayam ku. Aku tidak bisa bahagia tanpa bersamanya. Biasanya dia menari berputar-putar. Membantuku membasmi hama. Semoga kita dipertemukan di lain waktu” pinta pak Pardi dengan berjalan menuju ke desa. Dari pemandangan atas, ia melihat pemandangan desa dari jauh. Ia berharap bisa bertemu Kardi ayam kesayangan. Dengan penuh harapan ia bersemangat pergi menuju desa. “Desa ku yang ku cinta..” ia bernyanyi dan bersemangat. Ia melihat langit yang cerah dan burung berterbangan. Tiba di sebuah dinding besar untuk memasuki daerah pedesaan, ia terus berjalan dan memasuki sebuah desa itu. Disana disambut oleh kepala desa dan ketua RT, mereka sedang menanti pak Pardi. Ia berjalan menghampiri mereka “Pak Pardi, sungguh sejahtera hidup mu, semua panen melimpah hari ini” kata kepala desa. “alhamdulillah saya tak lupa bersyukur untuk hari ini, semoga kalian senang” (tersenyum sedikit) sahut pak Pardi sambil memberikan beberapa beras. Sementara di sebuah tempat yang berbeda. “Aku ingin pulang, aku rindu ayahku. Aku bersalah kejadian itu. Aku bersalah, sekarang aku tidak punya tempat tinggal” Kardi mengungkapkan bersalahnya sebanyak mungkin selama beberapa minggu. Terdengarlah suara teriakan “tolong!!! Tolong! Siapapun tolong aku!!” suara ayam betina kesakitan. Kardi mendengar dan mengikuti suara itu. Ia melihat rumput jepang meliliti kaki si betina. Kardi mematuk matuk tali tersebut hingga terputus. Si betina berterima kasih kepada Kardi. “Wahai teman ku, terimakasih kau telah menolong ku. Sudah dua hari aku terjebak di hutan, tidak seorang pun menolong ku dan aku hampir dimakan harimau. Tapi aku berpura-pura mati terkena gigitan ular. Kardi berkata “sama-sama. Aku hanya sepintas lewat disini. Perkenalkan, namaku Kardi. Aku berasal dari desa gunung Kelud. Nama kamu siapa?”. “Aku Ina, aku tidak punya tempat tinggal. Sudah 10 tahun, si kakek tua meninggalkan ku. Dia telah meninggal karena usianya memang telah lemah, tapi kenapa kamu bisa pergi sejauh ini? Apa kamu tersesat?”. Tanya si Ina. “sebenarnya, aku melakukan kesalahan. Aku menghabiskan jagung ayah ku untuk makanan malamnya, dia sangat tua, dia seorang manusia, Ina. Dia tak banyak menyimpan makanan. Lalu, ayah ku naik darah dan aku diusir dari rumah. Aku pergi meninggalkannya, aku terus menyesal. Tak sadarkan diri jalan yang ku lalui, aku tidak mengingatnya. Aku sangat merindukan ayah ku. Aku ingin kembali, tapi aku

tersesat. Kurasa kesalahan ku sangat besar, hingga ayah ku tidak mencariku”. Si Ina memeluk Kardi dengan kasih sayang, “Kardi, kamu tidak harus menyerah dan bersedih. Ayah mu sangat sayang kepadamu, ia juga pasti merindukan mu. Untuk menghapus apa yang terjadi, kamu harus kembali dan menemaninya”. Kardi merunduk kebingungan. “bolehkah aku menolong mu? Aku tahu desa gunung Kelud” kata Ina. “Terimakasih, Ina. Kamu sangat baik”. Mereka saling berpelukan. Di sepanjang jalan, mereka saling bersama. Mereka saling bercerita tentang tuannya. Terjang angin, dinginnya malam, panasnya matahari mereka menikmatinya. Mereka saling memberi makan satu sama lain. Mereka memiliki pandangan pertama, dan saling melindungi. Kardi yang tidak sabar bertemu pak Pardi, ia bernyanyi sangat merdu “desa ku yang kucinta. Pujaan hatiku. Tempat ayah dan bunda. Dan handai taulan ku. Tak mudah ku lupakan. Tak mudah bercerai. Selalu ku rindukan. Desaku yang permai”. Ina mendengar Kardi bernyanyi, ia menirukan dan bernyanyi bersama. Mereka sangat bahagia, mereka melihat gunung Bromo dari jauh. Detak jantung Kardi, berdegub-degub sangat kencang. “ayah, aku kembali”. Siang hari, pak Pardi akan pulang ke rumah dari berdagangnya. Akan tetapi, ia semakin lemah tak berdaya mengingat rumahnya sama seperti mengingat Kardi si ayam kesayangan, ia duduk di sebuah Batang kelapa dan melamun. Kardi dan Ina merasakan hal yang mencurigakan, ketika melihat burung-burung terbang berkeliaran. “Cepat bersiaga! Semua sahabat ku! Gunung Kelud segera meletus! Semua cepat bersiaga waspadalah!” kata si burung elang. Kardi dan Ina sangat terkejut dan sama-sama memikirkan pak Pardi. Mereka berlari sangat kencang, menuju rumah pak Pardi. Beribu kenangan masa kecil, Kardi mengingat begitu besar kasih sayang Bu Kartini dan pak Pardi. Mereka mencintainya, kebersamaan dan kenyamanan pelukan mereka membuat Kardi ingin segera sampai di rumah. Ia meneteskan air mata kerinduan, “aku mencintai mu tuan” ungkap si ayam peliharaan pak Pardi. Belum tiba di desa Kelud, gunung kelud mengeluarkan lava yang besar. “boooom!!!!! Booom!! Wuuussshhh!!” suara gemuruh gunung Kelud. Lava yang keluar dari mulut gunung itu, turun ke desa Kelud. Gumpalan tanah yang panas, awan semakin mendung, melihat bencana itu, Kardi tidak tahan melihat bencana tersebut. Ia menangis menjerit dengan kerasnya “ayaaaaaahhhhhhh!!!” , ia berlari sekuat tenaga dengan kaki mungilnya. Ina juga ikut menangis takut kehilangan pak Pardi. Mereka berlari menemui pak Pardi untuk menolongnya, begitu sakitnya kehilangan keluarga. Lava semakin cepat turun, menindas hutan-hutan, sawah milik pak Pardi dan rumah gubuk satu-satunya juga terkena lahar api gunung. Tanah yang longsor menyelimuti wilayah pak Pardi dan sekitarnya. Para desa Kediri mengetahui bencana alam itu, para warga membangunkan pak Pardi yang tertidur di batang kelapa “pak Pardi, bangunlah! Rumah mu terkena musibah! Gunung Kelud meletus, pak. Bangunlah!”. Pak Pardi seketika bangun dan melihat rumahnya “tidak! Rumah ku! Ayam ku! Se.. se.. muanya dimakan lava.. a…a…”. Pak Pardi berlari ke atas menyelamatkan ternak nya. “Pak Pardi jangan kesana!” kata warga Kediri. Pak Pardi terus berlari dan berjuang melawan usianya.

