A. PENDAHULUAN
Tumpuan harapan akan terbentuknya generasi penerus perjuangan negeri Ibu Pertiwi disandarkan pada dunia pendidikan. Generasi yang dimaksud adalah sosok penerus cita-cita mulia para pejuang yang telah ikhlas berkorban, hingga berhasil membidani kelahiran Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sekali lagi bukan maraknya generasi pewaris pusaka kemerdekaan yang rapuh, berdendang foya-foya, bahkan melenceng menjadi anak bangsa yang akhirnya hanya berkemampuan “tak disadari” memporakporandakan haluan dan cita-cita luhur di alam kemerdekaan. Menyadari bahwa hasil dari pendidikan baru akan terjelma ketika pelaku pendidikan itu sendiri “lupa” akan skenario dan proses didik yang telah digelar masa silam, maka berjuang dalam dunia pendidikan pada era sekarang harus berorientasi pada sinyalemen kebutuhan berpuluh tahun ke depan (tujuan antara). Seiring dengan proses pencapaian itu, proses pendidikan berjalan untuk menempuh tujuan sementara secara instant, berupa pemenuhan dasardasar kebutuhan pengetahuan dan mental relevan dengan tuntutan kekinian. Baik tujuan sementara maupun tujuan antara yang akan dicapai, tetap memerlukan proses panjang hingga terbentuk generasi yang tumbuh dan berkembang normal, berani menghadapi ketatnya kompetisi global dengan penguasaan kompetansi yang memadai. Menyoal tentang pendidikan, tanpa basa basi, angan dan memori dalam otak kita langsung tertuju pada “sosok guru”. Maka tumpuan selanjutnya akan keberhasilan pendidikan bermuara pada guru. Guru dianggap sebagai sosok ideal yang dianggap dan diandalkan mampu memberi rona dan menggoreskan 1
warna keberhasilan dunia pendidikan, lebih-lebih pada satuan pendidikan dasar dan menengah. Tepat sekali, seperti teori yang tertuang pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat (1) tersurat; “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.” Jasa guru sesungguhnya tidak dapat dinilai dengan imbalan materi. Tetapi ketika sadar bahwa “guru juga manusia”, maka perkembangan selanjutnya “imbalan materi” menjadi unsur penting demi menjadikan guru sebagai pendidik profesional. Bahkan seiring dengan perjalanan waktu, guru sebagai sebuah profesi tidak akan berjalan atau berfungsi secara optimal tanpa “imbalan”. Pertanyaan retoris yang patut direnungkan adalah ; akankah arah pendidikan di Indonesia kalang kabut lantaran guru termangu dalam koridor sertifikasi guru? Bagaimana kesadaran dan keikhlasan guru berbakti dan mengabdi pasca perolehan sertifikat guru? Apa yang terjadi terhadap etos kerja guru ketika antrian memanjang menunggu proses “predikat” guru profesional? Haruskah amalan dan bakti seorang guru dikalkulasi dalam rupa angka-angka? Pada karya tulis ini, diwacanakan kilas ilustrasi psikologis mengenai pengaruh sertifikasi guru dalam konteks konsekuensi kinerja, sebagai bahan untuk menakar pengabdian dalam menjalankan profesi secara profesional.
