From: Umi. HR. (PLB ‘07)
Wahai kau, yang tak pernah lepas dari apa yang telah kurangkai! Kurakit kau sedikit- demi sedikit dengan bumbu- bumbu penyedap fikirku. Kuikat kau dengan dengan bahasan- bahasan sutraku. Kurawat kau dengan percik- percik keindahan lisan- lisanku. Kufikir…, kau akan berguna untukku, kau akan berfaedah untukku! Hingga aku mengikhlaskan sebagian dari detak- detak gurat nadiku melayang, dan hampir tak berbekas. Kubiarkan ranjau- ranjau pembunuh menghampiriku tanpa kutelak sedikit pun. Kubiarkan kecapan manis dari mulut orang lain menjilatku, meskipun kutahu itu adalah racun bagiku. Namun... ternyata itu gagal. Rangakaian- rangkaian yang telah kusulap hingga menjadi ” hampir” sukses telah hancur sebelum waktunya. Ya, waktu yang selalu dan senantiasa kutunggu telah hancur, luluh, dan lantak tak berbekas barang sedikit pun. Yang bisa kusadari kini, hanyalah renunganrenungan konyol. Perlahan, tapi pasti kuyakini, bahwa aku salah dalam memprediksi seberapa besar rancanganku yang mungkin dapat kuatasi. Padahal, itu hanya sekecil percikan api. Oh..., malang sekali liukliuk indah jiwaku. Malang sekali jenjang- jenjang langkah suciku. Tapi toh, aku harus memaklumi, apa yang terjadi dalam relung- relung sukma dan jasadku untuk saat ini. Bhwa, semua tak selalu mulus seperti apa yang kita rancangkan, tapi juga harus melalui gejolak- gejolak kegagalan, hingga kita dapat memetik
buah yang lebih baik, dan segar. Baik itu untuk kita sendiri, maupun orang lain. Dan sepenuhnya aku tersadar,bahwa semua boleh kita rencanakan dan usahakan, akan tetapi kita tak lepas dari ketentuan Sang Kuasa.