Hingga akhirnya gunung Kelud telah tenang, si Kardi dan Ina tiba di sebuah gundukan tanah yang menimpa gubuk pak Pardi. Kardi menggali tanah yang panas itu, ia tak bisa terima jika ayahnya meninggal karena dirinya. Ina membantu menggali tanah, mereka saling berduka. Gundukan semakin berkurang, Kardi melihat kain yang terakhir dipakai ayahnya. Ia menarik kain dengan paruhnya, sungguh malang hidup Kardi. Ia belum sempat mengucapkan maaf kepada ayahnya, ia berteriak “petoooooookkkkkk!!”. Ina memeluk erat Kardi, mereka sangat menyesal datang terlambat. “Aku Kardi, ayah! Jangan tinggalkan aku! Aku minta maaf semuanya! Aku bisa bicara! Aku ingin menemani mu! Kumohon, bangunlah ayah! Aku datang! Aku akan jadi ayam yang baik untuk mu! Kita harus bersama ayah!” kata Kardi. Kardi tidur membujur diatasi kain ayahnya. Ina hanya bisa menemani Kardi dan membantu ayam-ayam yang lain milik pak Pardi. Udara begitu gelap, Ina tidak dapat melihat dengan jelas bunyi dari arah ujung. Ina mendekati Kardi dan membangunkannya, “Kar.. Kar.. bangun.. Kardi, ada suara disana. Ada yang datang kemari. Kardi bangunlah, aku takut” kata Ina. Dengan berat hati Kardi membuka mata, ia melihat seperti tubuh ayahnya yang lemah. Ia berpikir, ia hanya halusinasi. Ina membisik Kardi “Kardi, ada manusia disana. Apakah benar?”. Kardi berusaha melihat dengan baik, “Ina juga melihat tubuh manusia, jadi aku tidak halusinasi” gumam Kardi. Langkah demi langkah semakin dekat, pak Pardi mendengar suara ayam-ayamnya “ah, syukurlah. Mereka selamat, mereka selamat”. Kardi menangis bahagia mendengar suara ayahnya, ia terus melihat bayangan ayahnya yang remang-remang itu. Sepasang sandal putih yang biasa dipakai ayahnya ke sawah, Kardi berteriak menghampiri ayahnya. “ayaaah, petokk! Petokk!! Kardi disini” kata Kardi sambil berlari. Pak Pardi yang penglihatannya rabun, mencari suara itu. Ia heran “itu seperti suara Kardi, tapi kenapa ia bisa bicara?”. Air hujan mulai turun, semua kabut asap menghilang, tanah menjadi dingin, udara menjadi sejuk. Pak Pardi melihat ayam kesayangannya berlari menuju jemari kakinya, “ayam ku, Kardi”. Mereka bertemu saling berbagi kehangatan. Mereka menangis sepuasnya, “ayah, sebenarnya aku Kardi yang bisa bicara. Aku takut mengeluarkan suaraku, takut ayah menjauhiku” ungkap di Kardi. “Kamu kembali Kardi, aku minta maaf melukaimu. Aku janji merawat mu” balas pak Pardi. “Kita hidup bersama” mereka berdua berjanji bersama. “Selama aku tersesat, ada Ina yang membantu ku. Dia juga disini, ayah. Aku mencintainya, aku ingin memilikinya” kata Kardi. Pak Pardi senyum lucu, melihat Kardi dan Ina saling menyayangi, “kalian semoga bahagia, ayah ijinkan kalian bersama. Tapi, kalian jangan tinggalkan ayah sendiri lagi”. Aktivitas membersihkan desa Kelud, mewarnai hari-hari mereka. Sawah mulai subur, ayamayamnya semakin bertambah. Pak Pardi menyambut kedatangan Ina untuk Kardi, mengawinkan mereka dengan uniknya.

Ratusan ayam melihat perkawinan Ina dan Kardi. Beberapa bulan kemudian, Ina dikaruniai anak-anak yang lucu. Pak Pardi merasa memiliki keluarga bersama peliharaannya. Mereka tertawa bersama saat panen tiba.

Related Documents

Harimau Dan Srigala
December 2019 39
Harimau
November 2019 32
1 Harimau
May 2020 28

More Documents from ""