B. DEWA ITU BERNAMA “SERTIFIKASI”
2
1. Angin Segar Guru Profesional Geliat kinerja guru makin kentara, ketika pemerintah menghembusan angin segar akan keterpenuhan kesejahteraan sosial bagi pelaku profesi guru. Diseriuskan dengan lahirnya payung hukum yaitu Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Terlepas dari polemik dan pro kontra, indikasi ini secara kasat mata memang menjanjikan adanya “imbalan materi” yang sepadan dalam menjalankan profesi “secara proporsional dan profesional” bagi seorang guru. Image yang maujud dalam komunitas guru antara lain kebanggaan hati melakoni profesi sebagai guru. Kedamaian dan kesejahteraan sosial sudah selayaknya dirasakan, mengiringi kepuasan moral yang sebelumnya terpaku dengan sebutan pahlawan tanpa tanda jasa. Untuk meraih kenikmatan itu ternyata tidak sesederhana seperti apa yang termaktub dalam Undang-Undang. Memang dirasa berpihak pada profesi guru itu sendiri. Dengan keharusan memenuhi persyaratan tertentu, dan sesuai rambu-rambu yang harus dilalui berdasarkan aturan-aturan tertentu, profesi guru mulai dapat mewujudkan harapan menjadi kenyataan (?) Perhatikan pada Undang-Undang dan Dosen pada Bab IV Pasal 14 ayat (1) butir a : ”Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak: memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.” Dan lagi-lagi pada pasal berikutnya, yaitu pasal 15 ayat (1) profesi guru kembali dibuai dengan kalimat menyegarkan ; ”Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta peng-hasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.” 3
Konsekuensi logis dari esensi Undang-Undang tersebut melahirkan salah satu prasyarat bagi guru (baca : dalam jabatan), yaitu keharusan menempuh proses pemberian sertifikat pendidik berdasarkan kualifikasi akademik, selanjutnya kental disebut sertifikasi. Mulai saat itu pula kosakata ”sertifikasi” dianggap sebagai dewa yang menjanjikan keberuntungan seorang guru. 2. Sertifikasi sebagai Sebuah Kontemplasi Sertifikasi pun dijadikan sebagai bahan perbincangan dan kontemplasi di kalangan guru. Akhirnya terpiculah suasana kerja pengabdian yang tak lagi fokus, sarat dengan ketidakpastian dan penuh kegamangan. Guru yang ada kini, merupakan imbas dari design image dalam kemasan sertifikasi. Akibatnya, demi memenuhi tuntutan supaya disertifikasi, hiruk pikuk yang mewarnai kinerja guru tergambar pada paparan sebagai berikut : a. Guru yang merasa belum memiliki kualifikasi akademik, berbondongbondong kuliah lagi. Tanpa disadari, berapa waktu yang seharusnya bermanfaat untuk mendidik, tersita untuk itu. Belum lagi unsur finansial, tenaga dan pikiran. Fenomena ini cenderung mengakibatkan guru dalam melaksanakan tugas pokoknya hanya dengan sisa-sisa; waktu, tenaga, dan daya pikir. b. Semangat melaksanakan tugas dan pengabdian semakin marak, akan tetapi bersifat fatamorgana. Kesungguhan dan pemaknaan dari tugas dan kewajiban yang dikerjakan mulai tergeser maknanya. Pamrih yang ada hanyalah harapan memperoleh bukti fisik seperti ; surat tugas, surat keterangan, piagam penghargaan, sertifikat, dan sejenisnya yang ditengarai mengandung point untuk mendukung sertifikasi dari jalur
4
penilaian portofolio. Momen-momen dengan kemasan ”meningkatkan kompetensi guru” pun bertebaran; seminar, lokakarya, dialog interaktif, penataran, pelatihan,dan sejenisnya. Guru menyambut antusias momenmomen itu dengan harapan memperoleh secarik kertas yang dapat dijadikan sebagai bukti fisik. c.
Timbul persaingan kerja, namun bukan semata dalam hal peningkatan kompetansi guru, akan tetapi persaingan untuk menjadi pemenang dengan ”disertifikasi” lebih dulu. Kebijakan senioritas, masa kerja, pangkat, dan golongan/ruang bahkan sistem kuota, tidak lagi dipandang sebagai unsur yang dapat mendinginkan ”perlombaan” itu.
d. Upaya untuk memberikan ”keadilan” seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah nomor 74 yang antara lain memberikan kesempatan untuk memperoleh sertifikat pendidik bagi guru dengan usia dan masa kerja tertentu, berkesan sebagai tindakan pengemanjonan Undang-Undang Guru dan Dosen itu sendiri. Akibatnya, secara kejiwaan, terbersit ”protes” dalam hati. Meskipun terobati
dengan pembiasan dan
pemakluman
bahwa Undang-Undang tersebut buatan manusia. e. Anggapan bahwa dengan diraihnya sertifikat pendidik identik dengan memiliki ”pohon penghasilan tambahan” tanpa harus kerja ekstra. Ini mengakibatkan kendurnya kontrol keuangan dalam ekonomi keluarga.
C. REFLEKSI NURANI VERSUS KALKULASI BAKTI
Keberadaan guru dalam dunia pendidikan di pelataran nusantara, bahkan di tengah-tengah masyarakat kini tengah mendapat sorotan tajam. Mengapa? 5
Lantaran buah dari hasil didikannya dipandang belum
mampu menjawab
tuntutan zaman. Jangan-jangan benar apa yang pernah diungkapkan seorang Prof. Dr. Fuad Hasan, tokoh yang pernah menjadi orang nomor satu di Departemen Pendidikan negeri ini menyimpulkan, bahwa dari 100 % guru-guru masa kini, hanya 30 % guru-guru yang layak mengajar. Ungkapan itu memang telah lewat berpuluh tahun silam. Tetapi statemen ini merupakan tamparan keras bagi para guru. Kita (baca : guru) pantas mengernyitkan dahi, kemudian re-evaluasi diri. Apakah posisi kita berada pada level 30 persen atau pada kisaran 70 persen? Sertifikasi, sesungguhnya merupakan pijakan untuk mengarahkan pada keprofesionalan dan eksistensi guru dalam menjalankan tugas dan bakti mulianya. Artinya, menghendaki tetap tertanam dalam jiwa dan nurani bahwa guru merupakan profesi pengabdian. Sehingga guru secara bijak dan piawai dapat menimbang antara hak dan kewajiban. Jika selama ini perolehan hak-nya dirasa belum setimpal, maka kini saatnya merefleksikan nurani sesuai Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 Bab II Pasal 4 ; “Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat, dan peran guru sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.” Bahkan sebelumnya, dalam UndangUndang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab XI Pasal 39 ayat (2) menjelaskan bahwa “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat ... (dan seterusnya). 1. Sertifikasi Bukan Zona Aman 6
Ketika sudah terwujud satu tekad untuk menjadi tenaga yang profesional, maka sertifikasi bukan satu-satunya indikasi bahwa seorang guru telah berhasil memasuki “zona aman”. Tetapi yang layak disebut pemenang dan berada pada zona aman yaitu guru yang secara lahir batin menjadikan sertifikasi sebagai embrio untuk bekerja secara profesional. Bagi guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik bahkan telah menikmati hasil imbalan materi dari semua itu, ingatlah bahwa “Barang siapa yang Allah menghendaki kebaikan padanya,maka dia akan diuji.” (AlHadits). Dan bagi guru yang belum mendapat giliran atau berada dalam
posisi penantian dan antrian panjang, cermatilah firman Allah dalam Qur’an Surat Al Ahqaf ayat 35; “Maka bersabarlah kamu sebagaimana orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul.” Menyadari bahwa sebagai manusia, guru pun memiliki ego, kesadaran dan kesabaran terbatas, maka kibarkan kembali kode etik guru Indonesia dan menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Mahaesa, bangsa, dan negara serta kemanusiaan pada umumnya. 2. Pengaruh Sertifikasi terhadap Kinerja Guru Konsekuensi logis dari adanya sertifikasi bagi pendidik, terlepas dari lahirnya kebijakan, pola, dan apapun metodenya, tetap akan menggoreskan pengaruh positif dan negatif terhadap kinerja guru itu sendiri. Pada paragraf ini disodorkan perumpamaan sebagai bahan renungan ; “..... Terdapat dua orang yang masing-masing membawa keranjang berisi barang berharga. Yang satu telah menempuh jarak dua ratus meter, dan yang satu lagi baru menempuh jarak seratus meter. Mereka bertemu dan berjalan beriring. Dalam kebersamaan, keduanya merasa senasib dan sepenanggungan, sama-
7
sama berjuang mengantarkan barang berharga
itu pada tempat yang sama
untuk dipasarkan. Belum sampai pada tempat yang dituju, barang yang dibawa oleh orang yang sudah menempuh jarak 200 meter ada yang memborong dengan harga memuaskan....”
Dapat dibayangkan bagaimana perasaan orang yang kedua, menyaksikan keberuntungan orang pertama?
Dan sebaliknya, bagaimana perasaan
orang pertama ketika menyaksikan orang kedua yang baru berjalan 100 meter, serta merta barang yang dibawa sudah ada yang melelang? Dari illustrasi perumpamaan di atas, sebagai pelengkap tulisan ini, gambaran universal mengenai sertifikasi guru dan pengaruhnya terhadap etos kerja, dapat dicermati seperti pada tabel fenomena di bawah ini : Guru Bersertifikasi
Aspek Tinjauan
Guru dalam Antrian
1
2
3
Merasa menang. Memperoleh im-
Batin menangis hati pasrah. Pada
balan yang jauh lebih besar dari
saat porsi tupoksi yang sama, me-
sebelumnya. Meski beberapa
Ekonomis
rasa belum dihargai secara mate-
diantaranya masih berada pada
rial. Sementara masih menunggu
posisi harap-harap cemas.
giliran diangkut untuk disertifikasi.
- Disiplin waktu meningkat.
– Beberapa diantaranya
Karena luang waktu di luar dinas
melaksa-nakan tugas
tidak lagi tersita untuk mengais
pokok dan fungsi makin
penghasilan tambahan.
meningkat dengan ha-
- Lebih banyak memberikan kesempatan kepada teman yang
rapan memperoleh bukti fisik sebagai bekal
Kinerja
belum sertifikasi. Menganggap
penambah point untuk
dirinya tak memerlukan lagi bukti
kepentingan portofolio.
fisik.
–
Membanding-bandingkan kinerja dirinya dengan kinerja guru yang bersertifikasi.
– Cenderung merupakan bagian dari komunitas
Hubungan Sejawat
yang beruntung, dengan
8
- Lebih banyak membisikkan bersama teman “yang senasib”,
–
kadar kinerja baru mulai
memperbincangkan keluhan ki-
berpikir akan konsekuensi
nerja guru yang sudah menyan-
yang harus dijalani.
dang predikat “guru profesional”
Belum merealisasikan pola
- Benih-benih kesenjangan antar-
kerja yang profesional
sejawat walau bias mulai terasa. - Terlepas dari sifat lapang dada,
- Terlepas dari hasil perjuangan dan senioritas, masih merasa
ada bersit cemburu sosial.
peduli kepada rekan yang belum
Dikhawatirkan memicu krisis
disertifikasi.
kerjasama dan menurunnya etos kerja atau timbul gejala saling
- Tidak menorehkan kesan
mengandalkan.
“menari di atas kepiluan
Psikologis - Ada yang pasrah dan mengalah,
saudaranya.”
melaksanakan tugas dengan
- Mengharapkan agar dalam waktu singkat semua guru
keluh kesah. Merasa rendah dan
memiliki sertifikat pendidik, untuk
mengganggap diri menjadi
maju melangkah bersama-sama
korban sistem yang ada. Hanya
menjalankan profesi secara
mampu mengobati perasaan diri
maksimal dan profesional.
dengan gumam “belum waktunya.”
3. Harapan Keadilan Berperi Apapun
alasan
pemerintah
yang
tengah
berjuang
memperbaiki
kesejahteraan sosial bagi bagi guru sebagai pionir pendidikan, tetap saja menebarkan sikap pro dan kontra. Akan tetapi yang segera dipertimbangkan adalah kebijakan yang dapat mengobati “sementara” gejala dan pengaruh dari adanya sertifikasi guru. Sehingga dekadensi profesi tidak makin meradang dan berpotensi mengkebiri pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri. Untuk menanamkan rasa keadilan berperi, antara lain dapat ditempuh dengan cara :
9
1. Mengevaluasi keseluruhan model dan metode sertifikasi yang selama ini sudah dilaksanakan. Untuk mengurangi subyektifitas pengujian dan menghilangkan kesan itung-itungan amal bakti. 2. Meninjau secara berkesinambungan kinerja guru yang sudah memiliki sertifikan pendidik dari hasil sertifikasi. 3. Menyerentakkan kucuran penghasilan tambahan setelah semua guru (dalam jabatan) berhasil memperoleh bukti formal sertifikat pendidik. 4. Meninjau kembali sistem senioritas, dengan memberikan kesempatan bagi guru-guru yang telah memenuhi syarat dan kompetensi tertentu untuk mengikuti pengujian sertifikasi. Jika
ketidakpastian
berprofesi
terus-menerus
dibiarkan,
maka
konsekuensi logis dari adanya sertifikasi guru akan berbalik menjadi konsekuensi arbitrer. Guru termangu sembari gigit jari menyaksikan teman sejawat bergelimangan tambahan penghasilan. Lalu akan diapakan putra-putri bangsa ini?
D.
KESIMPULAN
Sertifikasi bagi guru adalah upaya mewujudkan keprofesional kinerja. Meskipun dalam perjalanan selanjutnya berdampak pada etos kerja guru itu sendiri. Peraturan dan undang-undang tak hendak menganaktirikan siapapun. 10
Tetapi kenyataan yang berkembang, seolah menebarkan benih permasalahan baru. Seperti adanya kesan kurang adil dan seakan berlaku “menang-kalah” dalam menjalankan profesi yang sama. Prinsip sertifikasi guru sesungguhnya menghendaki peningkatan gairah berprofesi, mengikis krisis kompetansi guru dan merangsang kinerja yang profesional demi mencapai tujuan pendidikan nasional, terbentuknya mental generasi yang mampu meneruskan cita-cita mulia perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan. Anggapan dan perasaan termarginalkannya guru-guru yang belum berkesempatan disertifikasi, dapat dibiaskan dengan kebijakan-kebijakan bermakna berupa model penerapan keadilan berperikemanusiaan. Sehingga profesi guru akan menjadi pilihan utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pengaruh (positif dan negatif) dari adanya sertifikasi terhadap etos kerja guru merupakan pembelajaran bagi bangsa ini, bahwa perjuangan untuk melakukan perubahan sarat dengan konsekuensi. Hal ini menghendaki jajaran pendidik untuk kembali memaknai tugas amal dan bakti mulia seorang guru. Bukankah
guru
Indonesia
sudah
terbiasa
dalam
katabahan
dan
kesabaran, bahkan telah lama kenyang dengan sanjungan dan ucapan terimakasih dengan penuh rasa haru?
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qorni, ‘Aidh. 2004. La Tahzan Jangan Bersedih!. Jakarta : Qisthi Press Akira, Nagazumi. 1988. Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa. Suplemen Majalah Tempo. 11
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Standar Isi 2006 SD/MI. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Depdikbud RI. 1994. Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Jakarta : Aries Lima. Depdiknas. 2005. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Bandung : Pustaka Setia. ------ 2003. Sistem Pendidikan Nasional (Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003). Jakarta. Kode Etik Guru Indonesia dan Ikrar Guru Indonesia. Hasil Kongres PGRI XVI. Jakarta. Lembaran. Litbang. 2006. Undang-Undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.Cirebon : PT. Berkah Pikiran Rakyat. Mega, Natalia, dkk. 2008. Aplikasi dalam Pembelajaran. Bandung : Tinta Emas Publishing Tim Penulis. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
12